Anda di halaman 1dari 8

Baduy atau Kanekes adalah salah satu desa di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Di
dalamnya terdapat suku Baduy atau urang Kanekes yang merupakan sekelompok masyarakat
yang memegang teguh kearifan lokal. Populasinya kurang lebih 26.000 jiwa dan terbagi menjadi
dua wilayah, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbatasan antara kedua wilayah tersebut
ditandai dengan sebuah gubuk terbuat dari bambu sebagai tempat menginap suku Baduy Dalam
ketika mereka berladang.

Suku Baduy memang sangat ketat memegang adat istiadat, tetapi bukan wilayah terisolasi
atau terasingkan dari perkembangan dunia luar. Ada beberapa hal yang menjadi pantangan atau
tabu bagi mereka. Salah satunya adalah mengambil foto, terutama di wilayah Baduy Dalam.
Pengunjung hanya boleh menggambarkan suasana di dalamnya hanya dengan sketsa. 

Kini, Desa Baduy kerap dikunjungi wisawatan domestik maupun mancanegara. Ada
beberapa aturan yang harus ditaati ketika berkunjung ke Baduy. Aturan-atauran tersebut berbeda
untuk Baduy Luar, Baduy Dalam, dan perbatasan keduanya. 

Baduy Dalam terdiri dari tiga desa, yaitu Cikeusik, Cikertawarna, dan Cibeo. Desa Cibeo
lebih terbuka terhadap pendatang. Namun, pengunjung tetap tidak boleh mengambil foto serta
dilarang memakai sabun, sampo, odol, dan bahan kimia lainnya saat mandi karena dikhawatirkan
akan merusak alam. Sedangkan Desa Cikeusik sangat indah dan asri, tetapi jarang dikunjungi.
    
Selain kearifan lokalnya, masih banyak keunikan suku Baduy Dalam, di antaranya:

Gotong Royong
Di banyak tempat di Indonesia, sifat gotong royong sudah banyak ditinggalkan. Namun,
sifat ini masih dipertahankan oleh suku Baduy Dalam. Terutama saat harus pindah ke daerah
yang lebih subur karena mereka merupakan suku nomaden dan penganut sistem ladang terbuka.  

Bentuk Rumah Tidak Mencerminkan Status Sosial


Bentuk rumah adat di sini hampir serupa tanpa memandang status sosial. Yang
membedakan hanyalah perabot yang terbuat dari kuningan. Semakin banyak perabot kuningan
yang dimiliki, semakin tinggi pula status keluarga. 

Kebahagiaan yang Sederhana


Wilayah Baduy Dalam gelap gulita saat malam hari sehingga tidak banyak aktivitas yang
dapat dilakukan. Malam hari digunakan untuk sekedar berkumpul dan mengobrol bersama
keluarga atau tetangga sambil bermain kecapi.

Hidup Hemat dan Sehat


Kendaraan bermesin, seperti motor dan mobil, tidak diperbolehkan di Baduy Dalam.
Namun, itu tidak menghalangi mereka pergi berkunjung ke kota besar. Mereka menempuh
perjalanan dengan berjalan kaki tanpa mengeluh.
 
Batang Bambu Pengganti Gelas 
Larangan lainnya adalah tidak memakai gelas dan piring sebagai alas makan dan minum.
Dengan kekayaan alamnya, mereka menggunakan bambu panjang sebagai pengganti gelas, yang
menghasilkan aroma khas ketika dituangi air panas.
 
Harapan Sederhana Para Orang Tua 
Para orang tua memiliki cita-cita yang sederhana untuk kehidupan masa depan anak-
anaknya. Mereka hanya ingin agar kelak anak-anak mereka membantu berladang.

Perjodohan
Perjodohan dilakukan saat seorang gadis mencapai usia empat belas tahun. Dalam
tenggang waktu tersebut, orang tua pemuda masih bebas memilih wanita yang disukainya. Jika
belum ada yang cocok, semua harus mau dijodohkan.

Ayam, Makanan Mewah


Masakan menu ayam merupakan makanan mewah, meskipun banyak ayam kampung
berkeliaran. Olahan ayam hanya tersedia saat acara pernikahan dan kelahiran. 

