Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di tengah upaya pemerintah terus menggenjot produksi pangan, ternyata banyak

wilayah di Indonesia yang mempunyai kearifan pangan lokal. Salah satunya,

masyarakat Suku Baduy yang sejak dahulu memegang teguh adat istiadat dalam

mempertahankan stok pangan. Sistem pertanian yang diadopsi oleh masyarakat

setidaknya dapat memecahkan masalah terkait ketersediaan pangan. Orang Baduy

sebagai masyarakat tradisional yang masih menggunakan peralatan tradisional

dalam sistem pertaniannya (Rahayu, 1998). Masyarakat Baduy bertani dengan

cara tradisional, karena mereka mencoba untuk menjaga lingkungan alam mereka.

Dalam sistem pertanian tradisional, berbagai jenis upacara (untuk ketenangan dan

keamanan) sering dilakukan untuk mencapai hasil panen yang sukses dan terjamin

(hasil bumi yang cukup) untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.

1.2 Tujuan

a. Mengetahui keadaan pangan Masyarakat Baduy.

b. Mengetahui cara Masyarakat Baduy memperoleh bahan pangan.

c. Mengehui tradisi Masyarakat Baduy dalam menjaga ketahanan pangan.

1
BAB 2

ISI

2.1 Keadaan Pangan Masyarakat Baduy

Masyarakat Adat Baduy merupakan komunitas adat yang masih memegang teguh

hukum adat dan menjaga keserasian alam lingkungan hidupnya. Pola kehidupan

yang khas, bersahaja, sederhana, gotong royong, taat pada hukum adat, dan patuh

terhadap petuah-petuah leluhur serta dekat dengan alam, yang diterapkan dalam

keseharian oleh masyarakat adat Baduy. Berbicara suku Baduy tidak akan ada

habisnya, suku ini memiliki segudang cerita dan sangat menarik untuk digali

informasinya mulai dari kepatuhan mereka dalam menjunjung adat istiadat sampai

dengan cara menerapkan Ketahanan Pangan yang ada di suku Baduy, hal ini

sangat menarik untuk dipelajari untuk bagaimana kita dapat mencontoh dan

belajar dari Suku Baduy dalam menghadapi atau mencegah krisis pangan.

Orang-orang Baduy sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka, misalnya tidak

diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi, tidak

diperkenankan menggunakan alas kaki, pintu rumah harus menghadap ke

utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat), larangan menggunakan

alat elektronik (teknologi), sampai cara berpakaianpun diatur harus menggunakan

kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta

tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Begitupun dengan makanan

yang mereka konsumsi sehari-hari pun harus hasil alam dan hasil kebun mereka

sendiri.

2
Aktivitas ekonomi suku Baduy untuk menunjang kehidupan

perekonomiannya

adalah bertani. Aspek ekonomi yang diajarkan hanya sederhana yaitu belajar

bercocok tanam dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Menurut suku Baduy

sistem berladang yang mereka kerjakan sesuai dengan kepercayaan serta ideologi

hidup mereka, yaitu untuk tidak membuat perubahan secara besar-besaran pada

alam karena justru akan menimbulkan ketidakseimbangan alam.

Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat

luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang

pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah

mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes mendapatkan

penghasilan tambahan dengan menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula

kawung/aren melalui para tengkulak, seperti di pasar subuh Rangkasbitung Lebak,

Banten

Hasil pertanian suku Baduy ada yang di jual dan ada yang digunakan untuk

keperluan pribadi. Mereka dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang dari luar

Baduy atau makanan yang modern. Dalam masyarakat adat Baduy, terdapat

sebuah kearifan lokal yang telah dijalankan selama beratus-ratus tahun silam

dalam hal aturan kewajiban adat untuk memiliki leuit Baduy, salah satu tujuannya

yaitu agar warganya tidak akan pernah kelaparan. Padi yang disimpan di dalam

leuit akan bertahan selama puluhan tahun ke depan. Ini pun menjamin

ketersediaan pangan bagi anak cucu mereka.

