Anda di halaman 1dari 36

Tugas Psikologi Positif

Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence)

OLEH:

Allison Carol 7103020016

Thierry Massaro 7103020027

Dita Lavienda 7103020077

Margaretha Eka G. M 7103020078

Elizabeth Rani 7103020081

Ferdy Alvares G 7103020088

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA

SURABAYA

2020
Kata Pengantar

Puji syukur atas berkat Allah yang telah memberikan berkatnya agar kami
dari kelompok 2 dapat menyelesaikan tugas makalah pembahasan tentang
Emotional Intelligence tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dr. Nurlaila Effendy, M,Si dan Ibu
Agnes Maria Sumargi, Ph.D pada mata kuliah Psikologi Positif. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk memperluas wawasan tentang Emotional
Intelligence bagi para pembaca dan penulis.

Kami mengucapkan terima kasih pada Dr. Nurlaila Effendy, M,Si dan Ibu
Agnes Maria Sumargi, Ph.D yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jumat, 6 November 2020

Kelompok 2

ii
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................1

1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................2

BAB II. ISI.........................................................................................................3

2.1 Pengertian Emotional Intelligence................................................................3

2.2 Teori Model Emotional Intelligence.............................................................5

2.3 Komponen Emotional Intelligence..............................................................10

2.4 Hubungan antara EI dan IQ.........................................................................12

2.5 Pengaruh Emotional Intelligence................................................................13

2.6 Cara meningkatkan Emotional Intelligence................................................17

BAB III. PENUTUP........................................................................................22

3.1 Saran............................................................................................................22

3.2 Kesimpulan..................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................iv

RFLEKSI..........................................................................................................vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap orang pasti pernah mengalami situasi penuh stres, baik itu pekan ujian,
jadwal yang padat, atau revisi. Bagaimana cara kita menangani situasi stres ini
dinamakan dengan kecerdasan emosi. Apakah kita akan menghadapinya dengan
penuh semangat atau dengan marah-marah menggambarkan tingkat kecerdasan
emosi kita. Kecerdasan emosi merupakan hal yang penting dalam kelangsungan
hidup seseorang sebab emosi memberi pengaruh terbesar terhadap pengoperasian
otak. Masing-masing emosi mempersiapkan kita untuk menghadapi situasi dan
mengarahkan pada cara yang sudah terbukti berjalan lancar untuk menangani
tantangan hidup.

Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan teori psikologi yang


dikembangkan oleh Peter Salovey dan John Mayer. Istilah ini dipopulerkan oleh
Daniel Goleman saat ia merilis bukunya Emotional Intelligence: Why it can
matter more than IQ. Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat
mengatur perasaannya serta membangun empati yang baik terhadap orang
sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

a.) Apa yang dimaksud dengan emotional intelligence?


b.) Apa saja teori-teori yang menjelaskan tentang emotional intelligence?
c.) Apa saja komponen-komponen dari emotional intelligence?
d.) Apa hubungan antara emotional intelligence dengan intelligence quotient?
e.) Apa pengaruh dari emotional intelligence?
f.) Bagaimana cara meningkatkan emotional intelligence?

1
1.3 Tujuan Penelitian

a.) Untuk menambah wawasan tentang emotional intelligence.


b.) Untuk mengetahui teori-teori emotional intelligence.
c.) Untuk mengetahui komponen emotional intelligence.
d.) Untuk mengetahui hubungan antara EI dengan IQ seseorang.
e.) Untuk mengetahui pengaruh emotional intelligence.
f.) Untuk mengetahui cara meningkatkan emotional intelligence.
BAB II
Pembahasan

2.1 Pengertian Emotional Intelligence

Menurut James-Lange dalam theory of emotion, emosi adalah penghayatan


terhadap perubahan fisiologis yang muncul dalam merespon terhadap peristiwa
hidup. Menurut lazarus’s theory, emosi dipicu oleh informasi yang dipersepsi
atau dimaknai oleh individu dan memunculkan tindakan. Agar mendapat
pemahaman yang lebih dalam tentang emosi pada pikiran manusia, kita harus
mengerti bagaimana otak kita berevolusi.

Dari asal yang paling primitif, batang otak merupakan pusat utama emosi.
Jutaan tahun kemudian, “the thinking brain” atau neokorteks ini berevolusi.
Neokorteks merupakan hasil evolusi dari otak pusat emosi sehingga
menyatakan relasi yang kuat antara pikiran dan perasaan. Otak yang mengatur
emosi (the feeling brain) sudah ada jauh sebelum otak rasional (the thinking
brain). Otak yang mengatur emosi ini dinamakan dengan sistem limbik.
Neokorteks mempunyai peran survival yang dapat dibuktikan dengan
kemampuannya untuk menyusun strategi, long-term planning, dan lain-lain.
Namun, pendekatan biologis ini tidak menguasai seluruh kehidupan emosional
seseorang. Seiring berjalannya waktu, akar new brain tumbuh dan menjadikan
area pengatur emosi berhubungan dengan bagian-bagian neokorteks. Hal ini
menyebabkan emosi menjadi sesuatu yang paling berpengaruh pada
pengoperasian otak termasuk pusat pikiran.

Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan teori psikologi yang


dikembangkan oleh Peter Salovey dan John Mayer. Istilah ini dipopulerkan
oleh Daniel Goleman pada bukunya yang berjudul Emotional Intelligence:
Why it can matter more than IQ tahun 1996.

