Anda di halaman 1dari 17

PENGARUH TENAGA KERJA DAN BELANJA MODAL TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI
(Studi pada Tenaga Kerja di Provinsi DKI Jakarta)

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Mata Kuliah Ekonometrika

Oleh:
Adisti Mutiara Azzahra
Ary Kurniawan
Berliana Prahesti
Bayu Satria Nugroho
Della Rachmawati

Program Studi: Ekonomi Islam

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1441/H / 2020 M
ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran dari adanya pembangunan


ekonomi disuatu daerah oleh karena itu pemerintah selalu mengupayakan agar
pertumbuhan ekonomi selalu meningkat dari tahun ke tahun yang nantinya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Boediono pertumbuhan
ekonomi diartikan sebagai suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka
panjang. Hal ini berarti, bahwa dalam jangka panjang, kesejahteraan tercermin
pada peningkatan output perkapita yang sekaligus memberikan banyak alternatif
pada masyarakat dalam mengkonsumsi barang dan jasa, serta diikuti oleh daya
beli masyarakat yang semakin meningkat.
Jika mengenai masalah ekonomi, maka provinsi DKI Jakarta adalah yang
selalu menjadi pusat sorotan utama. Menurut data BPS, kinerja perekonomian
DKI Jakarta menurun signifikan pada triwulan II 2020 dibandingkan dengan
triwulan I 2020, sebagai dampak pandemi COVID-19. Ekonomi DKI Jakarta
terkontraksi sebesar -8,22% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mampu
tumbuh sebesar 5,06% (yoy). Angka penurunan ini, dibarengi dengan fakta bahwa
total angkatan kerja hingga Agustus 2020 mencapi 5,23 juta orang. Dan dari 5,23
juta orang ini, 4,65 juta orang bekerja dan 572 ribu orang menganggur.
Studi empiris hubungan antara pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil yang berbeda, hal ini terungkap dari
penelitian Purbadharmaja dan Sodik (2007) yang menunjukkan pengeluaran
pemerintah memberi kontribusi nyata dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bentuk pengeluaran pemerintah berupa alokasi belanja modal untuk penyediaan
berbagai sarana dan prasarana fasilitas publik yang dapat menjadi aset tetap
daerah dan mempunyai nilai manfaat lebih satu tahun diharapkan dapat menjadi
modal penunjang terlaksananya berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. Selain itu
Permasalahan pengeluaran pemerintah khususnya belanja modal sampai saat ini
belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah baik di pusat maupun di
daerah sehingga ke depan hendaknya lebih intensif diperhatikan dan
diprioritaskan, karena pada kenyataannya selama ini anggaran pemerintah baik
APBN maupun APBD lebih besar porsinya untuk belanja pegawai dari pada
belanja modal (Fajri, 2016).
Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis Pengaruh Tenaga Kerja dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Provinsi DKI Jakarta.

Kata kunci: Tenaga Kerja, Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bila dilihat selama periode tahun 1990 sampai dengan tahun 1996
pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 6 persen sampai 8 persen
(Ekonomi et al., 2012). Namun pada tahun 1997 mengalami penurunan
menjadi 4,70 persen, bahkan pada tahun 1999 menjadi –13,13 persen.
Selanjutnya selama periode 2000 sampai 2013 pertumbuhan ekonomi
nasional berkisar 3 persen sampai 6 persen, tidak lebih dari 7 persen (BPS,
2014). Pada triwulan III 2020, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar
-3,49% (YoY); membaik dari triwulan sebelumnya yang sebesar -5,32%
(YoY). Selain modal, pertumbuhan ekonomi dipacu oleh tenaga kerja,
Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2020 sebanyak 138,22 juta orang, naik
2,36 juta orang dibanding Agustus 2019. Seperti dilansir dari Jakarta Bisnis,
Jakarta sebagai ibukota sekaligus kota terpadat di Indonesia mengalami
penurunan terhadap tingkat pertumbuhan ekonominya sebanyak 3,82%.
Meskipun angka tersebut adalah lebih baik dari kuartal sebelumnya,
penurunan ini dirasa penting untuk dibahas secara lanjut.
Berdasarkan data empiris tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji
bagaimana PENGARUH TENAGA KERJA DAN BELANJA MODAL
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi pada Tenaga Kerja
di Provinsi DKI Jakarta).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah belanja modal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi DKI Jakarta?
2. Apakah tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi DKI Jakarta?
3. Apakah belanja modal dan tenaga kerja secara bersama-sama
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi DKI Jakarta?

2
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Memberikan gambaran jelas mengenai Pengaruh Tenaga Kerja dan
Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
b. Memberikan data empiris mengenai Pengaruh Tenaga Kerja dan
Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat menambah
wawasan atau khasanah keilmuan bagi kaum intelektual tentang
bagaimana Pengaruh Tenaga Kerja dan Belanja Modal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi. Khususnya para penduduk yang berada di
provinsi DKI Jakarta.
b. Secara Praktis
1) Bagi penulis khususnya dapat menambah pengetahuan dan
wawasan penelitian terutama terkait Pengaruh Tenaga Kerja
dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
2) Bagi masyarakat dapat memberikan pengetahuan dan gambaran
jelas mengenai Pengaruh Tenaga Kerja dan Belanja Modal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
3) Bagi seluruh penduduk yang berada di Provinsi DKI Jakarta,
terkhusus para angkatan dan tenaga kerja, agar dapat
mengetahui dan memahami terkait dengan Pengaruh Tenaga
Kerja dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Tenaga Kerja


1. Teori Tenaga Kerja Ekonomi Neo Klasik Harrod Domar
Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik Tradisional,
pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3 (tiga)
faktor yakni kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan
modal (tabungan dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Sukirno,
2000). Sumbangan terpenting dari pertumbuhan ekonomi Neo Klasik
bukanlah menunjukkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi
perumbuhan ekonomi, tetapi dalam sumbangannya untuk menggunakan
teori tersebut untuk mengadakan penyelidikan empiris dalam
menentukan peranan sebenarnya dari berbagai faktor produksi dalam
mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Suatu wilayah dapat dikatakan
mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat apabila dari tahun ke
tahun mengalami kenaikan yang signifikan, sedangkan pertumbuhan
yang lambat terjadi apabila dari tahun ke tahun mengalami penurunan
atau fluktuatif (Rizky, Agustin and Mukhlis, 2016). Hal ini dapat
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya suatu
wilayah tersebut atau membandingkannya dengan wilayah lain.
Pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dengan membandingkan PDB
pada satu tahun tertentu dengan tahun sebelumnya (Rizky, Agustin and
Mukhlis, 2016).
Sebagai suatu perluasan dari teori Keynes, Teori Harrod dan
Domar melihat persoalan pertumbuhan dari segi permintaan.
Pertumbuhan ekonomi hanya berlaku apabila pengeluaran egregate
melalui kenaikan investasi- bertambah terus menerus pada tingkat
pertumbuhan yang ditentukan. Teori pertumbuhan neoklasik melihat
dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari segi penawaran. Menurut
teori ini yang dikembangkan oleh Abramovits Solow pertumbuhan

4
ekonomi tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi
(Sukirno, 2004)
2. Tenaga Kerja
Lewis (Nizar, Hamzah and Syahnur, 2013) mengemukakan
teorinya mengenai ketenagakerjaan, yaitu; kelebihan pekerja merupakan
kesempatan dan bukan masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan
memberikan andil terhadap pertumbuhan output dan penyediaan pekerja
di sektor lain. Selanjutnya Lewis mengemukakan bahwa ada dua sektor
di dalam perekonomian negara sedang berkembang, yaitu sektor modern
dan sektor tradisional. Sektor tradisional tidak hanya berupa sektor
pertanian di pedesaan, melainkan juga termasuk sektor informal di
perkotaan (pedagang kaki lima, pengecer, pedagang angkringan). Sektor
informal mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada selama
berlangsungnya proses industrialisasi, sehingga disebut katub pengaman
ketenagakerjaan. Dengan terserapnya kelebihan tenaga kerja disektor
industri (sektor modern) oleh sektor informal, maka pada suatu saat
tingkat upah di pedesaan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan
mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antara pedesaan dan
perkotaan, sehingga kelebihan penawaran pekerja tidak menimbulkan
masalah pada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya kelebihan pekerja
justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan, dengan
asumsi perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor
modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak pernah menjadi
terlalu banyak (Todaro and Smith, 2004).

