Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan ʿʿIndeks Bias Prismaʾʾ bagi peserta praktikum Fisika Dasar adalah
dapat ditentukan indeks bias prisma serta dapat dijelaskan ketergantungan indeks bias pada
panjang gelombang.

1.2 Dasar Teori

Ketika sebuah berkas pada suatu permukaan bidang dikenai cahaya yang dipisahka dari
dua medium yang berbeda, seperti energy cahaya matahari yang dipantulkan kemudian
dimasukkan pada medium kedua kemudian terjadi perubahan arah dari sinar yang
ditransmisikan. Maka hal ini disebut dengan pembiasan. Gelombang yang ditransmisikan
merupakan hasil interferensi dari gelombang dating dan gelombang yang dihasilkan oleh
penyerapan dan radiasiulang energi cahaya oleh atom-atom di dalam ruang hampa terhadap
laju cahaya di dalam medium yang sellau lebih besar dari ɩ, yang dapat dirumuskan :
v c/n 
λ’ = = =
f f n
… (1.1)

λ adalah panjang gelombang cahaya di ruang hampa sedang λ’ adalah panjang gelombang di
dalam medium, dengan n merupakan komposisi indeks bias dan f merupakan frekuensi (
Halliday dan Robert, 2004).

Gambar 1.1 Refraksi


Gambar 1.2 Refleksi + Refraksi

( 1 ) merupakan sudukut refraksi (  2 ) diukur dari normal bidang ke sinar yang


bersangkutan. Hukum-hukum refleksi dan refraksi:

1.) Sinar yang direfleksikan dan yang direfraksikan terletak pada satu bidang yang dibentuk
oleh sinar datang dan normal bidang batas di titik bidang.

2.) Refleksi 1 =  2 … (1.2)

3.) Refraksi sin 1


= n 21
sin  2 … (1.3)

n21 adalah konstanta indeks refraksi (indeks bias) dari medium 2 terhadap medium 1,
bergantung pada pabjang gelombang ( pada gambar 1.2 ). Refraksi dapat dugunakan untuk
diuraikan suatu cahaya atas panjang gelombangnya ( Tipler, 2001 ).

Dalam pembiasan digunakan prinsip Huygens untuk dilakukan hukum pembiasab


atau disebut dengan hukum Snelli. Dimana reframsu terjadi di beberapa muka muka
gelomvang antarmuka datar yaitu antara udara (medium 1) dan kaca (medium 2), dari
hukum pembiasan yang didapat persamaan:

1 v1
=
2 v 2
… (1.4)

Refraksj yang terjadi di permukaan akan memberikan arah yang baru, dapat dikemukakan
bahwa:
1 1
sin 1 = … (1.5) dan sin 1 = … (1.6)
hc hc
dari kedua persamaan didapat:

sin 1 1 v1
= =
sin  2 2 v2
… (1.7)

lalu dihasilkan indeks bias yaitu:

c
n=
v … (1.8)

apabila dikombinasikan, maka ditemukan hukum difraksi yaitu:


sin 1 c / n1 n2
= =
sin  2 c / n2 n1
… (1.9)

Dari persamaan-persamaan yang telah disebutkan akan membentuk dan saling berhubungan
sehingga dapat dikatakan bahwa pernyataan dan persamaan itu merupakan hukum dari
indeks bias ( Giambattista, dkk. 2004 ).

Hukum Snelli akan ditunjukkan bahwa sudut pembiasan yang dilakukan ketika oanjang
cahaya dimasuki suatu material tergantung pada panjang gelombang cahaya. Sinar cahaya
dengan panjang gelombang tunggal yang terjadi pada prisma dari kiri akan muncul dan
dibungkukkan dadi arah perjalanan semula sudut, yang disebut dengan sudut deviasi.