3
Menurut Salovey dan Mayor (1997), kecerdasan emosi adalah kemampuan
untuk memahami perasaan diri sendiri dan orang lain serta menggunakan
perasaan itu untuk mengarahkan pemikiran dan perilaku. Apabila seseorang
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, ia dapat membedakan perasaan dan
menggunakan informasi tersebut untuk mengatur pikiran, serta tindakan agar
dapat beradaptasi pada suatu lingkungan atau meraih tujuan hidup. Seberapa
baik kita menangani diri sendiri, bagaimana kita menangani suatu
permasalahan, darimana emosi tertentu datang, paham dengan apa yang kita
rasakan merupakan keterampilan kecerdasan emosi. Kemampuan ini akan
sangat bermanfaat dalam membuat keputusan dalam hidup karena seorang
tidak akan larut dalam emosi yang mereka rasakan dan tetap fokus serta
bersikap rasional terhadap masalah yang mereka hadapi. Orang dengan
kecerdasan emosi tinggi biasanya memiliki intuisi dan moral yang baik.
Kecerdasan emosi bukan berarti mengabaikan apa yang kita rasakan, mereka
tetap merasakan emosi-emosi tersebut, hanya saja mereka dapat mengolahnya
dengan lancar.

Emotional Intelligence mengenali peran dalam interpretasi. Individu dengan


EQ tinggi dapat mengidentifikasi emosi yang tidak terlihat atau tersembunyi.
Contohnya Andi mengikuti demonstrasi politik yang memiliki ketakutan
terhadap perekonomian negara, Budi selalu terlihat ceria karena ia selalu
berusaha menutupi kesedihannya dan Dinda yang terkenal sebagai orang yang
pemarah di kelas B adalah seseorang yang membutuhkan bantuan dalam
penjelasan materi yang tidak ia pahami. Kecerdasan emosi bukan bawaan dari
lahir. Seseorang akan mempelajari cara menginterpretasikan suatu emosi dari
sumber kejadian seiring berjalannya hidup. Kehidupan masa kecil dan
lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang.
Permasalahan dalam hidup akan membantu kita untuk melatih kecerdasan
emosi dengan menguji bagaimana kita menangani dan mengolahnya.
2.2 Teori Model Emotional Intelligence
Terdapat tiga model kecerdasan emosi:
2.2.1 Goleman’s EI Performance Model (2001

Daniel Goleman menyediakan kerangka kecerdasan emosi untuk


mengembangkan potensi individu agar mampu menguasai empat domain
terpenting yaitu self- awareness, self-management, social awareness, dan
relationship management dengan tujuan sukses dalam bidang pekerjaan.

Goleman memperkenalkan emotional competence yakni, suatu kemampuan


didasari oleh EI yang dapat dipelajari untuk mencapai performa kerja bagus.
Emotional competence terdiri dari empat dimensi.

Gambar 1.1 Kerangka Dimensi Emotional Competence


Dimensi pertama dari kerangka diatas adalah self-awareness atau kesadaran
diri secara emosional dimana seseorang memahami apa yang ia rasakan.
Dimensi kedua yaitu self-management merupakan kemampuan untuk
meregulasi atau mengatur efek-efek distres seperti kecemasan atau amarah.
Social awareness atau kesadaran sosial adalah dimensi yang meliputi empati
dan berhubungan dengan amygdala (bagian otak). Relationship management
adalah dimensi yang paling kompleks. Pada dasarnya, keberhasilan seseorang
dalam menjalin hubungan dengan orang lain sangat tergantung pada
kemampuan kita untuk
memberi pengaruh emosi pada orang tersebut. Apabila kita tidak bisa
mengontrol emosi impuls, apalagi kekurangan empati, keberhasilan menjalin
hubungan baik dengan orang lain akan berkurang.

Dalam dunia pekerjaan, McClelland, seorang psikolog dari Amerika telah


membuktikan bahwa orang-orang yang berhasil menjadi pebisnis terbaik adalah
individu yang memiliki EI tinggi.

Pemimpin dengan kecerdasan emosi tinggi sangat dibutuhkan oleh organisasi


karena mereka mampu memberikan semangat dan dorongan untuk kesuksesan
karyawannya. Relasi antar karyawan juga akan terjalin dengan baik. Studi yang
membandingkan CEO pada perusahaan asuransi di Amerika menunjukkan
bahwa CEO dengan EI lebih tinggi mendapatkan profit dan perkembangan
bisnis lebih besar (Williams, 1944).

Studi diatas menunjukkan korelasi antara sosok pemimpin dan kecerdasan


emosi yang tinggi.

.Gambar 1.2 Kerangka Leadership Style berdasarkan EI

Terdapat enam karakteristik pemimpin yang baik. Pemimpin yang visioner


(visionary leader) cenderung memperlihatkan empati yang kuat, percaya diri,
mampu menjadi agen perubahan dan dapat memperbaiki konflik yang terjadi
antarkaryawan. Pemimpin demokratis (democratic leader) selalu mendukung
kebebasan berkomunikasi dan mendorong kerjasama yang baik. Pemimpin
pelatih (coaching leader) sadar secara emosional, memiliki empati tinggi, dan
mampu mengidentifikasi potensi dari karyawannya. Pemimpin yang memaksa
(coercive leader) untuk mengandalkan kekuatan dari posisi yang dimilikinya,
kekurangan empati dan menyuruh tanpa tujuan yang relevan.

Pemimpin yang cepat (pacesetting leader) biasanya memiliki standar yang


tinggi, memiliki dorongan yang tinggi untuk sukses, namun mengkritik pekerja
yang tidak sesuai dengan standarnya tanpa membantu mereka untuk
berkembang.

