Anda di halaman 1dari 7

Bab 3

Hak Perorangan dan Hak Kolektif

Komitmen paling mendasar dari suatu demokrasi liberal adalah pada


kebebasan dan keseteraan dari warganya secara perorangan. Hal itu
tercermin di dalam pernyataan konstitusional hak-hak manusia, yang
menjamin hak dasar sipil dan politik kepada semua orang, tanpa
memandang keanggotaannya pada kelompoknya. Demokrasi liberal
timbul sebagai reaksi terhadap cara feodalisme mendefinisikan hak politik
perorangan dan kesempatan ekonomi berdasarkan keanggotaan pada
kelompok.

Pembatasan Internal dan Perlindungan Eksternal

Perlindungan eksternal mencakup hubungan antar kelompok yakni


kelompok etnis atau nasional dapat meminta untuk melindungi
keberadaan dan identitasnya yang berbeda itu dengan membatasi dampak
keputusan yang diambil oleh masyarakat yang lebih luas. Hak itu juga
menimbulkan bahaya tertentu-bukan penindasan perorangan di dalam
suatu kelompok, melainkan ketidakadilan antara kelompok-kelompok.
Satu kelompok mungkin dapat disisihkan atau dipisahkan atas nama
untuk melestarikan kekhasan dari kelompok lainnya. Mereka yang
mengkritik ‘hak kolektif’ dalam arti ini sering menyebut sistem aparteid di
Afrika Selatan sebagai contoh dari apa yang dapat terjadi apabila suatu
kelompok minoritas menuntut perlindungan khusus dari masyarakat yang
lebih luas.
Tidak selalu mudah menarik pembedaan antara pembatasan internal dan
perlindungan eksternal, seperti halnya pembedaan antara kelompok
bangsa dan kelompok etnis. Kebijakan yang dibuat untuk memberikan
perlindungan eksternal sering mempunyai komplikasi untuk kebebasan
anggota di dalam komunitas. Secara minimal, pengurusan langkah-
langkah itu sering kali memerlukan uang, dan dengan demikian mungkin
para anggota dikenakan pajak yang tinggi.
Pembedaan antara pembatasan internal dan perlindungan eksternal
ini sering diabaikan baik oleh para pendukung maupun mereka yang
mengkritik hak-hak kelompok yang dibedakan. Jadi, kami mendapati para
kritikus liberal yang menerima semua bentuk inheren karena mereka
menempatkan kelompok di atas dan melebihi perorangan.

Ambiguitas ‘Hak-Hak Kolektif’


Percampuran kewargaan kelompok yang dibedakan dengan hak-hak
kolektif berdampak bencana pada perdabatan filosofis dan populer. Leh
karena mereka memandang perdebatan dari segi hak kolektif, banyak
orang berasumsi bahwa perdabatan mengenai kewargaan kelompok yang
dibedakan sangat sepadan dengan perdebatan antara para penganut
individualisme dan penganut kolektivisme atas hak milik relatif dari
perorangan dan komunitas. Para penganut individualisme mengatakan
bahwa secara moral, perorangan ada sebelum komunitas, karena
komunitas itu berarti hanya karena menambah kesejahteraan individu
yang berada di dalam komunitas itu. Apabila para individu itu tidak lagi
merasa perlu untuk mempertahankan praktik-praktik budaya yang ada,
maka komunitas tidak mempunyai kepentingan dalam melestarikan
praktik-praktik itu, dan tidak mempunyai hak untuk mencegah para
individu untuk mengubah atau menolaknya. Dengan demikian para
peganut individualisme menolak pemikiran bahwa kelompok etnis dan
kelompok bangsa mempunyai hak-hak kolektif.
Sebaliknya, para penganut kolektivisme menolak bahwa kepentingan
komunitas dapat disederhanakan menjadi kepentingan dai para anggota
komunitas itu. Namun hal itu tidaklah relevan bagi sebagian besar
permasalahan hak kelompok yang dibedakan dalam demokrasi liberal.
Klaim bahwa komunitas mempunyai kepentingan yang terpisah dari
anggotanya relevan bagi pembatasan internal-hal itu dapat menjelaskan
mengapa anggota dari suatu komunitas harus mempertahankan praktik-
praktik budaya. Namun tidak dapat menjelaskan pembatasan internal-
artinya, mengapa beberapa hak didistribusikan secara tidak merata
antarkelompok, mengapa anggota dari suatu kelompok mempunyai
tuntutan terhadap anggota kelompok lainnya. Pemikiran bahwa kelompok
itu ada sebelum individu, bahkan apabila itu benar, tidak dapat dengan
sendirinya menjelaskan kesenjangan antaa kelompok-kelompok.
Para penganut kolektivisme dan individualisme tidak sepakat
mengenai apakah komunitas dapat memiliki hak atau kepentingan
terpisah dari anggota individual. Argumentasi mengenai keunggulan dari
individu atau komunitas adalah argumentasi yang sudah tua dan patut
dimuliakan dalam filsafat politik. Namun haruslah jelas, betapa tidak
bergunanya hal itu untuk mengevaluasi sebagian besar dari hak kelompok
yang dibedakan dalam demokrasi Barat. Kebanyakan dari hak-hak itu
tidak mengenai keunggulan komunitas dari perorangan. Alih-alih hak-hak
itu didasari pemikiran bahwa keadilan antara kelompok mensyaratkan
agar para anggota dari kelompok yang berbeda dapat diberikan hak yang
berbeda.

