Disusun Oleh :
1. ERMA DWI ASTUTI (C2016050)
2. ERWIN KURNIAWAN ABADI (C2016050)
3. FAUZIAH ALFIANI (C2016057)
4. FERA NURHALIZA (C2016060)
5. HIDAYATI MIFTAKHUL J (C2016068)
6. IZMI ROHMAH I (C2016074)
7. MUFID WAHYUDIN (C2016091)
B. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar dapat:
1. Menjelaskan pengertian ansietas
2. Menjelaskan tanda dan gejala ansietas
3. Menjelaskan tingkatan ansietas dan faktornya
4. Mengetahui sumber dan mekanisme koping
5. Menjelaskan penatalaksanaan dan asuhan keperawatan pada ansietas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ansietas
Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi
(Videbeck, 2008). Ansietas atau kecemasan adalah respons emosi tanpa objek yang spesifik yang
secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal (Suliswati, 2005).
Ansietas adalah suatu kekhawatiran yang berlebihan dan dihayati disertai berbagai gejala
sumatif, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau
penderitaan yang jelas bagi pasien. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
ansietas adalah respons emosi tanpa objek, berupa perasaan takut dan kekhawatiran yang tidak
jelas dan berlebihan dan disertai berbagai gejala sumatif yang menyebabkan gangguan bermakna
dalam fungsi sosial atau penderitaan yang jelas bagi pasien.
B. Tingkatan Ansietas
Ansietas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek membahayakan, yang
bergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami, dan seberapa baik individu
melakukan koping terhadap ansietas. Menurut Peplau (dalam, Videbeck, 2008) ada empat tingkat
kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.
1. Ansietas ringan adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan
perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan membantu individu memfokuskan
perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah, berpikir, bertindak, merasakan, dan
melindungi diri sendiri. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas ringan adalah
sebagai berikut :
a. Respons fisik
Ketegangan otot ringan
Sadar akan lingkungan
Rileks atau sedikit gelisah
Penuh perhatian
Rajin
b. Respon kognitif
Lapang persepsi luas
Terlihat tenang, percaya diri
Perasaan gagal sedikit
Waspada dan memperhatikan banyak hal
Mempertimbangkan informasi
Tingkat pembelajaran optimal
c. Respons emosional
Perilaku otomatis
Sedikit tidak sadar
Aktivitas menyendiri
Terstimulasi
Tenang
2. Ansietas sedang merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benar-benar
berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Menurut Videbeck (2008), respons dari
ansietas sedang adalah sebagai berikut :
a. Respon fisik
Ketegangan otot sedang
Tanda-tanda vital meningkat
Pupil dilatasi, mulai berkeringat
Sering mondar-mandir, memukul tangan
Suara berubah : bergetar, nada suara tinggi
Kewaspadaan dan ketegangan menigkat
Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung
b. Respons kognitif
Lapang persepsi menurun
Tidak perhatian secara selektif
Fokus terhadap stimulus meningkat
Rentang perhatian menurun
Penyelesaian masalah menurun
Pembelajaran terjadi dengan memfokuskan
c. Respons emosional
Tidak nyaman
Mudah tersinggung
Kepercayaan diri goyah
Tidak sabar
Gembira
3. Ansietas berat, yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman, memperlihatkan respons
takut dan distress. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas berat adalah sebagai
berikut :
a. Respons fisik
Ketegangan otot berat
Hiperventilasi
Kontak mata buruk
Pengeluaran keringat meningkat
Bicara cepat, nada suara tinggi
Tindakan tanpa tujuan dan serampangan
Rahang menegang, mengertakan gigi
Mondar-mandir, berteriak
Meremas tangan, gemetar
b. Respons kognitif
Lapang persepsi terbatas
Proses berpikir terpecah-pecah
Sulit berpikir
Penyelesaian masalah buruk
Tidak mampu mempertimbangkan informasi
Hanya memerhatikan ancaman
Preokupasi dengan pikiran sendiri
Egosentris
c. Respons emosional
Sangat cemas
Agitasi
Takut
Bingung
Merasa tidak adekuat
Menarik diri
Penyangkalan
Ingin bebas
4. Panik, individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena hilangnya kontrol,
maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.