2.2.2 Bar-On’s EI competencies model (2006)

Teori Darwin yang menekankan pentingnya ekspresi emosi untuk bertahan


hidup dan beradaptasi menjadi inspirasi perkembangan model Bar-On. Model
ini menyediakan dasar teori untuk EQ-i (emotional quotient inventory).
Berdasarkan model Bar-On, kecerdasan sosial-emosi adalah gabungan dari
social competencies (kemampuan sosial), skills (keterampilan), dan facilitators
(pemberi fasilitas) yang saling berhubungan dan dapat memprediksi seberapa
paham dan bagaimana kita mengekspresikan diri, memahami orang lain, serta
menghadapi tantangan sehari-hari. Secara interpersonal, individu dengan
kecerdasan emosi dan sosial mampu mendeteksi perasaan dan emosi orang lain.
Mereka juga mampu menjalin hubungan yang saling menguntungkan.
Gambar 1.3 Kerangka EI Bar-On
Menurut Bar-On, kecerdasan emosi dan kognitif keduanya sama-sama
berkontribusi pada kecerdasan total seseorang. Kedua ini dapat menjadi
indikator untuk kesuksesan individu pada masa depan. Bar-On mengatakan
seseorang dengan kecerdasan emosi dan sosial dapat memahami dan
mengekspresikan diri secara efektif, mampu memahami orang sekitarnya, dan
menghadapi tantangan sehari-hari dengan efisien.

Karakteristik ini didasari oleh kemampuan intrapersonal seseorang yang


meliputi kesadaran diri, memahami strengths dan weaknesses orang lain,
berekspresi dan memahami perasaan orang lain dengan non-destruktif.
2.2.3 Mayer, Salovey, and Caruso’s EI ability model (2006)

Teori ini melihat EI sebagai konsep tradisional terdiri dari keterampilan yang
menyatukan emosi dan kognitif (Mayor, Salovey, & Caruso, 2008). Salovey
dan Mayer adalah tokoh pertama yang memperkenalan kecerdasan emosi
sebagai kemampuan untuk mengontrol emosi diri sendiri dan orang lain,
membedakan emosi-emosi tersebut, serta menggunakan informasi ini sebagai
panduan berpikir dan berperilaku. Dengan bantuan Caruso, mereka bertiga
mengasah model kecerdasan emosi tersebut dan mengajukan four-branch
measure of emotional intelligence (empat cabang pengukuran kecerdasan
emosi) yang dinamakan MSCEIT atau Mayor-Salovey-Caruso’s Emotional
Intelligence Test.

Gambar 1.4 Tabel MSCEIT


Cabang pengkuran EI tersebut meliputi:

1. Perceiving emotions mencakup memperhatikan dan menguraikan


emosi individu. Cabang ini terdiri dari item yang membutuhkan
responden untuk mengidentifikasi seberapa banyak emosi tertentu
(kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, kemarahan, kejutan, jijik,
kegembiraan) diekspresikan pada wajah seseorang.
2. Facilitating thought using emotions menguji kemampuan individu
untuk menggunakan emosi mereka agar mempengaruhi proses
kognitif. Cabang ini memerlukan kemampuan menunjukkan emosi
dan perasaan yang tepat untuk membantu aktivitas kognitif tertentu
seperti reasoning, problem- solving, dan decision-making. Dengan
menggunakan emosi yang tepat, kognitif dapat mengakses informasi
yang penting (Easterbrook. 1959; Mandler. 1975; Simon. 1982).
3. Understanding emotions mengukur kemampuan membedakan dan
bagaimana emosi berproses dengan beralih dari emosi satu ke emosi
lainnya. Cabang ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang menguji
transisi dan perubahan emosi, serta kombinasi dan perpaduan emosi.
4. Managing emotions adalah kemampuan untuk mengatur emosi diri
dan orang lain. Prinsip dari cabang ini adalah mengukur kemampuan
individu untuk memahami dan menggunakan emosinya secara efektif.
Cabang ini menguji individu dalam mempertahankan emosi
positifnya, memperbaiki emosi, dan menghasilkan emosi yang tepat
dalam situasi tertentu.

2.3 Komponen Emotional Intelligence

Daniel Goleman menyatakan emotional intelligence dua kali lebih penting


daripada kemampuan kognitif untuk memprediksi kesuksesan berkarier.
Beliau menyatakan bahwa komponen kecerdasan emosi berbasis kinerja
adalah metode yang tepat untuk menilai level karyawan. Berikut adalah lima
komponen kecerdasan emosi:

1. Self-awareness (kesadaran diri)


Individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan merasa
nyaman dengan pikiran dan emosi mereka sendiri. Selain itu, mereka
juga memahami seberapa besar emosi dan pikiran tersebut akan
mempengaruhi orang lain. Langkah pertama untuk menguasai emosi
kita adalah untuk memahami dan menerima apa yang kita rasakan.
2. Self-regulation (pengaturan diri)
Dengan kemampuan mengatur diri, seseorang dapat mengontrol
emosi dan pikirannya untuk tidak berperilaku kasar yang justru akan
memperburuk situasi dengan merusak hubungan antar kelompok
atau individu. Menggunakan pikiran kita sebelum bertindak adalah
salah satu contoh dari self-regulation.
3. Internal motivation (motivasi internal)
Goleman mengatakan untuk melakukan sesuatu, kita memerlukan
passion atau gairah hidup. Seseorang harus menemukan kesenangan
dalam hal yang mereka lakukan sehari-hari. Passion akan berdampak
baik pada kecerdasan emosi, mengarahkan diri untuk
mempertahankan emosi, membuat keputusan yang jelas, dan
pengertian yang lebih tentang target suatu organisasi. Seseorang
yang memiliki passion akan melakukan pekerjaan mereka bukan
untuk uang atau status sosial. Individu ini cenderung ingin meraih
goal dengan semangat dan tekun. Bersikap optimis meski mengalami
kegagalan.
4. Empathy (empati)
Empati merupakan kemampuan untuk memahami kandungan emosi
seseorang yang dilihat dari cara mereka bereaksi secara emosional
terhadap sesuatu. Memahami emosi yang datang dari seorang klien
atau rekan kerja dan merespon dengan tepat akan memperbaik
hubungan.
5. Social skills (kemampuan bersosialisasi)
Goleman menjelaskan bahwa kemampuan bersosialisasi dianggap
sebagai “friendliness with a purpose” atau bersikap ramah dengan
tujuan tertentu. Artinya semua orang bersikap sopan dan hormat,
namun hubungan baik yang telah terjalin ini akan digunakan untuk
kepentingan pribadi dan organisasi.
2.4 Hubungan antara EI dengan IQ
Percobaan dari Walter Mischel (1960) dapat menginterpretasikan kecerdasan
emosi seorang anak dengan baik. Mischel menguji beberapa anak berumur
empat dan lima tahun. Anak-anak tersebut diberi marshmallow didepannya dan
diberitahu bahwa mereka boleh makan sekarang tetapi, apabila mereka
menunggu selama 20 menit hingga Mischel kembali, mereka akan diberikan 1
marshmallow lagi

