Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tauhid menjelaskan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia yang paling
baik para makhluk dengan tujuan untuk mengabdi kepada- Nya. Amanat dari Tuhan
tersebut merupakan pemenuhan unsure etika dari kehendak Ilahi yang sifatnya harus
direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu- satunya makhluk yang
dapat melakukan itu. Tanggung jawab yang diberikan sama sekali tidak mengenal
batas, mencakup segala unsur secara universal. Karena menurut Al- Qur’an, tidak
satupun makhluk Tuhan yang mampu memikul amanat tersebut kecuali manusia yang
merasa mampu melaksanakannya. Ketika kehendak Ilahi direalisasikan dengan
hukum alam, hal tersebut tidaklah bersifat moral, melaikan elemental. Namun sifat
kebebasan bertindak dalam rangka mematuhi perintah Tuhan inilah yang menjadikan
bersifat moral. Berkaitna dengan ini, maka bertauhid meniscayakan beretika atau
bermoral yag mencerminkan kedalam tauhid itu sendiri. Jika tauhid baik, dapat
dipastikan etikanya pastilah baik.1
Setiap bangsa multi- etnis, termasuk Indonesia, berpotensi menghadapi masalh
perbedaan, persaingan dan tidak jarang pertikaian anatara etnis. Sebab, etnis
merupakan fenomena biologis yang berdampak cultural, sosial, ekonomi, dan politik.
Walaupun fenomena etnis secara internal bisa berfungsi integral, secara eksternal
berpotensi politik.
Bentuk perbedaan yang harus dihadapi oleh setiap individu manusiai dalam
realitas sosialnya sangatlah beragam. Seperti, pola prilaku, pola pikir, cara pandang,
standar hidup, hingga yang paling kompleks dan sistematis adalah perbedaan budaya.
Dalam wacana agama, budaya sering disertakan dengan istilah al- Adah dan al- Urf.
Al- Adah secara etimologis berarti suatu yang dikenal dan terjadi secara berulang-
ulang. Kata Al- Ma’ruf diartikan sebagai “sesuatu yang baik” sebab sesuatu yang
dianggap atau diyakini sebagi kebaikan. Sesuatu yang diyakiini sebagai kebaikan
dilakukan secara berulang- ulang. Dengan demikian terhadap hubungan arti antara al-
Adah dan al- Urf., yaitu sesuatu yang dikenal dan terjadi secara berulang- ulang,
sehingga diyakini sebagi kebenaran dan kebaikan.

1
Ahmad Munji, “Tauhid dan Etika Lingkungan”, Teologia volume 25, nomor 2, 2014,hlm. 516

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tauhid ?
2. Apa yang dimaksud dengan realitas keberagaman masyarakat ?
3. Bagaimana sikap muslim terhadap keragaman berbasis tauhid ?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami tentang realitas dan sikap muslim terhadap
keberagaman dengan berbasis tauhid.

2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Tauhid
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan
manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan.2
Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta
ini adalah Allah SWT bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang
keberadaan wujud-Nya dan keesaan-Nya dan bukan pula sekedar mengenal asma dan
sifat-Nya.
Tauhid adalah pemurnian ibadah kepada Allah. Maksudnya yaitu,
menghambakan dirinya hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen dengan
mentaati segala perintag-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa
rendah diri, cinta, harap dan takut kepada-Nya. 3
b. Realitas Keberagaman di Masyarakat
Masyarakat plural ialah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih dari
tatanan sosial, masyarakat, atau kelompok yang secara kultural (budaya), ekonomi
dan politik dipisahkan dan memiliki struktur kelembagaan dan berbeda satu sama lain.
Multikultural adalah sebuah pengakuan akan keberadaan manusia yang beragam baik
dari sisi etnis, budaya, dan sebagainya. Dengan demikian konsep multikultural, setiap
individu merasa dihargai dan sekaligus bertangguung jawab unutuk hidup bersama
komunitasnya dimanapun ia berada. (Kamal, 2013: 452).
Indonesia adalah negara yang paling plural maka konflik- konflik yang sering
terjadi di masyarakat disebabkan oleh keragamana ini. sangat penting bagi kita untuk
menjaga keragaman dalam kehidupan multikultural agar kedamaian tetap terjaga dan
terhindar dari peperangan yang merugikan masyarakat itu sendirishingga kemajuan
bangsa baik dari sumber daya manusia maupun alamnya dapat terus berkembang.
Al- Qur’an sebgai petunjuk kehidupan bagi umat islam telah menyuguhkan
beberapa konsep yang dapat kita laksanakan sebagai perekat harmoni dan kehidupan
mutikultural. Konsep Al- Qur’an diantaranya konsep ta’aruf (saling mengenal),