Pu’un
Pu’un adalah kepala suku yang menentukan masa tanam dan panen, menerapkan hukum
adat, dan mengobati orang sakit. Pu’un sangat dihormati, hanya orang yang berkepentingan
khusus dan mendesak yang dapat bertemu dengannya.
 
Kawalu
Kawalu adalah puasa yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Saat Kawalu
berlangsung, wisatawan hanya boleh berkunjung sampai Baduy Luar saja dan tidak boleh
menginap.

Kearifan lokal terbentuk dari kepatuhan menjaga adat. Keasrian dan kearifan lokal inilah
yang menjadi daya tarik wisatawan. 

1. Tentang pembuatan rumah:


• Rumah haruslah mempunyai kolong, karena jika tidur di bagian atas tanah, itu berarti hidup di
dunia yang ada di bagian bawah.
• Penancapan tiang ke tanah tak langsung kontak langsung dengan bumi, tetapi menggunakan
batu untuk menjadi perantara.
• Asap yang terjadi karena membakar kayu tidaklah mengganggu, tetapi justru menjadi cara
untuk membersihkan rumah dari rayap.
2. Tentang lingkungan:
• Pohon tidak boleh ditebang seenaknya saja, apalagi kalau berada di kawasan hutan lindung. Ini
demi keseimbangan alam, terutama menjaga sumber air di dalamnya.
• Tidak boleh membuka hutan lindung untuk berladang atau untuk berkebun.
• Meski harus menjaga diri agar bersih, penggunaan barang – barang seperti pasta gigi, shampoo,
dan barang kimia lainnya dilarang karena akan mencemari lingkungan.
3. Tentang mata pencaharian:
• Kegiatan ekonomi hanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, serta hanya
untuk kalangan sendiri. Materi yang berlebihan harus dihindari.
• Hasil panenan padi tak diperjualbelikan, tapi kerajinan seperti kain songket, tas tangan, buah –
buahan, dan juga madu hutan boleh dijual untuk menjadi sumber penghasilan. Itu pun hanya
secukupnya saja.
4. Tentang bertani:
• Karena sebagian besar masyarakat Baduy adalah petani, maka banyak aturan yang harus
dipenuhi, termasuk saat ketika harus mengolah tanah, bercocok tanam, dan kemudian panenan.
Semua dilakukan secara alami dan organik, tanpa adanya bahan kimia yang merusak lingkungan.
• Menjaga keselarasan dengan alam sekitar, sampai ketika ada hama, mereka tak membunuhnya,
tapi hanya mengusir.
• Padi harus diberikan gratis, dan ketika ada yang kekurangan, warga harus saling bergotong –
royong untuk mencukupinya.
• Lumbung penyimpanan padi sendiri terbuat dari bangunan dengan struktur yang alamiah.
5. Tentang pemerintahan:
• Setiap tahun, orang-orang Baduy melakukan seba, yaitu menghantarkan berbagai hasil bumi ke
pemerintahan tempat Suku Baduy bermukim (sekarang ini Gubernur Banten) sebagai cara
menjaga silaturahmi dan pernyataan terima kasih.