Apakah mereka langsung memakan marshmallow tersebut atau menunggu agar


mendapat jumlah yang lebih banyak? Percobaan sederhana ini tidak hanya
dapat memprediksi self-control anak-anak tersebut di masa depan namun juga
kemampuan akademis mereka secara luas.

Secara umum, pengukuran kemampuan intelektual seseorang biasanya dilihat


melalui IQ (Intelligence Quotient). Namun IQ yang tinggi tidak cukup untuk
mencapai kesuksesan dalam hidup karena Emotional Intelligence adalah yang
mengontrol stres dan emosi kita saat menghadapi rintangan hidup. Kecerdasan
emosi mencakup self-control, semangat hidup, dan kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri. Dengan memiliki kecerdasan emosi, kita dapat
memperbaiki habit diri yang self-defeating dan mencegahnya untuk tidak
terjadi lagi. Emosi adalah hal yang penting karena membimbing kita dalam
menghadapi situasi yang terlalu sulit untuk diatasi sendiri oleh kemampuan
intelektual. Seberapa tinggi IQ yang dimiliki, apabila emosi kita sudah
menguasai, kemampuan intelektual tersebut menjadi tidak berarti.

Studi seorang psikolog dari Universitas California, Jack Block membandingkan


dua teori, yakni individu dengan IQ tinggi dan individu dengan EQ tinggi.
Hasil studinya menyatakan bahwa pria dengan IQ yang tinggi merupakan
seorang yang ambisius, produktif, dan tidak peduli dengan kebutuhan dirinya
sendiri. Mereka secara emosional dinyatakan dingin namun lemah lembut. Pria
dengan kecerdasan emosi yang tinggi merupakan individu yang mampu
bersosialisasi, ceria, tidak mudah ketakutan atau kecemasan. Mereka mudah
bersimpati dan peduli dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan wanita dengan
kecerdasan
emosi tinggi dinyatakan tegas, frontal, dan mampu beradaptasi dengan lancar
meskipun dalam situasi yang stressful. Wanita dengan IQ yang tinggi jarang
mengalami kecemasan atau mengalami rumination (keadaan dimana seseorang
larut dalam pikiran yang menyedihkan). Dari studi diatas dapat disimpulkan
bahwa EQ dan IQ merupakan dua hal yang terpisah namun tidak bertolak
belakang. Secara rata-rata, wanita memiliki empati yang lebih tinggi dan pria
memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi.

Daniel Goleman mengatakan bahwa institusi pendidikan seharusnya berusaha


meningkatkan kecerdasan emosi sejak dini. Beliau menjelaskan bahwa telah
dilakukan program peningkatan kecerdasan emosi pada anak-anak. Penelitian
ini membandingkan antara kelompok anak yang telah mengikuti program
peningkatan kecerdasan emosi dan yang tidak. Hasilnya semua perlakuan
antisosial anak seperti mengganggu dalam jam pembelajaran turun hingga 10
persen, perlakuan prososial seperti well-behaved dan menyukai sekolah
meningkat hingga 10 persen dan nilai akademik meningkat hingga 11 persen.
Goleman mengatakan prefrontal lobe pada otak kita yang mengatur kognisi dan
emosi akan terlatih dalam program ini. Kelompok anak yang telah mengikuti
program mendapat kesempatan untuk mempelajari dasar cara belajar dan
meningkatkan daya atensi.

2.5 Pengaruh Emotional Intelligence


Kecerdasan emosi adalah salah satu kunci keberhasilan hidup, orang yang
cerdas secara emosi sadar akan keadaan diri dan orang lain, memiliki motivasi
dan optimisme. Goleman (1995, hal. 34) menyatakan bahwa dari sekian faktor
yang menentukan kesuksesan seseorang, kognitif hanya menyumbang kira-kira
20 persen, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk
yang disebutnya sebagai kecerdasan emosi. Senada dengan Goleman, Tice,
Bratelavisky dan Baumemister (2001, hal. 351- 356) juga menekankan bahwa
kemampuan untuk mengontrol dan mengatur impuls, emosi, hasrat,
performance dan perilaku lainnya adalah merupakan keutamaan diri dan
merupakan salah satu aspek yang penting untuk mencapai kesuksesan dan
kebahagiaan hidup.
2.5.1 Dalam Kehidupan Sehari-hari
Kegagalan dalam mengontrol diri, termasuk emosi akan berdampak pada
masalah pribadi maupun sosial dalam spektrum yang luas, mulai dari adanya
indikasi kekerasan, kenakalan, kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga,
kegagalan sekolah, hutang dan kepailitan sampai kepada terjangkitnya penyakit
seksual. Penelitian telah membuktikan bahwa individu yang memiliki
hubungan yang baik dengan orang lain umumnya memiliki tingkat empati yang
tinggi, memiliki sifat sadar diri atau self-awareness dan pandai berkomunikasi.
Individu dengan EQ tinggi lebih bahagia, sehat, dan sukses dalam hubungan
yang mereka jalin oleh karena mereka mampu menyeimbangkan antara
perasaaan mereka sendiri dan perasaan dengan orang lain, serta memiliki
kepercayaan diri yang optimal.

