Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

EKONOMI PEMBANGUNAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ekonomi Pembangunan


Dosen Pengampu : Erwin Kurniawan A, SE., M.Si

Disusun Oleh:
Lucky Yoga Utama
2001016051

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

Puji Dan Syukur Kami Panjatkan Pada Allah Swt. Hanya Kepada-Nya Lah
Kami Memuji Dan Hanya Kepada-Nya Lah Kami Memohon Pertolongan. Tidak
Lupa Shalawat Serta Salam Kami Haturkan Pada Junjungan Nabi Agung Kita,
Nabi Muhammad Saw. Risalah Beliau Lah Yang Bermanfaat Bagi Kita Semua
Sebagai Petunjuk Menjalani Kehidupan.

Dengan Ini Saya Dapat Menyelesaikan Makalah Pembelajaran Yang Diberikan


. Pada Isi Makalah Akan Diuraikan Materi Yang Dimana Materi Ini Akan
Berkaitan Dengan Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan.

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas kelompok Mata Kuliah Ekonomi
Pembangunan. Dengan Kerendahan Hati, Penyusun Memohon Maaf Apabila Ada
Kesalahan Penulisan. Demikian Kata Pengantar Ini Penulis Sampaikan. Terima
Kasih Atas Semua Materi yang Berikan Selama Perkuliahan Berlangsung Saya
Harap Itu Akan Berguna Untuk Saya Di Kemudian Hari.

Samarinda, 28 Mei 2022

Penulis
Lucky Yoga Utama

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................8
1.4 Kelangkaan Minyak Goreng..............................................................................8
1.5 Kebijakan Pemerintah Mengatasi Permasalahan..........................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
1.6 Kesimpulan........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


A. Masalah Migrasi Dan Sektor Informal
Sudah puluhan ribu tahun umat manusia bertempat tinggal di
dunia, tetapi masalah kependudukan baru disadari waktu-waktu akhir
ini. Jumlah penduduk dunia bertambah terus tanpa kendali sementara
daya dukung bagi pemenuhan kebutuhan tidak diperhatikan. Dinamika
pertumbuhan penduduk merupakan proses menuju penyeimbangan
jumlah penduduk yang meliputi: kelahiran, kematian dan mobilitas
penduduk (Mantra, 2015). Fenomena permasalan penduduk yang
sering kita jumpai adalah persebaran penduduk yang tidak merata
antara desa dan kota. Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang memiliki jumlah penduduk begitu banyak mencapai
258.705.000 jiwa (BPS, 2016). Jumlah penduduk yang tinggal di
daerah desa yaitu 119.321.070 jiwa, sedangkan penduduk yang tinggal
di kota yaitu 118.320.256 jiwa (Sensus Penduduk 2010). Proses
mobilitas penduduk (migrasi) dalam suatu negara merupakan proses
alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah
ke sektor industri modern di kota-kota yang memiliki daya serap
tenaga kerja yang lebih tinggi. Namun pada kenyataannya tingkat
migrasi daerah desa ke daerah kota pada negara-negara berkembang
telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau penambahan lapangan
kerja, sehingga migrasi yang saat ini berlangsung sedemikian deras
telah melampaui daya serap sektor-sektor industri di daerah perkotaan
(Todaro, 2006). 4 Berbagai alasan seseorang untuk mengambil
keputusan melakukan migrasi ke daerah perkotaan. Diantara faktor-
faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi menurut

4
Bogue (dalam Mulyadi S. 2014), yaitu kondisi ekonomi, peningkatan
perkawinan, penawaran tenaga kerja, bencana alam, biaya pindah,
informasi yang semakin berkurang di daerah asal. Arus migrasi yang
begitu cepat, mengakibatkan naiknya jumlah pencari kerja, baik di
sektor formal maupun informal di daerah kota.
B. Pembangunan Usaha Kecil Dan Kemitraan Usaha
Indonesia merupakan salah satu anggota kelompok negara-negara
berkembang, serta dalam proses pergerakan keatas dari seluruh sistem
sosialnya, terutama sektor industrinya. Pembangunan sektor industri,
saat ini rupa-rupanya dianggap sebagai senjata paling ampuh guna
menapaki tahapan industrialisasi setelah sekian lama dihadapkan oleh
kemunduran secara dramatis akan ekspor minyak yang dimulai pada
pertengahan tahun 1985. Akita (1991) telah mengidentifikasikan
sumbersumber pertumbuhan industri di Indonesia dengan
menggunakan tabel input-output tahun 1970-1985 Beliau menemukan
bahwa pertumbuhan sektor manufaktur ringan kebanyakan disumbang
oleh perluasan akan permintaan domestik. Beliau juga menyimpulkan
bahwa sekitar 40%-50% pertumbuhan total sektor manufaktur
sebagian besarnya didorong oleh kekuatan permintaan domestik.
Sebagai tambahan, seperti yang dikatakan oleh Hulu (1993), teknologi
masih belum berperan secara signifikan terhadap pertumbuhan sektor
manufaktur ringan. 2 Abimanyu (1996) menemukan hal yang hampir
sama dengan Akita. Dengan menggunakan tabel input-output tahun
1985-1990, beliau mengamati bahwa pertumbuhan nilai tambah
manufaktur yang tinggi telah dipimpin oleh empat kelompok industri
utama (dalam level 2 digit International Standard Industrial
Classification (ISIC)): industri tekstil, industri kayu, industri kertas dan
bubur kertas serta industri logam dasar. Industri-industri ini tumbuh
dengan cepat melalui dukungan permintaan domestik dan secara
memuaskan menyumbang sekitar 50% pertumbuhan sektor
manufaktur. Penemuan tersebut rupa-rupanya ingin menegaskan

5
bahwa pertumbuhan dipimpin oleh pola konsumsi masyarakat di
Indonesia yang diamati pula oleh Abimanyu (1997). Dalam rangka
hubungannya dengan perdagangan dan pembaharuan kebijakan yang
dicanangkan sejak pertengahan tahun 1980-an, Osada (1994)
menyelidiki secara ekonometris pengaruh yang signifikan dari
liberalisasi impor terhadap perubahan produktifitas. Studi empirisnya
berdasarkan pada asumsi bahwa liberalisasi impor yang dimulai pada
bulan Maret 1985 dengan pemberlakuan penyederhanaan jenjang tarif
serta penurunan yang tinggi pada tingkat tarif. Beliau menunjukkan
juga bahwa pertumbuhan sektor manufaktur setelah tahun 1985 disertai
pula oleh peningkatan total factor productivity (TFP). Tingkat
pertumbuhan TFP yang tinggi pada sektor manufaktur merupakan
orientasi ekspor selama periode awal; kemudian pertumbuhan TFP
menyebar begitu luasnya pada area perindustrian menjelang 1990.
Hasil penelitiannya menyarankan juga agar liberalisasi impor akan
jauh lebih bermanfaat apabila ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
sektor manufaktur. Pradiptyo (1996), disisi lain, telah menarik
kesimpulan yang bertentangan dengan Osada, mengatakan bahwa
kebijakan perdagangan di Indonesia masih sangat protektif serta tidak
menggunakan pengaruh efisiensi industri dan persaingan. Abimanyu et
al. (1997) menguji pengaruh signifikan yang mungkin terjadi pada
liberalisasi perdagangan di Indonesia dengan mensimulasi
keseimbangan umum 30 sektor. Beliau mengusulkan empat kebijakan
yang mungkin dapat dicanangkan pada liberalisasi perdagangan ke
dalam model, dan hasilnyapun diyakini akan mengejutkan. Keempat
kebijakan itu adalah: (1) 11% penurunan tarif, yang dibantu oleh input
impor industri berat; (2) 12% penurunan pajak ekspor untuk produk
tradisional; (3) kombinasi (1) dan (2); (4) kebijakan (3) ditambah
penekanan inflasi sampai 5%. Studinya tersebut meramalkan bahwa
skenario (1) secara relatif, lebih unggul daripada skenario lainnya.
Karena, kebijakan ini akan menurunkan indeks harga konsumen

