Disusun Oleh :
Kelompok 3
Gaby Stephanie Renata P3.73.24.2.19.012
Kheziah AmandaHermawan P3.73.24.2.19.019
Nur Afni Silviatama P3.73.24.2.19.023
Putri Asih P3.73.24.2.19.025
Rahma Zahra P3.73.24.2.19.028
Sheila Novarinta P3.73.24.2.19.035
Dosen Pengampu :
Nessi Meilan, S.S.T., M.Kes.
KELAS IIA
PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas
berkat rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
yang berjudul “Analisis Issue Bank Sperma dalam Pelayanan Kebidanan”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata
kuliah Etika dan Hukum Kesehatan di Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Jakarta III.
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan, baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingatkan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dan dalam pembuatan makalah ini, kami juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu kami, khususnya kepada Dosen kami
yang telah memberikan petunjuk serta bimbingannya kepada kami, sehingga dapat
terselesaikannya pembuatan makalah ini.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
b. Bagaimana sejarah lahirnya bank sperma?
c. Bagaimana motif pembentukan bank sperma?
d. Apa alasan pendonor mendonorkan spermanya?
e. Bagaimana proses bank sperma?
f. Bagaimana perspektif social ethics tentang bank sperma?
g. Bagaimana hubungan bank sperma dan aspek kependudukan?
h. Bagaimana perspektif agama islam terhadap bank sperma?
i. Apa sajakah kontra terkait tentang bank sperma?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, tujuan makalah yang
hendak disajikan yaitu:
Analisis Issue Bank Sperma dalam Pelayanan Kebidanan
a. Untuk mengetahui pengertian dari bank sperma.
b. Untuk mengetahui sejarah lahirnya bank sperma.
c. Untuk mengetahui motif pembentukan bank sperma.
d. Untuk mengetahui alasan pendonor mendonorkan spermanya.
e. Untuk mengetahui proses bank sperma.
f. Untuk mengetahui perspektif social ethics tentang bank sperma.
g. Untuk mengetahui hubungan bank sperma dan aspek kependudukan.
h. Untuk mengetahui perspektif agama islam terhadap bank sperma.
i. Untuk mengetahui kontra terkait tentang bank sperma.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Secara medis, bank sperma dapat dimanfaatkan oleh mereka yang
produksi spermanya terganggu, seperti vasektomi atau tindakan medis lain
yang dapat menurunkan fungsi reproduksi seseorang. Dengan bank sperma,
semen dapat dibekukan dan disimpan sebelum vasektomi untuk
mempertahankan fertilitas sperma.
4
untuk punya keturunan (Zallum 2007), tetapi mereka takut kalau nanti mereka
tidak akan menghasilkan semen yang cukup secara jumlah dan kualitas,
ketika mereka berencana untuk memiliki keluarga.
5
Adapun tujuan diadakan bank sperma adalah sebagai media untuk
membantu pasangan suami istri yang sulit memperoleh keturunan dan
menghindarkan dari kepunahan sama halnya dengan latar belakang muncul-
nya bank sperma seperti yang telah dijelaskan.
6
d. Seseorang akan memasuki daerah kerja yang berbahaya yang memungkin-
kan orang tersebut terpapar racun reproduktif.
e. Seseorang akan menjalani beberapa prosedur yang dapat mempengaruhi
kondisi testis, prostat, atau kemampuan ejakulasinya (seperti: operasi usus
besar, pembedahan nodus limpha, operasi prostat).
f. Seseorang yang akan menjalani vasektomi. (Hasan, 2000: 164)
7
hidup lebih lama. Metode utama penyimpanan sperma cair (liquid semen)
adalah menyimpan sperma pada suhu 0°C-15°C. Spermatozoa yang
disimpan pada suhu dingin, biasanya mengalami cekaman dingin (Cold
Shock). Untuk mengurangi terjadinya cekaman dingin dapat dilakukan
dengan pendinginan secara gradual atau menambahkan lipid ke dalam
bahan pengencer. Lipid berbagai sumber mampu menahan atau me-
ngurangi pengaruh cekaman dingin terhadap spermatozoa.
Pengenceran sperma dengan menggunakan bahan kuning telur fosfat
digunakan untuk penyimpanan sperma sapi, demikian juga kuning telur-
sitrat. Bahan pengencer sperma dengan menggunakan sitrat terdiri dari:
2,37 gram sodium-sitrat; 0,50 gram glukosa; 15 ml kuning telur; 100.000
IU penisilin; dan 100 mg streptomisin, semuanya dimasukkan ke dalam
air, distilasi hingga 100 ml. Dengan tingkat ketahanan yang bervariatif
tergantung teknik pengawetan yang digunakan dengan jangka waktu
maksimal 14 jam. Berbeda dengan metode penyimpanan dalam bentuk
cair, sperma beku dengan menggunakan nitrogen cair memiliki daya tahan
fertilitasnya selama 50 tahun, namun daya hidup sperma diperkirakan
hingga 3000 tahun dalam penyimpanan tersebut.
c. Proses Pelaksanaan Rekayasa Genetika
Tentang proses pelaksanaan rekayasa genetika, dapat menggunakan
metode amniocentesis (Waltz 2000, 16), sperma yang akan diambil atau
dibeli dari bank sperma untuk dimasukkan ke dalam alat kelamin perem-
puan (ovum) agar bisa hamil disebut dengan inseminasi buatan, yaitu suatu
cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan.
Pertama, setelah sel telur dan sperma didapat atau telah dibeli dari bank
sperma yang telah dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan
sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu,
antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in
vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi
teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim. Untuk
menghindari kemungkinan kegagalan, penanaman bibit biasanya lebih dari
satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang.
8
2.6 Perspektif Social Ethics tentang Bank Sperma
Dalam perspektif social ethics, keberadaan cryobanking sebagai media
penyimpanan sperma manusia membuka peluang adanya keberadaan
pendonor sperma untuk menyimpan spermanya, dan akan bermanfaat bagi
pasangan infertile sehingga menghidupkan kembali harapan untuk
mempunyai keturunan. Tentu sperma yang didonorkan perlu menjalani
pemeriksaan, baik dari segi kualitas maupun dari segi pendonor seperti
adanya kelainan-kelainan genetik, dan kesehatan pendonor sperma.
Menurut Beauchamp dan Childress (1994), dalam kasus bank sperma
(cryobanking) terdapat 4 dasar moral (moral principle) terkait dasar bioetik.
a. Pertama, prinsip autonomy (self-determination), prinsip yang meng-
hormati hak-hak pendonor sperma, terutama hak otonomi pasien (the
rights to self determination) dan merupakan kekuatan yang dimiliki pasien
untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan wacana informed consent.
b. Kedua, prinsip tidak merugikan (non-maleficence), prinsip menghindari
terjadinya kerusakan atau prinsip moral yang melarang tindakan yang akan
memperburuk keadaan pendonor sperma. Prinsip ini dikenal sebagai
primum non nocere atau above all dono harm.
c. Ketiga, prinsip murah hati (beneficence), prinsip moral yang mengutama-
kan tindakan yang diarahkan pada kebaikan pendonor sperma atau
penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan keuntungan tersebut dengan
risiko dan biaya. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, tetapi juga perbuatan yang sisi baiknya (al-mashlahah) lebih
besar daripada sisi buruknya (mudharat).
d. Keempat, prinsip keadilan (justice), prinsip moral yang menekankan nilai
fairness atau keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan
sumber daya (distributive justice) atau pendistribusian dari keuntungan,
biaya dan risiko secara adil. (Purwadianto 2003)
Menurut Jonsen AR-Siegler, bank sperma dalam perspektif etika klinik
disebutkan bahwa ada empat pelayanan esensial klinik.
9
a. Pertama, medical indication, dimasukkan semua prosedur diagnostik dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien (pendonor sperma)
dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini akan ditinjau dari
sisi etiknya, dan terutama manggunakan kaidah dasar bioetik beneficence
dan non-maleficence. Dimensi social ethics nya berkaitan dengan penyam-
paian seluruh informasi kepada pendonor sperma yang selayaknya di-
terima dengan doktrin informed consent.
b. Kedua, patient preferences, dimana kita memperhatikan nilai (value) dan
penilaian tentang manfaat dan beban yang diterimanya, yang berarti
cerminan kaidah autonomy. Aspek etiknya meliputi persoalan kompetensi,
pendonor sperma, sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas
informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan
keyakinan yang dianut pasien.
c. Ketiga, prinsip quality of life, bentuk aktualisasi salah satu tujuan dunia
medis, yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup
manusia, meskipun dengan cara yang berbeda. Terkait dengan apa, siapa,
dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan
etik sekitar prognosis, yang terkait dengan kaidah dasar bioetik, bene-
ficence, non-maleficence dan autonomy.
d. Keempat, prinsip contextual features adalah loyalty and fairness,
membicarakan persoalan etik aspek non medis yang mempengaruhi
keputusan untuk melakukan donor sperma, seperti faktor keluarga,
ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor
hukum. (Jonsen, 2002)
Perkembangan pesat bank sperma dewasa ini, mendorong saintis tidak
akan menutup mata dalam hal ini, mau tidak mau ia harus melibatkan
intergrasi dengan semua keilmuan, terlebih agama sebagai pemberi nilai
moral-etisnya, maka pengembangan etika biomedis (bioetika) menjadi
penting (Bertens, 2005).
