Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konseling Menyusui

Konseling bermakna lebih dari sekedar memberi nasehat, berbicara mengenai

konseling tidak terlepas dari bimbingan karena kedua kata ini selalu dikaitkan dan

tidak dipisahkan meskipun ada yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling

merupakan kata yang berbeda. Istilah bimbingan selalu dikaitkan dengan konseling

karena bimbingan dan konseling merupakan suatu kegiatan yang integral. Konseling

merupakan salah satu tehnik dalam pelayanan bimbingan diantara beberapa tehnik

yang lainnya (Ridwan, 2008).

Konseling adalah upaya membantu orang lain untuk dapat mengenali dirinya,

memahami masalahnya, menetapkan alternatif pemecahan masalahnya dan

mengambil keputusan untuk mengatasi masalahnya sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan dirinya yang disadari dan bukan karena terpaksa atau terbujuk (Depkes,

2007). Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Wulandarai (2009) konseling

adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik

dengan paduan keterampilan komunikasi interpersonal, teknik bimbingan dan

penguasaan pengetahuan klinik, bertujuan untuk membantu seseorang mengenali

kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar atau

upaya untuk mengatasi masalah tersebut .

7
Menurut Rogers (2005) yang dikutip oleh Lubis (2011), konseling sebagai

hubungan membantu di mana salah satu pihak (konselor) bertujuan meningkatkan

kemampuan dan fungsi mental pihak lain (klien).

Konseling adalah proses pertukaran informasi dan interaksi positif antara

konselor dan klien untuk membantu klien mengenali kebutuhannya, memilih solusi

terbaik dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang

dihadapi (Kemenkes, 2012). Pernyataan ini sesjalan dengan yang dikemukan oleh

BKKBN (2013) yang menyatakan bahwa konseling adalah proses pemberian

informasi objektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan panduan

keterampilan komunikasi interpersonal, teknik bimbingan dan penguasaan

pengetahuan tentang masalah yang dihadapi klien dengan/ tujuan untuk membantu

seseorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan

menentukan jalan keluar/upaya untuk mengatasi masalah tersebut.

Berbagai rumusan tentang konseling yang berbeda-beda, akan tetapi pada

intinya sama dan saling melengkapi. Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh

seorang konselor kepada klien melalui interaksi yang mendalam dalam bentuk

kesiapan konselor untuk menampung ungkapan perasaan dan masalah kliennya dan

kemudian konselor berusaha keras untuk memberikan alternatif pemecahan masalah

untuk menunjang kestabilan emosi dan motivasi klien (Walgito, 2010).

Pada dasarnya konseling adalah kegiatan percakapan tatap muka dua arah

antara klien dengan petugas yang bertujuan memberikan bantuan mengenai berbagai

hal yang ada kaitannya dengan masalah yang dihadapi oleh klien dan pada akhirnya
klien mampu mengambil keputusan sendiri mengenai pemecahan masalah yang

dihadapi sesuai dengan situasi dan kondisi klien tersebut.

Konseling menyusui adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh

petugas/konselor untuk membantu ibu menyusui mengenali kondisinya saat ini,

masalah yang sedang dihadapi dan bersama-sama memilih alternatif pemecahan

masalah yang sesuai dengan kondisinya saat ini tanpa adanya unsur paksaan.

Menurut Depkes (2007) konseling menyusui adalah segala daya upaya yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan (konselor) untuk membantu ibu mencapai

keberhasilan dalam menyusui bayinya.

2.1.1. Tahapan-tahapan Konseling

Konseling menyusui dalam pelaksanaannya dilakukan melalui 3 tahapan

yaitu terutama pada masa kehamilan (periode antenatal care), segera setelah

persalinan (perinatal) dan pada masa menyusui selanjutnya (post natal). Adapun

pada masa kehamilan (antenatal care) konseling dilakukan sebanyak 3x yaitu 1x

pada trisemester II dan 2x pada trisemester III, pada tahap ini konselor menerangkan

bahwa begitu banyak manfaat dan keunggulan ASI, manfaat menyusui bagi ibu dan

bayi disamping bahaya pemberian susu botol. Konselor juga menjelaskan bagaimana

perawatan payudara mulai kehamilan umur enam bulan agar ibu mampu

memproduksi dan memberikan ASI yang cukup pada bayinya, pemeriksaan

kesehatan, kehamilan dan payudara/keadaan puting susu apakah ada kelainan atau

tidak, memperhatikan gizi/makanan. Pada masa segera setelah persalinan (perinatal),

konselor juga dapat membantu ibu menyusui tiga puluh menit setelah kelahiran
dengan menunjukan cara menyusui yang baik dan benar, upaya penting lainnya yang

juga harus dilakukan oleh konselor adalah pada masa menyusui selanjutnya

(postnatal) yaitu dengan menganjurkan ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif

selama enam bulan pertama usia bayi dan teruskan menyusui sampai bayi berumur 2

tahun atau lebih. Pada tahap ini konseling diberikan sebanyak 3x yaitu pada saat bayi

berumur 7-14 hari, bayi berusia 35 hari dan pada saat bayi berumur 60 hari. Pada

tahap ini konselor melakukan pemantauan pertumbuhan bayi (Depkes, 2007).

