Anda di halaman 1dari 259

PENGKAJIAN SASTRA

Teori dan Aplikasi

Prof. Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum.


Dr. Farida Nugrahani, M.Hum.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima
juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENGKAJIAN SASTRA
Teori dan Aplikasi

Prof. Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum.


Dr. Farida Nugrahani, M.Hum.

CV. Djiwa Amarta Press


Surakarta

i
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pengkajian Sastra . Cetakan I. CV. Djiwa Amarta. Surakarta. 2017


x + 246 hal; 25 cm
PENGKAJIAN SASTRA Teori dan Aplikasi
Hak Cipta© Maret 2017
Penulis
Prof. Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum.
Dr. Farida Nugrahani, M.Hum.
Editor
Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum.
Ilustrasi Sampul

Yusuf Muflikh Raharjo, S.Pd.


Penerbit
CV. Djiwa Amarta Press
Jalan Awan, Rt 03/Rw 21, Gulon, Jebres, Surakarta.
Email: djiwaamartapress@gmail.com
Telp. 081938709199

Cetakan I, Edisi I, Maret 2017


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved

ISBN 978-602-60585-8-4

ii
kupersembahkan kepada

mereka yang memiliki komitmen

terhadap pengembangan sastra dan budaya

iii
iii
iii
DAFTAR SINGKATAN

bdk. : bandingkan
DKJ : Dewan Kesenian Jakarta
hlm. : halaman
H.R. : Hadits Riwayat
Ing. : Inggris
Jw. : Jawa
K.H. : Karta Hadimadja
Pr. : Perancis
Q.S. : Quran Surat
Saw. : Shallallaahu ’alaihi wasallam
Swt. : Subhanahuu wata’aalaa
LP : Ladang Perminus

iv
iv
PRAKATA

Alhamdulillah, syukur penulis panjatkan kepada Allah


yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga buku
Pengkajian Sastra Teori dan Aplikasi ini selesai ditulis.
Kompetensi sastra sering menjadi kendala bagi para
pemerhati dan peneliti dalam rangka pengkajian dan
penelitian sastra. Akibatnya, pengkajian dan penelitian sastra
yang dihasilkan kurang optimal dari segi bobot ilmiah
dan/atau akademiknya.
Buku ini ditulis untuk memberikan pemahaman
tentang pengkajian dan penelitian sastra baik teori maupun
aplikasinya. Selain berisi penjelasan tentang definisi, fungsi,
dan struktur karya sastra, buku ini memaparkan teori
Strukturalisme, Sosiologi Sastra, Psikologi Sastra, Semiotik,
Interteks, Dekonstruksi, Kritik Sastra Feminis, Resepsi Sastra,
Sastra Feminis, dan Antropologi Sastra. Buku ini juga
dilengkapi contoh aplikasi pengkajian karya sastra genre
puisi, prosa fiksi, dan drama.
Pembaca yang ingin memiliki kompetensi sastra
terutama dalam mengkaji struktur dan makna karya sastra
disarankan membaca buku ini. Buku ini juga tepat dibaca
oleh mereka yang ingin meningkatkan apresiasi sastra dan
kompetensi dalam analisis karya sastra. Melalui pengkajian
sastra, mereka dapat menemukan mosaik-mosaik kehidupan
dalam karya sastra sambil berekreasi menikmati
keindahannya.
Jika pembaca dapat memahami teori pengkajian
sastra dan mampu mengaplikasikannya dalam analisis karya
sastra maka tujuan penulisan buku ini tercapai. Diharapkan
pula buku ini dapat mendorong terciptanya budaya akademik

v
terutama penulisan kritik sastra dan penelitian sastra di
kalangan pemerhati dan peneliti sastra pada umumnya.
Tiada gading yang tak retak. Buku ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif
sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisannya.

Surakarta, Maret 2017


Penulis,

Ali Imron Al-Ma’ruf


Farida Nugrahani

vi
DAFTAR ISI

BAB I SASTRA: HAKIKAT, FUNGSI, DAN PERANNYA


A. Konsep Sastra .............................................................. 1
B. Fungsi dan Manfaat Sastra.......................................... 6
C. Karya Sastra dan Bahasa Sastra.................................. 8
D. Peran Sastra sebagai Media Pembangunan
Karakter Bangsa........................................................ 12

BAB II APRESIASI SASTRA


A. Definisi Apresiasi Sastra............................................... 25
B. Pokok Persoalan Apresiasi Sastra................................. 29
C. Langkah-Langkah Apresiasi Sastra.............................. 32
D. Bidang Garap Apresiasi Sastra................................ 34

BAB III PENGKJIAN SASTRA


A. Definisi Apresiasi Sastra............................................... 41
B. Pendekatan dalam Pengkajian Sastra.................... 41
C. Nilai-Nilai dalam Karya Sastra..................................... 44
D. Kode Bahasa, Kode Sastra, dan Kode Budaya........ 46

BAB IV PUISI DAN UNSUR-UNSURNYA


A. Sekilas Tentang Definisi Puisi...................................... 49
B. Unsur-Unsur Puisi........................................................ 51
1. Diksi - 51
2. Imaji/ Citraan - 57
3. Bahasa Figuratif - 60
4. Rima dan Irama - 68
5. Tema - 70
6. Amanat - 71

vii
7. Perasaan - 71
8. Nada - 72

BAB V FIKSI DAN UNSUR-UNSURNYA


A. Hakikat Fiksi (Cerita Rekaan)................................... 73
B. Novel............................................................................ 74
1. Definisi Novel - 74
2. Novel Indonesia Mutakhir - 76
3. Novel Merajai Fiksi Indonesia Mutakhir - 80
C. Cerita Pendek............................................................... 82
D. Unsur-Unsur Fiksi........................................................ 83

BAB VI DRAMA DAN UNSUR-UNSURNYA


A. Definisi Drama........................................................ 101
B. Unsur-Unsur Drama................................................... 101
1. Tokoh dan Penokohan - 102
2. Alur (Plot) - 103
3. Latar (Setting) - 104
4. Tema - 105
5. Dialog (Cakapan) - 106
C. Periodisasi Perkembangan Drama Indonesia............... 107
D. Profil Drama Indonesia Mutakhir............................... 110
1. Drama Indonesia Mutakhir - 110
2. Drama Mutakhir Sebagai Karya Sastra - 113
3. Teater Indonesia Mutakhir: antara Barat dan Rakyat -
118
4. Tantangan dan Prospek Teater Mutakhir - 126

BAB VII TEORI DALAM PENGKAJIAN SASTRA


A. Strukturalisme........................................................ 129

viii
viii
viii
B. Strukturalisme Genetik............................................ 132
C. Sosiologi Sastra........................................................... 133
D. Strukturalisme Dinamik............................................... 136
E. Semiotik....................................................................... 138
F. Psikologi Sastra........................................................... 142
G. Interteks....................................................................... 149
H. Dekonstruksi................................................................ 152
I. Resepsi
Sastra........................................................................... 154
J. Kritik Sastra Feminis.................................................... 157
K. Antropologi Sastra....................................................... 161

BAB VIII PENGKAJIAN PUISI


A. Pengungkapan Makna: Tujuan Final Pengkajian
Karya
Sastra.......................................................................... 169
B. Pengkajian Puisi........................................................... 171
1. Pengkajian Puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya
Abdulhadi W. M. - 171
2. Pengkajian Puisi “Asmaradana” Karya Subagio
Sastrowardoyo - 175
3. Pengkajian Puisi dengan Tinjauan Interteks - 180

BAB IX PENGKAJIAN PROSA FIKSI


A. Pengkajian Cerpen....................................................... 199
1. Pengkajian Cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya A.A. Navis - 199
2. Pengkajian Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-
bunga” Karya Kuntowijoyo - 203

ix
ix
3. Pengkajian (Cuplikan) Novel Saman Karya Ayu Utami -
204

BAB X PENGKAJIAN DRAMA ASPEK SOSIAL DRAMA ORDE


TABUNG KARYA KESAWA MUURTI: KAJIAN
SOSIOLOGI SASTRA*)
A. Pendahuluan................................................................ 209
B. Kajia Teoretis............................................................... 211
C. MetodePeneliian......................................................... 213
D. Hasil dan Pembahasan................................................ 213
E. Simpulan..................................................................... 230

DAFTAR PUSTAKA…………........................................... 233


Indeks......................................................................... 240
Glosarium.................................................................... 243

x
BAB I
SASTRA: HAKIKAT, FUNGSI, DAN PERANNYA

A. Konsep Sastra
Kata “sastra” sering dipakai dalam berbagai konteks yang berbeda.
Hal itu mengisyaratkan bahwa sastra bukanlah suatu istilah yang dapat
digunakan untuk menyebut fenomena yang sederhana melainkan sastra
merupakan istilah yang mempunyai arti luas dan meliputi kegiatan yang
berbeda-beda (Rahmanto, 1988:10). Menurut Aristoteles (dalam Budianta
dkk., 2003:7), sastra merupakan suatu karya untuk menyampaikan
pengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan memperkaya
wawasan seseorang tentang kehidupan.
Teeuw (1988:23), menyatakan bahwa kesusastraan berasal dari
kata “sastra” dan mendapat awalan “su”. Sastra itu sendiri terdiri atas
kata “sas” yang berarti ’mengarahkan, pengajaran’, dan ”tra”
menunjukkan ’alat atau sarana’. Oleh karena itu, sastra berarti ’alat
untuk mengajar, buku petunjuk, buku instansi atau pengajaran’.
Adapun awalan “su” itu berarti baik atau indah. Dengan demikian,
susastra adalah alat untuk mengajar yang bersifat baik atau indah.
Sastra, bagi Sudjiman (1990:71), adalah karya lisan atau tertulis
yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti orisinalitas, nilai artistik,
dan estetika dalam isi dan pengungkapannya. Meminjam istilah
Sumardjo (1982:22), kesusastraan adalah penggambaran yang
memberikan pengalaman subjektif. Khususnya dalam novel, dalam
penggambaran-penggambaran itu berupa rentetan peristiwa. Sejalan
dengan itu, Rampan (1984:13) mengemukakan bahwa dari kata dasar
“sastra” tersebut kemudian mendapat awalan “su” yang mengemban
makna baik atau indah. Dari pendekatan ini dapat disarikan bahwa
kesusastraan adalah tulisan atau karangan yang baik atau indah yang
mampu berfungsi memberikan petunjuk, ajaran atau arahan.

Pengkajian Sastra │ 1
Karya sastra merupakan media bagi pengarang untuk
menuangkan dan mengungkapkan ide-ide hasil perenungan tentang
makna dan hakikat hidup yang dialami, dirasakan dan disaksikan.
Seorang pengarang sebagai salah satu anggota masyarakat yang kreatif
dan selektif ingin mengungkapkan pengalamannya dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari kepada para penikmatnya (Tarigan, 1984:10).
Luxemburg (dalam Hartoko, 1984:12) membuat klasifikasi bahwa
suatu karya cipta disebut sastra apabila ia memiliki sifat rekaan, yakni
yang tidak secara langsung menyatakan sesuatu mengenai realitas,
bahasa, serta pengolahan bahannya mampu membuka batin kita bagi
pengalaman baru. Karya sastra mengemban suatu nilai serta ia
merupakan wacana untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam
masyarakat.
Menurut Wellek & Warren (1995:11-14), sastra merupakan
suatu karya seni, karya kreatif manusia yang mengandung nilai estetik.
Sebagai wujud seni budaya, sastra memiliki dunia tersendiri yang
merupakan pengejawantahan kehidupan sebagai hasil pengamatan
sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Hal itu sejalan dengan
pendapat Esten (1991:8) bahwa sebuah cipta sastra bersumber dari
kenyataan hidup dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas ilmiah
yang ditangkap indra sastrawan hanyalah sumber pengambilan ilham
yang bersifat alamiah atau mentah kemudian diolah melalui daya
imajinasi sastrawan yang membuahkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan
agung. Dengan kata lain, sastra merupakan refleksi kehidupan sosial
yang diungkapkan oleh sastrawan dengan ketajaman perasaan dan
daya pikir yang mendalam sehingga dapat menangkap nilai-nilai agung
dan pemikiran-pemikiran yang lebih jauh jangkauannya dibanding
pandangan awam umumnya.
Bagi Teeuw (2003:151-285), istilah sastra itu paling tepat apabila
diterapkan dalam seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif yang
berisi ungkapan spontan dari perasaan manusia yang

2 │ Pengkajian Sastra
mendalam. Lebih lanjut Teeuw (2003:151-285) menjelaskan bahwa
sastra itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi
seni. Sebagai seni bahasa, sastra dapat didekati melalui aspek
kebahasaan dan pertentangannya dengan pemakaian bahasa dalam
bentuk lain, sedangkan sebagai suatu karya seni, sastra dapat didekati
melalui aspek keseniannya.
Tolstoy (1971:708-717), menyatakan bahwa seni itu merupakan
ekspresi dari suatu emosi. Meskipun tidak semua penjelmaan emosi itu
merupakan sebuah seni, setiap seni akan memberikan kesan yang
artistik. Selain itu, seni juga mempunyai karakter mempersatukan
orang dan menyebabkan orang merasakan pancaran perasaan dari
senimannya.
Danziger & Johnson (dalam Budianta dkk., 2003:7), menyampai-
kan bahwa sebagai “seni bahasa”, sastra menggunakan bahasa sebagai
mediumnya, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dalam hal itu
Teeuw (2003:35), berpandangan bahwa bahasa tulis ataupun bahasa
lisan tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam membatasi dan
membedakan apakah sesuatu itu termasuk dalam sastra atau bukan
sastra.
Sebagai karya seni bermediumkan, sastra berisi ekspresi pikiran
spontan dari perasaan mendalam penciptanya. Ekspresi tersebut berisi
ide, pandangan, perasaan, dan semua kegiatan mental manusia, yang
diungkapkan dalam bentuk keindahan. Sementara itu, bila ditinjau dari
potensinya, sastra disusun melalui refleksi pengalaman, yang memiliki
berbagai macam bentuk representasi kehidupan. Sebab itu, sastra
merupakan sumber pemahaman tentang manusia, peristiwa, dan
kehidupan manusia yang beragam.
Hugh (dalam Aminuddin, 1987:45) menyatakan bahwa karya
sastra yang berbobot literer harus memenuhi dua kriteria utama, yakni
(1) relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui
jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki
kesatuan yang utuh, selaras serta memiliki kepaduan dalam
pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity) dan (2) daya

Pengkajian Sastra │ 3
ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk
(texture) serta penataan unsur-unsur kebahasaan dan struktur
verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Berdasarkan batasan-batasan yang telah disampaikan dalam
uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa setidaknya dalam sastra
terdapat dua unsur utama, yaitu:
(1) Isi, yaitu sesuatu yang merupakan gagasan/pikiran, perasaan,
pengalaman, ide, semangat, dan tanggapan pengarang terhadap
lingkungan kehidupan sosial yang ingin disampaikan pengarang
terhadap pembaca;
(2) Bentuk, yaitu media ekspresi yang berbentuk seni sastra,
yang pada umumnya bermediumkan bahasa beserta unsur-unsur yang
mendukung totalitas makna yang terkandung di dalamnya.
Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali
problem dasar kehidupan manusia, meliputi: maut, cinta, tragedi,
harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan hidup, serta hal-
hal yang transedental dalam kehidupan manusia. Problem kehidupan
itu oleh sastrawan dikonkretisasikan ke dalam gubahan bahasa baik
dalam bentuk prosa, puisi, maupun lakon (drama). Jadi membaca karya
sastra berarti membaca pantulan problem kehidupan dalam wujud
gubahan seni berbahasa (Santosa, 1993:40).
Dengan demikian, karya sastra adalah suatu hasil karya seni baik
lisan maupun tertulis yang –lazimnya-- menggunakan bahasa sebagai
mediumnya dan memberikan gambaran tentang kehidupan dengan
segala kompleksitas, problema, dan keunikannya baik tentang cita-cita,
keinginan dan harapan, kekuasaan, pengabdian, makna dan tujuan
hidup, perjuangan, eksistensi dan ambisi manusia, juga cinta, benci dan
iri hati, tragedi dan kematian, serta hal-hal yang bersifat transedental
dalam kehidupan manusia. Jadi, karya sastra mengungkapkan gagasan
pengarang yang berkaitan dengan hakikat dan nilai-nilai kehidupan,
serta eksistensi manusia yang meliputi dimensi kemanusiaan, sosial,

4 │ Pengkajian Sastra
kultural, moral, politik, gender, pendidikan maupun ketuhanan atau
religiusitas.
Sebagai karya seni yang mengedepankan nilai estetis
(keindahan), karya sastra tidak hanya mengandung hikmah atau
pelajaran berharga tentang kehidupan yang mahaluas tetapi juga
memberikan hiburan sekaligus kenikmatan bagi pembacanya yang sulit
ditemukan dalam karya lain. Dengan demikian, karya sastra yang
berbobot literer dapat berfungsi untuk memperjelas, memperdalam,
dan memperluas wawasan serta penghayatan manusia tentang hakikat
kehidupan. Pendek kata, karya sastra yang baik mampu memperkaya
khasanah batin pembacanya, bukan hanya memberikan hiburan dan
kenikmatan semata yang terkadang bersifat profan.
Sejalan dengan teori pendekatan dalam analisis model Abrams
(1979:5-8), dapat dipahami pula bahwa dalam konsep karya sastra
terdapat empat komponen yang saling berhubungan dengan perannya
masing-masing. Empat komponen itu adalah: (1) Pengarang yang
berperan sebagai pencipta; (2) Karya sastra yang berperan sebagai
sarana komunikasi antara pengarang dengan pembacanya; (3) Realitas
kehidupan sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi
pengarang; (4) Masyarakat pembaca yang berperan sebagai penikmat
dan sasaran khalayak yang dituju oleh pengarang.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra
dapat dipandang sebagai sarana atau media pengungkapan dunia
pengarang beserta ideologinya yang kompleks dan menyeluruh melalui
medium bahasa. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang
berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, keyakinan, ide, dan
semangat dalam bentuk karya seni yang dapat membangkitkan rasa
keindahan melalui bahasa.
Karya sastra merupakan karya seni yang mengungkapkan
eksistensi kemanusiaan dengan segala variasi dan liku-likunya secara
imajinatif dan kreatif dengan menggunakan bahasa estetik sebagai
mediumnya. Baik genre puisi, fiksi, maupun drama, karya sastra
merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap lingkungan sosialnya yang

Pengkajian Sastra │ 5
kemudian diekspresikan melalui bahasa yang indah dengan daya kreasi
dan imajinatifnya. Dengan segenap daya cipta, rasa, dan karsanya,
sastrawan mengungkapkan gagasan mengenai hakikat kehidupan yang
dirasakan, dihayati, dialami, dan dipikirkan melalui karya sastra sebagai
media ekpresinya yang imajinatif.
Dapat dikemukakan pula bahwa setiap karya sastra pada
dasarnya memiliki dua bagian besar yang satu dengan lainnya
merupakan sebuah jalinan yang saling menunjang. Dua bagian besar itu
pertama adalah struktur luar (surface structure) yang menjadi media
ekspresi dengan segala daya estetiknya yang dimanfaatkan sastrawan
untuk mengungkapkan struktur dalam. Adapun bagian yang kedua
adalah struktur dalam (deep stucture) yang terdiri atas gagasan
mengenai hakikat kehidupan dengan segala kompleksitas dan
variasinya. Wajarlah jika struktur dalam yang sama dapat diungkapkan
dengan struktur luar yang berbeda baik oleh sastrawan yang
bersangkutan maupun oleh sastrawan lainnya. Itulah sebabnya,
mengapa tema atau masalah yang sama dapat diolah dan
diekspresikan menjadi berbagai genre karya sastra –puisi, fiksi, dan
lakon/drama-- yang berbeda-beda oleh para sastrawan. Hal itu
bergantung pada daya kreasi dan daya imajinasi sastrawan yang
dipengaruhi oleh wawasan estetik masing-masing dalam menangkap,
menggauli, menghayati, memahami, dan menanggapi realitas
kehidupan di lingkungan sosialnya.

B. Fungsi dan Manfaat Sastra


Pendapat klasik mengenai fungsi sastra, menurut Horatius, filsuf
Yunani, sastra memiliki fungsi dulce et utile (menghibur dan berguna).
Dengan ungkapan yang berbeda, Edgar Allan Poe (dalam Al-Ma’ruf,
2007:32) menyatakan bahwa fungsi sastra adalah didactic heresy:
menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu. Jadi, sastra di samping
memberikan kesenangan kepada para pembacanya juga berdaya guna
atau bermanfaat bagi kehidupan batiniah. Pendek kata, sastra berguna
untuk memberikan hiburan sekaligus berguna bagi pengayaan spiritual

6 │ Pengkajian Sastra
atau menambah khasanah batin. Hal itu dapat dipahami, mengingat
sastra merupakan wahana untuk memberikan tanggapan personal
tentang isu-isu dalam kehidupan (Aminuddin, 2000:50).
Berdasarkan fungsi sastra di atas, ada berbagai manfaat yang
dapat diberikan oleh cipta sastra. Menurut Karno ( 1996:34) berbagai
manfaat yang diperoleh dari karya sastra ini adalah sebagai berikut.
(1) Sastra sebagai Ilmu
Artinya sastra sebagai salah satu disiplin ilmu yang bersifat
konventif yang diajarkan di bangku sekolah secara formal, dalam sub
bidang bahasa Indonesia.
(2) Sastra sebagai Seni
Sastra memiliki semboyan dulce et utile (menghibur dan
berguna). Jadi, sastra di samping memberikan kesenangan kepada para
pembacanya juga berdaya guna atau bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Artinya, sastra bermanfaat untuk memberikan hiburan
sekaligus bermanfaat untuk pengayaan spiritual atau khasanah batin.
(3) Sastra sebagai Kebudayaan
Dalam hal ini sastra mencakup segala kehidupan manusia baik
secara lahir maupun batin. Secara lahir sastra sejajar dengan bahasa
yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa, sarana pergaulan, alat
komunikasi antara manusia dan antarbangsa. Hal ini dapat dilihat dan
saling dikenalnya para pengarang di seluruh penjuru dunia melalui hasil
karyanya. Kita dapat mengenal Lelaki Tua dan Laut karya Ernest
Hemingway setelah kita membacanya. Secara batiniah sastra dapat
dipahami sebagai sarana aktivitas dalam membina sikap mental
seseorang, mental masyarakat, dan mental bangsa. Hal ini dapat
dibuktikan dengan membaca karya-karya Kuntowijoyo, Danarto, Taufik
Ismail, Abdulhadi W.M., Ahmad Tohari, Iwan Simatupang, Putu Wijaya,
Mochtar Lubis, Djenar Mahesa Ayu, dan Ayu Utami, dan lain-lain,
khasanah batin kita akan semakin kaya.

Pengkajian Sastra │ 7
Tugas sastra sebagai suatu seni adalah menawarkan pengalaman
yang unik tentang berbagai model kehidupan. Sastra bukan sekedar
dokumen sejarah, ataupun laporan tentang cerita kehidupan, persepsi
moral, filosofi, dan religi. Sastra merupakan perluasan penjelasan dari
hidup itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan utama pembacanya adalah
untuk menambah pengalaman batin.

C. Karya Sastra dan Bahasa Sastra


Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil
kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya.
Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya
melalui bahasa. Apa pun yang dipaparkan pengarang dalam karyanya
kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan bahasa.
Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan,
menurut Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi
bahasa pengarang. Demi efektivitas pengungkapan, bahasa dalam
sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan
sedemikian rupa. Oleh karena itu, bahasa sastra memiliki kekhasan
tersendiri yang berbeda dengan karya nonsastra.
Sastra sebagai karya seni, dalam perkembangan mutakhir tidak
hanya bermediumkan bahasa. Sastra mutakhir ada yang menggunakan
medium lain misalnya lukisan, gambar, garis, atau simbol lain. Namun
demikian, karya sastra pada umumnya menggunakan bahasa sebagai
media ekspresi pengarang. Oleh karena itu, menurut Wellek & Warren
(1989:14-15), karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan
bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Bahasa sastra sangat
konotatif, mengandung banyak arti tambahan, sehingga tidak hanya
bersifat referensial. Sebagai wujud penggunaan bahasa yang khas,
karya sastra hanya dapat dipahami dengan pengertian dan konsepsi
bahasa yang tepat (Teeuw, 1983:1).
Bahasa sastra memiliki beberapa ciri khas, yakni penuh
ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi

8 │ Pengkajian Sastra
berbeda artinya), memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan
tidak rasional seperti jender (jenis kata yang mengacu pada jenis
kelamin dalam tata bahasa), penuh dengan asosiasi, mengacu pada
ungkapan atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya atau konotatif
sifatnya (Wellek & Warren (1989:15). Selain itu, bahasa sastra bukan
sekedar referensial, yang mengacu pada satu hal tertentu, dia
mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap
pengarangnya, berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya
dapat mengubah sikap pembaca. Yang dipentingkan dalam bahasa
sastra adalah tanda, simbolisme kata-kata. Oleh karena itu, berbagai
teknik diciptakan seperti aliterasi dan pola suara, untuk menarik
perhatian pembaca.
Dalam novel pola suara kurang penting dibandingkan dengan
dalam puisi. Tingkat intelektualitas bahasa pun dalam karya sastra
berbeda-beda. Ada puisi filosofis dan didaktis, namun ada pula novel-
novel yang menyoroti masalah tertentu dengan menggunakan bahasa
emotif dan simbolis. Tegasnya, bahasa sastra berkaitan lebih
mendalam dengan struktur historis bahasa dan menekankan kesadaran
akan tanda, serta memiliki segi ekspresif dan pragmatis yang dihindari
sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah (lihat Wellek & Warren, 1989:16).
Bahasa sastra memiliki segi ekspresifnya yang membawa nada
dan sikap pengarangnya. Oleh karena itu, bahasa sastra tidak hanya
menyatakan apa yang dikatakan, melainkan juga ingin mempengaruhi
sikap pembaca, membujuknya dan akhirnya mengubahnya (Rachmat
Djoko Pradopo, 1997:39). Itulah sebabnya bahasa sastra berkaitan erat
dengan 'gaya bahasa', yang berfungsi untuk mencapai nilai estetik
karya sastra.
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra
yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam memperoleh
efek estetik dan penciptaan makna. Stilistika sering membawa muatan
makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan
emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral
(Sudjiman, 1995:15-16). Bahkan, Ratna (2007:231) menyatakan bahwa

Pengkajian Sastra │ 9
aspek-aspek keindahan sastra justru terkandung dalam pemanfaatan
gaya bahasanya. Oleh karena itu, gaya bahasa berperan penting dalam
menentukan nilai estetik karya sastra.
Menurut Pradopo (2004:8), sesuai dengan konvensi sastra, gaya
bahasa itu merupakan tanda yang menandai sesuatu. Bahan karya
sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama
(first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi
sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya, bagi Junus
(1989:187-188), adalah tanda yang mempunyai makna. Gaya bahasa
itu bukannya kosong tanpa makna. Junus (1989:192-195) berpendapat,
bahwa gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Ada ideologi
yang mungkin disampaikan penulis jika ia memilih atau menggunakan
gaya tertentu.
Menurut Buffon, gaya bahasa adalah orangnya sendiri, ekspresi
diri pengarang yang khas (dalam Hudson, 1972:34). Setiap sastrawan
memiliki keunikan, kekhasan dan kelebihan dalam gaya bahasanya.
Oleh karena itu, Sayuti (2000:173) menyatakan bahwa gaya bahasa
sastrawan satu tidak dapat dikatakan lebih baik daripada sastrawan
lainnya atau sebaliknya. Gaya bahasa Umar Kayam misalnya, tidak
dapat dikatakan lebih baik daripada Kuntowijoyo atau sebaliknya. Tidak
ada kamus lebih baik atau lebih jelek dalam hal gaya (bahasa). Hal ini
dapat dipahami mengingat gaya bahasa merupakan keistimewaan
(idiosyncracy) pengarang yang merupakan suara-suara pribadinya yang
terekam dalam karyanya.
Dalam karya sastra, stilistika dipakai pengarang sebagai sarana
retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi dan memanfaatkan
potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang
berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Sarana
retorika itu bermacam-macam dan setiap sastrawan memiliki
kekhususan dalam menggunakannya pada karyanya. Corak sarana
retorika tiap karya sastra sesuai dengan gaya bersastra, aliran, ideologi
serta konsepsi estetik pengarangnya. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa sarana retorika angkatan 45 berbeda dengan

10 │ Pengkajian Sastra
Angkatan 66, dan seterusnya (Pradopo, 2000:94). Demikian pula sarana
retorika Tohari berbeda dengan Kuntowijoyo, tidak sama pula dengan
Mangunwijaya, dan seterusnya.
Makna karya sastra tidak dapat terlepas dari pemakaian gaya
bahasa di dalamnya (Pradopo, 1994:46). Oleh karena itu, stilistika,
studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya
sastra (Junus, 1989: xvii), merupakan bagian penting bagi ilmu sastra
sekaligus penting bagi studi linguistik (bandingkan Endraswara,
2003:75). Dalam analisis sastra, stilistika dapat membantu pembaca
dalam memahami aspek estetik dan pemaknaan sastra.
Kajian stilistika sebagai linguistik terapan terhadap karya sastra
ikut memberikan kontribusi bagi analisis sastra untuk membantu
memahami ekspresi karya sastra yang berupa pemanfaatan dan
pengolahan potensi bahasa itu yang tidak lepas dari pengolahan
gagasan (Aminuddin, 1995:6; Sudjiman, 1995:2). Jadi, tugas penelaah
sastralah untuk menguasai kode suatu pernyataan bahasa dan
menjelaskan maksud karya sastra dengan bahasa yang lazim. Ia harus
memahami seluk-beluk bahasa medium karya sastra dengan sasaran
utama untuk mengungkapkan makna yang dikodekan itu (Widdowson,
1979:5).
Kajian stilistika karya sastra dengan mengaitkan latar
sosiohistoris dan ideologi pengarang serta fungsinya bagi pemaknaan
sastra secara memadai, selama ini relatif belum banyak. Selama ini
pengkajian stilistika karya sastra mayoritas memfokuskan kajiannya
pada analisis linguistik. Adapun pengkajian karya sastra pada umumnya
memfokuskan pada pendeskripsian struktur dan maknanya. Penulis
sastra yang memfokuskan kajiannya pada stilistika masih terbatas (lihat
Pradopo, 1994:46; Endraswara, 2003:2).
Beberapa kajian stilistika karya sastra Indonesia atau daerah
selama ini kebanyakan masih bersifat umum, belum spesifik
memfokuskan kajiannya pada stilistika. Artinya, kajian stilistika itu
diselipkan sebagai salah satu pembahasan unsur karya sastra dari
sekian unsur yang lain. Ada pula beberapa kajian stilistika karya sastra

Pengkajian Sastra │ 11
tetapi baru memfokuskan pada stilistika sebagai pendekatan,
sedangkan yang menjadikannya sebagai objek kajian baru sedikit.
Kajian stilistika karya sastra yang ada, tekanannya cenderung lebih
pada kajian linguistik, sedangkan segi maknanya jarang dilakukan.
Kajian stilistika karya sastra meliputi bentuk pemaparan gagasan,
peristiwa, atau suasana tertentu pada karya sastra dengan mengkaji
potensi-potensi bahasa yang dieksploitasi dan dimanipulasikan
pengarang untuk tujuan estetis. Jadi, stilistika karya sastra merupakan
bagian dari kreativitas pengarang sebagai wujud ekspresinya dalam
mengungkapkan gagasannya. Stilistika karya sastra sekaligus
menunjukkan pribadi pengarang dalam karyanya.
Kajian stilistika karya sastra dengan mengaitkan fungsinya bagi
pemaknaan karya sastra perlu dikembangkan. Selain bermanfaat bagi
kritik sastra, hasil kajian stilistika tersebut dapat memberikan
sumbangan bermakna bagi kajian linguistik khususnya kajian linguistik
pada karya sastra. Dalam hal ini, kajian stilistika karya sastra akan
menerapkan prinsip-prinsip linguistik dalam memerikan berbagai
fenomena kebahasaan dalam karya sastra sebagai sarana ekspresi
sastrawan dalam mengungkapkan gagasannya. Dengan demikian kajian
stilistika karya sastra tidak hanya berhenti pada pemerian fenomena
kebahasaan saja melainkan sampai pada pemaknaan sastra yang
menjadi esensi sastra. Oleh karena itu, kajian stilistika ini akan
memfokuskan pada stilistika trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari dengan pendekatan kritik holistik.

D. Peran Sastra sebagai Media Pembangunan Karakter Bangsa


Karya sastra merupakan salah satu alternatif dalam rangka
pembangunan kepribadian dan budaya masyarakat (character and
cultural engeneering) yang berkaitan erat dengan latar belakang
struktural sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 1987:17). Dalam istilah
yang lebih umum, sastra merupakan karya seni yang dapat berperan
sebagai media untuk pembangunan karakter bangsa (character

12 │ Pengkajian Sastra
engeneering and nation building). Kemampuan untuk memupuk dan
mengembangkan rasa empati, toleransi, dan membuat penilaian etis,
yang dapat diperoleh melalui studi tentang sastra dan Ilmu-ilmu
Humaniora lainnya, merupakan modal utama yang sama sekali tidak
dapat diabaikan dalam pembangunan bangsa.
Dalam kehidupan masyarakat global yang serba dalam
ketidakpastian dan masa depan yang tidak teramalkan (unpredictable),
kita harus dapat menghadapinya dengan bijak, tanpa kehilangan arah
atau bahkan menjadi terasing, tanpa kehilangan rasa sopan santun
kita, identitas kepribadian kita, rasionalitas kita, dan sumber-sumber
isnpirasi kita yang selama ini kita pandang luhur bahkan adiluhung.
Dalam konteks inilah sastra dan bidang ilmu Humaniora lainnya
memberikan kontribusinya membantu kita dalam pengembangan dan
penyusunan kerangka moral imajinatif untuk tindakan kita (Al-Ma’ruf,
1995:7).
Mengkaji karya sastra akan membantu kita menangkap makna
yang terkandung di dalam pengalaman-pengalaman pengarang yang
disampaikan melalui para tokoh imajinatifnya, dan memberikan cara-
cara memahami segenap jenis kegiatan sosial kemasyarakatan, serta
maksud yang terkandung di dalam kegiatan-kegiatan tersebut, baik
kegiatan masyarakat kita sendiri maupun masyarakat lainnya.
Guna memahami sifat-sifat dan kompetensi manusia diperlukan
suatu cara berpikir yang lebih jauh jangkauannya ketimbang yang
dimungkinkan oleh metode-metode eksperimental dan analitis yang
lazim digunakan dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan ilmu sosial.
Kebutuhan manusia, ambisi, aspirasi, frustrasi manusia, dan sejenisnya
merupakan realitas yang tak terpahami melalui observasi-observasi
empiris semata-mata. Hal itu merupakan realitas yang tak dapat
disederhanakan, direduksikan mejjadi persamaan-persamaan tanpa
kehilangan maknanya. Semua itu hanya dapat dicapai melalui upaya
yang berupa proyeksi imajinatif, suatu kemampuan yang hanya dapat
diraih antara lain melalui kajian karya sastra.

Pengkajian Sastra │ 13
Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa sastra memiliki
fungsi yang penting bagi kehidupan. Ketika membaca karya sastra baik
hikayat, cerpen, novel, drama, maupun puisi, secara otomatis pembaca
akan menerobos lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita.
Karya-karya fiksi dan puisi yang diagungkan sebagai karya sastra
(literer) adalah karya-karya yang berhasil membangunkan manusia atas
rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Karya sastra
mampu membuat pembaca memahami segenap perjuangan tokoh-
tokohnya, menghayati kehidupan tokoh-tokohnya, turut gembira
dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan
kemalangan yang dialaminya. Kita dapat mengenali diri kita sendiri
pada tokoh-tokoh dalam karya sastra yang kita baca. Dalam proses
penghayatan itu dunia kita diperluas, menembus batas-batas duniawi
yang ada di sekitar kita.
Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita ke
dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya
persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Hal ini merupakan
awal dari kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi.
Sejalan dengan itu, karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai alat
untuk meningkatkan kepekaan pembaca sebagai pengkaji terhadap
nilai-nilai kehidupan dan kearifan dalam menghadapi lingkungan,
realitas kehidupan, dan sikap pendewasaan. Melalui sastra sastra yang
dapat dilakukan pula dalam pembelajaran sastra, diharapkan pembaca
dalam hal ini siswa, tumbuh menjadi manusia dewasa yang berbudaya,
mandiri, sanggup mengekspresikan diri dengan pikiran dan
perasaannya dengan baik, berwawasan luas, kritis, berkarakter, halus
budi pekerti, dan santun.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang
berkepanjangan. Korupsi meraja lela dari hilir hingga hulu,
ketidakadilan hukum bukan rahasia umum, akhlak masyarakat kini
mengalami kemerosotsan luar biasa, anarkisme meluas di berbagai
kalangan. Oleh karena itu, dalam dekade terakhir ini masalah karakter
bangsa menjadi keprihatinan banyak pihak terutama para pendidik,

14 │ Pengkajian Sastra
ulama, tokoh masyarakat, dan pemimpin bangsa. Dalam konteks
pembangunan karakter bangsa itulah, karya sastra dapat menjadi
alternatif solusi.
Jika ditengok ke belakang, dapat dikatakan bahwa ada yang salah
(some thing wrong) atau kurang tepat dengan pendidikan di Indonesia
sehingga sebagian anak bangsa menjadi orang yang anarkis,
akhlak/moralitasnya merosot tajam dengan berbagai perbuatan amoral
dan kriminal, kurang toleran dalam menghadapi perbedaan, dan korup.
Selain pengajaran agama, salah satu pelajaran yang mengajarkan budi
pekerti atau akhlak adalah sastra. Membaca sastra berarti mengenal
berbagai karakter yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas
kehidupan. Dengan demikian, pembaca akan memahami motif yang
dilakukan setiap karakter baik tokoh protagonis maupun tokoh
antagonis sehingga pembaca dapat memahami alasan pelaku dalam
setiap perbuatannya.
"Sastra juga mengajarkan karakter tanpa harus menggurui lewat
cerita-cerita (fiksi), puisi, dan lakon (drama) yang dapat membangun
karakter bangsa. Masyarakat saat ini membutuhkan `role model` yang
kuat," kata Yudi Latif, saat peluncuran bukunya Menyemai Karakter
Bangsa. Pernyataan ini mengiringi gugatan para pakar tentang peran
pendidikan yang mengabaikan sastra dalam membangun karakter
bangsa; bahwa posisi dan porsi sastra sangat kecil di bidang pendidikan
bahasa. Keprihatinannya terhadap pudarnya karakter bangsa dapat
dipengaruhi oleh dua bahasa yang mendominasi persada Indonesia
akhir-akhir ini, yaitu bahasa politik yang berorientasi pada siapa
pemenang (winner-oriented) dan bahasa ekonomi yang berorientasi
pada keuntungan (benefit-oriented). Kapan bahasa sastra dengan fokus
etika atau moral akan dibahas?
Seperti kritik yang dilontarkan oleh Rushord Kidder (pakar etika)
bahwa suatu negara dapat saja kehilangan politikus atau ekonom dan
akan digantikan oleh negarawan lainnya. Namun, bila negara sudah
kehilangan karakter berbangsa dan bernegara, akan punahlah bangsa
itu. Negarawan ataupun penyelenggara kehidupan bernegara dan

Pengkajian Sastra │ 15
berbangsa harus menjadi teladan bagi masyarakat. Mereka harus dapat
menjadi anutan. Lebih jauh ia menegaskan tiga dimensi yang
mempengaruhi pembentukan karakter bangsa, yaitu kesadaran
perbedaan sebagai suatu bangsa, ketegaran, dan moral bangsa.
Sejak tahun 1971, pakar sastra Barat, H.L.B. Moody sudah
menggambarkan sastra dalam posisi yang sangat memprihatinkan.
Padahal dengan posisi dan porsi yang sedemikian kecilnya dalam
pembelajaran bahasa, para pakar sastra secara teoretis telah
mengemukakan pentingnya sastra dalam pendidikan karakter. Moody
(1979:16) menjelaskan bahwa telaah karya sastra pada dasarnya
memiliki banyak manfaat. Manfaat yang utama adalah: (1) membantu
pembaca sastra memiliki keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan
pengetahuan budaya, (3) mengembangkan daya cipta dan rasa, dan (4)
menunjang pembentukan watak. Dalam konteks ini, dengan membaca
dan menikmati karya sastra, seseorang akan memperoleh nilai-nilai
kehidupan yang dapat memperkaya khasanah batin dan memperluas
waasannya di samping memperoleh kesenangan dan kenikmatan.
Pentingnya kehadiran sastra dalam pembelajaran dijelaskan oleh
Rosenblatt (dalam Rudy, 2005:81) sebagai berikut.
1) Sastra mendorong kebutuhan atas imajinasi dalam demokrasi.
2) Sastra mengalihkan imajinasi dan perilaku, sikap, emosi, dan
ukuran nilai sosial serta pribadi.
3) Sastra menyajikan kemungkinan perbedaan pandangan hidup, pola
hubungan, dan filsafat.
4) Sastra membantu pemilihan imajinasi yang berbeda melalui
pengalaman mengkaji karya sastra.
5) Pengalaman sastra memungkinkan pembaca memandang
kepribadiannya sendiri dan masalah-masalahnya secara objektif
dan memecahkannya dengan lebih baik.
6) Sastra memberikan kenyataan kepada orang dewasa tentang
sistem nilai yang berbeda sehingga mereka terbebas dari rasa takut
bersalah dan tidak pasti.

16 │ Pengkajian Sastra
Sejalan dengan pandangan Rosenblatt di atas, aspek kecerdasan,
kebajikan, moral, dan kearifan dapat ditingkatkan melalui sastra.
Kecerdasan emosional peserta didik dapat diberdayakan dengan
mengaktifkan penafsiran terhadap karya sastra secara bebas, terbuka,
dan meronta-ronta. Bukan gaya (genre) sastra, siapa tokoh cerita atau
siapa pengarangnya yang penting melainkan gagasan-gagasan dan
nilai-nilai kehidupan di dalamkarya sastra. Dengan kata lain, sastra
mampu menjadi motor penggerak yang efektif untuk meningkatkan
aspek-aspek tersebut.
Manfaat pembelajaran sastra sudah banyak dikemukakan para
ahli sastra. Ironisnya, teori-teori yang membahas manfaat sastra belum
menyentuh tataran praktis. Untuk mencapai tataran praktis, teori-teori
tersebut harus dieksplorasi dan dianalisis ke arah terciptanya
pembelajaran sastra yang estetik, pembelajaran yang mengembangkan
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembelajaran sastra yang
dapat mengembangkan ketiga aspek penting tersebut telah diteliti dan
dikembangkan. Rudy (2001) menemukan bahwa apresiasi sastra
dengan mengaplikasikan strategi respons pembaca dapat meningkat-
kan kemampuan apresiasi sastra pembaca. Pada tahun 2005, Rudy
meneliti bahwa kemampuan menulis siswa SD dapat meningkat
dengan mengapresiasi karya sastra yang menggunakan respons
pembaca dan simbol visual. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
pembelajaran sastra dengan kolaborasi respons pembaca dan respons
simbol visual berkontribusi positif terhadap apresiasi sastra.
Talib (2010) turut memberikan penekanan mengenai hal itu
sebagai berikut. Dengan melihat pentingnya peran bahasa dan sastra
lokal dalam masyarakat, maka perlu dilakukan pelestarian sastra lokal
sedini mungkin. Dalam hal ini dengan mengaktifkan kembali kegiatan
pewarisan budaya lokal yang mempunyai makna luhur baik melalui
jalur keluarga, masyarakat maupun jalur pendidikan. Dengan cara
demikian, maka karya sastra akan memberikan kontribusi positif dalam
pembangunan karakter bangsa.

Pengkajian Sastra │ 17
Karakter sangat penting bagi bagi kemajuan dan keunggulan
suatu bangsa. Presiden Bambang Susilo Bambang Yudoyono (lihat
Kompas.com, 20 Mei 2012) dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional
bertema “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa”
menyatakan pentingnya pendidikan karakter. Ada dua penentu
kemajuan bangsa yaitu keunggulan pemikiran dan keunggulan
karakter. Melalui pendidikanlah kedua jenis keunggulan itu dapat
dibangun. Dengan demikian sasaran pendidikan bukan hanya
kepintaran dan kecerdasan melainkan juga moral dan budi pekerti,
watak, nilai dan kepribadian yang tangguh, unggul, dan mulia.
Karakter dapat diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau
budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, tabiat,
watak. Berkarakter berarti mempunyai karakter, mempunyai tabiat,
mempunyai kepribadian, mempunyai watak (KBBI, Pusat Bahasa
Depdikbud, 2008:623).
Scerenko (dalam Samani dan Hariyanto, 2012:42) mengartikan
karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan
membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompleksitas mental dari
seseorang, suatu kelompok atau bangsa. Menurut Sigmund Freud
(Buriswati, 2010), karakter merupakan .... a striving system which
underly behavior. Bagi Freud, karakter merupakan kumpulan tata nilai
yang terwujud dalam suatu sistem daya dorong (daya juang) yang
melandasi pemikiran (cognitive), sikap (attitude), dan perilaku
(psychomotor) secara mantap. Pada umumnya karakater merupakan
tata nilai yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan,
pengalaman, percobaan, pengurbanan, dan pengaruh lingkungan, serta
melandasi sikap dan perilaku.
Bagi Lickona (2013:72), karakter mengalami pertumbuhan yang
membuat suatu nilai menjadi budi pekerti, seluruh watak batin yang
dapat diandalkan dan digunakan untuk merespon berbagai situasi
dengan cara yang bermoral. Lebih lanjut Lickona menyatakan bahwa
karakter terbentuk oleh tiga bagian yang saling berkaitan yaitu
pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang

18 │ Pengkajian Sastra
baik terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan
melakukan kebaikan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan.
Ketiganya penting sebagai pembentuk kematangan moral, juga penting
untuk menjalani hidup bemoral, dan ketiga tidak terpisahkan bahkan
saling mempengaruhi.
Menurut Ditjen Mandikdasmen Kemendiknas (2010), karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung-
jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Merujuk berbagai definisi karakter tersebut, karakter dapat
dimaknai sebagai nilai dasar positif yang dimiliki seseorang, yang
membedakannya dengan orang lain dan diwujudkan dalam perilakunya
sehari-hari.
Megawangi (dalam Indrawati, 2010) menyebutkan sembilan pilar
karakter yang mengandung nilai-nilai luhur universal yaitu: 1) cinta
tuhan dan alam semesta beserta isinya, 2) tanggung jawab,
kedisiplinan, dan kemandirian, 3) kejujuran, 4) hormat dan sopan
santun, 5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri,
kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan
kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta damai,
dan persatuan.
Menurut Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud (2010:9-
10), terdapat delapan belas aspek pembentuk karakter yang
merupakan substansi pendidikan karakter di Indonesia yaitu: (1)
religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7)
mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan,
(11), cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/
komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Nilai-nilai inilah
yang harus dikembangkan dalam diri siswa melalui apresiasi karya
sastra. Mereka akan memotret tokoh-tokoh cerita dengan karakter/

Pengkajian Sastra │ 19
perwatakannya untuk mengeksplorasi kemungkinan ditemukannya
pilar-pilar karakter bangsa yang tersembunyi di balik sikap, tindakan
atau perilaku tokoh cerita.
Selama ini apresiasi karya sastra hanya diberikan kepada siswa di
seluruh jenjang pendidikan –dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, hingga Sekolah Menengah Atas dan yang sederajat-- dengan
pendekatan struktural dan mahasiswa program studi sastra atau
pendidikan bahasa dan sastra FKIP di perguruan tinggi. Gejolak dan
berbagai fenomena yang terjadi di kalangan pelajar menyudutkan
dunia pendidikan yang dianggap gagal mengantarkan peserta didik
menjadi manusia yang berkarakter atau bahkan mengalami defisit
karakter. Saat ini percarian terhadap model pembelajaran yang mampu
mengembangkan kepribadian dan membangun karakter serta
menajamkan afeksi siswa sedang digalakkan. Seluruh elemen bangsa
berupaya di bidangnya masing-masing menemukan cara yang efektif
menghasilkan sumber daya manusia yang bermental dan bermoral
baik.
Beach dan Marshall (1991:28) mengajukan strategi respons
pembaca terdiri atas tujuh strategi sebagai berikut.
(1) Menyertakan (engaging)
Pembaca selalu berusaha mengikutsertakan perasaannya
terhadap karya sastra yang dibacanya. Pembaca meleburkan diri ke
dalam teks, membayangkan apa yang terjadi dan merasakan apa yang
dirasakan oleh tokoh cerita. Purves dkk. (1990) menambahkan definisi
di atas bahwa ketika membaca karya sastra pembaca tidak hanya
menyertakan perasaan tetapi menyertakan pikiran dan imajinasi juga.
Hal itu terlihat dalam pernyataannya, “Literature and the arts exist in
the curriculum as a means for students to learn to express their
emotions, their thought, and their imaginations.”
Menurut Kimtafsirah (2003:6) pembaca yang sedang “engaged”
dengan teks, meleburkan diri dengan teks atau meminjam istilah
Rosenblatt sedang menerapkan aesthetic reading. Dalam aesthetic

20 │ Pengkajian Sastra
reading, pembaca seolah-olah masuk ke dalam teks dan hidup di sana
agar dapat memahami tingkah laku para tokoh cerita. Dengan
demikian, pembaca dapat merespons secara emosional dengan mudah
terhadap karya sastra sehingga pemahaman maknanya tercapai.
(2) Merinci (describing)
Pembaca merinci atau menjelaskan kembali informasi yang
tertera di dalam teks. Pembaca merinci tokoh-tokoh cerita, penokohan,
latar cerita, dan alur cerita. Artinya, pembaca menceritakan kembali
cerita yang telah dibacanya dan merinci peristiwa-peristiwa yang
dianggap penting untuk dipahami. Ketika membaca sebuah teks sastra,
akan ditemukan hal-hal yang berbeda dalam teks yang sama.
Mahasiswa menceritakan bagian-bagian yang menarik perhatian
mereka, setidaknya dalam tiga kalimat. Sebelumnya, mereka dapat
merinci semua unsur pembangun karya sastra secara struktural seperti:
tokoh dan penokohannya, latar, dan alur cerita.
Penerapan respons ini dapat memfasilitasi peserta didik dalam
mencapai kejujuran, kasih sayang, dan kepedulian. Setelah membaca
Malin Kundang, pertanyaan pertama diajukan kepada mereka. Malin
Kundang sebagai tokoh yang durhaka dalam cerita itu menuai kritik
yang tajam dari hasil apresiasi. Peserta didik tidak akan menyukai
tindakan dan perilaku sang tokoh. Mereka belajar jujur, kasih sayang,
dan peduli setelah mengapresiasi dan mengeksplorasi cerita tersebut.
(3) Memahami (conceiving)
Pembaca memahami tokoh, latar cerita, dan bahasa yang
digunakan dalam sebuah cerita dan memaknainya. Dalam kegiatan ini,
mahasiswa memahami para tokoh cerita dengan menerapkan
pengetahuan mereka tentang tingkah laku sosial dalam masyarakat
dan latar belakang budaya. Pemahaman terhadap tokoh cerita tersebut
didukung pula oleh pendapat Kimtafsirah (2003:7) bahwa pengetahuan
tentang teks tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman social
behaviour dan cultural background yang direfleksikan dari teks. Sebagai
contoh, ketika siswa membaca cerita dengan adat istiadat dan latar

Pengkajian Sastra │ 21
budaya yang berbeda dengan mereka, mereka dapat memahami
tingkah laku tokoh cerita tersebut bukan berasal dari budaya mereka.
(4) Menerangkan (explaining)
Siswa mencoba menjelaskan sebaik mungkin mengapa tokoh
cerita melakukan melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu.
(5) Menghubungkan (connecting)
Siswa menghubungkan pengalaman mereka dengan apa yang
terjadi pada tokoh cerita. Kegiatan lain dalam strategi ini adalah
menghubungkan cerita dengan cerita lain atau film yang pernah dibaca
atau ditonton. Misalnya, setelah membaca trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, siswa dapat membandingkannya
dengan cerpen Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam yang sama-
sama memiliki latar cerita peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI)
tahun 1965.
Demikian pula guru perlu menanyakan kepada para siswa,
apakah ada yang pernah membaca kisah yang serupa, atau menonton
film atau sinetron dengan persoalan dasar serupa dengan karya sastra
yang sedang dibahas misalnya cerpen ”Datangnya dan Perginya” dan
novel Kemarau karya A.A. Navis. Dengan segala sesuatu yang
digunakan sebagai media pembelajaran, guru dapat menolong siswa
menghubungkan apa yang mereka baca pada kedua karya A.A. Navis
tersebut dengan dunia mereka dan kehidupan sosial di sekitar mereka.
(6) Menafsirkan (interpretating)
Siswa menggunakan reaksi, konsepsi, dan koneksi yang mereka
bentuk untuk mengartikulasikan tema. Kegiatan interpretating
melibatkan penentuan makna-makna simbolik, tema, atau peristiwa
spesifik dari suatu teks. Dalam membuat penafsiran, biasanya yang
didiskusikan adalah apa yang teks “ungkapkan”. Interpretasi
melibatkan generalisasi, pernyataan yang dibuat bukan pernyataan
yang ada di dalam teks melainkan terimplisit di dalam teks.

22 │ Pengkajian Sastra
(7) Menilai (judging)
Siswa memberikan pendapatnya tentang teks cerita, penulis
cerita atau alur cerita. Ketujuh respons pembaca tersebut mengandung
unsur-unsur yang dapat menajamkan kognisi (merinci, menerangkan,
memahami, dan menafsirkan) dan afeksi (menyertakan, menghubung-
kan, dan menilai).
Untuk lebih mengarah pada pembentukan karakter siswa, teori
respons pembaca ini dikolaborasikan dengan respons simbol visual,
teori psikosastra, dan pilar karakter bangsa. Respons simbol visual
terdiri atas: (1) dimensi grafik: sosiogram, peta cerita, grafik, diagram,
dan kartun; (2) dimensi ilustrasi: poster, gambar, foto, kolasi;
(3) dimensi film/video: naskah cerita, animasi, efek khusus, dan film;
(4) dimensi seni pertunjukan: tablo, menari, pantomim, dan musik
(Purves dkk., 1990).
Sementara itu, teori psikosastra yang dikemukakan oleh
Strickland (dalam Tarigan, 1995:39) berupa operasi dasar yang terdiri
atas mengamati, membandingkan, mengklasifikasikan, menghipotesis,
merangkum, menerapkan, mengorganisasikan, dan mengritik. Adapun
pilar karakter bangsa terdiri atas sembilan pilar seperti dikemukakan
oleh Megawangi (2004) di atas.
Dengan demikian, makin jelaslah bahwa karya sastra jika dibaca,
ditelaah, dan diapresiasi, akan dapat memberikan kontribusi penting
dalam upaya pembangunan karakater bangsa yang pada dua dekade
terakhir ini menjadi kegelisahan dan keprihatinan masyarakat terutama
di kalangan petinggi negara, para agamawan, budayawan, pendidik,
tokoh masyarakat dan pengamat pendidikan.