B. Konsep Pertumbuhan Ekonomi


1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Mankiw (2007) pertumbuhan ekonomi merupakan indikator
untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan pembangunan ekonomi
suatu negara dan sebagai penentu adanya kebijakan pembangunan
selanjutnya. Suatu negara dapat dikatakan mengalami pertumbuhan
ekonomi apabila terjadi kenaikan pendapatan nasional dan peningkatan

5
output (Rizky, Agustin and Mukhlis, 2016). Kenaikan pendapatan
nasional ini dapat dilihat dari besarnya jumlah Produk Domestik Bruto
(PDB) yang dihasilkan setiap tahun. Bagi suatu daerah untuk melihat
pendapatan daerahnya dilihat dari jumlah Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) yang dihasilkan setiap tahun.
Secara ekonomi, ada beberapa cara untuk memperhitungkan
pertumbuhan ekonomi, baik dilihat dari sisi permintaan maupun jika
dilihat dari sisi penawaran. Apabila dari sisi permintaan (demand) yaitu
dengan memperhitungkan komponen-komponen makro ekonomi
berupa konsumsi, investasi, ekspor dan impor sedangkan dari sisi
penawaran (supply) dengan memperhitungkan nilai tambah setiap
sektor dalam produksi nasional (Maharani and Isnowati, 2014). Laju
pertumbuhan ekonomi akan diukur melalui indikator perkembangan
PDB atau PNB dari tahun ke tahun. Adapun cara menghitung laju
pertumbuhan dilakukan dengan tiga metode yaitu, cara tahunan, cara
rata-rata setiap tahun, dan cara compounding faktor (Maharani and
Isnowati, 2014). Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara
konvensional biasanya dengan menghitung peningkatan presentase dari
Produk Domestik Bruto (PDB). PDB mengukur pengeluaran total dari
suatu perekonomian terhadap berbagai barang dan jasa yang baru
diproduksi pada suatu saat atau tahun serta pendapatan total yang
diterima dari adanya seluruh produksi barang dan jasa tersebut atau
secara lebih rinci, PDB adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa
yang diproduksi di suatu negara dalam kurun waktu tertentu (Mankiw,
2003).
Pertumbuhan biasanya dihitung dalam nilai riil dengan tujuan
untuk menghilangkan adanya inflasi dalam harga dan jasa yang
diproduksi sehingga PDB riil mencerminkan perubahan kuantitas
produksi. Untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi regional,
digunakanlah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dimana
PDRB dapat didefinisikan sebagai nilai barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh sistem perekonomian di suatu wilayah atau daerah

6
dalam kurun waktu tertentu (Maharani and Isnowati, 2014). Sehingga
PDRB merupakan suatu ukuran untuk melihat aktivitas perekonomian
suatu daerah. .
2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
a. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Menurut ekonom Klasik, Adam Smith, pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni pertumbuhan
output total dan pertumbuhan penduduk (Lincoln, 1999). Unsur
pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga:
1) Sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah paling
mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat dimana
jumlah sumber daya alam yang tersedia mempunyai batas
maksimum bagi pertumbuhan suatu perekonomian.
2) Sumber daya insani (jumlah penduduk) merupakan peran pasif
dalam proses pertumbuhan output, maksudnya jumlah penduduk
akan menyesuaikan dengan kebutuhan akan tenaga kerja.
3) Stok modal merupakan unsur produksi yang sangat menentukan
tingkat -pertumbuhan output.
Laju pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh
produktivitas sektor-sektor dalam menggunakan faktor-faktor
produksinya. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui berbagai
sarana pendidikan, pelatihan dan manajemen yang lebih baik
(Maharani and Isnowati, 2014).

b. Teori Schumpeter
Teori Schumpeter menekankan tentang pentingnya peranan
pengusaha dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi (Maharani
and Isnowati, 2014). Dalam teori Schumpeter ditunjukkan bahwa
para pengusaha merupakan golongan yang akan terus menerus
membuat pembaharuan atau inovasi dalam kegiatan ekonomi.
Inovasi tersebut meliputi memperkenalkan barang baru,
mempertinggi efisiensi cara memproduksi dalam menghasilkan
suatu barang, memperluas pasar suatu barang ke pasaran-pasaran

7
yang baru, mengembangkan sumber bahan mentah yang baru dan
mengadakan perubahan-perubahan dalam organisasi dengan tujuan
mempertinggi efisiensi kegiatan perusahaan (Maharani and
Isnowati, 2014). Berbagai kegiatan ini akan memerlukan investasi
baru.
c. Teori Harrod Domar
Dalam menganalisis tentang pertumbuhan ekonomi, teori
Harrod Domar bertujuan untuk menerangkan syarat yang harus
dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan
yang teguh atau steady state dalam jangka panjang. Analisis Harrod
dan Domar menggunakan asumsi sebagai berikut (Maharani and
Isnowati, 2014):
1) Barang modal telah mencapai kapasitas penuh (full
employment).
2) Tabungan adalah proporsional terhadap pendapatan.
3) Rasio antara modal dan produksi (capital output ratio) adalah
tetap.
4) Perekonomian adalah terdiri dari dua sektor.
Analisis yang dilakukan oelh Harrod dan Domar merupakan
pelengkap dari analisis yang dilakukan oleh Keynesian (Maharani
and Isnowati, 2014). Dalam analisis yang dilakukan Keynesian
adalah persoalan ekonomi jangka pendek, sedangkan dalam analisis
Harrod Domar merupakan analisis ekonomi jangka panjang. Dalam
analisis Harrod –Domar dapat dilihat bahwa:
1) Dalam jangka panjang pertambahan pengeluaran aggregate yang
berkepanjangan perlu dicapai untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi.
2) Pertumbuhan ekonomi yang teguh hanya mungkin dicapai
apabila I + G + (X-M) terus menerus bertambah dengan tingkat
yang tinggi.

8
d. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
Sebagai suatu perluasan dari teori Keynes, Teori Harrod dan
Domar melihat persoalan pertumbuhan dari segi permintaan
(Maharani and Isnowati, 2014). Pertumbuhan ekonomi hanya
berlaku apabila pengeluaran egregate melalui kenaikan investasi-
bertambah terus menerus pada tingkat pertumbuhan yang ditentukan.
Teori pertumbuhan neoklasik melihat dari sudut pandang yang
berbeda, yaitu dari segi penawaran. Menurut teori ini yang
dikembangkan oleh Abramovits Solow pertumbuhan ekonomi
tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi (Sukirno,
2004). Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik Tradisional,
pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3
(tiga) faktor yakni kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja,
penambahan modal (tabungan dan investasi) dan penyempurnaan
teknologi. Sumbangan terpenting dari pertumbuhan ekonomi Neo
Klasik bukanlah menunjukkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi perumbuhan ekonomi, tetapi dalam sumbangannya
untuk menggunakan teori tersebut untuk mengadakan penyelidikan
empiris dalam menentukan peranan sebenarnya dari berbagai faktor
produksi dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi (Maharani and
Isnowati, 2014).
e. Teori Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Romer
(1986) dan Lucas (1988) merupakan awal kebangkitan dari
pemahaman baru mengenai faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Maharani and
Isnowati, 2014). Hal ini seiring dengan perkembangan dunia yang
ditandai oleh perkembangan teknologi modern yang digunakan
dalam proses produksi. Sehingga permasalahan dalam pertumbuhan
ekonomi tidak bisa dijelaskan secara baik oleh teori Neoklasik,
seperti penjelasan mengenai decreasing return to capital, persaingan
sempurna dan eksogenitas teknologi dalam model pertumbuhan

9
ekonomi. Teori Pertumbuhan endogen merupakan suatu teori
pertumbuhan yang menjelaskan bahwa pertumbuhan dalam jangka
panjang ditentukan dari dalam model dari pada oleh beberapa
variabel pertumbuhan yang dianggap eksogen (Barro, 1990).
Teori pertumbuhan endogen (endogeneous growth theory)
menjelaskan bahwa investasi pada modal fisik dan modal manusia
berperan dalam menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang
(Ma’ruf and Wihastuti, 2008). Kontribusi pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan melalui pengaruhnya dalam
melakukan perubahan konsumsi atau pengeluaran untuk investasi
publik dan penerimaan dari pajak. Kelompok teori ini juga
menganggap bahwa keberadan infrastruktur, hukum dan peraturan,
stabilitas politik, kebijakan pemerintah, birokrasi, dan dasar tukar
internasional sebagai faktor penting yang juga mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi (Ma’ruf and Wihastuti, 2008).

C. Konsep Belanja Modal


1. Pengertian Belanja Modal
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) belanja modal
merupakan pengeluaran anggaran yang dipergunakan untuk
memperoleh aset tetap dan aset lainnya (Permatasari and Mildawati,
2016). Belanja modal mencakup belanja modal untuk pemerolehan
tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan asset tak berwujud.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007
tentang Bagan Akun Standar, menjelaskan bahwa belanja modal
merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka
memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi, serta melebihi batasan
minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan oleh
pemerintah (Permatasari and Mildawati, 2016).

10
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah
yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah
aset dan kekayaan daerah (Hasan, 2012). Belanja modal dibagi
menjadi 2 yaitu belanja publik dan belanja aparatur. Belanja modal
merupakan bagian dari belanja daerah yang dapat memberikan dampak
pada kesejahteraan masyarakat dan pengurangan kemiskinan melalui
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dianggarkan.
Nordiawan (Nordiawan and Hertianti, 2010) belanja modal
adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah jumlah asset atau kekayaan organisasi
sektor publik, yang selanjutnya akan menambah anggaran operasional
untuk biaya pemeliharaannya. Berpedoman pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan menyebutkan jenis-jenis belanja modal yaitu
(Nurdiwaty, Zaman and Kristinawati, 2017):
a. Belanja Modal Tanah,
b. Belanja Modal Peralatan dan Mesin,
c. Belanja Modal Gedung dan Bangunan,
d. Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan,
e. Belanja Modal Aset Tetap Lainnya/ Aset non lancar lainnya,
f. Belanja Modal Aset Lainnya.
PP Nomor 24 Tahun 2005 menyatakan bahwa belanja modal
adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi
(Pelealu, 2013). Belanja modal meliputi antara lain belanja modal
untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak
berwujud. Secara teoritis terdapat tiga cara untuk memperoleh aset
tetap tersebut, yaitu dengan cara menukar dengan aset tetap lain,
membangun sendiri, dan membeli. Aset tersebut dipergunakan untuk
kegiatan operasional sehari-hari suatu satuan kerja dan bukan untuk
diperjual belikan. Menurut Putro dan Pamudji (2010) indikator belanja
modal dapat diukur dengan: Belanja modal = Belanja tanah + belanja

11
peralatan dan mesin + belanja gedung dan bangunan + belanja jalan,
irigasi dan jarangan + belanja aset lainnya (Permatasari and Mildawati,
2016).
Belanja daerah dikelompokkan menjadi belanja langsung dan
tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja
barang dan jasa serta belanja modal. Menurut Permendagri No. 13
Tahun 2006 Pasal 53 Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan
aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan
untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk
tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan
jaringan, dan aset tetap lainnya (Darwis, 2015).
2. Karakteristik Belanja Modal
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Perubahan Asas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Ketentuan Pasal 52, belanja modal adalah belanja barang/jasa yang
dianggarkan pada pengeluaran APBD yang digunakan untuk
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap
berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan (Kotambunan, 2016). Nilai
aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar
harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan
pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. [6-
8 belanja pada pemerintah daerah terbagi atas kelompok belanja tidak
langsung dan kelompok belanja langsung sebagaimana dijelaskan pada
pasal 36 ayat 1,2,3 dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
(Tanjung, 2009).
Karakteristik yang terkandung dalam pengertian belanja modal
yaitu (Darwis, 2015):
a. Pengeluaran pemerintah yang manfaatnya melebihi satu tahun
b. Dapat menambah kekayaan (aset) daerah

12
c. Implikasi dari pengeluaran ini akan menambah anggaran belanja
rutin berupa biaya operasi dan pemeliharaan
d. Pengeluaran pemerintah yang bersifat investasi
e. Dalam tahun anggaran tertentu
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui
perbaikan manajemen kualitas jasa (service quality management),
yakni upaya meminimasi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan
dengan harapan konsumen. Dengan demikian, pemerintah daerah
harus mampu mengalokasikan alokasi belanja modal dengan baik
karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi pemerintah
daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Belanja Modal
digunakan untuk memperoleh keuntungan pada masa yang akan datang
sesuai dengan masa manfaat ekonomis aktiva yang bersangkutan. Oleh
sebab itu, perhitungan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang
akan diperoleh harus dapat diperbandingkan (Darwis, 2015).

13
REFERENSI

Barro, R. J. (1990) ‘Government spending in a simple model of


endogeneous growth’, Journal of political economy, 98(5, Part 2), pp. S103–S125.

Darwis, E. T. R. (2015) ‘Pengaruh Belanja Modal Dan Belanja Pegawai


Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Kabupaten/Kota Provinsi
Sumatera Barat (Studi Empiris Pada Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera
Barat)’, Jurnal Akuntansi, 3(1).

Ekonomi, F. et al. (2012) ‘Ekonomi pembangunan’, pp. 67–77.

Fajri, A. (2016) ‘Pengaruh Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Provinsi-Provinsi di Sumatera’, e-Jurnal Perspektif Ekonomi dan Pembangunan
Daerah, 5(1), pp. 29–35.

Hasan, T. I. Ben (2012) ‘Pengaruh Belanja Modal Pemerintah dan Produk


Domestik Regional Bruto Terhadap Penduduk Miskin di Aceh’, J. SAINS Ris,
1(1).

Kotambunan, L. (2016) ‘Analisis Pengaruh Belanja Modal dan Indeks


Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara
(Dalam Tahun 2005-2014)’, EFISIENSI, 16(1).

Lincoln, A. (1999) ‘Ekonomi pembangunan’, Yogyakarta: Penerbit STIE


Yayasan Keluarga Pahlawan Negara.

Ma’ruf, A. and Wihastuti, L. (2008) ‘Pertumbuhan ekonomi indonesia:


determinan dan prospeknya’, Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 9(1), pp.
44–55.

Maharani, K. and Isnowati, S. (2014) ‘Kajian investasi, pengeluaran


pemerintah, tenaga kerja dan keterbukaan ekonomi terhadap pertumbuhan
ekonomi di Propinsi Jawa Tengah’, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 21(1).

14
Mankiw, N. G. (2003) ‘Teori Makroekonomi edisi kelima’, Jakarta:
Erlangga.

Mankiw, N. G. (2007) ‘Makroekonomi edisi keenam’, Jakarta: Erlangga.

Nizar, C., Hamzah, A. and Syahnur, S. (2013) ‘Pengaruh investasi dan


tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi serta hubungannya terhadap tingkat
kemiskinan di indonesia’, Jurnal Ilmu Ekonomi ISSN, 2302, p. 172.

Nordiawan, D. and Hertianti, A. (2010) ‘Akuntansi Sektor Publik, Edisi


Kedua’, Penerbit: Salemba Empat.

Nurdiwaty, D., Zaman, B. and Kristinawati, E. (2017) ‘Analisis pengaruh


pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain
pendapatan yang sah terhadap belanja modal di kabupaten/kota Jawa Timur’,
Jurnal Aplikasi Bisnis, 17(1), pp. 43–59.

Pelealu, A. M. (2013) ‘Pengaruh dana alokasi khusus (DAK), dan


pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja modal pemerintah kota manado
tahun 2003-2012’, Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis dan
Akuntansi, 1(4).

Permatasari, I. and Mildawati, T. (2016) ‘Pengaruh pendapatan daerah


terhadap belanja modal pada kabupaten/Kota Jawa Timur’, Jurnal Ilmu dan Riset
Akuntansi (JIRA), 5(1).

Rizky, R. L., Agustin, G. and Mukhlis, I. (2016) ‘Pengaruh Penanaman


Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Belanja Modal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Di Indonesia’, Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan, 8(1), pp. 9–16.

Sodik, J. (2007) ‘Pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi


regional: Studi kasus data panel di Indonesia’, Economic Journal of Emerging
Markets, 12(1).

Sukirno, S. (2000) ‘Makroekonomi Modern: perkembangan pemikiran dari

15
klasik hingga keynesian baru’, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sukirno, S. (2004) ‘Makroekonomi teori pengantar’, Jakarta: PT Raja


Grafindo Perkasa.

Tanjung, A. H. (2009) Penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah:


buku 1. Untuk SKPD. Penerbit Salemba.

Todaro, M. P. and Smith, S. C. (2004) ‘Pembangunan ekonomi di dunia


ketiga edisi kedelapan’, Jakarta: Penerbit Erlangga.

16

Anda mungkin juga menyukai