Gambar 1.3 Fenomena pembiasan

Sinar yang muncul dari wajah kedua prisma dan tersebar dalam serangkaian warna dikenal
dengan spektrum warna. Prisma yang digunakan dalam instrumen yang dikenal sebagai
spektometer prisma. Gas panas dan tekanan rendah yang di pancarkan spektra merupakan
karakteristiknya, untuk itu digunakan spektometer prisma untuk mengidentifikasi. Dalam
pengukuran Panjang gelombang yang dipancatkan digunakan analisis spektral pada indeks
bias prisma yang dipancarkan atau diseral oleh zat ( Serway and Chris, 2012 ).

Dapat disimpulkan bahwasannya hukum Snelli dapat dinyatakan dengan persamaan:

n1 sin 1 = n2 sin  2
… (1.10)

Hukum Snelli sendiri merupakan hukum difraksi atau indeks bias yang telah dipaparkan di
atas, baik itu indeks bias larutan maupun indeks bias prisma. Hukum Snelli dinyatakan
bahwa , maka cahaya akan dimasuki medium dimana n lebih besar dan kecepatannya lebih
kecil, sinar akan dibungkukkan ke arah normal dan jika dan , maka sinar akan dibungkukkan
jauh dari normal ( Giancoli, 2014).
BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat dan Bahan

Peralatan yang dipergunaka dalam percobaan Indeks Bias Prisma adalah sebuah lensa (
f= 150mm ), sebuah prisma kaca flinta, filter monokromatik ( merah, hijau, violet ), sebuah
lampu (6V, 30W), celah sempit, sebuah condenser asferis, sebuah kertas putih atau bidang bias,
serta sebuah meteran atau penggaris.

2.2 Tata Laksana Percobaan

Alat-alat dipasang seperti pada gambar 3. Posisi tiap-tiao alat yang ditunjukkan oleh angka
di bawahnya.

Mula-mula
di tanpa prisma dan filter, dicari bayangan yang paling baik pada layar dan diberi
bawahnya.
tanda A.

Filter merah dan prisma dipasang. Dicari lagi posisi bayangan dejgan digeserkan prisma
sehingga ditemukan defleksi molesimum. Diberi tanda!.

a
Jarak AB= a dan A= b diukur;sudut defleksi: tan = Ᵹ= .
b

Langkah 3 dan 4 diulangi untuk filter hijau dan violet.

HASIL
BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Hasil Percobaan

Tabel 3.1 Data Hasil Percobaan

B (cm) Ф a (cm) a ( cm) a (cm )

(Sudut Prisma)

merah Hijau biru

25 45˚ 11,6 11,6 11,8

25 45˚ 11,7 11,7 11,9

25 45˚ 11,6 11,7 11.8

20 45˚ 9,4 9,8 10,0

20 45˚ 9,3 9,7 9,9

20 45˚ 9,4 9,7 9,8

15 45˚ 7,5 7,5 7,3

15 45˚ 7,4 7,6 7,4

15 45˚ 7,4 7,5 7,5

3.2 Perhitungan

3.2.1 Data b=25cm, Ф =45˚, filter=merah

Tabel 3.2.1 filter merah, b=25cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹmin ( ʺ ) Δ Ᵹ min ( ʺ ) N

1 11,6 25 0,434435142 348,6382219 1,009654114

2 11,7 25 0,437721491 348,637671 1,009727144

3 11,6 25 0,434435142 348,6382219 1,009654114


x̄ 11,63 1,009678458

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 4,21639E-05
n
• Kr = x 100% = 0,004175869 %
n

• n = n ± Δn =1,009678458 ± 4,21639E-05

3.2.2 Data b=25cm, Ф =45˚, filter=hijau

Tabel 3.2.2 filter hijau, b=25cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 11,6 25 0,434435142 348,6382219 1,009654114

2 11,7 25 0,437721491 348,6376709 1,009727144

3 11,7 25 0,437721491 348,6376709 1,009727144

x̄ 11,67 1,009702801

( n − n) 2
• n =  n −1
= 4,21639E-05

n
• Kr = x 100% = 0,004175869 %
n

• n = n ± Δn =1,009702801 ± 4,21639E-05

3.2.3 Data b=25cm, Ф =45˚, filter=biru

Tabel 3.2.3 filter biru, b=25cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 11,8 25 0,440997761 348,6371308 1,00979995