Apabila dilihat dari bioetika, bank sperma tidak bisa berdiri sendiri sebagai
wacana medical science, tetapi bioetika menjadi landasan bagi pendonor
sperma yang berkaitan dengan persoalan atau isu-isu sosial, agama, ekonomi
10
bahkan politiknya. Selain berkaitan dengan bank sperma, bioetika juga
membicarakan masalah medis yang lain, seperti abortus, eutanasia,
transplantasi organ, teknologi reproduksi buatan dan rekayasa genetika,
membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam
lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan
tradisional, lingkungan kerja, demografi dan sebagainya. Bioetika memberi
perhatian yang besar terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sosial
kemasyarakatannya, dengan kata lain, bioetika akan memberikan landasan
social ethics bagi bank sperma, baik dari sisi medical ethics maupun medical
law yang mengarah kepada human as biopschycosocial creature.
Menurut Maxwell J Mehlman, bioethicist USA, menyebutkan bahwa
kemajuan bio medis bank sperma sebagai bentuk revolusi dalam masyarakat
kedokteran. Mehlman menyebutkan lima revolusi tersebut:
a. Revolusi dalam bidang genetika forensik.
b. Revolusi dalam bidang informasi genetika.
c. Revolusi terapis.
d. Revolusi dalam genetika behavioris.
e. Revolusi dalam peningkatan mutu genetik dengan berlebihan (genetic
enhancement).
Revolusi dalam peningkatan mutu genetik ini sebagai the fifth revolution,
karena revolusi di bidang ini akan menjadi sangat riskan dan mengkhawatir-
kan untuk masa depan umat manusia itu sendiri (Mehlman 2003, 18).
Secara ekonomis, dampak dari rekayasa genetika adalah maraknya
perdagangan sperma dan ovum dari kalangan genius dan selebriti, yang akan
mendapatkan keuntungan yang besar (Burley 2000, 127-162), dan hal ini
merupakan efek negatif dari keberadaan bank sperma itu sendiri.
Menurut Gilbert Meilaender, ahli etika USA, bahwa manusia modern bisa
merancang keturunan sesuai dengan kehendaknya yang mengedepankan
prinsip keutamaan belas kasih (compassion) dan kompromi (consent)
(Meilaender 2001, 26). Keutamaan belas kasih yang palsu akan menggerak-
kan kita untuk melenyapkan segala macam penderitaan sebisa mungkin, dan
dengan keutamaan kompromi, yaitu menuntut agar tindakan belas kasih kita
11
ini diprivatkan. Keutamaan belas kasih melahirkan keinginan untuk me-
rancang generasi penerus manusia yang bukan dalam taraf biasa saja, tetapi
dalam kualitas yang lebih dengan beberapa kelebihan. Karena itu, bentuk
genetic enhancement yang digunakan untuk mensuplai generasi penerus
“super” yang dirancang manusia modern dengan berbagai kualitas genetis
unggul harus dilakukan (Zuhdi 1988, 18). Dalam hal ini, Rothman menyebut
dengan istilah “manusia sebagai produk” dari manusia lain, yaitu manusia
hasil inseminasi buatan. Sebagai produk, manusia hasil inseminasi buatan
bisa disingkirkan kapan saja semau yang memproduksi selama ia tidak
mempunyai kualitas (Ashley OP 1997, 248). Manusia sebagai produk, tidak
lagi dipandang sebagai manusia yang memiliki kedudukan yang sama,
seorang yang mempunyai harkat kemanusiaan (human dignity), dan bahkan
manusia yang “tidak diciptakan” oleh Tuhan, karena hasil kreasi manusia
(human creation).
Menurut Ian G. Barbour (2000), dalam kasus inseminasi buatan dengan
pola amniocentesis, menempatkan agama dan sains pada posisi konflik
(Barbour 2000, 52), yang disebabkan oleh tiga hal; pertama, ujaran tekstual;
kedua, prinsip kehormatan tubuh manusia; dan ketiga, prinsip sakralitas
ciptaan Tuhan. Dalam Islam perkawinan adalah hal yang penting, mengingat
dari aspek ini akan memberikan bagi landasan hukum yang lain, seperti
nasab/perwalian, waris, dan lainnya. (Mahjuddin 2003, 5)
Adanya cryobanking yang mendorong rekayasa genetika dengan
inseminasi buatan mempunyai efek yang panjang dalam kajian hukum Islam.