Penelitian yang dilakukan Albernaz, et.al (2002) menyatakan bahwa ibu yang

diberi konseling berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif sebanyak 1,85 kali

dibandingkan dengan ibu yang tidak diberi konseling menyusui, pernyataan ini juga

sama dengan yang dilakukan oleh Aidam, et.al (2005) menyatakan bahwa ibu yang

diberi konseling ASI eksklusif pada waktu perinatal sebanyak 74,5% memberikan

ASI eksklusif.

2.1.2. Langkah-langkah Konseling

Konseling dapat dilakukan dimana dan kapan saja dengan mempertimbangkan

tempat yang nyaman, aman dan tenang. untuk melakukan konseling ada 6 langkah

yang harus diperhatikan yaitu : salam, tanyakan, uraikan, bantu, jelaskan dan ulangi.

Selama konseling sampaikan informasi yang berkaitan dengan masalah klien dan

upayakan klien untuk memahami permasalahan yang diahadapi, media dan alat

peraga dapat digunakan untuk mempermudah pemahaman klien. Konselor dapat

membantu klien untuk menyesuaikan permasalahan yang diahadapi dengan

kemungkinan pilihan untuk memperbaiki keadaannya, bantu klien untuk memahami


berbagai cara pemecahan masalah yang dapat dilakukan dan bantu klien untuk

memahami kemudahan maupun kemungkinan kesulitan dari berbagai cara

permasalahan yang sudah dibicarakan sehingga klien mampu untuk memutuskan

pilihan cara pemecahan masalah yang akan dilaksanakan (Depkes,2007).

Sedangkan langkah-langkah konseling berdasarkan model stewart ada 6

langkah yang harus dilakukan yaitu penentuan tujuan konseling yaitu konselor

bertindak sebagai pendengar aktif dan berusaha meyakinkan klien bahwa dirinya

akan mampu keluar dari permasalahan yang dihadapinya, perumusan konseling yaitu

konselor dan klien sama-sama membuat kesepakatn baik tertulis maupun tidak

tertulis tentang apa-apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, pemahaman

kebutuhan klien yaitu masalah klien mulai diperjelas dan dicari kebutuhan yang ingin

dipenuhi klien, penjajakan berbagai alternatif adalah konselor mulai memikirkan

rencana dan strategi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah klien,

perencanaan suatu tindakan klien mulai menjalani tindakan yang akan dilakukan

berdasarkan pilihannya sendiri dan langkah terakhir adalah penghentian masa

konseling dimana penghentian masa konseling dapat dilakukan sementara di mana

klien masih dapat berhubungan dengan konselor, atau konseling dihentikan karena

tujuan konseling telah tercapai dan kebutuhan klien telah terpenuhi (Lubis, 2011).

Langkah-langkah lain yang dapat dilaksanakan untuk pelaksanaan konseling

adalah : konseling awal atau tahap persiapan yaitu langkah awal dimana klien

pertama sekali menghubungi konselor, konseling spesifik atau tahap keterlibatan (the

joining) yaitu sudah terjadi keterlibatan antara konselor dengan klien baik secara
isyarat maupun secara verbal, menetapkan masalah yaitu : menetapkan masalah yang

dihadapi klien, langkah interaksi yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk

penyelesaian masalah, konferensi yaitu untuk meramalkan keakuratan dugaan

permasalahan dan memformulasi langkah-langkah pemecahan, langkah penentuan

tujuan, dalam hal ini klien telah mengmbil keputusan untuk berperilaku yang telah

didiskusikan dengan konselor sebagai perilaku normal yang seharusnya dilakukan

klien dan lang terakhir adalah langkah akhir atau penutup merupakan kegiatan

mengakhiri hubungan konseling setelah tujuan untuk mengatasi masalah klien dapat

diatasi (BKKBN, 2013).

Setiap langkah konseling akan dievaluasi secara keseluruhan, konseling

dikatakan berhasil jika terjadinya perubahan tingkah laku klien yang berkembang

kearah yang lebih positif. Dalam hal ini konseling dinyatakan berhasil jika ibu

menyusui yang telah menyapih dini atau menysusui parsial akan kembali

memberikan ASI saja kepada bayinya.

2.1.3. Manfaat Konseling

Proses konseling menggambarkan adanya kerjasama antara konselor dengan

klien dalam mencari tahu tentang masalah yang dihadapi klien. Proses ini

memerlukan keterbukaan dari klien dan konselor agar mencapai jalan keluar

pemecahan masalah klien. Oleh karena itu konseling sangat bermanfaat bagi klien

untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengenal masalah, merumuskan

alternatif pemecahan masalah dan memiliki pengalaman dalam pemecahan masalah

secara mandiri (Wulandari, 2009).


