Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR BULI-BULI
RUANG PERAWATAN LONTARA 2 BAWAH DEPAN (BEDAH UROLOGI)
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

SAENAB
R014191027

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

(…………………………………..) (Dr.Yuliana Syam S.Kep.,Ns.,M.Kes)

PRAKTEK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi

Buli-buli atau vesica urinaria (kandung kemih) merupakan salah satu bagian dari
sistem perkemihan yang berfungsi untuk menampung urin dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung
urin, buli-buli mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk orang dewasa
kurang lebih adalah 300-450 ml (Purnomo, 2016).
Vesica urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon, terletak di
belakang simfisis pubis dalam rongga panggul. Dinding vesica urinaria terdiri dari
beberapa lapisan, yaitu peritonium (lapisan luar), tunika muskularis, tunika submukosa,
dan lapisan mukas (lapisan dalam). Sementara bagian-bagian vesica urinaria terdiri dari
fundus, korpus, dan verteks (Nuari & Widayati, 2017).

Tumor buli-buli atau biasa juga disebut tumor vesica urinaria (kandung kemih)
merupakan keganasan kedua setelah karsinoma prostat. Tumor ganas buli sering diketahui
pada fase awal dan masih terlokalisir tanpa metastasis, namun rekurensinya cukup tinggi.
Secara histologis, tumor ganas buli-buli terdapat dalam bentuk karsinoma sel transisional
(paling banyak), adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa (Tanto, Liwang, Hanifati,
& Pradipta, 2014).
Tumor buli-buli adalah tumor yang didapatkan dalam kandung kemih sebagian
besar tumbuh dalam lumen kandung kemih (Aspiani, 2015). Karsinoma buli-buli
merupakan penyakit yang lebih sering pada pasien usia 60-70 tahun dengan resiko
tertinggi pada pria dibandingkan wanita (3:1) (Prabowo, 2014)
B. Etiologi
Keganasan buli-buli ini terjadi karena induksi bahan karsinogen yang
banyak terdapat disekitar kita. Beberapa faktor risiko yang yang mempengaruhi seseorang
menderita tumor buli-buli menurut Farling (2017), antara lain :
1. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko yang paling utama terjadinya tumor buli-buli. Di
dalam rokok terdapat banyak zat karsinogenik. Jumlah rokok yang dihisap per hari,
lama merokok, dan usia ketika pertama kali merokok meningkatkan risiko seseorang
terkena tumor buli-buli.
2. Pekerjaan yang melibatkan bahan kimia
Faktor risiko kedua terbanyak yaitu terpajan anilinedyes, aromatic amines, dan
polycyclic aromatic hydrocarbon. Bahan kimia tersebut sering terdapat pada kain, cat,
plastik, dan industri lainnya.
3. Inflamasi
Pasien dengan chronic urinary tract infections (UTIs), menggunakan kateter dalam
waktu lama, dan batu kandung kemih meningkatkan risiko terjadinya tumor buli-buli.
Pasien terinfeksi parasit Schistosoma haematobium yang meningkatkan risiko
perkembangan sel kanker.
4. Radiasi
Pasien dengan penanganan radiasi panggul untuk kanker genitourinari dan ginekologi
seperti kanker prostat dan kanker serviks memiliki risiko tinggi terkena tumor buli-buli.
5. Kemoterapi
Penggunaan cyclophosphamide pada pasien kanker dan penyakit imun meningkatkan
risiko terkena tumor buli-buli. Apalagi jika dosisnya tinggi dan pemakainya sudah
lama.
C. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis seseorang yang menderita tumor buli-buli yang paling sering
dijumpai yakni mengalami hematuria tanpa rasa nyeri. Apabila muncul gejala tersebut,
harus segera dievaluasi untuk kemungkinan adanya kanker buli-buli. Manifestasi klinis
lainnya yaitu adanya:
1. Darah pada urin (hematuria makroskopis) yang bersifat tanpa disertai nyeri (painless),
(intermitten), terjadi pada seluruh proses miksi (hematuria total).
2. Nyeri saat proses mengeluaran urin (disuria), meskipun seringkali karsinoma buli-buli
tanpa disertai gejala disuria, tetapi pada karsinoma in situ atau karsinoma yang sudah
infiltrasi luas tidak jarang menunjukkan gejala iritasi buli-buli.
3. Nyeri pada pelvis atau pinggang.
4. Hematuria dapat menimbulkan retensi bekuan darah sehingga pasien biasanya datang
dengan keluhan tidak dapat miksi.
D. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tumor buli-buli menurut Muttaqin (2008), antara
lain:
1. Apabila terjadi penyumbatan atau obstruksi,maka akan menyebabkan terjadinya refluks
vesiko-ureter dan hidronefrosis.
2. Jika terjadi infeksi, akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada ginjal, yang lama
kelamaan mengakibatkan gagal ginjal.
3. Hematuria yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya anemia pada pasien.
4. Infeksi sekunder bila tumor mengalami ulserasi.
5. Retensi urine bila tumor mengadakan invasi ke bladder neck.
6. Hydronefrosis oleh karena ureter mengalami oklusi.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada seseorang yang mengalami
tumor buli-buli antara lain (Umbas et al., 2014) :
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan colok dubur, palpasi bimanual ginjal, dan
palpasi kandung kemih. Pemeriksaan palpasi bimanual kandung kemih dilakukan saat
pasien dalam narkose sebelum dan sesudah reseksi transuretra dari tumor.
2. Pemeriksaan sitologi/penanda molekuler
Pasien dengan keluhan utama hematuria tanpa nyeri perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi urin untuk mencari adanya sel ganas pada urin. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas yang tinggi pada kanker kandung kemih derajat tinggi. Untuk meningkatkan
sensitivitas diagnostik dapat dilakukan pemeriksaan penanda molekuler seperti Bladder
Tumor Antigen (BTA) stat, Nuclear Matrix Protein (NMP) 22, sitokeratin, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk melihat massa intravesika, mendeteksi adanya
bekuan darah, dan melihat adanya obstruksi pada traktus urinarius bagian atas.
4. Pemeriksaan Intravenous Urography (IVU)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi tumor kandung kemih berupa space
occupying lession (SOL) , menentukan fungsi ginjal, dan adanya bendungan saluran
kemih bagian atas.

Gambar 2.1 Bentuk Tumor Buli-Buli

5. Pemeriksaan CT scan dan MRI


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui derajat invasi tumor dan melihat adanya
pembesaran kelenjar getah bening regional serta dapat mendeteksi adanya metastasis ke
hati.
6. Sistoskopi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui lokasi, ukuran, jumlah, dan bentuk tumor.
Sistoskopi dilakukan bersamaan dengan biopsi. Sistoskopi juga dikerjakan untuk
evakuasi bekuan darah jika terjadi retensi urin akibat bekuan darah.
7. Reseksi tumor kandung kemih transuretra (TUR-BT)
Tujuan TUR-BT adalah untuk menegakan diagnosis dan tatalaksana kuratif yaitu
dengan menghilangkan seluruh tumor yang terlihat. Selain itu, TUR-BT juga bertujuan
untuk penegakan diagnostik histopatologi dan staging yang harus melibatkan lapisan
otot pada saat pengambilan jaringan.
8. Patologi anatomi
Untuk menentukan diagnosis pasti, jenis, derajat deferensiasi dan invasi (keterlibatan
lapisan otot kandung kemih), adanya carsinoma insitu (CIS) dan invasi lomfovaskuler.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan bergantung pada derajat tumornya (yang didasarkan
pada derajar diferensiasi sel), stadium pertumbuhan tumor (derajat invasi lokal serta ada
tidaknya metastase) dan multisentrilitas tumor tersebut (apakah tumor tersebut memiliki
banyak pusat). Usia pasien dan status fisik, mental serta emosional harus dipertimbangkan
dalam menentukan bentuk terapinya.
1. Operasi
a. TUR BT (Trans Urethral Resection of Bladder Tumor)
Tindakan ini tidak membutuhkan insisi jadi sangat efisien untuk meminimalisir
infeksi. Kelebihan dari tindakan ini adalah tidak terganggunya fungsi vesika urinaria
dan seksual klien. Tindakan ini memungkinkan jika insisi tumor sederhana (non
radical)
 Dilakukan pada tumor yang posisinya superfisial, tumor papiler, inoperable tumor
sebagai tindakan palliatif.
 Bladder diakses melalui cystoscope yang dimasukkan melalui urethra.
 Hematuria, keluhan yang umum timbul setelah prosedur reseksi trans urethra,
dikontrol dengan kateter tiga cabang dan irigasi kandung kemih
b. Cystectomy dan urine diversion
 Prosedur pilihan untuk tumor stage B yang tidak bisa diatasi melalui tindakan
reseksi transurethra atau kemoterapi intravesika
 Prosedur dilakukan jika tumor menginvasi dinding vesika, termasuk trigone, atau
saat tumor tidak dapat diatasi dengan metode pembedahan yang lebih sederhana
 Radical cystectomy, pengangkatan kandung kemih, urethra, uterus, tuba falopii,
ovarium, segmen anterior vagina(wanita); kandung kemih, urethra, dan prostat
(pria). hingga lemak perivesikal dan nodus limfe pelvis.
c. Cystectomy partial
 Dilakukan jika klien tidak dapat mentoleransi prosedur cystectomy radical atau
jika ada tumor yang tidak dapat diangkat melalui transurethral cystectomy
 Hingga setengah bagian dari kandung kemih diangkat
 Kemungkinan sel kanker tumbuh kembali sangat tinggi
 Setelah prosedur pembedahan kapasitas kandung kemih berkurang hingga > 60
ml dan bertambah hingga 400 ml pada beberapa bulan post pembedahan.
2. Radioterapi
a. Diberikan pada tumor yang radiosensitive seperti undifferentiated pada grade III-IV
dan stage B2-C.
b. Radiasi diberikan sebelum operasi selama 3-4 minggu , dosis 3000-4000 Rads.
Penderita dievaluasi selama 2-4 minggu dengan interval cystoscopy, foto toraks, dan
IVP, kemudian 6 minggu setelah radiasi direncanakan operasi. Post operasi radiasi
tambahan 2000-3000 Rads selama 2-3 minggu.
3. Kemoterapi
Obat-obat anti kanker
a. Citral, 5 fluoro urasil
b. Topical chemotherapy yaitu thic-TEPA, chemoteraphy merupakan paliatif. 5-
fluorouracil (5-FU) dan doxorubicin (adriamycin) merupakan bahan yang paling
sering dipakai. Thiotepa dapat dimasukkan ke dalam buli-buli sebagai pengobatan
topikal. Klien dibiarkan menderita dehidrasi 8-12 jam sebelum pengobatan dengan
theotipa dan obat dibiarkan dalam buli-buli selama 2 jam.
BAB II

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, dan status perkawinan.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien pada saat dilakukan pengkajian. Keluhan utama
membantu menyusun prioritas untuk intervensi medis maupun keperawatan.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
2) Riwayat penyakit terdahulu
3) Riwayat sosial
4) Riwayat alergi
5) Riwayat keluarga
6) Riwayat pengobatan
7) Riwayat pembedahan
3. Status aktivitas
a. Kaji mengenai perasaan pasien ketika beraktivitas maupun beristirahat. Tanyakan
apakah pasien merasa sesak atau tidak.
4. Status pernafasan
a. Pantau batuk apakah pasien mengalami batuk persisten atau hemoptisis (batuk
berdarah), produksi sputum (warna dan apakah bercampur dengan darah), adanya
nyeri dada, serta perubahan pola pernafasan seperti dispnea dan adanya wheezing.
b. Kaji hasil pemeriksaan diagnostik yang terkait dengan sistem pernafasan
5. Status Sirkulasi
a. Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
6. Status eliminasi
a. Kaji mengenai perasaan pasien ketika melakukan BAB dan BAK
b. Kaji mengenai warna feses dan urine pasien
7. Status nutrisi
a. Dapatkan riwayat diet
b. Identifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan makan pasien seperti
disfagia, anoreksia, dan mual muntah
c. Kaji kemampuan pasien untuk mempersiapkan atau membeli makanan
d. Ukur status nutrisi pasien
8. Status neurosensorik
a. Kaji apakah pasien mengalami pusing, sakit kepala, photofobia
b. Kaji mengenai kekuatan otot pasien, begitu pula dengan ekstremitasnya
c. Kaji adanya perubahan status mental, kerusakan mental, dan perubahan sensori
9. Tingkat pengetahuan
a. Evaluasi pengetahuan pasien mengenai penyakit dan penyebarannya.
b. Kaji tingkat pengetahuan keluarga dan teman.
c. Gali bagaimana pasien menghadapi penyakit dan stressor kehidupan mayor di masa
lalu dan identifikasi sumber-sumber dukungan pasien.
10. Penggunaan terapi alternative
a. Tanyakan pasien mengenai penggunaan terapi alternative.
b. Anjurkan pasien untuk melaporkan setiap penggunaan terapi alternative ke penyedia
layanan kesehatan primer.
c. Kenali kemungkinan efek samping dari terapi alternatif jika efek samping diduga
terjadi akibat terapi alternatif, diskusikan bersama pasien dan penyedia layanan
kesehatan primer dan alternatif.
d. Pandang terapi alternative dengan pikiran terbuka, dan coba pahami pentingnya terapi
tersebut bagi pasien.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat di angkat berdasarkan NANDA 2018-2020 (Herdman &
Kamitsuru, 2018) adalah :
1. Pre operasi
a. Hambatan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomi
b. Nyeri akut berhubungan dengan age cedera bilogis
c. Mual
2. Post operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur invasif
b. Risiko infeksi
C. Rencana/Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan dan kriteria hasil berdasarkan Moorhead, Johnson,
Maas, & Swanson (2016) dan Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner (2016) adalah
sebagai berikut:
Diagnosa : Hambatan eliminasi urin b.d obstruksi anatomi
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan retensi urin
selama …x 24 jam, diharapkan pola  Lakukan penilaian kemih yang
eliminasi urine dengan kriteria hasil : komprehensif berfokus pada
inkontinensia (misalnya, output urin,
Eliminasi urin: pola berkemih kemih, fungsi kognitif,
 Pola eliminais tidak terganggu dan masalah kencing praeksisten)
 Memantau penggunaan obat dengan sifat
 Intake cairan tidak terganggu antikolinergik atau properti alpha agonis
 Dapat mengososngka kandung kemih  Memonitor efek dari obat-obatan yang
sepenuhnya diresepkan, seperti calcium channel
 Tidak ada darah yang terlihat dalam blockers dan antikolinergik
urin  Merangsang refleks kandung kemih
dengan menerapkan dingin untuk perut
 Tidak nyeri saat berkemih
 Sediakan waktu yang cukup untuk
 Tidak ada retensi urin pengosongan kandung kemih (10 menit)
 Gunakan spirit wintergreen di pispot
atau urinal.
 Memantau asupan dan keluaran.
 Memantau tingkat distensi kandung
kemih dengan palpasi.
 Menerapkan kateterisasi intermiten.

Diagnosa : Nyeri akut b.d agen cedera fisik


NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri:
selama …x 24 jam, diharapkan klien  Lakukan pengkajian nyeri secara
dapat mengontrol nyeri dengan kriteria komprehensif termasuk lokasi,
hasil: karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
Kontrol nyeri :  Observasi reaksi nonverbal dari
 Mengenali kapan nyeri terjadi
ketidaknyamanan
 Menggambarkan faktor penyebab
 Bantu pasien dan keluarga untuk
nyeri
mencari dan menemukan dukungan
 Menggunakan tindakan pengurangan  Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri tanpa analgesik
mempengaruhi nyeri seperti suhu
 Menggunakan analgesik yang ruangan, pencahayaan dan kebisingan
direkomendasikan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Melaporkan nyeri berkurang
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
 Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali.

Diagnosa : Mual
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen mual:
selama …x 24 jam, diharapkan mual  Dorong pasien untuk memantau mual
teratasi dengan kriteria hasil: secara mandiri.
 Dorong pasien untuk mempelajari
Kontrol mual dan muntah : strategi mengelola mual sendiri
 Mengenali onset mual  Lakukan penilaian lengkap mual,
 Menegenali pencetus stimulus termasuk frekuensi, durasi, tingkat
(mutah) keparahan, dengan menggunakan
instrument skala analog visual, skala
 Dapat menggunakan langkah- deskriptif duke dan indeks rhode mual
langkah pencegahan dan muntah (INV).
 Menghindari bau yang tidak  Identifikasi pengobatan awal yang
menyenangkan pernah dilakukan.
 Menggunakan obat antiemetik seperti  Evaluasi dampak mual pada kualitas
yang direkomendasikan hidup
 Identifikasi strategi yang berhasil
menghilangkan mual

Manajemen muntah :
 Posisikan klien untuk mencegah aspirasi.
 Beri dukungan fisik selama muntah.
 Beri kenyamanan selama muntah.
 Tunjukkan penerimaan muntah dan
berkolaborasi ketika memilih strategi
pengendalian muntah.
 Bersihkan area yang terkena muntah
sebelum menawarkan lebih banyak
cairan.
 Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologi.
 Kaji emesis untuk warna, konsistensi,
darah dan waktu.
 Kolaborasi pemberian obat anti emetic.

Diagnosa : Risiko infeksi


NOC NIC
Setelah dilakukan perawatan tindakan Kontrol infeksi :
keperawatan selama …x 24 jam,  Alokasikan keseuaian luas ruang per
diharapkan tidak terjadi infeksi dengan pasien seperti yang diindikasikan oleh
kriteria hasil: pedoman pusat pengendalian dan
pencegahan penyakit
Penyembuhan luka primer :  Ganti peralatan perawatan per pasien
 Drainase purulen tidak ada sesuai protokol institusi
 Drainase serosa tidak ada  Batasi jumlah pengunjung
 Drainase sannguinis tidak ada  Ajarkan cara cuci tangan yang tepat
 Draniase serosanguinis tidak ada kepada Pasien maupun keluarga Pasien
 Eritema kulit disekitarnya tidak ada  Anjurkan pengunjung untuk mencuci
 Lebam di kulit sekitarnya tidak ada tangan sebelum dan sesudah
 Periwound edema tidak ada mengunjungi Pasien
 Peningkatan suhu kulit tidak ada  Cuci tangan sebelum dan sesudah
 Bau luka busuk tidak ada kegiatan perawatan Pasien
 Lakukan tindakan-tindakan pencegahan
Kontrol risiko: proses infeksi : yang bersifat universal
 Pasien mampu mencari informasi  Gunakan sarung tangan sesuai dengan
terkait control risiko kebijakan universal
 Pasien mampu menindetifikasi faktor  Gunakan sarung tangan steril dengan
risiko infeksi tepat
 Pasien mampu mengenali perilaku  Bersihkan kulit Pasien dengan agen
yang berhubungan dengan risiko antibakteri yang sesuai
infeksi  Pastikan teknik perawatan luka yang
 Pasien mampu mnegenali tanda dan tepat
gejala infeksi  Dorong batuk dan bernafas dalam yang
 Pasien mampu memonitor perilaku tepat
diri yang berkaitan dengan risiko  Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
infeksi  Kolaborasi pemberian terapi antibiotik
 Pasien mampu memonitor lingkungan yang sesuai
yang berkaitan dengan risiko infeksi  Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
 Pasien mampu mempraktikan strategi tanda dan gejala infeksi dan kapan harus
untuk mengontrol infeksi melaporkannya pada tim kesehatan
 Ajarkan pasien dan keluarga mengenai
tindakan menghindari infeksi

Perawatan area sayatan :


 Jelaskan prosedur pada pasien dan
gunakan persiapan sensorik.
 Periksa area sayatan terhadap adanya
kemerahan, bengkak, atau tanda-tanda
infeksi.
 Catat karakteristik drainase.
 Monitor proses penyembuhan di area
sayatan.
 Bersihkan area sekitar sayatan dengan
pembersihan yang tepat.
 Bersihkan mulai area yang bersih ke area
yang kurang bersih.
 Gunakan kapas steril untuk pembersihan
jahitan benang luka yang efisien, luka
dalam dan sepit, atau luka berkantong.
 Bersihkan area sekitar drainase atau pada
area selang drainase.
 Jaga posisi selang drainase.
 Berikan plaster untuk menutupi luka.
 Berikan salep antiseptic.
 Lepaskan jahitan, steples, atau klip
sesuai indikasi.
 Ganti pakaian pasien dengan interval
waktu yang tepat.
 Gunakan pakaian yang sesuai untuk
melindungi sayatan.
 Fasilitasi pasien untuk melihat luka
infeksi.
 Arahkan pasien cara merawat luka insisi
selama mandi.
 Arahkan pasien untuk meminimalkan
tekanan pada area insisi.
 Arahkan pasien dan keluarga untuk
merawat luka insisi termasuk memantau
tanda dan gejala infeksi.
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)

Merokok, pekerjaan (terpapar bahan kimia), inflamasi, radiasi, kemoterapi

Vesica urianaria terpapar zat karsinogen

TUMOR BULI-BULI

Ulserasi
Metastase Oklusi ureter/pelvic

Infeksi sekunder : HAMBATAN ELIMINASI URIN


Invasi pada Refluks
- Panas saat
bladder
berkemih
- Hematuria
Hidronefrosis
Retensi urine

Sensasi nyeri
Mual muntah
Penatalaksanaan
NYERI AKUT
MUAL
Operasi Kemoterapi

Efek samping kemoterapi

Diskontinuitas jaringan Perubahan status kesehatan

Imunitas menurun
Peningkatan suhu tubuh Perubaha Kelemahan
n nafsu
makan

RISIKO
INFEKSI
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R.Y. (2015). Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
perkemihan aplikasi Nanda, Nic dan Noc. Jakarta Timur : Trans Info Media
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) (Keenam). Philadelphia: Elsevier.
Farling, K. B. (2017). Bladder Cancer: Risk Factors, Diagnosis, and Management. The Nurse
Practitioner, 42(3), 26–33.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes Classification
(NOC) (Kelima). Philadelphia: Elsevier.
Muttaqin, A. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Nuari, N. A., & Widayati, D. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan Penatalaksanaan
Keperawatan. Yogyakarta: Budi Utama.
Prabowo, E., & Pranata, A.E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Purnomo, B. B. (2016). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran (4th
ed.). Jakarta: Media Aesculapius.
Umbas, R., Hardjowijoto, S., Mochtar, C. A., Safriadi, F., Djatisoesanto, W., Agung, A., …
Hendri, A. Z. (2014). Panduan penanganan kanker kandung kemih tipe urotelial. Ikatan
Ahli Urologi Indonesia (IAUI).

Anda mungkin juga menyukai