Menurut Videbeck (2008), respons dari panik adalah sebagai berikut :
a. Respons fisik
Flight, fight, atau freeze
Ketegangan otot sangat berat
Agitasi motorik kasar
Pupil dilatasi
Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun
Tidak dapat tidur
Hormon stress dan neurotransmiter berkurang
Wajah menyeringai, mulut ternganga
b. Respons kognitif
Persepsi sangat sempit
Pikiran tidak logis, terganggu
Kepribadian kacau
Tidak dapat menyelesaikan masalah
Fokus pada pikiran sendiri
Tidak rasional
Sulit memahami stimulus eksternal
Halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi
c. Respon emosional
Merasa terbebani
Merasa tidak mampu, tidak berdaya
Lepas kendali
Mengamuk, putus asa
Marah, sangat takut
Mengharapkan hasil yang buruk
Kaget, takut
Lelah
C. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stress (Stuart & Laraia,
2005;Agustarika,2009). Berbagai teori dikembangkan mengenai factor predisposisi
terjadinya ansietas :
1. Biologi (Fisik)
Penelitian terkini berfokus pada penyebab biologis terjadinya ansietas yang
berlawanan dengan penyebab psikologis. (Sullivan & Coplan, 2000; Agustarika,
2009). Beberapa individu yang mengalami episode sikap bermusuhan, iritabilitas,
perilaku sosial dan perasaan menyangkal terhadap kenyataan hidup dapat
menyebabkan ansietas tingkat berat bahkan ke arah panik. Salah satu faktor penyebab
secara fisik yaitu adanya gangguan atau ketidak-seimbangan pada fisik seseorang.
a. Gangguan fisik
Gangguan fisik yang dapat menyebabkan ansietas adalah antara
laingangguan otak dan saraf (neurologis) seperti cedera kepala, infeksi otak, dan
gangguan telinga dalam, gangguan jantung, seperti kelumpuhan jantung dan
irama jantung yang abnormal (aritma), gangguan hormonal (Endrokrin) seperti
kelenjar andrenal atau thyroid terlalu aktif, , gangguan paru-paru (pernafasan)
berupa asma, paru-paru obstruktif kronis atau COPD (Medicastore, 2011).
b. Mekanisme terjadinya kecemasan akibat gangguan fisik
Pengaturan ansietas berhubungan dengan aktivitas dari neurotransmmiter
Gamma Aminobutyric Acid (GABA), yang mengontrol aktifitas neuron di bagian
otak yang berfungsi untuk pengeluaran ansietas. Mekansime kerja terjadinya
ansietas diawali dengan penghambatan neurotransmmiter di otak oleh GABA.
Ketika bersilangan di sinaps dan mencapai atau mengikat ke reseptor GABA di
membran postsinaps, maka saluran reseptor terbuka, diikuti oleh pertukaran ion-
ion. Akibatnya terjadi penghambatan atau reduksi sel yang dirangsang dan
kemudian sel beraktifitas dengan lamban (Stuart & Laraia,2005;
Agustarika,2009). Mekanisme biologis ini menunjukkan bahwa ansietas terjadi
karena adanya masalah terhadap efisiensi proses
neurotransmmiter. Neurotransmiter sendiri adalah utusan kimia khusus yang
membantu informasi bergerak dari sel saraf ke sel saraf. Jika neurotransmitter
keluar dari keseimbangan, pesan tidak bisa melalui otak dengan benar. Hal ini
dapat mengubah cara otak bereaksi dalam situasi tertentu, yang menyebabkan
kecemasan. (Medicinet, 2011)
2. Psikologis
Pendapat yang dikemukan oleh Taylor (ed Leonard,2010) Kecemasan merupakan
pengalaman subyektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai
bentuk reaksi umum dan ketidak-mampuan menghadapi masalah atau munculnya rasa
tidak aman pada individu. Izzudin (2006) Kecemasan muncul dikarenakan adanya
ketakutan atas sesuatu yang mengancam pada seseorang, dan tidak ada kemampuan
untuk mengetahui penyebab dari kecemasan tersebut. Freud (dalam Arndt, 1974;
Trismiati, 2004) mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman
yang memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman
terhadap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan tuntutan-
tuntutan dari superego. Freud juga mengatakan jika pikiran menguasai tubuh maka ini
berarti bahwa ego yang menguasai pikiran dan pikiran berkuasa secara mutlak
(Mc.Quade and Aikman,1987).
Freud (Hall dan Lindzay, 1995 ; Trismiati, 2004) menyatakan bahwa ego disebut
sebagai eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan,
memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan
insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam
melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan
tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini sering
menimbulkan tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan.
Freud membagi teori kecemasan menjadi 3 yaitu:
a) ID/Impulse anxiety : perasaan tidak nyaman pada anak
b) Saparation anxiety : pada anak yang merasa takut akan kehilangan kasih
saying orangtuanya
c) Cstration anxiety : merupakan fantasi kastrasi pada masa kanak-kanak yang
berhubungan dengan pembentukan impuls seksual
d) Super Ego anxiety : pada fase ahkir pembentukan super ego yaitu pre pubertas
(Sani,2012).
3. Sosial Budaya
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada timbulnya
ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2003; Agustarika, 2009). Individu yang mempunyai
cara hidup sangat teratur dan mempunyai. falsafah hidup yang jelas maka pada
umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi
pemicu terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh Mudjadid,dkk tahun
2006 di lima wilayah pada masyarakat DKI Jakartadidapatkan data bahwa tingginya
angka ansietas disebabkan oleh perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya yang
mengikuti perkembangan kota (dalam Agustarika, 2009). Namun demikian, factor
predisposisi di atas tidaklah cukup kuat menyebabkan sesorang mengalami ansietas
apabila tidak disertai factor presipitasi (pencetus).
D. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi kecemasan
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang
meliputi :
a. Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi suhu
tubuh, perubahan biologis normal (misalnya : hamil).
b. Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan
lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.
2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.
a. Sumber internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan tempat
kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik
juga dapat mengancam harga diri.
b. Sumber eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status
pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
c.
E. Sumber Koping
Individu dapat menanggulangi stress dan kecemasan dengan menggunakan atau
mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari sosial, intrapersonal dan interpersonal.
Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi, kemampuan memecahkan masalah,
dukungan sosial budaya yang diyakini. Dengan integrasi sumber-sumber koping tersebut
individu dapat mengadopsi strategi koping yang efektif (Suliswati, 2005).
F. Mekanisme Koping
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan faktor
utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila individu sedang mengalami
kecemasan ia mencoba menetralisasi, mengingkari atau meniadakan kecemasan dengan
mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya
digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok, olahraga,
mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain (Suliswati,
2005).
Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan sedang, berat dan panik membutuhkan
banyak energi. Menurut Suliswati (2005), mekanisme koping yang dapat dilakukan ada dua
jenis, yaitu:
1. Task oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas. Tujuan yang ingin
dicapai dengan melakukan koping ini adalah individu mencoba menghadapi kenyataan
tuntutan stress dengan menilai secara objektif ditujukan untuk mengatasi masalah,
memulihkan konflik dan memenuhi kebutuhan.
a. Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan
pemenuhan kebutuhan.
b. Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologik untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress.
c. Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan,
mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
2. Ego oriented reaction atau reaksi berorientasi pada ego. Koping ini tidak selalu sukses
dalam mengatasi masalah. Mekanisme ini seringkali digunakan untuk melindungi diri,
sehingga disebut mekanisme pertahanan ego diri biasanya mekanisme ini tidak
membantu untuk mengatasi masalah secara realita. Untuk menilai penggunaan
makanisme pertahanan individu apakah adaptif atau tidak adaptif, perlu di evaluasi hal-
hal berikut :
a. Rasionalisasi: usaha untuk menghindari masalah psikologis dengan memberikan
alasan yang rasional, sehingga masalah dapat teratasi.