Menurut Damanhuri (Al Kannur, 2020), perubahan sosial ialah proses sosial yang terjadi
dalam masyarakat meliputi seluruh aspek kehidupan dan pemikiran manusia. Berangkat dari
pemahaman itu kita bisa mulai masuk untuk memahami tuntutan masyarakat Baduy. Mereka
beranggapan perubahan sosial memiliki potensi merubah tatanan kehidupan yang menjadi
ancaman bagi mereka. Paling tidak ada dua ancaman bagi masyarakat Baduy yang lahir akibat
perubahan sosial. Pertama, terjadinya cultural shock dan cultural lag. Meningkatnya interaksi
masyarakat Baduy dengan orang luar dapat memunculkan guncangan dan kesenjangan budaya.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat Baduy yang risih menjadi tontonan dan takut ketika
bertemu dengan orang asing, termasuk wisatawan. Hal ini menjadi sesuatu yang tabu bagi
masyarakat Baduy yang terbiasa tertutup, namun dipaksa bertemu orang asing dalam jumlah
banyak yang memiliki budaya berbeda dengan mereka baik secara pakaian, bahasa, gaya hidup
dan teknologi. Interaksi ini juga berpotensi merubah nilai dan norma adat karena interaksi
dengan budaya baru. Kedua, terjadinya disorganisasi sosial, yaitu melemahnya nilai dan norma
dalam suatu masyarakat akibat terjadinya perubahan. Masyarakat Baduy terkenal memegang
teguh nilai dan norma adat yang mereka jaga secara turun-temurun seperti cara berhubungan
dengan alam. Namun, adanya wisatawan dan meningkatnya intensitas interaksi masyarakat
Baduy dengan orang luar memungkinkan terjadinya ancaman disorganisasi yang menyebabkan
lunturnya nilai dan norma adat yang selama ini dimiliki masyarakat Baduy. Padahal, norma dan
nilai adat inilah yang menjadi daya tarik orang luar untuk mengenal lebih jauh masyarakat
Baduy. Pariwisata yang berlebihan (overtourism) telah memberi dampak yang tidak
menyenangkan bagi komunitas lokal di destinasi. Sebagaimana menurut Horton (dalam Eticon,
2020), bahwa pariwisata dalam beberapa kasus telah menarik masyarakat ke arah konsumerisme,
materialisme, dan komodifikasi.
Penetapan kawasan Baduy sebagai destinasi wisata berdasar pada Peraturan Daerah
Tingkat II Lebak Nomor 13 tahun 1990, sangat beralasan mengingat kawasan Baduy memiliki
atraksi wisata yang lengkap, tidak hanya memberikan daya tarik keindahan alam juga keunikan
(Uniqueness), kelangkaan (Scarcity), dan keaslian (Naturalism) dari kehidupan sosial budaya
masyarakat Suku Baduy yang sampai saat ini tetap melestarikannya. Kepala Dinas Pariwisata
Kabupaten Lebak Imam Rismahayadin menyebutkan angka kunjungan wisatawan ke kawasan
Baduy pada tahun 2019 lalu mencapai 100 ribu orang (Rosyadi, 2020). Melalui konsep
Saba  Budaya diharapkan menjadi acuan kegiatan kunjungan yang merepresentasikan identitas
kultur masyarakat adat Baduy. Saba berarti ‘silaturahmi’ yang berasal dari bahasa yang
digunakan oleh masyarakat adat Baduy. Penggunaan kata budaya juga menegaskan bahwa dasar
dalam melakukan kunjungan ke Baduy adalah kultur dan adat istiadat Suku Baduy (Satria:
2021). Sebagaimana diungkapkan Praptika (dalam Satria: 2021), “Berbeda dengan konsep wisata
yang identik dengan pelayanan oleh pengelola destinasi kepada wisatawan,
nomenklatur Saba Budaya Baduy mengandung nilai kekeluargaan, kesopanan, dan ketertiban.
Hal ini mencerminkan asas kesetaraan dan sikap kekeluargaan masyarakat adat Baduy yang
menyambut masyarakat luar dengan kultur Baduy sebagai landasannya,” Kata saba, baik yang
nyaba (berkunjung) maupun yang disaba (dikunjungi), sama sama subjek dalam Saba Budaya.
Orang yang nyaba harus tunduk dan mengikuti adat istiadat tempat tersebut. Saba lebih
menunjukkan interaksi antara subjek dengan subjek. Warga Baduy adalah subjek, bukan objek
wisata (Rena Yulia: 2020). Konsep Saba Budaya sebetulnya bukan merupakan produk baru
dalam aktivitas pariwisata ke Baduy. Sebelumnya sudah ditetapkan melalui Peraturan Desa
Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar
Kanekes (Baduy). Dalam peraturan desa tersebut sudah diatur mengenai kunjungan masuk ke
wilayah Baduy. Namun, dalam kenyataannya belum efektif dalam menata pengunjung yang
datang ke wilayah Baduy.
Berdasar pada latar belakang masalah penelitian, terdapat nomenklatur yang berbeda
dalam pembangunan atau pengembangan pariwisata di Baduy daripada umumnya, baik pada
asfek motivasi, penyelenggaraan, maupun tujuan wisata yang lebih menekankan pada kebutuhan
masyarakat setempat dan kearifan lokal. Dimana yang harus didepankan pada wisata budaya
Baduy adalah yang dibutuhkan masyarakatnya, yaitu optimalisasi bukan komersialisasi. Adanya
prakarsa masyarakat Suku Baduy untuk mengganti istilah wisata budaya menjadi Saba Budaya
menjadi awal ketertarikan untuk meneliti lebih lanjut terkait nilai dan karakteristik Saba Budaya
Baduy. Perubahan nomenklatur wisata pada konsep Saba Budaya Baduy sangat potensial
menjadi acuan untuk mempertahankan kultur dan melestarikan lingkungan Baduy tanpa
meniadakan pariwisata. Pemberian konsep Saba Budaya Baduy oleh masyarakat adat untuk
menggantikan istilah wisata budaya merupakan upaya menentukan nasib sendiri sebagai hak
Urang Baduy. “Setiap orang berhak untuk menentukan nasibnya sendiri”, begitulah bunyi asas
hukum internasional. Pada hal ini, masyarakat Baduy sedang menentukan nasib mereka (Al
Kannur: 2020), untuk tetap menjaga (pikukuh) kelestarian lingkungan alamnya dan tradisi
leluhur yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dari ancaman-ancaman kerusakan yang
ditimbulkan akibat dampak buruk pariwisata, tanpa meniadakan pariwisata itu sendiri. Dapat
juga dikatakan sebagai modal sosial, sebagaimana menurut Brehm dan Rahn dalam (Winarti.
2011), bahwa modal sosial merupakan hubungan kerjasama antara warga yang memfasilitasi
suatu tindakan kolektif dalam penyelesaian masalah. Modal sosial mendorong orang-orang
dalam suatu masyarakat untuk mau terlibat dalam kegiatan kolektif dengan anggapan bahwa
anggota masyarakatnya yang lain juga akan melakukan hal yang sama (Putnam dalam Suasapha,
2016: hal 61). Hasil penelitian yang mendalam pada konsep Saba Budaya Baduy, diharapkan
dapat menjadi acuan baru konsep pembangunan atau pengembangan pariwisata berkelanjutan di
Indonesia yang berbasis masyarakat.

Daftar Pustaka

Aan Hasanah, (2012), Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Pada
Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten).
Jurnal Analisis, Volume XII, Nomor 1, Juni 2012.
Anom Hery Suasapha, (2016), Implementasi Konsep Pariwisata Berbasis Masyarakat Dalam
Pengelolaan Pantai Kedonganan, Jurnal JUMPA Volume 2 Nomor 2, Januari 2016: 58-76.
Arief Yahya, (2017), Kemenpar Usung Konsep Pentahelix untuk Promosi Pariwisata Lombok,
https://travel.detik.com/advertorial-news-block-travel/d-3462996/. Diunduh 18 Januari 2021.
Arismayanti, Ni Ketut., (2009). Majalah Analisis Pariwisata. Fakultas Pariwisata Universitas
Udayana. Denpasar : UNUD.
ASEAN. 2015. ASEAN Community Based Tourism Standard. Cambodian Ministry of Tourism.
Phnom Penh, Cambodia.
Bambang Sunaryo, (2013), Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan
Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.
Barley, L., (1996). Heritage and Environment Management : The International Perspective.
Wiendu Nuryanti (Ed): Tourism and Cultural Global Civilization in Change. Jogjakarta :
Gajah Mada University.
Betahida.id, (2020), Cegah Kerusakan Alam, Wisata Baduy Diusulkan Jadi Saba Budaya,
https://betahita.id/news/lipsus/5442/cegah-kerusakan-alam-wisata-baduy-diusulkan-jadi-saba-
budaya-.html?v=1595598220. Diunduh 18 Januari 2021.
Cole, Stroma, (2012), A Political Ecology of Water Equity and Tourism. A Case Study From
Bali. Annals of Tourism Research 39(2):1221-41. Diunduh 18 Januari 2021.
Dahana, M. M. (2012). Perlindungan Hukum dan Prinsip-Prinsip Kepariwisataan dan Hak
Keamanan Terhadap Wisatawan. Surabaya: Paramita.
Eticon, (2020), Ekowisata: Jalan Tengah Pariwisata yang Berlebihan,
https://eticon.co.id/tag/pengembangan-ekowisata/. Diunduh 18 Januari 2021.
Fajrul Affi Zaidan Al Kannur, (2020), Adu Nasib Suku Baduy,
https://www.lpmvisi.com/2020/08/adu-nasib-suku-baduy.html. Diunduh 18 Januari 2021.
Firza, (2019), Lokal Wisdom sebagai Dasar Dalam Pembentukan Karakter,
https://www.researchgate.net/publication/330656734. Diunduh 21 Januari 2021.
Geriya, W., (1995), Pola Partisipasi dan Pemberdayaan Sumber Desa Adat dalam Perkembangan
Pariwisata. Denpasar: Upada Sastra.
Ghita Intan, (2020), Kirim Surat ke Jokowi, Suku Baduy Minta Dicoret dari Destinasi Wisata
Indonesia, https://www.voaindonesia.com/a/5495863.html. Diunduh 18 Januari 2021.
Gössling, Stefan and Paul Peeters, (2015), Assessing Tourism‟s Global Environmental Impact
1900–2050. Journal of Sustainable Tourism 23(5):639-59.
Handy Aribowo, Alexander Wirapraja, Yudithia Dian Putra, (2018), Implementasi kolaborasi
model pentahelix dalam rangka mengembangkan potensi pariwisata di Jawa Timur serta
Meningkatkan Perekonomian Domestik, Jurnal Manajemen dan Bisnis, 3(1): 31-38.
https://www.researchgate.net/publication/330729802. Diunduh 18 Januari 2021.
Hannif Andy. (2020), Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat, https://eticon.co.id/.
Diunduh 21 Januari 2021.
Heru Pramono, (1993), Dampak Pembangunan Pariviisata Terhadap Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, Jurnal: Cakrawala Pendidikan Nomor 1, Tahun XII, Februari; 1993: 83-93.
Hidayah, (2021), Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Sejarah, Definisi, Prinsip, Bentuknya.
https://pemasaranpariwisata.com/2021/05/05/. Diunduh 5 Juni 2021.
Hidayah, (2019), DampakPariwisata, https://pemasaranpariwisata.com, Diunduh 5 Juni 2021.
I Nyoman Urbanus, Febianti, (2017), Analisis dampak perkembangan pariwisata terhadap
perilaku konsumtif masyarakat wilayah Bali selatan, Jurnal Kepariwisataan dan Hospitalitas,
1 (2), November 2017: 118-133.
ILO, (2012), Rencana Strategis Pariwisata Berkelanjutan dan Green Jobs Untuk Indonesia.
Jakarta: ILO Country Office Jakarta.
Kementerian Pariwisata RI, (2009), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
Tentang Kepariwisataan.
Kementerian Pariwisata, (2016). Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Komalasari, Kokom. (2010). Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT Refika Aditama.
Laila Dhunurain Rochmatika, (2019), Tips dan Trik Menjadi Wisatawan Bijak Ramah
Lingkungan, https://dlhk.jogjaprov.go.id/. Diunduh 21 Januari 2021.
Muhammad Rosyadi, (2020), Tahun Lalu 100 Ribu Turis Kunjungi Baduy, di Tengah Pandemi
Covid-19 Kini Masih Ditutup. https://travel.okezone.com/read/2020/07/08/406/2243121/.
Diunduh 18 Januari 2021.
Nofriyaa, Ardinis Arbain, Sari Lenggogenic, (2019), Dampak Lingkungan Akibat Kegiatan
Pariwisata di Kota Bukittinggi, Dampak: Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Andalas, 16
(2): 96-94.
Oka A. Yoeti, (2008), Ekonomi pariwisata: introduksi, informasi, dan implementasi, Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
Oka A. Yoeti (1999), Dampak Pengembangan Pariwisata sebagai Suaru Industri Terhadap Sosial
dan Budaya, Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah No 7, P3M Akpar Tri Sakti, Jakarta.
Perda Lebak No. 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat
Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak.
Perda No. 32 tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Baduy.
Peraturan Desa Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan
Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy)
Pitana, I. G. (2002). Pariwisata, Wahana Pelestarian Kebudyaan dan Dinamika Masyarakat Bali.
Denpasar: Universitas Udayana.
Pongponrat, K., & Chantradoan, N. J., (2012), Mechanism of social capital in community
tourism participatory planning in Samui Island, Thailand. Tourismos: an International
Multidisciplinary Journal of Tourism, 7(1): 339- 349.
Putnam, RD. (1993). The Prosperous Community: Social Capital and Public Life dalam The
American Prospect, 13: 35-42.
Rena Yulia, (2020), Baduy: Destinasi Wisata atau Saba Budaya?,
https://www.koranbernas.id/baduy-destinasi-wisata-atau-saba-budaya. Diunduh 18 Januari
2021.
Russo, Antonio Paolo, (2002), The Vicious Circle of Tourism Development in Heritage Cities.
Annals of Tourism Research 29(1):165–82.
Sahu, Sonam, Sindhu J. Nair, and Pankaj Kumar Sharma, (2014), Review on Solid Waste
Management Practice in India : A State of Art.International Journal of Innovative Research
& Development 3(3):261-64.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Group.
Satria, (2021), Mahasiswa UGM Ungkap Fakta Pergantian Istilah Wisata Budaya menjadi Saba
Budaya Baduy, https://www.ugm.ac.id/id/berita/21563-mahasiswa-ugm-ungkap-fakta-
pergantian-istilah-wisata-budaya-menjadi-saba-budaya-baduy. Diunduh 24 Agustus 2021.
Sharma, R., (2016), Evaluating Total Carrying Capacity of Tourism Using Impact Indicators.
Global Journal of Environmental Science and Management-Gjesm 2(2):187-96.
Shaw, G and Williams, A.M., (1994). Critical Issues in Tourism : A Geographical Perspective.
Oxford : Blackwell Publishers.
Spillane, J.J. (1987), Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Sukarno Wibowo, dkk., (2017), Pengembangan Ekonomi Melalui Sektor Pariwisata, Jurnal
Kepariwisataan: Destinasi, Hospitalitas dan Perjalanan Volume 1 Nomor 2, 2017: 93-99.
https://journal.stp-bandung.ac.id/index.php/jk. Diunduh 18 Januari 2021.
Thelisa, Made Budiarsa, Widiastuti., (2018), Pengaruh Pariwisata terhadap Kondisi Sosial
Budaya Masyarakat Karimunjawa, Jawa Tengah, Jurnal: JUMPA, 4 (2), Januari 2018: 228-
239.
Tosun, Cevat and Timothy, Dallen J. 2003. Arguments for Community Participation in the
Tourism Development Process. The Journal Of Tourism Studies 14: 1-15
Uday Suhada, (2020), Hasil Musyawarah Lembaga Adat Baduy :Dari Saba Budaya, Kolom
Agama di KTP, Lahan Buffer Zone, hingga Pusat Informasi,
https://wongbanten.id/2020/07/19/hasil-musyawarah-lembaga-adat-baduy-dari-saba-budaya-
kolom-agama-di-ktp-lahan-buffer-zone-hingga-pusat-informasi/. Diunduh 18 Januari 2021.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, Tentang Perlindungan Kepariwisataan.
UNWTO, (2018), https://www.unwto.org/glossary-tourism-terms. Diunduh 18 Januari 2020.
Virgie Baker, (2017), Pariwisata dan Ekonomi Rakyat. RISTEK: Jurnal Riset, Inovasi, dan
Teknologi, 4 (2): 21, https://mediaindonesia.com/read/detail/119411. Diunduh 5 Januari 2021.
Walton, John K., (2020), "Tourism". Encyclopedia Britannica, 10 Nov. 2020,
https://www.britannica.com/topic/tourism. Diunduh 21 Januari 2021.
WEF, (2017), The Travel & Tourism Competitiveness Report 2017. Geneva.
Winarni, I. (2011). Keterkaitan Antara Modal Sosial dengan Produktivitas pada Sentra Bawang
Merah di Kecamatan Pangelangan Kabupaten Bandung. Tesis. Jakarta: Program Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik Uni-versitas Indonesia Salemba.
Winda Rahmah, (2017), Dampak Sosial Ekonomi Dan Budaya Objek Wisata Sungai Hijau
Terhadap Masyarakat Di Desa Salo Kecamatan Salo Kabupaten Kampar, Jurnal: JOM FISIP,
4 (1), Februari 2017: 1-16.

Anda mungkin juga menyukai