Tanpa kecerdasan emosi, seseorang akan merasa kesulitan untuk membangun


hubungan yang berarti dan tidak mampu mengatur emosi diri sendiri dengan
cara yang benar. Bukti riset menyatakan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi
memiliki korelasi yang kuat dengan keterampilan kerja dan pernikahan yang
langgeng. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai
pentingnya kecerdasan emosional dalam kehidupan sehari-hari terutama
berkaitan tentang hubungan interpersonal individu yang satu dengan lainnya

2.5.2 Dalam Organisasi


Menurut Dr. Steven Stein (2007), organisasi yang mengimplementasikan
emotional intelligence mampu menghadapi perubahan dan pencapaian goal.
Beliau menjelaskan bahwa terdapat dua aspek EI dalam organisasi. Terdapat
tactical (taktis) dan strategic (strategis). Aspek taktis meliputi interaksi sosial
sehari-hari seperti kebutuhan karyawan, kecocokan skill karyawan dengan
pekerjaannya, motivasi dan kerjasama. Aspek strategis meliputi interaksi yang
berada pada tingkat lebih tinggi seperti misi, strategi, kepemimpinan, dan
budaya organisasi secara luas.

Emotional Intelligence sangat mempengaruhi kelangsungan suatu organisasi.


Dengan memperhatikan tingkat EI masing-masing anggota organisasi, posisi
individu dapat ditentukan sesuai dengan kemampuan. Misalnya, seseorang
berempati tinggi cocok bekerja pada bidang sales atau perkembangan bisnis.
Menempatkan posisi yang cocok bagi individu adalah kunci untuk membangun
organisasi yang sukses. Organisasi yang telah menggantikan metode seleksinya
sesuai dengan EI terbukti telah mengalami peningkatan kepuasan pelanggan,
produktivitas lebih tinggi, engagement lebih baik dan kepemimpinan yang lebih
efektif
2.5.3 Dalam bidang pendidikan
Akhir-akhir ini topik tentang kecerdasan emosi telah meningkat cukup tinggi
disebabkan oleh permasalahan yang anak muda sering hadapi seperti, deperesi
dan bullying di sekolah. Program yang diadakan ini mengajarkan mereka untuk
membaca atau mendengarkan cerita orang lain yang kurang lebih menghadapi
hal yang sama dengan mereka. Alhasil mereka dapat membangun koneksi
dengan karakter dalam cerita tersebut dan mulai menerima diri mereka
sekaligus mempelajari cara untung menghadapi tantangan yang sama di masa
depan (Rovenger, 2000). Dari pendapat Goleman, kecerdasan emosional
mempunyai pengaruh langsung terhadap penguasaan konsep matematika siswa.
Siswa yang cerdas secara emosi memiliki motivasi diri yang baik dan bisa
mengendalikan emosinya sehingga mampu memusatkan perhatian terhadap
pelajaran matematika. Atensi yang tinggi sangat dibutuhkan siswa untuk
memahami materi matematika yang kompleks dan umumnya berkenaan dengan
ide-ide abstrak yang tersusun secara sistematis serta membutuhkan kegiatan
mental yang tinggi. Sekolah juga mengadakan program pendidikan karakter
yang memberikan keteladanan dengan harapan akan menumbuhkan nilai-nilai
positif dan meningkatkan kecerdasan emosi sejak dini.

2.5.4 Dalam Bidang Pekerjaan


Dalam bidang pekerjaan, EQ dinyatakan lebih berpengaruh untuk memprediksi
kesuksesan dalam tempat kerja (McCauley, 2004). Riset membuktikan bahwa
EQ tinggi dibutuhkan sebagai pemimpin suatu perusahaan untuk membuat
keputusan yang tepat dan pemecahan masalah. Pemimpin dengan EQ tinggi
dapat membawa keuntungan bagi perusahaan secara menyeluruh seperti
meningkatnya produktivitas, leadership skills, serta kreatifitas dan tingkat
responsif karyawan. Implementasi konsep EI dapat menciptakan lingkungan
kerja yang berantusias, menurunkan tingkat stres, meningkatkan well-being
pekerja serta memperbaiki hubungan antar karyawan. EQ membantu karyawan
untuk mengatasi masalah internal maupun eksternal. Hal ini akan
memudahkan mereka dalam mencapai goals secara fisik, mental, emosi, dan
spiritual. Kemampuan psikologis seperti memori, berpikir secara logis dan
kemampuan problem solving juga akan meningkat.
2.6 Cara Meningkatkan Emotional Intelligence
2.6.1 Pendapat dari Daniel Goleman
Psikologi positif menyediakan berbagai teknik yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosi. Goleman menyarankan kita untuk mengembangkan lima
kemampuan dibawah ini:

1. Sadar akan emosi yang kita miliki. Seorang dapat memahami dirinya
apabila menyadari emosi yang ia rasakan. Setelah menyadari emosi yang
dirasakan, kita dapat berusaha untuk mengaturnya.
2. Mengolah emosi yang kompleks. Tentunya seseorang tidak akan bebas
total dari ketakutan, kecemasan, dan amarah. Tetapi, kita dapat
mengolahnya secara efektif sehingga tidak berpengaruh dalam meraih
hal-hal penting dalam hidup.
3. Menggunakan emosi untuk memotivasi diri. Kita akan merasa semangat
untuk melakukan hal-hal penting dalam hidup dan andaikata motivasi
kita berkurang, tetap ada self-control yang menjaga diri untuk tetap
konsisten dalam menghadapi permasalahan.
4. Mengenali emosi pada orang sekitar agar dapat memahami dan
membangun empati pada orang lain.
5. Menangani emosi, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, dan
memotivasi orang sekitar.

Hal yang paling penting untuk meningkatkan kecerdasan emosi adalah


berusaha sebisa mungkin untuk mengenali diri sendiri. Orang dengan
kecerdasan emosi yang tinggi memiliki self-awareness. Meminta feedback dari
teman-teman merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menemukan beberapa area emosi yang mungkin tidak disadari. Selain itu,
berupaya membangun empati juga dapat membantu. Melihat suatu masalah dari
sudut pandang orang lain dapat memudahkan kita untuk memahami prioritas
atau kepercayaan yang orang lain miliki.

17
2.6.2 Pendapat dari Mayer, Salovey dan Caruso

The MSCEIT V2.0 adalah teknik pengembangan EI yang telah diperbarui oleh
Mayor, Salovey, dan Caruso. Teknik ini mencakup 141 item yang digunakan
untuk mengukur empat cabang skill tertentu dari EI. Perbedaan mendasar dari
MSCEIT dengan MSCEIT V2.0 adalah masing-masing dari dimensi mencakup
dua bagian yang saling mempengaruhi.

1. Perceiving emotions. Dimensi ini terdiri dari komponen wajah dan


gambar. Dalam komponen wajah, responden akan diminta untuk
membedakan emosi yang ditunjukkan oleh wajah seseorang. Untuk
komponen wajah, responden akan ditunjukkan gambar abstrak dan
mencocokannya dengan wajah emosi kartun.
2. Facilitate thought. Dimensi ini terdiri dari komponen sensasi dan
fasilititas emosi diri. Pengukuran sensasi dilakukan dengan responden
yang akan diminta untuk memunculkan emosi dan mencocokan dengan
sensasi tertentu. Sedangkan dalam fasilitas, responden akan diminta
untuk menilai mood yang paling tepat untuk menghadapi situasi. Diukur
dengan melihat apakah suasana hati dapat membantu terwujudnya suatu
perilaku.
3. Understanding emotions. Diukur dengan blends dan changes.
Responden akan memilih emosi mana yang apabila digabungkan akan
menghasilkan emosi lain. Blends yang berarti responden disuruh
mengidentifikasi emosi mana yang dapat menghasilkan emosi lain.
Changes adalah responden diminta untuk memilih emosi yang
merupakan hasil dari penguatan atau intensifikasi dari perasaan lain.
Contohnya depresi adalah hasil dari kesedihan berat dan kelelahan.
4. Managing emotions. Diukur dengan emotion management dan
emotional relationships task. Responden menilai perlakuan yang paling
efektif dalam memperoleh emosi tertentu. Contohnya, apa yang
individu akan lakukan untuk meredakan amarahnya.
Gambar 1.5 Bagan MSCEIT V2.0

2.6.3 Pendapat dari Six Seconds

The six seconds model theory merupakan teori yang dapat merubah
emotional intelligence menjadi lebih praktis. Teori ini dibuat tahun 1997
sebagai suatu action plan yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari. Six seconds model terdiri dari tiga konsep yang penting yakni

1. Know yourself , mengenali diri sendiri dan secara jelas memahami


apa yang kita rasakan dan lakukan. Emosi dalam diri kita
merupakan kumpulan data

dan konsep ini dapat memudahkan individu untuk mengumpulkan


informasi-informasi tersebut secara akurat.
2. Choose yourself, melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan
bukan bereaksi secara autopilot atau apa adanya terhadap
tantangan sehari-hari. Konsep ini akan memudahkan individu
untuk merespon secara aktif.
3. Give yourself, melakukan sesuatu berdasarkan tujuan tertentu.
Konsep ini memudahkan individu untuk menentukan visi dan misi
pada kehidupan sehari-hari sehingga mampu melakukan sesuatu
dengan penuh integritas.
Gambar 1.6 Bagan Six Seconds Model Theory

2.6.2 Pendapat dari Global Leadership Foundation

Tidak dapat dipungkiri bahwa kecerdasan emosi merupakan topik yang penting
diajarkan pada generasi muda sehingga mereka paham sejak dini tentang cara
mengolah emosi. Metode yang dapat dilakukan di lingkungan sekolah oleh para
pengajar untuk meningkatkan kecerdasan siswa-siswi adalah self-awareness
exercises dapat membantu anak-anak dalam menghadapi stres atau kecemasan
saat ujian. Teknik ini dapat dilakukan dengan penulisan jurnal murid. Dengan
menulis jurnal, siswa dapat mengidentifikasi perlakuan dan pikiran mereka
sendiri. Sebagai contoh, siswa dapat menuliskan tentang perasaan atau suasana
hati yang ia rasakan hari ini. Contoh pertanyaan dalam jurnal:

1. Apa yang saya rasakan hari ini?


2. Mengapa saya merasa demikian?
3. Bagaimana cara saya untuk menghilangkan emosi negatif hari ini?

Pertanyaan diatas tergolong sederhana sehingga dapat dipahami oleh


anak-anak di bawah umur (usia 6-12 tahun) dengan mudah.
Pengukuran EI menggunakan kuesioner sederhana dapat diterapkan oleh
remaja (usia 13-18 tahun) karena pertanyaan yang disediakan lebih kompleks.
Global Emotional Intelligence Test merupakan kuesioner berisi 40 nomer yang
terinspirasi dari Daniel Goleman. Kuesioner ini hanya menyediakan dua pilihan
ganda. Kecenderungan perasaan responden akan diuji dalam pertanyaan yang
tersedia. Responden dapat merefleksikan emosi yang mereka rasakan dengan
pertanyaan-pertanyaan ini.

Gambar 1.7 Kuesioner GEIT


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kecerdasan emosi merupakan keterampilan yang dihipotesiskan sebagai


kontribusi pada penilaian dan ekspresi emosi yang akurat dalam diri sendiridan
orang lain, regulasi emosi yang efektif dalam diri dan orang lain, dan
penggunaan perasaan untuk memotivasi, merencanakan dan pencapaian goal
dalam hidup seseorang.