2 11,9 25 0,44426393 348,636601 1,009872532


3 11,8 25 0,440997761 348,6371308 1,00979995

x̄ 11,83 1,009824144

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 4,21639E-05
n
• Kr = x 100% = 0,004149729 %
n

• n = n ± Δn = 1,009824144 ± 4,21639E-05

3.2.4 Data b=20cm, Ф =45˚, filter=merah

Tabel 3.2.4 filter merah, b=20cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 9,4 20 0,439360887 223,1602704 1,009763575

2 9,3 20 0,435257673 223,161125 1,009672393

3 9,4 20 0,439360887 223,1602704 1,009763575

x̄ 9,37 1,009733181

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 5,26443E-05
n
• Kr = x 100% = 0,005213681 %
n

• n = n ± Δn = 1,009733181 ± 5,26443E-05

3.2.5 Data b=20cm, Ф =45˚, filter=hijau

Tabel 3.2.5 filter hijau, b=20cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 9,8 20 0,455615653 223,1570543 1,010124792


2 9,7 20 0,451575761 223,1578295 1,010035017

3 9,7 20 0,451575761 223,1578295 1,010035017

x̄ 9,73 1,010064942

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 5,18318E-05
n
• Kr = x 100% = 0,005131536 %
n

• n = n ± Δn = 1,010064942 ± 5,18318E-05

3.2.6 Data b=20cm, Ф =45˚, filter=biru

Tabel 3.2.6 filter biru, b=20cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 10 20 0,463647609 240,07 1,01030328

2 9,9 20 0,459639614 240,070911 1,010214214

3 9,8 20 0,455615653 240,0718451 1,010124792

x̄ 9,9 1,010214095

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 8,9244E-05
n
• Kr = x 100% = 0,008834168 %
n

• n = n ± Δn = 1,010214095 ± 8,9244E-05

3.2.7 Data b=15cm, Ф =45˚, filter=merah

Tabel 3.2.7 filter merah, b=15cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N


1 7,5 15 0,463647609 125,5724437 1,01030328

2 7,4 15 0,458300066 125,5737636 1,010184446

3 7,4 15 0,458300066 125,5737636 1,010184446

x̄ 7,43 1,010224057

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 6,8609E-05
n
• Kr = x 100% = 0,006791464 %
n

• n = n ± Δn = 1,010224057 ± 6,8609E-05

3.2.8 Data b=15cm, Ф =45˚, filter=hijau

Tabel 3.2.8 filter hijau, b=15cm

No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 7,5 15 0,463647609 112,5666667 1,01030328

2 7,6 15 0,468966708 112,565789 1,010421482

3 7,5 15 0,463647609 112,5666667 1,01030328

x̄ 7,53 1,010342681

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 6,82441E-05
n
• Kr = x 100% = 0,006754547 %
n

• n = n ± Δn = 1,010342681 ± 6,82441E-05

3.2.9 Data b=15cm, Ф =45˚, filter=biru

Tabel 3.2.9 filter biru, b=15cm


No a ( cm) b ( cm) Ᵹ min ( ʺ ) ΔꝽ min ( ʺ ) N

1 7,3 15 0,452924159 112,5684932 1,010064981

2 7,4 15 0,458300066 112,567568 1,010184446

3 7,5 15 0,463647609 112,5666667 1,01030328

x̄ 7,4 1,010184236

( n − n) 2
• n =  n − 1 = 0,00011915
n
• Kr = x 100% = 0,011794836 %
n

• n = n ± Δn = 1,010184236 ± 0,00011915

3.3 Pembahasan

3.3.1 Analisa Prosedur

3.3.1.1 Fungsi Alat

Pada praktikum ini digunakan beberapa peralatan yaitu sebuah lensa cembung,
digunakan untuk difokuskan cahaya yang dihasilkan ke layar. Sebuah prisma kaca flinta,
digunakan untuk dihasilkan defleksi dari sinar yang datang kemudian ditampilkan pada
layar. Filter monokromatik yang terdiri atas warna merah, hijau dan violet, digunakan
sebagai variasi data dengan perbedaan yang ada pada panjang gelombang dari ketiga warna
tersebut. Sebuah lampu digunakan sebagai sumber cahaya dengan sebuah kondenser asferis
sebagi pengumpul cahaya lampu tersebut. Sebuah kertas putih (layar) sebagai tempat
jatuhnya cahaya, dimana sebagai media dihasilkannya data. Serta sebuah mistar atau
penggaris digunakan dalam pengukuran jarak titik terang dengan prisma dan pengukuran
jarak antara tempat diletakkannya prisma dengan layar.

3.3.1.2 Fungsi Perlakuan

Hal pertama yang dilakukan adalah dihubungkan sebuah lampu pada sumber listrik
yang kemudian dihasilkan cahaya, dimana cahaya tersebut diatur dalam celah sempit
sehingga cahaya fokus pada layar. Kemudian peralatan disusun dengan diletakkan filter
monokromatik yang dimulai dari filter monokromatik berwarna merah kemudian hijau dan
biru (violet) secara bergantian. Pertama, diletakkan filter berwarna merah, prisma diletakkan
dan disesuaikan agar bayangan yg terbentuk pada layar tampak (bisa dibaca atau jelas) dan
seimbang. Lalu, diukur jarak prisma ke layar. Ini dilakukan dalam keadaan lampu
dinyalakan. Ketika lampu dimatikan, prisma digeser-geser untuk ditentukan titik bias,
dimana didapatkan titik terang yang sesuai kemudian diberi tanda pada layar, dilakukan
sebanyak 3 kali percobaan pada setiap warnanya dengan dengan jarak yang berbeda-beda
pula yaitu 15cm,20cn, dan 25cm sehingga dihasilkan variasi data yang berbeda setiap
jaraknya. Dilakukan langkah yang sama pada filter hijau dan filter biru. Pastikan tempat
dilakukannya praktikum minim cahaya bahkan gelap agar data yang didapat maksimal.

3.3.2 Analisa Hasil

Dari percobaan yang telah dilakukan, didapatkan data hasil percobaan yang bervarias,
dengan jarak yang berbeda dan filter monokromatik yang berbeda pula. Pada percobaan
dengan filter monokromatik berwarna merah, pada jarak 25cm didapat n=1,009678458 ±
4,21639E-05 dengan kr=0,004175869 %, pada jarak 20cm didapat n=1,009733181 ±
5,26443E-05 dengan kr= 0,005213681 %, pada jarak 15cm didapat n=1,010224057 ±
6,8609E-05 dengan kr=0,006791464 %. Pada percobaan dengan filter monokromatik
berwarna hijau pada jarak 25 cm didapat n=1,009702801 ± 4,21639E-05 dengan
kr=0,004175869 %, pada jarak 20cm didapat n=1,010064942 ± 5,18318E-05 dengan
kr=0,005131536 %, pada jarak 15cm didapat n=1,010342681 ± 6,82441E-05 dengan
kr=0,006754547 %. Pada percobaan dengan filter monokromatik berwarna biru pada jarak
25 cm didapat n= 1,009824144 ± 4,21639E-05dengan kr=,0,004149729 % pada jarak 20 cm
didapat n= 1,009824144 ± 4,21639E-05dengan kr=0,008834168 %, pada jarak 15 cm
didapat n=1,010184236 ± 0,00011915 dengan kr= 0,011794836 %. Masing-masing
percobaan dilakukan sebanyak 3x percobaan (pada filter dan jarak berbeda) hal ini dilakukan
untuk diperoleh variasi data, sehingga masing-masing data dari hasil perhitungan memiliki
kr (deviasi) yang berbeda pula. Dengan adanya hasil kr dan n yang berbeda, dibuktikan
bahwa data yang diperoleh dari masing-masing filter juga berbeda, dapat dilihat dari jarak
indeks bias yang dihasilkan pada layar, yaitu masing-masing filter terdapat a (cm) yang
berbeda. Dapat disimpulkan bahwasanya semakin kecil jarak prisma ke layar maka semakin
kecil jarak indeks bias yang dihasilkan dan sebaliknya. Adanya perbedaan filter,
dikarenakan adanya perbedaan panjang gelombang dari masing-masing filter yang berbeda
pula, sehingga data yang dihasilkan jelas berbeda. Adanya deviasi yang dihasilkan, karena
adanya ketidakcermatan saat dilakukan percobaan sehingga terjadi kesalahan. Namun,
deviasi rata-rata kurang dari 10% bahkan hanya 0.00xx% saja, dimana hal itu dibuktikan
bahwa percobaan yang dilakukan mendekati presisi, dan deviasi tersebut disebabkan karena
adanya kesalahan pembulatan serta ketidakcermatan pengambilan data, dikarenakan adanya
kesalahan humanity.

Dalam dunia perindustrian perusahaaan seperti makanan, minuman, farmasi, kimia,


kosmetik dan pengujian toksikologi dll. Pastinya memiliki persyaratan sebelum produk
dipasarkan, dimana itu berkendala dari lingkungan dan penanganan operator dengan
kompetitor lain. Oleh karena itu dibutuhkanlah Refraktometer sebagai alat untuk tes dan
pengujian sebelum komposisi itu dipasarkan. Dalam dunia kedokteran hewan,
Refraktometer juga digunakan untuk diuukurnya total protein plasma dalam sempel darah
dan urine hewan. Dalam doagnostik obat, Refraktometer digunakan untuk diukurnya berat
jenis dalam urine manusia. Dalam Gemmology, Refraktometer digunakan untuk
pengidentifikasi bahan permata dengan mengukur indeks bias. Dalam Aquarium laut
pembukuan, Refraktometer digunakan untuk diuukur salinitas dan berat jenis air.
Refraktomerter sendiri merupakan sebuah alat dari pengaplikasian indeks bias, dimana
pinsip kerja dari refractometer adalah dengan pemanfaatkan refraksi cahaya. Adapun prinsip
kerja dari refractometer dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Terdapat 3 bagian yaitu : Sample, Prisma dan Papan Skala. Refractive index
prisma jauh lebih besar dibandingkan dengan sample.

2. Jika sample merupakan larutan dengan konsentrasi rendah, maka sudut refraksi
akan lebar dikarenakan perbedaan refraksi dari prisma dan sample besar. Maka pada papan
skala sinar “a” akan jatuh pada skala rendah.

3. Jika sample merupakan larutan pekat / konsentrasi tinggi, maka sudut refraksi
akan kecil karena perbedaan refraksi prisma dan sample kecil. Pada gambar terlihar sinar“
b” jatuh pada skala besar.

Fenomena pada percobaan praktikum ini adalah fenomena dispersi. Dispersi dalam
percobaan inj adalah peristiwa penguraian cahaya polikromatik (putih) yang berasal dari
cahaya lampu berwarna putih menjadi cahaya-cahaya monokromatik (merah, hijau, violet)
pada prisma lewat pembiasan atau pembelokan. Hal ini membuktikan bahwa cahaya putih
terdiri dari harmonisasi berbagai cahaya warna dengan berbeda-beda panjang gelombang.
Komponen-komponen warna yang terbentuk yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila,
dan ungu. Dispersi terjadi akibat adanya perbedaan deviasi untuk setiap panjang gelombang,
yang disebabkan oleh perbedaan kelajuan masing-masing gelombang pada saat melewati
medium pembias. Pada percobaan ini adalah peristiwa dispersi dengan media prisma. Prisma
adalah benda bening (transparan) terbuat dari gelas yang dibatasi oleh dua bidang
permukaan yang membentuk sudut tertentu yang berfungsi menguraikan (sebagai pembias)
sinar yang mengenainya. Permukaan ini disebut bidang pembias, dan sudut yang dibentuk
oleh kedua bidang pembias disebut sudut pembias (β). Cahaya yang melalui prisma akan
mengalami dua kali pembiasan, yaitu saat memasuki prisma dan meninggalkan prisma. Jika
sinar datang mulamula dan sinar bias akhir diperpanjang, maka keduanya akan berpotongan
di suatu titik dan membentuk sudut yang disebut sudut deviasi. Jadi, sudut deviasi (δ) adalah
sudut yang dibentuk oleh perpanjangan sinar datang mula-mula dengan sinar yang
meniggalkan bidang pembias atau pemantul.
Indeks bias pada medium didefinisikan sebagai perbandingan antara kecepatan
cahaya dalam ruang hampa udara dengan cepat rambat cahaya pada suatu medium. Secara
sistematis pembiasan cahaya memiliki beberapa rumus. Pertama adalah rumus indeks bias
mutlak, ini digunakan dalam perumusan indeks bias, yaitu:

c
n=
v
… (3.1)

Simbol c memiliki arti laju cahaya dalam ruang hampa dan besarannya sudah ditentukan
yaitu ( 3 x 108 m/s)

Simbol v merupakan simbol untuk kecepatan laju cahaya dalam medium

Simbil n adalah indeks bias mutlak medium

Lalu, untuk rumus indeks bias relatif suatu medium terhadap medium lainnya maka
hanya tinggal melakukan operasi pembagian besaran cepat rambat cahayanya. Misalnya
ditanyakan indeks bias relatif kaca dibandingkan intan maka jawabannya adalah besaran
cepat rambat cahaya pada kaca dibagi dengan cepat rambat cahaya pada intan. Hal ini juga
berlaku untuk pencarian indeks bias relatif media lainnya karena memang hanya tinggal
melakukan operasi pembagian dari besaran cepat rambat cahayanya. Indeks bias tidak
pernah lebih kecil dari 1 atau n (n ≥ 1).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada percobaan indeks bias prisma dapat disimpulkan bahwasannya untuk ditentukan indeks bias
prisma diperlukan pencarian sudut defleksi terlebih dahulu, sehingga dapat dimasukkan ke dalam
perhitungan dalam mencari indeks bias prisma pada suatu medium. Pada praktikum ini,
digunakan prisma sebagai media indeks bias prisma dan ditentukan terlebih dahulu a (cm) dari
masing-masing filter dengan b (cm) yang berbeda-beda, lalu dapat dilakukan perhitungan dan
diperoleh variasi data, sehingga dapat ditentukan indeks bias prisma tersebut dari percobaan
yang telah dilakukan. Ketergantungan hubungan antara indeks bias prisma dengan panjang
gelombang adalah berbanding terbalik, yaitu semakin besar panjang gelombang maka semakin
kecil indeks bias prisma yang dihasilkan begitupun sebaliknya.

4.2 Saran

Sebaiknya pada saat pecobaan dilakukan, perlu diperhatikan ketelitian dan kecermatan dalam
pengambilan data agar tidak terjadi deviasi yang besar, pastikan ruangan gelap atau minim
cahaya sehingga pembacaan a (cm) pada layar dapat dilakukan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Giambattista, Alan, Bety Mc Charty and Robert C Richardson. 2004. College Physics.
Newyork: Mc. Graw Hill.

Giancoli, Douglas C. 2014. Physics Principles With Applications. Boston: Pearson.

Halliday, David dan Robert Resnick. 2004. Fisika Edisi Ke 3 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Serway, Raymond A and Chriss Vuille. 2012. College Physics Ninth Edition. Australia:
Brooks/Coole.

Tripler, Paul A. 2001. Fisika Jilid 2. Jakarta: Erlangga.


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai