Disusun Oleh:
KELOMPOK 2 B
Salah satu cara pemberian ekstravaskular yang paling sering dilakukan untuk
menghasilkan efek sistemik adalah per oral karena dapat dilakukan oleh pasien
sendiri tanpa bantuan perawat ataupun dokter. Untuk obat yang diberikan per oral,
absorpsi saluran pencernaan ke dalam sirkulasi sistemik merupakan persyaratan
(prerequisite) agar obat didistribusikan ke organ-organ tubuh termasuk reseptor,
selanjutnya dihasilkan efek pengobatan.
Umumnya obat diberikan per oral dalam bentuk padat, seperti tablet dan
kapsul. Karena obat padat tidak dapat diabsorpsi melalui membran, maka obat
tersebut harus terlebih dahulu larut. Kecepatan dan besarnya disolusi tergantung
kepada sifat fisika kimia, proses produksi obat, dan faktor fisiologi tubuh. Di
samping senyawa aktif, senyawa lain yang ditambahkan untuk meningkatkan
stabilitas, mempermudah proses pembuatan, dan meningkatkan penerimaan pasien
(patient acceptability) dapat mempengaruhi disolusi senyawa aktif serta efek
terapi (Azizah, 2015).
Sifat fisika kimia obat, membran, faktor-faktor fisiologi seperti pH cairan pada
situs absorpsi (pH lambung dan usus), waktu pengosongan lambung serta
banyaknya aliran darah setempat merupakan faktor penentu absorpsi. Beberapa
obat mudah melewati membran, namun absorpsi kecil karena sifatnya tidak stabil
di dalam cairan pencernaan ataupun dimetabolisme oleh mikroflora usus, enzim
epitel serta hati. Faktor-faktor tersebut menentukan besarnya nilai ketersediaan
hayati obat (Shargel, 2016).
4. Bagaimana cara memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala
semilogaritmik?
1.3 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar teori
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme)
obat (Shargel & Yu, 1988), sehingga farmakokinetik dianggap sebagai
aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh, yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresinya. Dalam arti sempit, farmakokinetik
khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dan obat dan
metabolitnya dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dan waktu
Broavabilitas (Ba) adalah presentase obat yang diresorpsi tubuh oleh satu
dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapisnya. BA
dapat diukur secara in vivo (pada keadaan sesungguhnya pasien) dengan
menetukan kadar plasma obat sudah tercapai steady state. Pada keadaan ini
terjadi keseimbangan anatara kadar, praktis konstan karena jumlah zat yang
diserap dan dieliminasi adalah sama (Tjay,2007).
Pada umumnya obat diberikan dalam bentuk sediaan seperti tablet,
kapsul , suspensi dan lain-lain. Suatu bentuk sediaan obat terdiri dari bahan
obat dan bahan-bahan pembantu yang tersusun dalam formula dan diikuti
dengan petunjuk cara proses pembuatan. Kita mengetahui bahwa sangat
banyak sediaan farmasi dengan obat, dosis dan bentuk sediaan yang sama,
diproduksi oleh industri-industri farmasi dengan nama-nama yang berbeda.
berbeda. Pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan
bermunculan laporan, publikasi dan diskusi yang mengemukakan bahwa
banyak obat-obat dengan kandungan, dosis dan bentuk sediaan yang sama
dan dikeluarkan oleh industri farmasi yang berbeda memberikan
kemanjuran yang berbeda. Laporan-laporan dan publikasi-publikasi tersebut
menyebabkan munculnya ilmu baru dalam bidang farmasi yaitu biofarmasi
(Bourne, 2009).
llmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi
(yakni, ekskresi dan metabolisme) obat. (Shargel & Yu, 2012).
Farmakologi medis adalah ilmu mengenai zat-zat kimia (obat) yang
berinteraksi dengan tubuh manusia. Interaksi-interaksi ini dibagi menjadi
dua jenis (Neal, 2006) :
a. Farmakodinamik, yaitu efek obat terhadap tubuh.
b. Farmakokinetik, yaitu bagaimana tubuh mempengaruhi obat dengan
berlalunya waktu (yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi).
Adapun parameter farmakokinetik yang digunakan untuk mengetahui
bioavabilitas suatu obat adalah (Ganiswara ,2005).
1. Daerah di bawah kurva (Area Under Curva) adalah
integritasi batas obat di dalam darah dari waktu t = o hingga t, dimana
besar AUC berbanding lurus dengan jumlah total obat yang diabsorbsi.
AUC merupakan salah satu parameter untuk menentukan bioavabilitas.
Cara yang paling sederhana untuk menghitung AUC adalah dengan
metode trapezoid.
2. Volume distribusi adalah suatu parameter farmakokinetik
yang menggambarkan luas dan intensitas distribusi obat dalam tubuh.
Volume distribusi bukan merupakan volume yang sesungguhnya dari
ruang yang ditempati obat dalam tubuh, tetapi hanya volume tubuh.
Besarnya volume distribusi dapat digunakan sebagai gambaran, tingkat
distribusi obat dalam darah.
3. Konsentrasi Tinggi Puncak (Cpmax) adalah konsentrasi
dari obat maksimum yang diamati dalam plasma darah dan serum
pemberian dosis obat. Jumlah obat biasanya dinyatakan dalam batasan
konsentrasinya sehubungan dengan volume spesifik dari darah, serum
dan plasma.
4. Waktu Puncak (tmax) adalah waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai level obat maksimum dalam darah (t max). serta parameter
ini menunjukan laju absorsi obat dari formulasi. Laju absorbsi obat,
menentukan waktu diperlukan untuk dicapai konsentrasi efektif
minimum dan dengan demikian untuk awal dari efek farmakologis yang
dikendaki.
5. Waktu paruh obat (t½) adalah gambaran waktu yang
dibutuhkan untuk suatu level aktivitas obat dan menjadi separuh dari
level asli atau level yang dikehendaki.
6. Tetapan absorbsi (Ka) adalah parameter yang
mengambarkan laju absorbsi suatu obat, dimana agar suatu obat
diabsorbsi mula-mula obat harus larut dalam cairan pada tempat
absorpsinya.
7. Tetapan eliminasi (K) adalah parameter yang gambarkan
laju eliminasi suatu obat tubuh. Dengan ekskresinya obat dan metabolit
obat, aktivitas dan keberadaan obat dalam tubuh dapat dikatakan
berakhir.
Volume distribusi akan beragam untuk setiap pasien; oleh karena itu,
parameter ini dapat digunakan dalam penentuan dosis atau penyesuaian
dosis untuk menghasilkan kadar darah yang diharapkan pada setiap pasien.
(Ansel, 2004).
Nilai VD < 5 L menunjukkan bahwa obat dipertahankan dalam
kompartemen vascular. NilaiVD < 15 L menunjukkan bahwa obat terbatas
pada cairan ekstraseluler, sedangkan volume distribusi yang besar (V D > 15
L) menunjukkan distribusi di seluruh cairan tubuh total atau konsentrasi
pada jaringan tertentu. Volume distribusi dapat digunakan untuk
menghitung bersihan obat (Neal, 2006).
Bila suatu obat diberikan secara suntikan intravena, semua dosis yang
diberikan masuk kedalam sirkulasi sistemik, tetapi hal ini mungkin tidak
terjadi pada obat-obat yang diberikan peroral. Fraksi dari dosis obat yang
masuk kedalam sirkulasi sistemik setelah pemberian secara oral
dibandingkan dengan jumlah obat yang masuk sirkulasi sitemik disebut
sebagai ketersediaan hayati (bioavailability = F). Proses-proses fisika dan
Kimia yang menyebabkan ketersediaan hayati berkurang (F kurang dari 1)
meliputi kelarutan obat yang jelek, absorbsi gastrointestinal yang tidak
lengkap, dan metabolisme yang cepat pada saat melalui hati sebelum sampai
kesirkulasi sistemik (first-pass effect). Nilai F dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan:
( AUC) oral
F=
( AUC)intravena
0,693
orde kesatu dapat diperoleh dari persamaan berikut: t ½ =
K
Waktu paruh reaksi orde nol, berbeda dengan t ½ reaksi orde saru t ½
reaksi orde nol adalah sebanding dengan jumlah atau konsentrasi awal
obat dan berbanding terbalik dengan tetapan orde nol Ko:
0,5. Ao
t½=
Ko
3. Tetapan laju eliminasi (Tjay, 2007)
Laju eliminasi untuk sebagian bessar obat merupakan suatu proses
kesatu. Tetapan laju eliminasi, K adalah suatu tetapan laju eliminasi
menyatakan jumlah dari laju tiap proses ini : K = km + ke
4. Volume distribusi (rd) (Tjay, 2007)
Volume distribusi menyatakan suatu factor yang harus diperhitungkan
dan memperkirakan jumlah obat dalam tubuh dan konsentrasi obat yang
ditemukan dalam kompartemen cuplikan
dosis DB
Vd = =
cp c. p
2.2 Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non
narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di
Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas di
berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-
antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Darsono, 2002).
Parasetamol adalah para aminofenol yang merupakan metabolit
fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893. Parasetamol (asetaminofen)
mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja
anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung
(Katzung, 2004).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak
terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat leukosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna.
Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri
kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung,
2004).
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik
sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti
Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan
tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol. Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek
samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak.
Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan
Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari
penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal
dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika
diberikan sendiri-sendiri (Sartono, 1996).
Struktur Kimia Parasetamol
Sifat Zat Berkhasiat
Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah sebagai
berikut:
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2
Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan
kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-
kira 2 jam. Metabolisme dihati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk
tidak berubah melalui urin dan 80-90% dikonjugasi dengan asam
glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam
satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit
berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation
menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan
sulfhidril dari protein hati (Darsono, 2002).
Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat
yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya
sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak
digunakan sebagai antireumatik.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG)
yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat
pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan
keseimbangan asam basa (Tjay dan Rahardja, 1978).
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan
siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga
konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap
obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol
menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin,
inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang
kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan
atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak
mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini
menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan
bukan blokade langsung prostaglandin.
Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat
sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik (Tjay dan
Rahardja, 1978).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Alat
1. Beaker glass
2. Pipet tetes
3. Vial
4. Spuit
5. Kantung dialysis
6. Hot plate dan stirrer
7. Tali/benang
8. Thermometer
9. Spektrofotometer
B. Bahan
1. Larutan parasetamol
2. Larutan NaOH 0,1N
3. Aquades
4.1 Hasil
1. Pembuatan Larutan Parasetamol
Membuat larutan PCT 1000 ppm dalam 250 ml
250 mg Paracetamol 250.000 μg 1000 μg
= = =1000 ppm
250 ml 250 ml ml
Data Kalibrasi
Konsentras
i Absorbansi
2 0,154
4 0,295
6 0,43
8 0,571
10 0,703
0.3
0.2
0.1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Konsentrasi
3. Perhitungan Kadar Cuplikan
y = 0,0687x + 0,0184
r2 = 0,9999
1.05
f(x) = − 0 x + 1.04
1 R² = 0.01
0.95
0.9
0.85
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
6. Kurva Eliminasi
Kurva eliminasi dari simulasi pemberian parasetamol secara oral
dibuat dengan lima data terakhir dari waktu dan log konsentrasi yakni
pada waktu 70, 75, 80, 85 dan 90 menit.
Kurva Eliminasi Paracetamol
1.04
1.03 f(x) = − 0 x + 1.2
1.02 R² = 1
1.01
1
0.99
0.98
0.97
0.96
65 70 75 80 85 90 95
7. Perhitungan Cp’
Perhitungan Cp’ dilakukan dengan cara mensubstitusi tiap nilai
waktu pengukuran ke dalam persamaan regresi pada kurva eliminasi
parasetamol di atas.
8. Kurva Absorbsi
Kurva absorbsi dari simulasi pemberian parasetamol secara oral
dibuat dengan menggunakan data waktu dan log (Cp – Cp’) yang hasilnya
positif, sesuai dengan hasil tabel perhitungan di bawah.
0.5
f(x) = − 0.03 x + 1.02
R² = 1
0.4
0.3
0.2
0.1
0
14 16 18 20 22 24 26 28 30 32
-0.1
9. Parameter Farmakokinetik
a. Persamaan regresi linier absorbs
y = A.e-kt
y = -0,0349x + 1,0165
A = antilog 1,0165
A = 10,3872
b. Persamaan regresi linier eliminasi
y = B.e-kt
y = -0,0024x + 1,2029
B = antilog 1,2029
B = 15,9551
c. Persamaan yang didapat:
Cp = A.e-kt + B.e-ket
Cp = 10,3872.e-0,0349.t + 15,9551.e-0,0024.t
ln Ka−ln Ke
d. tmax =
Ka−Ke
ln 0,0349−ln 0.0024
tmax =
0.0349−0.00241
−3,3553 – (−6.0323 )
tmax =
0,0325
2,677
tmax =
0,0325
tmax = 82,3692 menit
e. D0 (Dosis Awal)
Membuat larutan PCT 1000 ppm dalam 250 ml
250 mg Paracetamol 250.000 μg 1000 μg
= = =1000 ppm
250 ml 250 ml ml
f. Vd (Volume Distribusi) = 500 ml
B A 15,9551 10,3872
g. AUC = + = + = 6945,5858
Ke Ka 0.0024 0.0349
F x Ka X D 0 Ket
h. Cp = (e - e Kat)
Vd(Ka−Ke)
F x 0.0349 X 1000
11,5807 = 500(0.0349−0.0024) (e-0.0024×15- e-0.0349×15)
F x 34,9
11,5807 = 16,25 (e-0.036- e-0.5235)
.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan simulasi in vitro farmakokinetika obat
setelah pemberian secara rute oral. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk
menjelaskan proses farmakokinetik obat dan untuk mengetahui parameter
farmakokinetika dari parasetamol agar dapat mengetahui frekuensi pemberian
obat. Dalam metode ini, suatu wadah digambarkan sebagai kompertemen
tubuh dimana obat mengalami profil farmakokinetik dari distribusinya hingga
eliminasi obat. Sampel yang diuji adalah parasetamol yang akan dilihat profil
farmakokinetiknya dengan model kompartemen per oral dan dianalisis
kadarnya dengan spektrofotometer UV-VIS.
Tahap awal pada praktikum ini adalah membuat parasetamol 1000 ppm
dengan cara melarutkan 250 miligram paracetamol di ad dengan NaOH hingga
250 ml dalam labu ukur. Setelah itu disiapkan NaOH 500 ml ke dalam beaker
glass dan diatur suhunya sampai 37oC di atas hot plate, NaOH ini sebagai
kompertemen tubuh dimana obat mengalami profil farmakokinetik dari
distribusinya hingga eliminasi obat atau menggambarkan kondisi system di
dalam tubuh. Suhu diatur hingga 37oC, hal ini bertujuan agar suhu yang
digunakan sama dengan suhu fisiologis tubuh. Kemudian obat parasetamol
sebanyak 5 ml dimasukkan dalam kantung dialisis dan diletakkan ke dalam
beaker glass dengan posisi tidak tenggelam atau tercelup sebagian. Kantung
dialisis memiliki pori-pori sehingga menyebabkan obat perlahan keluar.
Proses keluarnya obat ini dikarenakan obat berdifusi atau karena perbedaan
konsentrasi antara larutan parasetamol dan larutan NaOH. Selanjutnya gelas
beker yang sudah berisi NaOH dan kantung dialisis yang berisi parasetamol
ditaruh diatas hotplate dan diputar dengan stirrer. Kran chamber sudah diatur
kecepatannya menjadi 17ml/menit, larutan dalam chamber yang berkurang dapat
ditambahkan larutan NaOH 0,1N sebanyak yang berkurang
Selanjutnya pada menit ke-2,5; 5; 7,5; 10; 15; 20; 30; 45; 60; 70; 75; 80;
85 dan 90 diambil cuplikan NaOH sebanyak 10 ml dari beaker glass dan
dimasukkan kembali NaOH yang baru dengan jumlah yang sama yaitu 10 ml.
Hal ini bertujuan untuk menggambarkan volume darah yang dibersihkan dari
kandungan obat per satuan waktu (klirens) agar cairan yang ada di dalam
beaker glass selalu dalam jumlah yang sama. Hasil cuplikan pada menit ke-
2,5; 5; 7,5; 10; 15; 20; 30; 45; 60; 70; 75; 80; 85 dan 90 kemudian
dispektrofotometer UV-Vis untuk dilihat kadar parasetamol yang tersisa pada
menit yang ditentukan.
Pada pemberian obat melalui rute oral, obat tidak langsung masuk ke
pembuluh darah, tapi harus masuk kelambung dulu dan diabsorpsi di lambung
atau usus tergantung pHnya. Pada ekstravaskuler jumlah obat yang diterima
oleh tubuh tidak sama dengan dosis yg kita berikan, hal ini dikarenakan obat
harus melewati fase absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi yang
mengakibatkan dosis obat dapat hilang saat mengalami fase-fase tersebut.
Fase absorbsi adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau
menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik.
Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila molekul zat aktif dalam bentuk
terlarut, oleh karena itu parasetamol dibuat dalam bentuk larutan agar mudah
diabsorbsi oleh tubuh. Kemudian terjadi proses distribusi, pada tahap ini
parasetamol akan disebarkan ke seluruh bagian tubuh dan kemudian
disalurkan ke tempat kerjanya. Kemudian terjadi proses metabolisme yakni
proses perubahan senyawa obat sehingga lebih mudah larut dalam air dalam
organisme dan biasanya terjadi di dalam hati, sehingga obat menjadi aktif dan
dapat dieksresikan melalui saluran ekskresi. Selanjutnya obat dikeluarkan,
ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi
bahan berkhasiat dalam tubuh. Larutan parasetamol yang diberikan secara oral
pada praktikum ini mengikuti orde ke satu, dimana orde kesatu menganggap
bahwa pada saat proses absorbsi obat tidak sepenuhnya sampai di saluran
sistemik.
Data yang kami dapatkan dari praktikum yang dilakukan ialah absorbansi
dari tiap cuplikan waktu, dimana dari data tersebut diperoleh nilai konsentrasi
parasetamol pada plasma dengan mensubstitusikan nilai absorbansi yang ada
pada persamaan regresi kurva kalibrasi parasetamol di minggu pertama
praktikum, kemudian nilai konsentrasi plasma dimasukkan ke dalam fungsi
logaritma. Selanjutnya dibuat kurva hubungan antara log konsentrasi plasma
terhadap waktu, dimana berdasarkan hasil yang didapatkan dengan persamaan
y = -0,0001x + 1,0361 dan R² = 0,0103 terbukti bahwa parasetamol mengalami
fase absorbsi terlebih dahulu sebelum mengalami fase eliminasi, dan nilai
puncak terdapat di menit ke-30 pada simulasi in vitro pemberian obat tersebut
secara oral.
Kemudian dibuat kurva eliminasi dari 5 data terbawah pada log
konsentrasi terhadap waktu, yakni pada menit ke-70, 75, 80, 85 dan 90.
Berdasarkan hasil yang didapatkan dengan persamaan Y = -0,0024x + 1,2029
dan R² = 0,9986, bahwa kurva eliminasi parasetamol sudah sesuai dengan
teori, dimana kadar parasetamol terus menurun seiring bertambahnya waktu
yang menunjukkan bahwa eliminasi parasetamol pada simulasi in vitro yang
kami lakukan lebih besar dibandingkan dengan absorbsinya.
Selanjutnya dicari nilai Cp’ dengan terlebih dahulu mencari nilai log Cp’
dengan cara mensubstitusikan nilai waktu pada persamaan regresi dari kurva
eliminasi parasetamol yang didapatkan yang kemudian nilai log Cp’ tersebut
dikaonversi menjadi Cp’. Kemudian dicari nilai Cp’ – Cp dan dikonversikan
ke dalam fungsi logaritma sehingga akan didapatkan nilai log (Cp’ – Cp).
Kemudian dibuat kurva absorbansi dari nilai log (Cp’ – Cp) yang sebelumnya
didapatkan, hanya dari hasil yang positif, terhadap waktu, persamaan regresi
yang didapatkan yakni y = -0,0349x + 1,0165 dan R² = 1 , dimana nilai regresi
yang didapatkan sangat sempurna yang menunjukkan bahwa kurva sangat
linier. Semakin meningkatnya waktu, absorbsi parasetamol akan semakin
menjadi seimbang dengan eliminasinya dan akan lebih kecil dari eliminasinya.
Kemudian dihitung parameter farmakokinetiknya, dan didapatkan Ka
(konstanta laju absorbsi) sebesar 0,0349 dari persamaan regresi kurva absorbsi
parasetamol. Ke (konstanta laju eliminasi) sebesar 0,0024 kemudian tmax nya
sebesar 82,3692 menit, dimana hasil ini jauh dengan t max saat simulasi in vitro
dijalankan, yaitu konsentarasi maksimum dijalankan didapatkan saat menit ke-
30. Dosis awal dari parasetamol 1000 ppm, volume distribusi sebesar 500 ml,
AuC (Area under Curve) sebesar 6945,5858 yang dimana nilai ini merupakan
total obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik, F (bioavaibilitas) sebesar
14,4872 yang menunjukkan fraksi obat yang didapatkan dari konsentrasi
parasetamol pada plasma, nilai B sebesar 2,1477, nilai Cpmax sebesar 1,6413
ppm yang menunjukkan konsentrasi parasetamol puncak pada plasma dan
nilai klirens 1,2 ml/menit yang merupakan nilai eliminasi obat dari tubuh dan
nilai ini sangat kecil dari yang kami lakukan saat praktikum yaitu 17 ml/menit,
dengan nilai paruh waktunya sebesar 288,75 menit yang merupakan waktu
yang dibutuhkan untuk parasetamol mencapai setengah kadarnya pada plasma.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Shargel, L., Yu, A. B. C., & Wu-Pong, S. 2012. Applied biopharmaceutics and
pharmacokinetics (6th ed.). McGraw-Hill Medical.
Tjay, dan Rahardja. 1978. Obat-obat Penting edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Tjay, T.H & Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingya, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.