Misalnya dengan inseminasi buatan dengan tiga teknik, yaitu: pertama,
pembuahan dipisahkan dari hubungan suami–istri; kedua, wanita sewaan
untuk mengandung anak. Dalam perjanjian sewa rahim ditentukan banyak
persyaratan untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait. Wanita
yang rahimnya disewa biasanya meminta imbalan yang besar. Pasangan
suami istri bisa memilih wanita sewaan yang masih muda, sehat, dan punya
kebiasaan hidup yang baik. Praktik seperti ini menjadi perdebatan ketentuan
hukumnya, misalnya bagaimana wanita yang disewa rahimnya ingin
mempertahankan bayinya dan menolak uang pembayaran?, kemudian
12
siapakah yang akan disebut sebagai orang tua, atau ibu dari bayi, orang yang
menyewa rahim atau orang yang disewa rahimnya sekaligus yang melahirkan
anak tersebut?; Ketiga, sel telur atau sperma dari seorang pendonor atau bank
sperma. Masalah akan menjadi lebih sulit karena sudah masuk unsur baru,
yaitu benih dari orang lain (1) apakah pembuahan yang dilakukan antara sel
telur istri dan sel sperma dari orang lain sebagai pendonor sperma itu perlu
diketahui atau disembunyikan identitasnya? (2) apakah pendonor sperma itu
perlu tahu kepada siapa benihnya telah didonorkan?
Menurut teori etika Martin & Schinzinger (1994), yang dirujuk dari teori
kewajiban John Rawls disebutkan bahwa kasus inseminasi buatan merupakan
tindakan yang dilakukan mengikuti prinsip-prinsip yang akan disetujui oleh
semua pelaku yang rasional dalam situasi kontrak hipotetis yang menjamin
sikap tidak berpihak (Martin 1994, 456). Inseminasi buatan sebagai efek
keberadaan cryobanking jika dilihat lebih dalam lagi, maka akan banyak
persoalan yang jauh lebih kompleks, misalnya terkait dengan kondisi
psikologis, ekonomis, maupun sosial etis dari pengguna program ini.
Adanya bank sperma yang berefek pada inseminasi buatan dalam
pandangan bioetika menawarkan pemecahan masalah dari konflik moral,
meliputi konflik yang timbul dari kemajuan pesat kedokteran, diikuti
penerapan teknologi yang terkait dengannya akan berbenturan dengan
ideologi keilmuan lain, seperti ilmu hayati, medis, hukum, ilmu sosial bahkan
teologi itu sendiri. Semua hanya menyisakan pertanyaan, bagamaina bentuk
relasi yang harus dikonstruksi antara agama dan sains dalam konteks bio-
teknologi seperti bank sperma, siapa yang berhak memberikan justifikasi
hukum atas persoalan tersebut, agama atau sains?
13
seperti Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Ahmad al-
Ribashy, dan Zakaria Ahmad al-Barry. Sedangkan secara organisasi, yang
menghalalkan inseminasi buatan jenis ini Majelis Pertimbangan Kesehatan
dan Depertemen Kesehatan RI, MUI DKI Jakarta, dan lembaga Islam OKI
yang berpusat di Jeddah.
Secara prinsip, keberadaan bank sperma dan inseminasi buatan, maka
demi kehati-hatian ulama mengharamkannya. Misalnya, sperma dari orang
lain ditanam pada rahim istri. Di antara yang mengharamkan adalah Lembaga
fikih Islam OKI, Majelis Ulama (MUI), Muktamar Tarjih Muhammadiyah
ke-21 di Klaten pada 6-11 April 1980, Muktamar NU ke-28 pada November
1989, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy dan Zakaria Ahmad
al-Barry dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya percampuran nasab dan
hal-hal yang tidak diinginkan (SK MUI Nomor: Kep-925/MUI/XI/1990).
Sedangkan negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum
negaranya, tidak diperbolehkan dilakukannya inseminasi buatan dengan
donor dan sewa rahim. Misalnya di Libya, dalam perubahan hukum pidana-
nya tanggal 7 Desember 1972 melarang semua bentuk inseminasi buatan
dengan sperma suami didasarkan pada premis bahwa hal itu sama dengan
merubah rancangan Tuhan. Demikian juga negara di Barat, seperti Swiss
melarang dilakukannya inseminasi buatan dengan donor.
Dengan demikian, hukum pendirian bank sperma bisa mubah jika
bertujuan untuk memfasilitasi suami isteri yang ingin menyimpan sperma
suaminya di bank tersebut, sehingga jika suatu saat nanti terjadi hal yang
dapat menghalangi kesuburan, istri masih bisa hamil dengan cara inseminasi
yang halal. Tetapi jika tujuan pendirian bank sperma untuk mendonorkan
sperma kepada wanita yang bukan istrinya, maka pendirian bank sperma
tersebut haram, karena hal yang mendukung terhadap terjadinya haram maka
hukumnya haram. Selain itu, munculnya wacana bank sperma dan konsep
bayi tabung memunculkan diskursus baru terkait dengan zina. Dalam konsep
lama disebutkan, zina adalah hubungan badan tanpa adanya ikatan pernikahan
yang dihukumi tidak sah dalam agama (Illahi 2005, 27). Dalam zina juga
dimungkinkan penularan penyakit kelamin yang akan dapat menurun kepada
14
generasi berikutnya (Sa’iddah 2001, 8). Konsep zina yang lama perlu untuk
didekonstruksi dan redefinisi zina itu sendiri, apakah bayi tabung yang
mempertemukan ovum dan sperma orang lain dapat disebut sebagai
perzinaan, atau perzinaan hanya bertemunya alat kelamin semata?.
Islam menganjurkan umatnya untuk memiliki banyak keturunan, tetapi
Islam juga menekankan aspek pendidikan anak itu sendiri, seperti dengan
jalan pencegahan kehamilan atau penjagaan jarak kehamilan dalam kondisi
tertentu demi kepentingan (mashlahat) keluarga, masyarakat, dan Negara
(Zainab tt, 180). Secara medis, ada beberapa teknik untuk ber-KB–seperti
dengan alat kontrasepsi (pantang berkala, spermatizid, kondom, IUD/spiral,
tubektomi/vasektomi, dan morning-after pil). Pengaturan kelahiran oleh
pemerintah dengan program KB (family planning), jika ditinjau dari aspek
fikih—seperti Mahmud Syalthut, jika dilakukan untuk mengatur interval
kelahiran dan alasan kesehatan anak dan ibu, maka sejalan dengan Q.S. Al-
Baqarah: 233. Sedangkan Yusuf Qardhawi, dalam melaksanakan KB harus
didasarkan pada beberapa ketentuan, antara lain:
a. Pertama, kekhawatiran terhadap terganggunya kehidupan dan kesehatan
ibu dan anak (Q.S. Al-Baqarah: 195, an-Nisa’: 49).
b. Kedua, kekhawatiran terhadap bahaya dalam urusan dunia akan
mempersulit ibadah (Qs. Al-Baqarah: 185).
c. Ketiga, peringatan Allah bahwa dunia merupakan permainan yang akan
melalaikan segala urusan akhirat (Q.S. Al-Hadid: 20).
d. Keempat, kekhawatiran akan terganggunya pendidikan anak (Q.S. Al-
Furqon: 74). (Qardhawi 1994)
Kebolehan KB telah menjadi ijma’ulama—seperti lembaga fikih Islam
(Majma’ alFiqih al-Islami), yaitu OKI seperti tertuang dalam SK. No 39 (1/5)
memfatwakan kebolehan dalam penjagaan/pengaturan interval kehamilan,
sebagaimana kesepakatan suami istri. Sedangkan MUI dalam Musyawarah
Nasional (Munas) Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan
Pembangunan pada tahun 1983–membolehkan KB dalam pengertian tanzim
al-nasl, yaitu pengaturan jarak kehamilan, dan bukan tahdid al-nasl. Apabila
persoalan KB dikaitkan dengan kebijakan negara, jumlah penduduk yang
15
overpopulated, secara prinsip program ini diarahkan untuk kesejahteraan
rakyat (Heriyanto 2000, 45). Program KB yang diselenggarakan negara
selama ini mendapatkan stigma negatif dan kurang mendapatkan respon dari
masyarakat, karena pendekatan negara bersifat represif, intimidasi, bahkan
penculikan, ini menjadi preseden buruk negara bahwa KB hanyalah
kepentingan politik semata. Banyak dari kalangan aktivis perempuan yang
menilai program KB akan membuka kemungkinan terjadinya pelanggaran
hak-hak reproduksi secara serius, menurut Foucault bahwa pengaturan tubuh
secara politik oleh negara disebut “bio‒politik.”
Islam menilai bahwa KB pada dasarnya diperbolehkan (mubah), dan ia
bisa menjadi haram atau wajib tergantung apakah program KB tersebut
mengarah kepada kemashlahatan atau sebaliknya. Hal ini sejalan dengan
kaidah ushuliyyah: “di mana ada mashlahat, maka disitulah ada hukum Allah.
ُ ث اِ ٰلى نِ َسٓائِ ُك ْم ۗ ه َُّن لِبَا سٌ لَّـ ُك ْم َواَ ْنـتُ ْم لِبَا سٌ لَّه َُّن ۗ َعلِ َم هّٰللا
ُ َصيَا ِم ال َّرف ِّ اُ ِح َّل لَـ ُک ْم لَ ْيلَةَ ال
ب َعلَ ْي ُك ْم َو َعفَا َع ْن ُك ْم ۚ فَا ْلــ ٰئنَ بَا ِشرُوْ ه َُّن َوا ْبتَ ُغوْ ا َما َ اَنَّ ُک ْم ُك ْنتُ ْم ت َْختَا نُوْ نَ اَ ْنفُ َس ُک ْم فَتَا
َب هّٰللا ُ لَـ ُك ْم ۗ َو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َح ٰتّى يَتَبَيَّنَ لَـ ُك ُم ْالخَـ ْيطُ ااْل َ ْبيَضُ ِمنَ ْال َخـي ِْط ااْل َ س َْو ِد َ َکت
ۗ صيَا َم اِلَى الَّ ْي ِل ۚ َواَل تُبَا ِشرُوْ ه َُّن َواَ ْنـتُ ْم ٰع ِكفُوْ نَ ۙ فِى ْال َم ٰس ِج ِد ِّ ِمنَ ْالفَجْ ِر ۖ ثُ َّم اَتِ ُّموا ال
هّٰللا هّٰللا
ِ ك ُح ُدوْ ُد ِ فَاَل تَ ْق َربُوْ هَا ۗ َك ٰذلِكَ يُبَيِّنُ ُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلنَّا
َس لَ َعلَّهُ ْم يَتَّقُوْ ن َ تِ ْل
16
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah
Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang Telah ditetapkan Allah untukmu (QS. 2 [al- Baqarah] : 187)”.
Namun, hubungan perkawinan yang wujud ini bukanlah semata-mata
untuk mendapatkan kepuasan seks, tetapi merupakan satu kedudukan
untuk melestarikan keturunan manusia secara sah atau sebagai wahana
hifdhun nasl. Karena itulah kehadiran anak merupakan hal yang didamba-
kan oleh orang tua sebagai generasi penerus dari keluarganya.
Dalam Islam perkawinan merupakan hal yang penting, mengingat dari
perkawinan ini akan menentukan hukum yang lain yang muncul dari sebab
nasab, seperti perwalian, warits dan lainnya. Namun demikian tidak semua
pasangan memiliki kemudahan dalam mendapat keturunan, tetapi ada
sebagian mereka yang sulit mendapat keturunan yang disebabkan oleh
kurangnya kesuburan, mengidap suatu penyakit atau alasan lain. Maka,
mucullah gagasan mendirikan bank sperma.
Kehadiran bank sperma merupakan peluang bagi pasangan yang sulit
untuk mendapatkan keturunan untuk memiliki keturunan melalui jalan
lain, yaitu membeli sperma dan diinseminasikan ke dalam rahim istri. Hal
itu bisa dilakukan dengan mudah di zaman yang sudah maju seperti
sekarang ini.
17
merupakan tergolong perbuatan yang tidak etis. Mengenai masalah hukum
onani fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak
dan ada yang mengharamkan pada suatu hal-hal tertentu, ada yang
mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi
makruh. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa Malikiyah, Syafi`iyah, dan
Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa
Allah memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan kecuali
kepada isteri dan budak yang dimilikinya. Sebagaimana dalam surat 23
[Q.S. Al-Mu’minun] ayat 5-7:
“ Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu [995]
Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”.
Hanabilah berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena
takut zina, maka hukumnya menjadi wajib, kaidah usul:
18
Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibnu Muhammad Al-Husainy juga
mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteri atau
ammahnya karena itu memang tempat kesenangannya:
لَ ِوا ْستَ ْمنَىـ ال َّر ُج ُل بِيَ ِد ا ْم َرأَتِ ِه َجازَ أِل َنَّهَا َم َح ُل ا ْستِ ْمتَا ِع ِه
19
Secara organisasi, yang menghalalkan inseminasi buatan jenis ini Majelis
Pertimbangan Kesehatan dan Syara`a Depertemen Kesehatan RI, Mejelis
Ulama` DKI Jakarta, dan lembaga Islam OKI yang berpusat di Jeddah.
Selain kasus tersebut (sperma dari suami ditanam pada rahim isteri) demi
kehati-hatian maka ulama mengharamkannya. Contoh sperma dari orang
lain ditanam pada rahim isteri. Di antara yang mengharamkan adalah
Lembaga fiqih Islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut,
Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy dan zakaria ahmad al-Barry dengan
pertimbangan dikhawatirkan adanya percampuran nasab dan hal-hal yang
tidak diinginkan lainnya. Hal ini sesuai dengan keputusan Majelis Ulama
Indonesia tentang masalah bayi tabung atau inseminasi buatan.
Dengan demikian hukum pendirian bank sperma bisa mubah jika bertujuan
untuk memfasilitasi suami isteri yang ingin menyimpan sperma suaminya
di bank tersebut, sehingga jika suatu saat nanti terjadi hal yang dapat
menghalangi kesuburan, isteri masih bias hamil dengan cara inseminasi
yang halal. Adapun jika tujuan pendirian bank sperma adalah untuk
mendonorkan sperma kepada wanita yang bukan isterinya, maka pendirian
bank sperma adalah haram, karena hal yang mendukung terhadap
terjadinya haram maka hukumnya haram.
20
Sebagai suatu ajaran, Islam diyakini mampu menyentuh segala aspek lini
kehidupan dengan pedoman utama Al-Qur’an dan sunnah. Dari rujukan
kedua sumber inilah ummat Islam dituntut mampu meretas segala
permasalahan yang ada, termasuk masalah yang lahir dari kemajuan
pemikiran manusia dari berbagai disiplin ilmu yang tentunya akan
berimplikasi baik secara langsung ataupun tidak terhadap keberagamaan.
Salah satu masalah yang lahir dari hasil kemajuan pemikiran manusia
adalah sperma donor.
Berdasarkan pada putusan dewan pimpinan MUI sperma donor difatwakan
haram karena statusnya disamakan dengan hubungan kelamin antar lawan
jenis di luar pernikahan yang sah (zina) dan berdasar kepada sadd az-
zari‟ah, yaitu untuk menghindari terjadinya perbuatan zina yang se-
sungguhnya. Fatwa MUI ini sejalan dengan hadist Nabi yang artinya
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat
untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain”. (HR. Abu daud)
Di dalam menjawab persoalan tentang bank sperma ini, maka sebagai
mana dijelaskan kita wajib merujuk Al-Qur’an dan sunnah. Kita telah
mengetahui realita berkenaan bank sperma dimana ia adalah tempat untuk
menyimpan sperma laki-laki. Terdapat dua hukum yang perlu dipahami di
sini. Pertama, hukum adanya bank sperma, dan Kedua, hukum mengguna-
kan persetujuan bank tersebut yakni mendapatkan sperma laki-laki untuk
disatukan dengan sel telur perempuan untuk mewujudkan kehamilan.
Kami akan membahas hukum yang kedua terlebih dahulu, karena inilah
yang menjadi tujuan terwujudnya bank sperma tersebut yaitu untuk
mendapatkan anak. Perlu diperhatikan bahwa dalam proses persenyawaan
di dalam tabung uji untuk menghasilkan kelahiran tersebut disyaratkan sel
sperma tersebut mestilah milik suami dan sel telur mestilah milik istri. Dan
sel telur istri yang telah dibuahi mestilah diletakkan kembali ke dalam
rahim istri. Tentu menjadi haram hukumnya mana kala sperma seseorang
bisa dibeli atau diberikan kepada wanita yang bukan istrinya, sebab nanti
wanita itu akan mengandung anak yang bukan dari benih suaminya yang
sah, melainkan dari laki-laki lain yang tidak pernah mengawininya.
21
Kecuali bila bisa dipastikan bahwa penyimpanan sperma itu terjamin tidak
akan diberikan kepada siapapun kecuali istrinya yang sah. Diriwatkan dari
ibnu Abbasra bahwa Rasul saw pernah bersabda: “Siapa saja yang
menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayah-nya, atau (seorang
hamba) bertuan (taat) kepada selain tuannya maka ia akan mendapat laknat
dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia”. (HR. Ibnu majah)
Seterusnya dari segi hukum adanya bank sperma, maka hal ini tidaklah
dengan sendirinya menjadi satu keharaman, selama bank sperma tersebut
mematuhi hukum syara’ dari segi operasinya. Ini karena dari segi hukum
boleh saja suami menyimpan spermanya untuk dibuahi dengan sel telur
istrinya apabila keadaan memerlukan. Namun begitu, sperma harus di-
buang jika suami telah meninggal atau terjadi perceraian di antara suami
istri. Jika istri tetap melakukan proses pensenyawaan dan memasukkan sel
yang telah disenyawakan itu ke dalam rahimnya, maka dia (termasuk
dokter yang mengetahui dan membantu) telah melakukan keharaman dan
wajib dikenakan ta’zir.
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-baqarah : 234)
Ayat ini menjelaskan bahwa para istri yang suaminya meninggal, sedang
para istri tidak dalam keadaan hamil, wajib menjalani masa iddah selama
empat bulan sepuluh hari. Setelah masa iddah selesai, maka mereka boleh
menikah lagi. Artinya para istri itu sebenarnya telah bercerai dengan
suaminya yang meninggal. Sejak suami meninggal, dan statusnya bukan
lagi suami istri. Atas dasar itu haram hukumnya terjadi pembuahan atas
(bekas istri) dari sperma suami yang diawetkan.
Tapi kalau dilihat dari kepentingannya, sperma yang dikeluarkan untuk
suatu kepentingan medis dan akan digunakan untuk membuahi ovum istri
seperti dalam kasus bayi tabung, nampaknya tidak membutuhkan jasa
sebuah bank, sebab sperma itu memang tidak perlu disimpan terlalu lama,
bukan? Padahal sifat bank itu biasa menyimpan untuk waktu yang lama,
bahkan di beberapa kondisi, bank sperma itu bisa memberikan donor
22
sperma kepada orang yang tidak berhak. Dalam kasus yang demikian,
tentu saja fungsi bank sperma tidak bisa diterima dalam Islam, sebab akan
menimbulkan kerancuan nasab.
23
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan
suami-istri yang sah hukumnya haram. Karena statusnya sama saja
dengan hubungan di luar nikah (zina).
24
buahnya (vertilezed ovum) ditanam di dalam rahim istri, ini dibolehkan
asal keadaan suami istri tersebut benar- benar memerlukannya tapi teknik
inseminasi buatan yang melibatkan pihak ketiga hukumnya haram karena
alasan syariat tentang haramnya keterlibatan (benih atau rahim) pihak
ketiga tersebut merujuk kepada maksud larangan berbuat zina dan teknik
inseminasi buatan lebih disebabkan karena faktor sulitnya terjadi
pembuahan alamiah karena sperma suami yang lemah atau tidak terjadinya
pertemuan secara alamiah antara sperma dan sel telur atau inseminasi
buatan yang dilakukan untuk menolong pasangan yang mandul.
E. Status Anak yang Lahir dengan Inseminasi Buatan
Sperma di bank, sperma berasal dari sperma suami dan sperma pendonor.
Sperma yang diambil dari bank dapat digunakan dengan cara inseminasi
buatan. Inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri, dilakukan karena
ada kelainan yang dialami suami atau istri. Apabila hal ini dilakukan dan
menghasilkan anak, maka jelas status anak adalah anak yang sah, anak
yang terlahir dari suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah.
Adapun inseminasi buatan yang dilakukan dengan sperma pendonor dilatar
belakangi dengan motivasi lain, bukan alasan kesehatan. Inseminasi
buatan dengan sperma donor inilah yang memunculkan permasalahan.
Dalam hukum Islam masalah yang timbul adalah mengenai status anak
yang lahir dari inseminasi buatan tersebut.
Kebanyakan dalam inseminasi buatan dengan sperma donor, wanita tidak
mengetahui siapa pendonor sperma tersebut. Bank sperma merahasiakan
pendonornya dan biasanya hanya meberitahukan standar sperma dan jenis
sperma yang diinginkan. Keterangan itu dapat meliputi: ber-IQ sekian,
warna kulit, warna rambut, kebangsaan, tinggi dan berat badan, tanpa
keterangan nama siapa yang mendonorkannya.
Wanita yang melahirkan dari sperma donor, maka status anaknya menjadi
suatu masalah berkaitan dengan penetapan nasab. Anak tidak bisa
dinisbatkan kepada suami istri yang melahirkan, syariat Islam maupun akal
tidak bisa menerimanya, karena yang punya sperma bukanlah suaminya.
Dinisbatkan kepada pemberi donor juga tidak bisa karena mereka tidak
25
dalam perkawinan yang sah. Satu kemungkinan, anak tersebut disamakan
dengan anak zina, yakni dihubungkan kepada ibunya.
26
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Keberadaan bank sperma pada dasarnya menjadi kebutuhan bagi mereka
yang berkebutuhan khusus, misalnya untuk menyambung generasi, dengan
catatan dalam kondisi tertentu, sebagaimana tujuannya untuk menjaga
manusia dari kemusnahan. Keberadaan bank sperma sebagai bentuk
representasi kemajuan bioteknologi tidak seharusnya dibenturkan dengan
nilai-nilai agama, karena keberadaan bank sperma sendiri mengandung tidak
bebas dari nilai (not free values), maka agama dan sains bisa bekerja sama
untuk membawa manusia pada konsepsi kehidupan yang lebih baik dimana
keberadaan pengetahuan dikuatkan dengan moralitas agama. Relasi yang
harmonis ini akan bisa terwujud selama sains dan agama mampu menjaga ego
masing-masing untuk tidak saling menjatuhkan, malah sebaliknya keduanya
harus saling tegur sapa.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
LEMBAR PERTANYAAN
29