Kecerdasan emosional adalah jenis kecerdasan sosial yang melibatkan


kemampuan untuk mengolah emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan,
dan menggunakan informasi tersebut untuk memandu pemikiran dan tindakan
seseorang. Emotional Intelligence patut dikembangkan sejak dini pada institusi
pendidikan dan lingkungan lain yang menyangkut generasi muda sehingga
mereka mendapat cukup pengetahuan tentang cara mengolah emosi dengan
baik. Pengolahan emosi secara optimal tentunya akan berdampak positif pada
kognitif individu.

3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan serta bab-bab yang telah tercantum dalam makalah


ini, kami memberikan saran yang menurut kami tepat yaitu, dengan melakukan
pengembangan serta pengoptimalan kecerdasan emosional bagi seluruh
masyarakat. Baik dilingkungan kerja, sekolah dan sekitarnya. Dikarenakan
kecerdasan emosional sangatlah penting. Karena bisa melibatkan emosi,
ekspresi dan penilaian individu serta orang lain.
Daftar Pustaka

Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.

Goleman, Daniel. 2001. An EI-based theory of performance. The emotionally


intelligent workplace: How to select for, measure, and improve emotional
intelligence in individuals, groups, and organizations, 1, 27-44.

Goleman, Daniel. 1998. What Makes a Leader? Harvard Business Review.

Goleman, Daniel. 2000. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam
Books.

Bar-On, R. 2006. The Bar-On model of emotional-social intelligence (ESI).


Psicothema, 18, 13-25.

Stough, C., Saklofske, D. H., & Parker, J. D. 2009. Assessing emotional


intelligence. Theory, research, and applications.

Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy. 2018. Hubungan


antara kecerdasan emosi dengan perilaku agresif remaja dan implikasinya dalam
bimbingan dan konseling. Universitas Negeri Padang.

Lebon, Tim. 2014. Achieve Your Potential with Positive Psychology.

Salovey, Peter, Marc A Brackett, and John D Mayer. 2004. Emotional


Intelligence. Port Chester, N.Y.: Dude Pub.

Bencke, Bridget. 2006. The Effects of Emotional Intelligence in Everyday Life:


what counselors can do to reinforce EI in couples counselings. University of
Northern Iowa.

Ghufron, M. Nur. 2016. Peran Kecerdasan Emosi dalam Meningkatkan Toleransi


Beragama. STAIN Kudus, Indonesia.

De Klerk, R. & Le Roux, R. 2007. Emotional Intelligence for children and teens.
Human and Roussou.

iv
Brackett, M. A., & Salovey, P. 2006. Measuring emotional intelligence with the
Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT). Psicothema,
18(S), 34-41.

Thomas, C. L., Cassady, J. C., & Heller, M. L. 2017. The influence of emotional
intelligence, cognitive test anxiety, and coping strategies on undergraduate
academic performance. Learning and Individual Differences, 55, 40-48.

Hughes, M., Thompson, H. L., & Terrell, J. B. 2009. Handbook for developing
emotional and social intelligence: Best practices, case studies, and strategies.
John Wiley & Sons.

Chauhan, S. P. 2004. Emotional Intelligence at Work: A Professional Guide.


Refleksi

Nama: Allison Carol Karana


NRP: 7103020016
1. Fakta:
Saya mencari sumber-sumber baru selain e-book yang disediakan di Bella,
menggabungkan jawaban teman-teman, dan memberi parafrase saya
sendiri.
2. Perasaan:
Topik kecerdasan emosi sangat menarik, saya juga menonton beberapa
video penjelasan kecerdasan emosi dari Daniel Goleman untuk mendapat
pemahaman lebih dalam. Saya sangat tertarik dengan makalah kali ini.
3. Pemaknaan:
Selama saya mengerjakan makalah ini, saya cukup kaget karena seberapa
besar impact yang datang dari kecerdasan emosi. Saya memiliki perasaan
seperti ini karena sebelumnya, saya tidak pernah merasa bahwa topik
presentasi yang diberikan mendatangi efek sebesar ini.
4. Dampak:
Setelah ini, saya akan mencari informasi tambahan tentang EI dan
bagaimana pengembangannya sehingga kecerdasan emosi saya bisa
optimal. Hal ini mempengaruhi saya karena suatu hal yang saya anggap
sepele seperti cara diri kita mengolah emosi secara unconscious ternyata
sangat mempengaruhi bagaimana kejadian-kejadian tertentu terjadi.
Nama: Thierry Massaro
NRP: 7103020027
1. Fakta:

Saya dalam kelompok membantu dalam memberikan sumber jurnal dan


makalah yang akan dikutip. Saya juga menghibur kelompok supaya tidak
bosan saat megnerjakan Bersama

2. Perasaan:

Perasaan saya senang bisa berpartisipasi dalam penugasan kelompok dan


bisa saling menghibur satu sama lain.

3. Pemaknaan:

Saya mendapat ilmu baru dan bisa menemukan jurnal-jurnal ilmiah yang
belum pernah saya baca.