Pengkajian Sastra │ 23
24 │ Pengkajian Sastra
BAB II APRESIASI
SASTRA

A. Definisi Apresiasi Sastra


Sampai sekarang pengertian apresiasi sastra masih sering kacau
dan rumpang (overlapping) dengan pengertian kritik sastra dan
pengkajian sastra. Namun demikian, para pakar sastra belum juga
memberikan batas-batas perbedaan pengertian antara apresiasi sastra,
kritik sastra, dan pengkajian sastra secara jelas dan tegas sehingga
kekacauan, kerumpangan, dan atau kekaburan pengertian terus
berlangsung hingga saat ini.
Pengertian apresiasi sastra yang ada hingga sekarang sangat
beraneka ragam. Keanekaragaman ini disebabkan oleh beberapa hal
(Saryono, 2009:31). Pertama, apresiasi sastra memang merupakan
fenomena yang unik dan rumit. Kedua, terjadinya perubahan dan
perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra. Dari waktu ke waktu
dan orang satu ke orang lain pemikiran tentang apresiasi sastra selalu
berubah dan berkembang sehingga tak pernah ada satu pengertian
apresiasi sastra yang berwibawa dan diikuti oleh banyak kalangan.
Ketiga, adanya perbedaan penyikapan dan pendekatan terhadap
hakikat apresiasi sastra. Hal ini mengakibatkan munculnya beraneka
ragam pengertian apresiasi sastra. Keempat, adanya perbedaan
kepentingan di antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal ini
menyebabkan mereka merumuskan pengertian apresiasi sastra
menurut kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan dan
mengindahkan hakikat apresiasi sastra secara utuh dan lengkap.
Menurut Hornby (dalam Sayuti, 2000:2), secara leksikal istilah
apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan
pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan, yang
memberikan penilaian. Istilah apresiasi dapat dimaknai dengan
pernyataan seseorang yang secara sadar merasa tertarik dan senang

Pengkajian Sastra │ 25
kepada sesuatu, serta mampu menghargai dan memandang hal yang
dipilihnya itu mengandung nilai-nilai yang bermanfaat dalam
kehidupannya.
Sayuti (2000:4) menyatakan bahwa apabila sastra dipandang
sebagai penjelmaan pengalaman sastrawan ke dalam medium bahasa
sehingga membentuk struktur yang rumit, apresiasi sastra dapat
diartikan sebagai kegiatan mengenali, memahami, dan menikmati
pengalaman dan bahasa yang menjadi jelmaan pengalaman tersebut,
serta hubungan antara keduanya dalam stuktur keseluruhan yang
terbentuk. Oemarjati (2005:3) menjelaskan, bahwa apresiasi berarti
merespon dengan kemampuan afektif, memahami nilai-nilai, sekaligus
berupaya memetakan pola dan tata nilai yang diperoleh dari karya
sastra yang diapresiasi ke dalam proporsi yang sesuai dengan konteks
persoalannya.
Menurut Panuti Sudjiman (1988:9) apresiasi sastra yaitu peng-
hargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan atas pemahaman.
Apresiasi sastra adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil
seni atau budaya (Suparman Natawidaja, 1981:1). Adapun menurut
Tarigan (1984:233), apresiasi sastra adalah penaksiran kualitas karya
sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan
pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis.
Sejalan dengan itu, Effendi (1973:7) menyatakan bahwa apresiasi
sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh
hingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Lebih lanjut Panuti
Sudjiman (1988:9) berpendapat bahwa apresiasi sastra adalah peng-
hargaan (terhadap karya sastra) yang didasarkan atas pemahaman.
Menurut Zakaria (1981:6), apresiasi sastra ialah kegiatan memahami
cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga menimbulkan pengertian
dan penghargaan yang baik terhadapnya.
Berdasarkan berbagai pendapat para pakar sastra di atas, dapat
dinyatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan membaca karya
sastra disertai dengan penghayatan yang sungguh-sungguh hingga

26 │ Pengkajian Sastra
menimbulkan penghargaan yang baik terhadapnya dan menimbulkan
pemahaman terhadap nilai-nilai berupa pesan-pesan moral yang
terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini adalah kepekaan
perasaan dan kepedulian akan nilai-nilai kehidupan terutama
kemanusiaan sehingga memiliki bukan saja simpati melainkan empati
dan toleransi terhadap sesama manusia.
Dengan demikian, kegiatan apresiasi sastra bukan sekedar
aktivitas membaca, menikmati, menghayati, menggemari, dan meng-
hargai karya sastra. Tahap akhir yang sangat penting dalam sebuah
aktivitas apresiasi sastra adalah pemahaman karya sastra sehingga
nilai-nilai atau pesan-pesan moral karya sastra yang diapresiasinya
dapat dihayati dan ditangkap oleh pembaca. Pemahaman terhadap
nilai-nilai atau pesan-pesan moral dalam karya sastra itulah yang
membawa pembaca pada penikmatan, penghayatan, dan penghargaan
atas karya sastra.
Pada gilirannya akan timbul pada diri pembaca rasa senang
bahkan cinta terhadap karya sastra. Oleh karena itu, pendek kata
apresiasi sastra merupakan kegiatan untuk membuat pembaca atau
penikmat sastra menjadi ”jatuh cinta” kepada karya sastra.”Cinta
terhadap sastra” itu akan mendorong pembaca sastra mau ”bersusah-
payah” untuk membaca berbagai karya sastra karena baginya kegiatan
membaca sastra merupakan kegiatan ”bercinta dengan sastra” yang
mendatangkan perasaan bahagia. Dengan mengapresiasi sastra dia
akan menemukan berbagai nilai kehidupan yang bermanfaat untuk
memperkaya khasanah batinnya yang tidak ditemukannya dalam karya
lain.
Nilai-nilai kehidupan atau pesan-pesan moral karya sastra,
tepatnya gagasan-gagasan yang disampaikan oleh sastrawan dalam
karya sastra beraneka ragam. Nilai-nilai atau pesan-pesan moral itu
bersifat universal meliputi antara lain gagasan yang berkaitan dengan
fenomena dan masalah kemanusiaan, budaya, tradisi, sosial, politik,
ekonomi, kejiwaan (psikologis), keagamaan (termasuk religiusitas dan
sufistik), ideologis, filsafat, dan gender atau keperempuanan. Bahkan,

Pengkajian Sastra │ 27
nilai-nilai kearifan lokal (local genius) budaya Nusantara yang
memperkaya kebudayaan nasional dan tidak kalah pentingnya dengan
kebudayaan global, sering terdapat dalam karya sastra.
Pemahaman terhadap berbagai nilai dan gagasan dalam karya
sastra itu akan memperkaya hasanah batin pembaca, memperluas
wawasan dan pemikiran pembaca. Kegiatan apresiasi sastra yang
berujung pada pemahaman nilai-nilai karya sastra setelah mengalami
proses penikmatan, penghayatan, pengindahan, dan penghargaan,
itulah agaknya yang dimaksud dengan didactic heresy, menghibur
sekaligus mengajarkan sesuatu menurut Edgar Allan Poe atau dulce &
utile, menghibur & berguna dalam pandangan Horace.
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa kegiatan apresiasi
sastra yang berpuncak pada pemahaman nilai-nilai atau pesan-pesan
moral tersebut memberikan kontribusi penting bagi pembangunan
bangsa terutama dalam hal ini adalah pembangunan moral dan
kepribadian bangsa (moral engineering and nation building).
Menurut Bloom (1970:24), apresiasi berkaitan dengan perasaan,
feeling, nada, emosi, serta variasi penerimaan dan penolakan terhadap
sesuatu. Sementara itu menurut Gagne (1979:49-56), apresiasi
berkaitan dengan nilai-nilai toleransi, sikap mencintai, dan rasa
tanggung jawab dari seseorang terhadap sesuatu. Berkaitan dengan
masalah apresiasi, Bloom (1970:24), menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kegiatan apresiasi itu meliputi hal-hal sebagai
berikut.
(1) pemberian perhatian yang terkontrol;
(2) rersetujuan untuk memberikan respons;
(3) keputusan untuk memberikan respons;
(4) kemauan untuk memberikan respons;
(5) menerima nilai;
(6) memilih nilai.

28 │ Pengkajian Sastra
Apresiasi sastra dilakukan untuk mengetahui tingkat pema-
haman, penghayatan, penikmatan, dan penghargaan siswa terhadap
karya sastra.

B. Pokok Persoalan Apresiasi Sastra


Sastra menjadi pokok persoalan (subject matter) berbagai
kegiatan yang bersangkutan dengan sastra. Sastra bahkan ber-
sangkutan juga dengan kegiatan di luar sastra seperti ilmu sejarah,
sosiologi, antropologi, dan keagamaan sering menjadikan sastra
sebagai pokok persoalan. Sebagai contoh, ketika hendak melihat
perubahan-perubahan yang terdapat dalam pribadi-pribadi masyarakat
Jawa, Niels Mulder menganalisis beberapa novel Indonesia yang kuat
warna kejawaannya. Hal ini dapat disimak dalam bukunya Pribadi dan
Masyarakat di Jawa terbitan penerbit Sinar Harapan. Sementara itu,
kritik sastra, pengkajian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan
lain-lain yang bersangkutan dengan sastra juga menjadikan sastra
sebagai pokok persoalan. Demikian juga apresiasi sastra menjadikan
sastra sebagai pokok persoalan.
Meskipun disiplin-disiplin atau bidang-bidang tersebut sama-
sama menjadikan sastra sebagai pokok persoalan, apakah masing-
masing tidak berbeda dalam memperlakukan keberadaan sastra? Ilmu
sejarah, sosiologi, antropolgi, dan ilmu keagamaan (sosiologi agama,
misalnya) pada umumnya memperlakukan sastra sebagai artefak;
sebagai segugusan fakta yang membentuk suatu mozaik utuh. Ilmu
sejarah memperlakukan sastra sebagai segugusan fakta sejarah atau
mengandung gugusan fakta sejarah. Babad Tanah Jawi, Kalatidha
(Ranggawarsita), dan Max Havelaar (Multatuli) diperlakukan sebagai
fakta sejarah.
Sosiologi memperlakukan sastra sebagai gugusan-gugusan fakta
sosial atau mengandung gugusan fakta sosial. Bekisar Merah (Ahmad
Tohari), Hujan Panas dan Kabut Musim (AA Navis) dianalisis fakta-fakta
sosial yang terdapat di dalamnya. Antropologi memperlakukan sastra

Pengkajian Sastra │ 29
sebagai gugusan fakta budaya atau mengandung gugusan fakta
budaya. Bako (Darman Munir), Celurit Emas (Zawawi Imron), dan
Canting (Arswendo Atmowiloto) dianalisis dari segi nilai-nilai budaya
yang terdapat di dalamnya dan nilai-nilai itu diperlakukan mirip atau
identik dengan nilai-nilai dalam kehidupan empiris. Ilmu keagamaan
memperlakukan sastra sebagai mengandung gugusan fakta ke-
agamaan. Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis diperlaku-
kan sebagai karya yang mengandung fakta-fakta keagamaan.
Kritik sastra, pengkajian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra,
dan lain-lain pada umumnya juga memberlakukan sastra sebagai
artefak. Kritik sastra sering memperlakukan karya sastra sebagai
barang mati yang perlu dibedah dan disayat-sayat, terdiri atas struktur
formal yang dapat dihakimi, dan sebagai objek yang harus dihalangi
oleh jarak. Demikian juga pengkajian sastra.
Sementara sosiologi sastra memperlakukan sastra sebagai karya
yang mengandung fakta-fakta sosial atau merupakan fakta sosial itu
sendiri. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan
Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari jika dianalisis akan menampilkan
ronggeng Srintil sebagai tokoh utama yang ada dalam kehidupan
sehari-hari. Psikologi sastra memperlakukan sastra sebagai mengan-
dung fakta-fakta psikologis yang bertautan dengan pengarang dan
pembaca sehingga dianalisis dengan pelbagai teori psikologi, misalnya
psikologi analitis Jung, psikoanalisis Freud, psikologi Gestalt, dan
psikologi dalam lainnya. Perilaku tokoh-tokoh dalam novel Pol (Putu
Wijaya), dan Merahnya Merah dan Ziarah (Iwan Simatupang),
misalnya, dianalisis dengan pelbagai teori psikologi. Hasilnya sudah
tentu sejumlah deskripsi psikologis tokoh-tokoh dalam novel-novel
tersebut.
Apresiasi sastra memperlakukan sastra sebagai universe, sebuah
world of discourse; sebuah dunia-kewacanaan yang memiliki kehidupan
tersendiri, bukan artefak, barang mati yang siap disayat-sayat. Sejalan
dengan dalil kenyataan eksistensial bahwa ada-sebagai-manusia selalu
merupakan ada-bersama (rumusan Heidegger:Mensch-Sein ist Mit-

30 │ Pengkajian Sastra
Sein) sehingga dunia-manusia harus dipahami sebagai dunia-bersama,
maka dunia kewacanaan (sastra) dapat juga dipahami sebagai dunia-
bersama. Dalam pemahaman seperti ini dunia kewacanaan (sastra)
sesungguhnya merupakan presensi dan representasi dunia manusia;
merupakan penjabaran dan manifestasi dunia manusia juga.
Dunia kewacanaan sebagai dunia-manusia memiliki kehidupan
tersendiri (yang berbeda dengan dunia-manusia secara objektif dan
empirik). Ia mempunyai kemampuan dan daya untuk merengkuh,
memikat, merangsang, menyeret, dan mengajak manusia masuk ke
dalamnya, bertamasya ke dalam kehidupannya. Ia mampu menjadi
tempat terselenggaranya percakapan-percakapan manusia dengan
citra dirinya (self-image). Bahkan ia selalu menyediakan dirinya untuk
berdialog dengan manusia sehingga manusia dapat menghayati
subjektivitasnya.
Dunia-kewacanaan Doktor Zhivago (Boris Pasternak), misalnya,
mempunyai kehidupan tersendiri yang mampu dan berdaya merangkul,
merengkuh, memikat, menyeret, dan mengajak manusia ke dalamnya,
bertamasya menuruni lurah dan mendaki bukit yang terdapat di dalamnya
sehingga manusia yang bersangkutan memperoleh sesuatu yang penuh
makna (meaningfull) dalam kehidupan empirik sehari-harinya. Bahkan
dunia-kewacanaan Doktor Zhivago itu dapat menjadi tempat
terselenggaranya percakapan manusia-pembacanya (misalnya, Laila
Kinanti) dengan citra-dirinya (baca: citra diri Laila Kinanti).
Sastra sebagai universe, dunia-kewacanaan, yang mampu dan
berdaya merangkul, merengkuh, memikat, menyeret, dan mengajak
manusia-pembacanya masuk ke dalamnya itulah yang menjadi pokok
persoalan apresiasi sastra. Dalam hubungan ini “segala hal” di dalam
sastra (struktur, tekstur, estetika, nilai-nilai, bahasa, dan sebagainya)
yang dapat menggugah, merangkul, merengkuh, memikat, menyeret,
dan mengajak manusia-pembacanya menjadi pokok persoalan
apresiasi sastra.
Dengan demikian, “segala hal” di dalam sastra yang tidak mampu
dan tidak berdaya tersebut tidak menjadi pokok persoalan sastra;

Pengkajian Sastra │ 31
mungkin menjadi pokok persoalan kritik sastra. Dikatakan demikian
sebab dalam kritik sastra dan pengkajian sastra tidak diperlukan
adanya dan terjadinya dialog atau percakapan sebagai prasyarat
berlangsung-nya proses apresiasi sastra. Tanpa dialog atau percakapan
mustahil proses apresiasi sastra dapat berlangsung dengan baik.

C. Langkah-langkah Apresiasi Sastra


Adapun langkah-langkah atau proses dalam apresiasi karya
sastra menurut Efendi dkk. (1997:14) meliputi: pengenalan, pema-
haman, penghayatan, dan setelah itu penerapan. Berikut akan
dideskripsikan satu persatu langkah-langkah dalam apresiasi sastra
tersebut.
1. Pengenalan
Tahap pertama apresiasi sastra adalah pengenalan. Pada
tahap ini siswa diajak untuk mulai menemukan ciri-ciri umum yang
lazim terdapat dalam karya sastra. Misalnya mengenai judul,
pengarang, atau genre karya secara umum.
2. Pemahaman
Pemahaman dapat dicapai secara mudah oleh siswa tertentu
namun dapat juga agak sulit bagi siswa yang lain. Bagi siswa yang
mengalami kesulitan dalam proses pemahaman karya sastra, perlu
ditempuh upaya-upaya untuk mencapainya dengan bimbingan
guru.
3. Penghayatan
Penghayatan dapat dilihat dari indikator yang dialami siswa.
Umpamanya, pada saat membaca --dapatnya berulang-ulang--,
siswa dapat merasakan sedih, gembira, simpati, empati, atau apa
saja karena rangsangan bacaan tersebut, seolah-olah melihat,
mendengar, atau merasakan sesuatu seperti dialami oleh para
tokoh cerita, misalnya.

32 │ Pengkajian Sastra
4. Penikmatan
Pada tahap ini diharapkan siswa telah mampu merasakan
secara lebih mendalam berbagai keindahan yang ditemui dalam
karya sastra. Perasaan tersebut akan membantu menemukan
berbagai nilai, baik yang bersifat literer imajinatif maupun nilai
yang langsung berhubungan dengan kehidupan. Kenikmatan yang
lahir dalam mengapresiasi sastra terlihat pada siswa dalam
kemampuannya merasakan pengalaman pengarang yang tertuang
dalam karyanya. Hal itu kemudian dapat menimbulkan rasa nikmat
pada pembaca, yang hanya dapat ditemukan dalam karya sastra.
5. Penerapan
Penerapan merupakan wujud perubahan sikap pada
pembaca yang timbul sebagai hasil adanya penemuan nilai-nilai
atau pesan moral. Pada tahap ini diharapkan siswa yang merasakan
keindahan dan kenikmatan dalam membaca karya sastra,
memanfaatkan nilai-nilai dan pesan moral tersebut dalam wujud
nyata berupa perubahan sikap dalam romantika dan dinamika
kehidupan.
Agak berbeda dengan pendapat Effendi di atas, langkah-langkah
dalam kegiatan apresiasi sastra menurut Sayuti (2000: 5-7), adalah
sebagai berikut.
(1) Interpretasi atau penafsiran, merupakan suatu upaya untuk
memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran makna
berdasarkan sifat karya sastra itu;
(2) Analisis, merupakan usaha untuk melakukan penguraian
terhadap karya sastra atas unsur-unsur, bagian-bagian atau
norma-normanya;
(3) Penilaian, merupakan langkah untuk menentukan kadar
keberhasilan atau keindahan karya sastra yang diapresiasinya.
Melalui lima langkah kegiatan apresiasi sastra yang dilakukan
secara sungguh-sungguh (Effendi dkk., 1997:14), diharapkan akan

Pengkajian Sastra │ 33
timbul perasaan senang, gembira, menghargai, bahkan cinta terhadap
karya sastra dalam diri pembaca sebagai pembaca karya sastra. Dengan
demikian pembaca yang sudah memiliki tingkat apresiasi sastra yang
tinggi secara otomatis akan memiliki motivasi yang tinggi untuk
membaca dan menikmati karya sastra dan mendorong adanya inisiatif
untuk memahami dan menghayati karya-karya sastra. Hal itu terjadi
karena siswa merasa akan memperoleh manfaat yang besar dan
penting bagi kehidupannya dengan membaca sastra terutama dalam
memperkaya khasanah batinnya.

D. Bidang Garap Apresiasi Sastra


Bidang garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan pengkajian sastra
sering berbenturan. Sering ditemui tulisan-tulisan yang disebut
apresiasi sastra ternyata menggarap bidang kritik sastra. Demikian juga
sering kita lihat tulisan-tulisan yang disebut kritik sastra ternyata
menggarap bidang apresiasi sastra. Pengkajian sastra pun sering
menggarap bidang kritik sastra dan apresiasi sastra. Bahkan, kadang-
kadang kita kesulitan membedakan apakah suatu tulisan itu pengkajian
sastra, kritik sastra, apresiasi sastra atau esai sastra.
Perbedaan bidang garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan
pengkajian sastra agaknya tidak akan mudah diidentifikasi jika kita
berhenti pada karya sastra. Dikatakan demikian karena baik apresiasi
sastra, kritik sastra maupun pengkajian sastra absah menjelajahi
seluruh fenomena karya sastra. Perbedaan bidang garap ketiganya
baru jelas diidentifIkasi jika kita memerhatikan ciri-ciri perilaku yang
harus ada dalam ketiga kegiatan tersebut. Jadi, untuk melihat
gambaran bidang garap apresiasi sastra kita harus mengidentifikasi ciri-
ciri perilaku yang harus ada dalam apresiasi sastra.
Sejalan dengan hakikat, pengertian, dan pokok persoalan yang
sudah dikemukakan di atas, kita memahami bahwa apresiasi sastra
merupakan kegiatan internalisasi sastra, sementara kritik sastra dan
apresiasi sastra merupakan kegiatan rasionalisasi sastra. Dalam

34 │ Pengkajian Sastra
internalisasi sastra, jarak harus dileburkan dan jurang harus ditimbun
antara manusia dan karya sastra, sementara dalam rasionalisasi sastra,
jarak justru harus diciptakan-direntangkan dan jurang mesti digali antara
manusia-pengritik dan karya sastra. Hal ini berarti bahwa kegiatan
apresiasi sastra lebih merupakan suatu seni (kiat), sedang kritik sastra dan
pengkajian sastra lebih merupakan kegiatan keilmuan.
Sebagai suatu seni (kiat), apresiasi sastra menekankan perilaku
pengindahan, penikmatan, pemahaman, dan penghargaan sastra.
Kritik sastra menekankan perilaku pencarian, penilaian, dan
penghakiman kebenaran nilai-nilai atau segala sesuatu yang ada dalam
sastra. Pengkajian sastra menekankan perilaku pengamatan
(observasi), pemerian (deskripsi), dan penjelasan (eksplanasi) segala
sesuatu yang ada dalam sastra. Hal ini mengimplikasikan, dalam
apresiasi sastra berlangsung penerimaan sepenuhnya karya sastra,
sedangkan dalam kritik sastra dan pengkajian sastra berlangsung
pencurigaan atau penyangsian karya sastra.
Dengan demikian, apresiasi sastra lebih meminta keakraban
antara pembaca dan karya sastra, sedang kritik sastra dan pengkajian
sastra justru meminta keformalan antara pengritik dan peneliti dengan
karya sastra. Hal ini dapat diibaratkan bahwa dalam apresiasi sastra,
hubungan antara apresiator dengan karya sastra merupakan hubungan
dua kekasih (bukan orang lain); sementara dalam kritik sastra dan
pengkajian sastra, hubungan kritikus dan peneliti dengan karya sastra
merupakan hubungan orang lain.
Agar bidang garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan pengkajian
sastra yang dikemukakan di atas lebih jelas, perhatikan puisi berikut ini.
”Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”
Karya W.S. Rendra
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut punggung perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Pengkajian Sastra │ 35
Segenap warga desa mengepung hutan itu dalam
satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo mengutuki
bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya


Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muda
- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia karena padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang


Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

- Joko Pandan! Di mana ia?


Hanya padanya seorang kukandung dosa
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan


Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja


pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak
angsoka Malam bagai kedok hntan bopeng oleb luka

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang


Ia telah membunuh bapanya.

36 │ Pengkajian Sastra
Jika kita melakukan apresiasi sastra terhadap puisi di atas, maka
dengan penuh keakraban tanpa jarak kita menginternalisasinya
(membatinkannya) dengan cara mengindahkannya, menikmatinya,
memahaminya, kemudian menghargainya. Sesudah itu, kita men-
ceritakannya atau melisankannya atau menuturkannya kepada diri
sendiri atau orang lain.
Contoh menceritakannya, misalnya demikian: “Seorang
perampok perkasa bernama Atmo Karpo, suatu ketika ia mendatangi
desa. Kali ini bukan untuk merampok, melainkan didorong oleh kesia-
siaan hidup yang dirasakannya sangat pahit dan oleh perasaan berdosa
kepada anaknya sendiri, Joko Pandan. Ia datang untuk menantang
anaknya ... (dan seterusnya). Dapat juga cara menceritakannya
demikian: Puisi tersebut bercerita tentang dunia Atmo Karpo, dunia
kekerasan yang mesti dijalaninya. Dunia kekerasan penuh permusuhan
baik dengan orang-orang kampung maupun dengan orang dekat,
bahkan anak kandungnya sendiri. Atmo Karpo memasuki dunia
kekerasan itu dengan perkasa meskipun akhirnya binasa juga, justru di
tangan anaknya. Akhir kehidupan di dunia kekerasan itu ...” (dan
seterusnya). Dapat juga wujud kegiatan apresiasi sastranya melisankan
puisi tersebut secara ekspresif di muka umum/banyak orang.
Sebaliknya, jika kita melakukan kritik sastra terhadap puisi
“Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” tersebut di atas, maka dengan
penuh “kecurigaan dan keraguan” *ada kesangsian metodis+ yang
direntangi oleh jarak, kita merasionalisasinya dengan cara menyelidiki-
nya, menilainya, dan mungkin menghakiminya secara mendasar. Ini
semua kita kerjakan lazimnya dipandu oleh teori kritik tertentu, dapat
formalisme, strukturalisme, pragmatisme, semiotika, historisisme baru
atau lainnya.
Andaikata puisi tersebut dilakukan kritik dengan teori tekstual,
maka kita dapat berbicara tentang susunan tematisnya dan
pengembangan tema, waktu, ruang, pola-pola makna, verifikasi, dan
sebagainya. Kita dapat menyatakan bahwa subjek lirik puisi tersebut
implisit dan dengan demikian juga pendengar. Pengembangan tema

Pengkajian Sastra │ 37
puisi tersebut dilakukan dengan sederetan momen perbuatan
sebagaimana tampak pada larik-lariknya. Pengembangan tema
sekaligus penggambaran tema yang terlihat pada deretan larik tersebut
termasuk memikat dan bagus karena kohesif dan koheren serta
mampu menciptakan suatu dunia utuh. Demikianlah, kritik sastra
bekerja di wilayah yang lebih objektif, teknis, dan juridis (judment).
Pengkajian sastra bekerja di wilayah yang lebih teoretis, objektif,
dan teknis lagi. Ia berusaha menjelaskan puisi tersebut, bukan
mengkomunikasikannya. Ia bekerja di wilayah yang harus jelas teori
dan metodologinya: teori apa yang digunakan (struktural, semiotika,
sosiologis, antropologis, psikologis, feminis, dan sebagainya) dan
metodologi apa yang dipakai (kuantitatif atau kualitatif), dan metode
berpikir apa yang digunakan (deduktif atau induktif), dan sebagainya).
Andaikata kita mengkaji puisi “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”
tersebut, misalnya mengkaji majasnya (teori stilistika), kita dapat
berbicara tentang metafora, simile, personifikasi, hiperbola, dan
sebagainya. Kita dapat mengulas personifikasi dalam larik ‘bulan
berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para’ atau
metafora dalam larik ‘panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak
angsoka’. Secara stilistik, kita dapat juga menyelidiki gaya bahasa
(style) khususnya citraan (imagery) yang terkandung dalam larik ‘Anak
panah empat arah dan musuh tiga silang/Atmo Karpo masih tegak,
luka tujuh liang’ atau larik ‘Bedah perutnya tapi masih setan
ia/menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala’. Sesudah kita
jabarkan majas dan citraannya, kita dapat menjelaskan bagaimana
pemakaian majas dan citraan dalam puisi tersebut: apakah majas dan
citraan dalam puisi tersebut mampu membangun sebuah gambaran
kuat, dan apakah gaya puisi tersebut memiliki koherensi dan kohesi
yang kuat, dan seterusnya.
Dari contoh langkah-langkah apresiasi sastra, kritik sastra, dan
pengkajian sastra tersebut di atas makin jelaslah wilayah garap masing-
masing; paling tidak wilayah garap apresiasi sastra. Dari uraian tersebut
di atas kita dapat menyimpulkan bahwa yang digarap oleh apresiasi

38 │ Pengkajian Sastra
sastra, kritik sastra, dan pengkajian sastra adalah sastra; ketiganya
sama-sama menggarap sastra. Namun, ketiganya menggarap sastra
secara berbeda-beda. Apresiasi sastra lebih merupakan internalisasi,
subjektif, komunikatif, dan tak dapat selalu dipandu oleh teori
tertentu, sedangkan kritik sastra dan pengkajian sastra lebih
merupakan rasionalisasi, objektif, dan dipandu oleh teori tertentu serta
evaluatif. Dengan demikian, jelaslah bidang garap apresiasi sastra, yaitu
bidang garap yang menuntut internalisasi, subjektivitas yang jujur dan
luhur serta mulia, dan individual bergantung pada apresiator.
Dalam apresiasi sastra terjadi interaksi antara manusia dan
sastra. Terjadinya interaksi ini berarti adanya perjumpaan antara
manusia-pengapresiasi dan sastra-yang-diapresiasi. Adanya per-
jumpaan memungkinkan berlangsungnya percakapan dan keakraban
antara manusia-apresiator dan sastra-yang diapresiasi. Oleh karena
itulah apresiasi sastra dapat dikatakan sebagai dunia-perjumpaan
antara dunia-manusia dan dunia-kewacanaan. Selanjutnya, hal ini
memungkinkan dibangunnya dunia-perjumpaan dan dunia-
percakapan.
Sejalan dengan itu, pada kehadirannya sendiri (by self), apresiasi
sastra sesungguhnya mempunyai satu tujuan saja, yaitu membangun
dunia-perjumpaan yang memungkinkan adanya dunia-percakapan dan
dunia-keakraban sehingga terselenggara percakapan-percakapan dan
keakraban manusia-apresiator dengan sastra-yang diapresiasi. Di
dalam perjumpaan dan percakapan inilah dunia-kewacanaan sastra
menawar-kan, menyuguhkan, dan menghidangkan sesuatu kepada
manusia-apresiator. Sebaliknya, pembaca/apresiator boleh dan dapat
mene-rima, mencicipi, dan memperoleh sesuatu itu. Sesuatu yang
dimaksud di sini setidak-tidaknya dapat dipilah menjadi empat macam,
yaitu (a) pengalaman, (b) pengetahuan, (c) kesadaran, dan (d) hiburan.
Pada pengkajian sastra tujuannya adalah membongkar struktur
karya sastra yang terdiri atas unsur-unsur yang membangun karya
sastra dalam keterjalinannya satu dengan lainnya dan mengungkapkan
makna sastra berupa gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya.

Pengkajian Sastra │ 39
Dalam pengkajian sastra semua deskripsi tentu harus didasarkan pada
teori dan interpretasi sastra secara metodologis. Dengan demikian
dalam proses pengkajian sastra, paradigma ilmiah dan koridor
akademik harus dikedepankan. Meskipuin interpretasi sastra itu
subjektif, pengkajian/analisisnya harus didasarkan pada objektivitas
data teks dan dilandasi oleh teori dan argumentasi ilmiah.

40 │ Pengkajian Sastra
BAB III
PENGKAJIAN SASTRA

A. Definisi Pengkajian Sastra


Istilah pengkajian sering disejajarkan dengan istilah analysis
(analisis) dalam bahasa Inggris, atau lebih dekat dengan telaah, yang
berarti melakukan pendalaman, mempelajari dan/atau mengkaji secara
serius. Pengkajian juga terkadang disetarakan dengan istilah study
(studi) yang berarti melakukan kajian atau kupasan tetapi istilah
pengkajian lebih tepat disejajarkan dengan analisis atau telaah.
Moody (1979:16) menjelaskan bahwa telaah karya sastra pada
dasarnya memiliki banyak manfaat. Manfaat yang utama adalah:
(1) membantu pembaca sastra memiliki keterampilan berbahasa,
(2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan daya
cipta dan rasa, dan (4) menunjang pembentukan watak. Dalam konteks
ini, dengan membaca dan menikmati karya sastra, seseorang akan
memperoleh nilai-nilai kehidupan yang dapat memperkaya khasanah
batin dan memperluas waasannya di samping memperoleh kesenangan
dan kenikmatan.
Dalam hal ini Philip Sidney menyatakan bahwa telaah sastra
harus dapat memberikan fungsi to teach (memberikan ajaran) dan
delight (memberi kenikmatan) bagi pembaca. Adapun bagi Richard
McKeon, kajian sastra dapat memberikan cheers (kepuasan) dan
applause (kekaguman) bagi pembaca.

B. Pendekatan dalam Pengkajian Sastra


Untuk menemukan nilai-nilai, pesan moral, atau tepatnya
gagasan-gagasan yang terkandung dalam karya sastra tentu diperlukan
seperangkat teori. Ada banyak teori ataupun cara untuk dapat

Pengkajian Sastra │ 41
dimanfaatkan dalam menemukan nilai-nilai dalam karya sastra yang
penting bagi kehidupan manusia.
Pada dasarnya, setiap karya sastra akan cocok untuk dipahami
dengan menggunakan pendekatan tertentu, sesuai dengan karakter-istik
masing-masing. Dari berbagai pendekatan yang ada dalam memahami
karya sastra, berikut ini dikemukakan beberapa pendekatan yang
dimungkinkan dapat diterapkan dalam sastra karya sastra.
Abrams (1979:3-29), mengemukakan empat macam model
pendekatan dalam pengkajian sastra. Pendekatan tersebut adalah:
(1) pendekatan objektif (objective), yaitu pendekatan yang melihat
karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom;
(2) pendekatan ekspresif (expressive), yaitu pendekatan yang
melihat pengarang sebagai pencipta sastra;
(3) pendekatan mimetik (mimetics), yaitu pendekatan yang
melihat pada aspek referensial dunia nyata atau aspek realitas
sosial budaya;
(4) pendekatan pragmatik (pragmatics), yaitu pendekatan yang
melihat berbagai peran pembaca sebagai pemberi makna.
Pendekatan objektif menekankan nilai pada karya sastra itu
sendiri, sebagai karya yang otonom dengan menjadikan karya sastra
sebagai sumber informasi objektif. Tegasnya, pendekatan ini meng-
utamakan kajian terhadap karya sastra itu sendiri tanpa menghubung-
kan dengan faktor-faktor sosiohistoris di luar sastra tersebut.
Pendekatan objektif dapat dikatakan sebagai pendekatan instrinsik,
yang serupa dengan pendekatan struktural.
Dalam aplikasinya, pendekatan objektif dapat dilaksanakan
dengan cara mengkaji struktur atau unsur-unsur karya sastra, misalnya:
tema (theme), fakta cerita --yang meliputi penokohan dan perwatakan
(characters), latar (setting), dan alur cerita (plot)--, dan sarana sastra
yang terdiri atas sudut pandang (point of view), gaya bahasa (style)
pada fiksi (Stanton, 1967); atau tema, nada dan suasana (tone), imaji/
citraan (imagery), simbol (symbols), musikalitas: rima, irama, dan

42 │ Pengkajian Sastra
metrum, dan gaya bahasa (style) pada puisi; tema, alur cerita, latar,
penokohan, cakapan (dialog, monolog, dan solilokui), konflik dramatik,
dan gaya bahasa (style) pada drama.
Pendekatan ekspresif mengungkapkan makna karya dengan
menekankan pengkajian pada faktor pengarang dan latar sosial
budayanya, yakni menjadikan sastrawan sebagai sumber informasi
ekspresif. Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan dalam analisis
karya sastra dengan menekankan telaah karya sastra itu dalam
hubungannya dengan penulisnya.
Pendekatan yang menekankan nilai atau makna pada hubungan
referensial antara teks sastra dengan dunia nyata atau kesemestaan
(univers) disebut pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik mem-
fokuskan telaah karya sastra dalam kaitannya dengan kesemestaan.
Dalam aplikasinya, pendekatan mimetik dilaksanakan dengan mene-
laah hubungan antara karya sastra dengan masyarakat lingkungan
sosialnya. Pendekatan mimetik berpandangan bahwa karya sastra pada
hakikatnya merupakan gambaran atau refleksi atas realitas lingkungan
sosiokultural.
Adapun pendekatan pragmatik atau sering disebut juga
pendekatan resepsi (reception theory) lebih menekankan makna karya
pada tanggapan atau hasil penerimaan atau penghayatan pembacanya,
yakni dengan menjadikan pembaca sebagai sumber informasi yang
utama. Tegasnya, pendekatan pragmatik menitikberatkan pada peran
pembaca sebagai apresiator atau penanggap/penerima sastra dalam
pengungkapan makna sastra.
Telaah karya sastra yang hanya menekankan pada salah satu
komponen kehidupan sastra mengakibatkan kepincangan dalam
penilaian karya sastra. Hal itu dapat dipahami karena keempat
komponen kehidupan sastra tersebut –objektif, ekspresif, mimetik, dan
pragmatik-- saling bertautan erat dan saling mendukung dalam
menentukan makna karya sastra. Jadi, eksistensi keempatnya tidak
dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya dan sebagai sumber nilai
yang harus dianalisis secara utuh dalam mengungkapkan makna karya

Pengkajian Sastra │ 43
sastra. Pandangan demikian merupakan sintesis yang memadukan
keempat komponen dalam kesatuan makna karya sastra. Itulah esensi
pendekatan dalam analisis karya sastra model Abrams.

C. Nilai-nilai dalam Karya Sastra


T.S. Eliot menyatakan bahwa keagungan cipta sastra hanya dapat
ditangkap secara utuh jika diikutsertakan pula unsur-unsur metasastra
seperti filsafat, agama, politik, sosiologi, dan sebagainya (dalam Ahar,
1975: 134). Karya sastra ciptaan sastrawan besar sering melukiskan
kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Sastra bahkan mugkin
merupakan salah satu barometer sosiologi yang efektif dalam
mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial
(Damono, 1979:13).
Sastra, yang tergabung dalam Ilmu-Ilmu Humaniora (IIH),
bersama-sama dengan filsafat, etika, estetika, sejarah, bahasa, agama,
ilmu hukum, ilmu purbakala, serta kritik seni, secara kolektif
merupakan suatu kerangka sekaligus kosakata bagi telaah-telaah
mengenai nilai-nilai kemanusiaan, kebutuhan, aspirasi, juga
kemampuan dan kelemahan manusia seperti terungkap dalam
kebudayaannya.
Mempelajari, tepatnya menelaah karya sastra akan membantu
kita menangkap makna yang terkandung dalam pengalaman-
pengalaman kita, dan memberikan cara-cara memahami segenap jenis
kegiatan kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung dalam
kegiatan-kegiatan tersebut, baik kegiatan masyarakat kita sendiri
maupun masyarakat lain. Sayangnya, tidak banyak para teknokrat dan
penentu kebijakan negeri ini yang menyadari akan hal ini.
Fungsi lain yang dapat dikembangkan melalui membaca dan
menelaah karya sastra adalah kemampuan untuk mengembangkan
kebiasaan dan perangkat intelektual yang dapat menopang
pelaksanaan analisis, penilaian, dan kritik secara mandiri. Kemampuan
jenis terakhir ini akan terasa sangat penting ketika kita berhadapan

44 │ Pengkajian Sastra
dengan persoalan moralitas, baik moralitas sosial (public morality)
maupun moralitas pribadi (private morality).
Sebagai ilustrasi, ketika kita membaca karya sastra (hikayat,
puisi, cerpen, novel, dan drama), secara otomatis kita akan menerobos
lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita. Karya-karya fiksi
dan puisi besar yang diberi predikat "karya sastra" (literer) adalah
karya-karya yang berhasil membangunkan manusia atas rasa empati
dengan tokoh-tokoh dalam karya-karya termaksud.
Karya sastra membuat kita mampu memahami segenap
perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan
kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan
yang dialaminya. Kita mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh
dalam karya sastra yang kita baca. Dengan membaca karya sastra
dalam bentuk novel, cerpen, drama, dan puisi, kita turut menghayati
segenap kebahagiaan dan kesedihan yang dialami tokoh-tokoh kita.
Dalam proses penghayatan ini dunia kita diperluas, menembus batas-
batas duniawi yang ada di sekitar kita (Al-Ma’ruf, 2003:39).
Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita ke
dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya
persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Hal ini merupakan
permulaan dari kemampuan untuk mengembangkan empati dan
toleransi. Secara luas makna empati adalah kemampuan untuk
mengidentifikasikan diri secara penuh dengan orang lain, dan melalui
proses ini memahami pula orang lain. Kemampuan inilah yang
mengikat orang tua dengan anaknya, dengan sesama tetangga, dengan
sesama warga negara, dan seterusnya. Empati merupakan landasan
paling esensial bagi proses pembinaan bangsa.
Adapun toleransi adalah kemampuan untuk menerima dan
mengakui keabsahan suatu perbedaan, dan dengan demikian toleransi
menjadi landasan mendasar bagi terciptanya hubungan damai, baik
intern bangsa maupun antara bangsa-bangsa. Kesemuanya itu dapat
diperoleh melalui membaca karya sastra dan menelaahnya secara
holistik atau komprehensif.

Pengkajian Sastra │ 45
Berbagai nilai kehidupan dan pesan-pesan moral yang
bermanfaat bagi manusia untuk memperkaya khasanah batinnya
terkandung di dalam karya sastra bagaikan mosaik yang indah, yang
tidak ditemukan dalam karya lainnya. Nilai-nilai kehidupan itu
beraneka ragam baik yang berkaitan dengan kemanusiaan, sosial,
kultural, moral, politik, ekonomi, dan gender. Tak ketinggalan nilai-nilai
kehidupan yang berhubungan dengan ambisi, simpati, empati dan
toleransi, cinta dan kasih sayang, dendam, iri hati, rasa berdosa,
kegundahan dan kegamangan hidup, serta kematian. Kesemuanya
dapat kita temukan dalam karya sastra.
Telaah atau studi karya sastra dengan demikian mencakup suatu
kawasan yang paling manusiawi dalam kehidupan manusia. Dalam hal
ini, suatu kawasan pemikiran yang secara esensial menyentuh masalah-
masalah kehormatan, prestis atau harga diri, keberanian, kebebasan,
keadilan, dan kelurusan. Semua itu merupakan persoalan-persoalan
inti bagi penggalangan motivasi dan keberhasilan usaha, dan karena itu
merupakan persoalan-persoalan pokok bagi pembangunan karakter
bangsa. Apresiasi dan telaah sastra dapat digunakan sebagai jendela
untuk mengintip manusia dengan segenap kompetensi, ambisi, sifat,
dan karakternya yang kompleks, unik, dan variatif.

D. Kode Bahasa, Kode Sastra, dan Kode Budaya


Sastra dan bahasa keduanya merupakan sistem tanda, tetapi
terdapat perbedaan antara keduanya. Lotman menyebut bahasa
sebagai tanda primer yang membentuk model dunia bagi pemakainya.
Model itulah yang mewujudkan perlengkapan konseptual manusia
guna menafsirkan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya. Adapun
sastra merupakan sistem tanda sekunder yang membentuk model,
yang bergantung pada bahasa, yakni sistem tanda primernya (dalam
Teeuw, 1984:99). Ditegaskan oleh Teeuw (1991:12-15), bahwa
membaca dan menilai karya sastra itu bukan pekerjaan yang mudah,
sebab diperlukan pengetahuan yang cukup tentang sistem kode yang
rumit, kompleks, dan beraneka ragam.

46 │ Pengkajian Sastra
Dalam rangka pemahaman makna karya sastra, pembaca harus
mengenal kode bahasa, kode sastra (Lotman dalam Fokkema, 1977:42)
dan kode budaya yang terserap dan terpadu ke dalam sistem model
tersebut (Teeuw, 1983:13). Kode pertama yang berlaku bagi tiap teks
sastra adalah kode bahasa yang dipakai sebagai media karya sastra.
Menurut Teeuw (1984:96) bahasa sebelum digunakan oleh pengarang
sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik. Setiap tanda dalam
unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu yang secara konvensional
disetujui, diterima, dan mengikat masyarakat; tidak hanya dalam arti
bahwa tanda itu merupakan berian, tetapi yang lebih penting lagi, di
dalam sistem tanda itu tersedia perlengkapan koseptual yang sukar
dihindari. Perlengkapan itu merupakan dasar pmahaman dunia nyata
dan sekaligus dasar komunikasi yang terpenting di dalam masyarakat.
Kode bahasa perlu dikuasai oleh pembaca, agar dirinya berhasil
dalam mengapresiasi karya sastra tersebut, sebab pada dasarnya setiap
karya sastra itu memiliki keunikan yang sebagian diantaranya diungkapkan
melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi melalui
proses kreatif untuk mendukung fungsi tertentu. Untuk dapat memahami
maknanya, seseorang perlu memahami dahulu konvensi bahasa yang
umum, yang dimungkinkan oleh kaidah tersebut.

Selain kode bahasa diperlukan pula kode sastra dan kode


budaya. Sebagai karya sastra, novel memiliki kode sastra dalam hal ini
adalah konvensi sastra, bukan sebagai sistem yang beku dan ketat,
melainkan sistem yang luwes dan penuh dinamika. Konvensi itu
sifatnya berbeda-beda, ada yang umum; tetapi ada yang sangat khusus
dan spesifik, dan yang terbatas pada jenis atau golongan karya sastra
tertentu (Teeuw, 1984: 103). Pengetahuan yang memadai mengenai
konvensi itu merupakan alat yang diperlukan untuk menaturalisasikan
dan memahami makna (Culler, 1977:137). Dengan kemampuan itu,
pembaca sebagai manusia yang hidup dalam berbagai konvensi dapat
memberi makna terhadap karya sastra.
Kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi
sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra

Pengkajian Sastra │ 47
sebagai sistem semiotik, sastra sebagai dokumen sosal budaya, dan
sebagainya. Menurut Teeuw (1991:14), sesungguhnya kode sastra itu
tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipun begitu, pada
prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca
dan memahami teks sastra.
Kode sastra tak dapat dilepaskan dari kode budaya. Kode budaya
adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem
sosial budaya. Menurut Chapman (1980:26), kelahiran karya sastra
diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena
itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan
kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Pradopo
(2001:55- 56), menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat
pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas
budaya masyarakat yang menjadi modelnya.
Kadang-kadang antara kode sastra dank kode budaya tidak
mudah dipisahkan, tetapi pada prinsipnya keduanya harus dibedakan.
Pembaca yang tidak mengetahui latar belakang atau kode budaya
novel yang dibacanya akan kesulitan menangkap makna, meskipun
kata-katanya sudah dipahaminya. Dengan kode budaya pembaca sastra
akan dapat menguraikan unsur-unsur karya sastra sebagai suatu
komunikasi sistem tanda. Karena adanya beragam konvensi budaya
dalam objek pengkajian, maka konvensi budaya sosial keagamaan
dalam karya sastra yang menjadi fokus pembahasan tanpa melepaskan
konvensi dan unsur lain yang membangun karya pada tataran analisis
yang lebih luas. Dengan cara demikian pengungkapan makna karya
sastra, apa pun bentuknya baik puisi, fiksi (cerita pendek dan novel),
maupun drama, akan dapat lebih kaya dan berbobot.

48 │ Pengkajian Sastra
BAB IV
PUISI DAN UNSUR-UNSURNYA

A. Sekilas tentang Definisi Puisi


Genre sastra yang sering mendapat perhatian khalayak pembaca
sastra adalah puisi. Puisi juga sering disebut sajak. Hingga kini definisi
tentang puisi sangat beragam bergantung pada sudut pandang masing-
masing pakar sastra. Definisi puisi mengalami perubahan karena
adanya perubahan konsep atau wawasan estetik yang selalu
berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan horison harapan para
pakar dan evolusinya.
Sebelum kita menelaah puisi, lebih dahulu kita perlu memahami
definisi puisi agar kita dapat membedakannya dengan genre sastra
lainnya. Altenbern (dalam Pradopo, 2000:5-6) menyatakan bahwa
”Poetry as the interpretative dramatization of experience in metrical
language”, puisi itu merupakan pendramaan pengalaman yang bersifat
penafsiran dalam bahasa berirama (bermetrum). Shannon Ahmad
(dalam Pradopo, 2000:6) mengumpulkan beberapa definisi puisi
sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan, puisi itu adalah kata-
kata yang terindah dalam susunan yang terindah. Penyair
sangat hati-hati dalam memilih dan menyusun kata-kata agar
dapat memperoleh keindahan.
(2) Carlyle mengatakan, puisi pmerupakan emikiran yang bersifat
musikal. Penyair dalam menciptakan puisi menekankan adanya
kemerduan bunyi seperti musik. Kata-kata disusun sedemikian
rupa sehingga yang dominan adalah rangkaian bunyi yang
merdu yang bersifat musikal sehingga menimbulkan orkestrasi
bunyi dengan paduan-paduan bunyi yang indah.

Pengkajian Sastra │ 49
(3) Wordsworth mengatakan, puisi lebih merupakan pernyataan
perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang diangankan dan
direkakan.
(4) Auden mengemukakan bahwa puisi itu merupakan pernyataan
perasaan yang bercampur-campur.
(5) Dunton mengatakan, puisi itu merupakan pemikiran manusia
secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta
berirama.
(6) Shelley mengemukakan, puisi itu rekaman detik-detik yang
paling indah dalam kehidupan manusia. Misalnya peristiwa
yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang
kuat seperti kegembiraan, kebahagiaan, cinta dan kasih sayang,
namun juga kesedihan, duka nestapa, dan kematian.
Ringkasnya, detik-detik yang paling indah dalam kehidupan
penyair merupakan bahan pokok dalam penciptaan puisi
setelah melalui proses kreasi, kontemplasi, dan refleksi.
Dari berbagai pendapat tentang puisi tersebut Ahmad (1978:3-4)
menyimpulkan bahwa puisi mengandung unsur-unsur emosi, imajinasi,
pemikiran/ide, nada, irama, citraan, susunan kata, kata kiasan,
kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur. Berbagai unsur
tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga aspek. Pertama, hal yang
meliputi pemikiran, ide, dan perasaan; kedua, adalah bentuknya; ketiga
adalah kesannya. Kesemuanya itu diungkapkan dengan media bahasa
sebagai sarana ekspresi yang paling lazim dalam karya sastra.
Berdasarkan aneka ragam definisi puisi tersebut, Pradopo
(2000:7) berkesimpulan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran
yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra
dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang
penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik
dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi
pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling
berkesan.

50 │ Pengkajian Sastra
B. Unsur-unsur Puisi
Pradopo (2000:13-14) menyatakan bahwa puisi sebagai karya
seni itu puitis. Puitis mengandung keindahan yang khusus, yang dapat
membangkitkan perasaan, menarik perhatian, keharuan, religiusitas,
perenungan (kontemplasi) dan lain-lain. Kepuitisan itu ditentukan oleh
strukturnya, misalnya: bentuk visual tipografi, susunan bait,
enjanbemen; unsur bunyi, sajak, asonansi, aliterasi, dan lain-lain;
pilihan kata (diksi), gaya bahasa, bahasa kiasan, sarana retorika, dan
lain sebagainya.
Adapun unsur-unsur yang membangun sebuah puisi menurut
Richards (1976:129-225) terdiri atas metode dan hakikat, untuk
menggantikan istilah bentuk dan isi puisi, atau struktur fisik dan
struktur batin puisi. Metode puisi adalah medium untuk
mengungkapkan hakikat puisi sedangkan hakikat adalah unsur hakiki
yang menjiwai puisi. Metode atau bentuk fisik puisi terdiri atas bahasa
figuratif (figurative language) dan bunyi yang menghasilkan rima dan
ritma (rhyme and rhytme). Adapun hakikat puisi terdiri atas tema
(sense), amanat (intention), perasaan (feeling), nada (tone).
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa metode puisi adalah
sarana sastra untuk mengekspresikan gagasan yang ingin disampaikan
penyair dalam karyanya; sedangkan hakikat puisi adalah esensi puisi
yang berupa gagasan yang ingin diungkapkan penyair melalui karyanya.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan para pakar dapat
dikemukakan bahwa metode atau struktur fisik puisi terdiri atas diksi,
pengimajian/citraan (imagery), bahasa figuratif, rima dan ritma; hakikat
atau struktur batin puisi terdiri atas tema, amanat, perasaan, dan nada.
Berikut akan dijelaskan secara ringkas satu persatu unsur-unsur
puisi tersebut.
1. Diksi (Diction)
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan
oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna
tertentu. Dalam konteks ini pengertian denotasi dan konotasi tidak

Pengkajian Sastra │ 51
boleh diabaikan. Denotasi ialah arti lugas, yang sesuai dengan
kamus, sedangkan konotasi adalah arti kias, yang diasosiasikan atau
disarankannya.
Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam
karya sastra. Karena itu, dalam pemilihannya para sastrawan
berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung
kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana
komunikasi puitis lainnya. Kata yang dikombinasikan dengan kata-
kata lain dalam berbagai variasi mampu menggambarkan
bermacam-macam ide, angan, dan perasaan.
Diksi berasal dari bahasa latin dicere, dictum yang berarti to
say. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam
tuturan atau penulisan (Scott, 1980:170), atau pilihan leksikal
dalam penulisan (Sudjiman, 1995:13). Diksi atau pilihan kata adalah
kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan statu ide yang
meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.
Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan
atau susunannya, atau cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan.
Gaya bahasa bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual
atau karakteristik tertentu, yang memiliki nilai artistik yang tinggi
(Keraf, 1991:23).
Dengan demikian, diksi bukan saja dipergunakan untuk
menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan
suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa,
ungkapan-ungkapan, dan sebagainya. Konteks kata hendaknya
dilihat bagi kepentingan aris dan wacana sastra secara keseluruhan,
bukan dalam arti sempit yang hanya terbatas pada kalimat tempat
kata tersebut berada. Jadi, deskripsi yang akan dilakukan tetap
merujuk kepada konteks fiksi yang dikaji.
Diksi merupakan pilihan kata dan kejelasan lafal untuk
memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau
dalam karang-mengarang (Kridalaksana, 1982:35). Dapat pula
dikatakan bahwa diksi adalah penentuan kata-kata seorang

52 │ Pengkajian Sastra
pengarang untuk mengungkapkan gagasannya. Diksi yang baik
adalah diksi yang sesuai dengan tuntutan cerita, keadaan atau
peristiwa, dan pembacanya (Yusuf, 1995:68). Dengan demikian
diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang
untuk mengungkapkan gagasannya guna mencapai efek tertentu
dalam karya sastranya. Orang yang luas kosakatanya, demikian
Keraf (1991:24), akan memiliki pula kemampuan yang tinggi untuk
memilih diksi.
Edi Subroto (1996:1) menyebut kata sebagai tanda bahasa
(Inggris: sign, Prancis: signe). Lambang atau tanda dalam konteks
ini dipersamakan dengan simbol, meskipun tidak semua lambang
adalah simbol. Selain itu lambang atau tanda mengacu pada gejala
yang lebih luas daripada simbol. Untuk hal khusus ini biasanya
simbol hanya mengacu pada simbol verbal. Todorov menganggap
simbol sebagai gejala khusus dari lambang karena keberadaan
simbol terkait dengan lambang dan interpretasi, penggunaan, dan
penikmatan, keikutsertaan dan pemasukan ciri seni dan mitologi,
serta gejala lain yang termasuk pengkreasian lambang (Todorov,
1987:9).
Kata berfungsi untuk menunjuk atau menyebut (to refer, to
denote) sesuatu (benda, perbuatan/ peristiwa, hal sifat, atau
keadaan, jumlah) yang bersifat luar bahasa, terutama untuk kata-
kata di luar bahasa (extra-linguistics world atau non-linguistic
world) (Subroto, 1996:1 dan 11).
Kata merupakan kesatuan tak terpisahkan antara aspek
bentuk (signifier, signifiant) dengan aspek arti (signified, signifie)
yang pada dasarnya kaitan antara keduanya bersifat manasuka
(arbitrer), kecuali pada sebagian kosakata yang termasuk tiruan
bunyi (anomatope) dan kata-kata yang bernilai emotif-ekspresif.
Kata-kata yang dipilih pengarang merupakan kata-kata yang
dianggap paling tepat dalam konteks karya sastra tersebut
(Coleridge dalam Burton, 1984:77). Jelasnya, pengubahan kata-kata
dalam baris-baris sebuah karya sastra dengan kata-kata yang lain

Pengkajian Sastra │ 53
dapat mengubah kesan total yang dibentuk oleh karya sastra
tersebut.
Ditinjau dari keberadaannya sebagai lambang, hubungan
antara lambang dengan yang dilambangkan bukan berada dalam
hubungan antara bentuk dengan sesuatu yang dinamai atau
digambarkan melainkan antara aspek bentuk (significant) dengan
aspek arti (signifie). Pemahaman siginifie dalam kesadaran batin
penafsir akan membuahkan gambaran signifikantum sebagaimana
tertandai lewat signifikannya. Dengan demikian hubungan antara
lambang kebahasaaan dengan sesuatu yang dilambangkannya ada
dalam hubungan ganda. Oleh karena itulah kata sebagai lambang
kebahasaan memungkinkan untuk diubah relasinya menjadi makna
lain.
Kata mempunyai fungsi sebagai simbol yang mewakili
sesuatu. Meminjam istilah Ricoeur (1985:192), setiap kata adalah
simbol. Kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi. Berdasarkan pandangannya ini dia menyatakan
bahwa tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang
terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung
daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-
simbol tersebut. Karena itu, menurut Sumaryono (2003:196) kata
memiliki konotasi yang berbeda bergantung pada beberapa faktor.
Tegasnya, makna kata bergantung pada penuturnya.
Pada dasarnya sastrawan ingin mengekspresikan penga-
laman jiwanya secara padat dan intens. Sastrawan memilih kata-
kata yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya setepat-
tepatnya. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitasnya serta
agar selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka
sastrawan memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya
(Altenbernd & Lewis. 1970:76).
Pemilihan kata berkaitan erat dengan hakikat karya sastra
yang penuh dengan intensitas. Sastrawan dituntut cermat dalam
memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus

54 │ Pengkajian Sastra
dipertimbangkan maknanya, komposisinya dalam kalimat dan
wacana, kedudukan kata tersebut di tengah kata lain, dan
kedudukan kata dalam keseluruhan karya sastra. Dalam proses
pemilihan kata-kata inilah sering terjadi pergumulan sastrawan
dengan karyanya bagaimana dia memilih kata-kata yang benar-
benar mengandung arti yang sesuai dengan yang diinginkannya,
baik dalam arti konotatif maupun denotatif.
Kata merupakan unsur bahasa yang sangat penting dan
paling esensial dalam karya sastra. Dalam pemilihannya para
sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya
mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras
dengan sarana komunikasi puitis lainnya. Dalam tatanan bahasa,
kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan
lambing atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan
makna.
Kata yang membentuk kelompok kata mampu menimbulkan
makna baru yang berbeda dari sekedar perpaduan makna unsur-
unsurnya. Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam
berbagai variasi mampu menggambarkan bermacam-macam ide,
angan, dan perasaan. Dalam kedudukannya sebagai medium
ekspresi perasaan, angan dan ide ini, kesatuan antara lambang
dengan yang dilambangkan sudah sangat padu.
Dalam karya sastra terdapat banyak diksi antara lain kata
konotatif, ata konkret, kata seru, kata sapaan khas dan nama diri,
kata dengan objek realitas alam, dan kata vulgar. Kata konotatif
juga dominan dalam karya sastra. Menurut Leech (2003: 23), arti
konotatif merupakan nilai komunikatif dari suatu ungkapan
menurut apa yang diacu, melebihi di atas isinya yang murni
konseptual. Kata konotatif adalah kata yang memiliki makna
tambahan yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan
pada perasaan atau pikiran yang timbul pada pengarang atau
pembaca (Yusuf, 1995: 152; Kridalaksana, 1982:91). Jadi, kata
konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang

Pengkajian Sastra │ 55
terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan/
atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu
yang dibahasakan.
Kata konkret (concrete) ialah kata yang dapat dilukiskan
dengan tepat, membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak
dikemukakan oleh pengarang (Scott, 1980:22). Kata konkret
merujuk pada benda-venda fisikal yang tampak di alam kehidupan
(Yusuf, 1995:152). Menurut Kridalaksana (1982:91), kata konkret
adalah kata yang mempunyai ciri-ciri fisik yang tampak (tentang
nomina). Kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada
pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan
konvensi tertentu.
Jika pengarang mahir memperkonkret kata-kata, maka
pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang
dilukiskan oleh pengarang. Jika citraan pembaca merupakan akibat
dari pencitraan kata-kata yang diciptakan pengarang, maka kata-
kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya
pengimajian tersebut (lihat Waluyo, 1991:81). Dengan kata-kata
yang dikonkretkan, pembaca dapat membayangkan secara jelas
peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh pengarang.
Adapun kata vulgar ialah kata-kata yang carut dan kasar atau
kampungan (Yusuf, 1995:307). Dengan demikian kata vulgar
merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab,
dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun yang berlaku
dalam masyarakat berpendidikan. Tegasnya, kata vulgar dalam
masyarakat berpendidikan atau di kalangan intelek dipandang tabu
untuk diucapkan atau digunakan dalam berkomunikasi.
Antara diksi dan pencitraan kata terdapat hubungan yang
erat. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian agar apa
yang ingin diungkapkan menjadi lebih konkret dan dapat dihayati
melalui penglihatan, pendengaran, atau citra rasa. Untuk
membangkitkan citraan pembaca, maka kata-kata dalam karya

56 │ Pengkajian Sastra
sastra harus diperjelas dengan kata-kata konkret (lihat Waluyo,
1991:78–81).
Diksi dalam karya sastra puisi meliputi kata konotatf dan
denotatif, arkaik (pemakaian kata yang telah hilang), kata vulgar,
kata bahasa daerah dan asing.

2. Imaji/Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk
menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran
mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada
pembaca. Citraan kata (imagery) berasal dari bahasa Latin imago
(image) dengan bentuk verbanya imitari (to imitate). Citraan
merupakan kumpulan citra (the collection of images), yang
digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera
yang digunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara
harfiah maupun secara kias (Abrams, 1981:78).
Sejalan dengan Abrams, menurut Sayuti (2000:174), citraan
dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat
membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan
pengalaman tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi
citraan literal dan citraan figuratif. Citraan literal tidak
menyebabkan perubahan atau perluasan arti kata-kata sedangkan
citraan figuratif (majas) merupakan citraan yang harus dipahami
dalam beberapa arti.
Citraan kata merupakan penggambaran angan-angan dalam
karya sastra. Sastrawan tidak hanya pencipta musik verbal, tetapi
juga pencipta gambaran dalam kata-kata untuk mendeskripsikan
sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan, dan
mendengarnya (Scott, 1980:139). Penggambaran angan-angan
tersebut untuk menimbulkan suasana yang khusus; membuat lebih
hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk
menarik perhatian pembaca.

Pengkajian Sastra │ 57
Citraan kata, pada dasarnya, terefleksi melalui bahasa kias.
Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara pencitraan
dengan bahasa kias yang asosiatif dan konotatif. Cuddon
(1979:316) menjelaskan bahwa citraan kata meliputi penggunaan
bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan,
pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang
istimewa.
Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni: (1)
citraan penglihatan (visual imagery), (2) citraan pendengaran
(auditory imagery), (3) citraan penciuman (smell imagery),
(4) citraan pencecapan (taste imagery), (5) citraan gerak
(kinesthetic imagery), (6) citraan intelektual (intellectual imagery),
dan (7) citraan perabaan (tactile thermal imagery) (Brett, 1983:22;
Pradopo, 1993:81-87; bandingkan Nurgiantoro, 1988:304).
Citraan Penglihatan (Visual Imagery) adalah citraan yang
timbul oleh penglihatan. Pelukisan karakter tokoh, misalnya
keramahan, kemarahan, kegembiraan dan fisik (kecantikan,
keseksian, keluwesan, ketrampilan, kejantanan, kekuatan,
ketegapan), sering dikemukakan pengarang melalui citraan visual
ini. Dalam karya sastra, selain pelukisan karaklter tokoh cerita,
citraan penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh
pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau
bangunan, misalnya. Citraan visual itu mengusik indra penglihatan
pembaca sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk
memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah
terangsang melalui citraan visual itu.
Citraan Pendengaran (Auditory Imagery) adalah citraan
yang ditimbulkan oleh pendengaran. Di samping citraan
penglihatan, citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam
karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang
berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori
pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio.
Pelukisan keadaan dengan citraan pendengaran akan mudah

58 │ Pengkajian Sastra
merangsang imaji pembaca yang kaya dalam pencapaian efek
estetik.
Citraan Gerakan (Movement Imagery/Kinaesthetic)
melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi
dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada
umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa
hidup dan terasa menjadi dinamis. Citraan gerak sangat produktif
dipakai dalam karya sastra karena mampu membangkitkan imaji
pembaca. Melalui pelukisan gerak (kinestetik) imaji pembaca
mudah sekali dibangkitkan mengingat di dalam pikiran pembaca
tersedia imaji gerakan itu.
Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery) adalah citraan
yang ditimbulkan melalui perabaan. Berbeda dengan citraan
penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan
hanya sedikit dipakai oleh sastrawan dalam karya sastra. Dalam
fiksi citraan perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan
emosional tokoh, misalnya. Biasanya citraan perabaan digunakan
untuk lebih menghidupkan imaji pembaca dalam memahami teks
karya sastra sehingga timbul efek estetis.
Citraan Penciuman (Smell Imagery) jarang digunakan
dibanding citraan gerak, visual atau pendengaran. Namun
demikian, citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam
menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indera penciuman.
Pelukisan imajinasi yang diperoleh melalui pengalaman indera
penciuman disebut citraan penciuman. Citraan penciuman dipakai
sastrawan untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal
memperoleh pemahaman yang utuh atas teks sastra yang
dibacanya melalui indera penciumannya. Dalam menangkap
gagasan sastrawan dalam karya sastra, citraan penciuman
membantu pembaca dalam menghidupkan emosi dan imajinasinya.
Citraan Pencecapan (Taste Imagery) adalah pelukisan
imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pececapan
dalam hal ini lidah. Jenis citraan ini jarang digunakan dibanding

Pengkajian Sastra │ 59
dengan citraan lainnya. Jenis citraan pencecapan dalam karya
sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi oembaca
dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau
membangkitkan selera makan. Dengan citraan ini pembaca akan
lebih mudah membayangkan bagaimana rasa sesuatu, makanan
atau minuman misalnya yang diperoleh melalui lidah.
Citraan Intelektual (Intellectual Imagery) adalah citraan
yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan
intelektual. Guna menghidupkan imajinasi pembaca, sastrawan
memanfaatkan citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini
sastrawan dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui
asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran. Membaca citraan jenis ini,
maka intelektualitas pembaca menjadi terangsang sehingga timbul
asosiasi-asosiasi pemikiran dalam dirinya. Berbagai pengalaman
intelektual yang pernah dirasakannya dapat dihidupkan kembali
dengan citraan intelektual. Jenis citraan ini termasuk sering
digunakan dalam karya sastra guna merangsang intelektualitas
pembaca.

3. Bahasa Figuratif
Figuratif berasal dari bahasa Inggris figurative, yang berasal
dari bahasa Latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal
dari kata fingere dengan arti to fashion. Istilah ini sejajar dengan
pengertian metafora (Scott, 1980:107). Menurut Hawkes (1980:1),
tuturan adalah ”language which doesn’t mean what it says”,
tuturan untuk menyatakan suatu makna dengan cara yang tidak
biasa atau tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya. Tuturan
figuratif atau sering disebut bahasa kias digunakan oleh sastrawan
untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak langsung untuk
mengungkapkan makna (Waluyo, 1991:83). Hawkes (1980:2)
membedakan tuturan figuratif dengan bahasa literal. Jika tuturan
figuratif mengatakan secara tidak langsung untuk mengungkapkan

60 │ Pengkajian Sastra
makna, maka tuturan literal menunjukkan makna secara langsung
dengan kata-kata dalam pengertian yang baku.
Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk
memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya tuturan figuratif
(figurative language) menyebabkan karya sastra menarik
perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama
menimbulkan kejelasan angan (Pradopo, 1993:62). Tuturan figuratif
mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain
supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup.
Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara pencitraan kata
dengan tuturan kias. Pencitraan kata pada dasarnya terefleksi
melalui bahasa kias. Hal senada diungkapkan oleh Hawkes (1980:2),
bahwa "inevitably, figurative language is usually descriptive, and
the transference involved result in what seem to be "pictures" or
”images".
Menurut Middleton (dalam Lodge, 1969:49), tuturan figuratif
dalam aplikasinya dapat berwujud gaya bahasa yang sering
dikatakan oleh para kritikus sastra sebagai uniqueness atau
specialty (keistimewaan, kekhususan) seorang pengarang sehingga
gaya bahasa merupakan ciri khas pengarang. Meskipun tiap
pengarang memiliki gaya sendiri dalam mengungkapkan pikiran,
ada beberapa bentuk yang biasa dipergunakannya. Jenis-jenis
bentuk itu dalam stilistika sering disebut sarana retorika (rethorical
device).
Tuturan figuratif merupakan retorika sastra yang sangat
dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam
memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan
pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna
literal (literal meaning). Tuturan figuratif dalam kajian ini mencakup
majas, idiom, dan peribahasa. Pemilihan tiga bentuk bahasa
figuratif tersebut didasarkan alasan bahwa keempatnya merupakan
sarana sastra yang dipandang representatif dalam

Pengkajian Sastra │ 61
mendukung pesan atau gagasan pengarang. Selain itu, keempatnya
diduga cukup banyak dimanfaatlkan oleh Tohari dalam RDP.
Hawkes (1980:2) membedakan bahasa figuratif (bahasa kias)
dengan bahasa literal. Jika tuturan figuratif mengatakan secara
tidak langsung untuk mengungkapkan makna, maka tuturan literal
menunjukkan makna secara langsung dengan kata-kata dalam
pengertian yang baku.
Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk
memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya tuturan figuratif
(figurative language) menyebabkan karya sastra menarik per-
hatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbul-
kan kejelasan angan (Pradopo, 1993:62). Tuturan figuratif
mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain
supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup.
Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara pencitraan kata
dengan tuturan kias. Pencitraan kata pada dasarnya terefleksi
melalui bahasa kias. Hal senada diungkapkan oleh Hawkes (1980:2),
bahwa "inevitably, figurative language is usually descriptive, and
the transference involved result in what seem to be "pictures" or
”images".
Bahasa figuratif terdiri atas majas, idiom, dan peribahasa.
Dalam kajian ini peribahasa tidak dibahas mengingat dalam puisi
jarang digunakan.
a. Majas
Majas diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan
kata yang lain berdasarkan perbandingan atau analogi ciri semantis
yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus,
ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan tersebut
berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu
memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam
melukiskan citraan atau gagasan baru (Aminuddin, 1995:249).

62 │ Pengkajian Sastra
Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik untuk
pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak
menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya,
melainkan pada makna nyang ditambahkan, makna yang tersirat.
Jadi, majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan
penuturan dengan pemanfaatan bahasa kias. Sebenarnya masih
ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna
kiasnya, tetapi hubungan itu bersifat tidak langsung, atau paling
tidak ia membutuhkan interpretasi pembaca. Penggunaan bentuk-
bentuk kiasan dalam kesastraan, dengan demikian, merupakan
salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yakni penyimpangan
makna (Nurgiyantoro, 1998:296-297).
Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought:
tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan
pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif
yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam
konstruksi kalimat (Aminuddin, 1995:249). Majas dalam kajian ini
merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan
pembayangan gagasan. Majas diartikan sebagai penggantian kata
yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan atau
analogi ciri semantis yang umum dengan umum, yang umum
dengan yang khusus, ataupun yang khusus dengan yang khusus.
Perbandingan tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti
perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang
dipindahkan dalam melukiskan citraan atau gagasan baru
(Aminuddin, 1995:249).
Majas (figure of thought) merupakan teknik untuk pengung-
kapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk
pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan
pada makna nyang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, majas
merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan
pemanfaatan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna
antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun hubungan itu
bersifat tidak langsung, atau paling tidak ia membutuhkan

Pengkajian Sastra │ 63
interpretasi pembaca. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam
kesastraan, dengan demikian, merupakan salah satubentuk
penyimpangan kebahasaan, yakni penyimpangan makna
(Nurgiyantoro, 1998:296-297).
Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra–sesuai dengan
sifat sastra yang ingin menyampaikan pesan secara tidak
langsung—banyak mendayagunakan pemakaian bentuk-bentuk
bahasa kias itu. Pemanfaatan bentuk-bentuk kias tersebut di
samping untuk membangkitkan suasana dan kesan tertentu,
tanggapan indera tertentu, juga untuk memperindah peneuturan
itu sendiri. Jadi, majas menunjang tujuan estetis penulisan kary
sastra itu sebagai karya seni. Kehadiran majas dalam karya sastra
dengan demikian merupakan sesuatu yang esensial.
Penggunaan style ’gaya bahasa’ yang berwujud majas,
mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya sastra. Majas
yang digunakan secara tepat dapat menggiring ke arah interpretasi
pembaca yang kaya dengan asosiasi, di samping dapat mendukung
terciptanya suasana dan nada tertentu. Bahkan, penggunaan majas
yang baru akan memberikan kesan kemurnian, kesegaran, dan
mengejutkan, dan karenanya bahasa menjadi efektif.
Majas menurut Scott (1980:107) mencakup metafora, simile,
personifikasi, dan metonimia. Merujuk pandangan Scott (1980:107)
dan Pradopo (2004:61-78) majas yang akan dikaji daam kajian RDP
ini meliputi metafora, simile, personifikasi, metonimi, dan
sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte).
1) Metafora
Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak
menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai,
laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu
dengan perantaraan benda yang lain (Becker dalam Pradpo
(2000:61-78). Menurut Altenbernd dan Lewis (1970:15), metafora

64 │ Pengkajian Sastra
itu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau setaraf dengan
hal lain, yang sesungguhnya tidaklah sama.
Metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam
penerapan makna. Artinya, berdasarkan kata-kata yang telah
dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen,
pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen
tertentu, baik referen baru itu telah memiliki nama lambang
(sebutan ataupun kata) maupun belum. Metafora terutama
terdapat dalam karya sastra ataupun dalam bidang pemakaian
lainnya (misalnya lawak). Metafora dapat memberi kesegaran
dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak
bernyawa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadaan
(monoton), dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh
(Subroto, 1996:37).
Metafora ini merupakan bahasa figuratif yang paling
mendasar dalam karya sastra, terlebih puisi (Cuddon, 1979:275).
Hal senada diungkapkan oleh Hawkes (1980:1) bahwa "metaphor is
traditionally taken to be the most fundamental form of figurative
language". Lebih jauh Burton (1984:109) menjelaskan, bahwa
metafora merupakan wujud nyata pencitraan kata (imagery).
Metafora mengidentifikasikan dua objek yang berbeda dan
menyatukannya dalam pijaran imajinasi. Dalam hal ini metafora
bertugas membangkitkan daya bayang yang terdapat dalam angan
pembaca.
Menurut Subroto (1996:38), metafora diciptakan terutama
atas dasar keserupaan atau kemiripan antara dua referen. Referen
pertama disebut tenor (principle term) dan yang kedua disebut
wahana (vehicle/secondary term) (lihat pula Pradopo, 2002:66).
Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan,
sedangkan term kedua atau vehicle menyebutkan hal yang untuk
membandinkan. Dalam karya sastra, menurut Pradopo (2002:66-
67), sastrawan sering langsung menyebutkan term kedua, wahana
(vehicle) tanpa menyebutkan term pokok (tenor). Metafora

Pengkajian Sastra │ 65
semacam itu disebut metafora implisit. Selain itu, ada metafora
mati (dead metaphor), yakni metafora yang sudah klise hingga
orang sudah lupa bahwa itu merupakan metafora, misalnya kaki
gunung, lengan kursi, dan sebagainya.
Kesamaan atau kemiripan keduanya – tenor dan wahana--
merupakan terbentuknya metafora, yaitu tenor itu diperbanding-
kan atau dipersamakan/ diidentifikasikan sebagai wahana. Dapat
pula dinyatakan bahwa metafora adalah suatu perbandingan
langsung karena kesamaan, baik intuitif maupun nyata, antara dua
referen tanpa kata pembanding.
Faktor penting dalam keefektifan metafora adalah jarak
antara tenor dan wahana. Bila jarak antara tenor dan wahana
dekat, keserupaannya begitu nyata, maka metafora itu berkualitas
kurang ekspresif, kurang efektif. Sebaliknya apabila keserupaan
antara tenor dan wahana kurang begitu nyata, maka metafora itu
mempunyai kekuatan yang ekspresif (Subroto, 1996:39).
2) Simile (Perbandingan)
Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal
lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai,
sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, dan kata-
kata pembanding lainnya. Simile ini merupakan majas yang paling
sederhana dan paling banyak digunakan dalam karya sastra
(Pradopo, 2000:62).
3) Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-
benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, melihat, mendengar,
dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi banyak
dimanfaatkan para sastrawan sejak dulu hingga sekarang. Majas
personifikasi membuat hidup lukisan, dan memberi kejelasan
gambaran, memberi bayantgan angan secara konkret (Pradopo,
2000:75).

66 │ Pengkajian Sastra
4) Metonimi
Metonimi atau majas pengganti nama adalah penggunaan
sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat
dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut
(Altenbernd dan Lewis, 1970:21).
5) Sinekdoki (Synecdoche)
Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu
hal atau benda untuk hal atau benda itu sendiri disebut sinekdoki
(Altenbernd dan Lewis, 1970:22). Sinekdoki dapat dibagi menjadi
dua yakni (1) pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan) dan
(2) totum ro parte (keseluruhan untuk sebagian).

b. Idiom
Konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-
masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena
bersama yang lain disebut idiom. Idiom merupakan konstruksi yang
maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-
anggotanya (Harimurti Kridalaksana, 1982:62). Menurut Panuti
Sudjiman (1984: 34), idiom adalah pengungkapan bahasa yang
bercorak khas baik karena tata bahasanya maupun karena
mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsur-
unsurnya.
Senada dengan pendapat di atas, Suhendra Yusuf (1995:118)
mengartikan idiom sebagai kelompok kata yang mempunyai makna
khas serta tidak sama dengan makna kata per katanya. Jadi, idiom
mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan
yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Tegasnya, makna
idiom tidak dapat diterjemahkan secara satu persatu melainkan
secara kebersatuan. Misalnya: kambing hitam, panjang tangan,
kupu-kupu malam, kaki gunung, kaki tangan, tangan kanan, cetak
biru, dan sebagainya.

Pengkajian Sastra │ 67
4. Rima dan Irama
Mengingat pentingnya fonem dalam satuan lingual, kata
misalnya, maka fonem sering dimanfaatkan oleh para penyair
untuk menciptakan efek makna tertentu. Khususnya dalam karya
sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang peran
penting dalam penciptaan efek estetik. Adanya pemberdayaan
bunyi yang ditata dan diatur sedemikian rupa dalam puisi akan
menimbulkan irama yang indah tersendiri.
Timbulnya irama indah yang tercipta dalam puisi, misalnya
karena adanya rima dan irama (rhytm), asonansi dan aliterasi itu
akan menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan
suasana tertentu. Rima adalah persamaan bunyi pada akhir kata.
Bunyi itu berulang-ulang secara terpola dan biasanya terdapat pada
akhir baris puisi tetapi kadang-kadang terdapat pula di tengah dan
awal baris. Irama (rhytm) adalah bunyi yang menetaskan unsur
musikalisasi puisi. Irama puisi identik dengan intonasi yakni
penempatan tekanan tertentu pada kata. Dalam (pembacaan) puisi
hal itu memegang peran dominan. Bunyi yang tinggi-rendah, keras-
lembut, dan cepat-lambat menjadikan puisi terdengar/terkesan
merdu dan indah dibaca.
Asonansi adalah pengulangan bunyi vokal yang sama pada
rangkaian kata yang berdekatan dalam satu baris. Adapun
pengulangan bunyi konsonan yang sama pada rangkaian kata yang
berdekatan dalam satu baris disebut Aliterasi. Fonem /u/ misalnya
mampu menciptakan nada dan suasana sendu. Fonem /a/ mampu
menimbulkan nada dan suasana gembira. Bahkan, tidak jarang
dalam puisi, orkestrasi bunyi yang timbal karena adanya asonansi
dan aliterasi itu sering menimbulkan efoni (euphony) dan kakafoni
(cacaphony) yang mampu menciptakan nuansa yang indah
sehingga mengesankan pembaca.
Efoni adalah bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan
yang menciptakan musikalisasi bunyi yang indah. Adapun bunyi-
bunyi parau, aneh, berat, kasar, terkadang tidak menyenangkan

68 │ Pengkajian Sastra
dan tidak menimbulkan musikalisasi bunyi disebut kakafoni.
Meskipun terkadang terdengar atau terasa aneh dan tidak
menyenangkan, kakafoni diperlukan dalam rangka mencapai efek
makna tertentu.
Asonansi dan aliterasi tersebut tak terkecuali sering terdapat
baik pada puisi konvensional maupun puisi modern bahkan
kontemporer. Sebagai ilustrasi, berikut diberikan contoh beberapa
bait puisi yang memanfaatkan asonansi dan aliterasi.
”Sejuta Panorama Suara”

.....................................
Tuhanku
bukalah segala telingaku
hingga aku mengerti
segala bicara mereka ini
dalam menyelami semesta-Mu

di
si
ni

Tuhanku
aku jadi mengigil
aku makin mengecil
dalam kuasa-Mu
Tuhanku
aku semakin mengigil
dalam sejuta panorama suara
i
n
i

(Hamid Jabbar, 1981:9-11)

Pengkajian Sastra │ 69
Pada puisi kontemporer karya Hamid Jabbar tersebut terlihat
penyair memanfaatkan asonansi dan aliterasi sekaligus. Dengan
adanya asonansi dan aliterasi timbul suasana tertentu yang
melukiskan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Bandingkan dengan puisi konvensional karya Amir Hamzah
berikut.
“Buah Rindu”

Datanglah engkau wahai maut


Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita

Kicau murai tiada merdu Pada


beta bujang Melayu Himbau
pungguk tiada merindu Dalam
telingaku seperti dahulu
................................................

(Amir Hamzah, 1985:13)

5. Tema (Theme)
Tema adalah ide dasar dan pusat pembicaraan dalam sebuah
puisi. Meskipun puisi mungkin membicarakan banyak hal, semua
yang dibicarakan itu harus menuju inti pembicaraan. Gagasan yang
melandasi keseluruhan sebuah karya sastra, termasuk puisi, itulah
tema. Tema yang merupakan gagasan utama yang menjadi esensi
sebuah karya sastra itu berperan penting dalam penciptaan dan
penyusunan karya sastra.
Dengan demikian, tema karya sastra termasuk dalam puisi
merupakan unsur yang sangat penting dalam karya sastra. Tema
menjadi dasar bagi penyair untuk mengekspresikan hasil kreasi atas

70 │ Pengkajian Sastra
refleksinya terhadap lingkungan kehidupannya dalam karyanya.
Dapat dikatakan, tanpa ada tema, maka tidak akan ada karya
sastra. Temalah yang menjadi pangkal tolak terciptanya sebuah
karya sastra setelah sastrawan melakukan pengamatan terhadap
lingkungan sosialnya, lalu melakukan kontemplasi, perenungan
secara mendalam. Setelah itu, sastrawan kemudian melakukan
refleksi dan mengekspresikan gagasannya ke dalam karya sastra.
Gagasan itulah yang perlu dianalisis dan diungkapkan oleh
pembaca sastra, di samping struktur atau unsur-unsur pembangun
karya sastra.

6. Amanat (Intention)
Amanat merupakan pesan moral atau ajaran yang dapat
dipetik dari sebuah karya sastra, puisi misalnya. Tentu saja untuk
dapat memetik atau mengambil ajaran atau pesan moral dalam
sebuah karya sastra diperlukan interpretasi terhadap karya sastra.
Agar dapat melakukan interpretasi terhadap karya sastra, pembaca
memerlukan seperangkat pengetahuan, wawasan, dan pengalaman
batin yang dapat dimiliki dengan banyak membaca buku di samping
“membaca” realitas kehidupan di lingkungannya.
Seperti pada genre karya sastra lainnnya, pada umumnya
amanat dalam karya puisi terutama yang literer bersifat implisit
atau tersirat. Tugas pembacalah untuk mengeksplisitkan amanat
yang tersembunyi dalam karya puisi tersebut dengan mengerahkan
daya pemikiran dan kontemplasinya. Kumpulan dari amanat dalam
puisi itulah yang kemudian sering membentuk tema.

7. Perasaan (Feeling)
Dalam puisi terasa adanya perasaan tertentu yang timbul
sebagai efek dari adanya pemanfaatan diksi, rima dan irama
tertentu, citraan, dan majas tertentu. Perasaan gembira atau sedih,
suka atau duka, gamang, bimbang, putus asa, dan sebagainya.
Dapat pula dalam karya puisi terkandung perasaan protes, marah,
jengkel, perlawanan, resistensi terhadap persoalan tertentu dalam

Pengkajian Sastra │ 71
realitas kehidupan. Namun, dalam puisi terkadang juga terdapat
perasaan tenteram, tenang, dekat, dan bahagia karena peristiwa
atau dekat dengan Tuhan, dan sebagainya. Tentu saja perasaan
dalam karya puisi tersebut sangat bergantung pada suasana batin
sang penyair ketika melahirkan karya puisinya. Suasana batin sang
penyair pada umumnya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di
lingkingan sosialnya, di samping pandangan hidup, falsafat
kehidupan yang dianutnya, ideologi dan aliran politik, dan
sebagainya.

8. Nada (Tone)
Sebagai efek dari pemanfaatan media ekspresi tertentu
dalam puisi seperti adanya rima dan irama, diksi, majas, atau
citraan tertentu, timbullah nada dan suasana tertentu dalam puisi.
Seperti dikemukakan pada uraian sebelumnya yakni butir perasaan
(feeling), bahwa perasaan dalam karya puisi dipengaruhi oleh
suasana batin sang pengarang. Selanjutnya, suasana dalam puisi
dekat sekali atau berkaitan erat dengan nada dalam puisi.
Dapat dikatakan bahwa perasaan atau suasana dalam puisi
merupakan ruh yang menjiwai nada puisi. Artinya, perasaan dan
suasana tertentu dalam puisi akan menimbulkan nada tertentu
pula. Suasana bahagia dalam puisi akan melahirkan nada gembira.
Sebaliknya perasaan atau suasana nestapa akan melahirkan nada
sedih dalam karya puisi. Oleh karena itu, kedua unsur tersebut,
nada dan suasana sering dipasangkan menjadi satu.

72 │ Pengkajian Sastra
BAB V
FIKSI DAN UNSUR-UNSURNYA

A. Hakikat Fiksi (Cerita Rekaan)


Fiksi, sering disebut juga dengan cerita rekaan (cerkan) bukan
sebagai lawan dari kenyataan melainkan lebih sebagai hasil refleksi
sastrawan terhadap realitas kehidupan dalam lingkungan sosial
budayanya setelah melalui kreasi dengan daya imajinasinya. Dengan
daya kreasi dan imajinasinya, sastrawan kemudian merefleksikan
realitas kehidupan yang dihadapinya ke dalam karya fiksi. Oleh karena
itu, kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak dapat disejajarkan
dengan kebenaran pada dunia nyata (Sudjiman, 1990:30).
Robert Frost menyatakan, bahwa hakikat sastra adalah a
performance in words 'pertunjukan dalam kata' (dalam Nafron Hasyim,
2001:23). Oleh karena itu, novel sebagai karya sastra lazim dikatakan
sebagai 'dunia dalam kata', mengingat dunia cerita yang diciptakan
sastrawan dibangun, diabstrakkan, dan sekaligus lewat kata-kata atau
bahasa. Selain itu, novel merupakan cerita yang mengandung gagasan
tentang hakikat kehidupan dan sekaligus hiburan. Ketika membaca
sebuah novel, kita menikmati cerita, sekaligus memperoleh kepuasan
batin yang sulit dicari pada teks non-sastra.
Bagi Wellek & Warren (1989:113-114), betapa pun saratnya
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah
fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, bangunan
strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Melalui cerita,
secara tidak langsung pembaca dapat belajar, merasakan, dan
menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan
pengarang.
Sebagai karya rekaan, cerita imajinatif, karya sastra fiksi terdiri
atas cerita pendek (cerpen) dan novel. Perbedaan antara keduanya pun
tidak mudah untuk dirumuskan. Kedua fiksi tersebut dalam dunia

Pengkajian Sastra │ 73
sastra tampaknya menjadi genre terpenting mengingat jumlah
pembacanya paling banyak dibanding dengan dua genre lainnya yakni
puisi dan teks drama. Realitas dalam dunia sastra menunjukkan bahwa
kedua genre sastra fiksi tersebut demikian banyak penggemarnya.
Lebih-lebih cerita pendek dan novel populer yang sangat digemari
kalangan remaja dan ibu-ibu muda.

B. Novel
1. Definisi Novel
Novel merupakan salah satu genre sastra di samping cerita
pendek, puisi dan drama. Novel adalah cerita atau rekaan (fiction),
disebut juga teks naratif (narrative text) atau wacana naratif
(narrative discourse). Fiksi berarti cerita rekaan (khayalan), yang
merupakan cerita naratif yang isinya tidak menyaran pada
kebenaran sejarah (Abrams, 1981:61), atau tidak terjadi sungguh-
sungguh dalam dunia nyata. Peristiwa, tokoh, dan tempat yang ada
dalam fiksi adalah peristiwa, tokoh, dan tempat yang imajinatif.
Melalui novel, pengarang menawarkan berbagai per-
masalahan manusia dan kehidupan dan kemanusiaan, hidup dan
kehidupan setelah menghayati berbagai permasalahan tersebut
dengan serius. Penghayatan itu diungkapkannya kembali melalui
sarana fiksi yang imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-
hubungan antar manusia.
Novel menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia
dalam interaksinya dengan sesama dan lingkungannya, juga
interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan. Novel merupakan hasil
dialog, kontempelasi, dan reaksi pengarang terhadap kehidupan
dan lingkungannya, setelah melalui penghayatan dan perenungan
secara intens. Pendek kata, novel merupakan karya imajinatif yang
dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai karya seni

74 │ Pengkajian Sastra
yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model
kehidupan yang diidealkan pengarang.
Karya sastra pada umumnya merupakan karya seni yang
merupakan ekspresi pengarang tentang hasil refleksinya terhadap
kehidupan dengan bermediumkan bahasa. Oleh karena itu,
meskipun pada perkembangan sastra mutakhir muncul karya sastra
yang menggunakan medium lain di luar kata seperti gambar atau
tanda lain, dalam tulisan ini masih dipakai pengertian sastra
konvensional. Robert Frost menyatakan, bahwa hakikat sastra
adalah a performance in words 'pertunjukan dalam kata' (dalam
Nafron Hasyim, 2001:23), sedangkan fungsi sastra yakni dulce et
utile, 'menyenangkan dan berguna' seperti rumusan estetika
Yunani, Horatius (Wellek & Warren, 1989:25). Oleh karena itu,
novel sebagai karya sastra lazim dikatakan sebagai 'dunia dalam
kata', mengingat dunia cerita yang diciptakan sastrawan dibangun,
diabstrakkan, dan sekaligus lewat kata-kata atau bahasa. Selain itu,
novel merupakan cerita yang mengandung gagasan tentang hakikat
kehidupan dan sekaligus hiburan. Ketika membaca sebuah novel,
kita menikmati cerita, sekaligus memperoleh kepuasan batin yang
sulit dicari pada teks non-sastra.
Bagi Wellek & Warren (1989:113-114), betapa pun saratnya
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan,
sebuah fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik,
bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik.
Melalui cerita, secara tidak langsung pembaca dapat belajar,
merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan
yang ditawarkan pengarang. Itulah sebabnya, novel (dan genre
sastra lainnya), akan dapat membuat pembacanya menjadi lebih
arif, dapat melakukan bukan hanya simpati, melainkan empati
kepada orang lain. Sastra dapat memperkaya khazanah batin
pembacanya (Ali Imron Al-Ma’ruf, 1995:7).
Novel menurut Wellek dan Warren (1993:282) adalah cerita
yang melukiskan gambaran kehidupan dan perilaku manusia dari

Pengkajian Sastra │ 75
zaman pada waktu. Senada dengan pendapat di atas, Damono
(1978:2) menyatakan bahwa novel merupakan jenis sastra yang
bersifat fiktif, namun demikian jalan ceritanya dapat menjadi suatu
pengalaman hidup yang nyata dan lebih dalam lagi novel
mempunyai tugas mendidik pengalaman batin pembaca.
Dalam strukturalisme, konsep fungsi memegang peran
sangat penting. Unsur-unsur sebagai ciri khas karya sastra dapat
berperan semata-mata dalam rangka menunjukkan antarhubungan
unsur-unsur yang terlibat. Struktur lebih dari sekadar unsur-unsur
dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekadar pemahaman
bahasa sebagai mediumnya. Antarhubungan antarunsur dengan
demikian merupakan kualitas energetis unsur (Ratna, 2007:76).
Novel merupakan hasil pengalaman pengarang dalam
menghadapi lingkungan sosialnya yang didengan imajinasi
pengarang. Novel merupakan ungkapan kesadaran pengarang yang
berhubungan dengan kepekaan, pikiran, perasaan, dan hasratnya
dengan realitas yang dihadapi pengarang dipadu dengan penga-
laman hidupnya. Oleh karena itu, novel sering mengungkapkan
berbagai realitas hidup yang terkadang tidak terduga oleh
pembaca.

2. Novel Indonesia Mutakhir


Dalam perkembangan sastra fiksi Indonesia, dikenal adanya
novel mutakhir. Novel Indonesia berkembang pesat sejak dekade
1970-an karena didukung oleh beberapa faktor yakni: (1) adanya
maecenas sastra berhubungan dengan makin stabilnya keadaan
ekonomi Indonesia, (2) kebebasan mencipta sastra (bersastra) yang
relatif terselenggara sejak tahun 1967, (3) dukungan pers yang
menyediakan rubrik sastra dan budaya dalam majalah dan surat
kabar, dan (4) berkembangnya konsumen sastra terutama di
kalangan muda (Jakob Sumardjo, 1982:15-16; lihat Dami N. Toda,
1987:18).

76 │ Pengkajian Sastra
Penggunaan istilah 'novel Indonesia mutakhir' bukan periode
atau angkatan 1970-an atau Angkatan 2000 dimaksudkan untuk
menghindari polemik mengenai lahirnya angkatan sastra dalam
dunia sastra Indonesia yang sering menjadi perdebatan yang tak
kunjung usai. Sejak Angkatan '66 yang dicetuskan oleh Jassin hingga
1990-an, sastra Indonesia seolah-olah mengalami stagnasi, karena
tidak ada angkatan sastra baru. Padahal realitasnya ada banyak
karya sastra yang terbit pada dekade 1970-an hingga 1990-an yang
memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan Angkatan '66.
Baru pada tahun 2000 muncul Angkatan 2000 dalam Sastra
Indonesia (2000) yang dikemukakan oleh Korrie Layun Rampan.

Setelah Angkatan '66 sebenarnya telah muncul gagasan


lahirnya angkatan sastra baru. Mula-mula Dami N. Toda
menyampaikan gagasan lahirnya Angkatan '70 lewat makalahnya
"Peta Perpuisian Indonesia dalam Sketsa" (1977), kemudian
Sutardji C. Bachri lewat tulisannya "Chairil Anwar, Angkatan '70,
dan Kredo Puisi Saya" (1984), Abdulhadi W. M. dengan tulisannya
"Angkatan '70 dalam Sastra Indonesia" (1984), dan Korri Layun
Rampan dalam makalahnya "Angkatan '80 dalam Sastra Indonesia"
(1984). Namun, gagasan mengenai Angkatan '70 dan Angkatan '80
ini seakan-akan terhapus dari sejarah sastra Indonesia, terutama
karena tidak didukung oleh antologi karya-karya yang memper-
lihatkan ciri dan karakteristik angkatan sastra tersebut (Korrie
Layun Rampan, 2000: xxxi). Baru setelah Rampan menulis antologi
Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), bergulirlah
'Angkatan 2000'. Itu pun Ahmad Tohari, yang mulai dikenal lewat
karya-karyanya sejak akhir 1970-an, tidak termasuk di dalamnya.
Adapun karya-karya sastrawan yang terhimpun dalam antologi ini
banyak yang sudah mulai muncul sejak dekade 1980-an hingga
akhir 1990-an (lihat Korrie Layun Rampan, 2000:xxiii).
Mencermati realitas itulah maka pengertian novel Indonesia
mutakhir di sini lebih mengacu pada pandangan Budi Darma (dalam
Aminuddin, 1990:133), bahwa banyak faktor di luar sastra yang ikut

Pengkajian Sastra │ 77
menentukan sastra, termasuk angkatan sastra. Gejala-gejala dalam
sastra yang membentuk sastra Indonesia mutakhir menurut Budi
Darma menyangkut filsafat, kerinduan arkitipal dan sofistikasi
dalam karya sastra.
Filsafat dan sastra kadang-kadang menjadi satu. Filsafat
dapat diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri sekaligus
dapat bertindak sebagai filsafat. Salah satu aliran filsafat yang
muncul dalam sastra Indonesia pada beberapa dekade terakhir
adalah eksistensialisme yang derivasinya meliputi allienisme (yang
menyiratkan kesendirian atau keterasingan) dan absurdisme (yang
menyiratkan bahwa kehidupan kita tidak mempunyai makna) (Budi
Darma dalam Aminuddin, 1990:134-135). Perkembangan
absurdisme dalam sastra menjadi bermacam-macam, antara lain
berbentuk karya sastra antilogika, antiplot dan antiperwatakan.
Allienisme dan absurdisme terlihat antara lain dalam karya-karya
Iwan Simatupang, Kuntowijoyo dan Danarto.
Kerinduan arkitipal menyaran pada adanya kecenderungan
para sastrawan yang berusaha menggali kembali akar tradisi
subkebudayaan. Bangsa Indonesia yang heterogen berpijak pada
dua dunia yang saling menunjang yakni subkebudayaan masing-
masing di satu pihak dan kebudayaan Indonesia di pihak lain. Sadar
atau tidak kita pasti dilanda kerinduan arkitipal, yakni rindu
terhadap sub-subkebudayaan (budaya lokal) masing-masing. Karya-
karya Y.B. Mangunwijaya seperti novel Burung-burung Manyar
(1981), Burung-burung Rantau (1984), dan Genduk Duku (1986),
Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan Bawuk (1975), novel Para
Priyayi (1992) Ahmad Tohari dalam novel Kubah (1980), trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk (1982, 1985, 1986), kumpulan cerpen
Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), dan A.A. Navis
dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1969), novel
Kemarau (1971), menyiratkan arkitipal itu.
Munculnya sastra sufi dengan dimensi transendentalnya juga
merupakan pengejawantahan kerinduan arkitipal. Agama dan

78 │ Pengkajian Sastra
keyakinan terhadap Tuhan juga subkebudayaan. Hakikat kerinduan
arkitipal adalah kerinduan terhadap sebuah subkebudayaan yang
telah membentuk kita menjadi manusia Indonesia. Sufisme beserta
transendentalnya juga telah membentuk sebagian wajah manusia
Indonesia (Budi Darma, dalam Aminuddin, 1990: 138). Karya sastra
yang mengandung muatan sufisme, misalnya Khutbah di Atas Bukit
(1976) karya Kuntowijoyo, Godlob (1974), Adam Ma'rifat (1982),
dan Berhala (1991) karya Danarto.
Sastra bermuatan sejarah juga merupakan pengejawantahan
dari arkitipal. Sejarah berdimensi nostalgia, sedangkan nostalgia
dapat menjadi saudara kembar kerinduan arkitipal (Budi Darma
dalam Aminuddin (Ed), 1990:138). Banyak sastra Indonesia yang
mengangkat masalah sejarah, misalnya karya-karya Y.B.
Mangunwijaya : Burung-burung Manyar (1981), dan Genduk Duku
(1986), juga Kubah (1980), trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982;
2003) karya Ahmad Tohari; lalu Keberangkatan (1977) karya Nh.
Dini dan Anak Tanah Air (1985) karya Ajip Rosidi.
Adapun sofistikasi menyaran pada pandangan pemikiran
baru yang mengkristal dalam filsafat. Sebuah pandangan dapat
dirumuskan jika memenuhi prasyarat tertentu, antara lain
pandangan itu harus mendasar. Biasanya, pandangan yang
mendasar dapat lahir karena adanya suatu krisis besar (Budi Darma
dalam Aminuddin (Ed.), 1990:139).
Menurut Budi Darma, setelah lahirnya eksistensialisme,
perkembangan dunia pemikiran lebih bersifat evolusioner. Dalam
proses evolusioner itu para pemikir bersifat evolusioner pula, yang
juga terjadi dalam sastra. Kosongnya filsafat, yakni filsafat yang
memadu sastra seperti eksistensialisme tentu saja tidak identik
dengan kosongnya perilaku dan kebudayaan. Sastra tetap
membawakan pemikiran, meskipun belum tentu pemikiran itu
telah dirumuskan menjadi filsafat.
St. Takdir Alisyahbana (STA) selalu memperjuangkan nilai-
nilai tertentu yang sudah dirumuskan sendiri sebelumnya.

Pengkajian Sastra │ 79
Misalnya, sastra harus membawakan gagasan besar, harus
merombak dan harus membawa modernisasi. Satrawan Indonesia
yang lain sebenarnya juga membawa gagasan baru, hanya saja
mungkin tidak sehebat STA yang muncul sejak masa sebelum
kemerdekaan hingga zaman modern. Iwan Simatupang, Ahmad
Tohari, Danarto, Kuntowijoyo, dan Ayu Utami dapat dikatakan juga
mengusung gagasan-gagasan baru yang cukup mendasar dalam
karyanya.

3. Novel Merajai Fiksi Indonesia Mutakhir


Dekade 1970-an merupakan masa perkembangan baru
dalam kesusasteraan Indonesia yang membawa perubahan penting
di tengah kehidupan masyarakat. Dekade 1970-an juga membuka
cakrawala baru bagi pengarang dan pembaca sastra dengan
semakin banyaknya masyarakat pembaca sastra terutama kaum
muda dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya relatif
mapan. Perkembangan itu ditandai antara lain dengan banyaknya
karya sastra baik puisi, cerpen, novel, maupun drama yang
diterbitkan.
Karya sastra dengan berbagai genrenya adalah anak zaman-
nya, yang melukiskan corak, cita-cita, inspirasi, dan perilaku
masyarakatnya, sesuai dengan hakikat dan eksistensi karya sastra
yang merupakan interpretasi kehidupan (Hudson, 1965:132).
Melalui refleksi, kontemplasi, dengan mengerahkan daya kreasi
dan imajinasinya, kehidupan sosial budaya yang berkembang dan
dihadapi sastrawan itu dieskpresikannya dalam bentuk karya sastra
baik puisi, fiksi, maupun drama sesuai dengan latar belakang dan
ideologinya.
Di antara tiga genre karya sastra yakni puisi, fiksi, dan drama,
karya fiksi novellah yang paling menonjol. Hal itu terbukti dengan
banyaknya novel yang terbit dan beredar serta menjadi bacaan
masyarakat modern di Indonesia yang menggemari sastra terutama

80 │ Pengkajian Sastra
sejak dekade 1970-an. Oleh karena itu, menurut Teeuw (1989:169),
novel dapat dikatakan sebagai genre sastra yang merajai fiksi
Indonesia mutakhir.
Perkembangan itu tidak terlepas dari situasi Indonesia pasca-
1965 terutama memasuki dekade 1970-an, sastrawan Indonesia
seolah-olah memperoleh kebebasan yang lebih luas. Usaha
mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah
penggalian tradisi, pada sumber kekayaan khasanah sastra
Indonesia sendiri (Mahayana, 2007:30). Lahirlah beragam karya
sastra dengan tema yang variatif.
Sastra Indonesia, terlebih novel, lahir dan berkembang dalam
dinamika sosiokultural yang khas. Dikatakan khas karena novel
Indonesia mengungkapkan heterogenitas masyarakat Indonesia
yang pluralistic. Novel Indonesia merepresentasikan ruh, bahkan
juga semangat kultural lingkungan sosial budaya etnisitas
keindonesiaan (Mahayana, 2008:1). Hal itu tentu tidak terlepas dari
eksistensi sastrawan yang lahir dan dibesarkan dalam dinamika
lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Oleh karena itu,
sastrawan yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap lingkungan
sosialnya kemudian menangkap, menginterpretasikan, dan
merefleksikannya dalam karya sastranya, antara lain dalam
novelnya.
Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan
hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial
kehidupannya. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus
ditafsirkan lazimnya melalui bahasa. Apa pun yang dipaparkan
pengarang dalam karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca,
berkaitan dengan bahasa.
Novel merupakan pengolahan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan oleh kaum terpelajar Indonesia sejak tahun 1920-
an dan yang sangat digemari oleh sastrawan (Hardjana, 1981:71).
Dalam novel terdapat satu pilihan di antara berbagai aspek
kehidupan untuk diperhatikan (Boulton, 1984:145). Meskipun di

Pengkajian Sastra │ 81
antara sastrawan berbeda pendapat tentang apa yang menarik,
melalui kesusasteraan kita dapat belajar banyak tentang hidup ini
dengan menemukan apa yang dianggap penting oleh orang lain.
Itulah sebabnya mengapa novelis-novelis kita sering mengupas
masalah-masalah sosial yang sangat aktual dihadapi pengarang dan
zamannya, termasuk masalah sosial keagamaan (Sumardjo,
1979:vii).
Karya sastra yang berbobot memiliki keistimewaan
(idiosyncrasy), meminjam istilah Chomsky (dalam Fowler, 1977:6),
baik segi ekspresi (surface structure) maupun segi kekayaan
maknanya (deep structure). Artinya, karya sastra literer harus
memenuhi dua kriteria utama seperti dinyatakan oleh Hugh (dalam
Aminuddin, 1987:45), yakni (1) relevansi nilai-nilai eksistensi
manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi
dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh,
selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu
(integrity, harmony dan unity); (2) daya ungkap, keluasan, dan daya
pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur-
unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan
klaritas).
Dengan demikian, daya tarik sastra literer termasuk fiksi
literer terletak terutama pada dua hal. Pertama, adanya gagasan-
gagasan besar dan aktual atau ideologi pengarang yang berkaitan
dengan eksistensi kemanusiaan seperti masalah social, politik,
budaya, moral, keagamaan, religiositas, dan gender. Kedua adalah
unsur-unsur cerita sebagai sarana ekspresi termasuk stilistika yang
memiliki daya pukau yang luar biasa.

C. Cerita Pendek (Cerpen)


Perbedaan cerpen dengan novel terutama terletak pada segi
formalitas bentuk, atau segi panjang cerita. Cerpen merupakan cerita
yang pendek. Akan tetapi berapa ukuran panjang pendek tidak ada

82 │ Pengkajian Sastra
ketentuan yang pasti. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961:72) sastrawan
kenamaan Amerika, menyatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita
yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar sekitar
setengah jam hingga dua jam, sesuatu yang kiranya tidak mungkin
dilakukan untuk membaca sebuah novel.
Yang pasti, cerpen menuntut penceritaan yang ringkas, tidak
sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat
memperpanjang cerita. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa
perbedaan novel dengan cerpen adalah pada cerpen hanya
mengisahkan tokoh utamanya dalam satu episode kehidupan tertentu.
Sebuah cerita yang hanya mengisahkan tokoh dalam sekelumit
kehidupannya, masa remajanya saja misalnya. Adapun novel lebih
bebas dalam penceritaan dan dapat mengisahkan tokohnya secara
lebih detil. Novel menceritakan tokohnya dalam suatu periode
kehidupan tertentu sehingga aspek-aspek cerita dapat diceritakan
secara lebih mendetil.
Ada pula cerpen yang panjang atau sangat panjang sering
disebut novelet, yakni cerita yang lebih pendek daripada novel. Karya
Umar Kayam Sri Sumarah dan Bawuk (1975) dua cerpen panjang itu
barangkali lebih tepat dikatalkan sebagai novelet.

D. Unsur-unsur Fiksi
Di samping unsur formal bahasa, banyak unsur yang membangun
sebuah novel yang kemudian secara bersama-sama membentuk
totalitas. Unsur-unsur pembangun novel itu secara konvensional
(Wellek & Warren, 1989:157-159), dapat dibagi menjadi dua yakni
unsur intrinsik (intrinsic) dan ekstrinsik (extrinsic). Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang secara langsung turut membangun karya
sastra itu, yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Unsur-
unsur inilah yang membuat sebuah karya hadir sebagai karya sastra.
Atau, dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur cerita itulah yang akan

Pengkajian Sastra │ 83
dijumpai ketika membaca sebuah novel. Unsur intrinsik itu yakni: tema,
alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung turut mempengaruhi
bangunan karya sastra itu. Unsur-unsur itu mempengaruhi totalitas
bangunan cerita tetapi tidak berada di dalamnya. Karena karya sastra
tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, maka pemahaman unsur
ekstrinsik sebuah novel itu penting untuk membantu pemahaman
maknanya. Unsur ekstrinsik terdiri atas beberapa unsur yang
merupakan keadaan subjektivitas pribadi pengarang yang berupa
keyakinan, sikap, ideologi, dan pandangan hidup. Unsur ekstrinsik
lainnya adalah psikologi pengarang (mencakup proses kreatifnya),
lingkungan sosial budaya, politik, pendidikan, dan profesi. Latar
belakang kehidupan pengarang akan turut menentukan corak karya
sastra yang dihasilkannya.
Robert Stanton (1975:11-36) membagi unsur-unsur yang
membangun novel menjadi tiga, yakni tema (theme), fakta (facts), dan
sarana sastra (literary device). Tema adalah gagasan yang melandasi
cerita, yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti
masalah sosial, politik, budaya religi, juga cinta kasih, maut, dan
sebagainya. Fakta cerita meliputi tokoh, alur, dan latar, ketiganya
merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan
eksistensinya dalam sebuah cerita. Karena itu, ketiganya sering disebut
sebagai struktur faktual (factual structure).Adapun sarana sastra adalah
teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita
berupa peristiwa dan kejadian-kejadian menjadi pola yang bermakna.
Sarana sastra dipakai untuk memungkinkan pembaca melihat dan
merasakan fakta seperti yang dilihat dan dirasakan pengarang, serta
menafsirkan makna seperti yang ditafsirkan pengarang. Sarana sastra
dalam fiksi antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya bahasa
dan nada, simbolisme, dan ironi.
Menurut kaum strukturalis, unsur fiksi (teks naratif) dapat dibagi
menjadi dua yakni unsur cerita (story, content) dan wacana (discourse,

84 │ Pengkajian Sastra
expression). Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedangkan
wacana merupakan bentuk dari isi cerita yang diekspresikan (Chatman,
1980:23). Cerita terdiri atas peristiwa (event) dan wujud eksistensinya
(existents). Peristiwa dapat berupa tindakan (action, peristiwa yang
berupa tindakan manusia, verbal dan nonverbal) dan kejadian
(happening, peristiwa yang bukan merupakan hasil tindakan manusia,
misalnya peristiwa alam gempa bumi dan banjir). Wujud eksistensinya
terdiri atas penokohan (characters) dan unsur–unsur latar (setting
items).
Adapun wacana di pihak lain, merupakan sarana untuk
mengungkapkan isi. Secara singkat dapat dikatakan, unsur cerita adalah
apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif, sedangkan wacana adalah
bagaimana cara melukiskannya (Chatman, 1980:19). Jadi, dalam fiksi
unsur cerita dan wacana tidak terpisahkan satu dengan lainnya.
Berikut akan dipaparkan batasan unsur-unsur fiksi tersebut
sesuai dengan teori Robert Stanton.
1. Tema (Theme)
Tema adalah gagasan yang melandasi cerita, yang berkaitan
dengan berbagai aspek kehidupan, seperti masalah sosial, politik,
budaya religi, juga cinta kasih, maut, dan sebagainya. Sastrawan
dalam karya sastranya ingin mengemukakan suatu gagasan sesuai
dengan latar belakang kehidupannya, pandangan, wawasan, dan
ideologinya. Tema cerita lazimnya merupakan sesuatu yang bersifat
universal yang berlaku sepanjang masa yang dapat dihayati orang
selama karya itu masih ada.
Secara sederhana Stanton (2007:7) menyebut tema yang
disamakan dengan “gagasan utama” sebagai makna yang bernilai
besar lebih dari kelihatannya. Menurut Sudjiman (1996:50) yang
dimaksud dengan tema adalah gagasan yang mendasari karya
sastra. Tema itu kadang-kadang didukung oleh penulis latar, dalam
karya yang lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau dalam
penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-

Pengkajian Sastra │ 85
peristiwa dalam suatu alur. Ada kalanya gagasan itu begitu
dominan sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan
pelbagai unsur yang sama-sama membangun karya sastra dan
menjadi motif tindak tokoh.
Dengan demikian dapat disimpulkan tema adalah suatu
gagasan utama atau ide sentral yang menjadi dasar atau melandasi
sebuah cerita. Tema inilah yang menggerakkan cerita dari awal
hingga akhir. Sebagai contoh, tema novel Keluarga Permana karya
Ramadhan K.H. adalah fenomena perkawinan lintas agama yang
menimbulkan masalah sosial keagamaan.

2. Fakta Cerita (Facts)


a. Alur (Plot)
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-
sinambung yang terjalin dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat)
guna membangun jalannya cerita secara terpadu dan utuh.
Peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita dapat tersusun menurut
urutan waktu terjadinya. Akan tetapi tidak semua kejadian dalam
hidup tokoh ditampilkan secara berurutan, lengkap sejak kelahiran
tokohnya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memper-
hatikan kepentingan dalam membangun cerita.
Alur merupakan unsur cerita yang berperan penting dalam
memperlancar jalannya cerita. Alur adalah rangkaian peristiwa
yang terpilih yang menggiring pembaca untuk melihat peristiwa
yang terjadi berikutnya. Oleh karena itu, jalinan peristiwa harus
memperlihatkan sebab akibat. Plot mengandung penyebab/
motivasi, dan akibat serta saling berhubungan antara keduanya.
Secara garis besar struktur alur sebuah novel bibagi menjadi
tiga tahap, yaitu tahap awal, tengah, dan akhir (Nurgiyantoro,
1998:142). Pada tahap awal lazim disebut tahap perkenalan. Tahap
perkenalan biasanya berisi informasi penting mkengenai hal-hal
yang akan dikisahkan ada tahap-tahap berikutnya. Tahap ini

86 │ Pengkajian Sastra
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk memahami cerita
selanjutnya. Fungsi tahap awal sebuah cerita adalah untuk
memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang
berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
Tahap tengah merupakan tahap pertikaian atau konflik
(conflict), menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah
mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya menjadi semakin
meningkat, semakin menegangkan. Pada tahap ini terjadi
komplikasi, penggawatan (complication) dan klimaks (climax).
Konflik erat kaitannya dengan unsur penggawatan yang terdapat
pada kejadian awal. Tahap tengah merupakan bagian terpanjang
dan terpenting dalam fiksi.
Pada tahap akhir atau tahap peleraian, menampilkan adegan
tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini menyampaikan
bagaimana akhir cerita atau pecahan masalah (denouement).
Menurut Saleh Saad (dalam Rahmanto, 1988:30), alur dibagi
menjadi dua bagian yakni (1) alur maju (progresi) yaitu suatu cerita
yang dimulai dari awal tengah kemudian baru berakhir dan (2) alur
mundur (regresi) yaitu suatu cerita yang dimulai dari akhir menuju
tahap tengah dan berakhir pada tahap awal. Alur ini juga disebut
alur sorot balik atau flashback. Pada realitasnya, terkadang
terdapat alur fiksi campuran yakni alur progresi dan regresi dipakai
bersama-sama dalam sebuah fiksi.
S. Tasrif (dalam Lubis, 1978:10) membagi alur menjadi lima
tahap.
(1) Tahap Penyituasian (Situation) yakni tahap pengenalan
situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini disebut tahap
pembukaan cerita yang berisi penyampaian informasi awal.
(2) Tahap Pemunculan Konflik (Generating Sircumstances)
yakni peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai dimuncul-
kan. Jadi tahap ini merupakan awal mumculnya konflik.

Pengkajian Sastra │ 87
(3) Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action), yakni konflik
yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin
berkembang dan dikembangkan kladar intesitasnya. Peristiwa-
peristiwa dramatic yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan.
(4) Tahap Klimaks (Climax), konflik atau pertentangan-
pertentangan yang terjadi yang terjadi pada para tokoh cerita
mencapai intensitas puncak. Pada tahap inilah puncak pertikaian
dan ketegangan berlangsung.
(5) Tahap Penyelesaian (Denouement), konflik yang telah
mencapai puncak atau klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan. Semua konflik dan subkonflik juga diberi jalan keluar
dan cerita diakhiri.
Secara lebih rinci, alur fiksi dapat pula dikaji melalui struktur
naratifnya. Sebagai sebuah karya sastra, novel merupakan satu
sistem yang berstruktur. Sebagai sistem yang bersruktur, novel
memiliki unsur struktur naratif. Struktur naratif menurut Chama-
mah-Soeratno merupakan perwujudan bentuk penyajian suatu
atau beberapa peristiwa (1991:1), sedangkan naratif dapat diarti-
kan sebagai rangkaian peristiwa yang menjadi pokok pembicaraan
dalam wacana dengan berbagai relasi yang mengaitkan peristiwa
(1991:3).
Di dalam struktur naratif terdapat dua hal yakni cerita (story
atau content) dan wacana (discourse atau expression). Struktur
naratif merupakan penanda (signifie) dari peristiwa, penokohan
dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda (signifiant)
dari unsur-unsur di dalam ekspresi naratif yang terdapat di dalam
wacana. Dengan demikian objek estetik naratif ialah cerita dari
artikulasi wacana (Chatman, 1978: 15-42). Tujuan analisis struktur
naratif dengan demikian adalah untuk memperoleh susunan teks
baik susunan wacana (discourse) maupun susunan cerita (story).
Untuk itu analisis sekuen (sequence) perlu dilakukan guna
mengungkapkan struktur naratif.

88 │ Pengkajian Sastra
Langkah pertama untuk itu adalah dengan menentukan sa-
tuan-satuan cerita dan fungsinya. Dalam hal ini digunakan konsep
sintaksis naratif Roland Barthes, yang sebenarnya diilhami oleh
pemikiran Ferdinand de Saussure perihal hubungan sintagmatik
dan paradigmatik dalam bidang linguistik. Menurut Barthes,
hubungan sintagmatik adalah hubungan yang berdasarkan
kehadiran bersama (in praesentia). Hubungan itu didasari oleh dua
atau sejumlah istilah yang bersama-sama hadir dalam suatu seri
efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan istilah-
istilah yang tidak hadir (in absentia) di dalam ingatan sebagai suatu
rangkaian kemungkinan. Konsep ini lalu dipergunakan dalam
analisis sastra, sehingga berkembanglah kemudian analisis
sintagmatik dan analisis paradigmatik. Analisis sintagmatik diguna-
kan untuk menelaah struktur, sedangkan analisis paradigmatik
digunakan untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dan
tak hadir dalam teks, yaitu hubungan makna dan simbol (Zaimar,
1991:34).
Telaah struktur dengan analisis sintagmatik menyajikan
kembali teks dengan menampilkan urutan sekuen. Mengenai cara
memperoleh satuan-satuan cerita dan bagaimana kriterianya,
Barthes (1984:88-89) mengemukakan sebagai berikut.
“From the start, meaning nust be the criterion of the unit: it is
the functionalnature of certain segment of the story that makes
them units - hence the name 'functions' immediately attributed
to this first units. Since the Russians Formalists, a unit has been
taken as any segment of the story which can be seen as teh
term of a correlation. The essence of a function is, so to speak,
the seed that it sows in the narrative, planting an element that
will come to fruition later - either on the same level or
elswhere, on another level.”
Jelaslah bahwa bagi Barthes, sejak awal maknalah yang harus
menjadi kriterianya. Dalam hal itu yang membentuk satuan adalah
ciri fungsional dari bagian-bagian tertentu dalam cerita. Karena itu,

Pengkajian Sastra │ 89
kata 'fungsi' diberikan pada satuan-satuan utama. Menurut
Barthes, setiap bagian cerita yang muncul sebagai suatu korelasi,
ditetapkan sebagai satuan. Inti setiap fungsi adalah unsur yang
dapat menggerakkan cerita. Jadi jelaslah bahwa sejak awal
kriterianya adalah makna.
Untuk memperoleh satuan isi cerita, analisis dapat dimulai
dengan membagi teks ke dalam satuan-satuan makna yang
membentuk satu sekuen atau rangkaian. Sekuen dapat dinyatakan
dalam kalimat, atau dengan satuan yang lebih tinggi. Dalam sekuen
terdapat beberapa unsur. Oleh karena itu satu sekuen dapat dibagi
dalam beberapa sekuen yang lebih kecil, yang dapat juga dibagi lagi
menjadi sekuen yang lebih kecil. Jadi, satu sekuen naratif dapat
berupa serangkaian peristiwa yang menunjukkan suatu tahap
dalam perkembangan tindakan (Zaimar, 1991:33).
Chatman (1969) menyatakan, bahwa dilihat dari macam
peristiwa dalam rangka struktur terdapat tingkatan-tingkatan
dalam sekuen yakni yang disebut kernel dan satelite. Kernel yakni
peristiwa yang menggerakkan tindakan, dan satellit yakni peristiwa
yang mengembangkan tindakan (dalam Chamamah-Soeratno,
1991:4). Jadi, dalam kernel dapat berupa beberapa satelit
(satellite), dan begitu juga sebaliknya.
Selanjutnya perlu dikemukakan pula tentang satuan cerita.
Menurut Barthes (1984: 93-94), satuan cerita itu memiliki dua
macam fungsi yaitu cardinal functions (or nuclei) dan catalysers,
atau meminjam istilah Zaimar (1991:34) sebagai fungsi utama dan
katalisator. Satuan-satuan yang memiliki satuan utama (kardinal)
tersebut bertugas untuk mengarahkan jalan cerita, sedangkan
katalitaor bertugas menghubungkan fungsi-fungsi utama. Sementa
itu katalisator tetap fungsional selama masih berkaitan dengan
fungsi utamanya (kardinalnya), meskipun kefungsionalannya
bersifat parasitis. Antara katalisator satu dengan lainnya
berhubungan secara kronologis, sedangkan fungsi utama satu

90 │ Pengkajian Sastra
dengan lainnya berhubungan secara konsekuensial atau hubungan
sebab akibat (logis).
Analisis struktur naratif berusaha mengemukakan kembali
teks fiksi dengan menampilkan urutan sekuen. Rangkaian semantis
dalam teks dapat dibagi dalam beberapa sekuen. Setiap bagian
ujaran yang membentuk suatu satuan makna membentuk satu
sekuen. Satu sekuen itu berarti sangat kompleks. Untuk itu perlu
diperhatikan kriteria sekuen yang dikemukakan Schmitt dan A.
Viala (dalam Zaimar, 1991:33) sebagai berikut.
(1) Sekuen haruslah terpusat pada satu titik perhatian (atau
fokalisasi), yang diamati merupakan objek yang tunggal dan yang
sama: peristiwa yang sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama,
bidang pemikiran yang sama.
(2) Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang
yang koheren: sesuatu terjadi pada suatu tempat atau waktu ter-
tentu. Dapat juga merupakan gabungan dari beberapa tempat dan
waktu yang tercakup dalam satu tahapan. Misalnya satu periode
dalam kehidupan seorang tokoh atau serangkaian contoh atau
pembuktian untuk mendukung satu gagasan.
Selanjutnya, untuk menelaah hubungan antara unsur yang
hadir dengan tak hadir, yaitu hubungan makna dan simbol,
digunakan analisis paradigmatik. Dalam hal ini dasar analisisnya
adalah unsur-unsur cerita berasosiasi dalam pikiran peneliti sebagai
pembaca, misalnya untuk membahas tokoh, gagasan, suasana, dan
sebagainya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa satuan isi
cerita dapat memiliki hubungan sintagmatik dan paradigmatik
sekaligus dengan satuan lainnya (Zaimar, 1991:35). Untuk itu
analisis struktur naratif fiksi dibagi menjadi dua bagian, yakni: (1)
urutan tekstual dan (2) urutan kronologis.

Pengkajian Sastra │ 91
b. Penokohan/Perwatakan (Characters)
Kehadiran tokoh dalam suatu cerita dapat dilihat dari
berbagai cara, yang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga cara
antara lain: (1) Cara analitis, yakni pengarang secara langsung
menjelaskan dan melukiskan tokoh-tokohnya, (2) Cara dramatik,
yakni pengarang melukiskan tokoh-tokohnya melalui gambaran
tempat dan lingkungan tokoh, dialog antartokoh, perbuatan dan
jalan pikiran tokoh, dan (3) Kombinasi keduanya (Saad dalam Ali,
1986:123-124).
Rimmon-Kenan (1986:59-66) menyebut cara pertama
sebagai pendefinisian langsung (direct definition), dan cara kedua
disebut sebagai penghadiran tidak langsung (indirect presentation).
Penghadiran tidak langsung ini dapat juga dilakukan dengan
mengacu pada relasi spasial atas penampilan eksternal dan
lingkungan tokoh. Setiap tokoh yang hadir dalam cerita memiliki
unsur fisiologis yang berkaitan dengan fisik; unsur psikologis yang
menyangkut psikis tokoh; dan unsur sosiologis yang berhubungan
dengan lingkungan sosial tokoh (Oemarjati, 1971:66-67).
Analisis tokoh dapat dilakukan dari nama tokoh. Penamaan
tokoh (naming) menurut Wellek dan Warren (1989:287)
merupakan cara paling sederhana untuk menampilkan tokoh.
Penamaan tokoh disesuaikan dengan kepribadiannya yang
berkaitan dengan psikososial dan sikapnya yang mengacu pada
perbuatan atau tingkah lakunya dalam cerita. Penamaan tokoh
dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya. Nama tokoh
dapat membayangkan tentang wajah dan perangainya. Dengan
demikian dalam penafsiran tokoh, nama mempunyai fungsi
penting. Karena itu nama tokoh akan dibicarakan bersama-sama
dalam analisis penokohan.
Tokoh dalam cerita tidak sepenuhnya bebas. Tokoh
merupakan bagian atau unsur dari suatu keutuhan artistik yakni
karya sastra, yang seharusnya selalu menunjang keutuhan artistik
itu (Kenney, 1986:25). Dalam suatu cerita umumnya tokoh hadir

92 │ Pengkajian Sastra
lebih dari seorang yang disebut sebagai tokoh utama atau sentral
dan tokoh bawahan atau tokoh pendamping (Sudjiman, 1991:17-
20). Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran sentral
dalam cerita, menjadi pusat sorotan di dalam kisahan, dan yang
penting mempunyai intensitas keterlibatan yang tinggi dalam
peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Adapun tokoh
bawahan adalah tokoh yang kedudukannya tidak sentral dalam
cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung
tokoh utama.
Penokohan dalam cerita secara wajar dapat diterima jika
dapat dipertanggungjawabkan dari sudut psikologis, fisiologis, dan
sosiologis. Ketiga sudut itu masih mempunyai berbagai aspek (Lubis
dalam Hutagalung, 1968:60). Termasuk aspek psikologis antara lain
cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen, dan
sebagainya. Aspek yang masuk dalam fisiologis misalnya jenis
kelamin, tampang, kondisi tubuh, warna kulit, dan lain-lain. Aspek
sosiologis terdiri atas misalnya lingkungan, pangkat, status sosial,
agama, kebangsaan, dan sebagainya. Dalam karya fiksi,
penghadiran tokoh-tokoh cerita lazimnya dilakukan dengan cara
kombinasi analitik dan dramatik atau langsung dan tidak langsung
dengan menampilkan ciri-ciri fisiologis, psikologis, dan sosiologis.

c. Latar (Setting)
Moody (1972:48) mengartikan latar sebagai tempat, sejarah,
sosial, kadang-kadang pengalaman politik atau latar belakang cerita
itu terjadi. Menurut Parkamin dan Bari (1973:62) latar adalah
penempatan mengenai waktu dan tempat termasuk lingkungan-
nya. Yang dimaksud lingkungan meliputi antara lain kebiasaan, adat
istiadat, latar alam atau keadaan sekitar. Latar merupakan
lingkungan, dan lingkungan dapat dipandang berfungsi sebagai
metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar juga
merupakan ekspresi kehendak manusia. Dalam cerita modern,

Pengkajian Sastra │ 93
kota-kota besar merupakan latar tokoh-tokohnya (Wellek dan
Warren, 1992:291).
Latar tidak dapat terlepas dari tokoh. Tindakan tokoh selalu
berkaitan dengan latar tertentu, yang bagi Chatman (1978:141-
145) terdiri atas latar internal dan latar eksternal. Latar internal
antara lain berupa perasaan hati sedih, gembira dan lain-lain. Latar
eksternal meliputi alam, cuaca, tempat-tempat tertentu dan
sebagainya. Elemen latar itu sebagai unsur cerita mempunyai
fungsi, sedangkan fungsi utama latar adalah memberikan suasana
(mood) pada cerita.
Abrams (1981:175) memberikan deskripsi latar dalam karya
sastra menjadi tiga yakni latar tempat, waktu dan sosial. Latar
tempat berkaitan dengan masalah geografis; latar waktu
berhubungan dengan zaman; dan latar sosial erat berkaitan dengan
kehidupan kemasyarakatan atau sosial budaya. Dengan demikian
secara simpel dapat dikatakan, bahwa latar cerita dapat berupa
latar tempat, latar waktu dan latar lingkungan. Latar lingkungan
terutama sekali adalah latar sosial budaya yang melingkupi
kehidupan para tokoh. Adapun latar berfungsi untuk memberikan
suasana dalam cerita.
Sejalan dengan fungsi latar tersebut, aspek ruang, waktu dan
sosial merupakan elemen latar cerita yang berperan dalam
menghidupkan gambaran pada imajinasi pembaca. Tokoh-tokoh
pada berbagai peristiwa yang dialaminya dalam cerita
diimajinasikan pembaca dalam kerangka aspek ruang, waktu dan
sosial. Dalam struktur cerita, ketiga aspek itu dengan demikian
berkaitan erat satu dengan lainnya. Dalam melukiskan aspek ruang
misalnya, langsung atau tidak langsung akan mengaitkan aspek
waktu, bahkan sering juga aspek lingkungan sosial. Sebuah
pelukisan latar sosial cerita, umumnya terkait pula dengan aspek
ruang dan waktu peristiwanya. Aspek waktu sering berkaitan
dengan peristiwa-peritiwa dalam cerita, sedangkan aspek ruang

94 │ Pengkajian Sastra
berkaitan dengan tokoh-tokoh cerita. Aspek sosial berhubungan
erat dengan latar sosial budaya tokoh dan tempat tinggalnya.
Unsur ruang dapat ditangkap pembaca melalui tiga cara,
yakni: (1) pemakaian kata-kata yang mewujudkan sifat atau
keadaan yang disebut, (2) kata-kata yang telah mempunyai
pengertian tersendiri yang sudah baku, dan (3) pemakaian
perbandingan. Ketiga cara itu terbentuk dalam wacana yang kecil.
Pada wacana yang lebih besar unsur ruang dapat dilihat melalui (1)
penunjukan arah suatu tempat tertentu, (2) dialog yang melukiskan
perilaku tokoh, dan (3) deskripsi langsung oleh pengarang
(Chatman, 1978:101-103).
Pada umumnya sebuah novel menyiratkan atau
menyuratkan suatu tempat. Ruang oleh pengarang novel dipakai
untuk memberikan gambaran lingkungan yang melingkupi tokoh.
Juga ruang digunakan untuk mencerminkan dunia luar teks dengan
baik. Aspek waktu pada novel pada umumnya meliputi lama ber-
langsungnya cerita dan penyebutan waktu dilakukan baik secara
eksplisit maupun secara implisit dalam cerita. Sesuai dengan
hakikat fiksi sebagai karya imajinatif dengan sarana bahasa khas
sastra yang asosiatif maka aspek waktu pada umumnya tidak
disebutkan secara eksplisit. Namun demikian, ada pula beberapa
fiksi yang mengungkapkan aspek waktu dalam cerita secara
eksplisit.
Adapun aspek sosial lebih kompleks. Permasalahan yang
sering dikemukakan oleh sastrawan dalam karya fiksi pada
umumnya adalah aspek sosial dalam kehidupan masyarakat.
Kompleksitas dimensi sosial budaya itu yang menjadi latar cerita
sangat bervariasi, bahkan sering tidak hanya satu yang menjadi atar
sebuah cerita. Kadang-kadang aspek sosial tersebut bergayut pula
dengan masalah sejarah, politik, ekonomi, ideologi, moral,
kemanusiaan, keagamaan, bahkan gender. Dengan demikian,
ketiga latar cerita yakni latar ruang, waktu, dan sosial harus
dicermati secara teliti.

Pengkajian Sastra │ 95
3. Sarana Sastra (Literary Device)
a. Gaya Bahasa
Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan
hasil kreasi pengarang setelah melakukan refleksi terhadap
lingkungan sosial kehidupannya. Dunia dalam karya sastra
dikreasikan dan sekaligus diekspresikan lazimnya melalui bahasa.
Dengan demikian, apa pun yang dipaparkan pengarang dalam
karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan
bahasa (Al-Ma’ruf, 2009:3).
Struktur fiksi (novel dan cerpen) dengan segala sesuatu yang
dikomunikasikan, menurut Fowler (1977:3), selalu dikontrol
langsung oleh manipulasi bahasa pengarang. Demi efektivitas
pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi,
dieksploitasi, dan didayagunakan sedemikian rupa. Bahasa sastra
memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan karya
nonsastra. Bahasa sastra, demikian Teeuw (1983:1), bersifat
konotatif, mengandung banyak arti tambahan, sehingga tidak
hanya bersifat referensial. Sebagai wujud penggunaan bahasa yang
khas, karya sastra hanya dapat dipahami dengan pengertian dan
konsepsi bahasa yang tepat
Bahasa sastra memiliki beberapa ciri khas, yakni penuh
ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi
berbeda artinya), memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan
dan tidak rasional seperti gender (jenis kata yang mengacu pada
jenis kelamin dalam tata bahasa), penuh dengan asosiasi, mengacu
pada ungkapan atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya atau
konotatif sifatnya (Wellek dan Warren (1989:15).
Bahasa sastra bukan sekedar referensial, yang mengacu pada
satu hal tertentu, dia mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan
nada (tone) dan sikap pengarangnya, berusaha mempengaruhi,
membujuk dan pada akhirnya dapat mengubah sikap pembaca.
Yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme

96 │ Pengkajian Sastra
kata-kata. Oleh karena itu, berbagai teknik diciptakan oleh
pengarang seperti aliterasi dan pola suara, untuk menarik
perhatian pembaca.
Dalam novel pola suara kurang penting dibandingkan dengan
dalam puisi. Tingkat intelektualitas bahasa pun dalam karya sastra
berbeda-beda. Ada puisi filosofis dan didaktis, namun ada pula
novel-novel yang menyoroti masalah tertentu dengan meng-
gunakan bahasa emotif dan simbolis. Tegasnya, bahasa sastra
berkaitan lebih mendalam dengan struktur historis bahasa dan
menekankan kesadaran akan tanda, serta memiliki segi ekspresif
dan pragmatis yang dihindari sejauh mungkin oleh bahasa ilmiah
(Wellek dan Warren, 1989:16).
Bahasa sastra memiliki segi ekspresifnya yang membawa
nada dan sikap pengarangnya. Bahasa sastra tidak hanya
menyatakan apa yang dikatakan, melainkan juga ingin mem-
pengaruhi sikap pembaca, membujuknya dan akhirnya mengubah-
nya (Pradopo, 1997:39). Itulah sebabnya bahasa sastra berkaitan
erat dengan gaya bahasa, yang berfungsi untuk mencapai nilai
estetik karya sastra.
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana
sastra yang turut memberikan kontribusi sangat berarti dalam
memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Stilistika sering
membawa muatan makna. Setiap diksi yang dipakai dalam karya
sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping
maknanya yang netral (Sudjiman, 1995:15-16). Ratna (2007:231)
menyatakan bahwa aspek-aspek keindahan sastra justru
terkandung dalam pemanfaatan gaya bahasanya. Oleh karena itu,
gaya bahasa berperan penting dalam menentukan nilai estetik
karya sastra.
Adapun unsur-unsur style ’gaya bahasa’ yang dikaji dalam
karya sastra sebagai sarana sastra meliputi:

Pengkajian Sastra │ 97
(1) Fonem (phonem), pemanfaatan bunyi-bunyi tertentu sehingga
menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah, misalnya asonansi
dan aliterasi, eufoni dan kokofoni, rima dan irama (terutama
pada puisi).
(2) Leksikal atau diksi (diction), misalnya penggunaan kata
konotatif, konkret, vulgar, kosakata bahasa daerah, kata asing.
nama diri, dan kata seru khas.
(3) Kalimat atau bentuk sintaksis, misalnya struktur kompleks,
sederhana, inversi, panjang atau pendek kalimat.
(4) Wacana (discourse), misalnya kombinasi kalimat, paragraf,
termasuk alih kode dan campur kode dalam paragraf, serta bait
puisi.
(5) Bahasa figuratif (figurative language atau figure of speech),
yakni bahasa kias meliputi majas, idiom, dan peribahasa.
(6) Citraan (imagery) meliputi citraan visual, audio, perabaan,
penciuman, gerak, pencecapan, dan intelektual.
Khusus gaya bunyi lazim dimanfaatkan penyair dalam genre
puisi sedangkan pada genre fiksi atau drama gaya bunyi jarang
digunakan

b. Sudut Pandang (Point of View)


Sudut pandang (point of view) diartikan oleh Stanton sebagai
posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita
(Stanton, 1975:71). Untuk mengisahkan lakuan dalam sebuah
novel, pengarang dapat memposisikan diri dari sudut mana ia akan
menyajikannya. Pada garis besarnya hanya ada dua yakni insider
(pengarang ikut mengambil peran dalam cerita) atau outsider
(pengarang berdiri sebagai orang yang berada di luar cerita).
Lebih lanjut Aminudin (1991:90) mengatakan sudut pandang
atau biasa diistilahkan poin of view adalah cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.
Sebelum menulis sastrawan lebih dahulu menentukan siapa yang

98 │ Pengkajian Sastra
menjadi subjeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat
pengisahan berarti menentukan pertalian atau relasi antara
pengarang dengan ceritanya, di mana sastrawan berdiri
(Aminuddin, 1990:125).
Stanton (1979:71) membagi sudut pandang ke dalam empat
tipe, tipe-tipe itu adalah:
(1) First-person-central atau sudut pandang orang pertama sentral
atau dikenal juga sebagai akuan-sertaan, dalam cerita itu tokoh
sentralnya adalah pengarang yang secara langsung terlibat di
dalam cerita. Ada dua kemungkinan mengenai si aku/saya
dalam cerita ini yaitu aku sebagai pengarang itu sendiri atau si
aku saya bukan pengarang, seolah-olah pembaca mendengar
cerita dari pelakunya sendiri.
(2) First-person-periplural atau sudut pandang orang pertama
sebagai pembantu atau disebut sebagai akuan tak sertaan,
adalah sudut pandang ketika tokoh aku hanya nienjadi
pembantu yang mengantarkan tokoh lain yang lebih penting.
(3) Third-person-omniscient atau sudut pandang orang ketiga
mahatahu atau disebut juga diaan-maha tahu, yaitu pengarang
di luar cerita, menjadi pengamat yang mahatahu.
(4) Third-person-himted atau sudut pandang orang bekerja
terbatas atau disebut juga diaan terbatas, yakni pengarang
mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas
hak ceritanya. Pengarang hanya menceritakan apa yang dialami
oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.
Dalam pelaksanaannya sering dijumpai novel yang memper-
gunakan sudut pandang campuran, bahkan ada pula yang
mempergunakan lebih dari sebuah sudut pandang. Sayuti (1988:87)
mengatakan bahwa sudut pandang adalah visi pengarang dalam
arti bahwa ia yang merupakan sudut pandang yang diambil
pengarang untuk melihat peristiwa atau kejadian dalam cerita.

Pengkajian Sastra │ 99
Mengingat dalam analisis fiksi di Indonesia yang lazim dikaji
oleh para peneliti/penelaah sastra sebagai sarana sastra fiksi
adalah gaya bahasa dan sudut pandang, maka unsur simbol dan
ironi tidak dijabarkan dalam buku ini.

100 │ Pengkajian Sastra


BAB VI
DRAMA DAN UNSUR-UNSURNYA

A. Definisi Drama
Clay Hamilton (dalam Satoto, 2000) berpendapat bahwa tiap
karya drama merupakan suatu cerita yang dikarang dan disusun untuk
dipertunjukkan oleh pelaku-pelaku di atas panggung di depan publik.
Dasar naskah drama adalah konflik manusia yang digali dari kehidupan.
Penuangan gambaran kehidupan itu diberi warna oleh penulisnya.
Menurut Sudjiman (1990), drama adalah karya sastra yang bertujuan
melukiskan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi
melalui lakuan dan dialog, dan lazim dirancang untuk pementasan di
panggung.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan
bahwa drama yaitu suatu karya sastra yang menggambarkan konflik
kehidupan dengan bermediakan bahasa dalam wujud cakapan baik
dialog, monolog maupun soliloqui, dan dirancang untuk dipentaskan di
depan publik penonton.

B. Unsur-unsur Drama
Di dalam naskah drama, terdapat struktur yang bersifat literer
yang membangun karya sastra drama tersebut. Struktur naskah drama
itu terdiri dari struktur mental dan struktur fisik. Struktur mental dibina
oleh unsur-unsur drama, sedangkan struktur fisiknya berbentuk
penulisan naskah secara teknis.
Unsur-unsur terpenting dalam membina struktur sebuah naskah
drama, yaitu penokohan (karakterisasi dan perwatakan), alur, latar
yang meliputi aspek ruang, dan aspek waktu, tema, dan cakapan
(dialog dan monolog) (Waluyo, 2001).

Pengkajian Sastra │ 101


1. Tokoh dan Penokohan (Characters)
Tokoh menjadi materi utama untuk menciptakan plot dalam
drama. Tokoh juga merupakan sumber action dan percakapan.
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau kejadian di dalam berbagai peristiwa.
Penokohan adalah masalah bagaimana cara menampilkan tokoh-
tokoh, bagaimana membangun dan mengembangkan watak tokoh-
tokoh tersebut di dalam bentuk acting. Jadi, antara pengertian
tokoh dan penokohan memiliki makna yang berbeda, tokoh
berbentuk suatu individu dan penokohan adalah proses
menampilkan individu tersebut dalam sebuah kisah.
Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan
perwatakan tokoh dalam sebuah kisah drama, yaitu: 1) secara
analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak
atau karakter tokoh. Pengarang langsung menyebutkan tokoh
tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan lain-lain 2) secara
dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak dipaparkan
langsung, tetapi melalui: (1) pilihan nama tokoh; (2) melalui
penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, dan
sebagainya; 3) melalui dialog.
Kartakteristik seorang tokoh dapat dirumuskan dalam tiga
dimensi, yaitu:
(1) dimensi fisiologis atau badaniah, misalnya usia, jenis kelamin,
keadaan tubuh, perawakan, tinggi-rendah, ciri-ciri muka,
warnna kulit, dan ciri-ciri fisik yang lain.
(2) dimensi sosiologis atau ciri-ciri dalam kaitannya dengan
hubungan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan,
jabatan, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, ideologi,
aktivitas sosial, organisasi, suku, dan etnik.
(3) dimensi psikologis atau latar belakang kejiwaan, misalnya
mentalitas, moralitas, temperamen, perasaan pribadi, sikap,
perilaku, tingkat kecerdasan, dan keahlian pada bidang
tertentu.

102 │ Pengkajian Sastra


Tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu:
(1) tokoh protagonis; peran utama, yang menjadi pusat atau
sentral cerita.
(2) tokoh antagonist peran lawan, ia suka menjadi musuh atau
penghalang tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya
konflik atau tikaian.
(3) tokoh tritagonis, peran penengah, dan
(4) tokoh pembantu; peran yang tidak secara langsung terlibat
dalam konflik atau tikaian yang terjadi, tetapi ia diperlukan
untuk membantu penyelesaian cerita.

2. Alur (Plot)
Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra
untuk mencapai efek tertentu. Pertautannya dapat diwujudkan
oleh hubungan waktu dan oleh hubungan sebab akibat, yang direka
dan dijalin dengan seksama sehingga menggerakkan jalan cerita
melalui konflik ke arah klimaks dan penyelesaian.
Terdapat bermacam alur dalam karya sastra yang dapat
dilihat setelah orang menikmatinya. Menurut Hudson (dalam
Satoto, 2000:89), struktur alur lakon terdiri dari:
(1) eksposisi; bagian cerita yang berfungsi sebagai pembuka
agar penonton atau pernbaca mendapat gambaran selintas
mengenai dram yang ditontonnya atau dibacanya, agar mereka
terlibat dalam penstiwa cerita;
(2) konflik; pelaku cerita terlibat dalam suatu pokok
persoalan. Di sini sebenarnya mula pertama terjadi insiden
(kejadian atau peristiwa) akibat timbulnya tikaian;
(3) komplikasi; terjadinya persoalan baru dalam cerita, atau
disebut juga rising action. Di sini persoalan mulai merumit dan
gawat maka tahap ini sering disebut "perumitan" atau
"penggawatan”;

Pengkajian Sastra │ 103


(4) krisis; dalam tahap ini, persoalan telah mencapai
Puncaknya atau klimaks. pertikaian harus diimbangi dengan upaya
mencari jalan keluar;
(5) resolusi; tahap ini kebalikan dari tahap komplikasi. Pada
tahap ini masalah sudah mencapai tahap peleraian. Tegangan
akibat konflik telah menurun;
(6) keputusan; dalam tahap ini persoalan telah memperoleh
penyelesaian dan konflik telah diakhiri.

3. Latar (Setting)
Latar atau setting berkaitan dengan waktu dan tempat
penceritaan. Waktu dapat berarti siang atau malam, tanggal, bulan,
dan tahun, dan dapat juga berarti lama berlangsungnya cerita.
Aspek tempat dalam naskah drama kadang meliputi tempat yang
luas dan kecil, misalnya sebuah ruangan, taman, kota, daerah,
negara, dunia, atau bahkan mungkin mengambil latar di khayangan
atau di sebuah negeri antah berantah yang tidak pemah ada di
dunia. Aspek waktu juga meliputi waktu yang sempit dan lapang,
misalnya: jam, hari, siang atau malam, tahun, musim, atau periode
sejarah. Aspek suasana, misalnya berkaitan-dengan suasana ramai,
sepi, tegang, mewah, sederhana, haru dan lucu. Masing-masing
aspek tidak dapat berdiri sendiri.
Latar harus ditentukan secara cermat, sebab naskah drama
harus juga memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Seperti
lazimnya latar dalam genre fiksi, latar cerita dalam drama dapat
dilukiskan secara eksplisit dan dapat pula dilukiskan secara implisit.
Namun demikian, latar sebuah naskah drama biasanya ditemukan
baik dari dialog tokoh-tokohnya, prolog yang terdapat di awal
naskah, dari penggambaran suasana pradegan maupun teks
sampingan atau prolog (teks pembimbing sebelum tokoh
mengucapkan dialog).

104 │ Pengkajian Sastra


Cara penyajian drama berbeda dari genre sastra lainnya
yakni fiksi dan puisi. Novel dan cerpen, misalnya, menceritakan
kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antardialog
dan narasi, serta merupakan karya yang dicetak. Sebuah drama
hanya terdiri atas dialog. Terkadang ada semacam penjelasan
tetapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman
oleh sutradara dan para pemain (aktor/aktris). Dialog para tokoh
itu disebut hauptext atau teks utama sedangkan petunjuk
pementasannya disebut nebentext atau teks sampingan.
Penomoran yang terdapat di depan nama tokoh fungsinya
juga sama dengan nebentext. Dengan menyebut nomor dialog,
sutradara dapat memberikan perintah-perintah kepada pemeran
untuk melakukan sesuatu hal (acting). Dengan merujuk pada
nomor dialog pula seorang pemeran dapat secara efisien
melakukan pengulangan-pengulangan dialog, dan lain sebagainya.

4. Tema (Theme)
Tema merupakan ide dasar atau gagasan sentral dalam
sebuah karya sastra termasuk genre drama. Dari tema inilah
sebuah naskah drama disusun dalam jalinan cerita yang sambung-
sinambung membentuk suatu keutuhan dan kebulatan struktur
cerita. Oleh karena itu, seperti halnya pada genre sastra yang lain,
tema memiliki peran penting dalam sebuah naskah drama.
Berbeda dengan fiksi (cerpen dan novel), dalam naskah
drama yang bentyuknya berupa dialog-dialog, tema disisipkan
dalam dialog para tokoh cerita. Dengan kata lain, tema dalam
naskah drama dikemukakan oleh pengarang dengan teknik
dramatik (melalui dialog para tokoh) saja dan sama sekali tidak ada
yang dikemukakan dengan teknik analitik (melalui narasi oleh
pengarang). Di sinilah diperlukan kecermatan dan kelihaian
pengarang dalam mengemas dialog para tokoh agar tidak terkesan
menggurui pembaca/penonton atau berkhutbah di hadapan

Pengkajian Sastra │ 105


audiens. Hal ini perlu diperhatikan karena drama sebagai karya
sastra yang memiliki gagasan tertentu bukanlah teks khutbah atau
pidato yang menyampaikan petunjuk atau tuntutan secara
langsung (direct) melainkan karya sastra yang disusun dalam
struktur yang mengedepankan aspek estetik. Keteledoran dalam
menyusun dialog tersebut dapat berakibat dialog drama terkesan
mengguri pembaca/penonton sehingga terasa menjemukan
audiens.
Tema cerita drama, seperti juga pada fiksi, lazim terdiri atas
dua jenis tema yakni tema sentral (utama) dan subtema atau tema
sampingan yang berupa motif-motif cerita. Tema sentral itulah
yang menjadi acuan bagi pengarang untuk menciptakan motif-
motif cerita sehingga membentuk keutuhan dan kebulatan cerita
yang menarik dan indah. Kumpulan dari motif-motif cerita itulah
kemudian lazim membentuk tema sentral yang menjadi gagasan
utama sebuah naskah drama. Kemampuan pengarang dalam
mengangkat tema itulah salah satu factor yang akan menentukan
bobot literer sebuah naskah drama.

5. Dialog (Percakapan)
Percakapan pada sebuah naskah drama, dibagi atas dialog
dan monolog. Monolog sendiri dibagi kembali menjadi monolog,
sampingan, dan soliloqui. Dialog adalah percakapan yang
melibatkan dua tokoh atau lebih, sedangkan monolog adalah
berbicara seorang diri dengan membicarakan hal-hal yang telah
lampau. Dapat juga monolog berupa pengutaraan gagasan, kesan,
khayalan seorang tokoh dalam sebuah drama/teater yang
dikemukakan dalam percakapan seorang diri. Sampingan adalah
berbicara seorang diri tetapi ditujukan kepada pembaca atau
penonton, sedangkan soliloqui adalah berbicari seorang diri,
membicarakan hal-hal yang akan datang, yang sebenarnya
merupakan perwujudan dari perbincangan dalam batin tokoh.

106 │ Pengkajian Sastra


Dalam fiksi, ketiga bentuk monolog tersebut sering dipakai
secara bersama-sama dalam arti ketiganya ada dalam sebuah fiksi.
Drama-drama karya Putuwijaya misalnya memperlihatkan hal itu.
Dalam karyanya, Putuwijaya sering menggunakan monolog interior
(dalaman), yakni monolog seorang tokoh dengan cara mengung-
kapkan gagasan, pikiran, pengalaman kepada atau dalam dirinya
sendiri. Teknik ini banyak digunakan oleh para pengarang novel
atau drama yang beraliran arus kesadaran (stream of
consciousness), yakni sebuah aliran sastra yang menganggap
pikiran atau persepsi tokoh sebagai rentetan keadaan pikir yang
terus bergerak sesuai dengan urutan waktu. Putuwijaya misalnya
dalam novelnya Telegram dan Pabrik menggunakan teknik arus
kesadaran tersebut

C. Periodisasi Perkembangan Drama Indonesia


Naskah sastra drama Indonesia tercatat 310 buah naskah
baik yang sudah dipubllikasikan maupun yang masih dalam bentuk
naskah asli. Di samping itu ada 78 buah sastra drama karya
sastrawan Tionghoa di Indonesia di Indonesia dari zaman sebelum
perang yang di tulis dalam bahasa Melayu-Rendah. Jumlah yang
terakhir ini baru yang berupa naskah drama yang telah dibukukan
atau dipublikasikan lewat majalah dan surat kabar, belum termasuk
naskah asli untuk kepentingan pementasan. Dan jumlah itu belum
termasuk naskah drama terjemahan dalam bahasa Indonesia (lihat
daftar naskah drama Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin). Alhasil
lebih dari 400 karya sastra drama Indonesia terkumpul. Hal itu
menunjukkan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan
drama Indonesia cukup semarak dan sekaligus merupakan
kekayaan khasanah sastra kita.
Perkembangan teater Barat di Indonesia ternyata beriringan
dengan perkembangan bentuk sastra drama. Naskah drama
Indonesia yang pertama tercatat adalah Lelakon Raden Beij Soerio
Retno karya F. Wiggers yang terbit tahun 1901. Sebelum itu muncul

Pengkajian Sastra │ 107


kelompok drama Indonesia kelompok drama Indonesia tertua
dengan nama Komedie Stamboel pada tahun 1891 (Salmon; Boen S.
Oemarjati, 1971). Inilah yang disebut-sebut sebagai perintis drama
di Indonesia.
Boens S. Oemarjati (1971) membuat periodisasi
perkembangan sastra lakon sebagai berikut.
1926-1942 sebagai masa kebangkitan dengan munculnya Bebasari
karya Rustam Effendi, kemudian Sanusi Pane dan lain-
lain dalam tulisan lakon yang romantis-idealistis, serta
hadirnya kegiatan teater kecil di pentas.
1942-1945 merupakan masa pembangunan ketika Usmar Ismail,
Idrus, El hakim dan lain-lain menulis lakon/drama yang
romantis-realistis dan tampilnya generasi kelompok
romantis-realistis dan tampilnya generasi kelompok
Maya di panggung.
1945-1950 adalah masa awal perkembangan para penulis lakon
yang disebut terakhir melanjutkan usaha kreativitas-
nya disertai dengan semakin ramainya teater kecil di
pentas.
1950-kini (1963, saat buku ini di tulis) sebagai masa per-
kembangan, masa produktif dengan hadirnya lakon-
lakon asli, saduran dan terjemahan serta disempurna-
kan dengan lahirnya Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) dan berbagai kegiatan teater kecil
dan kelompok studi di pentas.
Setelah itu sekitar tahun 1963-1973 kita menyaksikan dunia
teater Indonesia diwarnai dengan perkembangan dan
pemandangan yang sama sekali berbeda dengan periode
sebelumnya. Muncullah "pembaruan" yang dibawa oleh para aktor
dan sutradara muda berbakat seperti W.S. Rendra, Arifin C. Noer,
dan Putu Wijaya dengan membuahkan naskah seorang sutradara

108 │ Pengkajian Sastra


daripada naskah seorang pembaca, naskah yang tumbuh dari
pengalaman teater yang konkret.
Goenawan Mohamad (1981) bahkan menyebut karya-karya
Rendra sebagai drama "mini kata". Dengan argumentasi yang kritis
pula dibuktikannya bagaimana para pembaru teater Indonesia
tersebut menciptakan lakon-lakonnya berdasarkan pengalaman
dengan pentas, dengan kelompok dalam latihan dan pementasan,
dan dengan publik. Sekaligus ini merupakan pembeda utama
antara lakon-lakon mutakhir dengan lakon-lakon Indonesia
sebelumnya.
Inovasi yang dilakukan oleh Rendra dan kawan-kawan itu
kemudian dilanjutkan dan ikuti oleh generasi penerusnya seperti
Nano Riantiarno, Norca Marendra, dan Wisran Hadi dalam karya-
karya lakon dan pentas teaternya pada dekade 1970-1980-an
bahkan hingga kini. Dengan kata lain teater Indonesia mutakhir
belum beranjak (yang berarti) pada pembaruan yang dilakukan
oleh tokoh-tokoh di atas.
Sebagaimana genre sastra yang lain yakni puisi, cerpen dan
novel, maka tema-tema drama Indonesia pun berkembang dari
periode ke periode. Dari setting sejarah pada periode 1930-an,
kesadaran harga diri dan tanggung jawb menentukan nasib bangsa
(zaman Jepang), pembelaan terhadap kaum Indo dan bagaimana
mengisi kemerdekaan (kurun setelah kemerdekaan), juga latar
revolusi, kehidupan pelacur bahkan tema sosial, kejiwaan dan
keagamaan mulai digarap dalam drama-drama dekade 1950-1960-
an.
Pada masa pembaharuan teater Indonesia yakni dekade
1970-1981-an hingga kini maka tema-tema yang menonjol adalah
masalah-masalah sosial politik sekitar demokrasi, keadilan,
kemiskinan, keterbelakangan, kerakusan kalangan tertentu dan
ketimpangan sosial yang lain sebagai efek pembangunan. Bahkan
ada beberapa tema yang dianggap terlalu "keras", berani dan
"kurang ajar" sehingga tak jarang yang akhirnya terkena sensor.

Pengkajian Sastra │ 109


Berdasarkan realitas itu, sebenarnya dilihat dari konsep
estetiknya, selain periode teater seperti dikemukakan oleh
Oemarjati di atas, terdapat periode teater tahun 1970-1981 yakni
masa pembaharuan. Pada masa itu telah lahir teater kontemporer
atau teater mutakhir yang berbeda konsep estetiknya dengan
teater-teater pada masa sebelumnya yang dipelopori oleh Rendra,
Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya. Dapat dikatakan bahwa pada masa
pembaruan itu dunai teater Indonesia mengalami masa keemasan
dalam arti dunia teater mengalami perkembangan yang pesat dan
kehidupan teater demikian bergairah di Indonesia terutama di
kalangan kaum terpelajar.

D. Profil Drama Indonesia Mutakhir


1. Drama Indonesia Mutakhir
Bagaimanapun drama (teater) sudah merupakan bagian
integral dari kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat
Indonesia. Sebagai bangsa yang pluralistik dan dikenal religius, kita
telah lama memiliki seni pertunjukkan teater, baik sebelum
kebudayaan Indonesia bersentuhan dengan kebudayaan asing
(Barat) maupun sesudah terjadi perkawinan antara kebudayaan
Indonesia asli dengan kebudayaan Barat (modern). Tradisi teater
itu telah kita kenal dalam upacara-upacara ritual dalam kelompok-
kelompok masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan itu muncullah teater modern (Barat) pada
paroh abad ke-19 di kalangan masyarakat Belanda, kemudian
berkembang juga di lingkungan masyarakat Cina dan peranakan-
nya, akhirnya masuk pula di kalangan masyarakat kota Indonesia.
Salah satu aspek yang membedakan teater modern dengan teater
tradisional adalah adanya naskah drama (Jakob Sumardjo, 1992).
Para sastrawan mulai menciptakan karya sastra drama pada awal
abad ke-20, dan mementaskannya. Mulailah era teater modern dan
berkembang terus hingga muncul teater mutakhir pada dekade

110 │ Pengkajian Sastra


1970-an serta mengalami kemajuan yang pesat pada dekade 1980
–an hingga sekarang.
Kehadiran teater modern di Indonesia berkaitan dengan
adanya perubahan sosiokultural yang terjadi di negeri ini, terutama
setelah Perang Dunia II dan zaman kemerdekaan. Ilmu penge-
tahuan dan teknologi komunikasi yang maju pesat memungkinkan
bangsa Indonesia mengembangkan pergaulan dan komunikasi
dengan bangsa lain dan juga antara suku bangsa di Indonesia
sendiri. Akibatnya, terjadilah persinggungan nilai-nilai yang
berujung pada proses akulturasi. Bahkan sejak pembangunan
nasional Pelita I digalakkan, maka proses akulturasi nilai-nilai itu
semakin meningkat. Mudah dipahami bahwa kemudian
kemodernan dan keindonesian lebih menyeruak tampil di
permukaan ketimbang nilai-nilai tradisional.
Sementara itu kenyataan menunjukkan bahwa berbagai
keluhan dan ketidakpuasan muncul. Banyak kalangan menyatakan
tentang kurangnya minat baca sastra termasuk drama dalam
masyarakat, kurangnya apresiasi, apakah sastra Indonesia dibaca
oleh para pemimpin, pejabat, guru, dosen, mahasiswa, pelajar,
pegawai, pedagang dan sebagainya. Demikian pula, kurangnya
media sastra, kurangnya kritik sastra yang "bernyawa", adanya
jurang antara guru dan pelajar dengan sastrawan, sukarnya guru
memperoleh buku-buku sastra (yang berbobot), bingungnya guru
dengan masalah angkatan dalam sastra, kurikulum sastra yang
belum memuaskan, pelajaran sastra yang menitiberatkan hafalan
teori dan sejarah, kenapa sastra terpencil, dan sebagainya,
merupakan sederet permasalahan yang menyangkut pengem-
bangan sastra Indonesia dan pengajaran sastra di dunia pendidikan
(lihat Lukman, 1989).
Secara ringkas keadaan di atas dapat dikemukakan, bahwa:
(1) apresiasi sastra dalam masyarakat dianggap masih terbatas,
(2) penelitian sastra yang menunjang pengembangan sastra belum
memadai dan belum meluas hasilnya, (3) Penerbitan buku-buku

Pengkajian Sastra │ 111


sastra masih kecil jumlahnya, baik dari segi jumlah naskah maupun
jumlah eksemplarnya, (4) Penerbitan hasil-hasil penelitian sastra
sangat kurang, dan (5) pengajaran dan pelajaran sastra (lagu klasik)
perlu ditingkatkan mutunya. Dari kelima hal itu bidang drama
rupanya paling dominan (persoalannya).
Masih berkaitan dengan itu subtansi sastra tidak lain adalah
pengalaman kemanusiaan, pengalaman batin. Hubungan kompleks
yang melibatkan seseorang dalam proses penghayatan sastra,
antara lain emosi yang membuatnya sedih atau gembira,
pengalaman yang dihadapinya, nilai kehidupan yang ditemuinya.
Pendeknya, kekayaan batin apa pun yang ditemukan pembaca
dalam menggauli karya sastra seperti keadilan, kezhaliman,
ketidakbebasan, cinta kasih dan sebagainya, semuanya itu bertalian
dengan pengalaman kemanusiaan (humanisme).
Dari pengamatan menyaksikan pementasan teater mutakhir
dapat dilihat betapa banyak, mungkin lebih dari 50% penonton
yang tampak belum mampu menghayati dan memahami teater.
Suara-suara gaduh, bunyi-bunyian liar dan konyol adalah indikasi
akan hal itu. Hal ini mudah kita pahami jika kita mengerti latar
belakang mereka. Jika latar belakang mereka literatur Barat dengan
sendirinya mereka akan segera mengatakan segala yang aneh
dalam pertunjukan adalah absurd dalam pengertian seperti yang
dikemukakan Martin Esslin untuk mengembangkan istilah dari
Samuel Beckett, Ionesco, dan Arabal. Akan tetapi jika titik tolak
mereka adalah teater tradisonal maka segala sesuatu yang
tampaknya absurd itu akan mereka terima sebagai keanehan,
kegilaan ‘keedanan’, bahkan kekurangajaran (Putuwijaya, dalam
Kasijanto dan Damono, 1981).
Sejalan dengan itu, karena sebagai karya sastra dan seni
pertunjukkan tidak berkaitan dengan sains dan data yang dapat
digeneralisasikan melainkan dengan manusia yang harus langsung
manghadapinya, maka mau tak mau setiap pembaca selalu terkait
dengan perspektifnya dalam hubungannya yang unik dengan dunia

112 │ Pengkajian Sastra


yang dihadapinya. Karena itu dalam dunia pendidikan Rosenblatt
(1983) mengingatkan bahwa peran dan pengaruh guru dalam
memberikan daya dorong (motivasi) terhadap penjelajahan karya
sastra di kalangan siswa amat penting (bukan mencekokinya
dengan berbagai sejarah dan teori sastra dan/ atau menghakimi
nilai karya sastra menurut pemahamannya, sedangkan pema-
haman siswa sering disalahkan!).

2. Drama Mutakhir sebagai Karya Sastra


Pada umumnya pengalaman drama sering lebih banyak pada
naskah drama daripada pementasan. Tentu saja hal ini menunjuk-
kan kita untuk memutar otak mengerahkan daya imajinasi kita
untuk dapat memahami drama. Bagaimanapun ketelitian membaca
saja tidaklah cukup untuk memahaminya. Karena itu kita haruslah
mampu menjadi pembaca kreatif. Kita harus membayangkan
drama itu seolah di mainkan di atas pentas. Artinya kita tidak hanya
berhenti pada makna dan implikasi kata-kata, melainkan kita harus
membayangkan kata-kata dalam naskah itu pada sebuah
pementasan. Dengan cara demikian menurut Hatlen (1962),
pembaca akan sampai pada tataran meperoleh pengalaman dan
kebahagiaan seperti yang diperoleh penonton pada saat mereka
menyaksikan pementasan drama/teater.
Bertolak pada pemikiran inilah maka bagian ini dikemukakan.
Mengawali hal ini ada baiknya kita perhatikan pertanyaan
menggelitik Sapardi Djoko Damono (1983), apakah penonton
sebaiknya datang ke gedung pertunjukkan dengan kosong, tanpa
terlebih dulu membaca drama tersebut sehingga pengalaman dan
penilaiannya sepenuhnya merupakan hasil komunikasinya dengan
yang ia tonton? Ataukah ia sebaiknya bersiap lebih dulu dengan
membaca naskah drama di rumah?
Baiklah kita tidak perlu menjawabnya sekarang. Barangkali
kita kan menemukan jawbnya dengan melanjutkan pertanyaan

Pengkajian Sastra │ 113


beriku dan menjawabnya : sebenarnya apakah perbedaan drama
dengan novel? Tentu saja salah satu aspek yang membedakan
keduanya adalah drama dimaksudkan untuk dibawa kepentas,
sedangkan novel ditulis untuk dibaca. Perkara nantinya drama itu
dipentaskan atau tidak itu bukan masalah. Dipentaskan atau tidak,
nilainya sebagai drama tidaklah berubah. Sebab nilai drama tidak
ditentukan oleh pementasan.
Kita dapat memperoleh pengalaman dengan hanya
membaca drama. Bahkan jumlah mereka yang telah membaca
drama karya Shakespeare misalnya, jauh lebih banyak dibanding
mereka yang telah menyaksikan pementasanya (Sarumpaet, 1988).
Oleh karena itu, pembicaraan drama sebagai sastra cukup penting.
Itu pula alasanya mengapa drama banyak diedarkan dalam bentuk
buku.
Sebagai karya sastra drama dekat sekali dengan fiksi.
Beberapa unsur seperti alur, tema, latar, penokohan dan konflik
dapat dikenakan pada keduanya. Tentu saja dalam pementasan
tokoh dan peristiwa menjelma betul-betul. Artinya dalam pentas
sutradara dan pemain/aktor telah meramu dan menyuguhkan
drama itu kepada penonton. Berbeda jika kita membaca drama,
imajinasi kitalah yang menentukan dan ini berarti memerlukan
kontemplasi yang intens.
Harus diakui bahwa pementasan cenderung untuk
meringankan kerja pikiran dan imajinasi kita sebagai penonton.
Namun benar juga bahwa dalam menyaksikan drama di pentas,
tidak sepenuhnya dapat berkomunikasi, apalagi jika drama yang
dipentaskan terkesan "berat". Itu sebabnya para penonton
pementasan Bip-Bop karya Rendra, Sumur Tanpa Dasar karya Arifin
C. Noer, atau Anu karya Putuwijaya boleh pergi dan bingung tanpa
mengerti apa yang disaksikannya di pentas. Bahkan mungkin saja
ada pemain yang juga tidak sepenuhnya mengerti apa yang
dimainkannya di pentas, meskipun hal ini jarang terjadi.

114 │ Pengkajian Sastra


Semakin teranglah betapa membaca drama itu penting,
meskipun tentu saja dibutuhkan kepekaan mata batin sebagaimana
kita membaca genre karya sastra yang lain. Membaca drama
merupakan kegiatan yang berdiri sendiri dan berbeda dengan
menonton drama (di pentas) atau mendengarkan drama lewat
kaset.
Bagaimana sastra drama mutakhir kita? Drama-drama
mutakhir Indonesia mempunyai corak yang sama sekali berbeda
dengan drama sebelumnya, "Naskah setengah jadi" (meminjam
istilah Jakob Sumardjo, 1992). Artinya, naskah drama tersebut baru
sempurna sebagai karya jika sudah dipentaskan. Karena itu
terkadang ada kesan naskah drama mutakhir tidak menarik untuk
dibaca sebagai karya sastra secara konvensional. Drama mutakhir
justru mengembalikan hakikatnya pada pengertian dasar drama.
Drama bukanlah melulu bentuk sastra : selain sebagai seni sastra,
drama sekaligus juga merupakan dan mempersoalkan seni peran.
Karenanya, drama memiliki kualitas penting dalam kehendak
memerankan oleh aktor (Sarumpaet, 1988).
Drama-drama mutakhir kita non-linear untuk tidak
mengatakan non-tematis, sosok cerita tidak tersusun dalam suatu
alur melainkan lebih merupakan permainan dalam suasana dan
dengan suasana, ia bergerak dalam semacam kaleidoskop dari
surprise-surprise (Muhamad, 1980). Hal ini tampak pada misalnya
Graffito karya Akhudiat, Kapai-kapai, Sumur Tanpa Dasar, dan
Tengul karya Arifin C. Noer. Drama mutakhir tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan teater mutakhir yang menganggap naskah
sekedar titik tolak dari sebuah pementasan teater. Apalagi jika kita
menyaksikan Bip-Bop dan Rambatae-Rate Rata karya mini kata
Rendra, jelas yang penting bagaimana aktor membuat improvisassi
terhadap naskah pada proses pementasan. Karya Putuwijaya Aduh
juga memperlihatkan ciri khas tersebut, sehingga mengundang
kritikus memberikan penilaian sebagai drama absurd.

Pengkajian Sastra │ 115


Drama mutakhir merupakan “naskah yang selesai setelah
teater" ia lebih merupakan naskah karya sutradara daripada naskah
pembaca. Naskah adalah kerangka situasi, bukan cerita tentang
situasi. Ia tidak lagi ingin melibatkan pentas ke dalam alur yang
majemuk dan percakapan berkepanjangan yang literer. Dalam hal
ini, pengalaman dengan pentas, dengan kelompok dalam latihan
dan pementasan, dengan publik lakon-lakon Indonesia sebelumnya
(Mohamad, 1980).
Drama mutakhir juga ditandai dengan tokoh-tokoh yang
tidak dijelaskan namanya. Tokoh-tokohnya hanya dinamakan
sebagai: "orang banyak", "salah seorang", "yang menguntit", "yang
muda", bahkan kadang-kadang memakai nomor 1 dan 2. Dialog
mereka kadang juga tidak jelas apa dan mau ke mana sehingga
terkesan non-tematis (meskipun ini tidak tepat). Namun semuanya
memberikan pesona trsendiri karena mampu memberikan suasana
tt yang menarik. Sebagai gambaran drama mutakhir dapat
diberikan contoh dialog berikut yang dikutip Sapardi Djoko Damono
(1983) berikut ini.
YU : Dingin ya mas
ANDRE : (mengangguk)
YU : Mas nggak dingin?
ANDRE : (Menggeleng) Hh-hhmm.
YU : Mas dingin-aku kompornya. (ketawa).
ANDRE : (Angkat jidad) Hhhh?
YU : Tapi bukan kompor gas, mas. Elpiji. Saya sih LX.
ANDRE : Apa?
YU : Elek.
ANDRE : Ha?
YU : Ho. (Mendelik).
(Rumah Tak Beratap karya Akhudiyat)

Drama Putuwijaya Anu dibuka dengan dialog Azwar yang


antara lain berbunyi: "Jadi Anu telah anu, anu sudah anu, bahkan

116 │ Pengkajian Sastra


anu benar-benar anu; tidak dapat anu lagi, setiap orang sudah anu,
padahal belum lama berselang anu kita sudah anu, di anu masih
ada anu …….." Drama ini memang penuh dengan bunyi anu, di
samping kalimat tak selesai dan berbelit-belit. Bunyi anu masih
terdengar pada dramanya yang lain Dag-Dig-Dug.
Drama Perjalanan Kehilangan karya Noorca Marendra
memiliki tokoh-tokoh dengan nama yang tidak lazim dipakai, tetapi
menggunakan tanda-tanda baca seperti "..... ", ( ), : , . . , juga angka
1 dan 2 serta koor. Petunjuk pementasan tidak ditulis sebaris pun,
yang ada hanya "petunjuk pementasan" semacam ini :
Sepi tersaruk-saruk
Sepi tersaruk
Sepi
Bahan beberapa dialog tidak diisi dengan kata-kata tetapi
dengan sederet tanda baca titik. Ada juga dialog pendek semacam
contoh di bawah ini :
1. : Saya tidak tahu
2. : Kenapa?
1. : Saya tidak ……..
2. : Kenapa?
1. : Saya …….
2. : Kenapa?
1. : ………………….
2. : ………………...?
1. : ………………
2. : ……………?
1. : ……………
2. : …………?

Pengkajian Sastra │ 117


1. : …………
2. : ………?
1. : ……
2. : ..?
1. : .
2. :

Ada juga dialog yang menggelitik dalam bagian tertentu


ketika mewancarai 1, 1 mengatakan bahwa ia lahir "entah kapan
dan entah di mana pada suatu hari di alam semesta", pekerjaan:
"gelandangan", alamat: "disudut-sudut alam semesta", agama:
"tebak saja sendiri", kebangsaan: "tuna bangsa ", orang tua: "sudah
mati ketika saya belum dilahirkan ", nama: "entah siapa", dan cita-
cita: "ingin jadi Tuhan".

3. Teater Indonesia Mutakhir: antara Barat dan Rakyat


Sebagaimana dikemukakan pada bagian depan, bahwa
kehadiran teratur modern di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
perubahan sosio-kultural yang terjadi di negeri ini, terutama
setelah PD II dan kemerdekaan. Komunikasi antar suku dan
antarbangsa yang semakin mudah. Teknologi komunikasi yang
maju pesat memudahkan terjadinya kontak dan persinggungan
antar nilai yang pada gilirannya menimbulkan proses akulturasi.
Dan akulturasi semakin meningkat ketika Indonesia memasuki era
Pelita I.
Selanjutnya mudah dipahami sebagai akibat akulturasi itu di
Indonesia muncullah tiga kebudayaan (meminjam istilah Saini K.M.,
1988), yakni (1) kebudayaan rakyat, (2) kebudayaan massa, dan
(3) kebudayaan tinggi. Kebudayaan rakyat (folk culture) adalah
kebudayaan suku bangsa. Kebudayaan massa (mass culture) adalah

118 │ Pengkajian Sastra


kebudayaan yang dianut oleh kelompok besar anggota-anggota
suku atau bahkan campuran berbagai suku yang telah terasing dari
tata nilai suku (sering disebut dengan kitsch yang berselera suka
pornografi, kekerasan, sensasi, sentimental dan glamour).
Sedangkan kebudayaan tinggi atau high culture (dari Arnold, 1970)
berolak dari disorientasi nilai kemudian dipilihnya nilai-nilai baru
yang sesuai dengan keadaan dan bagi harkatnya sebagai manusia.
Hal ini hanya mungkin karena pergaulan mereka dengan yang
terbaik yang pernah di tulis dalam sejarah kemanusiaan (lihat G.H.
Bantock, 1968). Berdasarkan latar kebudayaan itulah maka kita
mengenal tiga kesenian yakni kesenian rakyat, kesenian massa atau
kitsch dan kesenian serius.
Teater mutakhir (baca: kontemporer) termasuk kesenian
serius itu. Ia berkembang dari satu orientasi kebudayaan baru
sebagai konsekuensi kemerdekaan Indonesia. Meskipun ia
berangkat dari nilai-nilai tradisi dan meramu nilai-nilai kebudayaan
asing. Ia mengacu kepada teater yang baru (Umar Kayam, 1981).
Adanya teater mutakhir itu karena kesadaran akan peran teater
sebagai unsur yang ikut membangun kebudayaan baru yang
disebut Indonesia. Konsekuensi dari itu ia mesti mampu
menciptakan idiom teater yang sama sekali baru pula. Artinya
bahasa teater Indonesia di depa publik yang Indonesia pula.
Teater mutakhir Indonesia muncul dengan hadirnya para
sutradara dan aktor muda potensial seperti Rendra dengan Bip-Bop
(1968), Arifin C. Noer dengan Kapai-Kapai (1970), Tengul (1973),
Putu Wijaya dengan Aduh (1973) dan disusul karya-karyanya yang
lain. Berbicara teater mutakhir Indonesia kita tidak dapat
melupakan mereka sebagai peletak dasar teater mutakhir
Indonesia, meskipun kemudian muncul tokoh teater mutakhir lain
seperti Teguh Karya, Sardono W. Kusumo, Ikragara, Nano
Riantiarno, Akhudiat, Wisran Hadi, Noorca Marendra dan lain-lain.
Jika diamati apa yang dilakukan Rendra, Arifin C. Noer dan
Putuwijaya serta tokoh yang lain itu sebetulnya dengan mudah

Pengkajian Sastra │ 119


dapat ditemukan akarnya pada teater tradisional seperti wayang
orang, kethoprak, ludruk, lenong, randai, cak dan lain-lain. Di dalam
hal ini ada yang lewat jalur "bentuk tradisional" yang pelafalannya
tampak pada busana, struktur, gaya, musik, topeng dan sebagainya
yang dapat kita kenal dalam kethoprak atau lenong, misalnya. Ada
juga yang lewat jalur "jiwa teater tradisional" yang berciri khas
demikian bebas dan spontan sehingga merupakan tenaga luar biasa
dalam menggambarkan imajinasi sedemikian kaya. Pelafalan
kebebasan jiwa ini dapat berwujud adegan-adegan visual,
penyederhanaan, penafsiran yang demikian segar sehingga sering
menimbulkan kejutan. Kejutan-kejutan yang melejit dari nafas
tradisional itu kebetulan bentuknya sering senada dengan yang
berlaku pada teater mutakhir di mancanegara dengan
absurditasnya, meskipun jika diteliti secara jeli, keduanya berbeda
(Putuwijaya, dalam Kasijarno dan Sapardi Djoko Damono, 1981).
Menurutnya, teater absurd itu istilah Esslin pengganti nama ugal-
ugalan dari Samuel Becket, Inesco dan Arabal, berangkat dari rasio
sebuah proyek yang cerdas. Adapun tontonan yang "aneh", ganjil
dari teater pribumi bertolak dari keterbatasan, keluguan,
kemiskinan, kekurangpintaran, bertolak dari naluri (meski
pandangan ini perlu didiskusikan).
Sejalan dengan itu teater modern itu meskipun hasil
pengaruh kebudayaan Barat, dan meskipun sampai kini akarnya
belum teguh tertanam di bumi kebudayaan Indonesia, jelas ia
mempunyai hak hidup. Kebutuhan orang menyatakan diri dengan
otentik membuatnya tidak puas lagi dengan bentuk konvensional.
Terlebih pengalaman hidup modern membutuhkan media
pengungkap dengan bentuk tradisional (Rendra, 1993).
Sebagai ilustrasi, masalah kehidupan seorang ahli nuklir
misalnya, sulit untuk diungkapkan dengan bentuk kethoprak atau
wayang. Demikian pula kehidupan seorang ahli elektronika, sulit
dibayangkan bagaimana diekspresikan dengan kethoprak atau
wayang. Bagaimanapun setiap perkembangan kebudayaan
menuntut perkembangan bentuk kesenian. Karena itu, teater

120 │ Pengkajian Sastra


modern di Indonesia timbul dari golongan elite yang merasa tidak
puas dengan komposisi rakyat yang tradisional. Naskah drama
mulai dibutuhkan karena dialog yang dalam dan otentik dianggap
sebagai mutu yang penting. Inilah yang membedakannya dengan
teater tradisional yang lebih merupakan spontanitas dan daya cipta
aktor dalam melakukan dialog, tanpa memerlukan naskah tertulis.
Berkaitan dengan hal itu, teater demikian Goenawan
Mohamad (1980), pada akhirnya ialah suatu peristiwa teater dan
pengalaman. Naskah sebagaimana rencana sutradara, permainan
para aktor, perlengkapan pentas jelas hanya merupakan unsur-
unsur. Karena itu dalam teater mutakhir proses penjadian teater
dapat saja berlangsung dalam semacam "dialektik" antara hak-hal
yang diharapkan dengan yang tak disangka-sangka. Seorang aktor
mungkin saja dapat menciptakan sesuatu dari suara bersin yang
mendadak dari aktor di depannya. Juga sahutan penonton pada
saat yang diperhitungkan ataupun tidak diperhitungkan dapat saja
membangun suasana kreatif dalam proses pementasan teater.
Berdasarkan hal itu, jelaslah bahwa status naskah adalah
“pralakon”. Memang, penulis naskah mungkin bertujuan ingin
melihat hasilnya dalam pementasan berjalan lurus, namun kita
harus juga menyadari bahwa antara naskah dan proses teater tidak
selamanya berjalan lurus, rapi dan pasti. Justru inilah agaknya
perbedaan antara eksentuasi lakon-lakon lama dengan lakon-lakon
mutakhir. Drama Bebasari karya Rustam Effendi tahun 1926 dapat
dikaji sebelum, bahkan tanpa naskah itu dicoba dipentaskan. Begitu
pula Ken Arok dan Ken Dedes karya Mohamad Yamin tahun 1934
dan lain-lain. Bahkan, karya Motinggi Boesje komedi segar Barabah
tahun 1961 diterbitkan sebagai novel tanpa perubahan yang berarti
dua tahun kemudian. Hal itu jelas sangat sulit diberlakukan pada
lakon-lakon teater mutakhir. Barangkali dianggap lelucon
kemungkinan untuk menovelkan Bip-Bop karya Rendra atau karya
mini katanya yang lain yang dihasilkan akhir dekade 1960-an, atau
Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer, atau Aduh, dan Anu karya
Putuwijaya yang diciptakan pada dekade 1970-an.

Pengkajian Sastra │ 121


Senada dengan itu, Goenawan Mohammad (1980) bahkan
meragukan kemampuan kritikus untuk membicarakan Kapai-Kapai
(1970) karya Arifin C. Noer tanpa menghadiri pementasannya yang
disutradarai penciptanya sendiri. Demikian pula Aduh (1973) karya
Putuwijaya. Lakonnya tidak dapat dikatakan telah mulai dari situ
dengan persis. Lakon-lakon mutakhir ibarat “sebuah sel telur yang
menunggu dibuahi”, yang sadar atau tidak ia mempersiapkan
sebuah hubungan yang lebih akrab tetapi sekaligus leluasa antara
naskah dan horison lain setelah kesusasteraan. Bahkan mungkin
dapat dikatakan bahwa ia cenderung untuk melepaskan drama dari
kedudukannya "hanya" sebagai bagian dari kesusasteraan. Dengan
kata lain drama mutakhir adalah "selesai setelah teater".
Perlu dipahami, bahwa tanpa mengangkat penonton ke
tingkat pemahaman dan kesadaran hidup yang lebih tinggi dan
hanya berusaha menggaet perhatian penonton saja, maka teater
yang dicapai hanya akan berupa hiburan rakyat yang murahan
belaka tanpa mengandung nilai-nilai yang bermakna dan berlanjut.
Kasus Teater Gandrik dengan lakon Pensiunan (seperti roman
picisan) berbeda sekali dengan Sinden (pemikiran ke dataran tinggi)
merupakan ilustrasi yang menarik untuk direnungkan dan dikaji.
Hubungan timbal balik antara pemain dan penonton dalam
proses teater itulah yang menentukan berhasilnya teater dan di sini
pula letak penilaian terhadap pertunjukan teater. Kita menilainya
menurut ukuran betapa dalamnya dapat melibatkan diri penonton
yang menarik pribadinya secara total. Yang penting dalam hal itu
permainannya, sedangkan naskah drama nomor dua. Sebab yang
terakhir itu sekedar memberi petunjuk kepada perbuatan dan
percakapan sampai garis kecilnya saja, atau hanya skema urutan
adegan saja (Subagio Sastrowardojo, 1989). Dengan demikian
naskah pada dasarnya hanya merupakan blue print, yang jika perlu
setiap saat dapat diubah di sana sini disesuaikan dengan usaha
memberi efisiensi dan efektivitas permainan teater, di samping
resepsi pemain dan sutradara atas naskah. Ini mudah dipahami
ketika Tengul yang diselesaikan pada proses latihan ketika

122 │ Pengkajian Sastra


menjelang pementasan di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) tahun 1973.
Begitu juga teater mini-kata Rendra menunjukan betapa kurang
pentingnya naskah.
Selain itu teater mutakhir ditandai dengan adanya kenyataan
bahwa naskah lebih merupakan naskah seorang sutradara daripada
pembaca. Penciptaan teater yang dikehendaki harus dikembalikan
kepada arti penciptaan yang asasi ketika sutradara memberi
bentuk, mengembalikan kesatuan, mengungkapkan suatu gaya
kepada lintasan berbagai gerak dan suara, kata dan pikiran,
perasaan hati dan ikhwal. Naskah adalah suatu kerangka situasi.
Jika aktor telah berada di pentas dan mempunyai dorongan untuk
memberi wujud lakon itu disana, akan tahu yang diminta. Dalam
kerangka situasi itulah diharapkan respons: mengubah suatu proses
dengan tempo, kepekaan dramatik dan juga kontinuitas
(Goenawan Mohamad, 1980). Jelaslah bahwa kepekaan dan
kreativitas aktor sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Dari sisi lain, kita melihat perbedaan teater mutakhir dengan
teater tradisional setidaknya dalam dua hal, pertama dari segi
posisi wahana komunikasi kultur, dan kedua dari segi pemahaman
dan penghayatannya (Umar Kayam, 1981). Dari segi wahana
komunikasi kultur, teater mutakhir mempunyai tugas
pembangunan solidaritas yang lebih luas jangkauannya ketimbang
teater tradisional. Teater mutakhir adalah teater Indonesia (dan
teater kota). Sebagai teater Indonesia ia berbicara tentang idiom
kebangsaan, bukan lagi idiom masyarakat lama (tradisional),
dengan nilai-nilai yang baru. Sedangkan dari segi pemahaman dan
penghayatan, teater mutakhir mesti dihayati dan dipahami secara
analitis dan kritis. Artinya, teater ditangkap maknanya dengan
mengenal kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan oleh cerita.
Jadi, pementasan teater perlu olah pikir baik bagi sutradara,
pemaian, bahkan penontonnya. Penonton melakukan sendiri
pilihan yang dijatuhkannya, atas kemungkinan yang ditawarkan
oleh cerita mutakhir itu. Sementara itu teater tradisional ditangkap
maknanya dengan menggabung dan merangkum unsur-unsur dari

Pengkajian Sastra │ 123


kerangka acuan yang sudah dipahami, dengan unsur-unsur
improvisasi dan keseluruhan lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikemukakan ciri-ciri
teater mutakhir sebagai berikut.
(1) Ambisi lakon-lakon mutakhir umumnya ke arah teater yang
menggunakan naskah "setengah jadi" yang "selesai setelah
teater" ibarat “telur yang siap dibuahi”. Naskah hanya
merupakan kerangka situasi dan bukan cerita tentang
situasi seperti lakon-lakon sastra dari dekade sebelumnya.
karena itu untuk menilai teater mutakhir tidak hanya cukup
melihat hasil, tetapi juga proses teater itu sendiri.
(2) Unsur humor cukup menonjol tetapi bukan berangkat dari
fungsi dagang (bisnis) seperti dalam lawak populer seperti
Kethoprak Humor, . Humor disini dilandasi oleh motif
komunikasi, dan yang dicari tidak lain adalah respons.
Karena itu humor lebih bersifat kecerdasan yang dilandasi
oleh hasil proses pemikiran intelektual.
(3) Teater mutakhir mengambil unsur-unsur teater rakyat
tradisional dan juga unsur teater absurd (Barat). Jiwa teater
rakyat diramu dengan semangat teater modern kemudian
dimodifikasi dengan teater rakyat seperti kethoprak,
wayang orang, randai, lenong dan lain-lain.
(4) Banyak mengangkat masalah "kelas bawah", kaum
gelandangan atau underdog yang bervisi intelektual. Teater
mutakhir akrab dengan para pengemis, bajingan, kuli dan
kaum gelandangan lain yang dengan bebas
mengungkapkan pendapat dan pandangannya dengan
cerdas.
(5) Sifat simbolik dalam pentas sangat dominan, dan dasar
minesis dalam sastra drama ditinggalkan. Karena itu tidak
bersifat realistik, tidak dapat dikembalikan kepada
kenyataan faktual. Ruang dan waktu tidak jelas, yang
menonjol tata laku yang kerikatual dan simbolik.

124 │ Pengkajian Sastra


(6) Lebih merupakan teater sutradara, sebagai hasil
pengalaman dengan pentas, kelompok dalam latihan dan
pementasan serta publik. Mereka itu (para sutradara)
memimpin kelompok teater, menulis naskah dan sekaligus
menyutradarainya dalam pementasan. Mereka adalah
Rendra, Arifin C. Noer dan Putuwijaya. Kemudian disusul
tokoh lain seperti Tegih Karya, N. Riantiarno, Ikranagara,
Wisran Hadi, Akhudiat dan sebagainya.
(7) Berbicara tentang idiom kebangsaan bukan lagi idiom
masyarakat lama dan bersifat etnik di hadapan pubik yang
Indonesia pula. Banyak diungkapkan nilai-nilai baru yang
patut diperhitungkan dan dikembangkan. Karena itu dalam
pemahaman dan penghayatannya perlu analisis atau kerja
intelektual (lihat Sumardjo, 1992; Kayam 1981; Mohamad,
1980; Damono, 1983).
Di samping itu, sebagai kesenian serius, teater mutakhir
ditandai dengan ciri-ciri antara lain:
Pertama, teater mutakhir adalah kesenian kota terutama
kota besar, yang menjadi pusat akulturasi nilai-nilai.
Kedua, teater mutakhir merupakan kesenian yang meng-
ungkapkan hasil "dialog" seniman (untuk tidak mengatakan
konfrontasi) dengan kenyataan-kenyataan sosial. Karena itu teater
mutakhir bukan wahana untuk hiburan semata atau masturbasi
emosional seperti halnya kitsch, tetapi lebih merupakan ekspresi
idealisme dan bahkan pengabdian masyarakat. Uneg-uneg,
gagasan, perasaan dan hasrat-hasrat dapat diungkapkan dengan
dikemas dalam pertunjukan.
Ketiga, berkaitan dengan nomor dua, karena sering meng-
ungkapkan kenyataan-kenyataan sosial (yang sering menyakitkan)
dengan gagasan dan ide-ide yang orisinal dan otentik, maka teater
mutakhir sering mengundang kecurigaan pihak penguasa (meski hal
ini sebenarnya terjadi karena adanya kesalahtafsiran penguasa

Pengkajian Sastra │ 125


dalam memahami teater sebagai kesenian sehingga jarang terjadi
kesatuan pandangan antara seniman dengan penguasa).
Keempat, pendukung teater mutakhir menghargai kesenian
etnik dan mengambil nilai-nilai yang berguna, meramunya dengan
nilai-nilai modern.

4. Tantangan dan Prospek Teater Mutakhir


Meskipun teater mutakhir pada dua dekade terakhir ini
sangat menggembirakan perkembangannya bila dilihat dari
frekuensi pementasan berbagai kelompok teater, makin banyaknya
naskah asli, saduran ataupun terjemahan, juga jumlah penonton
semakin banyak dan tanggapan positif dari para kaum elite.
Namun, masih banyak masalah dan tantangan yang dihadapi teater
mutakhir.
Umar Kayam (1983), membuat catatan mengenai masalah
yang dihadapi teater mutakhir kita antara lain:
a. Teater mutakhir kita belum muncul sebagai ekspresi kesenian
yang fungsional dari masyarakat kita yang sedang mengubah
bentuk.
b. Teater mutakhir kita belum sanggup mengundang tanggapan
dan dialog yang ramai dari khalayak yang luas.
c. Belum mampunya teater mutakhir kita menjadi pelaksana
pemantulan daya imajinasi yang kaya dari masyarakat kita
yang sedang mengubah bentuk, karena itu justru kita sedang
berada dalam posisi mengubah bentuk itu.
Selanjutya, Kayam mengajukan alternatif untuk membangun
kehidupan mutakhir di kota Yogyakarta (mungkin juga berlaku di
kota-kota yang lain) demikian: Pertama, dari segi sosiologis-kultural
agaknya perlu lebih banyak menggarap hal-hal yang strategis
jangka panjang yang menyangkut banyak prasarana dan sarana.
Kedua, yang lebih bersifat teknis dan organosatoris dengan
program jangka pendek yang menyangkut kegiatan-kegiatan

126 │ Pengkajian Sastra


lokakarya, subsidi, pembentukan "galatama" teater, dan
sebagainya.
Di sisi lain, sebenarnya teater mutakhir merupakan kesenian
masa depan (yang prospektif). Betapa tidak? Proses
pengindonesiaan berbagai suku bangsa telah berjalan dengan
semakin mantab dan menunjukkan kepada kita bahwa teater
mutakhir akan mendapat pendukung yang makin besar jumlahnya
pada masa depan kelak. Fenomena ke arah itu sudah tampak
terutama pada kota-kota besar.
Dalam hal ini baik dipandang dari segi frekuensi pementasan,
jumlah penonton maupun kualitas penonton, sudah mulai
mengalahkan pementasan kesenian etnik seperti wayang orang,
kethoprak, lengger, lenong, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan
karena teater mutakhir didukung oleh berbagai suku bangsa di
Indonesia secara bersama-sama. Memang benar bahwa suku-suku
itu merasa "ikut memiliki" wayang orang, kethoprak, lengger,
lenong, randai dan sebagainya tetapi terhadap teater mutakhir
mereka lebih daripada ikut. Mereka benar-benar merasa
"memiliki". Termasuk adanya kenyataan teater mutakhir meng-
gunakan bahasa Indonesia, hendaknya dianggap berhubungan erat
dengan proses tumbuhnya keIndonesiaan secara faktual, dan
bukan sebaliknya, yakni bahasa Indonesia sebagai penyebab
pertumbuhan keIndonesiaan itu.
Teater mutakhir mempunyai prospek yang cerah akan lebih
jelas lagi jika kita melihat kenyataan usia para penontonnya secara
umum yakni antara 15 hingga 30 tahun. Jelas kelompok umur ini
berbeda dengan penonton kesenian rakyat wayang orang,
kethoprak, lengger, lenong dan sebagainya yang umumnya lebih
tua. Bahkan perbedaan ini dipertegas oleh perbedaan dalam
tingkat pendidikan. Penonton teater mutakhir rata-rata ber-
pendidikan SMTA dan perguruan tinggi. Sedangkan penonton
kesenian rakyat wayang orang, atau kethoprak misalnya, umumnya
berpendidikan lebih rendah. Melihat kenyataan itu maka penonton

Pengkajian Sastra │ 127


teeter mutakhir (diharapkan) merupakan kelompok sosiologis yang
kuat pada masa mendatang baik dari segi politik, sosial maupun
ekonominya. Dengan demikian teater mutakhir (dapat diharapkan)
akan menjadi kesenian yang lebih memasyarakat kelak. Tentu saja
semua itu terpulang kepada para pekerja teater dan pihak-pihak
yang terkait.
Kenyataan menggembirakan juga dapat dilihat dari frekuensi
pementasan di TIM selama dua dekade terakhir yakni 211 kali
pementasan dengan 102 naskah asli dan 109 naskah terjemahan.
Hal itu menggambarkan semangat teater mutakhir kita cukup
membuat hati kita lega.

128 │ Pengkajian Sastra


BAB VII
TEORI DALAM PENGKAJIAN SASTRA

Tujuan akhir pengkajian karya sastra adalah mengungkapkan


gagasan yang ingin disampaikan sastrawan kepada pembaca atau
makna yang terkandung di balik gaya bahasanya yang indah. Untuk
keperluan itu maka diperlukan penguasaan dan pemahaman
seperangkat teori sebagai pisau analisis dalam upaya pengungkapan
gagasan tersebut.
Ada berbagai teori yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan
dalam upaya mengungkapkan gagasan yang terkandung dalam sebuah
karya sastra. Teori-teori tersebut dari teori Strukturalisme yang paling
kuna hingga teori Kritik Sastra Feminis. Berikut akan dipaparkan satu
persatu teori-teori tersebut.

A. Strukturalisme
Menurut Piaget (dalam Zaimar, 1991:20), strukturalisme adalah:
"Semua doktrin atau metode yang --dengan suatu tahap abstraksi
tertentu—menganggap objek studinya bukan hanya sekedar
sekumpulan unsur yang terpisah-pisah, melainkan suatu gabungan
unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain, sehingga yang satu
tergantung pada yang lain dan hanya dapat didefinisikan dalam dan
oleh hubungan perpadanan dan pertentangan dengan unsur-unsur
lainnya dalam suatu keseluruhan. Dengan kata lain, semua doktrin
yang menggunakan konsep struktur dan yang menghadapi objek
studinya sebagai struktur. Jadi, pengertian totalitas dan sikap saling
berhubungan adalah ciri-ciri strukturalisme."
Bagi Piaget (dalam Hawkes, 1978:16), struktur sebagai jalinan
unsur yang membentuk kesatuan dan keseluruhan dilandasi oleh tiga
landasan dasar, yakni (1) gagasan kebulatan, (2) gagasan transformasi,

Pengkajian Sastra │ 129


dan (3) gagasan pengaturan diri. Sebagai kebulatan struktur, unsur-
unsur di dalamnya tidak berdiri sendiri dalam keseluruhan makna.
Bahan-bahan yang ada diproses melalui transformasi, sehingga struktur
itu tidak statis melainkan dinamis. Keseluruhan (wholeness), unsur-
unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang
menentukan, baik keseluruhan stuktur maupun bagian-bagiannya;
tansformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur
transformasi yang memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru.
Selanjutnya, untuk mempertahankan transformasinya, struktur
tidak memerlukan bantuan di luar dirinya (Pradopo, 1989:502).
Keteraturan yang mandiri (self regulation), artinya, struktur tidak
memerlukan hal diluar dirinya, struktur itu otonom terhadap rujukan
sistem lain.
Sesuai dengan teori Abrams, pendekatan strukturalisme disebut
dengan pendekatan objektif, yaitu melihat karya sastra sebagai
struktur otonom, berdiri sendiri, terlepas dari unsur yang berada di luar
dirinya. Telaah sastra dalam pendekatan ini melihat karya sastra
sebagai sesuatu yang terlepas dari unsur sosial budaya, pengarang, dan
pembacanya. Karena itu, semua hal yang berada di luar karya, seperti
biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah, tidak diikut
sertakan dalam analisis. Menurut Teeuw (2003: 111), yang diperlukan
dalam pendekatan ini adalah close reading, yaitu pembacaan secara
mikroskopis atas karya sastra sebagai ciptaan bahasa.
Aristoteles (dalam Teeuw, 2003:100-102), mengenalkan
strukturalisme dalam konsep wholeness, unity, complexity, dan
coherence, yang memandang bahwa keutuhan makna bergantung pada
keseluruhan unsur. Wholeness atau keseluruhan; unity, berarti semua
unsur harus ada; complexity, berarti luasnya ruang lingkup harus
memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal; coherence,
berarti sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin
atau yang harus terjadi sesuai konsistensi logika cerita.
Menurut Culler (1975:3), dalam menganalisis karya sastra dengan
pendekatan strukturalisme, orang harus memfokuskan kajiannya pada

130 │ Pengkajian Sastra


landasan linguistik. Adapun aspek-aspek karya sastra yang dikaji dalam
pendekatan strukturalisme ini adalah tema, alur, latar, penokohan,
gaya penulisan, dan hubungan antaraspek yang membuatnya menjadi
karya sastra.
Teeuw (1984:135-136) menandaskan, bahwa tujuan analisis
struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin
keterkaitan dan keterjalinan berbagai unsur yang secara bersama sama
membentuk makna. Yang penting bagaimana berbagai gejala itu
memberikan sumbangan dalam keseluruhan makna dalam keterkaitan
dan keterjalinannya, serta antara berbagai tataran yakni fonemik,
morfologis, sintaksis dan semantik. Keseluruhan makna yang
terkandung dalam teks akan terwujud hanya dalam keterpaduan
struktur yang bulat.
Pertama-tama kaum strukturalis memandang wujud sebagai
suatu keseluruhan, sebagai sesuatu yang utuh, yang setelah dianalisis
ditemukan sebab-sebab keutuhan itu. Meskipun demikian struktur
tersebut tidaklah statis sebagai konsekuensi manusia sebagai homo
significant. Manusia, menurut Barthes, terus-menerus ingin memberi
makna kepada benda-benda (1972:153) dengan menciptakan suatu
konteks yang baru sebagaimana dinyatakan Culler (dalam Teeuw,
1978:261).
Pendekatan strukturalisme sangat populer. Oleh karena itu,
pendekatan itu sering digunakan dalam telaah sastra, atau untuk
mengajarkan sastra di sekolah. Pendekatan itu dipandang lebih mudah
untuk dilaksanakan, karena memfokuskan analisis pada unsur-unsur
dan hubungan antarunsur yang membangun karya itu.
Sesungguhnya, pendekatan strukturalisme, memberikan peluang
untuk telaah sastra dengan lebih rinci. Namun pada kenyataannya,
peluang itu justru sering menyebabkan masalah estetika menjadi
terkorbankan. Hal itu terjadi antara lain, karena sebab-sebab sebagai
berikut.

Pengkajian Sastra │ 131


(1) Pendekatan strukturalisme ini tidak dapat digunakan untuk
menganalisis perkembangan sastra dari masa ke masa;
(2) Tujuan akhir dari analisis teks sastra yang berupa
pengungkapan makna estetis, tidak dapat tercapai sebab
pembahasan hanya sampai pada analisis unsurnya. Hubungan
antarunsur sebagai kebulatan pembentuk makna, masih jarang
dilakukan. Padahal, demikian Pradopo (1989:502), sebagai
kebulatan struktur, unsur-unsur di dalam karya sastra itu tidak
dapat berdiri sendiri dalam keseluruhan makna;
(3) Untuk sampai pada pengungkapan makna, perlu dipahami
unsur-unsur di luar karya sastra itu.
Menurut Teeuw (2003:115-116), dalam perkembangannya
muncul ketidakpuasan orang terhadap pendekatan strukturalisme ini,
karena dipandang memiliki kelemahan, antara lain: (1) Belum memiliki
syarat sebagai teori yang tepat dan lengkap untuk diterapkan dalam
analisis teks sastra. (2) Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing,
sebab harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar
belakang sejarah. (3) Karya sastra dipisahkan dengan pembacanya
selaku pemberi makna. (4) Analisis yang menekankan otonomi dapat
menghilangkan konteks dan fungsinya, karena karya sastra dilepaskan
dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.

B. Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan
para teoritisi sastra terhadap teori strukturalisme murni yang
mengabaikan latar belakang historis dan kultural sastra. Strukturalisme
genetik (genetic structuralism) merupakan cabang strukturalisme yang
memperhatikan aspek-aspek eksternal sastra yakni latar belakang
historis dan kultuturalnya. Dengan demikian, dimungkinkan makna
karya sastra akan lebih utuh karena kelahiran karya sastra dipengaruhi
oleh lingkungan sosial budaya masyarakatnya.

132 │ Pengkajian Sastra


Menurut Taine, peletak dasar strukturalisme genetik, karya
sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat
merupakan rekaman budaya. Karya sastra merupakan perwujudan
pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan. Selanjutnya, tGoldmann
mengembangkan strukturalisme genetik dengan pandangannya bahwa
fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua
aktivitas manusia merupakan respons dari subjek kolektif atau individu
dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi
situasi yang ada agar selaras dengan aspirasinya.
Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna
akan mewakili pandangan dunia (vision du monde atau world view)
pengarangnya, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota
masyarakatnya (Teeuw, 1984:173-174). Dengan demikian, struktural-
isme genetik menghubungkan struktur karya sastra dengan struktur
masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresi-
kannya. Jadi, menurut teori ini karya sastra tidak dapat dipahami
secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang melahirkannya
diabaikan. Bagi Goldmann, pandangan dunia itu selalu terbayang dalam
karya sastra agung dan merupakan abstraksi (bukan fakta empiris yang
memiliki eksistensi objektif). Abstraksi itu akan mencapai bentuknya
yang kongkret dalam karya sastra.

C. Sosiologi Sastra
Sosiologi Sastra berkembang sebagai inovasi dari pendekatan
Strukturalisme yang dianggap telah mengabaikan relevansi masyarakat
sebagai asal-usul dari suatu karya sastra (Ratna, 2004:332). Pendekatan
sosiologi sastra menganggap bahwa sastra harus difungsikan sama dengan
aspek kebudayaan yang lain. Selain itu, sastra juga harus dikembalikan
kepada masyarakat pemiliknya, sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan
dengan sistem secara keseluruhan. Dalam Sosiologi Sastra karya sastra
dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosial
budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu (Junus, 1986:3).
Menurut Teeuw (2003:520), bahwa peran

Pengkajian Sastra │ 133


pembaca dalam hubungannya dengan kedudukan sosialnya perlu
untuk diperhatikan.
Dalam konteks itu, Damono (2003:1) menyatakan bahwa sastra
menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang,
antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang
yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan
seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan
menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan
peristiwa sosial tertentu. Pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi
sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi
gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 2003:3).
Lebih lanjut Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi
sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran
utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan
masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang banyak dilakukan saat ini
memfokuskan perhatiannya pada aspek dokumenter sastra yang
berlandaskan gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya.
Artinya, sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur
sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.
Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan
pengalaman tokoh-tokoh fiktif dan situasi ciptaan pengarang itu
dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya
yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah
menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Merujuk pada teori Abrams (1981: 6-17) mengenai empat
pendekatan dalam analisis sastra yakni ekspresif, mimetik, pragmatik
(reseptif), dan objektif, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang
bertolak dari orientasi kepada mimetic (kesemestaan), namun dapat

134 │ Pengkajian Sastra


juga bertolak pada orientasi pengarang dan pembaca. Menurut
pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan
kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala
sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang memiliki hubungan
referensial dengan karya sastra.
Rene Wellek dan dan Austin Warren (1989) membagi telaah
sosiologi sastra menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang,
yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik,
dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya
sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang
menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya
sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan-
nya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang
pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Senada dengan di atas, menurut Watt (2001) kajian sosiologi
sastra mencakup tiga hal, yakni (1) konteks sosial pengarang, (2) sastra
sebagai cermin masyarakat, dan (3) fungsi sosial sastra. Konteks sosial
pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-
faktor sosial yang dapat mempengaruhi diri pengarang sebagai
perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra
sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra
dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial
sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan
masyarakat bagi pembaca.
Dengan mempertimbangkan bahwa Sosiologi Sastra adalah
analisis karya sastra kaitannya dengan masyarakatnya. Menurut Ratna
(2004:340), model analisis yang dapat dilakukan dalam pendekatan ini
meliputi tiga macam bentuk, yaitu:

Pengkajian Sastra │ 135


(1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam
karya sastra, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan.
(2) Sama dengan analisis di atas, tetapi dengan cara menemukan
hubungan antarunsurnya.
(3) Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh
berbagai informasi, yang dilakukan dengan disiplin tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi
gejala sosial yang ada di luar sastra. Adapun tujuan studi sosiologis
dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh
mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Sosiologi sastra berangkat dari pandangan bahwa sastra
merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang
mengungkapkan problema kehidupan yang dirasakan pengarang dan
yang terdapat di lingkungan sosialnya. Karya sastra merupakan refleksi
kehidupan masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat. Bahkan, masyarakat sangat menentukan nilai
karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri
adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan
terpengaruh oleh lingkungan sosial yang membentuk dan
membesarkannya.

D. Strukturalisme Dinamik
Dalam perkembangannya, pendekatan strukturalisme dianggap
terlalu mementingkan objek, menolak subjek, dan antihumanis, karena
melepaskan karya dari sejarah sosial budaya yang merupakan asal-
usulnya. Sebab itu, munculah Strukturalisme dinamik yang merupakan
pengembangan strukturalisme murni.
Pendekatan yang dikemukakan pertama kali oleh Mukarovsky
dan Vodicka ini menganggap bahwa karya sastra merupakan proses

136 │ Pengkajian Sastra


komunikasi, fakta semiotik, yang terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-
nilai. Untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikembalikan
pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkan, dan
pembaca sebagai penerimanya. Oleh karena itu, menurut Sayuti (1994-
b:89), pengkaji sastra dengan pendekatan stukturalisme dinamik
sekurang-kurangnya bertugas untuk menjelaskan karya sastra sebagai
struktur berdasarkan unsur-unsur pembentuknya, dan kaitan antara
pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca sebagai apresiatornya.
Salah satu ciri kesusasteraan terutama yang modern adalah
usahanya untuk selalu menyimpang dari konvensi, menciptakan
sesuatu yang baru, sehingga sistem sastra tidak pernah stabil (Teeuw,
1978:260). Dalam konteks ini Goldman (1977:156) menyatakan, bahwa
realitas manusia itu tampil sebagai proses dua sisi yakni destrukturasi
struktur-struktur yang lama dan strukturasi totalitas-totalitas yang
baru. Karena itu bagi Goldman (1981:49) struktur-struktur itu tidak
dapat dipelajari terpisah dari perkembangannya.
Dengan demikian baik Teeuw maupun Goldman keduanya
mengakui bahwa suatu wujud itu mempunyai struktur, tetapi merupa-
kan struktur baru yang dalam pembentukannya tidak terpisahkan dari
struktur-struktur yang ada sebelumnya. Konsep pemahaman itulah
yang kemudian dikenal sebagai strukturalisme dinamik (Teeuw,
1978:260). Munculnya struktur baru itu dari konteks konvensi menurut
Teeuw menimbulkan atau memberikan efek kejutan, sedangkan bagi
Goldman (1981:40) merupakan hasil usaha manusia untuk mengubah
dunia agar diperoleh keseimbangan yang lebih baik dalam
hubungannya dengan alam.
Strukturalisme dinamik adalah model semiotik yang memper-
lihatkan hubungan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara
keempat faktor yakni pengarang, karya, pembaca dan realitas atau
kesemestaan (Teeuw, 1984:190; bandingkan Abrams, 1976:8, 14, 21,
26). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Strukturalisme Dinamik
merupakan embrio lahirnya teori Semiotik dalam pengkajian karya
sastra.

Pengkajian Sastra │ 137


E. Semiotik
Tujuan analisis karya sastra adalah mengungkapkan maknanya.
Karena novel merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna sesuai
dengan konvensi ketandaan, maka analisis struktur tidak dilepaskan
dari analisis semiotik. Culler (1981:5) menegaskan bahwa ilmu sastra
yang sejati harus bersifat semiotik, artinya menganggap sastra sebagai
sistem tanda.
Banyak peneliti sastra yang berpandangan bahwa tanpa
mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya yakni tanpa meman-
dangnya sebagai tindak komunikasi, atau sebagai tanda, sastra tidak
dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah (Teeuw, 1984:43). Ditegaskan
oleh Tynjanov (dalam Luxemburg, 1984:35) bahwa dalam sastra ada
relasi ganda, yang pertama synfungsi, yakni relasi sastra dengan unsur
yang berada di luar sastra, dan autofungsi, yakni relasi di dalam sastra
itu sendiri. Dengan demikian sastra harus ditempatkan dalam fungsinya
sebagai gejala sosio-budaya. Sastra adalah tindak komunikasi atau
gejala semiotik. Tegasnya lagi, sastra adalah tanda.
Pendekatan semiotik yang dimaksudkan di sini berpijak pada
pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni, merupakan suatu
sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai sistem
tanda ia mengenal dua aspek yakni penanda (signifiant) dan petanda
(signifie). Sebagai penanda, karya sastra hanyalah artefak, penghubung
antara pengarang dengan masyarakat pembaca. Di sini karya sastra
mencapai realisasi semesta menjadi objek estetik (Mukarovsky, 1976:3-
4; Vodicka, 1976:197).
Proses pengungkapan makna karya sastra di sini tentulah tidak
berlangsung dengan mudah, sebab harus dilakukan dengan
pembongkaran tanda (decoding) secara struktural. Karya sastra sering
sekali mempermainkan atau mendobrak konvensi yang berlaku
sebelumnya. Keasingan atau keanehan yang tampak itu haruslah
diwajarkan kembali dengan cara menaturalisasikannya (Culler,
1975:137). Dalam usaha mewajarkan keasingan untuk memperoleh
signifikasi itulah berlangsung ketegangan estetis di dalam diri pembaca.

138 │ Pengkajian Sastra


Ketegangan itu dapat juga terjadi karena pengarang mempermainkan
horison harapan pembaca.
Manusia sebagai homo significans, dengan karyanya akan
memberi tanda kepada dunia nyata atas dasar pengetahuannya.
Pemberian makna itu dilakukan dengan cara mereka dan hasil karyanya
berupa tanda (Chamamah-Soeratno, 1991:18). Sebagai tanda, karya
sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai
media komunikasi antara pembaca dan pengarangnya. Karya sastra
bukan merupakan media komunikasi biasa, karena itu karya sastra
dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984:43).
Pendekatan semiotik menganggap semua yang terdapat dalam
karya sastra merupakan tanda yang bermakna tertentu. Pendekatan
semiotik itu berpandangan bahwa:
(1) Karya sastra sebagai tanda tidak diciptakan melalui
kekosongan, karena pengarang tidak dapat dilepaskan dari
lingkungan;
(2) Pembaca sebagai penikmat sastra, dipengaruhi oleh pandangan
umum tentang nilai keindahan, sistem bahasa, dan konvensi
sastra;
(3) Alam semesta merupakan acuan bagi karya sastra;
(4) Penerimaan pembaca terhadap karya sastra tidaklah tetap.
Semiotik merupakan suatu disiplin ilmu yang meneliti semua
bentuk komunikasi antarmakna yang didasarkan pada sistem tanda
(Segers, 1978:14). Dalam semiotik, penalaran atau logika berperan
penting. Karena itu Peirce mengusulkan semiotik bersinonim dengan
logika, yang mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu
berlangsung melalui tanda-tanda (Sudjiman dan Zoest, (Ed)., 1992:1).
Lebih jauh dikatakan oleh Peirce (dalam Zaimar, 1991:21) bahwa:
"Tanda-tanda memungkinkan kita untuk berpikir, berkomunikasi
dengan yang lain, memberi arti pada yang diusulkan dunia kepada kita.
Kita mempunyai bermacam-macam tanda, di antaranya tanda-tanda
linguistik yang merupakan kelompok besar dan tidak terdiri atas satu
bahasa saja.

Pengkajian Sastra │ 139


Dalam mengerjakan teori semiotiknya, Peirce memberikan
tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun bukanlah
tempat yang utama. Yang berlaku pada tanda pada umumnya, berlaku
pula pada tanda-tanda linguistik, dan bukan sebaliknya. Sanders Peirce
(dalam Abrams, 1981:170) membedakan tiga kelompok tanda yakni
ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbols). Penjelasannya adalah
sebagai berikut.
(1) Ikon (icon), adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan
dengan apa yang dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta
dengan wilayah geografis yang digambarkannya;
(2) Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan
kausal dengan apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan
tanda akan adanya api;
(3) Simbol (symbols) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item)
penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi
konvensi masyarakat, misalnya lampu merah berarti berhenti.
Zoest (1990:10-11) menjelaskan bahwa untuk memahami makna
tanda-tanda, perlu dipahami kodenya, yaitu sistem konvensi yang
membuat tanda menjadi sebuah tanda. Ikonitas, indeksikalitas, dan
simbolisitas memainkan perannya dalam komunikasi yang
dimungkinkan oleh teks. Tanda-tanda ikonis sering memiliki daya
tersembunyi, yang membuat teks menjadi indah dan menghasilkan
interpretasi tak terduga.
Tanda-tanda simbolis berperan dalam membentuk pengenalan
kembali budaya, dan memberikan kekuatan untuk meyakinkan
pembacanya. Simbolisme adalah wilayah masa depan ikonisitas, karena
semua keorisinilan yang berhasil ditakdirkan menjadi konvensi,
sedangkan indeksikal akan membuat sebuah teks menjadi kumpulan
tanda. Hubungan antara tanda dengan kenyataan itulah yang
menentukan apakah seseorang dapat memahami teks, menerima, dan
bereaksi secara emosional terhadapnya.
Ahli semiotik terkenal, Roland Barthes, dalam bukunya My-
thologies (1957:193-195; lihat pula Hawkes, 1978:131-133), menjelas-

140 │ Pengkajian Sastra


kan cara kerja semiotik. Terlebih dulu ia menjelaskan maksud mitos
(mythe). Menurut Barthes, mitos adalah suatu sistem komunikasi,
sesuatu yang memberikan pesan. Baginya, mitos bukanlah suatu
benda, gagasan atau konsep, melainkan suatu cara signifikasi suatu
bentuk. Mitos adalah suatu tuturan (parole) dan semua yang dapat
dianggap wacana (discours) dapat menjadi mitos.
Dengan pengertian itu Barthes mengemukakan, bahwa mitos
dapat berupa tulisan, reportase, film atau pertunjukan di samping
dapat dikemukakan secara lisan. Jelasnya, semua wujud mitos baik
yang berupa gambar maupun tulisan mengandung kesadaran
bermakna, meskipun dalam kadar yang tidak sama. Barthes
berkesimpulan, bahwa bahasa, wacana dan tuturan, baik yang bersifat
verbal maupun visual, semuanya bermakna. Berpijak pada pandangan
itu, Barthes mengutarakan mitos sebagai sistem semiotik. Menurutnya,
mitologi adalah suatu fragmen dari ilmu tentang tanda yang luas, yakni
semiotik.
Mengutip pendapat Saussure, Barthes menyatakan bahwa
semiotik mengacu pada dua istilah kunci yakni signifiant (penanda) dan
signifie (petanda). Penanda adalah imaji bunyi yang bersifat psikis,
sedangkan petanda adalah konsep. Adapun hubungan antara imaji dan
konsep itulah disebut tanda. Barthes selanjutnya mengemukakan
bahwa dalam mitos sebagai sistem semiotik tahap kedua terdapat tiga
dimensi, yakni penanda, petanda, dan tanda. Tanda dalam sistem
pertama --yakni asosiasi total antara konsep dan imajinasi-- hanya
menduduki posisi sebagai penanda dalam sistem yang kedua.
Pandangan Barthes tentang sistem tanda itu digambarkan dalam
skema berikut.
1. Penanda 2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA II. PETANDA
III. TANDA

Pengkajian Sastra │ 141


Terlihat pada diagram di atas, sistem tanda tataran pertama
mencakup: (1) penanda (signifier), (2) petanda (signified), dan (3) tanda
(sign). Dalam proses selanjutnya, tanda pada tataran pertama menjadi
penanda pada tataran kedua, untuk menyampaikan pengenalan
kepada apa yang ditandai dalam rangka menciptakan tanda. Dalam
konkretisasi karya sastra, karya sastra dimungkinkan memperoleh
makna yang bermacam-macam mengingat adanya berbagai kelompok
pembaca, yang dipengaruhi oleh faktor yang variabel, sesuai dengan
masa, tempat dan keadaan sosio-budaya yang melatarinya. Perubahan
latar belakang sosial pembaca akan mempengaruhi makna yang
diungkapkannya (Chamamah-Soeratno, 1991:18). Dalam pengkajian
karya sastra dengan pendekatan Semiotik, baik teori Peirce maupun
Barthes dapat digunakan secara satu persatu, dapat pula digunakan
secara bersama-sama dengan saling melengkapi.

F. Psikologi Sastra
Novel sebagai salah satu genre sastra merupakan konstruksi
kehidupan imajinatif yang di dalamnya terjadi peristiwa dan terdapat
perilaku yang dialami dan dilakukan manusia sebagai tokoh cerita.
Pengarang dalam karya fiksi lazimnya berusaha mengungkapkan sisi
kepribadian sang tokoh. Oleh sebab itu, mudah dipahami bahwa
terdapat hubungan yang tak terpisahkan antara sastra –terutama karya
fiksi (cerita pendek dan novel) dan drama-- dengan psikologi.
Menurut Robert S. Woodworth dan Marquis DG (dalam Sobur,
2003:32), psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
aktivitas atau tingkah laku individu dalam hubungan dengan alam
sekitarnya. Bagi Kartono (1996:1), psikologi adalah ilmu pengetahuan
tentang tingkah laku dan kehidupan psikis (jiwani) manusia. Jiwa secara
harfiah berarti daya hidup. Oleh karena jiwa merupakan pengertian
yang abstrak, maka orang cenderung mempelajari bentuk tingkah laku
manusia sepanjang hidupnya.

142 │ Pengkajian Sastra


Psikologi merupakan ilmu jiwa yang menekankan perhatian
studinya pada manusia terutama pada perilaku manusia (human
behavior or action). Hal ini dapat dipahami karena perilaku merupakan
fenomena yang dapat diamati dan tidak abstrak. Adapun jiwa
merupakan sisi dalam (inner side) manusia yang tidak teramati tetapi
menampakkannya, tercermati dan tertangkap oleh indra, yaitu lewat
perilaku (Siswantoro, 2005:26).
Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki dan
mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas manusia,
tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi hidup
kejiwaan (Walgito, 1997:9). Psikologi meliputi ilmu pengetahuan
mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-
metode ilmiah yang dimufakati sarjana psikologi pada zaman ini.
Psikologi modern memandang bahwa jiwa dan raga manusia adalah
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, kegiatan jiwa tampak pada
kegiatan raga (Gerungan, 1996:3). Gerungan (1996:19) lebih lanjut
mengemukakan bahwa psikologi menguraikan dan menyelidiki
kegiatan-kegiatan psikis pada umumnya dari manusia dewasa dan
normal, termasuk kegiatan-kegiatan pengamatan, intelegensi,
perasaan, kehendak, motif-motif, dan seterusnya.
Kartono (1990:1-3) berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis (jiwani)
manusia. Perkataan tingkah laku, perilaku (human behavior or action),
atau perbuatan mempunyai pengertian yang luas, yaitu tidak hanya
mencakup kegiatan motoris saja seperti berbicara, berlari, melihat,
mendengar, mengingat, berpikir, berfantasi, pengenalan kembali
penampilan emosi-emosi dalam bentuk tangis atau senyum, dan
seterusnya. Kegiatan berpikir dan berfantasi misalnya, tampaknya
seperti pasif belaka. Namun demikian, keduanya merupakan bentuk
aktivitas, yaitu aktivitas psikis atau jiwani. Psikologi menurut
Siswantoro (2005:26) merupakan ilmu jiwa yang menekankan
perhatian studinya pada manusia terutama pada perilaku manusia
(human behavior or action). Hal ini dapat dipahami karena perilaku
merupakan fenomena yang dapat diamati dan tidak abstrak. Adapun

Pengkajian Sastra │ 143


jiwa merupakan sisi dalam (inner side) manusia yang tidak teramati
tetapi menampakkannya, tercermati dan tertangkap oleh indra, yaitu
lewat perilaku.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian
ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-
orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin
seseorang. Oleh karena itu, memandang karya sastra sebagai
penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang
dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran, atau
yang hendak digambarkan (Pradopo, 1994:26).
Semi (1993:79) menyatakan, pendekatan psikologis menekankan
analisis terhadap karya sastra dari segi intrinsik, khususnya pada
penokohan atau perwatakannya. Penekanan ini dipentingkan, sebab
tokoh ceritalah yang banyak mengalami gejala kejiwaan. Secara
kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sebagaimana sudah
kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang
diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedang psikologi merujuk kepada
studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski
berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya
berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya
sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2003:96). Psikologi sastra
mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan, pengarang akan
menangkap gejala kejiwaan itu kemudian diolah ke dalam teks dan
dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan
pengalaman hidup di sekitar pengarang akan terproyeksi secara
imajiner ke dalam teks sastra. Orang dapat mengamati tingkah laku
tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau drama dengan memanfaatkan
pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh
tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia,
maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern
untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Harjana, 1985:66).

144 │ Pengkajian Sastra


Psikologi sastra diartikan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin
tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra. Dengan demikian
pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam
menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas (Jatmanto, 1985:164).
Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran kejiwaan manusia yang
terdiri dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya
dengan proses-proses pancaindera. Kaitannya dengan psikologi sastra,
Wellek dan Warren (1990:41) mengemukakan bahwa karakter dalam
cerita novel-novel, lingkungan, dan plot dalam cerita fiksi (cerita
pendek/novel dan drama) yang terbentuk sesuai dengan kebenaran
dalam psikologi. Hal itu wajar sebab kadang-kadang ilmu jiwa dipakai
oleh pengarang untuk melukiskan tokoh-tokoh serta lingkungannya.
Hubungan antara psikologi dengan sastra adalah bahwa di satu
pihak karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas dan ekspresi
manusia. Di pihak lain, psikologi sendiri dapat membantu pengarang
dalam mengentalkan kepekaan dan memberi kesempatan untuk
menjajaki pola-pola yang belum pernah terjamah sebelumnya. Hasil
yang dapat diperoleh adalah kebenaran yang mempunyai nilai-nilai
artistik yang dapat menambah koherensi dan kompleksitas karya sastra
tersebut (Wellek dan Waren, 1989:108).
Ada hubungan tak langsung yang fungsional antara psikologi dan
sastra karena manusia dan kebudayaan menjadi sumber dan struktur
yang membangun solidaritas antara psikologi dan sastra. Misal,
kearifan kejiwaan dalam sastra dan juga makna kehidupan seperti yang
diungkapkan oleh sastra (Jatman, 1985:165). Secara lebih tegas,
psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama
berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain.
Perbedaannya adalah bahwa gejala kejiwaan yang terdapat dalam
sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner,
sedangkan dalam psikologi adalah manusia -manusia riil dalam
kehidupan masyarakat nyata (Aminuddin, 1990:93 ).
Dengan demikian dapat dkemukakan bahwa sastra dan psikologi
benar sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Namun

Pengkajian Sastra │ 145


demikian, sastra dan psikologi memiliki perbedaan. Di dalam psikologi
gejala-gejala kejiwaan dalam diri manusia tersebut terjadi dalam
kehidupan masyarakat yang nyata (riil), sedangkan di dalam sastra
gejala-gejala tersebut bersifat imajinatif yakni dalam diri tokoh-tokoh
cerita yang fiktif. Namun demikian, keduanya dapat saling melengkapi
dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih
mendalam terhadap kejiwaan manusia karena terdapat kemungkinan
apa yang tertangkap oleh sang pengarang tidak mampu dinikmati oleh
psikolog atau sebaliknya. Dengan demikian Psikologi dan karya sastra
memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama mempelajari keadaan-
keadaan kejiwaan orang lain.
Psikologi sastra merupakan pendekatan yang menekankan pada
hakikat dan kodrat manusia. Melalui tinjauan psikologi akan tampak
bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menyajikan citra manusia
yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya. Paling sedikit melalui
tinjauan psikologi sastra akan dapat dijelaskan bahwa karya sastra pada
hakikatnya bertujuan untuk melukiskan lingkungan manusia (Hardjana,
1994:66). Siswantoro (2004:32) mengemukakan bahwa psikologi sastra
mempelajari fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh
utama dalam karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri
dan lingkungannya. Dengan demikian gejala kejiwaan dapat terungkap
lewat tokoh dalam sebuah karya sastra.
Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah
novel atau drama dengan memanfaatkan pengetahuan psikologi. Andai
kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa
yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil
menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan
menafsirkan karya sastra (Harjana, 1985:66).
Psikologi sastra memiliki peran penting dalam pemahaman
sastra. Menurut Semi (dalam Endraswara, 2008:12), ada beberapa
kelebihan penggunaan psikologi sastra yaitu (1) psikologi sastra sangat
sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2)
pendekatan psikologi sastra dapat memberikan umpan balik kepada

146 │ Pengkajian Sastra


penulis tentang permasalahan perwatakan yang dikembangkannya,
dan (3) psikologi sastra sangat membantu penelaah dalam meng-
analisis karya sastra dan dapat membantu pembaca dalam memahami
karya sastra. Dari fungsi-fungsi tersebut, dapat diketengahkan bahwa
daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang
melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam
sastra, tetapi juga dapat mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang
sering menambahkan pengalaman diri dalam karyanya. Namun,
pengalaman kejiwaan pribadi itu sering kali dialami orang lain pula.
Kondisi ini merupakan daya tarik penelitian psikologi sastra.
Adapun tujuan kajian psikologi sastra adalah memahami aspek-
aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra
(Endraswara, 2008:11). Pada dasarnya psikologi sastra memberikan
perhatian dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh
fiksional yang terkandung dalam karya.
Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang
membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Cerpen sebagai bentuk
sastra, merupakan jagad kehidupan imajinatif yang di dalamnya terjadi
peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia yang
disebut dengan tokoh (Siswantoro, 2005:29). Selain apa yang telah
disebutkan di atas, sastra juga sebagai “gejala kejiwaan” yang di
dalamnya terkandung fenomena-fenomena yang menampak lewat
perilaku tokoh-tokohnya. Karya sastra dapat didekati dengan
menggunakan pendekatan psikologi karena antara sastra dengan
psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan
fungsional. Bersifat tak langsung, artinya hubungan itu ada karena baik
sastra maupun psikologi memiliki tempat berangkat yang sama, yakni
kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog sama-sama manusia biasa.
Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara
mendalam. Hasil penangkapannya itu setelah mengalami proses
pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya.
Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra dibedakan menjadi tiga
pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu kajian aspek

Pengkajian Sastra │ 147


psikologis penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat
karya sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi
sang tokoh dalam sebuah karya sastra, (3) pendekatan reseptif
pragmatik yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk
setelah melakukan dialog dengan karya yang dinikmati serta proses
kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks (Aminudin, 1990:89).
Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama,
melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu
memutuskan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian
ditentukan teori psikologi yang dianggap tepat untuk melakukan
analisis psikolohis terhadap gejala-gejala kejiwaan dan perilaku para
tokoh dalam sastra (Ratna, 2004:344).
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra dapat
diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang
psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja
membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan
pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan. Di sini fungsi
psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam
jiwa/batin tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk
mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan
responnya terhadap tindakan lainnya.
Psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan dalam
pengkajian karya sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan para tokoh. Dalam perspektif psikologi sastra, karya sastra
merupakan pantulan atas gejala kejiwaan manusia. Pengarang akan
menangkap gejala kejiwaan itu kemudian direfleksikan ke dalam teks
sastra setelah diolah dengan pengalaman kejiwaan sendiri dan
pengalaman hidup di sekitar pengarang. Kesemuanya itu kemudian
diproyeksikan secara imajiner ke dalam teks sastra.
Psikologi dengan sastra memiliki hubungan yang integral meskipun
hubungan tersebut bersifat tidak langsung. Sastra berhubungan dengan
dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan

148 │ Pengkajian Sastra


ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah
tentang kejiwaan dan perilaku manusia. Meskipun berbeda, keduanya
memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari
manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Objek kajiannya sama-
sama manusia/tokoh tetapi psikologi mengkaji fenomena kejiwaan dan
perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yang nyata (riil)
sedangkan psikologi sastra mengkaji fenomena kejiwaan dan perilaku
tokoh cerita dalam dunia imajinatif.

G. Interteks
Tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri, dalam arti
bebas dari pengaruh teks lain, tanpa ada latar belakang sosial budaya
sebelumnya. Berdasarkan kenyataan itu, untuk mengungkapkan makna
sebuah karya sastra diperlukan pengetahuan mengenai kebudayaan
yang melatarbelakangi karya sastra tersebut (Teeuw, 1984:100).
Prinsip intertektualitas pertama kali dikembangkan oleh Julia
Kristeva dari Perancis. Prinsip tersebut menganggap bahwa setiap teks
sastra harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lainnya. Sejalan
dengan itu, Teeuw (2003:120-121), menjelaskan bahwa pada dasarnya
tidak ada sebuah teks yang sungguh-sungguh mandiri. Menurut Teeuw
(2003:120-121), penciptaan sastra dan pembacaannya tidak dapat
dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, karena kerangka
pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan
tentang teks-teks yang telah mendahuluinya. Hutcheon (dalam Ratna,
2004:13), juga menegaskan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada
teks tanpa interteks, dan interteks memungkinkan adanya teks plural.
Sebab itu interteks merupakan indikator utama untuk melihat adanya
pluralisme budaya.
Teori Interteks memandang setiap teks sastra perlu dibaca
dengan latar belakang teks-teks lain, dalam arti bahwa penciptaan dan
pembacaan sastra tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain
sebagai acuan. Hal itu tidak berarti bahwa teks baru hanya mengambil

Pengkajian Sastra │ 149


teks-teks sebelumnya sebagai acuan, tetapi juga menyimpangi dan
mentransformasikannya dalam teks-teks yang dicipta kemudian
(Teeuw, 1984:145-146).
Kristeva (1980:36) menyatakan, bahwa intertekstual adalah
masuknya teks lain ke dalam suatu teks, saling menyilang dan
menetralisasi satu dengan lainnya (bdk. Hawkes, 1978:144; Culler,
1981:106; Junus, 1985:87). Setiap teks merupakan mosaik kutipan-
kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain (dalam Culler,
1975:139). Setiap karya sastra tidak lahir dalam keadaan kosong, ia
merupakan arus kesinambungan tradisi sepanjang masa (Mukarovsky
dalam Burbank, 1978:5). Karenanya, pemahama maknanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang melatari sosiobudaya pengarang
dan juga pembacanya (bdk. Chamamah-Soeratno, 1991:18). Karya
sastra merupakan aktualisasi dari sebuah sistem konvensi atau kode
sastra dan budaya, dan merupakan pelaksanaan pola harapan pada
pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan
konvensi itu (Teeuw, 1980:11).
Hubungan intertekstualitas adalah hubungan antarkarya dan
juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Kajian
interteks lebih jauh daripada hanya menelusuri pengaruh-pengaruh; ia
meliputi praktik-praktik diskursif yang anonim, mengkodekan asal usul
yang hilang sehingga memungkinkan tindak penandaan teks-teks yang
kemudian (Culler, 1981:103). Prinsip intertekstualitas bukan hanya
masalah pengaruh atau saduran atau penjiplakan.
Bagi Kristeva (dalam Junus, 1985:88) kehadiran teks dalam teks
lain melibatkan suatu proses pemahaman dan pemaknaan (signifying
process). Perspektif intertekstualitas, kutipan-kutipan yang mem-
bangun teks adalah anonim, tak terjajaki, walaupun demikian sudah
dibaca; kutipan-kutipan tersebut berfungsi sebagai (yang) sudah dibaca
(Barthes dalam Culler, 1981:103). Sejalan dengan pandangan Kristeva,
bahwa intertekstualitas adalah himpunan pengetahuan yang
memungkinkan teks bermakna; makna suatu teks bergantung kepada

150 │ Pengkajian Sastra


teks-teks lain yang diserap dan ditransformasinya (dalam Culler,
1981:104).
Pendekatan interteks secara kongkret dilakukan dengan baik
oleh Riffaterre (1978:11-23) terhadap puisi Perancis. Riffaterre
berkesimpulan, bahwa puisi Perancis akan dapat dipahami dengan baik
jika kita membaca latar belakang puisi-puisi sebelumnya. Artinya,
sebuah karya sastra akan mendapat makna penuh dalam hubungannya
dengan karya lain yang mendahuluinya. Riffaterre menyebutnya
dengan hipogram, yakni tulisan yang menjadi dasar penciptaan karya
lain yang lahir kemudian, sering kali secara kontrastif, dengan
memutarbalikkan esensi, amanat karya sebelumnya.
Teeuw (1983:65) menyatakan, bahwa hipogram itu barangkali
mirip dengan bahasa Jawa latar. Karya yang diciptakan berdasarkan
hipogram itu disebut sebagai karya transformasinya karena
mentransformasikan hipogram itu. Di sinilah tampak titik temu
pandangan Teeuw dengan Barthes, bahwa teks dibangun atas kutipan-
kutipan yang anonim, namun sudah dibaca.
Junus (1985:108-117) merumuskan hubungan intertekstualitas
dalam beberapa wujud: (1) Teks yang dimasukkan itu mungkin teks
yang kongkret, atau mungkin teks yang abstrak. Yang penting adalah
kehadiran sifatnya, (2) Kehadiran suatu teks tertentu dalam teks lain
secara fisikal; ada petunjuk ke arah hal itu, walaupun hanya disadari
oleh pembaca-pembaca tertentu, (3) Penggunaan nama tokoh yang
sama, (4) Kehadiran unsur dari suatu teks dalam teks lain; jadi lebih
terbatas, (5) Kehadiran kebiasaan berbahasa tertentu dalam suatu
teks. Keadaan ini tidak dapat dihindarkan, mungkin karena tradisi yang
mendasari suatu genre, (6) Yang hadir mungkin teks kata-kata, yaitu
kata atau kata-kata atau paling tidak ambigu maknanya. Atas dasar
kemungkinan-kemungkinan yang menunjukkan adanya unsur-unsur
intertekstualitas tersebut, makin jelaslah bahwa keberadaan suatu teks
tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain. Hubungan intertekstualitas,
mungkin merujuk pada teks bahasa atau teks bukan bahasa. Prinsip
intertekstualitas membawa kita utuk memandang teks-teks terdahulu

Pengkajian Sastra │ 151


sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek
signification, pemaknaan yang bermacam-macam. Dengan demikian
intertekstualitas tidak hanya penting dalam usaha memberi
interpretasi tertentu terhadap karya sastra. Lebih dari itu
intertekstualitas memainkan peran sangat penting dalam semiotik
sastra.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat dikatakan
bahwa pendekatan intertekstualitas merupakan pendekatan dalam
menganalisis karya sastra yang bertujuan untuk menemukan hubungan
yang bermakna antara dua teks atau lebih. Pemahaman sastra
intertekstualitas hakikatnya bertujuan untuk menggali secara maksimal
makna yang terkandung dalam teks dengan melihat hubungannya
dengan teks lain.

H. Dekonstruksi
Teori dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks
secara teliti, dengan menginterogasi teks, merusaknya melalui
pertahanannya, dan mencari oposisi biner yang tertulis dalam teks
(Sarup, 1993:50). Adapun oposisi biner mengacu pada suatu pasangan
kata-kata yang saling beroposisi antara satu dengan lainnya yang
bersifat hirarkis yang hirarkisnya itu bersifat kondisional. Dikatakan
kondisional karena dalam pandangan post-strukturalisme bahasa
dipandang sebagai tidak stabil, dapat berubah-ubah setiap saat.
Berbeda halnya dengan oposisi biner dalam strukturalisme yang
oposisi-oposisinya dibayangkan bersifat tetap dan setara. Teori
Dekonstruksi tidak dapat dilepaskan dari pandangan Derrida.
Dekonstruksi menurut Derrida selalu diawali dengan hal-hal yang
tidak terpikirkan atau tidak boleh dipikirkan. Teori ini menolak
pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, sebagaimana
yang disodorkan oleh strukturalisme. Tidak ada ungkapan atau bentuk-
bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek
dan yang bermakna tertentu dan pasti. Oleh karena itulah dekonstruksi

152 │ Pengkajian Sastra


termasuk dalam aliran poststrukturalisme. Jika strukturalisme
dipandang sebagai sesuatu yang sistematik, bahkan dianggap sebagai
the science of sign maka poststrukturalisme menolak hal tersebut.
Adapun tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dia
menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak
kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks (Norris, 2006:13). Lebih
lanjut Culler (dalam Nurgiyantoro, 2007:60) menyatakan bahwa
mendekonstruksi suatu wacana (kesastraan) adalah menunjukkan
bagaimana meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi
secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan
cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada
dalam teks itu, yang memproduksi dasar argument yang merupakan
konsep utama. Dengan kata lain, dekonstruksi menolak makna umum
yang dianggap ada dalam suatu teks sastra.
Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam menganalisis
karya sastra dan filsafat. Dalam pembacaan karya sastra, dekonstruksi
bukan dimaksudkan untuk mengungkapkan makna sebagaimana yang
lazim dilakukan oleh para penelaah sastra. Derrida selalu ingin memulai
filsafat dekonstruksinya dari hal-hal yang tidak terpikirkan atau hal-hal
yang tidak boleh dipikirkan. Maksudnya, bahwa unsur-unsur yang
dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, bukanlah hal yang remeh,
melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang
menjadikan teks tersebut menjadi filosofis (Norris, 2006:12).
Dalam praktiknya, dekonstruksi meliputi pembalikan dan
pemindahan (Sarup, 1993:51). Dalam langkah pembalikan, oposisi-
oposisi hierarkis dirobohkan. Dalam fase berikutnya, pembalikan ini
harus dipindahkan, istilah lainnya ‘di bawah penghapusan’ (sous
rature). Teks yang dibaca secara dekonstruksi akan terlihat acuannya
melampaui dirinya sendiri, referen itu pada akhirnya dapat menjadi
teks lain. Seperti halnya tanda hanya dapat mengacu pada tanda-tanda
lain, teks juga hanya dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu

Pengkajian Sastra │ 153


jaringan yang dapat dikembangkan untuk waktu yang tidak terbatas,
suatu intertekstualitas (Sarup, 1993:52; Pujiharto, 2001:7).
Setelah dilakukan pembacaan secara teliti, di dalam berbagai
karya sastra Indonesia ditemukan oposisi-oposisi biner seperti: oposisi
antara judul dan cerita; oposisi antara fiksi dan fakta; oposisi antara
fiksi dan sains, oposisi antara karya sastra satu dengan lainnya, dan
lain-lain. Sesuai dengan tujuan kajian ini, dalam tulisan ini hanya akan
dikaji oposisi antara karya sastra satu dengan karya sastra lainnya.

I. Resepsi Sastra
Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang
dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai
dengan aesthetic of reception (Junus, 1984:2) dan disebut estetika
resepsi oleh Pradopo (2002:23).
Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan
makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat
memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Reaksi tersebut dapat
pasif (yaitu bagaimana pembaca dapat memahami karya itu) dan dapat
aktif (yaitu bagaimana ia merealisasikannya).
Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra
adalah polisemi. Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam
suatu waktu tertentu hanya akan melihat satu ”arti” saja. Atau mereka
hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu dan mengabaikan
“arti” yang lainnya. Dengan demikian “arti” dikonkretkan dengan
hubungan oleh khalayak (audience). Sesuai dengan pembawaan karya
itu kepada khalayak, sehingga ia mempunyai akibat (wirkung) (Junus,
1984:2).
Dalam resepsi sastra, atau estetika resepsi, pembaca berada di
antara jalinan segi tiga, yaitu: pengarang, karya sastra, dan masyarakat
pembaca. Pembaca adalah perhatian utama dalam teori estetika
resepsi. Pembaca mempunyai peran aktif, bahkan merupakan kekuatan
pembentuk sejarah (Jauss, 1974:12)

154 │ Pengkajian Sastra


Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa
karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan
para pembacanya (Pradopo, 2002:23). Apresiasi pembaca pertama
terhadap sebuah karya sastra, akan dilanjutkan dan diperkaya melalui
resepsi-resepsi yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara
ini, makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya
akan terungkap (Jauss, 1974:14).
Menurut Pradopo (2002:23) dalam metode estetika resepsi,
akan diteliti resepsi-resepsi setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan
sebuah karya sastra oleh pembacanya. Tentu saja dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah pembaca yang cakap (bukan awam), yaitu para
kritikus sastra dan para ahli sastra. Menurut Vodicka (dalam Pradopo,
2002:23) pembaca cakap ini adalah para ahli sejarah dan ahli estetika
serta para kritikus.
Menurut Vodicka (Pradopo, 2002:23), pendapat para ahli sastra,
estetika dan kritikus, tidak selalu sama mengenai norma tunggal yang
benar semacam itu. Efek estetik karya satra sebagai keseluruhan,
begitu juga konkretisasinya, tunduk pada perubahan yang terus-
menerus. Kekuatan sebuah karya sastra tergantung kepada kualitas
yang dikandung secara potensial dalam masa perkembangan norma
sastra. Jika karya sastra dinilai positif bahkan bila norma berubah,
berarti karya sastra itu memiliki jangka hidup yang lebih panjang
daripada karya yang efektivitas estetiknya habis dengan lenyapnya
norma sastra pada masanya.
Vodicka menganggap dalam karya sastra ada ruang kosong yang
dapat diisi sesuai dengan kondisi sosial pembacanya. Jausz memandang
bahwa horizon harapan pembaca (horizon of expectations)
memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin
pembaca terhadap teks yang dibaca. Horizon harapan akan senantiasa
berubah dari satu pembaca ke pembaca lainnya, berdasarkan latar
belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan
pembacanya dalam menanggapi teks yang dibaca (Azis, 2003:14).

Pengkajian Sastra │ 155


Iser mengemukakan teori Leerstellen, tempat kosong (blank)
serta fungsinya dalam pemberian makna. Tempat kosong ini akan
mengaktifkan daya cipta pembaca dan membentuk innerperspective,
perspektif dalam bagi sebuah teks; anasir-anasir yang masing-masing
memainkan peran sebagai plot, pelaku, juru kisah, struktur waktu, oleh
pembaca diintegrasikan menjadi perspektif total. Jadi dalam
pendekatan ini, Wirkung diteliti dari segi teks, pengarahan pembaca
oleh teks, yang melaksanakan potensi makna sesuai dengan
kompetensi pembaca.
Iser (dalam Selden, 1986:114) menjelaskan bahwa resepsi
pembaca hendaknya terfokus pada pembaca implisit bukan pembaca
konkrit. Pembaca implisit merupakan pembaca yang dapat menentu-
kan sikap dalam menghadapi teks yang dibaca, dan memungkinkan
adanya komunikasi antara dirinya dengan teks yang telah dibacanya.
Senada dengan itu, menurut Culler (dalam Selden, 1986:115) setiap
pembaca pada dasarnya akan memiliki penafsiran yang berbeda-beda
terhadap karya sastra yang diapresiasinya. Namun dari berbagai
penafsiran dari pembaca, semuanya harus dapat diterangkan oleh teori
yang ada. Oleh karena itu pembaca tetap harus mengikuti perangkat
konvensi penafsiran yang sama.
Teeuw (2003:269) mengemukakan, bahwa resepsi adalah
pendekatan dalam memahami karya sastra melalui penerimaan
pembaca atau penikmat sastra, baik pembaca yang hidup sezaman
dengan penulisnya, maupun yang ada sesudah masa penciptaannya.
Menurut Selden (1986:112-120), dalam pendekatan ini dikenal
beberapa istilah pembacaan, antara lain concretization (Vodicka),
horizon harapan (Jausz), pembaca implisit (Izer), dan konvensi
pembacaan (Culler).
Dengan demikian, telaah sastra dengan metode estetika resepsi
ini, menurut Segers (1978:49; Pradopo, 2002:24), ialah: (1)
Merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra
dalam masa sejarahnya, dan (2) Telaah hubungan di antara konkretisai-
konkretisasi itu di satu pihak, dan telaah hubungan di antara karya

156 │ Pengkajian Sastra


sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi itu di lain
pihak.
Dari berbagai pendapat yang telah diuraikan, dapat ditarik
simpulan bahwa pendekatan resepsi sastra memiliki garis besar yakni:
(1) Bertolak dari hubungan antara teks sastra dan reaksi pembacanya;
(2) Pengkonkritan makna teks dilakukan melalui penerimaan pembaca,
sesuai dengan horizon harapannya; (3) Imajinasi pembaca
dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya
dalam memahami keadaan pada masanya; (4) Melalui kesan, pembaca
dapat menyatakan penerimaannya terhadap karya yang dibacanya.
Rezeptiongeschichte adalah sebuah pendekatan yang khususnya
memperhatikan resepsi karya sastra dalam rangka kesusasteraan,
dalam keterlibatannya dengan karya lain, dengan horison harapan
pembaca. Jadi, perwujudan karya sastra dalam rangka sistemik dan
sejarah sastra oleh pembaca.

J. Kritik Sastra Feminis


Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik
sastra yang lahir sebagai respons atas berkembangnya feminisme di
berbagai negara. Pendekatan Feminis lahir pada awal abad ke-20, yang
dipelopori oleh Virginia Woolf. Tujuan dari pendekatan feminis ini
adalah adanya keseimbangan, interelasi gender. Feminis merupakan
suatu gerakan yang menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik
dalam kehidupan politik, ekonomi, maupun kehidupan umumnya.
Dalam sastra, pendekatan Feminis merupakan cara memahami
karya sastra, kaitannya dengan proses produksinya dan resepsinya
dengan konsep emansipasi wanita. Menurut Ratna (2004:186), teori
Feminis telah dimanfaatkan oleh kaum wanita sebagai alat untuk
memperjuangkan haknya, yang berkaitan dengan konflik kelas dan ras,
khususnya tentang konflik gender.

Pengkajian Sastra │ 157


Feminisme merupakan pendekatan yang menolak ketidakadilan
dari masyarakat patriarki, yang dipicu oleh kesadaran bahwa hak kaum
wanita itu setara dengan kaum laki-laki. Meskipun secara biologis
wanita itu berbeda dengan laki-laki, karena fisiknya lemah, perbedaan
tersebut mestinya tidak dengan sendirinya, atau secara alamiah
membedakan posisinya di dalam masyarakat.
Djajanegara (2000:16) menjelaskan abwa feminisme adalah
gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak antara
perempuan dan laki-laki, yang meliputi semua aspek kehidupan, baik di
bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Jika perempuan
sederajat dengan laki-laki, maka mereka memiliki hak untuk
menentukan dirinya sendiri, seperti halnya kaum laki-laki selama ini.
Jadi, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk
memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri
(Sugihastuti, 2002:61).
Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap
laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga
dan perkawinan, ataupun upaya perempuan untuk mengingkari
kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 1996:78-79). Feminisme
merupakan teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di
bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan (Goefe,
1986:837).
Dengan kata lain, gerakan feminisme merupakan perjuangan
dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang
tidak adil menunju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan.
Adapun sasaran feminisme bukan sekedar masalah gender, melainkan
masalah ‘kemanusiaan’ atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.
Dalam kajian sastra, feminisme terformulasi dalam kritik sastra
feminis, yakni kajian sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada
perempuan. Jika selama ini ada anggapan bahwa yang mewakili
pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra

158 │ Pengkajian Sastra


feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi
dan horison harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter,
1985:3). Kritik sastra feminis bertolak pada permasalahan pokok, yakni
anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi dan pemaknaan karya
sastra.
Dalam kritik sastra feminis, pengritik memandang sastra dengan
kesadaran khusus, bahwa ada jenis kelamin yang yang berhubungan
dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang
membuat perbedaan pula pada pengarang, pembaca, perwatakan, dan
faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.
Jiwa analisis kritik sastra feminis adalah analisis gender. Dalam
analisis gender, kritikus harus dapat membedakan konsep gender dengan
seks (jenis kelamin). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum
pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui proses
panjang Jadi, gender merupakan kontruksi sosio-kultural yang pada
dasarnya merupakan interprertasi kultural atas perbedaan jenis kelamin
(Fakih, 1996: 7-8). Misalnya, bahwa wanita itu dikenal lemah lembut,
cantik, sering mengedepankan perasaan (emosional), pemalu, setia, dan
keibuan. Adapun pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal
(rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa.
Dengan demikian, gender menurut Oakley (dalam Fakih,1996:71-
72) merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
biologis dan bukan kodrat Tuhan (faktor bawaan manusia dari lahir).
Oleh karena itu, seperti pandangan Gailey (dalam Hess dan Ferree,
1987:30), bahwa dari kacamata sosiologis, gender tidak bersifat
universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang
lain dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dari kelas ke kelas.
Walaupun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal,
yakni: (1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin, dan (2) Gender
merupakan dasar dari pembagian kerja dalam kehidupan semua
masyarakat.
Adapun jenis kelamin lebih mengacu pada aspek biologis atau
kodrati manusia pemberian dari Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan

Pengkajian Sastra │ 159


antara laki-laki dengan perempuan dan tidak berubah secara universal
dan sepanjang zaman. Misalnya: perempuan dapat hamil, melahirkan,
lalu menyusui anaknya, sedangkan laki-laki tidak dapat melakukan tiga
hal tersebut (Fakih, 1996:71-72).
Ada banyak ragam kritik sastra feminis, antara lain: (1) kritik
ideologis, (2) kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita, (3) kritik
sastra sosial atau Marxis, (4) kritik sastra feminis-psikoanalitik, (5) kritik
sastra feminis-lesbian, (6) kritik sastra feminis-ras (etnik). Sesuai
dengan tujuan kajian dan mengingat berbagai keterbatasan, yang
sering diterapkan dalam kajian sastra adalah kritik sastra feminis
ideologis, yang dapat disejajarkan dengan konsep Culler (1975:43-63)
tentang reading as woman. Konsep ini kiranya dapat diterapkan dalam
membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
andosentris atau pariarkal, yang hingga sekarang diasumsikan
menguasai penulisan dan pembacaan sastra di berbagai Negara,
termasuk Indonesia.
Kritik ideologis melibatkan pembaca wanita dan menyoroti citra
dan stereotipe wanita dalam karya sastra (Djajanegara:17-19), namun
dapat saja kritik ideologis dilakukan oleh pembaca pria. Dalam hal ini,
kajian akan memusatkan perhatiannya pada citra dan stereotipe
wanita dalam karya sastra Indonesia dari zaman Balai Pustaka (1920-
an) sampai dengan zaman global (Angkatan 2000).
Dalam teks sastra, mungkin saja pengarang wanita sering
menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotipe yang memenuhi
atau tidak memenuhi norma masyarakat patriarkal. Namun, dalam
karya-karya pengarang pria dapat juga menunjukkan tokoh-tokoh
wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai
feminis. Misalnya, tokoh wanita dilukiskan aktif dalam kehidupan
masyarakat, cerdas, intelek, progresif, berani, lincah, dan mandiri.
Novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana dan novel
Belenggu karya Armijn Pane (Angkatan Pujangga Baru) sudah
memperlihatklan hal itu.
Selden (1986:130), mengemukakan lima masalah penting yang
berkaitan dengan pendekatan Feminis dalam sastra, yaitu:

160 │ Pengkajian Sastra


(1) Secara biologis, wanita sering ditempatkan sebagai inferior;
(2) Wanita dipandang memiliki pengalaman yang terbatas, hanya
seputar melahirkan dan menyusui;
(3) Wanita dianggap memiliki penguasaan bahasa yang lebih
rendah dibandingkan dengan laki-laki;
(4) Secara diam-diam para penulis wanita telah meruntuhkan
otoritas kaum laki-laki;
(5) Pengarang wanita sering menghadirkan tuntutan sosial
ekonomi yang berbeda dari kaum laki-laki.
Menurut Pradopo (1991:13), dalam menerapkan pendekatan
Feminisme, hendaknya mengikuti pandangan Barret, yaitu: (1) Mampu
membedakan material sastra yang ditulis laki-laki dan wanita, serta
perbedaan hal-hal yang menarik bagi keduanya. (2) Mampu memahami
perbedaan ideologi laki-laki dan wanita yang sangat prinsipial. (3)
Mengetahui seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra mampu
melukiskan budaya laki-laki dan perempuan. Sebab, tradisi budaya laki-
laki dan perempuan itu memiliki suatu perbedaan yang perlu dijelaskan
dalam analisis gender.
k. Antropologi Sastra

Sastra dan antropologi –ilmu tentang manusia, khususnya tentang


asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya
pada masa lampau (KBBI Daring, 2017), dengan segala budayanya,
ide/gagasannya, ritual dan karya-karyanya-- mempunyai hubungan
yang erat bahkan tidak terpisahkan. Karya sastra baik genre puisi, prosa
fiksi, maupun drama selalu memperbincangkan manusia dalam segala
segi kehidupannya yang berkaitan dengan keyakinan/kepercayaan,
ritual-ritual keagamaan, gagasan dan kearifan lokalnya, filsafat
hidupnya, karya seni budayanya, mata pencaharian, dan aspek
komunitasnya.
Sebenarnya Benson (1993) sudah lama tertarik untuk
melakukan pengkajian sastra dengan kacamata antropologi. Ia
kemudian berusaha menulis buku Anthropology and Literature. Dalam
tulisannya ia berusaha menelusuri dan menyandingkan antropologi dan

Pengkajian Sastra │ 161


sastra. Lewat pengantar buku tersebut, dia menyatakan bahwa
karyanya merupakan reinkarnasi dari edisi khusus Journal of the
Steward Anthropological Society. Melihat judul jurnal ini, berarti ada
keterkaitan pula antara sastra, antropologi, dan sosial. Kaitan sastra
dan antropologi menumbuhkan antropologi sastra. Adapun kaitan
antara sastra dengan keadaan sosial telah melahirkan Sosiologi Sastra
yang telah banyak dibahas dalam berbagai kajian.
Dunia sastra dan antropologi sering mempelajari keduanya
untuk melengkapi pemahaman terhadap kehidupan manusia. Kalau
demikian, paling tidak ada dua kedekatan sastra dan antropologi, yaitu
(1) sastra dan antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang
mengarah ke fenomena realitas hidup manusia; (2) sastra dan
antropologi memiliki kedekatan metodologis, artinya keduanya banyak
memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis; (3) sastra dan
antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah)
sebagai simbol konteks kehidupan (Endraswara, 2013:9).
Menurut Ratna (2005:92), antropologi berasal dari kata
anthropos yang berarti ‘manusia’. Jadi, antropologi adalah ilmu tentang
manusia lengkap dengan budayanya. Manusia adalah makhluk
berbudaya, kaya akan ide dan gagasan. Adapun sastra menurut
Eagleton (2006:1–2), adalah tulisan imajinatif dalam artian fiksi. Fiksi
merupakan karya imajinatif yang merupakan hasil kreasi manusia
terhadap realitas sosial budaya di lingkungannya. yang secara harfiah
tidak harus benar. Artinya, sastra atau fiksi, merupakan hasil
pengamatan dan refleksi pengarang terhadap realitas kehidupan
setelah melalui proses kontemplasi dengan mengerahkan daya
imajinasinya. Meminjam istilah seni Wellek dan Warren (1989:3),
sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebagai karya kreasi,
kebebasan berkarya tentu terbuka bagi setiap pengarang. Esensi
estetika sastra dan keilmiahan antropologi melebur dalam antropologi
sastra. Oleh karena itu, dunia fiksi dapat dikisahkan seolah-olah seperti
sedang melaporkan hasil pengkajian etnografi.
Menurut Ratna (2011:6), antropologi sastra adalah analisis
terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antro-

162 │ Pengkajian Sastra


pologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi
dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap.
Mengingat disiplin antropologi sangat luas maka antropologi sastra
dibatasi pada unsur budaya yang ada dalam karya sastra. Dari deskripsi
di atas, dapat dikemukakan bahwa antropologi sastra adalah analisis
dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan
kebudayaan.
Analisis unsur kebudayaan dalam karya sastra dipandang
penting. Menurut Sudikan (dalam Ratna, 2011:6), antropologi sastra
mutlak diperlukan dikarenakan beberapa alasan. Pertama sebagai
perbandingan terhadap psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua,
antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan
kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi
berikutnya.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa antropologi
sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mencoba mengkaji karya
sastra dengan memandangnya sebagai karya yang sarat dengan
dimensi kebudayaan. Dimensi kebudayaan itu antara lain hubungan
unsur-unsur kebudayaan berserta ciri-cirinya seperti tradisi, citra
primordial, citra arketipe, aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan
kedudukannya masing-masing. Antropologi juga mencakup suku-suku
bangsa dengan subkategorinya seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk
kecenderungan manusia untuk membentuk komunitas dalam
organisasi sosial yang saling membantu dan hidup dalam kebersamaan
sebagai peguyuban tertentu, seperti; masyarakat pecinaan, Arab,
pesantren, dan lain-lain, merupakan garapan antropologi. Juga
mengenai masyarakat daerah-daerah tertentu seperti kampung Bali,
Jawa, Minangkabau, Batak, Makassar, Mandar, Bugis, Papua.
Antropologi juga menyoroti kelompok-kelompok keluarga tertentu
yang tercakup dalam golongan priyayi dan orang kecil, bangsawan dan
orang awam, dan santri dan abangan.
Penelaah antropologi sastra membutuhkan pengalaman
budaya yang disebut partisipasi budaya. Dengan partisipasi budaya,
penelaah akan semakin mendalami ruh sastra. Pengalaman budaya
adalah pengalaman langsung menjadi pelaku dalam peristiwa budaya,

Pengkajian Sastra │ 163


dari persiapan sampai akhir. Konteks sosial dan budaya yang terdapat
dalam sastra amat luas cakupannya. Dalam konteks inilah maka
seorang peneliti antropologi sastra harus mampu menangkap sebuah
pengalaman sosiokultural di dalamnya.
Penelaah antropologi sastra membutuhkan wawasan kultural
yang luas, termasuk wawasan interdisipliner bahkan multidisipliner .
Hal ini sejalan dengan pendapat Culler (dalam Kurniawan, 2001:101),
bahwa “The challenge of literature now is how can this work cocern us,
astonish us, fulfill us?”. Artinya, tantangan dunia sastra dewasa inmi
adalah bagaimana karya itu (1) mencemaskan kita, (2) menakjubkan
kita, dan (3) memenuhi kebutuhan kita. Sangat jelas ketiga hal itu
terkait erat dengan budaya. Pengkajian antropologi sastra merupakan
telaah atas berbagai genre sastra puisi, prosa fiksi (novel dan cerpen),
drama, dan cerita rakyat lalu mengaitkannya dengan konteks sosial
budayanya.
Selain memiliki wawasan luas tentang budaya, penelaah
antropologi sastra harus menggauli teks sastra secara intens. Dalam
proses menggauli sastra itu penelaah akan memperoleh pemahaman
aspek budaya yang terkandung di dalam teks sastra yang sangat
berguna dalam pemahaman dan pengayaan makna sastra.
Seperti diketahui bahwa karya sastra itu meskipun
mengandung makna seperti benda mati. Makna karya sastra bersifat
implisit. Oleh karena itu makna sastra harus diupayakan oleh penelaah
antropologi sastra –meminjam istilah Teeuw (1984)-- untuk
merebutnya (lihat Endraswara, 2013:38). Hal itu sejalan dengan
pandangan Barker (dalam Strinati, 2003:238), bahwa penelaah sastra
boleh memodifikasi pesan dalam merekonstruksi makna. Dalam hal ini
harus dipahami bahwa teks sastra merupakan karya yang sarat akan
makna akan tetapi makna itu harus direbutnya. Dalam karya sastra
banyak sekali bagian-bagian yang kosong yang sengaja dibuka oleh
seorang sastrawan untuk diisi oleh pembaca/penelaah. Di sinilah
berlaku hukum atau teori resepsi sastra bahwa makna sastra
bergantung pada horison harapan pembaca.
Sastra menjadi media yang bagus untuk pengembangan budaya
agar pembaca sastra semakin arif dalam mengarungi kehidupannya di

164 │ Pengkajian Sastra


masyarakat. Dengan membaca karya sastra pembaca akan makin
dewasa dalam menyikapi kehidupan yang mahaluas yang penuh
dengan dinamika dan romantika. Dalam kaitan itu, daya tarik penelitian
antropologi sastra kiranya memiliki dua jalur penting. Pertama, jalur
struktur dinamik sastra, yakni dengan cara mengambil sebagian unsur,
baru ditinjau secara antropologi sastra. Penelitian ini masih
berlandaskan struktur karya sastra. Kedua, jalur refleksi sastra,
maksudnya peneliti juga boleh melepaskan diri dari struktur sastra,
tetapi tetap mencermati refleksi budaya secara parsial. Misalkan saja,
aspek budaya kawin paksa, ruwatan, bersih desa, dan lain-lain.
Penelitian disesuaikan dengan kondisi dan pandangan hidup masing-
masing wilayah. Melalui penelitian parsial ini, berarti asumsi bahwa
penelitian antropologi sastra cenderung diterapkan dengan observasi
jangka panjang tidak selalu benar. Penelitian dapat dilakukan dalam
waktu relatif pendek, tergantung kebutuhan. Oleh karena tergolong
interdisiplin baru, tentu ilmu ini membutuhkan pendalaman. Terlebih
lagi jika akan dimasukkan dalam mata kuliah, tentu perlu dikaji ulang.
Yang paling penting, ketika hendak menganalisis karya sastra,
perlu seleksi terlebih dahulu. Objek penelitian yang akan dijadikan
bahan analisis ada beberapa hal, antara lain (1) memilih karya yang
melukiskan etnografi pada masyarakat lokal, sederhana, belum tertata,
tetapi memiliki pemikiran cerdas; (2) memilih karya-karya yang
melukiskan berbagai tradisi lokal, kekerabatan, trah; (3) memilih karya
yang penuh tantangan, jebakan, petualangan (Endraswara, 2013:25).
Dalam analisis antropologi sastra, karya-karya sastra etnis yang
berbasis lokalitas lazimnya lebih menarik dianalisis daripada karya
sastra yang mengungkapkan budaya global.
Pengkajian terhadap karya sastra yang mengandung aspek
budaya etnik, kearifan lokal --dari daerah Aceh, Bugis, Nusa Tenggara
Barat, Jawa, Batak, Dayak Kalimantan Barat, dan Papua--, pandangan
dunia pengarang, tema, motif dan konsep-konsep tertentu, budaya
Barat dan Timur dalam karya sastra, diduga berpotensi menjadi lahan
menarik untuk penelitian antropologi sastra. Kumpulan cerpen Umar
Kayam Sri Sumarah (1975) dan novel Para Priyayi (1992), trilogi novel
Ahmad Tohari seperti Ronggeng Dukuh Paruk (1982-1986), novel Beki-

Pengkajian Sastra │ 165


sar Merah (1996), kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang
(2013), novel Canting karya Arswendo Atmowiloto (1999), prosa liris
Pengakuan Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi AG
(1981), kumpulan cerpen magis Danarto Adam Makrifat (1981) dan
Godlop (1982), juga berpotensi mengandung unsur-unsur antropologis
yang kaya. Tingkatan dalam bahasa Bali yang berkaitan erat dengan
struktur sosial (kasta), misalnya, dapat pula dikaji melalui studi
antropologis dalam kaitannya dengan masyarakat dengan kelas-kelas
sosial sebagai pendukungnya. Masalah itu juga akan menjadi studi
psikologis yang menarik jika dikaitkan dengan dampak psikologis
masyarakat pendukungnya.
Pengkajian antropologi sastra atas karya sastra tertentu
dilakukan melalui struktur karya sastra sedangkan kajian antropologi
dalam kaitannya sebagai karya budaya atau seni. Artinya, karya sastra
merupakan unsur primer, bukan sekunder. Perlu diketahui bahwa
kajian antropologi sastra menyangkut masalah kebudayaan. Oleh
karena itu selain melalui penokohan, unsure kebudayaan dapat juga
dikaji melalui latar, seperti latar masyarakat Jawa, Tengger, Batak,
Minangkabau, Dayak, Tengger, Bugis, Papua, dan sebagainya. Seperti
halnya sosiologi sastra dan psikologi sastra, antropologi sastra juga
berfungsi untuk mempublikasikan dan mensosialisasikan khasanah
budaya bangsa yang amat kaya dan beragam. Dengan kajian
antropologi sastra diharapkan kebudayaan lokal beserta dan kearifan
lokalnya dari berbagai etnis dan suku bangsa dapat menjadi milik
bangsa Indonesia secara nasional. Dengan demikian, kajian antropologi
sastra memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesatuan dan
persatuan bangsa.
Antropologi sastra, demikian Ratna (2011:68), berfungsi untuk;
1) melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan
psikologi sastra, 2) mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan-
kecenderungan baru hasil karya sastra yang di dalamnya banyak
dikemukakan masalah-masalah kearifan local, 3) diperlukan dalam
kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya
terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah,
motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis

166 │ Pengkajian Sastra


dalam bentuk sastra, 4) wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra
lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi
sastra, 5) mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu
perkembangan multidisiplin baru.
Antropologi dan sastra memiliki dasar disiplin ilmu yang
berbeda. Harus dipahami bahwa hakikat antropologi adalah fakta
empiris sedangkan sastra adalah hasil kreasi imajinatif. Karya sastra
merupakan refleksi atas peristiwa dan realitas dunia nyata dalam
lingkungan sosial pengarangnya. Oleh karena itu, karya sastra harus
tetap menjadi perhatian utama dalam kajian antropologi sastra
sedangkan antropologhi merupakan pelngkap untuk menkaji aspek-
aspek budaya yang terkandung di dalamnya.

Pengkajian Sastra │ 167


168 │ Pengkajian Sastra
BAB VIII
PENGKAJIAN PUISI

A. Pengungkapan Makna: Tujuan Final Pengkajian Karya Sastra


Nilai-nilai kehidupan dan gagasan penting yang terkandung
(implisit) dalam karya sastra dapat dipahami dan diungkapkan jika
pembaca melakukan telaah sastra, kajian atau analisis. Telaah atau
analisis sastra dalam pengertian konvensional berarti mengurai karya
sastra itu dari segi unsur-unsur pembentuknya yang berupa unsur-
unsur intrinsik (Nurgiyantoro, 1998:30). Akan tetapi sebenarnya lebih
penting dari itu adalah menemukan dan mengungkapkan makna sastra
berupa nilai-nilai, pesan moral, dan gagasan yang penting bagia
kehidupan.
Tegasnya, melalui kegiatan telaah atau analisis karya sastra,
pembaca akan menjadi paham akan struktur lahir cerita dengan unsur-
unsurnya seperti tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang cerita,
dan gaya bahasanya. Selain itu, yang penting adalah dengan telaah
karya sastra, pembaca akan dapat lebih menikmati dan memahami
nilai-nilai kehidupan dan gagasan yang dilontarkan sastrawan kepada
pembaca dalam karya sastra yanag dapat memperkaya khasanah
batinnya yang kemudian dapat diterapkannya dalam mengarungi
kehidupan.
Kegiatan telaah sastra atau analisis karya sastra merupakan
langkah untuk memahami karya-karya sastra itu sebagai sebuah karya
seni yang memiliki kesatuan dan kebulatan yang padu dalam
mendukung totalitas makna dalam keseluruhannya, dan bukan sekadar
bagian demi bagian. Melalui kegiatan telaah karya sastra, struktur
dengan unsur-unsurnya dapat diuraikan dan ditafsirkan serta gagasan
sebagai makna sastra dapat dipahami dan diungkapkan. Itulah tujuan
akhir telaah karya sastra yakni “merebut makna” karya sastra.

Pengkajian Sastra │ 169


Dengan demikian, telaah karya sastra bukan sekedar mengurai-
kan unsur-unsurnya seperti tema, alur, latar, penokohan, sudut
pandang cerita, dan gaya bahasanya (fiksi); tema, nada dan suasana,
rima dan irama (bunyi), dan gaya bahasa (puisi); penokohan (tokoh dan
perwatakan), alur (plot), latar (yang meliputi aspek ruang, aspek waktu,
dan suasana), tema, dan cakapan (dialog, monolog, solilokui) (drama).
Tegasnya, pendeskripsian unsur-unsur karya sastra tersebut, atau
tepatnya analisis struktural merupakan “jembatan” atau sarana
menuju pada pemahaman makna karya saastra dengan menemukan
dan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan dan gagasan yang penting
untuk memperkaya khasanah batin pembaca.
Seperti telah dikemukakan di bagian depan bahwa karya sastra
terbagi menjadi dua kategori besar yakni struktur lahir (fisik) dan
struktur batin. Atau, meminjam istilah Richards karya sastra terdiri atas
metode sastra yakni media ekspresi karya sastra dan hakikat sastra
berupa gagasan atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tugas
penelaah karya sastra adalah mengungkapkan makna karya sastra
berupa nilai-nilai kehidupan dan/atau gagasan sastrawan ytang ingin
dikemukakan kepada pembaca melalui karya sastranya baik puisi, fiksi
maupun drama.
Karya sastra memiliki sifat hakiki multinterpretable. Artinya,
karya sastra yang memang bahasanya konotatif itu, memiliki
karakteristik yang khas sastra yakni multiinterpretasi atau multitafsir.
Oleh karena itu, pembaca memiliki kebebasan dalam menafsirkan
karya sastra, baik dalam hal struktur atau unsur-unsur yang
membangun karya sastra maupun dalam pengungkapan maknanya.
Jelasnya, jika sebuah puisi dibaca dan ditelaah oleh empat puluh
siswa dalam sebuah pembelajaran di satu kelas misalnya, dan ternyata
ada empat puluh pendapat atau penafsiran atas karya sastra tersebut
yang berbeda-beda, maka hal itu sah-sah saja. Justru inilah kekhasan
atau keunggulan karya sastra dibanding dengan jenis karya lain, karya
ilmiah misalnya. Oleh karena itu, guru sastra tidak pada tempatnya,
atau tidak berhak untuk mengatakan kepada para siswanya bahwa

170 │ Pengkajian Sastra


hasil penafsirannyalah (sang guru) yang paling bgenar sedangkan
panafsiran para siswa itu salah, misalnya. Atau, penafsiran siswa A-lah
yang benar sedangkan siswa lainnya salah. Tidak ada benar atau salah
dalam menafsirkan unsur dan makna karya sastra. Yang ada adalah
berbeda pandangan atau berbeda penafsiran dalam memahami atau
menanggapi karya sastra.
Karya sastra apa pun genrenya baik puisi, fiski (cerpen dan
novel), maupun drama, tidak menyuguhkan gagasan dalam bentuk
eksplisit (tersurat) malainkan implisit (tersirat). Seperti dinyatakan oleh
Daiches (dalam Melani Budianta, 2003:7-8) bahwa karya sastra
merupakan suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan
yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain”, yakni suatu cara yang
memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang
memperkaya wawasan pembacanya.
Sastra pada hakikatnya menyajikan suatu kemungkinan dalam
menanggapi suatu permasalahan atau fenomena kehidupan dalam
suatu jalinan cerita yang kompleks (fiski dan drama) atau dalam suatu
bait puisi yang sudah diciptakan oleh sastrawan. Jalinan cerita dan/
atau ide dasar dalam sebait puisi yang ditampilkan sastrawan dalam
karya sastra tidaklah untuk diperiksa kebenaran atau kesalahanya,
sesuai dan tidaknya dengan kehidupan nyata, melainkan sengaja
dilontarkan oleh sastrawan untuk menggelitik pemikiran pembacanya.
Dengan demikian pembaca karya sastra akan dapat menikmati,
menyelami, dan menghayati, untuk kemudian menemukan berbagai
kemungkinan lain di dalamnya, dan barangkali menemukan gagasan
atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

B. Pengkajian Puisi
1. Pengkajian Puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdulhadi
W.M.
Sebagai ilustrasi tentang telaah sastra khususnya puisi,
berikut mari kita telaah puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya
Abdulhadi W.M. berikut ini.

Pengkajian Sastra │ 171


Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Aku arah dalam anginmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.

Penyair memanfaatkan citraan visual pada bait 1, 2, dan 3


dengan memanfaatkan majas simile dan metafora sekaligus.
Hubungan yang demikian dekat antara penyair dengan Tuhan
dilukiskan dengan menghidupkan imaji visual dalam diri pembaca.
Bait 3 misalnya, bentuk ”Sebagai kain dengan kapas” lebih mudah
melukiskan kedekatan antara manusia dengan Tuhan yang sangat
intens daripada menggunakan bahasa biasa.

Bait 3
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

172 │ Pengkajian Sastra


Pada bait 5 puisi itu, penyair memanfaatkn citraan visual
dengan menggunakan bentuk majas metafora. Citraan dengan
bentuk majas metafora itu lebih mudah menghidupkan imaji visual
pembaca dalam melukiskan keakraban dan keintiman penyair
dengan Tuhan daripada bahasa biasa. Dengan citraan visual itu
imaji yang ada dalam diri pembaca menjadi lebih mudah
merespons dan merasakan pengalaman religius penyair, dalam hal
ini intimits hubungannya dengan Tuhan.
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

Pemanfaatan citraan dalam puisi tersebut mampu meng-


hidupkan imaji pembaca dalam merasakan apa yang dirasakan oleh
penyair, menghayati pengalaman religius penyair. Seandainya
penyair menggunakan bahasa biasa kiranya tidak mudah bagi
pembaca untuk membayangkan apa yang dirasakan penyair,
terlebih pengalaman religius yang bersifat batiniah. Demikian
intensif pemanfaatan citraan dalam puisi itu.
Setelah puisi tersebut ditelaah dari segi metode atau struktur
fisiknya seperti rima dan iramanya, diksi, majas, dan citraan, maka
kita akan sampai pada telaah hakikat puisi, yakni makna atau
gagasan apa sebenarnya yang terkandung di dalamnya. Sebagai
sastrawan santri atau ’kaum sarungan’, penghayatan religiositas
Abdulhadi W.M. terasa sekali dalam puisi “Tuhan, Kita Begitu
Dekat”. Puisi itu mampu menunjukkan bahwa penyair bukan hanya
sastrawan santri melainkan sastrawan sufistik yang menghayati
kedalaman tasawuf yang memiliki intensitas religiositas.
Baris ketiga dan keempat, ekspresi stilistikanya bervariasi
meskipun hakikat maknanya juga sama yakni kedekatan,
keakraban, dan kentiman penyair dengan Tuhan. Bahkan, seolah-
olah antara penyair sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Khalik
tidak ada jarak sama sekali.

Pengkajian Sastra │ 173


Bait 1
....................................
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Bait 2
...................................
Seperti angin dan arahnya
Aku arah dalam anginmu

Bait 3
.....................................
Sebagai kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Ungkapan ”Sebagai api dengan panas” dan ”Aku panas dalam


apimu” (bait 1), ”Seperti angin dan arahnya” dan ”Aku arah dalam
anginmu” (bait 2), lalu ”Sebagai kain dengan kapas” dan ”Aku kapas
dalam kainmu” (bait 3), kesemuanya mengeskpresikan gagasan
yang sama tentang kedekatan, keakraban, dan keintiman penyair
dengan Tuhan. Hubungan ”api dengan panas”, ”angin dan
arahnya”, lalu ”kapas dengan kain” jelas tidak terpisah. Lebih jauh
dapat ditafsirkan, bahwa esensi gagasan puisi itu adalah
berpadunya dimensi insaniyah dengan dimensi Ilahiyah, bersatunya
eksistensi manusia dengan eksistensi Tuhan.
Adapun bait 5, meskipun tidak dimulai dengan /Tuhan/ /Kita
begitu dekat/, hakikat makna bait itu sama pula dengan bait-bait
sebelumnya, yakni kedekatan, keakraban, dan keintiman penyair
dengan Tuhan. Bahkan, dapat dinyatakan bahwa bait 5 merupakan
konklusi atau substansi dari bait 1, 2, 3, dan 4.
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.

174 │ Pengkajian Sastra


Ungkapan ”Kini aku nyala” ”Pada lampu padammu”
menunjukkan semacam konklusi atau esensi dari keseluruhan puisi
tersebut, yakni kedekatan, keakraban, dan keintiman penyair
dengan Tuhan. Kata ”nyala” dengan ”lampu” merupakan dua kata
yang esensi maknanya menunjukkan berpadunya eksistensi
manusia dengan eksistensi Tuhan, kebersatuan antara makhluk
dengan Khalik. Itulah penghayatan tasawuf penyair yang
diekspresikan melalui puisinya.
Dalam hal ini Abdulhadi melalui puisi tersebut agaknya
mengekspresikan perasaan kedekatan, keakraban, dan kemesraan
hubungannya sebagai makhluk dengan Tuhan Allah sebagai Sang
Khalik. Bahkan, puisi tersebut menunjukkan kebersatuannya
sebagai insan dengan Tuhan. Atau, dapat diinterpretasikan bahwa
sang penyair menyatakan kintimannaya dengan Sang Khalik sebagai
ekspresi atas ”kerinduannya kepada Tuhan” sehingga seolah-olah
dia menyatu dalam dzat Tuhan. Jika pemahaman demikian dapat
diterima, maka bukan tidak mungkin puisi tersebut merupakan
media bagi penyair Abdulhadi W.M. untk bermeditasi sehingga dia
merasa demikian dekat bahkan seolah-olah bersatu dengan Tuhan.
Itulah hakikat penghayatan tasawuf Wahdatul Wujud, antara insan
si makhluk menyatu dengan Tuhan Sang Khalik.

2. Pengkajian Puisi “Asmaradana” Karya Subagio Sastrowardoyo


Aplikasi sastra puisi dengan memanfaatkan pendekatan
model M.H. Abrams dapat dicermati pada contoh di bawah ini. Ada
empat pendekatan dalam analisis karya sastra menurut Abrams
yakni pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik.
Untuk dapat memberikan makna sepenuhnya kepada sebuah puisi,
selain dianalisis strukturnya dan dihubungan dengan kerangka
sejarahnya dengan teori Interteks, maka analisis puisi tidak dapat
dilepaskan dari kerangka sosial budaya dan tanggapan pembaca-
nya.

Pengkajian Sastra │ 175


Berikut merupakan pengkajian puisi “Asmaradana” karya
Subagio Sastrowardoyo dengan memanfaatkan teori Interteks
dengan mengacu teori Abrams tersebut.
ASMARADANA

Sita di tengah nyala api


tidak menyangkal
betapa indahnya cinta berahi

Raksasa yang melarikannya ke hutan


begitu lebat bulu jantannya dan Sita
menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari


neraka tapi Sita tak merasa berlaku
dosa sekedar menurutkan naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa


jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama.

(1) Analisis dengan pendekatan Objektif


Analisis karya sastra dengan pendekatan objektif yakni
analisis karya (sastra) dengan menganggapnya sebagai karya yang
otonom terlepas dari aspek sosiohistoris dan sosiokultural dengan
mengkaji struktur/ unsur-unsurnya.
Puisi “Asmaradana” karya Subagio Sastrowardoyo tersebut
menggunakan rima akhir yang bervariasi. Bait pertama meng-
gunakan rima /i, a, i/ , bait kedua /a,a,i/, bait ketiga /a,a,i/, dan bait
keempat /a,i,a/. Sesuai dengan judulnya “Asmaradana” yang
berarti “api cinta”, rupanya penyair sengaja menggunakan rima
yang bervariasi itu guna menciptakan suasana hati Sita yang

176 │ Pengkajian Sastra


menggelegak karena terbakar cinta birahi ketika berada dalam
pelukan Rahwana, raksasa sakti, yang menculik dan menawannya.
Diksi yang digunakan penyair pada puisi tersebut tergolong
sederhana, mudah dipahami, sehingga puisi itu tidak tergolong
prismatis. Sebagai ilustrasi, bait I hingga IV hamper semua diksinya
mudah dipahami, meskipun menggunakan majas metafora.
Perhatikan bait ketiga dan keempat berikut.
Raksasa yang melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya dan Sita
menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari neraka


tapi Sita tak merasa berlaku dosa
sekedar menurutkan naluri

Ungkapan /begitu lebat bulu jantannya/ pada bait I dan


/Dewa tak melindunginya dari neraka/ menunjukkan majas itu.
Majas personifikasi digunakan pada baris /Pada geliat sekarat
terlompat doa/.
Imaji/citraan dalam puisi tersebut juga cukup bervariasi.
Citraan visual tampak dominan dalam puisi itu. Misalnya pada baris
/begitu lebat bulu jantannya/; pada baris /Dewa tak melindunginya
dari neraka/; juga pada baris /Pada geliat sekarat terlompat doa/.
Imaji intelektualk juga dimanfaatkan pada baris /betapa indahnya
cinta berahi/, baris /dan Sita menyerahkan diri/, dan baris /sisa
mimpi dari sanggama/.
Tema puisi itu cukup jelas yakni suasana hati perempuan
yang sedang terbakar api asmara oleh keperkasaan laki-laki yang
justru menculik dan menawannya.

Pengkajian Sastra │ 177


(2) Analisis dengan pendekatan Ekspresif
Analisis karya sastra dilihat dari latar belakang kehidupan
sastrawan/ penyair dengan segenap pandangan hidup, filsafat
hidup, ideologi, pendidikan, dan pengalaman bationnya
merupakaendekatan ekspresif.
Subagio Sastrawardoyo adalah sebagai penyair kawakan
yang telah lama malang melintang dalam dunia sastra Indonesia.
Karya-karyanya sarat dengan aspek sosiokultural yang membawa
pesan-pesan moral yang penting bagi kehidupan manusia. Subagio
dikenal sebagai penyair yang piawai menciptakan karya-karya puisi
yang membicarakan eksistensi kemanusiaan.

(3) Analisis dengan pendekatan Mimetik


Analisis karya sastra dengan pendekatan mimetic adalah
analisis karya sastra dengan mengaitkannya dengan kondisi sosial
budaya ketika karya sastra itu dilahirkan.
Puisi “Asmaradana” lahir di tengah kehidupan masyarakat
Indonesia yang memang sudah akrab dengan cerita wayang
Ramayana dari India yang termasyhur itu. Kehadiran puisi itu tentu
saja sempat mengejutkan masyarakat sastra Indonesia karena
isinya berbeda dengan cerita Ramayana. Atau, tepatya isi tema
puisi itu sengaja diselewengkan oleh penyair dari isi cerita aslinya.
Dalam cerita Ramayana, dikisahkan Dewi Sita, istri Rama yang
diculik dan ditawan oleh Rahwana, tetap setia menjaga
kesuciannya demi cintanya kepada suaminya, Rama. Ketika Rama
menguji kesuciannya dengan dibakar api, Sita tidak terbakar oleh
api sehingga Sita tetap hidup sebagai bukti akan kesuciannya.

(4) Analisis dengan pendekatan Pragmatik/Reseptif


Analisis karya sastra dengan mengungkapkan makna atau
gagasan yang terkandung di dalamnya berdasarkan tanggapan atau
penerimaan pembaca meruoakan pendekatan pragmatic/ reseptif.

178 │ Pengkajian Sastra


Ketika Rama, suaminya menguji kesuciannya dengan dibakar,
dalam kepungan nyala api, Sita terkenang saat-saat indah bersama
Rahwana. Sita tidak sengaja ketika hatinya terbakar cinta birahi di
bawah pelukan Rahwana. Sita tidak sengaja berlaku demikian dan
dia tidak merasa berbuat dosa karena hanya sekedar mengikuti
naluri keperempuanannya di bawah pelukan dan kejantanan sang
raksasa yang gagah perkasa. Namun demikian pada menjelang
akhir hayatnya dia menyadari dosanya dan masih berharap Dewa
mengampuninya dengan tidak terbakar oleh api yang
mengepungnya.
Melalui pemanfaatan teori Interteks (yang berpandangan
bahwa karya sastra yang lahir kemudian memiliki acuan pada karya
sebelumnya), tidak sulit untuk menghubungkan puisi
“Asmaradana” dengan kisah mahakarya Ramayana dari India yang
termasyhur di kalangan masyarakat Indonesia. Cerita Ramayana
merupakan hipogram dari puisi “Asmaradana” karya Subagio
sebagai karya transformasinya. Hanya istimewanya, puisi
“Asmaradana” itu oleh penyairnya sengaja diciptakan dengan
melakukan negasi atau bertentangan dengan isi kisah Ramayana.
Jika dalam Ramayana Sita tetap setia menjaga kesuciannya demi
cintanya kepada Rama, suaminya, sedangkan dalam puisi
“Asmaradana” penyair mengubahnya menjadi Sita menyerahkan
dirinya terhadap “kejantanan” atau keperkasaan Rahwana, raksasa
yang menculiknya. Hal itu dilakukan Sita sebagai perbuatan yang
wajar, bukan perilaku dosa karena sekedar mengikuti naluri
keperempuanannya, sesuatu yang manusiawi.

Pengkajian Sastra │ 179


3. Pengkajian Puisi dengan Tinjauan Interteks
PUISI "PADAMU JUA" KARYA AMIR HAMZAH DAN PUISI
"DOA" KARYA CHAIRIL ANWAR: KAJIAN INTERTEKS

A. Pengantar
Dengan daya kreativitas dan imajinatif, manusia terdorong
untuk menuangkan pengalaman batiniah dan estetiknya dalam
sebuah karya seni. Untuk itulah, seorang sastrawan sebagai
seniman, dengan segenap kemampuan akal budi dan ketajaman
mata batinnya, mengadakan refleksi atas berbagai peristiwa yang
ditangkap dan dirasakannya. Dengan daya kreatif dan estetiknya, ia
berupaya mengekspresikan berbagai pengalaman batin yang
dirasakannya itu dalam sebuah karya sastra. Dengan demikian, apa
yang bergelora dalam dirinya, baik berupa gagasan, renungan,
'pemberontakan' atas sesuatu, perasaan cinta, maupun getaran
dan pengalaman religius, dituangkan ke dalam bentuk karya sastra,
puisi misalnya, agar dapat dinikmati dan dirasakan orang lain.
Hati dan pikiran yang bergejolak, hati yang terharu, dan jiwa
yang bergetar karena berhadapan dengan sesuatu yang
membangkitkan daya estetik seorang seniman itulah yang
melahirkan karya seni. Lebih dari itu, dalam keadaan kontemplasi
terkadang manusia sirna dalam keindahan dan keindahan sirna
dalam jiwa manusia. Segala pengalaman estetis yang tersimpan
dalam khazanah batinnya, dengan daya kreativitasnya kemudian
dilahirkan dan direalisasikan ke dalam bentuk karya seni. Lahirlah
karya kebudayaan dan keseniaan antara lain berupa karya sastra
(bandingkan Semi, 1988:9).
Karya seni yang tinggi, menurut Iqbal (1991:xvi) ialah karya
seni yang membangun kekuatan kemauan kita yang terlena dan
memberi kita semangat untuk menghadapi ujian kehidupan dengan

180 │ Pengkajian Sastra


sikap jantan. Semua yang menyebabkan kantuk dan membuat mata
kita tertutup terhadap realitas bahwa hidup bergantung pada-Nya
semata-mata adalah pesan kejatuhan dan kematian. Harus tidak
ada candu yang memakan seni. Dogma "seni untuk seni" adalah
penemuan yang cerdas dari kemunduran untuk menipu kita keluar
dari kehidupan dan kekuasaan. Bagi Iqbal. Seni sejati adalah
ekspresi keindahan dengan ketentuan hendak menyampaikan
hasrat dalam hati manusia akan rasa cinta, yang menghadapi segala
kesulitan. Mahkota seniman ialah keindahan yang akan menghayati
dan menimbulkan cinta.
Dalam khazanah Indonesia dapat dilihat hadirnya sastra yang
menggelorakan perasaan cinta ketuhanan dan semangat profetik
yang bermuara pada intensitas transendental. Karya sastra yang
dimaksud itu yang menonjol antara lain karya Amir Hamzah (Raja
Penyair Pujangga Baru, Angkatan 1930-an), beberapa karya Chairil
Anwar (Pelopor Angkatan 1945), Taufik Ismail (Penyair Terkemuka
Angkatan 1966), Abdulhadi W.M, Danarto, Kunto Wijoyo, Sutardji
Calzoum Bachri, Supardi Djoko Damono, Chairul Umam, Ikranegara,
M. Fudholi Zaini (tokoh-tokoh angkatan karya 1970), dan masih
banyak lagi. Begitu pula, karya sastrawan generasi berkutnya
seperti Hamid Jabbar, D. Zamawi Imron, Afrizal Malna, Emha Ainun
Najib dan lain-lain, yang oleh Abdulhari W.M (1985: v) dikatakan
sebagai sastrawan berkecenderungan sufisfik.
Di antara para sastrawan sufisfik tersebut, Amir Hamzah
pantas dicacat kehadirannya. Jassin menyebutnya sebagai Raja
Penyair Pujangga Baru, karena merintis perkembangan perpuisian
pada zamanya. Bahkan, Abdulhadi W.M mencacatnya sebagai
perintis karya-karya berkecenderungan sufisfik. Hal itu terutama
tampak dalam kumpulan puisinya Nyanyi Sunyi (1978; terbit
pertama 1935) dan Buah Rindu (1977; terbit pertama 1937). Cukup
banyak juga kritikus dan pengamat sastra Indonesia yang
memandang Amir Hamzah sebagai penyair Indonesia yang memiliki
intensitas pemahaman keilahian (ketauhidan) dan kontemplasi
religius.

Pengkajian Sastra │ 181


Mencermati realitas itu, tidak mengherankan jika karya-karya
Amir Hamzah banyak dipelajari oleh para sastrawan generasi
sesudahnya. Bahkan, bukan tidak mungkin timbul pengaruh karya
Amir Hamzah itu pada karya-karya sastrawan yang mempelajarinya
itu, termasuk dalam hal ini Chairil Anwar.
Berpijak pada latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah: (1)
Bagaimana hubungan intertekstual sajak "Padamu Jua" karya Amir
Hamzah dengan sajak "Doa" karya Chairil Anwar?; (2) Adakah
pengaruh sajak "Padamu Jua" pada sajak "Doa"? dan (3) Benarkah
sumber insipirasi kedua sajak itu adalah ayat suci al-Quran?
Kajian ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan hubungan
intertekstual antara puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Doa" karya
Chairil Anwar. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kedua sajak
tersebut terkesan memiliki hubungan keterjalinan baik simbolik
maupun tematiknya-terutama aspek kemanusiaan dan ketuhanan;
(2) Memaparkan adakah pengaruh puisi "Padamu Jua" (1930-an)
sebagai hipogram pada puisi "Doa" yang tercipta kemudan (1943);
dan (3) Karena kedua sajak terkesan mengandung nafas religius,
maka tulisan ini juga bertujuan untuk mengkaji kemungkinan
sumber inspirasinya yakni al-Quran.

B. Kajian Teoretis
Puisi memiliki hubungan yang erat sekali dengan filsafat dan
agama. Aminnuddin (1987:115) menulis bahwa sebagai hasil kreasi
manusia, puisi mampu memaparkan realitas di luar dirinya. Puisi
sebagai karya sastra adalah semacam cermin yang menjadi
representasi dari realitas itu sendiri. Tegasnya, puisi akan mengan-
dung empat masalah yang berhubungan dengan: (1) kehidupan, (2)
kemanusiaan, (3) kematian, dan (4) ketuhanan.

182 │ Pengkajian Sastra


Berdasarkan pengertian itu, maka pada dasarnya puisi itu
juga menggambarkan problema manusia yang bersifat universal,
yakni tentang hakekat hidup, hakekat manusia, kematian, dan
ketuhanan. Puisi "Padamu Jua" (karya Amir Hamzah, Angkatan
Pujangga Baru) dan puisi "Doa" (karya Chairil Anwar, Angkatan
1945) terasa mengandung problema manusia tersebut terutama
kemanusiaan dan ketuhanan.
Kedua puisi yang menjadi objek kajian ini memiliki nilai
religius dan mengandung semangat profetik. Oleh karena itu, lebih
dahulu perlu dikemukakan mengenai sastra sufistik.
Pernyataan bahwa "Pada awal mula, segala sastra adalah
religius" (Mangunwijaya, 1982:11), tampaknya bukan sekedar
ungkapan klise, malainkan sungguh bermakna. Lebih jauh dapat
dikatakan, "Semua sastra yang lebih selalu religius". Religiusitas
bukan berarti hanya sekedar ketaatan ritual, formalitas belaka,
melainkan lebih dalam, dan mendasar dalam pribadi manusia.
Religiositas lebih melihat pada aspek "roh" yang ada di lubuk kalbu,
riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak
merupakan misteri bagi orang lain, akrena menyangkut kejiwaan.
Singkatnya, religiositas merupakan cita rasa yang mencakup
totalitas (termasuk rasio dan perasaan manusiawi) kedalaman si
pribadi manusia. Karena itu, religiositas lebih dalam dari pada
agama yang tampak, formal, dan ritual.
Sekedar ilustrasi, jika seorang Muslim melakukan shalat lima
waktu, hal itu bukanlah religius melainkan sekedar ketaatan formal.
Akan tetapi, ketika seorang petani desa pada saat sepi meletakkan
kayu jati miliknya di area pembangunan masjid tanpa memberikan
identitas semata-mata memenuhi panggilan jiwa tauhidnya, itulah
religius. Lagu-lagu qasidah atau hembusan yang berbahasa Arab
yang menyeru untuk melaksanakan rukun Islam itu agamis, tetapi
lagu "Tuhan" karya Taufik Ismail yang dilantunkan oleh Bimbo dan
banyak dinyanyikan pula oleh orang-orang Kristen, Katolik, Islam,
dan Hindu itu religius.

Pengkajian Sastra │ 183


Meskipun dalam nuansa yang berbeda, terasa sekali aspek
religiositas pada kedua puisi ("Padamu Jua" dan "Doa"). Keintiman
penyair dengan Tuhan begitu mesra. Keakraban dan kecintaan
kepada Tuhan terasa kental. Tidaklah mengherankan jika
menghayati puisi-puisi yang memiliki kecenderungan sufistik,
seolah-olah pembaca diajak mengembara di alam transedental dan
imajinatif. Karena itu bagi, Abdulhadi (1985:vi-vii) segi penting
dalam pembicaraan sastra keagaan yang mendalam, atau sastra
sufistik adalah segi profetiknya. Semangat profetik merupakan segi
yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transedental di
dalam penciptaan karya sastra. Dimensi sosial menunjuk pada
kehidupan kemanusiaan yang bersifat profan, sedangkan dimensi
transendental menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi,
yang berpuncak pada yang gaib. Dimensi kedua ini memberikan
kedalaman pada karya, menopangnya dengan nilai-nilai
kerohanian, membuat karya seni bersiaft vertikal (simbol dari
makhluk dan Sang Khalik).
Menurut Sudardi (2001:1), sastra sufistik adalah karya sastra
yang di dalamnya dijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan
keyakinan yang diambil dari dunia tasawuf. Singkatnya, karya sastra
sufistik adalah karya sastra bermuatan ajaran kesufian.
Ditinjau dari segi isinya, menurut Sudardi (2001:11) karya
sastra sufistik dibagi menjadi tiga golongn, yakni: (1) Karya sastra
sufistik yang berisi ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas
tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia dalam hubungan-
nya dengan penciptaan (Jawa: sangkan paraning dumadi: asal
ciptaan pada pusat yang satu yakni Allah); (2) Karya sastra sufistik
yang berisi ungkapan pengalaman pencarian Tuhan. Mencari dan
menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik. Pengalaman itu
terkadang tidak dapati dilukiskan melainkan hanya dengan simbol-
simbol. Misal: cerita Dewa Ruci yang mengisahkan Bima dalam
mencari air kehidupan (air pawitra), yang tidak lain simbol dari
pergulatan manusia dalam menemukan hakikat hidup; dan (3)
Karya sastra sufistik yang berisi ungkapan kesatuan dengan Tuhan.

184 │ Pengkajian Sastra


Peristiwa ini merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh para sufi.
Namun, peristiwa ini merupakan pengalaman sangat pribadi yang
sulit dilukiskan dengan kata-kata. Oleh karen aitu, pengalaman itu
sering dilukiskan dengan simbol atau perumpamaan. Misal:
perasaan sufi yang sangat bahagia ketika berjumpa dengan Tuhan
diibaratkan sebagai seseorang yang berhasil menjumpai kekasihnya
yang sudah sangat lama dicarinya dengan susah payah.
Menurut Abdulhadi W.M (1999:23), sastra sufistik dapat juga
disebut sebagai sastra transendental, karena pengalaman yang
dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transenden seperti
ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang
Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian
dan bersifat supralogis. Kuntowijoyo juga menyebut sastra
semacam itu sebagai sastra transendental.
Pengalaman dan penghayataan estetik yang memainkan
peran penting dalam usaha mencapai Tuhan, pada puncaknya
mempunyai imkualitas religius, karena menyentuh dunia spiritual
dan transendental. Hal ini dapat dipahami jika dikaitkan dengan
hadits yang menyatkan, bahwa "Tuhan itu Maha Indah, dan Dia
mencintai keindahan". Adapun pengalaman estetik bertalian
dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang
pada klimaksnya akan mampu menghubungkan makhluk dengan
khalik (Al-Ma’ruf, 1990:72).
Menghayati puisi-puisi sufistik, pembaca seakan-akan
menye-nandungkan cinta kepada Tuhan dalam pesona
transendental. Pada gilirannya, cinta itu akan membawa
pemahaman kepada hakikat kehidupan dan mengenal lebih dekat
kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Dalam
cintalah, penyair sufistik melabuhkan keyakinannya. Sebab,
(kepada Tuhan) bagi mereka terasa sebagai yang terdalam dan
paling merasuk dari pada segala jenis perasaan.
Salah satu cara untuk dapat memahami makna puisi secara
total adalah dengan jalan melihat hubungan intertekstual antara

Pengkajian Sastra │ 185


puisi-puisi yang memiliki hubungan kesejajaran, baik dengan sajak
yang mendahului maupun sajak yang sezaman. Interekstual adalah
masuknya teks lain ke dalam suatu teks, saling menyilang dan
menetralisasi satu dengan lainnya (Culler, 1981:106; Hawkes,
1978:144). Menurut Kristeva (dalam Culler, 1977:139) setiap teks
merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi
teks-teks lain (dalam Culler, 1977:139).
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa interteks
merupakan prinsip yang berpandangan bahwa ada pertautan
antara satu karya sastra yang tercipta kemudian dengna karya
lainnya yang tercipta terdahulu sebagai hipogramnya, baik berupa
karya sastra atau non-sastra, yang bersifat menguatkan,
menentang, ataupun memperbarui atas karya sebelumnya.
Riffaterre (1978:11-23) menyatakan bahwa sebuah puisi
sering tercipta berdasarkan sebuah hipogram. Hipogram adalah
sajak yang menjadi latar penciptaan sajak lain. Oleh karena itu,
untuk memahami sajak perlu dilihat hubungan intertekstual antara
sajak dengan hipogramnya. Hubungan itu dapat berupa persamaan
ataupun pertentangan.
Bagi Julia Kristeva (dalam Culler, 1977:139), setiap teks itu
merupakan penyerap atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak
itu merupakan penyerapan dan transformasi hipogramnya. Dengan
ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya suatu teks ke dalam teks
lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada
hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi
dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai suatu mozaik.
Dalam prinsip intertekstualitas ini, Teeuw (2003:120) secara
ekstrem menyatakan, bahwa tidak ada sebuah teks pun yang
sungguh-sungguh mandiri. Dalam arti bahwa penciptaan dan
pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain
sebagai contoh, teladan, maupun kerangka. Tidak dalam arti bahwa
teks baru hanya meneladani teks lain tau

186 │ Pengkajian Sastra


mematuhi kerangka yang diberikan lebih dahulu, tetapi dalam arti
bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang
sudah ada memainkan peran yang sangat penting. Pembe-rontakan
dan penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat
diberontaki ataupun disimpangi.
Atas dasar pandangan itu, intertekstual memandang setiap
teks sastra perlu dibaca dengan latar belakang teks-teks lain.
Artinya, penciptaan dan pembacaan tidak dapat dilakukan tanpa
adanya teks-teks lain sebagai acuan. Namun, hal itu tidak berarti
bahwa teks baru hanya mengambil teks-teks sebelumnya sebagai
acuan, tetapi juga menyimpangi dan mentransformasikannya
dalam teks-teks yang dicipta kemudian (Teeuw, 2003:145-146).
Prinsip intekstualitas memiliki aspek lain, yakni membawa
kita untuk memandang teks-teks terdahulu sebagai suatu
sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek
signification, pemaknan yang bermacam (Culler, 1981:103) .
Dengan demikian, intertekstualitas tidak hanya penting dalam
usaha memberi interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang
kongkret saja. Lebih dari itu, prinsip intertekstualitas memainkan
peran sangat penting dalam semiotik sastra. Oleh karena itu, tidak
heran jika Teeuw berpendapat bahwa Belenggu karya Armijn Pane
memiliki hubungan intertekstualitas dengan Layar Terkembang
karya Sutan Takdir Alisjahbana. Begitu pula sajak "Senja di
Pelabuhan Kecil" Chairil Anwar mentransformasikan prinsip dasar
estetik puisi-puisi Melayu yang diwakili karya-karya Amir Hamzah.
Karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat
menentang gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru
mengatkan atau mendukung, namun ada juga yang memperbarui
gagasan yanga ada dalam hipogram. Berdasarkan realitas itu, maka
sifat hipogram dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni: (1)
Negasi, artinya karya sastra yang tercipta kemudia melawan
hipogram (2) Afirmasi, yakni sekedar mengukuh-kan, hampir sama
dengan hipogram; dan (3) Inovasi, dalam arti

Pengkajian Sastra │ 187


karya yang kemudia memperbaharui apa yang ada dalam
hipogram.

C. Metode Penelitian
Objek penelitian ini adalah intertekstualitas puisi "Padamu
Jua" karya Amir Hamzah dan puisi "Doa" karya Chairil Anwar yang
akan dikaji dengan teori Intertekstual. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, mengingat
objek penelitiannya, yakni intetekstualitas kedua puisi merupakan
data kualitatif, yakni data yang disajikan dalam bentuk kata verbal
(Muhadjir, 1989: 41), dalam bentuk wacana yang terkandung
dalam teks puisi "Padamu Jua" dan "Doa". Melalui metode ini,
peneliti menentukan dan mengembangkan fokus tertentu, yakni
intertekstualitas kedua puisi secara terus-menerus dengan berbagai
hal dalam sistem sastra.
Cara kerja kualitatif dipilih karena penelitian ini memiliki
karakter participant observation yakni peneliti memaski dunia data
yang ditelitinya, memahaminya, dan terus-menerus mensistematik-
kan objek yang ditelitinya, ialah intertekstualitas kedua puisi yakni
puisi "Padamu Jua" dan puisi "Doa".
Data kualitatif merupakan sumber informasi yang bersumber
pada teori, kaya akan deskripsi, dan kaya akan penjelasan proses
yang terjadi dalam konteks (Miles dan Huberman, 1984). Dalam
penelitian ini, data diperoleh melalui kedua teks puisi yang berupa
kata, kelompok kata, dan kalimat yang ada dalam baris dan bait
kedua puisi tersebut. Jadi, data penelitian ini adalah unsur-unsur
pembentuk hubungan intertekstualitas puisi "Padamu Jua" dan
puisi "Doa". Berupa data verbal terdiri atas kata, ungkapan, dan
kalimat dalam kedua puisi terebut.
Sumber data penelitian ini ada dua. Pertama, sumber data
primer yakni puisi "Padamu Jua" dan puisi "Doa". Kedua, sumber
data sekunder yakni berbagai pustaka yang relevan

188 │ Pengkajian Sastra


dengan objek penelitian, seperti buku, puisi, laporan penelitian,
kritik saran, dan ayat al-Quran.
Sesuai dengan teori yang dipakai, analisis data dilakukan
dengan menggunakan metode intertekstual. Dengan analisis
intertekstual terlihat hubungan intertekstual kedua puisi tersebut.
Dalam prinsip intertekstual diperlukan suatu metode dengan
membandingkan unsur-unsur struktur karya secara menyeluruh.
Oleh karena itu, untuk mengemukakan hubungan intetekstual,
puisi "Padamu Jua" dengan puisi "Doa" dan teks-teks lain, salah
satu unsur teks yang berupa gagasan utama yang terdapat di dalam
kedua puisi, akan diperbandingkan dengan yang terdapat di dalam
teks-teks lain. Teks lain itu yakni kitab suci al-Quran surat An-
Nur:35.
Penelusuran salah satu unsur struktur teks yang berupa
gagasan utama itu perlu dilakukan, mengingat gagasan utama
merupakan salah satu unsur yang dapat dipandang dominan dalam
membentk struktur teksnya.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Transformasi puisi "Padamu Jua" dalam puisi "Doa"
Berdasarkan prinsip dan konsep intertekstualitas yang telah
dipaparkan di atas, dianalisis secara intertekstual puisi "Padamu
Jua" dengan puisi "Doa". Analisis intertekstual ini didasarkan pada
teori yang diajukan Riffaterre (1978), yaitu teori penerapan
hipogram yang meliputi (1) Ekspansi dan (2) Konversi.
Ekspansi yakni mengubah unsur-unsur pokok matrik kalimat
menjadi bentuk yang lebih kompleks. Dalam kebanyakan kasus,
ekspansi lebih dari sekadar repetisi, tetapi juga mencakup
perubahan gramatikal, misalnya perubahan jenis kata (Riffaterre,
1978: ekspansi dapat diartikan sebagai perluasan atau pengem-
bangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ekspansi

Pengkajian Sastra │ 189


merupakan perluasan atau pengembangan hipogram. Ini berarti,
bahwa ekspansi dapat ditelusuri pada bentuk dasarnya.
Kedua sajak itu yakni "Padamu Jua" (selanjutnya disebut
sajak pertama) dan sajak "Doa" (selanjutnya disebut sajak kedua)
secara bertahap dianalisi dari segi struktur, simbol, kemudian tema.
Sekilah kedua sajak ini dapat dilihat adanya persamaan struktur.
Masing-masing sajak atas tujuh bait. Pada sajak pertama tiap bait
terdiri atas empat baris dengan kalimat pendek-pendek. Pada sajak
kedua, tiap bait maksimal terdiri atas tiga baris (bait pertama dan
terakhir), bahkan ada yang satu bait hanya berupa satu kata
sekaligus satu baris (baris keempat). Selebihnya satu bait terdiri
atas dua baris kalimat (bait kedua, ketiga, kelima dan keenam),
semuanya dengan kalimat yang pendek, maksimal enam kata
(hanya bait ketiga). Adapun bait 7 sajak pertama dapat ditemkan
pula strukturnya pada bait 7 sajak kedua. Jelas sekali betapa
struktur kedua sajak itu bermiripan, walaupun jumlah baris tiap
baitnya tidak sama. Dengan demikian, dalam hal struktur sajak
"Doa" mengalami konversi dari sajak "Padamu Jua".
Nuansa dan maksud masing-masing bait juga dapat
dihubungkan. Nuansa pada bait 1, 2, dan 3 sajak pertama dapat
dihubungkan dengan bait, 1, 2, dan 3 sjak kedua. Begitu pun
nuansa pada bait 4, 5, dan 6 sajak kedua. Adapun nuansa pada bait
7 sajak pertama dapat ditemukan pula pada bait 7 sajak kedua.
Selanjutnya, nuansa makna bait demi bait juga dapat
dirasakan kesepadanannya. Bait 1, 2, dan 3, kedua sajak sama-
sama mengungkapkan kesedihan, kekecewaan, nestapa dan
kegelapan. Tiga bait pertama itu jelas menggambarkan
kekosongan, kehampaan, dan ketidak bermaknanya hidup.dalam
keadaan demikian, keduanya "berdzikir", mengingat kembali, ber-
taqarrub, menghadap dan mendekat kepada Tuhan, tentu dengan
tataran penghayatan yang berbeda antara kedua penyair itu.

190 │ Pengkajian Sastra


Terkesan Amir Hamzah dalam ungkapannya "lebih dewasa",
lebih kontemplatif. Pada Chairil Anwar terasa sedikit kurang intens
dalam mengingat Tuhan. Tuhan dalam pandangan Amir Hamzah
dilukiskan dengna /Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam
gelap. Adapun Tuhan di mata Chairil Anwar adalah "tinggal kerlip
lilin di kelam sunyi". Keduannya memang serupa dalam
pengungkapannya, tetapi tidak sama makna hakikatnya.
Bagi Amir Hamzah, duka nestapa dan kehampaan itu karena
"Segala cintaku hilang terang", sedangkankan Chairil Anwar tidak
menjelaskan mengapa berduka nestapa, hanya dia /susah
sungguh/. Amir Hamzah menganggap hilangnya cinta (mistik)
adalah sentral dalam penghayatannya. Adapun bagi Chairil Anwar
kesedihannya terasa eksplisit, kurang mendalam.
Keterkaitan keduanya juga tampak pada ungkapan kerinduan
kepada Tuhan, juga dalam tataran yang tidak sama. Kerinduan Amir
Hamzah kepada Tuhan begitu mendalam di lubuk kalbu hingga dia
menyatakan //Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam
gelap/Melambai pulang/Sabar, setia selalu//. Adapun Chairil
Anwar cukup menyatakan /cayaMU panas suci/ tinggal kerdip lilin
di kelam sunyi// tidak dilanjutkan lagi ungkapan kerinduannya
kepada Tuhan. Di sinin dapat dirasakan bagaimana tataran
intensitas penghayatan Chairil Anwar kepada Tuhannya.
Masih dalam kerinduannya kepada Tuhan, Amir Hamzah
menyatakan dengan ungkapan dalam bait berikutnya, //Satu
kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa//. Sebaliknya Chairil
Anwar meneruskan kerinduannya dengan sedikit keluhan,
//Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk//. Keduanya sama-sama
mengungkapkan pernyataan kerinduan, tetapi ekspresi simboliknya
berbeda. Hal ini tentulah dipengaruhi oleh latar belakang
pemahaman keagamaan dan penghayatan religiositas masing-
masing.
Di tengah kehampaan, kesedihan, dan kerinduan, Amir
Hamzah merasa tetap menyimpan harapan dengan ungkapannya,

Pengkajian Sastra │ 191


//Di mana engkau/Rupa tiada/Suara sayup/Hanya kata merangkai
hati//. Bagi Chairil Anwar seolah-olah harapan tinggal sedikit, karen
pintu telah tertutup untuknya. Oleh karena itu, terasa dalam
sajaknya, Amir Hamzah akrab dan intim sekali dengan tuhan,
sedangkan pada Chairil Anwar seolah ada jarak antara dirinya
dengan tuhan, sehingga terkesan tidak akrab.
Pada bait 4,5 dan 6, Amir Hamzah dalam kehampaan dan
kerinduan justru merangkap kehadiran Tuhan lewat, /Suara
sayup/hanya kata merangkai hati/ kemudian diteruskan /Sayang
berulang padamu jua/Engkau pelik menari angin/Serupa dara di
balik tirai//. Di sini dapat dirasakan keintiman dan kemesraannya
bercengkrama dengan Tuhan, walau dalam kepedihan bagaimana-
pun. Berbeda dengan Chairil Anwar yang seakan-akan kehilangan
harapan dan keseimbangan sehingga dia mencoba berkelana ke
negeri asing, akan tetapi akhirnya kembali juga kepada Tuhan
dengan ungkapannya, //Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk// //
Tuhanku/aku mengembara di negeri asing//.
Sebagai orang yang mempunyai pemahaman keilahian dalam
taraf yang belum mendalam jika bukan sekuler, Chairil Anwar
dikenal sebagai seniman bohemian, Chairil merasakan adanya
kesenjangan dirinya dengan Tuhan itu karena ia pergi mengembara
ke negeri asing. Adapun Amir Hamzah sebagai orang yang sejak
kecil hidup dalam lingkungan keluarga dan masyarakat religius
sehingga memiliki pemahaman keilahian yang dalam, memang juga
merasakan adanya jaraka dirinya antara dengan Tuhan itu karena,
/Rupa tiada/Suara sayup/. Akan tetapi baginya, /Hanya kata
merangkai hati/.
Akhirnya Amir Hamzah berhasil menekan dan masuk dalam
kasih Tuhan, walaupun hanya di balik tirai, karena eksistensinya
sebagai makhluk. Chairil Anwar dalam pengembaraannya akhirnya
juga sampai di hadapan Tuhan, lalu mengetuk pintu Tuhan, tidak
dapat berpaling lagi. Ini sebagai klimaks atas keterasingan dari
Tuhan dan pengembaraannya menemukan hakikat Tuhan.

192 │ Pengkajian Sastra


Berdasarkan analisis di atas dapatlah dikemukakan, bahwa
kedua sajak itu merupakan karya sastra yang sarat dengan nilai
transendental dan kental dengan dimensi keilahian. Dalam konteks
sastra sufistik, kedua sajak tersebut yang telah dianalisis hubungan
intertekstualnya adalah contoh yang tepat sebagai karya sastra
yang berhasil mempertemukan dimensi sastra dan dimensi
keagamaan. Atau dalam bahasa Abdulhadi W.M. (1995:viii) karya
yang memadukan dua dimensi kemanusiaan dan dimensi
transendental atau spiritual, yang merupakan cita tunggal sastra
Islam.
Agaknya kedua penyair Amir Hamzah dan Chairul Anwar
memiliki pandangan dan latar belakang yang berbeda, sehingga
berbeda pula dalam menuangkan atau mengekspresikan ide-ide
melalui penggunaan imaji ataupun simbol dalam sajaknya. Namun,
sengaja atau tidak, langsung atau tidak langsung, dapat dirasakan
adanya hubungan intertekstualitas, jika bukan adanya transformasi
sastra dalam kedua sajak tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam
struktur sajak, penggunaan imaji atau pemilihan simbol dan
tematiknya. Dengan demikian, sedikit banyak dalam sajak "Doa"
Chairil Anwar terilhami oleh sajak-sajak Amir Hamzah khususnya
sajak "Padamu Jua".

2. Mengkaji al-Quran sebagai Hipogram


Dari analisis intertekstual kedua sajak yang dilakukan kita
mencoba menggali lebih jauh dari mana kemungkinan sumber
inspirasinya. Jika diamati penggunaan imaji atau pemilihan simbol
dan tematiknya, tampaknya bukan tidak mungkin bahwa sejak
tersebut diilhami atau mendapat inspirasi dari kita Suci al-Quran.
Tentu saja dalam hal ini Amir Hamzah juga menggalinya dari
sumber sastra yang sudah menjadi konvensi. Hal itu akan terasa
sebagai kebenaran jika kita membaca al-Quran Surat an-Nur ayat
35. Ayat itu begitu estetik bunyinya, dan mendalam maknanya.
Jassin (1978:484) menerjemahkan ayat tersebut menjadi:

Pengkajian Sastra │ 193


Allah adalah cahaya langit dari bumi
Perumpamaan cahaya (allah)
Adalah seperti rongga itu ada pelita
Pelita itu dalam (bola) kaca
Kaca itu laksanakan bintag berkilauan
Dinyalakan dengan (minyak) pohon yang diberkati,
Pohon zaitun yang selalu menerima
Cahaya dari timur dan dari barat,
Yang minyaknya (saja) hampir-hampir,
Berkilai (sendirinya)
Walaupun tiada api menyentuhnya,
Cahaya itu di atas cahaya!
Allah menuntun kepada cahaya-
Nya Siapa saja yang dia berkenan,
Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia
Allah mengetahui segala.

Ayat ini terasa puitik, begitu estetik. Baris //Kaulah kandil


kemerlap/Pelita jendela di malam gelap/ dalam sajak "Padamu Jua"
tidaklah mendapat inspirasi dari ayat Al-Quran ini? //Allah adalah
cahaya langit dan bumi/ Perumpamaan cahaya (Allah)/ Adalah
seperti rongga dalam dinding/ dalam rongga itu ada pelita/ Pelita
itu dalam (bola) kaca/. Dalam sajak "Doa" Chairil Anwar tertulis,
//caya-Mu panas sekali/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi//.
Bukankah ini dekat sekali dengan ayat tersebut, baik imaji atau
simbolik maupun muatan tematiknya.
Dapat ditambahkan pula sebagai pembanding, puisi “Tuhan,
Kita Begitu Dekat” karya Abdulhadi W.M. (1988:63) bukan tidak
mungkin mendapat inspirasi dari ayat di atas. Perhatikan sajak
tersebut berikut ini:
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

194 │ Pengkajian Sastra


Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Aku aarh dalam anginmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

Jika dicermati, bukankah puisi itu memiliki kedekatan dengan


Surah An-Nur Ayat 35 di atas. Atau mungkin juga sajak ini terilhami
oleh Surah Qaf ayat 16 yang bunyinya sebagai berikut.
Kami telah ciptakan manusia
Dan kami tahu apa yang dibisikkan
Hatinya kepadanya.
Kami lebih dekat kepadanya
Dari urat lehernya.

Dari analisis di atas makin jelaslaah bahwa puisi "Padamu


Jua" bukan tidak mungkin mendapat inspirasi dari ayat suci al-
Quran. Begitu pun puisi "Doa" yang tercipta kemudian, secara
langsung atau tidak langsung terilhami ayat tersebut. Bahkan puisi
"Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdulhadi W.M ada kemungkinan
juga digali dari sumber inspirasi abadi, al-Quran. Dengan kata lain,
al-Quran sangat terbuka kemungkinan merupakan hipogram dari
puisi "Padamu Jua" dan "Doa" (Q.S. An-Nur:35), demikian pula puisi
"Tuhan, Kita Begitu Dekat" (Q.S. Qaf: 16).

Pengkajian Sastra │ 195


E. Simpulan
Berdasarkan analisis data di atas dapat dikemukakan konklusi
sebagai berikut. Pertama, ada hubungan intertekstual antara puisi
"Padamu Jua" karya Amir Hamzah dengan puisi "Doa" karya Chairil
Anwar. Puisi "Padamu Jua" sebagai hipogram ditransformasikan
pada puisi "Doa" baik dengan cara ekspansi maupun konversi.
Adapun hubungan intertekstual puisi "Doa" dengan puisi "Padamu
Jua" sebagai hipogramnya bersifat inovatif.
Kedua, secara sengaja atau tidak terdapat pengaruh sajak
"Padamu Jua" pada sajak "Doa". Pengaruh itu tampak pada
struktur, penggunaan imaji atau pemilihan simbolik dan
tematiknya, walaupun dengan gaya pengucapan yang berbeda
yang dipengaruhi oleh latar belakang penyair masing-masing.
Dalam hal ini terutama pemikiran, pemahaman keagamaaaaan dan
situasi zaman yang melingkupi penyair.
Ketiga, ada kecenderungan kuat, bahwa puisi "Padamu Jua"
yang memiliki hubungan intertekstual dengan puisi "Doa", adalah
karya sastra sufistik Indonesia yang kemungkinan besar terilhami
oleh ayat suci al-Quran, yang besar kemungkinan menjadikan ayat-
ayat al-Quran sebagai hipogramnya. Oleh karena itu, keduanya
merupakan karya seni yang memiliki nilai tinggi, yang berhasil
memadukan dimensi sosial dan dimensi transendental.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhadi, W.M. 1985. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.


A.M., Ali Imron. 1990. "Dialog Religius dalam sajak 'Nyala Cintamu'
Karya Anshari (Persia) dan Sajak ‘Tuhan, Kita begitu Dekat’
karya Abdulhadi W.M." dalam Rethorica, Nomor 1 Tahun
1990.

196 │ Pengkajian Sastra


. 1995. "Dimensi Sosial Keagamaan dalam Novel Keluarga
Perman Karya Ramadhan K.H.: Analisis Semiotik". Tesis
Magister Humaniora (S-2) Program Pascasarjana Universitas
Gajah Mada Yogyakarta.
Aminuddin, M. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar
Baru dan Malang: YA3.
Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Routledge &
Kegan Paul.
. 1981. The Persuit of Signs., Semiotics, Literature,
Deconstruction. London and Henley: Routledge and Kegan
Paul.
Hamzah, Amir. 1977. Buah Rindu. (cetakan kelima). Jakarta: PT
Dian Rakyat.
. 1979. Nyanyi Sunyi (cetakan kedelapan). Jakarta: PT Dian
Rakyat.
Hawkes, Terrence. 1978.Structuralism and Semiotics. London:
Methuen.
Iqbal, Muhammd. 1966. Membangun Kembali Pikiran Agama
dalam Islam. (Penerjemah: Ali Audh dkk). Jakarta: Tintamas.
Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim: Bacaan Mulia. Jakarta: PD
Djambatan.
Mangunwijayam Y.B. 1982. Sastra dan Religiousitas. Jakarta: Sinar
Harapan
Miles, M.B. and Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis.
California. Beverley Hills: Sage Pub.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Rake sarasin.

Pengkajian Sastra │ 197


Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Routledge &
Kegan Paul.
Semi, M.Atar. 198. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sudardi, Bani. 2001. Tonggak-tonggak sastra sufistik indonesia
petualangan batin manusi indonesia sepanjang zaman.
Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu sastra (cetakan ketiga). Jakarta:
Pustaka Jaya.
. 1988. "Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya
dalam Sastra Modern" dalam Horison Nomor 6, Juni 1988.
. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Tradisi Esai-esai
Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

198 │ Pengkajian Sastra


BAB IX PENGKAJIAN
PROSA FIKSI

A. Pengkajian Cerpen
(1) Pengkajian Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis
Berikut pengkajian sepenggal cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya A.A. Navis dari struktur atau unsur-unsur yang membangun
karya cerpen tersebut sekaligus pengungkapan makna/ gagasan
yang ingin disampaikan sastrawan melalui kisah itu dengan teori
Sosiologi Sastra.
Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu
panjangnya. Susut di muka, bertambah di belakang. Dan Tuhan
memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran
Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan.
Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh
namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama
hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘Apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku
berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-
dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.’
‘Lain?’

Pengkajian Sastra │ 199


‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada
beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu.
Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi
buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan
kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
………………..
‘Lain lagi?” Tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang
Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan mahatahu.’
Haji Saleh yang sudah kuyu mencoba siasat merendahkan diri
dan memuji dengan pengharapan semoga Tuhan dapat
berbuat lebih lembut dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’ ‘Sungguh tidak
ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan
tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke
neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka.
Ia tidak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan
ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu
banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka
tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang
yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar
Syekh pula.

Berikut analisis struktur/unsur-unsur (cuplikan) cerpen


“Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis tersebut.

200 │ Pengkajian Sastra


Tema:
Gagasan atau ide dasar yang melandasi sebuah cerita atau
karya sastra disebut tema. Tema dalam cuplikan cerpen itu adalah
kesia-siaan hidup seorang Muslim yang hidupnya hanya beribadah
kepada Tuhan tetapi melupakan kehidupan duniawi.
Analisis cerpen “Robohnya Surau Kami” dilanjutkan dengan
analisis makna dengan memanfaatkan teori Sosiologi Sastra. Teori
Sosiologi Sastra memandang karya sastra memiliki hubungan
dengan kehidupan sosial atau dalam karya sastra terkandung aspek
sosial kemasyarakatan. Sastrawan merupakan wakil dari kelompok
atau kelas sosialnya. Oleh karena itu, dalam karya sastra menurut
Sosiologi Sastra terdapat world view, pandangan dunia sastrawan-
nya.
Berdasarkan teori Sosiologi Sastra dapat diungkapkan
gagasan dalam cuplikan cerpen tersebut bahwa manusia hidup di
dunia tidaklah cukup hanya taat beribadah kepada Tuhan. Selain
taat beribadah kepada Allah (hablum minallaah), manusia beriman
juga harus bekerja untuk mencari kehidupan duniawi dengan
melaksanakan mu’amalah, yakni menjaga hubungan baik dengan
sesame manusia (hablum minannaas). Manusia yang hanya taat
beribadah saja (mencari kehidupan akhirat) tetapi tidak bekerja
dan melupakan kehidupan duniawi akan sia-sia. Kelak di akhirat
orang demikian akan kecewa dan sangat mungkin dimasukkan ke
neraka. Bagaimanapun manusia hidup harus melalui kehidupan di
dunia baru kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, hidup harus
seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Penokohan:
Tokoh dalam cuplikan cerpen “Robohnya Surau Kami” karya
A.A. Navis itu adalah Haji Saleh. Haji Saleh adalah seorang muslim
taat yang telah melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Haji Saleh
hidup dengan menaati ajaran Tuhan dan senantiasa berbuat

Pengkajian Sastra │ 201


kebajikan, beramal shalih, dan menjauhi larangan-Nya. Sayangnya
Haji Saleh tidak mau bekerja demi kehidupan keduniaannya.
Secara fisiologis, dalam kutipan cerpen “Robohnya Surau
Kami” karya A.A. Navis, oleh pengarang tokoh Haji Saleh tidak
dilukiskan dengan jelas. Secara psikologis Haji Saleh dilukiskan
sebagai seorang Muslim yang taat dan patuh kepada syariat Allah.
Dapat dikatakan Haji Saleh malah sangat patuh terhadap ajaran
Allah. Dia senantiasa berusaha beribadah dengan tekun kepada
Allah untuk menyembah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Bahkan, karena ingin selalu beribadah kepada Allah dia melupakan
tugasnya sebagai manusia yang seharusnya bekerja dan
beraktivitas untuk keduniaan. Secara sosiologis, Haji Saleh
merupakan warga masyarakat yang salih, yang di mata warga
masyarakat yang lain merupakan orang yang baik. Sebagai hamba
Allah, Haji Saleh hanya ingin menghamba kepada Allah, lain tidak
tetapi tidak bekerja atau melupakan kehidupan dunianya.

Latar:
Latar tempat pada cerpen tersebut adalah sebuah rumah di
daerah pedalaman Padang Sumatra. Latar waktu tidak dilukiskan
oleh sastrawan dalam cuplikan cerpen itu. Adapun latar suasana
atau latar sosialnya adalah suasana gundah pada diri Haji Saleh
yang terkejut dan terheran-heran mengapa dirinya yang taat
kepada Tuhan dimasukkan ke dalam neraka bersama orang-orang
lain yang juga taat beribadah kepada Allah tetapi melupakan
kehidupan keduniaan.

Alur:
Alur atau plot merupakan jalinan peristiwa yang
sambung-sinambung dalam cerita dan amembentuk jalinan cerita
yang mengalir dari awal hingga akhir cerita. Cuplikan cerpen
tersebut menggunakan alur progresi (maju) (meskipun dalam

202 │ Pengkajian Sastra


cerpen “Robohnya Surau Kami” secara utuh digunakan alur
campuran yakni alur progresif dan regresi secara bergantian.

(2) Pengkajian Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” karya


Kuntowijoyo
Mengingat keterbatasan halaman, berikut akan dikaji
sepenggal cerita pendek “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” karya
Kuntowijoyo. Lebih dahulu, bacalah sepenggal kutipan dari cerpen
tersebut.
Jangan sedih, Cucu. Hidup adalah permainan layang-
layang. Setiap orang suka pada layang-layang.Setiap orang suka
hidup. Tidak seorang pun lebih suka mati. Layang-layang dapat
putus. Engkau dapat sedih. Engkau dapat sengsara. Tetapi
engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi engkau
akan terus mengharapkan hidup. Katakanlah hidup itu
permainan. Tersenyum, Cucu. (“Dilarang Mencintai Bunga-
bunga” halaman 4)

Kutipan di atas terdiri atas beberapa kalimat pendek yang


menyatu dalam paragraf. Kata-katanya tidak ada yang sulit
dipahami dari segi artinya karena tidak ada yang baru. Akan tetapi
kita tidak dapat memahami pikirannya dari kata demi kata atau
kalimat yang terlepas-lepas. Untuk dapat menangkap makna
kalimat-kalimat itu kita harus menyimaknya betul-betul dengan
logika cerdas kita.
Ungkapan pada kutipan di atas mengandung nasihat si Kakek
kepada sahabat kecilnya, anak muda. Anak itu bersedih karena
layang-layangnya putus. Si Kakek yang menyaksikan hal itu lalu
menolongnya dengan menasihatinya agar tidak bersedih. Kakek itu
berpesan agar anak tidak bersedih jika menghadapi kenyataan
hidup yang pahit. Anggaplah hidup itu sebuah permainan agar kita

Pengkajian Sastra │ 203


selalu tersenyum menghadapinya. Tersenyum itu lambang
kegembiraan dan kebahagiaan.
Jika kutipan cerpen tersebut ditelaah dengan teori Interteks,
ungkapan itu dapat ditemukan hipogramnya pada teks hadits
Rasulullah Saw., “Ad-dunya mataa’ul ghuruur”, (Kehidupan) dunia
itu (laksana) perhiasan yang semu. Perhiasan adalah lambing
kegembiraan, kesenangan. Jadi, dalam kehidupan itu kesenangan
yang kita alami hanya semu. Kesenangan yang dialami manusia
kadang-kadang kemudian berubah menjadi kesedihan. Seperti
halnya dalam permainan, dalam menghadapi kenyataan hidup yang
pahit (berduka, sengsara), kita tidak perlu bersedih karena
sebenarnya hal itu tidak abadi, tidak lama. Biasanya kesedihan akan
segera berganti pula dengan kesenangan. Oleh karena itu dalam
menghadapi kenyataan hidup apa pun baik suka maupun duka, kita
tidak perlu larut. Lebih baik kita tersenyum saja menghadapi
kenyataan hidup. Sesungguhnya di balik segala peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan manusia pasti ada rahasia Allah yang tidak
kita ketahui. Selalu ada rahmat tersebunyi di balik setiap peristiwa
(blessing in disguise).

3. Pengkajian (Cuplikan) Novel Saman Karya Ayu Utami


Novel Saman (1998) karya Ayu Utami dikenal sebagai salah
satu novel inovatif terutama dalam gagasan mengenai perspektif
gender dan media ekspresi berupa pemberdayaan bahasa yang
demikian hidup dan menarik serta gagasan yang dikemukakan.
Oleh karena itu, pengkajian style ‘gaya bahasa’ --baik diksi, kalimat,
majas, maupun citraan-- cuplikan novel tersebut menarik untuk
dilakukan. Selain itu, dimensi gender yang terkandung di dalamnya
juga menarik untuk diungkapkan sebagai gagasan yang ingin
dikomunikasikan Ayu Utami sebagai sastrawan perempuan muda
dengan memanfaatkan teori Kritik Sastra Feminis.

204 │ Pengkajian Sastra


Langkah pertama, kita baca berulang-ulang sambil
mencermati style ‘gaya bahasa’ dalam kutipan novel Saman
tersebut.
Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-
tama adalah tubuh. Seperti Tuhan baru meniupkan nafas pada
hari keempat puluh setelah sel telur dan sperma menjadi
gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang kepada tubuh
(Saman, 1998: 115)
Aku selalu bertanya apa yang dia lakukan. Aku dicium,
jawabnya suatu pagi. Tak boleh lagi kamu dicium, kataku,
besok-besok kamu harus ciuman (Saman, 1998: 128)
Yang membedakan aku dari para wanita yang
mengukuhkan patriarki adalah aku melokalisasinya pada
fantasi seksual. Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu
ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan
melakukan seksualisasi terhadapnya. Mereka menerimanya
sebagi nilai moral, aku sebagai nilai estetik (Saman, 1998:160)

Langkah berikutnya adalah menganalisis style ‘gaya bahasa’


novel tersebut satu persatu. Ditinjau dari style ‘gaya bahasa’,
cuplikan novel Saman karya Ayu Utami tersebut memiliki gaya
bahasa yang inovatif, orisinal, segar, dan estetik. Banyak diksi,
kalimat, ungkapan, dan majas yang orisinal hasil kreasi Ayu Utami.
Lebih dari itu, banyak diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan
seputar dunia seksualitas. Tegasnya, seksualitas dimanfaatkan
sastrawan sebagai media ekspresi untuk menyampaikan
gagasannya, dalam hal ini perspektif gender. Meskipun demikian,
bahasa dalam Saman yang orisinal itu tetap mudah dipahami dan
mengesankan/menarik sehingga enak dibaca.
Sebagai ilustrasi, diksi dalam Saman banyak yang berkaitan
dengan seksualitas. Misalnya, menari, sel telur dan sperma,

Pengkajian Sastra │ 205


gumpalan dalam rahim, ruh, tubuh (hlm. 115); dicium, ciuman
(hlm. 128); patriarki, fantasi seksual, seksualisasi (hlm. 160).
Selain itu, banyak kalimat yang berkaitan dengan perspektif
gender. Misalnya, “Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-
besok kamu harus ciuman” (hlm. 128); “Yang membedakan aku
dari para wanita yang mengukuhkan patriarki adalah aku
melokalisasinya pada fantasi seksual. Mereka menerima dominasi
pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku
menerimanya dan melakukan seksualisasi terhadapnya. Mereka
menerimanya sebagi nilai moral, aku sebagai nilai estetik” (hlm.
160).
Majas cukup dominan dalam novel Saman tersebut. Misalnya
majas Metafora pada, “Sebab bagiku hidup adalah menari dan
menari pertama-tama adalah tubuh”; majas Simile pada “Seperti
Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel
telur dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh
berhutang kepada tubuh (hlm. 115); “Mereka menerima dominasi
pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal” (hlm. 160).

Sastrawan juga memanfaatakan imaji/citraan yang orisinal.


Misalnya citraan visual pada “Sebab bagiku hidup adalah menari
dan menari pertama-tama adalah tubuh”; “Seperti Tuhan baru
meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur dan
sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang
kepada tubuh” (hlm. 115). Citraan intelektual juga dimanfaatkan
dalam Saman. Misalnya, “Sebab bagiku hidup adalah menari dan
menari pertama-tama adalah tubuh” (hlm. 115), Seperti Tuhan
baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur
dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang
kepada tubuh (hlm. 115); “Mereka menerimanya sebagi nilai moral,
aku sebagai nilai estetik (hlm. 160).
Untuk mengungkapkan gagasan dalam Saman, dimanfaatkan
teori Kritik Sastra Feminis yang memandang karya sastra dengan

206 │ Pengkajian Sastra


kacamata perempuan atau dengan perspektif gender. Dalam hal ini
dugunakan teori Kritik Sastra Feminis ideologis. Cuplikan Saman di
atas mengungkapkan gagasan tentang perspektif gender yakni
kesetaraan laki-laki dengan perempuan atau pembagian peran
antara laki-laki dengan perempuan secara adil. Perhatikan kutipan
berikut.
Aku selalu bertanya apa yang dia lakukan. Aku dicium,
jawabnya suatu pagi. Tak boleh lagi kamu dicium, kataku,
besok-besok kamu harus ciuman (hlm. 128).

Kata “ciuman” –berbeda dengan “dicium” dan “mencium”


yang mengandung arti salah satu aktif dan/atau pasif-- merupakan
simbol atas kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Bahwa laki-laki
dn perempuan mestilah saling mengisi, saling melengkapi, posisi
keduanya adalah subjek dengan subjek, bukan subjek dengan
objek, bukan ordinat dan subordinat, bukan superior dengan
inferior.
Dapat dikatakan bahwa Saman merupakan resistensi Ayu
Utami –representasi kaum perempuan-- terhadap hegemoni
kekuasaan laki-laki atas kaum perempuan. Atau, resistensi
sastrawan terhadap dominasi kaum laki-laki yang dipandang
superior atas kaum perempuan yang dipandang inferior. Menurut
Ayu Utami, perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan dalam
peran sosialnya. Perempuan bukan subordinat laki-laki. Kutipan
berikut melukiskan hal itu.
Yang membedakan aku dari para wanita yang
mengukuhkan patriarki adalah aku melokalisasinya pada
fantasi seksual. Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu
ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan
melakukan seksualisasi terhadapnya. Mereka menerimanya
sebagi nilai moral, aku sebagai nilai estetik (hlm. 160).

Pengkajian Sastra │ 207


208 │ Pengkajian Sastra
BAB X
PENGKAJIAN DRAMA
ASPEK SOSIAL DRAMA ORDE TABUNG KARYA HERU
KESAWA MURTI: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA *)

A. Pendahuluan
Naskah lakon (drama) Teater Gandrik mayoritas ditulis oleh Heru
Kesawa Murti. Hanya sedikit sekali lakon yang ditulis anggota Teater
Gandrik lain. Lakon-lakon yang dipentaskan Teater Gandrik antara lain:
Kesandung, Meh, Kontrang-kantring, Pensiunan, Pasar Seret, Juru
Kunci, Sinden, Dhemit, Isyu, Orde Tabung, Juru Kunci, Upeti, Juragan
Abiyoso, Tangis, Proyek, Buruk Muka Cermin Dijual, Bragade Maling,
Mas Tom, Departemen Borok, Sidang Asusila karya Ayu Utami,
Keluarga Tot, dan sebagainya.
Orde Tabung (1988) adalah karya masterpeace Teater Gandrik.
Lakon itu diangggap sebagai salah satu lakon Murti yang cukup kuat
dari sisi estetik sehingga ketika dipentaskan tahun 1988 mendapat
pujian dari banyak pengamat teater. Permasalahan Orde Tabung cukup
futuristik, yakni mengisahkan tentang kehidupan manusia kelahiran
tabung pada Zaman Baru tahun 2095. Pada saat itu bayi-bayi tabung
yang diproduksi saat itu akan menjadi masyarakat mayoritas di dunia
pada seabad berikutnya. Mereka dapat mengendalikan kekuasaan
bahkan merancang generasi yang serba prima dan jenius. Dalam
tatanan pemerintahan Orde Tabung, semua manusia yang lahir secara
alamiah disingkirkan dan dijadikan objek pariwisata untuk meng-
gantikan sektor minyak dan gas yang telah habis. Drama Orde Tabung
merupakan renungan muram tentang masa depan kehidupan umat
manusia ketika kemajuan teknologi dan nafsu telah merajai hati nurani

Pengkajian Sastra │ 209


manusia modern. Itulah salah satu permasalahan menarik dari Orde
Tabung sehingga tema dan penokohan lakon tersebut perlu dikaji
dengan pendekatan sosiologi sastra.
Karya seni adalah hasil aktivitas manusia. Sebagai bagian
komunitas masyarakat, seniman akan selalu memanfaatkan kehidupan
sekitarnya sebagai bahan untuk karyanya baik dalam bentuk realis
maupun simbolis. Harjana (1981:71) mengatakan bahwa secara
langsung atau tidak, daya khayal seniman dipengaruhi (bukan
ditentukan) oleh lingkungan kehidupannya, termasuk di dalamnya
buku-buku bacaan. Dengan demikian, sesuatu yang dikatakan seniman
dalam karyanya dapat sebagai suatu usaha menanggapi realitas di
sekitarnya, berkomunikasi dengan realitas, dan menciptakan kembali
realitas itu di dalam karyanya (Kuntowijoyo, 1981:18). Melalui karya-
karyanya ia berusaha menanggapi realitas sosial yang berupa
pendewaan yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan, khususnya
teknologi bayi tabung yang ada di sekitarnya, berkomunikasi dengan
realitas itu, dan akhirnya menciptakan kembali realitas itu dalam
drama-dramanya.
Jika dicermati, munculnya peristiwa-peristiwa sosial dan
tindakan-tindakan tokoh cerita yang penuh simbolik itu secara
sosiologis berkaitan dengan kondisi sosio-historis masyarakat Indonesia
semasa rezim Orde Baru tahun 80-an. Berbagai fakta sosiologis yang
terdapat dalam Orde Tabung diasumsikan berkaitan dengan faktor-
faktor eksternal di luar teks drama. Bagaimanapun juga seorang
dramawan adalah anggota masyarakat. Dengan demikian dalam
pemilihan bahan untuk karyanya tentu saja ia dapat dipengaruhi oleh
lingkungan hidupnya, interes pribadinya, dan interes itu sendiri
merupakan bagian dari suatu elemen dalam struktur masyarakat yang
lebih luas. Itulah sebabnya karya imajinantif pengarang walau sekecil
apapun dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis masyarakatnya.
Penelitian lakon Orde Tabung ini bertujuan untuk: (1) menge-
tahui tema dan penokohan lakon Orde Tabung; (2) ingin mengetahui
berbagai faktor sosial historis yang dimungkinkan menjadi pengaruh

210 │ Pengkajian Sastra


dalam penciptaan Orde Tabung; (3) ingin mengetahui pandangan dunia
pengarang lakon.

B. Kajian Teoretis
Kajian ini menggunakan teori sosiologi sastra dari Janet Wolf
yang dipadukan dengan strukturalisme genetik dari Lucien Goldmann.
Teori sosiologi sastra secara umum dikembangkan dari teori
materialisme yang dikemukakan Marx. Tugas utama teori materialisme
adalah memahami hubungan yang rinci antara bahasa, sastra dan seni,
di satu pihak, dan masyarakat, sejarah, dan dunia material, di lain pihak
(Fortier, 1997:103). Wolf mengatakan bahwa karakter ideologis karya
seni dan produk kultural, termasuk karya drama, ditentukan oleh faktor
ekonomi dan material lainnya (1981:60). Sehubungan dengan hal
tersebut, Wolf menggariskan bahwa kondisi sosial historis aktual
tempat karya seni diciptakan harus menjadi pertimbangan dalam
menjelaskan karya tersebut (Wolf, 1981:61). Seniman dan produsen
kultural dihadapkan pada keadaan tertentu yang berpengaruh dalam
proses penciptaan karya.
Wolf (1981:63) mengatakan bahwa berbeda dengan studi
sosiologi lainnya, estetika Marxis menempatkan produksi kultural dan
seniman lebih tepat pada struktur sosial yang menyeluruh dan konteks
historis. Pendekatan sosiologi sastra Marxisme melihat karya seni
sebagai struktur atas (super structure) dengan sistem ekonomi sebagai
dasarnya (Junus, 1986:26). Syarat penting dari produksi karya seni
adalah ketika karya seni itu sendiri merupakan bagian dan terhubung
dengan sistem ekonomi dalam masyarakat. Fortier (1997:103)
mengatakan bahwa dalam perspektif teori materialisme Marxisme
tradisional kebudayaan sebagai sebuah suprastruktur senantiasa
tergantung pada basis sosio-ekonomi. Mark Fortier menyatakan bahwa
metode suprastruktur cenderung mengarah kepada reduksionisme
yang menempatkan kebudayaan lebih ditentukan oleh ekonomi dan
seni seringkali merupakan refleksi langsung dari kondisi perekonomian.

Pengkajian Sastra │ 211


Teori Marxizme tradisional di atas dengan tegas ditolak oleh
Louis Althusser. Althusser mengatakan bahwa hubungan antara
ekonomi dan kebudayaan lebih banyak ditentukan sejumlah kekuatan
sejarah dibandingkan ekonomi (Fortier, 1997:104). Bagi Althusser, seni
bukan hanya bersifat ideologis, melainkan memberikan semacam jarak
dan wawasan yang dikaburkan oleh ideologi. Seni tidak memberikan
pemahaman ilmiah, tetapi mengungkapkan ketegangan dan komplek-
sitas yang berusaha ditutupi oleh ideologi. Berdasarkan pendapat
Althusser di atas dapat diambil kejelasan bahwa sebenarnya ia telah
menyempurnakan teori Marxisme tradisional tentang penciptaan karya
seni.
Dalam beberapa hal, seniman merupakan agen ideologi. Secara
sosiologis ide dan nilai karya seni terbentuk akibat interaksi seniman
yang intensif dengan kondisi sosial masyarakatnya. Seniman berkarya
dengan material teknis dari produksi artistik, sehingga ia juga bekerja
dengan material yang tersedia dari konvensi estetis (Wolf: 1981:65).
Artinya, dalam membaca produk kultural, perlu dipahami logika
seniman dari konstruksi dan kode estetis tertentu yang terlibat dalam
karyanya. Realitanya, ideologi tidak diekspresikan secara murni dalam
karya. Sebenarnya, karya seni itu sendiri merupakan ideologi yang
dibuat kembali dalam bentuk estetis sesuai dengan konvensi produksi
artistik kontemporer (Wolf, 1981:65).
Sifat ideologi seni dimediasi oleh level estetis dalam dua cara,
yakni melalui kondisi material dan sosial produksi karya seni, dan
melalui kode estetis dan konvensi yang ada (Wolf, 1981:66). Ideologi
tidak begitu saja direfleksikan dalam karya seni, tetapi dimediasi oleh
proses sosial yang kompleks. Mediasi dalam penciptaan karya seni
tersebut oleh Lucien Goldmann sebagai pandangan dunia (1981:112).
Goldmann selanjutnya mengatakan bahwa pandangan dunia merupa-
kan kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi, perasaan-
perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-
anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya
dengan kelompok sosial yang lain.

212 │ Pengkajian Sastra


Sosiologi sastra dari Wolf banyak menggali teori sosiologi
kesusasteraan yang dikembangkan Goldmann. Pendapat Althusser
yang menganggap karya seni lebih banyak ditentukan oleh sejarah
daripada ekonomi seperti dipaparkan di atas merupakan bentuk kritik
yang baik terhadap teori sosiologi sastra Marxisme. Dalam konteks itu,
berbagai teori sosiologi sastra yang dikemukakan Wolf, Goldmann, dan
Althusser yang saling melengkapi tersebut dipakai untuk mengkaji
berbagai faktor sosial historis yang menyebabkan Murti menciptakan
lakon Orde Tabung.

C. Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.
Objek penelitian ini adalah aktualisasi bahasa sastra dalam pendidikan
karakter bangsa. Data penelitiannya berupa soft data yakni bahasa
sastra meliputi kata, ungkapan, kalimat, dan wacana dalam karya
sastra yang mengandung muatan pendidikan karakter. Pengumpulan
data penelitian ini dilakukan dengan teknik pustaka, simak dan catat.
Validitas data dilakukan dengan trianggulasi sumber data. Adapun
analisis datanya dilakukan dengan metode dialektik dengan melakukan
analisis secara bolak-balik antara teks drama Orde Tabung dengan
realitas sosial historis guna melakukan interpretasi maknanya.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Analisis Struktur
a. Tema Cerita
Cerita pasti memiliki tema. Tema dipergunakan seorang
pengarang atau pencipta karya seni sebagai ide dasar
pengembangan cerita. Kernodle (1978:190) mengatakan bahwa
kadang-kadang seorang pengarang mengungkapkan tema cerita
secara implisit melalui karakter tokoh-tokoh, setting dan
sebagainya. Dikatakan lebih jauh oleh Kernodle

Pengkajian Sastra │ 213


bahwa tema sering dapat berupa nilai moral dari sikap yang
berkembang dalam sebuah kehidupan.
Berdasarkan pembacaan terhadap lakon Orde Tabung dapat
diketahui bahwa ternyata proyek pengembangbiakan manusia
melalui kelahiran tabung telah melahirkan sejumlah permasalahan
kemanusiaan cukup kompleks. Permasalahan tersebut antara lain
sikap diskriminatif yang berlebihan, ketidakjujuran antar individu,
dan sikap memuja-muja kemajuan teknologi secara berlebihan.
Permasalahan yang berkaitan dengan sikap diskriminatif
berlebihan tokoh Pembina Kota dapat dilihat ketika membuat
perlakuan yang cukup bertolak belakang antara manusia kelahiran
tabung dengan manusia konvensional. Misalnya, Pembina Kota (PK)
menjadikan warga keturunan tabung sebagai warga kelas satu,
sehingga berhak “mengisi serta menjalankan segala aspek
kehidupan kota”. Jadi, hanya orang-orang tabung yang berhak
mengisi struktur kebijakan kota. Sebaliknya, orang yang lahir dari
rahim ibu harus tinggal di rumah jompo menjadi objek wisata. PK
melarang hubungan perkawinan antara manusia kelahiran tabung
dengan manusia konvensional. Siapa pun yang melanggar
keputusan itu akan dibuang ke rumah jompo (Murti, 1988:4).
Sikap diskriminatif secara berlebihan terhadap manusia
konvensional membias pada rendahnya nilai-nilai kemanusiaan di
antara pejabat kota. Terbukti naluri kemanusiaan mereka menjadi
tumpul. Sekretaris Pembina Kota (SPK) tega membunuh manusia
tidak berdosa seperti Gerong yang dianggap mengotori kota. PK
pun tega membunuh Gerong ayahnya sendiri, karena khawatir
aibnya sebagai keturunan manusia konvensional dapat tersibak.
Proyek pengembangbiakan manusia tabung juga melahirkan
ketikjujuran sekaligus ketidakpatuhan terhhadap hukum atau
aturan-aturan yang dibuat para penguasa rezim tabung. Misalnya,
akibat takut terjerat dengan aturan-aturan hukum yang dapat
membawa para pejabat ke rumah jompo, maka para pejabat dan
keluarga pejabat harus bersikap bohong terhadap sesama pejabat.

214 │ Pengkajian Sastra


Agar rahasianya sebagai keturunan manusia konvensional tidak
terbuka, PK tega membunuh orang jompo bernama Suwuk yang
sesungguhnya adalah ayahnya sendiri (Murti, 1988:40).
Mengetahui tindakan suaminya, IPK mengajaknya ke rumah jompo,
karena suaminya jelas telah melanggar hukum yang dibuatnya
sendiri. PK menolak ajakan istrinya. Ketika di tengah-tengah
kekalutan antara perasaan berdosa telah membunuh ayahnya
dengan ajakan istrinya ke rumah jompo, tiba-tiba PK bunuh diri
dengan menembak keningnya sendiri.
Pengembangbiakan manusia tabung telah memunculkan
permasalahan tentang manusia-manusia rasional seperti PK, SPK
dll. yang terlalu percaya kepada kemajuan teknologi bayi tabung di
atas segala-galanya. Mereka terlalu meyakitu bahwa teknologi
kelahiran tabung akan mampu melahirkan “pemerataan
kejeniusan, sehingga nantinya semua orang jenius. Semua profesi
menjadi jenius” (Murti, 1988:5). Padahal, akhirnya terbukti bahwa
teknologi kelahiran tabung tidak membawa kesejahteraan lahir
batin kepada para pejabat kota yang merancang dan
mengembangkan proyek tersebut.
Pada akhir cerita Orde Tabung dapat disimak bahwa tokoh-
tokoh penting yang membidani pengembangan proyek kelahiran
tabung seperti PK, SPK, Suwelo, dan Astowasis tidak jelas nasibnya.
Tokoh Pembina meninggal dengan cara bunuh diri. SPK
terperangkap dalam tabung besar di laboratorium Balai PK,
sehingga tidak dapat bangun kembali (Murti, 1988:44). Tokoh
Suwelo berlari ketakutan pergi entah kemana akibat khawatir
diajak ke rumah jompo setelah mengetahui istrinya keturunan
manusia konvensional (Murti, 1988:29). Istri Suwelo tidak jelas
keberadannya setelah ia melarikan diri dari kejaran ayahnya
(Gerong) yang sangat merindukannya. Dokter Astowasis pun tidak
jelas nasibnya setelah terlibat konflik tentang status asal-usul
kelahiran mereka dengan SPK dan Suwelo. Ketidakjelasan nasib
tokoh-tokoh yang memuja-muja teknologi kelahiran tabung dan
menyia-nyiakan para jompo secara simbolis menyiratkan makna

Pengkajian Sastra │ 215


bahwa orang-orang jahat dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan
tidak berhak memiliki masa depan lebih lama.
Di pihak lain, tokoh-tokoh yang memiliki rasa kemanusiaan
tinggi seperti KDK dan IPK tetap dapat dilacak keberadaanya hingga
akhir cerita. Bahkan, KDK dan IPK menjadi saksi atas peristiwa
bunuh diri yang dilakukan PK. Peristiwa itu secara simbolis
bermakna bahwa tokoh-tokoh yang mengedepankan kebenaran
dan nilai-nilai kemanusiaan berhak hidup lama.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas dapat
disimpulkan bahwa tema cerita dapat dirumuskan dalam sebuah
kalimat yang berbunnyi “penciptaan teknologi baru tidak akan
membawa kebahagiaan lahir batin manusia tanpa dilandasi oleh
nilai-nilai kemanusiaan”.

b. Penokohan
George Kernodle (1978:267) mengatakan bahwa dalam
sebuah karya drama, plot adalah apa yang terjadi, sedangkan
karakter (tokoh) adalah mengapa sebuah tindakan terjadi. Lebih
jauh dikatakan oleh Kernodle bahwa motivasi adalah dasar dari
sebuah tindakan. Cara seorang tokoh berkembang dan berubah
dapat menjadi tindakan utama dari sebuah drama. Kenyataannya,
perkembangan, penemuan diri, pembelajaran, dan perubahan
dapat menjadi menarik untuk ditonton dan sangat dramatis
(Kernodle, 1978:269).
(1) Sekretaris Pembina Kota
Salah sau perwatakan tokoh SPK yang menonjol adalah tidak
memiliki sikap hidup yang jelas. Terbukti tindakan-tindakannya
bergerak berdasarkan program yang dibuat atasannya. Akibatnya,
ia tidak memiliki kreativitas untuk mengembangkan kepribadian-
nya. Misalnya, akibat telah diprogram untuk “meluruskan barang
yang bengkok”, maka ia menolak tindakan Dokter Astowasis (DA)

216 │ Pengkajian Sastra


yang akan menerima penghargaan dari pemerintah pusat atas
jasanya dalam pengembangan kelahiran tabung (Murti, 1988:18).
Menurut SPK yang berhak menerima penghargaan adalah PK
sebagai pemimpin tertinggi kota, bukan Dokter Astowasis.
Perilaku SPK di atas sekaligus mencerminkan SPK berwatak
suka menjilat atasan. Tindakan-tindakan SPK seringkali dimaksud-
kan untuk membuat senang PK, sebagaimana tampak pada kutipan
dialog berikut.
147. Sekretariss Pembina Kota:
(Tiba-tiba lansung bersemangat). Betul, betul! Kita memang
harus selalu berbuat baik! Nah, saudara-saudara marilah
berbuuat baik, demi kota tercinta itu. Ayo, berbuat. Hidup
berbuat baik! Hidup berbuat baik! (Memaksa para hadirin
bertepuk) Hidup berbuat baik! Hidup berbuat baik! (Kepada
Pembina Kota) Nah, Bapak Pembina Kota, lihatlah. Semua
pejabat kota tiba-tiba ingin senantiasa berbuat baik (Murti,
1988:18-19)

Ucapan-ucapan SPK tersebut tampak dimaksudkan untuk membuat


senang PK. Hal itu dapat disimak dari ucapan SPK yang mengulang-
ulang frasa PK tentang ajakan, “Mari hidup berbuat baik” sampai
empat kali. Melalui pengulangan tersebut SPK berusaha mencari
perhatian dari PK.
Karakter lain yang menonjol dari tokoh SPK adalah sebagai
seorang yang kejam atau tidak berperikemanusiaan. Hal itu tampak
saat ia mengancam akan menembak jidat KDK akibat tidak
melaksakan perintah untuk membunuh Gerong (Murti, 1988:34-
35). Dengan sesama pejabat tinggi kota, SPK tega akan menembak,
sehingga cukup masuk akal apabila ia menghabisi Gerong.
Fungsi kehadirannya dalam lakon itu adalah untuk
mempertegas warna karakter PK sebagai tokoh utama. PK yang
yang selalu silau terhadap teknologi kelahiran tabung telah

Pengkajian Sastra │ 217


menyebabkan SPK ikut mendukung program tersebut. Hadirnya
sosok SPK yang selalu menyuarakan kepentingan-kepentingan PK
juga berfungsi untuk memberi keseimbangan atau balans bagi
terbinanya alur dramatik dan pengembangan kepribadian dan
peradaban tokoh-tokoh pendukung Orde Tabung, baik sebagai
makhluk individu maupun sosial.
(2) Pembina Kota
Tokoh PK adalah penguasa tertinggi di masyarakat zaman
tabung. Sebagai penguasa yang mengembangkan komunitas
masyarakat kelahiran tabung ia memiliki sifat yang tegas, keras,
dan kejam. Sifat PK yang demikian tampak jelas ketika ia menyikapi
lepasnya orang-orang jompo, yakni memerintahkan semua
bawahannya agar, “Cari orang-orang jompo yang lepas itu. Kalau
perlu bunuh mereka! Bunuh! Bunuh!”(Murti, 1988:22). KDK
menolak keputusan tersebut, sebab orang jompo juga memiliki hak
untuk hidup.
Sikapnya sebagai manusia yang kejam, tidak manusiawi, dan
pembunuh tersebut diperlihatkannya saat ia membunuh orang
tuanya bernama Suwuk.
Pembina Kota tersenyum memandang Suwuk di
depannya itu. Suwuk mendekatinya sambil merentangkan
kedua tangannya seperti hendak memeluk Pembina Kota.
Tapi sebelum akhirnya Suwuk benar-benar memeluk Pembina
Kota yang dipandangnya sebagai anaknya itu, Pembina Kota,
diam-diam mencabut psitolnya dengan cepat sekali,
mengarah dekat sekali ke perut Suwuk.
Pembina Kota dengan cepat, menarik picunya.
Terdengar letusan pistol. Peluru pistol Pembina Kota tepat
menembus dada Suwuk, mengenai jantungnya. Suwuk
terpental kemudian roboh ke lantai, bersimbah darah dan
tidak pernah bergerak lagi. Suwuk tewas (Murti, 1988:40).

218 │ Pengkajian Sastra


Alasan utama pembunuhan tersebut adalah karena PK takut
statusnya sebagai bukan kelahiran tabung akan terbongkar.
Selain pembohong besar, PK juga memiliki kecende-rungan
melanggar hukum. Aturan hukum itu yang membuat PK dkk untuk
semua warga Zaman Baru. Hal itu tampak saat menolak ajakan
istrinya ke rumah jompo, padahal mereka telah berhubungan
badan hingga hamil.
331. Pembina Kota:
(Marah jengkel) Jangan bikin persoalan baru!
332. Istri Pembina Kota:
Itu bukan persoalan baru! Kita sudah melakukan skandal
besar. Hukumnya dibuang ke rumah jompo. Kamu tahu, di
hadapan hukum, di Zaman Baru itu, tidak perkecualian.
334. Pembina Kota:
Tapi ada hakim yang dapat menolong kita! (Murti, 1988:37-
38).

PK telah bersikap tidak konsisten, sebab berusaha melanggar


hukum yang telah dibuatnya sendiri. Perbuatan tersebut
mengindikasikan bahwa ia menggunakan standar ganda dalam
penegakan hukum. Ketika yang melanggar hukum orang lain, maka
aturan hukum akan ditegakkannya. Sementara itu, apabila
penguasa yang melanggar hukum, maka pelaksanaan hukum dapat
dikompromikan.
Dalam kedudukannya sebagai tokoh cerita, khususnya
sebagai tokoh sentral sekaligus protagonis, tokoh PK berfungsi
sebagai tokoh penggerak alur dramatik. Hal itu karena berkat
keputusannya tentang program kelahiran tabung, maka alur
dramatik Orde Tabung berkembang dengan berbagai kompleksitas-
nya. Ia juga berfungsi sebagai inspirator, motivator pola sikap dan

Pengkajian Sastra │ 219


seluruh perilaku tokoh yang mendukung lakon Orde Tabung, baik
secara psikologis maupun sosiologis.
(3) Istri Pembina Kota
Perwatakan IPK berbeda 180 derajat dengan PK. Apabila PK
cenderung melanggar aturan hukum yang dibuatnya sendiri, maka
IPK justru berusaha taat hukum. Hal itu dapat disimak dari sikap IPK
saat menghadapi masalah kehamilan yang dialaminya. Sesuai
aturan yang berlaku pada masyarakat Zaman Baru bahwa siapa pun
yang terbukti melakukan kontak seksual sampai hamil, maka orang
yang bersangkutan harus menghuni rumah jompo. Setelah
mengetahui suaminya melanggar hukum, ia terus mengajak PK ke
rumah jompo daripada “diarak keliling kota seperti maling
terperangkap” (Murti, 1988:38). Sebagai orang yang taat hukum, ia
menyadari bahwa pada Zaman Baru semua orang berkedudukan
sama di depan hukum.
Karena taat pada hukum, maka wajar apabila IPK juga
termasuk perempuan berwatak jujur kepada siapapun. Hal itu
tampak ketika di hadapan KDK ia membuka rahasia suaminya yang
bukan kelahiran tabung dengan mengatakan “Lihat! Orang jompo
itu sudah kamu bunuh, karena kamu takut ketahuan, bahwa
sebenarnya kamu bukan kelahiran tabung” (Murti, 1988:41).
Tindakan IPK di atas bukan pertanda tidak menghormati suaminya,
tetapi lebih merupakan penghormatannya terhadap aturan hukum,
kebenaran, dan kejujuran.
Dalam konteks itu, makna dan fungsi IPK dalam Orde Tabung
adalah semakin untuk memperjelas perwatakan PK yang tidak jujur,
pembohong, pembunuh, tidak manusiawi, dsb. Tokoh PK juga
berfungsi untuk mengkontraskan atau oposisi antara karakter PK
dengan IPK.
(4) Kepala Dinas Kemanan
Ditinjau dari sisi perwatakannya, KDK termasuk manusia
humanis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di atas segala-

220 │ Pengkajian Sastra


galanya. Karena itu ketika SPK, DA bersepakat ingin membunuh
para jompo KDK langsung menolak keras sembari mengatakan,
“Dokter! Saya lebih baik pensiun daripada harus membunuh!”
(Murti, 1988:23). Pernyataan KDK tersebut mencerminkan
keteguhan sikapnya atas rencana pembunuhan yang dianggapnya
tidak manusiawi. Pada kesempatan lain saat didesak Sekretaris
Pembina agar membunuh para jompo KDK mengatakan bahwa,
“Saya akan melaksanakan perintah membunuh, kalau orang jompo
itu melawan kami” (Murti, 1988:35). Sikap demikian menunjukkan
kelapangan jiwanya. Ia hanya mau membunuh apabila jiwannya
terancam.
Makna dan fungsi tokoh KDK dalam Orde Tabung adalah
untuk mempertegas warna sifat atau karakter PK, Sekretaris PK,
dan Dokter Astowasis yang cukup bertolak belakang dengan
perwatakannya. Makna dan fungsinya yang lain adalah untuk
memberi keseimbangan bagi terbinanya alur dramatik dan
pengembangan kepribadian tokoh lain khususnya PK, Sekretaris PK,
dan Dokter Astowasis.
(5) Dokter Astowasis
Karakter yang menonjol dari DA adalah sebagai manusia
yang tegas, tidak manusiawi, dan pembunuh. Sifat-sifat tersebut
terutama tampak tekadnya yang ingin membunuh para jompo
dengan alasan bahwa, “Kalau orang jompo menularkan penyakit,
kita semua itu dapat lenyap?” (Murti, 1988:23). Tindakan DA
mencerminkan sikap kebencian yang berlebihan terhadap para
jompo.
Makna dan fungsi tokoh DA dalam Orde Tabung adalah
untuk mempertegas warna sifat atau karakter PK, Sekretaris PK,
yang sama-sama berwatak sebagai pembunuh.
(6) Gerong dan Suwuk
Karakter yang menonjol dari Suwuk dan Gerong adalah tidak
mudah menyerah atau gigih dalam memperjuangkan cita-cita. Hal

Pengkajian Sastra │ 221


itu tampak jelas ketika mereka memiliki hasrat rindu yang kuat
untuk bertemu dengan anak-anak mereka. Hasrat tersebut
direalisasi dengan melarikan diri dari rumah jompo. Tujuannya
adalah untuk menghindari penangkapan dari aparat keamanan.
Akhirnya terbukti, bahwa Gerong harus mati diujung senapan
ketika sedang mengejar Istri Suwelo yang diyakitu sebagai anak
kandungnya (Murti, 1988:35). Sifat kegigihan tak pantang
menyerah dari Gerong demi mendekati anaknya harus berujung
dengan kematian.
Suwuk pun cukup gigih dalam berjuang mencari anaknya,
sekalipun semula ia agak ragu apakah perjuangannya akan berhasil.
Akan tetapi akibat usahanya yang tidak mengenal lelah maka ia
dapat menemukan anaknya. Seperti halnya Gerong, ternyata usaha
keras Suwuk untuk menemui anaknya sia-sia belaka. PK menembak
Gerong tepat di dada kiri, sehingga tewas (Murti, 1988:39).
Makna dan fungsi tokoh Gerong dan Suwuk dalam Orde
Tabung adalah untuk mempertegas warna sifat atau karakter PK,
Sekretaris PK, dan DA sebagai pembunuh, dan tidak
berperikemanusiaan.

2. Kondisi Sosial Historis Dekade 1990-an dan Pengaruhnya terhadap


Pandangan Dunia Pengarang
a. Kondisi Sosial Historis
1) Kondisi Politik
Kekuasaan rezim Orde Baru sejak kelahirannya hingga tahun
1990-an sepenuhnya didukung oleh militer (ABRI). Dominasi ABRI
dalam kekuasaan Soeharto terus dipertahankan melalui represi dan
kontrol yang ketat. Dalam hal itu, represi politik tidak hanya
diberlakukan terhadap eks-PKI, tetapi juga terhadap para pengikut
Soekarno termasuk para pendukung PNI (Partai Nasional
Indonesia), PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan para oposisi
(Irawanto, 1999:54). Sikap represif terhadap kelompok opsisi

222 │ Pengkajian Sastra


secara sistematik dilakukan dengan cara penyederhanaan partai
politik setelah Pemilu 1971, yakni fusi parpol dari 10 parpol
menjadi 3 parpol, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI), dan Golongan Karya
(Golkar). Sepanjang kekuasaan Orde Baru, Golkar berhasil
menguasai mayoritas MPR dan DPR.
Sebagai pemerintah, Orde Baru termasuk penguasa yang
kuat. Hal itu dapat dibuktikan oleh kenyataan bahwa berbagai
kebijakan politik yang ada cenderung hanya ditujukan demi
kepentingan penguasa yang memerintah daripada kepentingan dan
kehendak rakyat banyak (Akbar, 1994:211). Kekuatan rezim Orde
Baru dapat dibuktikan dengan tiadanya kekuatan politik yang
mampu menandinginya. Sementara itu, Mochtar Mas’oed
(1989:223-224) menyebut bahwa negara Orde Baru telah dikuasai
rezim otoriterisme birokratis. Kekuatan mutlak yang dimiliki rezim
Orde Baru terlihat jelas ketika mengambil keputusan politik.
Setiap usulan kebijakan dan RUU yang diusulkan kepada DPR,
inisiatifnya selalu berasal dari pemerintah yang kemudian
mendapat persetujuan DPR tanpa melalui perdebatan yang
panjang (Akbar, 1989:211). DPR akan selalu menyetujui usulan
pemerintah, karena lebih dari 70% anggota parlemen adalah
pendukung Soeharto. Para pendukung Soeharto di Parlemen terdiri
dari Golkar, Fraksi ABRI, beberapa anggota dari wakil Utusan
Golongan dan Daerah.
Sejak dekade 1970-an hingga akhir kejatuhan rezim Orde
Baru 1998, Golkar selalu berfungsi sebagai legitimator politik bagi
kekuasaan Soeharto. Melalui berbagai cara Golkar selalu
memenangkan Pemilu di Indonesia sejak Pemilu 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, hingga 1997. Rezim Orde Baru tampak berhasil
menekan setiap individu dan kelompok masyarakat yang mencoba
menentang kebijakan politiknya yang otoriter.

Pengkajian Sastra │ 223


2) Kondisi Sosial dan Ekonomi
Tujuan utama modernisasi (pembagunan) di Indonesia
adalah untuk memajukan ekonomi, yakni perubahan dari sistem
ekonomi agraria menuju sistem ekonomi industrialisasi. Harapan
umum yang ingin dicapai dari langkah di atas adalah dapat
merubah nasib rakyat Indonesia agar tidak berada di bawah garis
kemiskinan. Setelah pemerintah Orde Baru berkuasa, modernisasi
yang bertujuan mengadakan pembaharuan sosial ekonomi dan
bidang-bidang yang lain lebih gencar dilaksanakan. Pemerintah
Orde Baru merealisasi itu melalui Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) yang setiap tahapnya berlangsung lima tahun.
Pelita pertama dimulai pada tgl 1 April 1969. Stabilitas politik dan
tercapainya semangat persatuan dan kesatuan bangsa mem-
pengaruhi lancarnya proses modernisasi ekonomi di Indonesia.
Memang sejumlah keberhasilan yang ditunjukkan melalui
proses modernisasi kelihatan konkret. Misalnya, semakin
meningkat pendapatan perkapita, mampu berswasembada beras,
jumlah sarana pendidikan bertambah banyak dan seterusnya.
Selain itu, transformasi teknologi yang besar-besaran dari negara-
negara maju telah memungkinkan pembangunan berbagai industri
di Indonesia seperti industri pesawat terbang, penggunaan sistem
komunikasi satelit domestik (SKSD) di bidang teknologi
telekomunikasi dan informasi, dan masih banyak lagi keberhasilan-
keberhasilan lainnya.
Pembangunan jangka panjang yang digalakkan pemerintah
Orde Baru melalui tahapan-tahapan Pelita (Pembangunan Lima
Tahun) bertujuan mengubah dari masyarakat tradisional agraris
menjadi masyarakat maju yang bertendensi industrialisasi.
Kenyataanya, modernisasi yang telah dilakukan sejak zaman Orde
Lama dan lebih digalakkan oleh pemerintah Orde Baru telah
mengakibatkan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat.
Perubahan sosial pada zaman itu sangat kompleks dan cepat.
Kebanyakan perangsangnya berupa kekuatan global yang tidak

224 │ Pengkajian Sastra


tercakup dalam kebudayaan manapun, sementara pengaruhnya
juga tidak dapat ditolak kebudayaan mana pun juga (Soedjatmoko,
1986:191).
Dampak pembangunan telah menimbulkan sejumlah
masalah tentang perubahan dan pilihan nilai. Hal itu terjadi karena
terputusnya suatu gaya hidup, suatu diskontinuitas yang nyaris tak
terelakkan dalam proses pembangunan (Soedjatmoko, 1986:191).
Terjadinya perubahan masyarakat adalah suatu kenyataan, yaitu
kenyataan adanya gejala-gejala seperti kerenggangan hubungan
antar manusia, frustasi, kelumpuhan mental, pertentangan dan
perbedaan pendapat mengenal norma-norma susila yang telah
lama dianggap mapan. Gejala-gejala itu cukup sebagai bukti adanya
perubahan sosial. Adanya perubahan sosial juga ditandai
terganggunya keseimbangan antara kesatuan-kesatuan sosial
dalam masyarakat.
Sebenarnya penyebab langsung dari perubahan sosial adalah
karena majunya llmu pengetahuan, teknologi dan penggunaannya
dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, dan
sebagainya (Susanto, 1979:178). Semua fenomena di atas
mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama di
dalam masyarakat, yaitu terjadinya perubahan sosial di masyarakat
secara mendadak. Perubahan sosial adalah hasil proses-proses
yang sangat kompleks sebab di antara faktor-faktor penyebab
terdapat hubungan saling mempengaruhi dan saling menentukan.
Faktor ekonomi dan sosial memang mempengaruhi sistem nilai dan
keyakinan-keyakinan agama, namun demikian agama dan sistem
nilai budaya pun mempengaruhi faktor-faktor ekonomi dan sosial
(Suseno, 1986:77). Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
pendorong terjadinya perubahan sosial paling cepat. Perubahan
teknologi selalu lebih cepat daripada perubahan kebudayaan,
sebab perubahan kebudayaan memerlukan perubahan mental
sedangkan perubahan teknologi tidak harus memerlukan
perubahan mental. Agar perubahan sosial dapat mengarah kepada

Pengkajian Sastra │ 225


kemajuan, maka perubahan mental perlu mendukung perubahan
sosial.
Masyarakat sering lupa bahwa kemajuan teknik mempunyai
akibat atas masyarakat. Dalam abad ke-20, manusia bukan lagi
sebagai subjek namun objek dari teknologi atau modernisasi pada
umumnya. Dampak perubahan sosial dapat dirasakan melalui
kenyataan runtuhnya sistem nilai tradisional, kaidah perilaku,
perilaku yang telah mentradisi tanpa adanya kerangka acuan lain
yang dapat dipahami dan semua itu sudah menyebabkan hilangnya
berbagai keyakinan esensial yang dibutuhkan manusia untuk
bimbingan, jaminan dan hiburan spiritual (Soedjatmoko, 1984:191).
Berbagai penyakit mental yang menjangkiti masyarakat modern
atau masyarakat industri maju seperti di Jepang, Amerika dan
negara-negara Eropa antara lain disebabkan pengaruh sosiologis
dan psikologis yang timbul akibat pendewaan terhadap kemajuan
ilmu pengeta-huan dan teknologi tinggi dengan pola hidup modern
yang dikondisikan oleh keberhasilan kedua bidang tersebut
(Wachid, 1976:20).

3. Pandangan Dunia Pengarang (World of View)


Seperti diketahui bahwa pandangan dunia bukanlah
pandangan dunia kolektif kelompok atau kelas sosial tertentu
dalam interaksinya dengan dunia. Pandangan dunia merupakan
konsep abstrak yang menyatukan suatu kelompok tertentu dan
membedakannya dengan kelompok atau kelas sosial lainnya.
Menurut Goldmann (1970:538), sebagai fakta kemanusiaan, karya
sastra merupakan respon subjek terhadap situasi di sekitarnya, dan
usaha untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan
aspirasi-aspirasinya. Golmann juga mengatakan bahwa karya sastra
merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan
yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia di sekitarnya.
Dalam karya sastra, ada pada sifat tematiknya karena karya sastra
merupakan strukturasi pandangan dunia pengarang dan kelompok

226 │ Pengkajian Sastra


sosialnya. Jadi, pandangan dunia pengarang yang dipengaruhi
kelompok sosialnya akan mengental sebagai pemersatu dan
menjiwai struktur karya sastra sebagai keseluruhan.
Dari analisis struktur tema dan penokohan lakon Orde
Tabung dapat diketahui bahwa permasalahan yang digarap
pengarang dalam lakon tersebut berkisar pada kecenderungan
perilaku manusia modern yang terlalu meyakini kemajuan
teknologi (bayi tabung) sebagai media menciptakan manusia-
manusia masa depan, dengan mengesampingkan nilai-nilai
kerohanian. Permasalahan tersebut dikonkritkan melalui sosok PK,
SPK, DA, Suwelo. Mereka sangat yakin bahwa manusia kelahiran
tabung memilki keunggulan di semua bidang dibandingkan manusia
konvensional.
Dampak negatif kemajuan iptek dan modernisasi di
Indonesia memang belum separah di negara-negara maju.
Sekalipun demikian bukan berarti gejala-gejala yang mengarah ke
sana belum kelihatan. Misalnya, mulai tumbuhnya dekadensi moral
da lam masyarakat, kecenderungan manusia berpikir rasional dan
pragmatis, kecenderungan manusia mengagung-agungkan nilai-
nilai adhi duniawi dan sebagainya. Selain itu, juga semakin terlihat
rapuhnya solidaritas sosial yang dapat berlanjut pada mengecil nya
nilai-nilai kemanusiaan.
Adanya kekhawatiran seperti di atas bukan tanpa alasan.
Pembangunan di Indonesia tidak lama lagi akan memasuki era
tinggal landas (1994, ketika lakon itu diciptakan). Pembangunan
dua puluh lima tahun tahap kedua akan dimulai. Pada masa
tersebut perekonomian Indonesia banyak ditopang oleh sektor
perindustrian. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi akan
semakin banyak termanifestasikan dalam banyak sektor kehidupan.
Menyongsong abad ke-21 diharapkan Indonesia menjadi negara
industri yang mampu berswasembada melaksanakan pem-
bangunan.

Pengkajian Sastra │ 227


Pada masa itu masyarakat Indonesia sedang menuju masa
depan yang sulit diramalkan. Tetapi bangsa Indonesia tetap harus
mampu menjalani proses itu tanpa kehilangan arah, frustasi,
terasing, tanpa kehilangan sopan santun, rasionalitas dan berbagai
sumber inspirasi (Soedjatmoko, 1986:191). Dalam konteks
demikian itulah modernisasi harus dipahami. Pada mulanya, suatu
modernisasi sering diartikan sebagai proses ketertinggalan dari
Barat, terutama dalam bidang materi dan teknologi. Menjelang
abad ke-21 itu negara industri maupun berkembang, lemah
maupun kuat mulai sadar bahwa mereka tidak siap menghadapi
zaman yang sulit diramalkan (Soedjatmoko, 1986:192). Untuk itu,
semua bangsa harus melakukan introspeksi dan menjenguk ke
dalam.
Heru Kesawa Murti melihat situasi sosial semacam itu
sebagai sesuatu yang tidak normal sehingga harus diluruskan.
Tampaknya pandangan dunia Heru Kesawa Murti dan kelompok
sosialnya, seperti para cendekiawan, seniman, intelektual dan
sebagainya tentang proses modernisasi dan kemajuan iptek yang
lebih mengedepankan keberhasilan material atau nilai-nilai
material, bukan nilai-nilai spiritual, menjadi penggerak ide karya-
karyanya. Sebagai seorang intelektual yang senantiasa terlibat atau
menjadi saksi setiap gerak nadi kondisi sosial politik bangsanya,
maka kelahiran drama-dramanya yang mengangkat ide-ide yang
menjadi kegelisahan masyarakatnya bukanlah hal aneh.
Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural
yang besar merupakan fakta sosial. Seorang individu dengan
dorongan libidonya tak akan menciptakannya. Yang dapat men-
ciptakannya hanya subjek trans-individual (Goldmann, 1981:97).
Subjek kolektif merupakan subjek yang dapat mengatasi individu,
yang di dalamnya hanya merupakan bagian dari suatu kolektivitas.
Relevansinya dengan karya seni modern, subjek karya itu
bersumber pada kelompok sosial yang kecil yang masih berpikir
tentang nilai-nilai otentik. Kelompok itulah yang termasuk
kelompok sosial pengarang yang di dalamnya juga tercakup
seniman, filosof, teologian dan sebagainya (Goldmann, 1977:11).

228 │ Pengkajian Sastra


Goldman dengan teori itu percaya adanya homologi antara
struktur teks dengan struktur masyarakat (Faruk, 1994:16).
Hubungan antara kedua struktur itu tidak bersifat langsung, tetapi
dimediasi oleh pendangan dunia sebagai kompleks menyeluruh
gagasan-gagasan, aspirasi, dan perasaan-perasaan yang meng-
hubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suautu kelom-
pok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok
sosial lain (Goldmann, 1981:112). Pandangan dunia merupakan
kesadaran yang mungkin tidak dapat dipahami oleh setiap individu.
Dengan adanya pandangan dunia dapat dilacak genetika atau asal-
usul lahirnya suatu karya berdasarkan homologinya dengan kondisi
sosial tertentu yang menjadi latar belakangnya.
Murti, dalam konteks itu, dapat dikatakan sebagai subjek
dari karya-karyanya. Sebagai dramawan Murti masih berpikir
tentang nilai-nilai otentik bagi perbaikan tatanan kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai otentik itu secara implisit tampak dari nilai-
nilai yang diperjuangkan tokoh Istri Pembina Kota (IPK). IPK
mengajak PK untuk taat kepada aturan hukum yang berlaku, yakni
pergi ke rumah jompo untuk menebus kesalahan besar yang telah
mereka perbuat. Istri Pembina kota dapat dikatakan sebagai tokoh
hero dalam drama itu, yakni tokoh yang masih berpikir tentang
nilai-nilai otentik bagi perbaikan tatanan sosial politik
masyarakatnya. Pada saat drama Orde Tabung ditulis, yakni tahun
80-an, perjuangan untuk mendapakan nilai-nilai otentik tidak hanya
menjadi obsesi Murti, tetapi juga kelompok sosial pengarang yang
lain seperti cendekiawan, mahasiswa, dan seniman.
Fenomena sosial di atas itulah yang dimungkinkan menjadi
penyebab lahirnya Orde Tabung. Pada hakikatnya tokoh PK, SPK
dan lain-lain adalah "potret" manusia-manusia yang menjadi
korban dampak negatif dari pemujaan iptek dan moderni-sasi
secara berleihan. Dampak negatif modernisasi memang bukan lagi
tampak menggejala namun justru telah lama membudaya tanpa
kita sadari (Siregar, 1987:57).

Pengkajian Sastra │ 229


Dengan demikian, Orde Tabung tidak lahir begitu saja dari
kekosongan nilai dan norma-norma sosial. Orde Tabung lahir dari
fakta-fakta yang menjangkiti masyarakat di sekitar pengarang.
Tentu saja fakta-fakta itu telah dijalin atau disusun sedemikian rupa
dengan berbagai tambahan yang bersumber pada pikiran, imajinasi
dan sumber-sumber bacaan serta pengalaman batin pengarang
(Sahid, 2008:75).

E. Simpulan
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa drama
Orde Tabung bertema, “penciptaan teknologi baru tidak akan
membawa kebahagiaan lahir dan batin manusia tanpa dilandasi oleh
nilai-nilai kemanusiaan”. Sementara itu, tokoh hero drama itu dalah
Istri Pembina Kota, sebab dia lah yang membawa atau masih menganut
nilai-nilai otentik bagi perbaikan tatanan kehidupan masyarakat Zaman
baru. Nilai-nilai otentik yang tersebut adalah kepatuhan terhadap
aturan-aturan sosial dan hukum yang yang telah disepakati para
pejabat Zaman Baru.
Aneka ragam fakta sosiologis yang terimplikasi dalam Orde
Tabung dapat diasumsikan berkaitan dengan faktor-faktor eksterinsik
atau eksternal di luar teks. Murti sebagai pengarang sekaligus
intelektual Indonesia tampak interes terhadap berbagai dampak
negatif dari pemujaan terhadap pemujaan teknologi bayi tabung dan
modernisasi secara berlebihan di berbagai tempat, termasuk
Indonesia. Sebagai seorang seniman yang humanis sesungguhnya
bukan mustahil jika tertarik dengan fenomena di atas. Ia pun
senantiasa harus terlibat dengan persoalan sosial yang dihadapi atau
mungkin akan dihadapi masyarakatnya. Jadi, karya imajinatif buah
cipta Murti itu walau sekecil apa pun dipengaruhi kondisi sosial historis
masyarakat Indonesia pada dekade 1980-an.

230 │ Pengkajian Sastra


DAFTAR PUSTAKA

Abar, Akhmad Zaitu. 1995. Kisah Pers Indonesia 1966-1974. Yogyakarta:


LkiS.
Faruk H.T. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994.
Fortier, Mark. 1997. Theory Theater. London: Routledge.
Goldmann, Lucien. 1970. “The Socilogy of Literature: Status and
Problem of Method” Dimuat dalam Milton C. Albrecht dkk (Eds.).
The Sociology of Art and Literature, New York: Praeger Publisir.
. 1981. Towards a Sociology of Novel. London: Tavistock.
Kernodle, George & Portia Kernodle. 1978. Invitation to the Theatre.
New York: Harcourt Brace Javanovich.
Kuntowijoyo. 1981. “Peristiwa Sejarah dan Sejarah Sastera” dalam Tifa
Sastra Nomor 42/XI.
Hardjana, Andre. 1982. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Mas’oed, Mohtar. 1994. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Murti, Heru Kesawa. 1988. Orde Tabung. Yogyakarta: Naskah Tidak
Diterbitkan.
Nuryanto. “Penerapan Metode Content Analysis dalam Bidang
Penelitian Bahasa dan Seni”. Makalah Lokakarya Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Yogyakarta, 11-13 Mei 1992.
Sahid, Nur. 2008. Sosiologi Teater. Yogyakarta: Pratista.
Siregar, Sori. “Sumur Tanpa Dasar, Keimanan yang Bergeming
Membuat Hidup Porak Poranda” dalam Sarinah, No 133, 26
Oktober 1987.

Soedjatmoko. 1984. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.

Pengkajian Sastra │ 231


. 1986. “Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Nilai-nilai Spiritual”
dalam Kompas, Edisi 29 Juni 1986.
Soemanto, Bakdi. 2000. “Interkulturalisme dalam Teater Kontemporer:
Kasus Kelompok Gandrik Yogyakarta” dalam Nur Sahid (Ed.).
Interkulturalisme dalam Teater, Yogyakarta: Yayasan untuk
Indonesia.
Susanto, Astrid S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial.
Bandung: Bina Cipta.
Suseno, Franz Magnis. 1986. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
Wolf, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: Martin’s
Press.

*) Hasil modifikasi dari tulisan Nur Sahid berjudul “Tema dan


Penokohan Drama Orde Tabung Teater Gandrik: Kajian Sosiologi
Sastra”, atas izin penulisnya.

232 │ Pengkajian Sastra


DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the
Critical Tradition. New York: Oxford University Press.
. 1981. A Glosary of Literary Term. New York: Holt, Rinehart &
Winston Inc.
Al-Ghazali. 1992. Misykat Cahaya-cahaya (Terj. Muhammad Bagir).
Bandung: Mizan.
Ali, Lukman. 1989. Dari Ikhtisar Masalah Angkatan sampai Catatan
Kaki. Bandung: Angkasa.
Bantock, G.H. 1968. Culture, Industrialization and Education. London:
Routledge and Kegan Paul.
Barthes, Roland. 1973. Mythologies (Terj. Annette Lavers) London:
Paladin.
. 1984. Image, Music, Text. Cetakan VI (Terj. Stephen Heath)
New York: Hill and Wang.

Benson, Paul. 1993. Anthropology and Literature. Chicago: University


of Illinois Press.
Budianta, Melani; Husen, Ida Sundari; Budiman, Manneke; dan
Wahyudi, Ibnu. 2003. Membaca Sastra. Pengantar Memahami
Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesiatera.
Chamamah-Soeratno, Siti. 1990. "Hakikat Pengkajian Sastra", dalam
Gatra Nomor 10/11/12. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.
Chapman, Seymour. 1980. Story and Discourse, Narrative Structure in
Fiction and Film. Itacha: Cornell University Press.
Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics: Structuralism Linguistics
and the Study of Literature. London: Rotledge & Kegan Paul.

Pengkajian Sastra │ 233


. 1981. The Pursuit of Signs. London: Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusasteraan Indonesia Modern,
Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.
Daradjat, Zakiah. 1983. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental.
Jakarta: Gunung Agung.
Darma, Budi 1983. Solilokui Kumpulan Esai Sastra. Jakarta: Gramedia.
. 1990. ”Sastra Indonesia Mutakhir” dalam Aminduddin (Ed.).
1990. Sekitar Masalah Sastra Beberapa Prinsip dan Model
Pengembangannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Departemen Agama. 1983/ 1984. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup
Beragama. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan
Agama.
. 1984/ 1985. Pokok-pokok Kebijaksanaan Menteri Agama
dalam Pembinaan Kehidupan Beragama. Jakarta: Projek
Pengkajian Keagamaan Badan Pengkajian dan Pengembangan
Agama.
Derrida, Jacques. 1967. Of Grammatology. Baltimore, Md: John
Hopkins University.
Ekadjati, Edi S. (Ed.). 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya.
Jakarta: Girimukti Pustaka.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian Antropolgi Sastra.
Yogyakarta: Ombak.
Esten, Mursal. 1989. Kesusastraan: Pengantar Teori Sejarah. Bandung:
Angkasa.
Goldman, Lucien. 1977. Towards a Sociology of the Novel. (Terj.Alan
Sheridan). Tavistocks Publication Limited.

234 │ Pengkajian Sastra


. 1981. Method in the Sociology of Literature. Trans. by
William Q. Boelhower). England: Basil Blackwell.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. New York: Bantam
Books.
Hadikusuma, Djarnawi. 1980. Ilmu Akhlaq Teori dan
Praktek. Yogyakarta: Persatuan.
Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika,
Religiusitas. Yogyakarta: Matahari
Hatlen, Theodore W. 19620. Orientation to the Theatre. New
York: Apleton Century – Crofts.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotic. London:
Methuen and Co. Limited.
Ismail, Taufiq. 2000. “Tentang Cara Menjadi Bangsa Rabun
Membaca dan Lumpuh Menulis Pula sehingga Jelas di
Dunia Kita Pakar Terkemuka”, dalam Bahasa Indonesia
dalam Era Globalisasi. Jakarta: Depdiknas.
. 2002. “Setelah Menguap dan Tertidur 45 Tahun”.
Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional XII di Yogyakarta
tanggal 8-10 September 2002 Kerja sama Majalah
Horison, Lembaga Kebudayaan Jepang, Balai Bahasa
Yogyakarta, dan Universitas Ahmad Dahlan.
Jassin, H.B. 1978. Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Jakarta:
Djambatan.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kasijanto dan Damono, Sapardi Djoko. 1981. "Tifa Budaya:
Sebuah
Bunga Rampai". Jakarta : LEPPENAS.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar
Harapan.

Pengkajian Sastra │ 235


K.H., Ramadhan. 1965. Priangan Si Jelita. Jakarta: Balai Pustaka.
. 1978. Keluarga Permana. Jakarta: Pustaka Jaya.
K.M., Saini. 1988. Teater Modern Indonesia dan Beberapa
Masalahnya Bandung: Binacipta.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Tera.
Lazar, Gillian. 1993. Literature and Language Teaching, Answer
Guide Teachers and Trainers. United Kingdom: Cambridge
University Press.
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mc Kee, James B. 1981. Sociology, the Studi of Society. New York:
Holt, Rinehart & Winston Inc.
Mohamad, Goenawan, 1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta Sinar
Harapan.
. 1982. "Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini" dalam
Satyagraha Hoerip, Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta:
Sinar Harapan.
Moody, H.L.B. 1971. Theaching of Literature. London: Longman.
Norris, Christopher. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Oemarjati, Boen. S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Kritik Sastra Indonesia Modern
Telaah dalam Bidang Teoritis dan Kritik Terapan.
Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
. 1997. Sastra Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

236│ Pengkajian Sastra


Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Pegangan Guru
Pengajar Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rampan, Korry Layun. 2000. Sastra Indonesi Angkatan 2000.
Jakarta: Grasindo.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik
Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2011. Antropologi Sastra; Peranan Unsur-unsur
Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rendra. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.
Riffaterre, Michail. 1978. Semiotics Poetry. Bloomington &
London: Indiana University Press.
Rosenblatt, Louise M. 1983. Literature as Exploration. New York:
The Modern Association of America.
. 2007. ”Adolescent Literature Class”, dalam
<http://education.ua.edu. The University of Alabama>
(diakses 18 Agustus 2007).
Rudy, Rita Inderawati. 2010. “Mengangkat Peran Sastra Lokal
dengan Konsep Sastra untuk Semua bagi Pembentukan
Karakter Bangsa” dalam Anugrayekti, Novi. Ideosinkrasi.
Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS
Universitas Negeri Jakarta dan Keppel Press.
Saidi, Ridwan. 1984. Islam dan Moralitas Pembangunan. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Salmon, Claudine. 1982. Literature in Malay by the Chinese of
Indonesia. Paris: Maison des Aciences de l'Hommo.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 1988. "Tiga Lakon dari Jakarta:
Indonesia? Ada!” dalam Esten, Mursal (Ed.). Menjelang
Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan.
Bandung: Angkasa.

Pengkajian Sastra │ 237


. 2002. “Bagaimana Sastra Membangun Bangsa” dalam
Riris K. Toha-Sarumpaet (Ed). Sastra Masuk Sekolah.
Magelang: Indonesiatera.
Sarup, Madan. 2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme:
Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-


unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PT
Pustaka Pelajar.

Sastrowardoyo, Subagyo. 1989. Pengarang Modern sebagai


Manusia Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran:
Beberapa Catatan”, dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (Ed).
Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesiatera.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary
Theory. The Harvester Press: Sussex.
Segers, T. Rien. 1978. The Evaluation of Literarry Texts. Lisse: The
Peter de Ridder Press.
Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori
Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang.
Sudjiman, Panuti. 1988. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
. 1990. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra
Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
. 1991. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
. 1982. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik.
Yogyakarta: Nur Cahaya.

238│ Pengkajian Sastra


Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (Terj.
Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan
Simatupang. Jakarta: Intermasa.

Pengkajian Sastra │ 239


INDEKS

A
Alur, 34, 57, 79
apresiasi sastra, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 18, 19, 20, 22
arkitipal, 56, 57, 78, 79
artefak , 29, 30, 138,

B
Bahasa, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 21, 46, 47
Budaya, 41, 46, 47, 80, 118, 161, 166,

C
cerpen, 82, 83, 105, 147, 200, 204
citraan, 38, 51, 56, 57, 58, 59, 60, 98, 173, 177, 206

D
dimensi sosial, 95, 184, 185, 196
drama , 101, 102, 103, 110, 113, 114, 115,
dulce et utile, 6, 7

E
Ekspresif, 9, 42, 43, 53, 66, 97, 134, 147, 175, 178
Estetik , 2, 5, 8, 9, 10, 49, 73, 75, 88, 97, 106, 138, 154, 155, 211

F
fakta cerita, 42, 84, 86
fiksi , 5, 14, 15, 42, 45, 52, 57, 59, 73, 74, 80, 82, 83, 84, 85, 87,
88, 105, 107, 114, 142, 144, 162, 170
filsafat , 16, 27, 44, 78, 79, 153,161, 178

I
Interteks, 149, 150, 151, 152, 175, 176, 179, 180, 182, 187

240 │ Pengkajian Sastra


K
khasanah sastra, 81, 107
konflik sosial, 144, 148, 152, 153
kritik sastra, 12, 25, 29, 30, 32, 34, 35, 156, 157

M
makna, 4, 9, 10, 11, 14, 17, 21, 22, 31, 39, 42, 45, 47, 48, 130, 131, 132
majas, 38, 57, 62, 63, 64, 65, 66, 172, 173, 177, 204, 205, 206
mimetik, 42, 43, 178
metafora, 38, 60, 63, 64, 65, 93, 172, 173, 206

N
novel, 1, 8, 9, 14, 22, 30, 47, 73, 74, 75, 76, 77, 80, 81, 83, 97, 114, 142
novel mutakhir, 76, 77

P
personifikasi, 38, 64, 66, 177
pragmatik, 42, 43, 148
puisi, 4, 5, 9, 14, 36, 37, 43, 49, 50, 68, 69, 70, 98, 151, 169, 171

R
resepsi sastra, 154, 155

S
sarana sastra, 9, 42, 51, 61, 84, 96
sastra, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 16, 24, 29
semiotik, 47, 48
simile, 44, 45, 46, 137, 138, 139
simbol, 8, 17, 23, 53, 89, 100, 140,
struktur, 30, 42, 51, 129, 130
struktur naratif, 87, 88, 91
strukturalisme dinamik, 136, 137
strukturalisme genetik, 132, 133, 211
sufistik, 27, 173, 183, 184, 185

Pengkajian Sastra │ 241


T
Tasawuf, 173, 175
Tema, 6, 22, 37, 70, 71, 84, 85, 86, 105, 106, 109, 131, 165,
209,210

242 │ Pengkajian Sastra


GLOSARIUM

alur: alur sering disebut juga plot dalam fiksi; ada alur maju (progresi)
dan alur mundur (regresi) atau flashback di samping alur
campuran.
analisis sastra: telaah sastra atau pengkajian sastra untuk membongkar
unsur-unsur/struktur karya sastra kemudian mengungkapkan
gagasan/maknanya.
apresiasi sastra: penghargaan dan penilaian karya sastra yang didasari
oleh pemahaman yang benar; diperlukan latihan yang terus-
menerus dan lama untuk dapat mengapresiasi suatu karya
sastra.
budaya: hasil olah pikir dan akal budi manusia yang meliputi seluruh
kehidupan manusia baik menyangkut ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian, pekerjaan, dan sebagainya.
dimensi sosial keagamaan: aspek sosial yang berkaitan dengan masalah
keagamaan
estetik: rasa keindahan, bersifat indah
feminisme: sebuah aliran yang berpandangan dan memperjuangkan
agar perempuan sejajar/setara dengan kaum laki-laki
frustrasi: tekanan jiwa yang sangat berat sehingga pelakunya
mengalami tekanan mental dan ketidaktenangan hidup
genetik: asal-usul sesuatu
idiom: ungkapan, dua kata/lebih yang membentuk makna kias.
interteks: pendekatan dalam analisis sastra yang memandang karya
sastra transformasinya memiliki hubungan dengan hipogramnya,
karya yang menjadi dasar penciptaannya
konflik sosial: pertikaian atau perpecahan masyarakat yang bersifat
horisontal antaretnik, ras, suku, agama, atau golongan.

Pengkajian Sastra │ 243


kritik sastra: penilaian atas karya sastra untuk mengetahui kelebihan
dan/atau kelemahan sebuah karya sastra dengan mengemuka-
kan argumentasi yang logis.
kritik sastra feminis: sebuah teori sastra yang berpandangan bahwa
karya sastra juga harus dikaji dengan perspektif perempuan,
dengan paradigma gender sebagai intinya.
latar: berbagai aspek yang menjadi latar cerita dalam karya sastra baik
latar tempat, waktu, maupun sosial/suasana.
majas: ungkapan yang menyimpang dari makna harfiahnya yang dapat
membekas pada pikiran, perasaan, dan kesadaran pembacanya;
ungkapan dengan menggunakan makna kias.
pengkajian sastra: telaah atau analisis atas karya sastra untuk
mengungkapkan unsur-unsur/strukturnya lalu dilanjutkan
dengan mengungkapkan gagasan/makna yang terkandung di
dalamnya.
penokohan: penampilan tokoh cerita baik dari aspek fisiologis,
psikologis, maupun sosiologis
konflik horisontal: perpecahan atau perseteruan antar-elemen dalam
masyarakat baik disebabkan oleh masalah gesekan antar-etnik,
antar-agama, antar-budaya, maupun antar-golongan dalam
masyarakat
korupsi: mengambil kekayaan negara atau milik perusahaaan/lembaga
yang bukan haknya dengan cara yang tidak benar untuk
memperkaya diri
semiotik: ilmu tentang tanda yang memandang karya sastra sebagai
sistem komunikasi tandayang memiliki makna tertentu.
sosiologi sastra: ilmu yang mengkaji hubungan antara karya sastra
dengan aspek sosial kemasyarakatan; sastrawan merupakan
wakil dari kelas sosialnya.
stress: tekanan mental yang berat akibat peristiwa yang dialami dalam
kehidupan seseorang.

244 │ Pengkajian Sastra


struktur: wujud bangunan karya sastra yang terdiri dari unsur-unsur
yang saling berhubungan secara fungsional; satu dengan yang
lain saling mendukung sehingga membentuk satu kebulatan dan
keutuhan dalm mendukung totalitas makna
strukturalisme: sebuah paham yang berpandangan bahwa unsur-unsur
yang membentuk struktur sastra membentuk sebuah kebulatan
dan keutuhan dalam membentuk totalitas makna; tiap unsur
hanya berarti jika merupakan bagian dari yang lainnya.
strukturalisme dinamik: paham yang berpandangan bahwa struktur
karya sastra itu bersifat dinamis, bergerak antara struktur
dengan mimetik, pengarang, dan pembaca.
strukturalisme genetik: paham yang berpandangan bahwa struktur
karya sastra itu tidak terlepas dari aspek sosiohistrois atau asal-
usul pengarangnya
struktur naratif: susunan atau struktur cerita dalam fiksi yang terdiri
dari urutan tekstual dan urutan kronologis
takwa: inti/esensi ajaran agama Islam yang terdiri dari aqidah, ibadah,
dan amal shalih
tema: ide dasar; landas tumpu; gagasan pokok yang nelandasi suatu
karya sastra; tema inilah yang mendorong pengarang untuk
menciptakan karya.
telaah sastra: analisis sastra; pengkajian sastra (lihat di atas)

Pengkajian Sastra │ 245

Anda mungkin juga menyukai