6
sedangkan dilain pihak meningkatkan GDP. Selain itu, kebijakan
tersebut akan meningkatkan persaingan produk manufaktur.
C. Keterkaitan Antara Sektor Pertanian Dan Industri (Teori Studi
Empiris Agroindustri Indonesia)
Perubahan perekonomian suatu negara sering dipahami atau
diartikan sebagai proses transformasi struktural. Seperti istilah
Kuznets, perubahan struktur ekonomi, umum disebut transformasi
struktural, dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang
saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi agregat demand,
perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), agregat supply (produksi
dan penggunaan faktor-faktor produksi) yang diperlukan guna
mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan (Chenery dalam Hill, 2003). Perubahan struktural dalam
ekonomi modern mencakup perubahan kegiatan pertanian ke
nonpertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit
produktif, dan perubahan dari perusahaan perseorangan menjadi
perusahaan berbadan hukum, serta perubahan status kerja buruh
(Jhingan, 2004). Konsep tersebut menjelaskan mengapa sebagian besar
negara berkembang di dunia beranggapan bahwa transformasi
struktural begitu penting dalam perkembangan ekonomi mereka seperti
halnya yang terjadi di negara maju. Pandangan bahwa negara-negara
maju yang pendapatannya tinggi memiliki sektor industri yang sangat
besar membuat industrialisasi dipilih sebagai jalan ke arah
perkembangan ekonomi yang lebih maju. Dengan pemahaman
demikian, pemerintah pusat maupun daerah di Indonesia terus
berupaya memajukan sektor industri. Bagi negara berkembang seperti
Indonesia, perubahan struktural bukanlah hal yang mudah karena
mayoritas provinsi di Indonesia merupakan provinsi yang didominasi
oleh pertanian. Menurut Jhingan (2004), perubahan struktural
menyangkut ekspansi secara besar- besaran sektor-sektor nonpertanian
sedemikian rupa sehingga sektor pertanian pasti semakin menciut. Ini
berarti mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam PDB tanpa

7
menyebabkan penurunan output dari sektor tersebut. Pembangunan di
Indonesia menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian
dari pertanian ke industri. Hal ini dapat dibuktikan oleh indikator
ekonomi yang memperlihatkan semakin menurunnya kontribusi sektor
pertanian dalam PDB. Kontribusi sektor ini dalam PDB tahun 1967
adalah sebesar 67 persen, dan menurun menjadi hanya 17,2 persen di
tahun 1995 (BPS, 1996). Sedangkan dalam periode yang sama, sektor
industri meningkatkan kontribusinya dari 5 persen menjadi 24,3
persen. Pada tahun 2006, industri pengolahan juga menjadi sektor yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB (BPS, 2007). Namun
demikian, pada pangsa tenaga kerja terjadi hal yang sebaliknya.
Kontribusi sektor pertanian yang semakin kecil tidak diikuti dengan
menurunnya pangsa tenaga kerja di sektor ini. Bahkan pada tahun 2006
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian masih sebesar 42,3 juta orang
(Bapenas, 2006). Jumlah ini sama dengan 44,5 persen dari total tenaga
kerja nasional.
D. Ekonomi Politik Liberalisasi
Liberalisasi perdagangan mulai berkembang dari pemikiran Adam
Smith yang mengusung perdagangan bebas dan intervensi pemerintah
yang seminimal mungkin. Kemudian paham ini mulai berkembang
pesat pada abad 19 di Eropa yang memberikan keuntungan yang besar
pada perekonomiannya. Namun liberalisasi perdagangan mulai
mengalami fragmentasi pada tahun 1914 karena menghadapi berbagai
distorsi sebagai akibat diterapkannya larangan impor, subsidi dan
peningkatan tarif. Sehingga pada tahun 1930 berbagai upaya dilakukan
untuk menghidupkan kembali sistem perdagangan yang lebih terbuka,
hingga pada akhirnya terbentuklah General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT) yang kemudian bertransformasi menjadi World Trade
Organization (WTO), yang diprakarsai oleh Amerika Serikat dan
Inggris. Berdirinya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
pada tahun 1947 yang kemudian digantikan oleh World Trade

8
Organization (WTO) tahun 1993 adalah sebuah organisasi dunia yang
membantu negara anggota melakukan perdagangan dengan lancar dan
sebebas mungkin. Liberalisasi perdagangan nampaknya telah dianut
oleh hampir seluruh negara yang ada di dunia, ini terbukti dengan
jumlah keanggoataan WTO yang terus bertambah, hingga tahun 2008
diketahui sebanyak 153 negara (WTO, 2008). Kebijakan WTO yang
mengusung liberalisasi perdagangan ini, berwujud keterbukaan pasar
perdagangan dunia yang cenderung memperkecil hambatan
perdagangan seperti tarif dan non tarif. Berdasarkan salah satu putaran
perundingan di WTO, yaitu Putaran Uruguay pada tahun 1986-1994.
Negara maju memotong besaran tarif sampai sepertiga, sedangkan
negara berkembang memotong tarif paling besar hanya 40%. Sebelum
Putaran Uruguay, rata-rata tarif produk manufaktur di negara maju
adalah 6,2% dan negara berkembang adalah 20,5%. Sesudah Putaran
Uruguay, rata-rata tarif di negara maju 3,7% dan di negara berkembang
14,4%. Selain itu hambatan non tarif seperti kuota, juga secara
bertahap dihapuskan tetapi tidak secepat penurunan tarif. Tujuan utama
negara-negara di dunia mengurangi atau bahkan menghapuskan
berbagai hambatan perdagangan adalah untuk mendapatkan
keuntungan yang kemudian menjadi pendorong bagi pertumbuhan
ekonomi. Keuntungan perdagangan tidaklah sama pada masing-masing
negara yang melakukan liberalisasi perdagangan. Tergantung
karakteristik produksi serta permintaan produk yang diperdagangankan
dan kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh suatu negara. Menurut
Thirwall tahun 1995 setiap perdagangan yang terjadi antara negara
berkembang dan negara maju menghasilkan keuntungan yang berbeda.
Hal ini disebabkan negara berkembang yang masih memproduksi
komoditas ekspor utama yang masih berbentuk bahan baku atau
setengah jadi. Padahal harga komoditas primer telah memburuk sekitar
0,5% pertahun. Berbeda yang dengan negara maju yang menghasilkan
produk yang bisa bersaing dalam perdagangan internasional baik dari

9
segi harga, kualitas dan teknologi yang digunakan. Keuntungan yang
berbeda bagi setiap negara yang melakukan perdagangan memotivasi
beberapa negara untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Banyak negara yang berhasil dalam liberalisasi perdagangan bahkan
menjadikan perdagangan sebagai salah satu sumber pendapatan yang
paling utama. China adalah satu negara yang memiliki pangsa pasar
ekspor terbesar di dunia. Semenjak China mulai mereformasi
perekonomiannya pada tahun 1970 pertumbuhan ekonomi berorientasi
ekspor menjadi kuat, dengan PDB riil meningkat 23 kali lipat sejak
tahun 1977. Namun Sebelum masuknya Cina ke dalam World Trade
Organization (WTO), China menghadapi tarif mahal dan kuota yang
menghambat pertumbuhan ekspornya. Setelah bergabung dengan
WTO China pada tahun 2001 kemudian menerapkan berbagai strategi
kebijakan perdagangan hingga pada tahun 2009, China telah menjadi
eksportir terbesar di dunia (Berger dan Martin, 2011). Ekspor utama
China adalah tekstil, furniture, logam (baja), dan mesin-mesin. Antara
tahun 2000 dan 2007, nilai ekspor Cina lebih dari empat kali lipat dan
naik dari 20 persen menjadi 35 persen dan nilia neraca perdagangan
tahun 2007 telah meningkat lebih dari 11 kali lipat dibanding tahun
2000 (world bank). Pada contoh diatas dipaparkan negara yang
memiliki keberhasilan dengan menerapkan liberalisasi perdagangan,
namun bagaimana dengan negara yang masih dalam tahap
perkembangan dan merupakan negara yang berpendapatan rendah.
Contohnya Indonesia, ketika harga 1986 minyak turun drastis dan
memaksa pemerintah untuk mereformasi kebijakan perdagangannya
antara lain dengan menurunkan tingkat tarif dan mengkonversi
beberapa lisensi impor (Santos-Paulino & Thirwall, 2002). Namun
kebijakan pemerintah yang meliberalisasi perdagangan dalam kurun
waktu 1980 sampai 2007 menyebabkan laju pertumbuhan impor lebih
cepat daripada ekspor, dengan pertumbuhan impor sebesar 0,79
pertahun dan ekspor hanya 0,26 pertahun (Flora, 2007). Tercatat

10
neraca perdagangan Indonesia beberapa kali mengalami surplus namun
kembali memburuk pada awal tahun 2012 hingga 2014 dengan nilai -
0,6% pertahun (World Bank). Berdasarkan fenomena yang telah
dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk membahas masalah ini melalui
penelitian yang dituangkan dalam judul “Dampak Liberalisasi
Perdagangan Terhadap Neraca Perdagangan di Negara Berkembang:
Pendekatan Generalized Method of Moment (GMM)”.
E. Pembangunan Di Sektor Keuangan
Sektor keuangan suatu negara akan sangat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Hal ini karena pembangunan
dalam sektor keuangan melibatkan rencana dan implementasi dari
kebijakan untuk mengintensifkan tingkat moneterisasi perekonomian
melalui peningkatan akses terhadap institusi keuangan, transparansi,
dan efisiensi, serta mendorong rate of return yang rasional. (Agrawal,
2001) Pembangunan sektor keuangan suatu negara sering dihadapkan
pada kondisi sektor keuangan yang mengalami pendalaman (financial
deepening) dan sektor keuangan yang mengalami pendangkalan
(shallow finance). (Fry, 1995). Sektor keuangan yang berkembang
dengan baik maka akan mendorong peningkatan kegiatan
perekonomian. Sebaliknya, sektor keuangan yang tidak dapat
berkembang baik maka akan menyebabkan perekonomian mengalami
hambatan likuiditas dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Pendalaman sektor keuangan (financial deepening)
merupakan sebuah termin yang digunakan untuk menunjukkan
terjadinya peningkatan peranan dan kegiatan dari jasa-jasa keuangan
terhadap ekonomi. Financial deepening merupakan sebuah terminologi
yang digunakan untuk menunjukan terjadinya kenaikan peranan dan
kegiatan dari jasa-jasa keuangan terhadap ekonomi. 2 Indikator
financial deepening yaitu rasio Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap
PDB, sebagai proksi perkembangan atau kedalaman sektor keuangan
suatu negara. Sektor jasa keuangan memainkan peranan yang

11
signifikan dalam menggerakan roda perekonomian Indonesia. Hal
tersebut dapat ditinjau dari perannya sebagai sumber pembiayaan,
sarana bagi masyarakat dalam melakukan investasi pada berbagai
instrument keuangan, dan penyelenggara industri jasa keuangan yang
menyelenggarakan fungsi intermediasi. Keseluruhan kegiatan
intermediasi dan investasi tersebut menumbuhkan berbagai kegiatan
ekonomi yang menciptakan lapangan kerja, nilai tambah ekonomi,
serta meningkatkan pendapatan masyarakat dan nilai aset
lembagalembaga keuangan yang berpartisipasi dalam industri
keuangan. Peranan dan kegiatan dari jasa-jasa keuangan terhadap
ekonomi sering disebut sebagai Financial deepening (kedalaman sektor
keuangan suatu negara). Indonesia sebagai negara berkembang
memiliki karakter yang tidak berbeda jauh dengan negara berkembang
lainnya. Tujuan utama dari pembangunan ekonominya adalah
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. financial
deepening secara tidak langsung akan meningkatkan akses individu
dan rumah tangga terhadap kebutuhan utama seperti kebutuhan primer,
kesehatan, dan pendidikan. financial deepening akan berlanjut kepada
turunnya angka kemiskinan. Terlebih lagi lembaga-lembaga keuangan
yang lebih kuat dan resiko yang semakin terdiversifikasi akan dapat
memperkuat ketahanan ekonomi sautu negara terhadap gejolak
ekonomi. Namun demikian, 3 fleksibilitas, fungsi pengaturan yang
lebih kuat dan tata kelola perusahaan yang lebih baik tetap dibutuhkan
untuk mendorong inovasi dalam bidang keuangan. King dan Levine
merancang 4 ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor
keuangan. Pertama, ukuran dari pendalaman sektor keuangan adalah
rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan
terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah (M3), namun
apabila (M3) tidak bisa didapatkan maka digunakan (M2). Kedua,
adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi dengan
deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank

12
domestic asset yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih
spesifik. Ketiga, rasio kredit dari sektor swasta non keuangan dibagi
dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor
swasta non keuangan dibagi dengan GDP. Besar kecilnya jumlah uang
beredar mencerminkan seberapa dalam (financial deepening) dan
seberapa dangkal (shallow financial) sektor keuangan suatu negara.
Indikator financial deepening, yaitu rasio M2 (broad money) terhadap
PDB, sebagai ukuran kedalaman sektor keuangan suatu negara
diharapkan dapat memberi potensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Indonesia sebagai negara berkembang, apabila ingin meningkatkan
pertumbuhan ekonomi harus melakukan pendalaman keuangan atau
financial deepening. Pembuat kebijakan seperti otoritas moneter dan
otoritas jasa keuangan harus memantau setiap indikator yang
digunakan untuk mengukur kedalaman keuangan. Khususnya indikator
nilai kredit yang diberikan perbankan kepada masyarakat, apabila
kredit konsumsi yang diberikan 4 berlebihan akan mengganggu
kesehatan perbankkan seperti credit event yang selanjutnya akan
membahayakan makro ekonomi negara.
F. Pembangunan Di Sektor Perbankkan
Sektor perbankan sangat penting bagi pembangunan ekonomi di
suatu negara. Ketika sektor perbankan terpuruk maka akan berdampak
pada perekonomian nasional. Sebaliknya ketika perekonomian
mengalami stagnasi sektor perbankan juga terkena imbasnya dimana
fungsi intermediasi tidak berjalan normal (Kiryanto,2007). Perbankan
menjadi salah satu sektor yang mempunyai peran besar dalam
perekonomian suatu negara karena fungsi dari bank adalah sebagai
perantara keuangan antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang
kekurangan dana. Kelebihan dana dapat disalurkan kepada pihak -
pihak yang memerlukan dana dan memberikan manfaat bagi kedua
belah pihak. Bank menerima simpanan uang dari masyarakat (Dana
Pihak Ketiga) dan kemudian menyalurkannya kembali dalam bentuk

13
kredit (Kasmir, 2008) Menurut Halim Alamsyah, dkk (2005) peran
perbankan yakni sebagai sumber pembiayaan dalam pembangunan dan
juga mempengaruhi siklus usaha dalam perekonomian. Peran bank
sebagai sumber pembiayaan dikarenakan bank lebih penting
dibandingkan dengan lembaga keuangan bukan bank dalam
menghadapi informasi yang asimetris dan mahalnya biaya dalam
melakukan fungsi intermediasi. Perbankan dalam membiayai kegiatan
untuk melakukan fungsi intermediasi bank memiliki sumber dana yang
dapat digunakan sesuai kebutuhan bank itu sendiri. Sumber
pembiayaan dunia usaha di Indonesia 2 didominasi oleh penyaluran
kredit perbankan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, karena
dengan adanya penyaluran kredit memungkinkan masyarakat untuk
melakukan investasi sehingga dengan adanya investasi perekonomian
suatu negara akan ikut bergerak. Berdasarkan UU NO 10 Tahun
1998,Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatannya. Kegiatan usaha antara satu bank dengan
bank yang lainnya memiliki perbedaan, seperti antara kegiatan bank
umum dengan bank perkreditan rakyat. Kegiatan yang dilakukan oleh
bank umum lebih luas dibandingkan bank perkreditan. Artinya produk
yang ditawarkan oleh bank umum lebih lengkap. Hal ini disebabkan
bank umum mempunyai kebebasan untuk menentukan jenis produk
dan jasanya. Sedangkan bank perkreditan rakyat mempunyai
keterbatasan tertentu sehingga kegiatan menjual produk dan wilayah
operasinya lebih sempit dibandingkan dengan bank umum.Kegiatan
bank umum tersebut meliputi menghimpun dana dari masyarakat
(funding) dimana kegiatan ini dilakukan dengan cara menawarkan
berbagai jenis simpanan yakni simpanan Giro (demand deposit),
simpanan tabungan (saving deposit) dan Simpanan Deposito (time
deposit). Kegitan bank umum selanjutnya yaitu menyalurkan dana
kepada masyarakat (lending). Kegiatan ini dilakukan melalui

14
pemberian kredit kepada masyarakat. Kredit yang diberikan oleh bank
tergantung dari kemampuan bank yang menyalurkannya. Kegiatan
bank umum yang terakhir yakni memberikan jasa-jasa bank lainnya
seperti transfer, kliring, inkaso, bank card dan lain-lain yang dapat
memberikan keuntungan bagi bank dan nasabah.Bank umum dan BPR
3 dalam membiayai kegiatannya sebagai fungsi intermediasi memiliki
sumber dana yang dapat digunakan sesuai kebutuhan bank itu sendiri.
Sumber-sumber dana tersebut dapat bersumber dari Bank itu sendiri
atau dana yang bersumber dari masyarakat luas (Dana Pihak Ketiga)
dan dana yang bersumber dari lembaga lainnya (Rahardja, 1997). Dana
yang bersumber dari DPK merupakan sumber dana terpenting bagi
kegiatan operasi bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank jika
mampu membiayai operasinya dari sumber dana ini (Kasmir, 2008).
DPK selanjutnya digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui penyaluran kredit. Berdasarkan laporan Statistik Perbankan
Indonesia pada tahun 2010-2014 dapat diketahui posisi DPK Bank
Umum, Bank Syariah dan BPR. Proporsi DPK Bank Umum terhadap
perbankan nasional pada tahun 2010, 2011, 2012, 2013 dan
2014(posisi Desember) berturut - turut sebesar 95,61%, 94,77%,
94,37%, 94% dan 93,70% sedangkan posisi DPK Bank Syariah
berturut-turut sebesar 3.10%, 3.92%, 4.31%, 4.70%, 4.96% dan 4.90%.
Posisi DPK Bank Umum lebih besar dibandingkan posisi DPK Bank
Syariah, begitu juga posisi DPK Bank Perkreditan Rakyat (Rural
Bank) masih berada dibawah angka 2%. Hal ini menunjukkan bahwa
Bank Umum Dalam menghimpun dana dari masyarakat sangat efektif
dibandingkan Bank Syariah dan BPR sehingga Bank Umum memiliki
dana yang besar untuk melakukan pembiayaan kegiatannya terutama
dalam memberikan kredit kepada masyarakat. Kredit yang diberikan
kepada masyarakat akan memberikan manfaat atau keuntungan bagi
bank. Kredit mendominasi besarnya aktiva bank dimana kegiatan
perkreditan mencapai 70% - 80% dari total aktiva bank. Pendapatan

15
yang diterima oleh bank 4 bersumber dari bunga dan proporsi kredit.
Hal ini dikarenakan aktivitas bank yang terbanyak akan berkaitan erat
secara langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan perkreditan
(Nurmawan, 2005). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
penyaluran kredit mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Goldsmith (1969), Mc Kinon (1973), dan Shaw (1973) menyatakan
bahwa dana berlebih (surplus fund) yang disalurkan secara efisien bagi
unit yang mengalami defisit akan meningkatkan kegiatan produksi.
Selanjutnya kegiatan tersebut akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Pada level mikro Gertler dan Gilchrist (1994) membuktikan
bahwa adanya kendala dalam penyaluran kredit dapat berdampak pada
kehancuranusaha - usaha kecil. Meskipun penyaluran kredit memegang
peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi negara, namun kredit yang
disalurkan oleh Perbankan Syariah diduga belum optimal. Halini dapat
dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR merupakan indikator
dalam pengukuran fungsi intermediasi perbankan di Indonesia. Sesuai
dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei
2004, rasio LDR dihitung dari pembagian kredit yang diberikan kepada
pihak ketiga (tidak termasuk antar bank) dengan Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang mencakup giro, tabungan dan deposito (tidak termasuk
antar bank). Semakin tinggi LDR menunjukkan semakin besar pula
DPK yang dipergunakan untuk penyaluran kredit yang berarti bank
telah mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. Disisi
lain LDR yang terlampau tinggi dapat menimbulkan risiko likuiditas
bagi bank. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, angka LDR
seharusnya berada disekitar 85% - 110%. Tujuan penting dari 5
perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai
berapa jauh bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasi
atau kegiatan usahanya. Dengan kata lain LDR digunakan sebagai
suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank.
Berdasarkan statistik perbankan Indonesia LDR pada Perbankan

16
syariah berfluktuatifdimana rasio LDR pada tahun 2010-2011 sebesar
87,60% dan 91,41% hal ini menunjukkan rasio LDRsudah sesuai
harapan Bank Indonesia, pada tahun 2013 dan 2012 posisi LDR besar
dari angka 110% yakni sebesar 120,65% dan 121.46%, hal ini
menunjukkan bahwa LDR perbankan syariah terlalu tinggi sehingga
dapat menimbulkan risiko likuiditas bank, pada tahun 2014 rasio LDR
kembali turun menjadi 86.66%. Dari penjelasan diatas rasio LDR pada
perbankan syariah diduga tidak sehatsehingga akan berdampak
terhadap penyaluran kredit pada Perbankan Syariah. Penyaluran kredit
pada Perbankan Syariahdisebut dengan pembiayaan. Pembiayaan
merupakan suatu fasilitas yang diberikan bank syariah kepada
masyarakat yang membutuhkan dana untuk menggunakan dana yang
telah dikumpulkan oleh bank syariah dari masyarakat yang surplus
dana. Pembiayaan merupakan fungsi penggunaan dana terpenting bagi
bank komersial, dalam hal ini adalah khususnya bagi bank syariah
(Arifin, 2006). Pada periode penelitian kinerja pembiayaan Bank
Syariah meningkat tetapi besaran pembiayaan masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan kredit yang diberikan bank umum konvensional.
Besaran pembiayaan hanya sekitar 3-5% dari besaran kredit. Hal ini
menunjukkan bahwa pangsa pembiayaan perbankan syariah masih
sangat kecil jika dibandingkan dengan pangsa kredit bank umum
konvensional. 6 Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia pada tahun
2010-2015 (Desember) besaran pembiayaan pada Bank Syariah
berturut-turut sebesar 68.187, 102.655, 147.505, 180.833, 199.330,
213.989 miliar rupiah. Sedangkan pada Bank Umum besaran kredit
yang disalurkan berturut-turut sebesar 1.765.845, 2.200.094,
2.725.674, 3.319.842, 3.706.501, 1.791.495 miliar rupiah. Hal ini
terlihat sangat jauh berbeda.Meskipun dari tahun ke tahun pembiyaan
pada Bank Syariah selalu mengalami peningkatan. Tetapi angka
nominal pembiayaan jauh lebih kecil di bandingkan dari angka
nominal kredit pada Bank Umum.Kecilnya pembiayaan yang

17
disalurkan oleh Perbankan Syariah dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yang berasal dari kegiatan internal bank dan juga berasal dari
eksternal bank. Menurut Wibowo (2007), Informasi yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan dalam
penyaluran pembiayaan atau kredit adalah berupa informasi akuntansi
dan non akuntansi. Informasi akuntansi dapat diperoleh melalui
laporan keuangan bank berupa rasio keuangan, dimana rasio keuangan
tersebut seperti rasio profitabilitasnya, rasio pembiayaan bermasalah
dan rasio-rasio lainnya.Menurut Perry Warjiyo (2004) mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui saluran uang secara implisit
beranggapan bahwa semua dana yang dimobilisasi perbankan dari
masyarakat dalam bentuk uang beredar dipergunakan untuk pendanaan
aktivitas sektor riil melalui penyaluran kredit perbankan.
Kenyataannya anggapan seperti itu tidak selamanya benar. Selain dana
yang tersedia perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi
oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi
perbankan itu sendiri seperti 7 permodalan (CAR), jumlah kredit macet
(NPL), dan Loan to Deposit Ratio (LDR). Menurut Djoko Retnadi
(2006) kemampuan menyalurkan kredit oleh perbankan dipengaruhi
oleh berbagai hal yang dapat ditinjau dari sisi internal dan eksternal
bank. Dari sisi internal bank dipengaruhi oleh kemampuan bank dalam
menghimpun dana masyarakat dan penetapan tingkat suku bunga. Dan
dari sisi eksternal bank dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, peraturan
pemerintah dan lain - lain. Sementara menurut Sinungan (2000)
kebijakan perkreditan harus memperhatikan beberapa faktor seperti :
keadaan keuangan bank saat ini, pengalaman bank dan keadaan
perekonomian. Indikator berikut akan menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyaluran kredit atau pembiayaan pada perbankan
syariah di Indonesia, dimana faktor tersebut terdiri dari Dana Pihak
Ketiga (DPK), Return On Asset (ROA), Non Performing Financing
(NPF) dan Tingkat Inflasi. Dana Pihak Ketiga (DPK) merupakan

18
sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (bisa mencapai
80%-90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank). Menurut UU
No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah (Pasal 1) disebutkan
bahwa simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada
Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk Giro,
Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dana-
dana masyarakat yang disimpan dalam bank merupakan sumber dana
terbesar yang paling diandalkan bank yang terdiri dari 3 jenis, yaitu:
dalam bentuk giro, deposito dan tabungan. Return On Asset (ROA)
merupakan salah satu rasio probabilitas yang digunakan untuk
mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan 8 keuntungan
dengan memamfaatkan total modal yang dimiliki. Semakin besar nilai
ROA, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank
tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari penggunaan
asset (Triasdini, 2010). Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, maka
standar ROA yang baik adalah sebesar 1,5%. Non Performing
Financing (NPF) menunjukan kemampuan manajemen bank
dalammengelola pembiayaan bermasalah yang diberikan oleh
bank.Semakin tinggi rasio ini maka akan semakin burukkualitas kredit
bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalahsemakin besar maka
kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar.
Sehingga rasio NPF harus di minimalisasikan agar kredit atau
pembiayaan berjalan dengan baik. Kredit dalam hal ini adalah kredit
yang diberikan kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank
lain (Almilia, 2005). Inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus menerus. Peningkatan harga dari satu atau dua barang
saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau
mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya (Bank Indonesia,
2016). Kenaikan inflasi diikuti dengan peningkatan BI Rate sebagai
suku bunga acuan sehingga bank-bank umum merespon dengan