Konseling menyusui dapat membantu ibu untuk mengenali permasalahan

yang dihadapi selama menyusui, mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah,

menetapkan prioritas alternatif pemecahan masalah, melakukan kajian tentang

konsekuensi dan keuntungan terhadap alternatif yang dipilih, meningkatkan

kemampuan ibu untuk memutuskan dan bertindak serta mendorong ibu untuk

mencari cara pemecahan masalah yang dapat dilakukan dan meningkatkan

kemampuan ibu untuk mampu berpikir positif dan optimis (Depkes, 2007).

Manfaat lain konseling adalah membina hubungan baik dan membangun rasa

saling percaya, memberi informasi yang lengkap, jelas dan benar, membantu klien

dalam memilih dan memutuskan alternatif pemecahan masalah sesuai dengan

kebutuhan dan memberikan rasa puas kepada klien terhadap pilihannya

(Kemenkes,2012).

Konseling akan membuat klien merasa lebih baik, tenang dan nyaman karena

dengan konseling dapat membantu klien untuk menerima setiap sisi yang ada di

dalam dirinya, konseling juga membantu menurunkan bahkan menghilangkan stres

dan depresi yang klien alami karena konselor telah membantu untuk mencari sumber

stres tersebut serta dibantu mencari cara penyelesaian terbaik dari permasalahan yang

belum terselesaikan tersebut (Ahira, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Fatma dkk, di Kota Banda Aceh (2013) diketahui

bahwa responden yang mendapatkan konseling dan berhasil melakukan relaktasi

sebanyak 68,2%, setelah dilakukan analisa statistik diketahui bahwa ada pengaruh

responden yang mendapatkan konseling terhadap relaktasi (p = 0,008 < 0,05). Dalam
penelitian diketahui nilai OR sebesar 6,5 yang artinya bahwa konseling mempunyai

pengaruh 6,5 kali terhadap relaktasi pemberian ASI. Pernyataan yang sama juga

dikemukakan oleh Baluka, yang menyatakan bahwa promosi menyusui yang

diberikan oleh relawan di masyarakat dapat meningkatkan pemberian ASI eksklusif.

Hasil penelitian Lina (2012) juga menyatakan bahwa ibu hamil yang mendapatkan

konseling menyusui secara lengkap berpeluang sebesar 5,770 kali untuk memberikan

ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mendapatkan konseling

menyusui.

Menurut Susanto (2004) seperti yang dikutip oleh Yulifah dan Yulianto

(2008), dalam proses konseling terjadi komunikasi. Model komunikasi yang dipakai

dalam penelitian ini adalah komunikasi pribadi/personal atau lebih dikenal

komunikasi interpersonal yang merupakan dasar penting dalam konseling. Bentuk

komunikasi ini yamg paling tepat karena komunikator langsung berhadapan (face to

face) dengan komunikan sehingga terjadi perubahan perilaku ibu dalam memberikan

ASI yang pada akhirnya dapat meningkatkan cakupan pemberian ASI.

Stimulus Proses Reaksi Tingkah Laku


Rangsanagan Stimulus (Terbuka)

Sikap
Tertutup

Gambar 2.1. Mekanisme Perubahan Perilaku


Menurut Skiner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), bahwa

perilaku seseorang merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Oleh karena itu reaksi perilaku ini terjadi melalui proses

adanya stimulus terhadap organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut

teori”S-O-R” atau stimulus organisme Respon. Dalam hal ini, stimulus (rangsangan)

yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah pesan mengenai pemberian ASI

eksklusif, masalah yang sedang dihadapi ibu dan bagaimana mengatasi masalah

tersebut. Pesan yang disampaikan bisa melalui berbagai metode yaitu dengan metode

perorangan (individual), kelompok dan massa. Metode individual atau komunikasi

interpersonal atau juga disebut konseling adalah metode yang paling efektif karena

kontak klien dengan petugas/konselor lebih intensif karena masalah yang dihadapi

klien dapat digali dan dibantu penyelesaiannya.

Stimulus (rangsangan) berupa pesan dalam hal ini pesan kesehatan yang

menyangkut pengetahuan tentang pemberian ASI eksklusif dan bagaimana mengatasi

masalah yang dihadapi ibu selama proses menyusui. Rangsangan yang disampaikan

dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu dengan metode perorangan

(individual), kelompok atau massa. Metode individual atau komunikasi interpersonal

atau disebut juga konseling adalah metode yang paling efektif karena kontak klien

(ibu menyusui) dengan petugas (konselor) lebih intensif. Hal ini disebabkan karena

masalah yang dihadapi oleh klien dapat digali dan dibantu penyelesaiannya

(Notoatmodjo, 2010).
2.1.4. Tujuan Konseling

Secara umum tujuan konseling adalah membantu klien dalam upaya

mengubah perilaku yang berkaitan dengan masalah kesehatan, sehingga kesehatan

klien menjadi lebih baik. perilaku yang diubah meliputi ranah pengetahuan, ranah

sikap dan ranah keterampilan (Supariasa, 2010).