2
Syekh Muhammad, Kitab Tauhid (Rabwah: Islam Propagation), hal. 3
3
Syekh Muhammad, Kitab Tauhid (Rabwah: Islam Propagation), hal.4

3
ta’awuf (tolong menolong), takafful (bekerjasama), dan tasamuh (toleransi) agar
kedamaian tetap terjaga.4
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan hubungan dan kerja sama
dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material
maupun spiritual. Ajaran islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong
menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan
ras, bangsa, dan agama. 5
c. Sikap Muslim Terhadap Keragaman Berbasis Tauhid
Dalam Taswuf, etika merupakan hal yang prinsip, karena tasawuf seperti yang
didefinisikan oleh al- Junaid adalah akhlaq (etika), barang siapa yang semakin
beretika maka dialah yang semakin bertaswuf. Sementara etika adalah perilaku yang
muncul dengan reflek tanpa harus berfikir. Menurut Ibn ‘Arabiwataq etika dalam
islam itu idak terbatas pada hubungan manusia dengan sesama. Lebih dari itu etika
bertitik tolak pada paham universalitas ilsam tentang tuhan “rab”, alam “al- kaun” dan
manusia “al- insan”. Hubungan yang harmonis dan “akrab” dari dua unsur yang
terakhir inilah yang akan menghantarkan pada keterangan universal.
Mempertemukan etika lingkungan dengan etika islam, sesunggughnya ada titik temu
antara makna yang terkandung dalam perdamaian serta hakikat dasar dari etika islam
itu sendiri. Pada dasarnya hakikat dari etika islam berkisar pada konsep tauhid.6
Berikut adalah beberapa nilai- nilai konsep kerukunan yang ditawarkan Al- Qur’an:
1. Tasamuh

Persaudaraan yang diperintahkan Al- Qur’an tidak hanya tertuju kepada sesama
muslim, namunjuga kepada sesama warag masyarakat non muslim. Istilah yang
digunakan Al- Quran untuk menyebut persaudaraan dengan berlainan akidah berbeda
dengan istilah yang digunakan untuk menunjuk persaudaraan yang seakidah. (Nurdin,
2006: 279)

Salah satu alasan yang dijelaskan Al- Qur’an adalah bahwa manusia itu satu sama lain
bersaudara karena meraka berasal dari sumber yang satu, Q. S. Al- Hujurat/49:13
menegaskan hal ini:

4
Umratul Jannah, Islam dan Kehidupan Multikultural (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018), hal. 6-7
5
Toto Suryana, “Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama”, Pendidikan Agama Islam, Vol. 9
No. 2, 2011, hal. 128
6
Ahmad Munji, “ Tauhid dan Etika Lingkungan”, Teologia, vol. 25, No. 2, 2014, hlm. 521

4
ُ َ‫اك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َو أُ ْن ثَ ٰى َو َج َع ْل ن‬
‫اك ُش عُ وبًا‬ ُ َ‫اس إِ نَّا َخ لَ ْق ن‬
ُ َّ‫يَ ا أَيُّ َه ا الن‬
ِ ِ ُ ‫َك ر م ُك م ِع ْن َد اللَّ ِه أَ ْت َق‬ ِ ِ ِ
ٌ‫اك ْم ۚ? إ َّن اللَّ هَ َع ل يم‬ ْ َ َ ْ ‫َو َق بَ ائ َل ل َت َع َار فُ وا ۚ? إ َّن أ‬

ٌ‫َخ بِ ري‬
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat di atas adalah ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke
Madinah (Madaniyah), memilki ciri, diantaranya didahului dengan panggilan
“yaaayuhalazina amanu” (ditunjukan kepada orang- orang yang beriman), namun
demi persaudaraan, persatuan, dan kesatuan, ayat ini mengajak kepada semua
manusia yanyg beriman dan yang tidak beriman “yaa a’yuhannas” (wahai seluruh
manusia) untuk saling membantu dan saling menyayangi, karena manusia berasal dari
satu keturunan, tidak ada perbedaan anatara laki- laki dan perempuan, kecil dan besar,
beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan
rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak- hak asasi manusia.
( Nurdin,2006: 279).

Kerukunan hidup antara pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang
majemuk harus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Kalimat
yang secara tegas menunjukkan hal ini seperti terekam dalam surat al-kafirun diatas
yakni : “bagimu agamamu (silahkan yakini dan amalkan) dan bagiku agamaku
(biarkan aku yakini dan melaksanakannya).

Ayat ini secara tegas ingin mengajarkan kepada kaum muslimin untuk dapat
memelihara kesucian agamanya dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan
harmonis antar umat beragama.

2. Tabayun

5
Tabayun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas
benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan menyeleksi berita,
tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik hal hukum, kebijakan dan
sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

Tabayyun adalah akhlaq mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga
kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Hadits-hadits
Rasulullaah saw dapat diteliti keshahihannnya antara lain karena para ulama
menerapkan prinsip tabayyun ini. Begitu pula dalam kehidupan sosial masyarakat,
seseorang akan selamat dari salah faham atau permusuhan bahkan pertumpahan darah
antar sesamanya karena ia melakukan tabayyun dengan baik. Oleh karena itu,
pantaslah Allaah swt memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu tabayyun
dalam menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak meyesal di
kemudian hari,” Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun), agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.
Dalam Qur’an surat al-hujurat ayat 6:
ٍ‫ص يب وا َق و م ا جِب ه الَ ة‬
ِ ْ ‫َف تَ ب َّي نُ وا أ‬ ِ َ‫ي ا أَيُّ ه ا الَّ ِذ ين آم نُ وا إِ ْن ج اء ُك م ف‬
‫اس ٌق بِ نَ بَ ٍإ‬
َ َ ً ْ ُ ُ‫َن ت‬ َ ْ َ َ َ َ َ َ
ِِ
َ‫ص بِ ُح وا َع لَ ٰى َم ا َف َع ْل تُ ْم نَاد م ني‬
ْ ُ‫َف ت‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat diatas merupakan salah satu dasar yang ditetapkan agama dalam kehidupan
sosial sekaligus merupakan tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan
pengalaman suatu berita. Kehidupan manusia dan interaksinya haruslah didasarkan
hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia sendiri tidak dapat menjangkau seluruh
informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan
memiliki interitas sehingga hanya menyampaikan hal-hal yang besar.
3. Ta’awun
Ta’awun telah dijelaskan dalam al-quran surat al-maidah ayat 2 :

6
َّ ‫آم نُ وا اَل حُتِ لُّ وا َش َع ائِ َر اللَّ ِه َو اَل‬ ِ َّ
‫ي َو اَل‬
َ ‫الش ْه َر ا حْلَ َر َام َو اَل ا هْلَ ْد‬ َ ‫يَ ا أَيُّ َه ا ال ذ‬
َ ‫ين‬

ْ ‫ض اًل ِم ْن َر هِّبِ ْم َو ِر‬


‫ض َو انًا ۚ? َو إِ َذ ا‬ ْ َ‫ون ف‬
َ ُ‫ت ا حْلَ َر َام َي ْب َت غ‬
َ ‫ِّني الْ َب ْي‬
ِ
َ ‫الْ َق اَل ئ َد َو اَل آم‬
ِ‫وك م ع ِن الْ م س ِج د‬
ْ َ َ ْ ُ ‫ص ُّد‬ ْ ‫آن َق ْو ٍم أ‬
َ ‫َن‬ ُ َ‫اد وا ۚ? َو اَل جَيْ ِر َم نَّ ُك ْم َش ن‬
ُ َ‫اص ط‬
ْ َ‫َح لَ ْل تُ ْم ف‬
ِ‫الت ْق و ٰى ۖ? َو اَل َت َع َاو نُوا َع لَ ى ا إْلِ مْث‬ ‫رِب‬ ْ ‫ا حْلَ َر ِام أ‬
َ َّ ‫َن َت ْع تَ ُد وا ۘ? َو َت َع َاو نُوا َع لَ ى الْ ِّ َو‬
‫اب‬ ُ ‫ان ۚ? َو َّات ُق وا اللَّ هَ ۖ? إِ َّن اللَّ هَ َش ِد‬
ِ ‫يد الْ عِ َق‬ ِ ‫و الْ ع ْد و‬
َ ُ َ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
Sebagai isi yang dinyatakan dalam ayat tersebut adalah :
a) Ta’awun didalam kebajikan dan ketakwaan yang mencakup kebajikan
universal (al-birr) dalam bingkai ketaatan sepenuh hati (at-taqwa) yang akan
membawa akibat kepada kebaikan masyarakat muslim.
b) Ta’awun dalam bentuk wala’(loyalitas) kepada antar muslim. Setiap muslim
harus berkesadaran bahwa dirinya adalh bagian dari muslim yang lain.
Siapapun yang mengabaikan sodara sesama muslim dan melantarkannya,
maka pada hakikatnya dia adalah seseorang yang dapat diragukan
keislamannya.
c) Ta’awun yang berorientasi pada penguatan sendi- sendi kehidupan
bermasyarakat dan saling melindungi. Sebagaimana sabda rasulullah Saw.
Yang secara eksplisip telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan
dan berpegang teguhnya mereka pada tali (agama) Allah.

7
d) Ta’awun dalam upaya ittihad (persatuan). Taawun dan persatuan selayaknya
ditegagkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan
pada kelemahan umat islam, berkuasanya para musuh islam, terampasnya
tanah air, terinjak-injaknya kehormatan umat.
e) Ta’awun dalam bentuk tawashi (saling berwasiat) didalm kebenaran dan
kesabaran termasuk manifestasi nyata dari taawun didalam kebajikan dan
ketakwaan. Kesempurnaan dan totalitas taawun dalam masalah ini adalah
dengan saling berwasiat di dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar.
(Hariyanto, 2016:1)
4. Ashabiyyat
Solidaritas yang menumbuhkan sikap loyalitas kepada kesatuan suku disebut
ashabiyyat. Ashabiyyat(perasaan satu kelompok atau kesatuan kelompok dan atau
solidaritas sosial) menurut Ibn Khaldun timbul secara alamiyah dalam kehidupan
manusia karena adanya pertalian darah atau pertalian perkaumah (shilat al- rahmi).

Yang dimaksud dengan ashabiyyat adalah keterikatan yang subjektif (nu’rat) setiap
orang terhadap nasabnya dan golongannya yang diciptakan oleh Allah dihati hamba-
hambanya untuk cinta dan kasih terhadap keluarga dan kerabatnya.

Perasaab cinta dan kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib dan


sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, kerja sama, dan saling membantu diantara
sesama dalam menghadapi musibah yang menimpa mereka, menghadapi ancaman
musuh dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pertalian yang demikian
melahirkan persatuan dan pergaulan. Ashabiyyat itu bertujuan untuk mewujudkan
kekuasaan guna memberi perlindungan dan memelihara pertahanan untuk mencapai
tujuan bersama. (Pulungan, 1996:40)7

7
Umratul Jannah, Islam dan Kehidupan Multikultural (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018), hlm. 25-31

8
BAB III

Penutup

a. Kesimpulan
Mengingat keberagaman merupakan realita dan ketentuan dari Allah tuhan semesta
alam, maka diperlukan rasa keberterimaan dan usaha untuk memelihara dengan
mengarahkannya kepada kepentingan dan tujuan bersama. Perbedaan yang terjadi
merupakan fakta yang harus disikapi secara positif sehingga antar pemeluk agama
terjadi hubungan kemanusiaan yang saling menghargai dan menghormati. Agama
bersifat universal, tetapi beragama tidak mengurangi rasa kebangsaan, bahkan
menguatkan rasa kebangsaan. Agama mendorong penganutnya untuk membela
kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negaranya.8

Daftar Pustaka
8
Toto Suryana, “Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama”, Pendidikan Agama Islam, Vol. 9
No. 2, 2011, hlm. 135

Anda mungkin juga menyukai