19
menaikkan suku bunga simpanan yang kemudian diikuti dengan
kenaikan suku bunga pinjaman yang pada akhirnya akan
mempengaruhi penyaluran kredit kepada masyarakat atau nasabah.
Berdasarkan penjelasan diatas peranan perbankan di Indonesia
sangatlah penting dalam pembangunan ekonomi. Kegiatan yang
dilakukan oleh bank seperti halnya penyaluran kredit dapat membantu
dalam mempengaruhi siklus usaha 9 dalam perekonomian secara
keseluruhan. Kegiatan penyaluran kredit tersebut pada setiap bank
memiliki besaran angka nominal yang berbeda-beda. Seperti halnya
pada perbankan syariah, meskipun pembiayaan yang disalurkan dari
tahun ke tahun meningkat namun angka nominal yang disalurkan
sangatlah kecil jika dibandingkan dengan bank umum. Hal ini diduga
disebabkan karna keadaan rasio keuangan yang memburuk dan juga
karna keadaan faktor eksternal yang tidak mendukung. Maka dari itu
peneliti ingin mengetahui faktor mana yang lebih berpengaruh
terhadap penyaluran kredit pada perbankan syariah di Indonesia
periode 2007-2015. Dari paparan diatas maka judul dari penelitian ini
yaitu: “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran Kredit
Pada Perbankan Syariah Di Indonesia Tahun 2007-2015”
G. Centralisasi Dan Desentralisasi Keuangan
Sentralisasi merupakan salah satu fungsi dalam manajemen suatu
organisasi. Dan berfungsi untuk memusatkan seluruh wewenang
sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu
struktur organisasi. Dan sentralisasi memiliki kelebihan seperti Lebih
mudah untuk menerapkan kebijakan umum dan praktek untuk bisnis
secara keseluruhan, mencegah bagian lain dari bisnis menjadi terlalu
mandiri, Lebih mudah untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan
dari pusat, Lebih cepat pengambilan keputusan lebih mudah untuk
menunjukkan kepemimpinan yang kuat. Sedangkan penyerahan urusan
pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada
Pemerintahan Daerah semata- mata untuk mencapai suatu

20
pemerintahan yang efisien. Yang memiliki fungsi Harus meningkatkan
motivasi staf, Keputusan yang dibuat lebih dekat dengan pelanggan,
Konsisten dengan bertujuan untuk menyanjung hirarki, Cara yang baik
untuk melatih dan mengembangkan manajemen junior. Dan untuk
mengatasi kelemahan Sistem informasi manajemen seperti dengan
meningkatkan efisiensi operasional yaitu menginvestasikan di dalam
teknologi sistem informasi yang dapat menolong operasi perusahaan
menjadi lebih efisien, memperkenalkan inovasi dalam bisnisyaitu
Penggunaan ATM (automated teller machine) dalam perbankan
merupakan contoh yang baik dari inovasi teknologi sistem informasi.
dan membangun sumber-sumber informasi strategis yaitu Teknologi
sistem informasi memampukan perusahaan untuk membangun sumber
informasi strategis sehingga mendapat kesempatan dalam keuntungan
strategis

1.2 Rumusan Masalah


1. Alasan Melakukan Migrasi dan Tren Perubahan Kependudukan Indonesia!
2. Alasan Perlu Dikembangkannya Sektor Informal!
3. Tantangan dan Permasalahan Sebaran Usaha Kecil!
4. Bagaimana Strategi Pemberdayaan Yang Tepat Bagi Usaha Kecil Serta
Kemitraan Usaha?
5. Apa Keterkaitan Antar Sektor Pertanian dan Industri?
6. Metodologi Analisis Struktur Agroindustri!
7. Bagaimana Dampak Dari Liberalisasi Perdagangan Terhadap Pertumbuhan
Ekspor dan Impor Dibeberapa Negara Berpendapatan Rendah?
8. Apakah Efek Liberalisasi Perdagangan Lebih Kuat Pada Eksport atau
Import?
9. Fungsi dan Sistem Keuangan Indonesia?
10. Apa Peran Bank Umum?
11. Bagaimana pengaruh, Dana Pihak Ketiga (DPK),Return On Asset (ROA),
Non Performing Financing (NPF)?

21
12. Bagaimana Kebijakan Moneter oleh Pemerintah?
13. Apa Dampak Positif dan Negatif Sentralisasi dan Desentralisasi?
14. Apa saja Faktor yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi?

1.3 Tujuan
1. Tujuannya adalah untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang
mempengaruhi keputusan tenaga kerja informal untuk melakukan migrasi
menuju Kecamatan Pare Kabupaten Kediri. Sehingga menambah
pemahaman tentang alasan orang melakukan migrasi dan memberikan
pandangan yang positif pada sektor informal bahwa mereka masih mampu
bersaing dan salah satu usaha strategis dalam mencapai pertumbuhan
ekonomi.
2. Mengidentifikasi kesulitan dan permasalahan yag dihadapi UMKM dalam
mendapatkan kredit modal usaha. Menentukan strategi pengembangan
UMKM melalui peningkatan kemudahan pemberian fasilitas kredit modal
usaha melalui lembaga penyalur kredit.
3. Perkembangan ekonomi ke arah yang lebih maju melalui industrialisasi
dapat meningkatkan keterkaitan antar sektor. Dengan adanya
industrialisasi akan muncul dan berkembang kegiatan lain yang menjadi
komponen pendukung industri tersebut. Perkembangan industri berbasis
pertanian misalnya, akan mendorong permintaan produk pertanian
sehingga meningkatkan keterkaitan sektor industri dengan sektor
pertanian.
4. Mendeskripsikan dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap
pertumbuhan ekspor dan impor di beberapa negara berpendapatan rendah.
5. Untuk mengetahui pengaruh DPK terhadap financial deepening di
Indonesia. Untuk mengetahui pengaruh Pembiayaan terhadap financial
deepening di Indonesia
6. Untuk menganalisis pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK),Return On Asset
(ROA), Non Performing Financing (NPF)

22
7. Mengetahui Dampak Positif dan Negatif Sentralisasi dan Desentralisasi.
Mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Derajat Desentralisasi

BAB II

PEMBAHASAN

1.4 Teori Kependudukan/Demografi dan Isu Global Kependudukan


Pengertian dan Konsep Migrasi Keragaman yang ada disuatu negara akan
membedakan pembangunan setiap daerah, serta perbedaan pemerataan
pendapatan penduduk. Dari perbedaan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya
antar wilayah, menimbulkan pola dan perilaku migrasi yang beragam (PPIIS
UB,1992). Migrasi menurut (Prawiro, 1979) adalah Gejala gerak berpindah tempat
tinggal secara horizontal, melewati batas administrasi, pindah menuju batas
administrasi lain, kelurahan, kabupaten, kota atau negara. Faktor-faktor yang
mempengaruhi niatan untuk melakukan migrasi sangat kompleks. Diantara faktor
tersebut yaitu, usia, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, status pernikahan,
pendapatan, kondisi infrasturktur yang menjadi penentu seseorang untuk
melakukan migrasi. Teori Migrasi Lewis – Fei – Ranis Teori migrasi menurut Lewis-
Fei-Ranis menjelaskan proses pengalihan tenaga kerja dari sektor tradisional yaitu
sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk yang mengindikasikan surplus
tenaga kerja, untuk di transfer menuju sektor modern yaitu sektor industri
perkotaan (Sunarto, 1985). Teori Migrasi Everett S. Lee (1976) Menurut Everett S.
Lee (dalam Mantra, 2015), volume migrasi disuatu wilayah berkembang sesuai
dengan tingkat keragaman daerah-daerah diwilayah tersebut. Di daerah asal dan
didaerah tujuan. Menurut Lee, terdapat faktor-faktor yang disebut sebagai: a.
Faktor positif (+) yaitu faktor yang memberi nilai keuntungan apabila seseorang
bertempat tinggal menempati tempat tersebut yang dijadikan tujuan. b. Faktor
negatif (-) yaitu faktor yang memberikan nilai negatif atau merugikan jika seseorang
tinggal di tempat tersebut, sehingga seseorang akan berpindah ke tempat lain,
karena kebutuhan yang diharapkan tidak terpenuhi. c. Faktor Netral (0) yaitu faktor
yang tidak mempengaruhi seseorang individu untuk tetap tinggal di tempat asal

23
atau pindah ketempat lainTeori Produksi Pertanian Malthus Teori produksi menurut
Malthus yang di kutip oleh (Poli, 2010) , jika terjadi penambahan tenaga kerja pada
sektor pertanian, tanpa ada penambahan lahan dan teknologi pertanian, maka
pertambahan produksi akan menurun, dibandingkan dengan penambahan jumlah
tenaga kerja pada sektor pertanian. Dalam hal ini lebih di kenal dengan hukum “the
law of diminishing return”. Dapat di simpulkan ketika terjadi penambahan produksi
yang terus menurun, maka upah tenaga kerja akan menurun. Ketika upah menurun,
maka seseorang akan pindah menuju daerah lain yang memiliki upah lebih tinggi
dari daerah tersebut yaitu daerah sektor industri (Perkotaan). Teori Migrasi
Menurut Todaro Todaro (2006) menjelaskan bahwa migrasi pada dasarnya
merupakan suatu fenomena ekonomi. Model todaro ini mengasumsikan bahwa
adanya arus migrasi berdasarkan adanya perbedaan distribusi pendapatan antara
desa dengan kota. pendapatan yang dimaksud bukanlah pendapatan yang aktual
melainkan pendapatan yang diharapkan. Secara singkat model migrasi (Todaro,
2006),memiliki 4 karakteristik utama sebagai berikut: 1. Migrasi dirangsang oleh
pertimbangan kekuatan ekonomi yang sifatnya rasional yang berkaitan dengan
untung atau rugi dari migrasi itu sendiri. 2. Keputusan untuk bermigrasi tergantung
pada perbedaan upah riil yang diharapkan antara desa dengan kota. maksudnya
perbedaan upah pedesaan dan perkotaan yang terjadi dan kesempatan
mendapatkan pekerjaan di sektor perkotaan sesuai dengan harapan. 3.
Kemungkinan mendapatkan pekerjaan secara cepat di wilayah kota yang berkaitan
dengan banyaknya lapangan pekerjaan di wilayah kota, sehingga berbanding
terbalik dengan tingkat pengangguran di wilayah kota. Keputusan Bermigrasi
Menurut mitchell (1961) sebagaimana di kutip oleh (Mantra, 2015) ada dua faktor
yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk melakukan
migrasi yaitu faktor pengikat atau penarik (centripetal forces) dan kekuatan
pendorong (centrifugal forces). Faktor penarik adalah faktor yang mengikat atau
menarik seseorang untuk tinggal di daerah asalnya, misalnya kepemilikan tanah
warisan, merawat orang tua yang lanjut usia, budaya gotongroyong di desa yg baik,
sebagai daerah kelahiran. Dan faktor pendorong adalah faktor yang mendorong
seseorang untuk melakukan perpindahan atau meninggalkan daerah asal, misalnya
sempitnya lapangan kerja, upah yang terlalu rendah di daerah asal, terbatasnya

24
fasilitas pendidikan, infrastruktur yang kurang memadai. Teori Modal Manusia
Menurut Keely (dalam Syafitri, 2012), teori modal manusia adalah suatu teori yang
memberikan pandangan tentang migrasi, bahwa migrasi merupakan bentuk dari
investasi yang dilakukan individu yang erat kaitannya dengan pengalaman,
ketrampilan dan pendidikan. Setiap individu yang melakukan migrasi akan
menghitung keuntungan dia yang diperoleh pada saat melakukan migrasi yang dia
rencanakan. Modal manusia yang ada pada diri migran berupa pengalaman,
ketrampila dan pendidikan dapat mempengaruhi individu untuk melakukan migrasi
Pengertian tenaga kerja sektor formal dan informal Di negara sedang berkembang
seperti Indonesia, masalah sektor informal menjadi semakin penting
keberadaannya, apalagi setelah dirundung krisis seperti saat ini, di mana
permintaan angkatan kerja di sektor informal semakin meningkat dengan siklus
usaha formal yang berjalan tidak sesuai harapan. Adanaya siklus usaha formal yang
tidak berjalan dengan baik, maka seorang akan memilih bekerja pada sektor
informal. Dapat dilihat beberapa definisi sektor tenaga kerja formal dan informal
menurut beberapa ahli. Menurut Mulyadi S. (2014), sektor informal adalah unit-
unit usaha yang tidak menerima proteksi ekonomi resmi dari pemerintah. Proteksi
ekonomi tersebut yaitu kredit, pembimbingan, hak paten, terjaminnya tenaga kerja
dan lain sebagainya. Sedangkan sektor formal adalah unit-unit usaha yang
menerima proteksi ekonomi resmi dari pemerintah. Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS), jenis pekerjaan dibagi menjadi dua yaitu, formal dan informal. Jenis
pekerjaan formal yaitu seseorang yang bekerja pada orang lain atau
instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah/gaji baik berupa
uang maupun barang. Buruh yang tidak mempunyai majikan tetap, tidak
digolongkan sebagai buruh/karyawan, 7 tetapi sebagai pekerja bebas. Sedangkan
pekerja sektor informal yatiu, tenaga kerja yang berusaha sendiri, berusaha dibantu
buruh tidak tetap/tak dibayar, pekerja tak dibayar, dan pekerja bebas baik di
pertanian maupun non pertanian. Teori Upah Upah adalah bagian dari pendapatan
nasional yang diterima oleh buruh, karena menyumbangkan tenaganya dalam
proses produksi. Menurut David Ricardo yang dikutip oleh Hartomo (2011), upah
merupakan harga dari tenaga kerja. upah yang diterima oleh buruh berupa uang
disebut nominal, sedangkan barang atau jasa yang dapat dibelinya dengan upah

25
nominal tersebut merupakan upah riil. Selanjutnya David Ricardo membedakan
upah menjadi dua macam, yaitu Upah alami: upah yang besarnya sama dengan
biaya hidup untuk menghasilkan tenaga kerjanya. Upah pasar: upah yang terbentuk
di pasar tenaga kerja yang di tentukan hukum permintaan dan penwaran. Teori
Gravitasi Menurut Ravenstein (dalam Sunarto, 1985), berbagai motif seseorang
untuk melakukan migrasi dalam suatu wilayah. Hal tersebut mengantarkan
Revenstein menyusun hukum-hukum yang berisi tentang fenomena migrasi.
Beberapa hukum migrasi sebagai berikut:
1. semakin jauh jarak yang di tempuh migran, semakin berkurang jumlah migran.
2. Setiap arus migrasi yang benar, akan memberikan timbal balik yang baik
sebagai penggantinya.
3. Adanya perbedaan desa dengan kota akan menimbulkan migrasi.
4. Wanita cenderung bermigrasi ke daerah-daerah dekat.
5. Kemajuan teknologi akan meningkatn volume migrasi suatu daerah.
6. Motif utama seseorang melakukan migrasi adalah ekonomi

1.5 Kebijakan Pemerintah Mengatasi Permasalahan


Program BLT minyak goreng ini menandai upaya tak berkesudahan
pemerintah mengatasi krisis minyak goreng. Harga Crude Palm Oil (CPO)
yang melambung sejak pertengahan 2020 membuat perusahaan
mengutamakan pasar ekspor. Akibatnya, ketersediaan stok minyak goreng di
dalam negeri semakin terbatas.
Menteri Perdagangan sudah mengeluarkan berbagai jurus menangani
persoalan ini. Sepanjang Januari, Kemendag sudah menerbitkan setidaknya
lima beleid khususnya minyak goreng.
Permendag No.1/2022 misalnya, dirilis untuk memperluas jaringan
distribusi minyak goreng dengan memanfaatkan dana Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pemerintah juga mengatur kewajiban
Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20% dari volume ekspor.
Pemerintah bahkan sampai menetapkan ketentuan minyak goreng satu
harga dengan kisaran Rp 14.000. Setelah berjalan beberapa waktu, kebijakan

26
ini lumpuh seketika. Harga ‘paksaan’ dari pemerintah itu membuat stok
minyak goreng tiba-tiba ludes di pasar. Masyarakat mengantre di toko-toko
ritel dan pasar tradisional untuk mendapatkan minyak goreng.
Setelah gagal menstabilkan harga dengan kebijakan ini, Kemendag lantas
menghapus ketentuan satu harga. Sebagai gantinya, Menteri Lutfi
menerbitkan aturan soal Harga Eceran Tertinggi (HET). Minyak goreng curah
dipatok Rp. 11.500, sedangkan minyak goreng kemasan sederhana sebesar
Rp.13.500 dan minyak goreng kemasan premium Rp. 14000.
Ada 3 Kebijakan Pemerintah yang tepat yaitu :
1. Menaikkan Pajak Ekspor Minyak Goreng
Harga minyak goreng dunia mengalami kenaikan yang dari awalnya di
harga $1100 menjadi $1340. Untuk itu, pemerintah perlu
menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri.
Harga minyak luar negeri saat ini memang cukup menjanjikan, namun
apabila dirasa kurang efektif dalam mendorong kebutuhan pasar dalam
negeri,pemerintah dapat menerapkan pajak ekspor minyak goreng menjadi
lebih tinggi.dengan begitu pemerintah dapat memastikan pasokan minyak
goreng dalam negeri tercukupi.
Kebijakan perdagangan juga bisa dilakukan pemerintah dengan
menaikturunkan kebijakan ekspor. Apabila kebutuhan dalam negeri masih
kurang, maka pemerintah bisa menaikkan pajak ekspor sehingga
mengurangi motivasi produsen domestik untuk mengekspor minyak ke
luar negeri karena pajak tinggi.
Sebaliknya, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, pemerintah
bisa menurunkan pajak ekspor. Hal tersebut akan mendorong produsen
melakukan ekspor ke luar negeri sehingga tidak ada yang menumpuk di
gudang.
2. Relaksasi Kebijakan Biodiesel 30 Persen (B30)
Kedua, menurut Rossanto, pemerintah dapat melakukan relaksasi atau
pengenduran kewajiban produsen untuk memenuhi kebutuhan biodiesel 30
persen. Persentase biodiesel bisa dikurangi menjadi 20 persen selama masa

27
gejolak kelangkaan minyak goreng terjadi. “Jika dirasa masih cukup
tinggi, bisa diturunkan lagi sampai 15 persen,” tambahnya.
3. Melakukan Operasi Pasar
Dalam jangka pendek, pemerintah bisa melakukan operasi pasar.
Misalnya dengan melacak dari produsen harus memiliki kewajiban untuk
mensuplai kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum memenuhi
kebutuhan ekspor. Pemerintah harus memastikan pasokan minyak goreng
dalam negeri terpenuhi dengan harga yang wajar dan terjangkau oleh
masyarakat. “Misalnya dengan menerapkan kebijakan 20-30 persen dari
produksi harus dipasarkan di dalam negeri,” imbuhnya.
Efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut lebih terasa jika intervensi di
sektor hulu lebih diutamakan daripada di sektor hilir. Operasi pasar
terbuka yang dilakukan pemerintah di sektor hilir dengan menjual minyak
goreng dengan harga murah, dinilai kurang efektif.

BAB III

PENUTUP

28
1.6 Kesimpulan
Royal Golden Eagle yang didirikan oleh Sukanto Tanoto membawahi
Apical Group. Jhonlin Group merupakan grup perusahaan yang terafiliasi
dengan konglomerat Haji Isam. PT. Jhonlin Agro Jaya adalah perusahaan
Jhonlin Group yang memproduksi CPO menjadi Biodiesel.
Perusahaan sawit yang mendapat insentif terafiliasi dengan orang-orang
terkaya se-Indonesia, serta memiliki rekam jejak negatif dalam kebakaran
hutan dan lahan juga kasus hukum. Hal tersebut menjadi ironi jika melihat
publik mengalami kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng, sementara
korporasi tersebut tidak bertanggungjawab atas rekam jejak negatif dan justru
berpotensi mendapat keuntungan melalui insentif yang dijamin oleh
kebijakan pemerintah.
Persentase biodiesel bisa dikurangi menjadi 20 persen selama masa
gejolak kelangkaan minyak goreng terjadi. Dalam jangka pendek, pemerintah
bisa melakukan operasi pasar. Pemerintah harus memastikan pasokan minyak
goreng dalam negeri terpenuhi dengan harga yang wajar dan terjangkau oleh
masyarakat. Operasi pasar terbuka yang dilakukan pemerintah di sektor hilir
dengan menjual minyak goreng dengan harga murah, dinilai kurang efektif.

1.7 Saran
Melakukan operasi pasar serta melakukan berbagai langkah inovatif
misalnya dengan memotong jalur distributor sehingga bisa menekan harga
minyak. Melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha termasuk
konsumen. Jangan sampai penimbunan juga terjadi di level konsumen.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan memperkuat proses
pengawasan distribusi termasuk soal ekspor CPO hingga distribusi minyak
goreng di dalam negeri. Perlu perbarui proses pengawasan distribusi ini
apalagi Indonesia dikenal penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia.

29
30
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/530/4/128220005_file4.pdf

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5960367/apa-penyebab-kelangkaan-
minyak-goreng-di-indonesia-ini-kata-pakar-unair

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220309/12/1508266/minyak-goreng-menjadi-
langka-apa-penyebabnya

Bank Indonesia, Sipuk Siabe 2003, Diagram Pemerosesan Buah Sawit, Sipuk-
Siabe 2002,17 Maret 2003, .

http://news.unair.ac.id/2022/02/25/tiga-alternatif-kebijakan-pemerintah- untuk-
atasi-kelangkaan-minyak-goreng/

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5986622/pakar-ugm-beri-saran-ke-
pemerintah-soal-kelangkaan-minyak-begini-katanya

Anda mungkin juga menyukai