3
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Lebak Dede

Supriatna (2018), stok pangan masyarakat Baduy melimpah dengan penduduk

12.000 jiwa itu,” Menurut Dede, masyarakat Baduy tercatat memiliki 4.000 rumah

pangan dan belum pernah terjadi kehabisan gabah dari hasil panen padi huma.

Karena itu, masyarakat Baduy hingga kini mempunyai ketahanan pangan yang

kuat.

Dalam adat Baduy, menurut Pemimpin Adat Suku Baduy, hasil pertanian berupa

padi tidak boleh dijual, tetapi hasil pertanian berupa pisang, singkong dan

sejenisnya, itu boleh untuk dijual. Aturan adat Baduy melarang menjual padi

ataupun beras tetapi membolehkan membeli padi atau beras.

2.2 Perolehan Bahan Pangan Masyarakat Baduy

1. Memperoleh Pangan Sumber Karbohidrat

Hampir semua suku Baduy Dalam menanam sendiri berasnya (100%), dan hanya

72.6% di suku Baduy Luar dan 68% di Baduy Muslim. Mungkin karena hasil

ladang yang kurang mencukupi, dan karena hasil padi huma lebih diperuntukan

untuk keperluan upacara adat, maka masih ada rumah tangga di Baduy Luar,

Baduy Dalam dan Baduy Muslim yang masih harus membeli beras dari warung-

warung di

luar kampung Baduy yang jaraknya berdekatan.

Sementara itu, untuk komoditi jagung dan singkong sebagian besar masyarakat

Baduy Luar dan Baduy Dalam menanam sendiri, dan hanya sedikit yang masih

membeli di pasar terdekat di luar pemukiman suku Baduy.

2. Memperoleh Pangan Sumber Protein

4
Pangan-pangan sumber protein atau lauk pauk seperti daging, ikan, telur, tahu,

dan tempe diperoleh dengan cara membeli. Sangat sedikit rumah tangga Baduy

Luar (<2%), Baduy Dalam (0.0%) dan Baduy Muslim (<10%) yang mendapatkan

pangan-pangan tersebut dengan cara memelihara sendiri.

Pangan lauk-pauk yang sangat sering dibeli adalah ikan asin, tahu, dan

tempe.

Ketiga jenis pangan ini adalah lauk-pauk yang harganya murah dan mudah cara

perolehannya. Masyarakat Baduy juga relatif jarang makan telur maupun ikan air

tawar karena harganya yang masih mahal seperti halnya daging sapi.

3. Meperoleh Sayuran Dan Buah-Buahan

Cara perolehan sayuran di Baduy umumnya adalah dengan menanam sendiri.

Beberapa jenis sayuran yang ditanam sendiri adalah jengkol, petai, daun singkong,

daun papaya, dan terong. Sayuran yang cara perolehannya dibeli adalah bayam

dan kangkung.

Sementara itu untuk buah-buahan seperti pisang, sebagian besar rumah tangga

Baduy Luar (90.0%) memperolehnya dengan menanam sendiri. Begitu pula

rumah tangga di Baduy Dalam semuanya (100.0%) memperoleh buah pisang dari

menanam sendiri, sedangkan persentase untuk rumah tangga Baduy Muslim lebih

rendah (64.0%). Hal ini dikarenakan pisang merupakan tanaman yang

perawatannya mudah dan dapat berbuah tanpa mengenal musim.

2.3 Budaya Ketahanan Pangan Masyarakat Baduy

1. Budaya Leuit

5
Leuit merupakan sejenis bangunan penyimpan padi yang terdapat di daerah

pedesaan Sunda dan Baduy yang termasuk Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Secara tradisional, leuit dibangun dari balok-balok kayu dan dilapisi oleh

anyaman bambu, dengan kapasitas penyimpanan hingga tiga ton padi.

Komunitas Baduy Dalam menamakan leuit dengan istilah "lenggang". Rata-rata

rumah tangga Baduy memiliki lebih dari 1 leuit atau lenggang – 1.6 lenggang tiap

rumah tangga Baduy Dalam dan 1.2 leuit tiap rumah tangga Baduy Luar. Secara

umum, leuit digunakan untuk menyimpan padi perseorangan/keluarga, meskipun

sejumlah bangunan penyimpanan bersama juga disebut leuit. Leuit dibangun di

bawah pepohonan yang rindang untuk melindungi isinya dari air hujan, namun di

lokasi yang masih mendapat sinar matahari. Biasanya, leuit-leuit dibangun

berdekatan satu sama lain di suatu titik yang berjarak sekitar 20 meter dari

pemukiman warga.

Leuit terutama digunakan untuk menyimpan padi selama jangka panjang. Padi

yang dimasukkan ke dalam leuit ditumpuk sesuai urutan tertentu dan diambil

sesuai urutan tertentu pula untuk memaksimalkan jangka padi bisa disimpan. Pola

penyimpanan tradisional ini dikabarkan bisa menyimpan padi awet selama 20

tahun. Berdasarkan kepercayaan dan tradisi setempat, leuit yang baru diisi padi

akan dibiarkan terbuka selama 3-7 hari terlebih dahulu, dan ada hari-hari tertentu

dalam satu minggu yang dianggap baik untuk mengambil atau menyimpan padi.

Setiap leuit pada umumnya dapat menampung 1.000 ikat padi, atau 2.5-3 ton.

6
Gambar 2.1 Penyimpanan Padi di Leuit

Sumber: Redaksi24.com

Setiap warga Baduy yang sudah menikah, maka disarankan untuk segera memiliki

Leuit, hal itu dimaksudkan agar keluarganya tidak menderita kelaparan. Memiliki

leuit bukanlah kewajiban adat bagi semua warga baduy, tetapi merupakan hal

yang diwajibkan bagi yang memiliki kemampuan secara ekonomi saja.

Bisa dikatakan memiliki leuit ini merupakan kewajiban adat bagi yang mampu.

Memiliki leuit sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, setiap warga yang sudah

menikah, pasti akan membuat leuit untuk menyimpan hasil panen nya tahun itu.

Hal itu didasarkan pada kesadaran hukum dan ketaatan mereka pada kebiasaan

adat leluhur dari zaman dahulu.

Hasil pertanian yang berupa padi hanya untuk kepentingan sendiri, mereka tidak

menjualnya. Biasanya setelah panen padi dikeringkan langsung dimasukan ke

dalam lumbung padi yang disebut Leuit. Leuit adalah wujud pemahaman

masyarakat Baduy tentang ketahanan pangan. Lumbung padi (leuit) terbuat dari

anyaman bambu yang dirangkai dengan kayu-kayu besar dan beratapkan kirai

7
(sabut kelapa). Setiap keluarga Baduy memiliki satu atau lebih leuit. Padi yang

disimpan di lumbung dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan lebih

diutamakan untuk digunakan pada saat upacara adat, seperti pernikahan atau

khitanan.

2. Budaya Nganjang, Nganteuran, Nyambungan : Saling Mengirim Makanan

Selain sistem penyimpanan padi dalam leuit yang dapat menjaga ketersediaan

pangan bagi orang Baduy, mereka juga memiliki kebiasaan saling mengunjungi

dan memberi makanan kepada kerabat atau tetangga. Kebiasaan ini dilakukan

dengan tujuan untuk lebih merekatkan tali persaudaraan di antara mereka

sekaligus anjangsana kepada keluarga (terutama yang berbeda kampung) sehingga

dapat mencegah sifat tambelar atau sifat masa bodoh, atau tidak kenal dengan

kerabat sendiri.

Kebiasaan ini dilakukan pada saat ada acara-acara tertentu seperti hajat lembur

(misalnya upacara panen) atau hajatan keluarga (misalnya pernikahan). Antar

tetangga saling membawa bahan makanan untuk membantu hajat (selamatan)

tersebut, sehingga beban yang punya hajat tidak terlalu berat. Di samping saling

membantu kebiasaan ini juga untuk mempererat silaturahmi.

Makanan yang dikirimkan biasanya berupa beras, makanan yang telah matang

(nasi dan lauk pauknya). Orang yang diutamakan untuk dikirim adalah kerabat

sendiri. Jenis serta jumlah makanan yang dikirim tergantung kepada tingkat

kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Kegiatan ini dikenal dengan

sebutan nganjang yaitu berkunjung sambil membawa makanan. Nganjang ini

8
sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Saling mencicipi masakan antar tetangga

juga sering dilakukan mereka setiap harinya.

Selain nganjang juga dikenal kegiatan yang fungsinya sama yaitu saling

memberikan makanan pada keluarga yang punya hajat, disebut nganteuran atau

nyambungan. Pangan hewani yang sering dikirimkan dalam nganteuran adalah

ayam yang dibungkus oleh anyaman daun kirai yang disebut dengan kisa.

Ayam yang masih dibalut kisa ini terkadang digantungkan begitu saja dengan

menggunakan tali rafia di atap depan rumah orang yang punya hajatan, sehingga

si pemilik rumah (yang punya hajat) tidak mengetahui siapa orang yang memberi

ayam tersebut. Di sini Nampak orang yang mengirim ayam merasa tidak perlu

diketahui siapa dia, yang penting dia sudah menjalankan ketentuan adat. Daging

ayam juga merupakan makanan yang wajib ada dalam hajatan karena dihargai

oleh para tokoh adat.

9
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Masyarakat Adat Baduy merupakan komunitas adat yang masih memegang teguh

hukum adat dan menjaga keserasian alam lingkungan hidupnya. Begitupun

dengan makanan yang mereka konsumsi sehari-hari pun harus hasil alam dan hasil

kebun mereka sendiri.

Mereka dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang dari luar Baduy atau

makanan yang modern. Dalam masyarakat adat Baduy, terdapat sebuah kearifan

lokal yang telah dijalankan selama beratus-ratus tahun silam dalam hal aturan

kewajiban adat untuk memiliki leuit Baduy.

Cara memperoleh sumber pangan di Masyarakat Baduy sendiri sangat bergantung

pada hasil panen dan pertanian di tanah mereka sendir mulai dari pemenuhan

10
sumber pangan karbohidrat, protein, dan juga sayur mayur. Hanya sebagian kecil

sumber pangan mereka yang didapat dari hasil membeli diari luar.

Salah satu budaya Msayarakat Baduy dalam menjaga ketahanan pangannya yaitu

dengan membangun leuit. Leuit terutama digunakan untuk menyimpan padi

selama jangka panjang. Padi yang dimasukkan ke dalam leuit ditumpuk sesuai

urutan tertentu dan diambil sesuai urutan tertentu pula untuk memaksimalkan

jangka padi bisa disimpan.

Selain penyimpanan padi, ada pula budaya Nganjang, Nganteuran, Nyambungan

yang secara garis besar merupakan tradisi memberi hasil pangan pada acara-acara

adat tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Khomsan, Winati Wigna. 2009. SOSIO-BUDAYA PANGAN SUKU

BADUY. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Ita Suryani. 2014. MENGGALI KEINDAHAN ALAM DAN KEARIFAN

LOKAL SUKU BADUY. Surabaya. ITS.

https://satubanten.com/belajar-penerapan-ketahanan-pangan-dari-masyarakat-

suku-baduy/

Johan Iskandar , Budiawati Supangkat Iskanda. 2017. KEARIFAN EKOLOGI

ORANG BADUY DALAM KONSERVASI PADI DENGAN “SISTEM LEUIT”:

https://journal.uinsgd.ac.id.

11

Anda mungkin juga menyukai