Menurut Krumboltz dikutip Lubis (2011) yang beraliran behavioristik

mengelompokan tujuan konseling menjadi tiga jenis, yaitu mengubah penyesuaian

perilaku yang salah adalah perilaku yang secara psikologis mengarah patologis,

belajar membuat keputusan dan mencegah timbulnya masalah.

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Proses Konseling

Keberhasilan konseling dalam pelaksanaannya ditentukan oleh banyak faktor,

dalam hal ini menurut Gladding (dikutip oleh Lubis, 2013) menjelaskan ada 5 faktor

yang mempengaruhi konseling yaitu struktur, inisiatif, tatanan (setting) fisik, kualitas

klien dan kualitas konselor.

Proses konseling akan berjalan baik jika dilakukan dengan mengikuti 4 unsur

kegiatan yaitu pembinaan hubungan baik (Rapport), penggalian informasi

(identifikasi masalah, kebutuhan, perasaan, kekuatan diri dan sebagainya),

pengambilan keputusan, pemecahan masalah, perencanaan dan menindaklanjuti

pertemuan (Wulandari, 2009).

Beberapa hal yang juga harus diperhatikan untuk keberhasilan kegiatan

konseling adalah faktor individual meliputi fisik, sudut pandang, kondisi sosial dan

bahasa, faktor-faktor yang berkaitan dengan interaksi seperti tujuan dan harapan
terhadap komunikasi, faktor situasional seperti kondisi lingkungan dan faktor

kompetensi dalam melakukan percakapan adalah suatu interaksi yang menunjukkan

perilaku kompeten dari kedua pihak. Keadaan yang dapat menyebabkan putusnya

komunikasi adalah : kegagalan menyampaikan informasi penting, perpindahan topik

bicara yang tidak lancar dan salah pengertian (BkkbN, 2013).

2.1.6. Hal-hal yang Harus Diperhatikan Konselor

Agar konseling dapat berjalan efektif dan efisien, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan oleh konselor yaitu menjadi pendengar yang aktif dan baik,

menggunakan bahasa verbal yang mudah dimengerti dan dipahami oleh klien,

menggunakan bahasa non verbal untuk menunjukan empati, mengutamakan dialog

(menggunakan pertanyaan terbuka) dan membantu klien untuk mengeksplorasi

perasaan mereka (Kemenkes, 2012).

Konseling menyusui merupakan segala daya upaya yang dilakukan oleh

konselor untuk membantu ibu mencapai keberhasilan dalam menyusui bayinya, agar

konseling menyusui dapat berjalan dengan baik maka ada beberapa hal yang harus

dilakukan oleh konselor seperti konselor harus mampu menilai proses menyusui,

konselor mampu menggali permasalahan yang dihadapi oleh ibu dan mampu

membangun percaya diri dan memberi dukungan kepada ibu tentang bagaimana cara

mengatasi masalah yang dihadapi serta konselor juga memiliki kemampuan untuk

mendengarkan dan mempelajari keluhan ibu menyusui. Selama proses konseling

berjalan selain dilakukan wawancara, ibu juga dianjurkan untuk memberikan ASI

kepada bayi dengan tujuan untuk mengamati bagaimana proses menyusui yang
dilakukan ibu sehingga apabila ada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya

masalah dapat langsung didiskusikan dan dicari solusi pemecahan masalahnya. Jadi

selama proses konseling berlangsung ibu menyusui langsung mempraktekan

bagaimana menyusui yang baik dan benar.

Menurut Elgar Dale yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), agar informasi

yang disampaikan oleh konselor dapat dimengerti oleh ibu menyusui maka selain

dengan kata-kata, praktek langsung merupakan media yang paling efektif untuk

merubah perilaku ibu.

Tabel 2.1. Perbedaan Konseling, Konsultasi Dan Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan
Aspek Konseling Konsultasi
Kesehatan

Tujuan Membantu klien Membantu Menyadarkan


agar mampu mengidentifikasi dan masyarakat
mengambil menganalisis masalah-
keputusan masalah yang dihadapi
klien

Sasaran Individu Individu Individu dan


kelompok

Proses Pemberian Mengusulkan cara Memberikan


informasi yang pemecahan masalah informasi,
tidak memihak dan bila diperlukan atau menanamkan
memberi dukungan diminta dan membantu keyakinan dan
emosi (empati) penerapan cara meningkatkan
pemecahan masalah kemampuan

Hubungan Horizontal/sejajar Vertikal, pihak atas Langsung atau


atau dan yang dihadapi dan bawah dan yang tidak langsung
Kedudukan manusia dihadapi masalah
Sumber : Depkes RI, 2007

2.2. Motivasi

Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin, yakni movere yang

berarti “menggerakkan” (to move). Motivasi berfungsi sebagai pendorong atau

penyebab seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan adanya motivasi maka

seseorang dapat bekerja dengan lebih bersemangat dan lebih bergairah untuk

mencapai tujuan yang diinginkan (Handoko, 2005).

Motivasi merupakan dorongan terhadap serangkaian proses perilaku manusia

pada pencapaian tujuan (Wibowo, 2014).

Motivasi adalah kecenderungan yang timbul pada diri seseorang secara sadar

maupun tidak sadar melakukan tindakan dengan tujuan tertentu atau usaha-usaha

yang menyebabkan seseorang atau kelompok orang tergerak melakukan sesuatu

karena ingin mencapai tujuan yang di kehendaki (Poerwodarminto, 2006).

Motivasi adalah interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat

meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku. Dalam hal ini ada hal-hal

yang dapat diobservasi dari proses motivasi. Motivasi juga mengacu pada adanya

kekuatan dorongan yang menggerakkan kita untuk berperilaku tertentu. Oleh karena

itu motivasi berhubungan dengan hasrat, keinginan, dorongan dan tujuan

(Notoatmodjo, 2010).
Motivasi adalah keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dorongan dan

insentif. Dengan demikian dapat dikatakan suatu motif adalah keadaan kejiwaan yang

mendorong, mengaktifkan atau menggerakan dan tindak tanduk seseorang yang

selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan. Kebutuhan yang merupakan segi pertama

dari motivasi, timbul dalam diri seseorang apabila ia merasa adanya kekurangan

dalam dirinya. Dalam pengertian homoestatik, kebutuhan timbul atau diciptakan

apabila dirasakan adanya ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa

yang menurut persepsi yang bersangkutan seyogyanya dimilikinya, baik dalam arti

fisiologis maupun psikologis. Dalam motivasi ada 3 (tiga) komponen utamanya yaitu

kebutuhan, dorongan dan tujuan (Siagian, 2012).

Menurut Berelson dan Steiner (1964) yang dikutip oleh Ilyas (2012), motivasi

adalah sebagai kondisi internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka

keinginan, harapan, kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu

untuk mencapai kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.

2.2.1. Jenis-jenis Motivasi

Berdasarkan sumber yang menimbulkannya maka motivasi dapat dibagi

menjadi 2 yaitu motif biologis dan motif sosial. Motif biologis adalah motif yang

tidak kita pelajari dan sudah ada sejak kita lahir, misalnya rasa lapar dan haus.

Sedangkan motif sosial adalah motif yang kita pelajari atau tidak kita bawa sejak kita

lahir, misalnya motif untuk mendapatkan penghargaan dan motif untuk berkuasa

(Notoatmodjo, 2010).
Jika dilihat atas dasar fungsinya motivasi terbagi atas: motivasi internal dan

motivasi eksternal. Motivasi internal yaitu motivasi yang berfungsi tanpa adanya

rangsangan dari luar, dari dalam individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan

tindakan dan motivasi eksternal yaitu motivasi yang berfungsi dengan adanya faktor

dorongan dari luar individu. Faktor yang berkaitan dengan motivasi internal yaitu

kebutuhan, keinginan, prestasi/pencapaian, penguatan, tanggungjawab, peningkatan

status tugas itu sendiri dan kemungkinan berkembang sedangkan faktor motivasi

eksternal yaitu faktor pengendalian/supervisi, gaji/upah, kondisi kerja, kebijaksanaan,

pekerjaan yang mengandung penghargaan, pengembangan dan tanggungjawab

(Handoko, 2005).

Menurut Widayatun (2008) sumber motivasi dibagi menjadi 3 bagian yaitu

motivasi instrinsik, motivasi ektrinsik dan motivasi terdesak. Motivasi instrinsik

adalah motivasi yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri misal perasaan

nyaman pada ibu nifas ketika dia berada di rumah bersalin, motivasi ekstrinsik adalah

motivasi yang datangnya dari luar individu, misalnya saja dukungan verbal dan non

verbal yang diberikan oleh teman dekat atau keakraban sosial, sedangkan motivasi

terdesak adalah motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit dan munculnya serentak

serta menghentak dan cepat sekali.

Klasifikasi motivasi menurut Irwanto (2008) adalah : motivasi kuat, motivasi

sedang dan motivasi lemah. Motivasi dikatakan kuat apabila dalam diri seseorang

dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari memiliki harapan yang positif, mempunyai

harapan yang tinggi, dan memiliki keyakinan yang tinggi bahwa akan mudah dalam
melakukan aktivitas berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi, motivasi

sedang adalah bila dalam diri manusia memiliki keinginan yang positif, mempunyai

harapan yang tinggi, namun memiliki keyakinan yang rendah bahwa dirinya dapat

bersosialisasi dan mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sedangakan

motivasi lemah adalah bila di dalam diri manusia memiliki harapan dan keyakinan

yang rendah, bahwa dirinya dapat berprestasi. Misalnya bagi seseorang dorongan dan

keinginan mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru merupakan mutu

kehidupannya maupun mengisi waktu luangnya agar lebih produktif dan berguna.

Vroom (1964) mengembangkan suatu teori motivasi berdasarkan jenis-jenis

pilihan yang di buat orang untuk mencapai suatu tujuan, yaitu teori pengharapan yang

meliputi 3 asumsi pokok, yaitu : Valence adalah seberapa jauh yang orang inginkan

terhadap hal-hal yang ditawarkan terhadap dirinya. Misalnya dalam suatu organisasi

berkaitan dengan penghargaan, waktu kerja dan sebagainya. Valence mengacu pada

keinginan atau kemampuan untuk menarik atau menolak dan memiliki sesuatu

tertentu pada lingkungan, Instrumentality adalah bagaimana kemungkinan suatu hal

yang potensial akan berimplikasi terhadap sesuatu yang bernilai lain, misalnya kinerja

yang baik yang berimplikasi pada promosi. Instrumentality (Sarana) didasarkan pada

hubungan yang dirasakan atau dua hasil dan Expectancy adalah bagaimana

kemungkinan seseorang menyakini bahwa apa yang telah diusahakan itu akan

membawa kepada kinerja yang baik.

2.2.2. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Motivasi


Ada 2 faktor yang mempengaruhi motivasi yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal adalah motivasi yang berasal dari dalam diri manusia

seperti faktor fisik, faktor proses mental, faktor herediter, faktor keinginan dalam diri

sendiri dan faktor kematangan usia. Sedangkan faktor eksternal adalah motivasi yang

berasal dari luar diri seseorang yang merupakan pengaruh dari orang lain atau

lingkungan. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan, dukungan sosial, fasilitas

(sarana dan prasarana) dan faktor media (Widayatun, 2008).

Motivasi timbul tidak saja karena ada unsur di dalam dirinya tetapi juga

karena adanya stimulus dari luar. Seberapa pun tingkat kemampuan yang dimiliki

seseorang mereka pasti butuh motivasi. Menurut Robert Heller (1998) yang dikutip

oleh Wibowo (2014) menyatakan bahwa motivasi harus diinjeksi dari luar (dukungan

dari pihak lain). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mira, dkk

di Kabupaten Indragiri Hulu yang menyatakan bahwa dukungan suami berhubungan

dengan motivasi ibu dalam memberikan ASI pada bayinya (p value 0,003 < 0,05).

Hasil penelitian Sasaki et.al (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara nasihat orang tua dengan motivasi ibu memberikan ASI eksklusif (p

value 0,013 < 0,05). Hal yang sama juga dikemukakan oleh penelitian Emilda (2011)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

keluarga (0,0049 < 0,05), dukungan tempat kerja (0,003 < 0,05) dan pengetahuan

(0,004<0,05) dengan pemberian ASI Eksklusif di Kota Langsa. Penelitian Majdi

(2011) menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara layanan bimbingan

konseling dengan tingkat motivasi belajar siswa sebesar 43,16%.


Menurut Rusmi (2008), faktor–faktor yang berpengaruh terhadap motivasi

adalah : faktor fisik yaitu motivasi yang ada didalam diri individu yang mendorong

untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik seperti kebutuhan jasmani,

raga, materi, benda atau berkaitan dengan alam. Faktor fisik merupakan faktor yang

berhubungan dengan kondisi lingkungan dan kondisi seseorang, Faktor Herediter

(lingkungan dan kematangan atau usia) yaitu : Motivasi yang didukung oleh

lingkungan berdasarkan kematangan atau usia seseorang, faktor instrinsik seseorang

adalah motivasi yang berasal dari dalam dirinya sendiri biasanya timbul dari perilaku

yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga puas dengan apa yang sudah dilakukan,

fasilitas (sarana dan prasarana) adalah motivasi yang timbul karena adanya

kenyamanan dan segala yang memudahkan dengan tersedianya sarana-sarana yang

dibutuhkan untuk hal yang diinginkan, faktor Situasi dan kondisi yaitu motivasi yang

timbul berdasarkan keadaan yang terjadi sehingga mendorong memaksa seseorang

untuk melakukan sesuatu, faktor program dan aktifitas adalah motivasi yang timbul

atas dorongan dalam diri seseorang atau pihak lain yang didasari dengan adanya

kegiatan (program) rutin dengan tujuan tertentu, faktor audio visual (media) adalah

motivasi yang timbul dengan adanya informasi yang di dapat dari perantara sehingga

mendorong atau menggugah hati seseorang untuk melakukan sesuatu dan faktor umur

dimana semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih

matang berfikir logis dan bekerja sehingga motivasi seseorang kuat dalam melakukan

sesuatu hal.
Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu

yang dihadapi, oleh karena itu terdapat perbedaan dalam kekuatan motivasi yang

ditunjukkan oleh seseorang dalam menghadapi situasi tertentu dibandingkan dengan

orang lain yang menghadapi situasi yang sama. Faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap motivasi adalah faktor yang bersifat intrinsik/internal maupun yang bersifat

ekstrinsik/eksternal. Faktor tersebut dapat bersifat positif maupun bersifat negatif

(Siagian, 2012).

2.2.3. Cara Pengukuran Motivasi

Motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung namun harus diukur. Pada

umumnya ada beberapa cara untuk mengukur motivasi yaitu dengan tes proyektif,

kuesioner dan observasi perilaku. Tes proyektif merupakan cerminan diri seseorang

berdasarkan apa yang dikatakannya. Dengan demikian untuk memahami apa yang

dipikirkan klien harus diberi stimulus yang harus diinterpretasikan. Kuesioner adalah

salah satu cara untuk mengukur motivasi yaitu dengan cara meminta klien untuk

mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang dapat memancing

motivasi. Cara lain untuk mengukur motivasi adalah dengan observasi perilaku yaitu

dengan membuat situasi sehingga klien dapat memunculkan perilaku yang

mencerminkan motivasinya, misalnya untuk mengukur keinginan untuk berprestasi,

klien diminta untuk memproduksi origami dengan batas waktu tertentu. Perilaku yang

diobservasi adalah, apakah klien menggunakan umpan balik yang diberikan,

mengambil keputusan yang berisiko dan mementingkan kualitas daripada kuantitas

kerja (Notoatmodjo, 2010).


2.3. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Dengan kata lain,

sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek

(Notoatmodjo, 2012).

Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2012), sikap adalah

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan

pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,

akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap dapat bersifat positif

atau negatif. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi,

mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif terdapat kecenderungan untuk

menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu,

Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul

apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya reaksi

individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai

sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi

kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif,

menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi

reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2013).


Sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu menerima (receiving) adalah mau

memperhatikan stimulus yang diberikan, merespon (responding) adalah memberikan

jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan,

menghargai (valuing) adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah dan bertanggung jawab (responsible) adalah

bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko yang ada (Notoatmodjo, 2012).

2.3.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Sikap

Proses perubahan sikap hampir selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi

atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap,

terutama yang berkaitan dengan pembentukan stimulus tertentu untuk menghasilkan

respon yang dikehendaki. Komunikasi persuasif merupakan suatu proses yang

digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan stimuli guna mengubah sikap

seseorang. Menurut model studi Yale, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

sikap ada 3 yaitu faktor sumber meliputi keahlian, dapat dipercaya, disukai, status, ras

dan agama, faktor pesan meliputi urutan argumentasi, satu sisi atau dua sisi, tipe daya

tarik dan kesimpulan implisit atau eksplisit, dan faktor yang terakhir adalah faktor

subjek penerima meliputi kemudahan dibujuk, sikap semula, intelegensi, harga diri

dan kepribadian. Perubahan sikap melalui proses perantara internal yaitu perhatian,

pemahaman dan penerimaan. Pada teori Kelman, sikap dapat berubah melalui 3

proses yaitu kesediaan, identifikasi dan internalisasi. Dalam hal ini faktor yang sangat

berperan dalam perubahan sikap adalah faktor eksternal yang dengan sengaja
dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap individu sehingga dengan sadar atau tidak

sadar individu tersebut akan mengadopsi sikap yang diinginkan (Azwar, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Masyita (2014), menyatakan bahwa sikap ibu

hamil trisemester III berbeda sebelum dan sesudah diberi konseling menyusui

terhadap inisiasi menyusui dini (IMD) sebanyak 2,9%. Hal yang sama juga

dinyatakan oleh Ramlah, dkk yaitu sikap positif ibu hamil terhadap IMD sebelum

diberi edukasi sebesar 65,0%, setelah diberi edukasi sikap positif ibu hamil

meningkat menjadi 98,3% terhadap IMD.

2.3.2. Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.

Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan, misalnya bagaimana

pendapat responden tentang menyusui secara eksklusif atau pandangan responden

tentang imunisasi pada anak balita. Sikap juga dapat diukur dari pertanyaan tidak

langsung misalnya seandainya akan ada dibentuk kelompok pendukung ASI eksklusif

di desa ini, apakah ibu mau mendukung kegiatan tersebut?. Untuk pertanyaan secara

langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan

menggunakan kata setuju atau tidak setuju terhadap pertanyaan-pertanyaan terhadap

objek tertentu, dengan menggunakan skala likert dimana diberi nilai 5 bila sangat

setuju, nilai 4 bila setuju, nilai 3 bila biasa saja, 2 bila tidak setuju dan 1 bila sangat

tidak setuju (Notoatmodjo, 2010).


2.4. Keuntungan Menyusui

Menyusui adalah suatu proses yang terjadi secara alami, maka jarang sekali

ada ibu yang gagal atau tidak mampu menyusui bayinya. Meskipun demikian,

menyusui juga perlu dipelajari terutama oleh ibu yang baru pertama kali memiliki

anak agar tahu cara menyusui yang benar. Kendati prosesnya alami, kemampuan ibu

memeberi ASI tidak datang tiba – tiba, ada serangkaian proses yang turut memberi

andil dalam kelancaran pemberian ASI, mulai dari persiapan fisik sampai batin calon

ibu. Makin dini bayi disusui/Inisiasi Menyusui Dini, maka kian cepat dan lancar

proses menysui si kecil (Depkes,2007).

Menyusui berdampak positif pada ibu terutama mengurangi perdarahan

setelah melahirkan. Apabila bayi disusui segera setelah dilahirkan maka

kemungkinan terjadinya perdarahan setelah melahirkan akan berkurang, ini karena

pada ibu menyusui terjadi peningkatan kadar oksitosin yang berguna untuk penutupan

pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat berhenti. Menyusui juga dapat

mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan (kontrasepsi alami, aman,

murah dan cukup berhasil), mengecilkan rahim, lebih cepat langsing, mengurangi

kemungkinan menderita kanker, lebih ekonomis, tidak merepotkan dan hemat waktu,

mudah dibawa kemana–mana (portabel dan praktis) serta memberi kepuasan pada ibu

(Roesli, 2005).

Dengan menyusui secara rutin mampu merangsang sistem kekebalan tubuh

ibu sendiri, membantu menunda kehamilan selanjutnya dan mengurangi kebutuhan


insulin pada ibu-ibu dalam jangka waktu lama. ASI dapat membantu melindungi ibu

dari kanker payudara, kanker indung telur dan kerapuhan tulang (Depkes RI, 2007).

Jika dibandingkan dengan susu formula, biaya yang dikeluarkan akibat

pemberian ASI tetap lebih murah, meskipun wanita menyusui membutuhkan zat gizi

ekstra. Biaya ini diperlukan untuk pembelian dot, botol susu, alat pemasak, bahan

bakar dan yang lebih penting lagi biaya pengobatan pada bayi yang diberi susu botol

membengkak 10 kali lebih besar dibandigkan bayi yang diberi ASI (Arisman, 2010).

Penelitian Ahluwalia dkk, menemukan bahwa 13% ibu berhenti menyusui

bayinya pada bulan pertama disebabkan bayi tidak dapat menyusu dan persepsi

tentang produksi ASI yang tidak cukup untuk bayinya. Masa sebelum air susu ibu

keluar, bayi diberikan pengganti air susu ibu seperti air putih, teh, madu sampai air

susu ibu keluar.

2.5. Landasan Teori

Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia adalah sifat diferensialnya

yaitu satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan

beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama

(Azwar, 2013).

Hosland,et al (1953) dalam Notoatmodjo 2012, mengatakan bahwa perubahan

perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan

perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari

stimulus (rangsangan) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau ditolak.
Apabila stimulus tersebut tidak dapat diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak

efektif dalam mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini, apabila stimulus

diterima oleh organisme bararti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut

efektif.

Stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka ia

mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. Setelah organisme

mengolah stimulus teresbut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus

yang telah diterimanya.

Organisme
- Perhatian
- Pengertian
- Penerimaan
- Pengetahuan

Stimulus - Reaksi Perubahan sikap


Pengetahuan
- Sikap
Akseptor KB IUD
Reaksi Perubahan
Tindakan / praktik

Gambar 2.2. Skema Teori Stimulus Organisme Respon (SOR) dalam


Notoatmodjo, 2012

Stimulus (rangsangan) yang disampaikan oleh tenaga kesehatan (konselor)

tentang ASI eksklusif, bagaimana cara memberikan ASI yang baik dan benar dan

bagaimana cara mengatasi masalah yang dihadapi oleh klien akan direspon oleh

klien. Respon positif akan terjadi jika klien merasa bahwa stimulus yang disampaikan

oleh konselor dapat dilaksanakan dan bermanfaat bagi dirinya dan sebaliknya respon
negatif akan terjadi jika klien merasa pesan yang disampaikan tidak bermanfaat bagi

dirinya.

2.6. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Motivasi Ibu
Konseling Menyusui

Sikap Ibu

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Desain penelitian ini yang merupakan variabel independen adalah konseling

menyusui, sedangkan variabel dependen adalah motivasi dan sikap ibu memberi ASI.

Variabel independen akan berpengaruh terhadap variabel dependen. Dengan

pemberian konseling menyusui oleh tenaga kesehatan (bidan dan tenaga pelaksana

gizi) maka ibu akan mendapatkan pemecahan masalah yang dihadapi selama proses

menyusui sehingga motivasi ibu memberi ASI akan meningkat dan sikap ibu untuk

memberikan ASI akan berubah kearah yang positif.

Anda mungkin juga menyukai