Bab 4
Merenungkan Kembali Tradisi Liberal
Hak minoritas merupakan bagian penting dari teori dan praktik
liberal pada abad ke-19 dan antara kedua perang dunia. Yang benar adalah
soal ‘kelalaian yang tidak berbahaya’ itu yang merupakan pendatang baru
dalam tradisi liberal. Selain itu, kemunculannya dapat ditelusuri pada
sejumah faktor yang menyatu, termasuk pelecehan etnosentris kebudayaan
non-Eropa, ketakutan mengenai perdamaian dan keamanan internasional
dan pengaruh dari keputusan penghapusan perbedaan ras di Amerika
Serikat. Faktor-faktor diatas mempunyai dampak yang mendalam namun
sering mengganggu pada pemikiran liberal. Permasalahan serta
argumentasi yang relevan di satu rangkaian keadaan telah secara keliru
menggeneralisasi ke kasus kasus lainnya yang sebenarnya tidak dapat
diberlakukan. Begitu kita dapat menyelesaikan kesalahpamahan itu, akan
menjadi jelas bahwa hak minoritas merupakan unsur yang mempunyai
legitimasi dalam tradisi liberal
Sejarah Pandangan Liberal atas Minoritas Kebangsaan
Tradisi liberal berisi keragaman pandangan, yang semakin mengecil,
mengenai hak kebudayaan minoritas. Di satu ujung spektrum, ditermui
pendukung kuat hak minoritas. Memang ada saat-saat pada kedua abad
terakhir ini, dimana dukungan terhadap hak minoritas dianggap sebagai
tanda yang jelas dari bukti liberalnya seseorang.
Hubungan sebenarnya antara kebebasan individu dan kebangsaan
tidak selalu jelas pada teoretisi itu. Dalam beberapa hal, itu hanyalah
asumsi bahwa negara multibangsa secara inheren tidak stabil, dan oleh
karenanya rentan pada otoritarianisme. Namun pada teoretisi lain seperti
Wilhelm von Humboldt dan Giuseppe Mazzini, klaimnya adalah bahwa
peningkatan individualitas dan pengembangan kepribadian manusia
sangat erat hubungannya dengan keanggotaan dalam kelompok bangsa
seseorang, sebagian besar karena peran bahasa dan kebudayaan dalam
pilihan yang memungkinkan
Hubungan sebenarnya antara kesetaraan dan hak-hak minoritas
sering dikemukakan. Namu gagasan umumnya cukup jelas. Suatu negara
multibangsa yang menyetujui hak-hak individu yang universal kepada
semua warganya, tanpa memandang keanggotaannya pada kelompok,
mungkin tampak ‘netral’ antara berbagai kelompok bangsa. Namun pada
kenyataannya, dapat (dan seringkali) secara sistematis mendahulukan
bangsa mayoritas secara mendasar-misalnya penarikan garis-garis
perbatasan internal, bahasa di sekolah, pengadilan dan layanan
pemerintahan, pilihan hari-hari libur nasional; dan pembagian kekuasaan
legislatif antara pemerintahan pusat dan daerah. Semua keputusan itu
dapat secara dramatis mengurangi kekuatan politik dan kelangsungan
budaya dari minoritas bangsa, dan meningkatkan kebudayaan mayoritas.
Hak khusus kelompok berkenaan dengan pendidikan, otonomi daerah dan
bahasa membantu menjamin agar minoritas bangsa tidak dirugikan dalam
keputusan-keputusan tersebut, dengan demikian memungkinkan
minoritas, seperti halnya mayoritas, mempertahankan ‘kehidupannya
sendiri’.
Kegagalan Perjanjian-perjanjian Berkenaan dengan Minoritas
Perubahan penting pertama dalam pandangan liberal datang
bersama dengan kegagalan skema perlindungan minoritas Liga Bangsa-
Bangsa, dan perannya dalam pecahnya Perang Dunia II. Skema itu
memberikan pengakuan internasional kepada minoritas berbahasa Jerman
di cekoslovakia dan Polandia, dan kaum Nazi mendorong mereka untuk
membuat permintaan dan mengajukan keluhan terhadap pemerintahan
mereka. Ketika pemerintah Polandia dan pemerintah Cekoslovakia tidak
ingin atau tidak dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat
dari mnoritas Jerman itu, Nazi memanfaatkan hal itu sebagai alasan untuk
melakukan agresi. Manipulasi pihak Nazi atas skema Liga Bangsa-Bangsa
itu, dan kerjasama minoritas Jerman dalam hal tersebut, mengakibatkan
‘reaksi yang kuat terhadap konsep perlindungan internasional dari
[minoritas bangsa], kenyataan pahit adalah bahwa para negarawan, yang
biasanya didukung oleh opini publik yang ada saat itu sangat terkesan
oleh pendukung iredentisme yang berkhianat dan minoritas yang tidak
loyal, cenderung membatasi, dan bukan memperluas hak-hak minoritas.
Pembatasan hak-hak minoritas itu dilakukan bukan untuk kepentingan
keadilan, melainkan oleh orang-orang ‘yang berada di dalam kerangka
acuan kepentingan negara kebangsaan yang ditempatkan sebagai nilai-
nilai luhur (kebangsaan mayoritas) mempunyai kepentingan dalam
menjadikan negara kebangsaan selamat, dan institusinya stabil, bahkan
dengan melenyapkan kebudayaan minoritas dan memaksakan
homogenitas pada penduduk.

Desegregasi Rasial di Amerika Serikat

Penolakan modern liberal terhadap hak minoritas dimulai dengan


kekhawatiran akan stabilitas politik, namun memperoleh pelindung
keadilan apbila dikaitkan pada sesegregasi rasial. Dalam kasus Brown
lawan Dewan Pendidikan, Mahkamah Agung Amerika menjatuhkan
sistem fasilitas pendidikan terpisah bagi anak-anak kulit hitam dan putih
di Selatan. Keputusan itu dan gerakan hak-hak sipil pada umumya,
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada pandangan orang Amerika
mengenai persamaan ras. Model baru keadilan rasial adalah ‘undang-
undang buta warna’, yang menggantikan ‘perlakuan terpisah, tetapi sama’,
yang kini dipandang sebagai paradigma ketidakadilan rasial.
Namun pengaruh kasus Brown itu segera terasa di bidang lain selain
hubungan antarras, karena tampak meletakkan suatu prinsip yang secara
setara dapat diterapkan pada hubungan antara kelompok etnis dan
kelompok bangsa. Menurut prinsip itu, ketidakadilan adalah masalah
pengucilan arbitrer dari institusi masyarakat yang dominan dan
persamaan adalah masalah non-diskriminasi dan kesempatan yang sama
untuk berperan serta. Dipandang dari sisi itu, perundangan yang
memberika institusi terpisah bagi minoritas bangsa tampak tak berbeda
dari segregasi orang-orang kulit hitam. Oleh karena itu, perluasan alami
dari kasus Brown, adalah melepaskan status terpisan dari kebudayaan
minoritas, dan mendorong partisipasi yang sama dalam masyarakat yang
dominan.
Polietnisitas dan Kebangkitan Etnis Amerika
Kepercayaan bahwa hak minoritas adalah tidak adil dan memcah-
belah, terkonfirmasi, bagi banyak kaum liberal, dengan kebangkitan etnis
yang menggoncangkan Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di
tahun 1960-an dan 70-an, kebangkitan itu mulai dengan klaim bahwa
adalah sah (tidak ‘tidak Amerika’) bagi kelompok etnis untuk
mengekspresikan kharakteristik yang membedakan mereka (bertentangan
dengan model imigrasi ‘konformitas Inggris’). Namun segera beralih ke
tuntutan-tuntutan lainnya. Misalnya satu hal akibat dari ekspresi yang
lebih terbuka dari identitas etnis adalah bahwa kelompok etnis menjadi
lebih sadar akan statusnya sebagai kelompok. Menjadi biasa untuk
mengukur distribusi penghasilan atau kedudukan di antara kelompok
etnis dan beberapa dari kelompok itu yang semula berjalan kurang baik
menuntut tindakan perbaikan berbasiskan kelompok, seperti kuota dalam
pendidikan dan pekerjaan. Mereka juga menginginkan warisan budaya
mereka diakui di kurikulum sekolah dan simbol-simbol pemerintahan.
Hak-Hak Minoritas dalam Tradisi Sosialis
Para sosialis secara tradisional tidak mendukung hak minoritas,
dengan berbagai alasan
Pertama, sosisalisme terikat pada teori tertentu mengenai evolusi sosial.
Evolusi sering dinyatakan dalam arti ekspansi dalam ukuran unit-unit
sosial manusia dari keluarga, suku sampai ke tingkat lokal, regional,
nasional, dan bisa juga global. Komunitas budaya yang lebih kecil, harus
memberikan jalan kepada yang lebih besar.
Kedua, sosialis cenderung memandang perbedaan budaya dari sudut
pandang politik yang sempit, yang hanya menanyakan apakah identitas
budaya memajukan atau memperlambat perjuangan politik untuk
sosialisme. Dan sebagian besar sosialis telah berasumsi bahwa identitas
etnis dan nasional adalah hambatan politik.
Ketiga, sosialis pada praktiknya sering memanfaatkan identitas budaya
apabila membantu dalam memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.

Anda mungkin juga menyukai