b. Displacement: suatu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah psikologis
dengan cara memindahkan tingkah laku pada objek lain, sebagai contoh jika
seseorang terganggu dengan kondisi ramai, maka teman yang disalahkan.
c. Kompensasi: upaya untuk mengatasi masalah dengan mencari kepuasan pada situasi
yang lain, seperti seseorang yang memiliki masalah penurunan daya ingat maka akan
menonjolkan kemampuan yang dimilikinya.
d. Proyeksi: merupakan mekanisme pertahanan diri dengan memposisikan sifat batin
diri sediri kedalam sifat batin orang lain, seperti ketika membenci orang lain
kemudian mengatakan pada orang bahwa orang lain membencinya.
e. Represi: upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dengan cara menghilangkan
fikiran masa lalu yang buruk dengan melupakan dan sengaja dilupakan.
f. Supresi: upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dengan menekan masalah
yang tidak diterima dengan sadar serta individu tidak mau memikirkan hal yang
kurang menyenangkan.
g. Denial: upaya pertahanan diri dengan cara penolakan terhadap masalah yang sedang
dihadapi atau tidak mau menerima kenyataan yang dihadapinya.
G. Penatalaksanaan Ansietas
Menurut Hawari (2008) penatalaksanaan asietas pada tahap pencegahaan dan terapi
memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu mencangkup fisik
(somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Selengkpanya seperti
pada uraian berikut :
1. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :
a. Makan makan yang bergizi dan seimbang.
b. Tidur yang cukup.
c. Cukup olahraga.
d. Tidak merokok.
e. Tidak meminum minuman keras.
2. Terapi psikofarmaka.
Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-
obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter (sinyal
penghantar saraf) di susunan saraf pusat otak (limbic system). Terapi psikofarmaka yang
sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam, clobazam,
bromazepam, lorazepam, buspirone HCl, meprobamate dan alprazolam.
3. Terapi somatic
Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan atau
akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk menghilangkan keluhan-keluhan
somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang
bersangkutan.
4. Psikoterapi
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain :
a. Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan dorongan agar pasien
yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan diberi keyakinan serta percaya diri.
b. Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila dinilai bahwa
ketidakmampuan mengatsi kecemasan.
c. Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali (re-konstruksi)
kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat stressor.
d. Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu kemampuan
untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan daya ingat.
e. Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika
kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak mampu menghadapi
stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan.
f. Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar faktor
keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan
sebagai faktor pendukung.
5. Terapi psikoreligius
Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang
merupakan stressor psikososial.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
Gejala tanda mayor
Subjektif : merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
Objektif : tampak gelisah
Gejala minor
Subjektif : merasa tidak berdaya
Objektif : frekuensi nadi meningkat, nafas meningkat, frekuensi TD
Intervensi : - identifikasi saat tingkat asientas berubah (missal kondisi waktu, stressor)
-temani pasien untuk mengurangi kecemasan
- lakukan kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
- kolaborasi pemberian obat antiansietas
Gejala mayor
Subjektif : merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
Objektif : tampak gelisah
Gejala minor
Subjektif : anoreksia, merasa tidak berdaya
Objektif : kontak mata buruk, luka tampak pucat
A. KESIMPULAN
ansietas adalah respons emosi tanpa objek, berupa perasaan takut dan kekhawatiran yang
tidak jelas dan berlebihan dan disertai berbagai gejala sumatif yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial atau penderitaan yang jelas bagi pasien.
C. SARAN
Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca khususnya mahasiswa
keperawatan dapat memperoleh ilmu yang lebih terutama Ansietas dan bagaimana asuhan
keperawatanya. Semoga makalah ini digunakan sebagai sumber litiature yang
bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Hawari, D., 2008, Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Nurjannah, I., 2004, Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa Manajemen, Proses
Keperawatan dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, Yogyakarta : Penerbit MocoMedia
Stuart, G.W., dan Sundden, S.J., 1995, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3, Jakarta : EGC.
Suliswati, dkk., 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC.