Bab 4
Merenungkan Kembali Tradisi Liberal
Hak minoritas merupakan bagian penting dari teori dan praktik
liberal pada abad ke-19 dan antara kedua perang dunia. Yang benar adalah
soal ‘kelalaian yang tidak berbahaya’ itu yang merupakan pendatang baru
dalam tradisi liberal. Selain itu, kemunculannya dapat ditelusuri pada
sejumah faktor yang menyatu, termasuk pelecehan etnosentris kebudayaan
non-Eropa, ketakutan mengenai perdamaian dan keamanan internasional
dan pengaruh dari keputusan penghapusan perbedaan ras di Amerika
Serikat. Faktor-faktor diatas mempunyai dampak yang mendalam namun
sering mengganggu pada pemikiran liberal. Permasalahan serta
argumentasi yang relevan di satu rangkaian keadaan telah secara keliru
menggeneralisasi ke kasus kasus lainnya yang sebenarnya tidak dapat
diberlakukan. Begitu kita dapat menyelesaikan kesalahpamahan itu, akan
menjadi jelas bahwa hak minoritas merupakan unsur yang mempunyai
legitimasi dalam tradisi liberal
Sejarah Pandangan Liberal atas Minoritas Kebangsaan
Tradisi liberal berisi keragaman pandangan, yang semakin mengecil,
mengenai hak kebudayaan minoritas. Di satu ujung spektrum, ditermui
pendukung kuat hak minoritas. Memang ada saat-saat pada kedua abad
terakhir ini, dimana dukungan terhadap hak minoritas dianggap sebagai
tanda yang jelas dari bukti liberalnya seseorang.
Hubungan sebenarnya antara kebebasan individu dan kebangsaan
tidak selalu jelas pada teoretisi itu. Dalam beberapa hal, itu hanyalah
asumsi bahwa negara multibangsa secara inheren tidak stabil, dan oleh
karenanya rentan pada otoritarianisme. Namun pada teoretisi lain seperti
Wilhelm von Humboldt dan Giuseppe Mazzini, klaimnya adalah bahwa
peningkatan individualitas dan pengembangan kepribadian manusia
sangat erat hubungannya dengan keanggotaan dalam kelompok bangsa
seseorang, sebagian besar karena peran bahasa dan kebudayaan dalam
pilihan yang memungkinkan
Hubungan sebenarnya antara kesetaraan dan hak-hak minoritas
sering dikemukakan. Namu gagasan umumnya cukup jelas. Suatu negara
multibangsa yang menyetujui hak-hak individu yang universal kepada
semua warganya, tanpa memandang keanggotaannya pada kelompok,
mungkin tampak ‘netral’ antara berbagai kelompok bangsa. Namun pada
kenyataannya, dapat (dan seringkali) secara sistematis mendahulukan
bangsa mayoritas secara mendasar-misalnya penarikan garis-garis
perbatasan internal, bahasa di sekolah, pengadilan dan layanan
pemerintahan, pilihan hari-hari libur nasional; dan pembagian kekuasaan
legislatif antara pemerintahan pusat dan daerah. Semua keputusan itu
dapat secara dramatis mengurangi kekuatan politik dan kelangsungan
budaya dari minoritas bangsa, dan meningkatkan kebudayaan mayoritas.
Hak khusus kelompok berkenaan dengan pendidikan, otonomi daerah dan
bahasa membantu menjamin agar minoritas bangsa tidak dirugikan dalam
keputusan-keputusan tersebut, dengan demikian memungkinkan
minoritas, seperti halnya mayoritas, mempertahankan ‘kehidupannya
sendiri’.
Kegagalan Perjanjian-perjanjian Berkenaan dengan Minoritas
Perubahan penting pertama dalam pandangan liberal datang
bersama dengan kegagalan skema perlindungan minoritas Liga Bangsa-
Bangsa, dan perannya dalam pecahnya Perang Dunia II. Skema itu
memberikan pengakuan internasional kepada minoritas berbahasa Jerman
di cekoslovakia dan Polandia, dan kaum Nazi mendorong mereka untuk
membuat permintaan dan mengajukan keluhan terhadap pemerintahan
mereka. Ketika pemerintah Polandia dan pemerintah Cekoslovakia tidak
ingin atau tidak dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat
dari mnoritas Jerman itu, Nazi memanfaatkan hal itu sebagai alasan untuk
melakukan agresi. Manipulasi pihak Nazi atas skema Liga Bangsa-Bangsa
itu, dan kerjasama minoritas Jerman dalam hal tersebut, mengakibatkan
‘reaksi yang kuat terhadap konsep perlindungan internasional dari
[minoritas bangsa], kenyataan pahit adalah bahwa para negarawan, yang
biasanya didukung oleh opini publik yang ada saat itu sangat terkesan
oleh pendukung iredentisme yang berkhianat dan minoritas yang tidak
loyal, cenderung membatasi, dan bukan memperluas hak-hak minoritas.
Pembatasan hak-hak minoritas itu dilakukan bukan untuk kepentingan
keadilan, melainkan oleh orang-orang ‘yang berada di dalam kerangka
acuan kepentingan negara kebangsaan yang ditempatkan sebagai nilai-
nilai luhur (kebangsaan mayoritas) mempunyai kepentingan dalam
menjadikan negara kebangsaan selamat, dan institusinya stabil, bahkan
dengan melenyapkan kebudayaan minoritas dan memaksakan
homogenitas pada penduduk.