4. Dampak:

Saya jadi lebih tau mengenai emosi itu sendiri dan juga ternyata memiliki
konsep yang bervariatif dan mungkin bisa saya terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Saya mau mengulanginya dalam artian untuk
mencari-cari sumber jurnal yang bisa saya baca untuk menambah
pengetahuan saya.
Nama: Dita Lavienda
NRP: 7103020077
1. Fakta

Jawab: Saya membantu untuk mencari jurnal tentang kecerdasaan emosi dan
membantu untuk menata bahasa agar lebih efektif dan enak dibaca, serta
membantu untuk membuat daftar isi dan format halaman dalam makalah.
2. Peraasan
Jawab: Perasaan saya yang awalnya kesulitan dalam mencari jurnal karena
hampir setiap jurnal tidak memberikan hasil penelitian agar bisa dimasukkan
ke dalam makalah, tetapi perasaan saya juga sangat senang saat mengerjakan
makalah ataupun PPT bersama dengan kelompok.
3. Pemaknaan
Jawab: Hal yang saya peroleh saat mengerjakannya saya menjadi tahu
mengenai kecerdasaan emosi, bagaimana kecerdasaan emosi ini digunakan,
dan sebagainya. Saya juga dapat menjalin hubungan pertemanan yang lebih
erat lagi dengan teman sekelompok. Saya memiliki perasaan seperti ini karena
saya merasa topik ini memiliki hubungan dengan kehidupan sehari-hari.
4. Dampak
Jawab: Saya akan mengerti bahwa kecerdasaan emosi seseorang itu berbeda-
beda, dan saya akan berusaha untuk menempatkan emosi dan pemikiran saya
mengenai hal itu. Ya saya ingin mengulanginya lagi, karena berkelompok
dengan teman-teman yang memiliki beberapa pandangan yang berbeda seperti
teman-teman di kelompok ini dapat membantu saya untuk tidak hanya berfokus
pada cara pandang saya mengenai suatu hal.
Nama: Margaretha E. G. M.
NRP: 7103020078

1. Fakta:
Saya membantu mencari jurnal tentang kecerdasan emosi pada siswa dan
membantu untuk menuliskan saran serta jawaban rumusan masalah tetapi
masih terlalu sedikit dan tidak maksimal. Perasaan: perasaan saya awalnya
kesusahan dalam mencari jurnal karena kecerdasan emosi sangat beragam
dan bingung untuk memasukkan mana yang tepat dan cocok untuk
makalah kelompok saya.
2. Perasaan:
Perasaan saya awalnya kesusahan dalam mencari jurnal karena kecerdasan
emosi sangat beragam dan bingung untuk memasukkan mana yang tepat
dan cocok untuk makalah kelompok saya.
3. Pemaknaan:
Saya memperoleh banyak hal melalui pengerjaan makalah kecerdasan
emosi ini dan yang saya pikirkan saat mengerjakan makalah adalah saya
lebih bisa mengetahui bagaimana mengatur emosi saya dengan kegiatan
saya sehari-hari yang bersangkutan dengan kecerdasan emosi, karena hal
ini penting untuk diamati serta dipelajari demi pribadi yang baik untuk
kedepannya.
4. Dampak:
Yang setelah ini terjadi adalah saya akan berusaha lebih memahami diri
saya dalam proses pengoptimalan kecerdasan emosi dan itu sangat
berpengaruh pada diri saya.
Saya juga ingin mengulang kembali karena ini maerupaka suatu
pengalaman yang menarik bagi saya.
Nama: Elizabeth Rani
NRP: 7103020081
1. Fakta:

Saya mengerjakan Makalah Psikologi Positif tentang Emotional


Intelligence, saya mencari jurnal yang berkaitan dengan materi dan
membantu teman-teman saya menyusun makalah dan power point.
2. Perasaan:
Saya merasa senang saat mengerjakannya karena saat mencari jurnal dan
saat membacanya saya ikut belajar tentang materi ini. Walaupun ada saat
dimana saya agak kesusahan mencari jurnal yang cocok dengan materi
kelompok saya.
3. Pemaknaan:
Hal-hal yang saya peroleh saat mengerjakan tugas ini adalah saya dapat
membangun hubungan yang baik antar anggota kelompok. Saya juga dapat
belajar lebih tentang Emotional Intelligence, saya dapat belajar tentang
bagaimana saya dapat meningkatkan Emotional Intelligence saya, dan
bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan saya.
4. Dampak:
Ya hal ini mempengaruhi saya. Saya jadi lebih dekat dengan teman-teman
sekelompok saya. Saya juga sekarang jadi paham tentang Emotional
Intelligence dan paham bagaimana cara saya dapat mengembangkan
Emotional Intelligence milik saya. Ya saya mau mengulanginya lagi,
karena menurut saya hal ini membuat saya lebih produktif.
Nama: Ferdy Alvares Genoveva
NRP: 7103020088
1. Fakta:
Saya mencari jurnal yang berkaitan dengan materi dan membantu teman-
teman saya saat mencari pemahaman dan teori-teori dari para psikologis
tentang Emotional Intelligence.
2. Perasaan:
Saya merasa gembira saat mengerjakannya karena saat mencari jurnal dan
saat membacanya saya ikut belajar tentang bagaimana Emotional
Intelligence ini memengaruhi manusia. Walaupun kadang kala ada saat
dimana saya agak kesusahan mencari pemahaman, teori psikologis dan
jurnal yang cocok dengan materi yang diberikan kepada kelompok saya
3. Pemaknaan:
Hal-hal yang saya peroleh saat mengerjakan tugas ini adalah saya dapat
menjalin hubungan yang baik dengan teman teman saya. Saya juga dapat
pemahaman lebih tentang Emotional Intelligence. saya dapat belajar tentang
bagaimana saya dapat meningkatkan dan mengembangkan Emotional
Intelligence pada diri saya, dan bagaimana pengaruh kedepan nya bagi saya
4. Dampak:
Ya hal ini sangat mempengaruhi saya. Saya jadi lebih dekat dengan teman-
teman sekelompok yang walaupun sangat jauh jarak nya dari saya. Saya
juga sekarang jadi paham tentang Emotional Intelligence ini memengaruhi
manusia dan tahu cara bagaimana saya dapat mengembangkan Emotional
Intelligence kepada saya tersendiri. Ya saya sangat mau karena menurut
saya, saya bisa menyalurkan pendapat,ide, dan berbagi pemahaman baru
dengan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai