Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhmmad Rio Akbar

NPM : C1C019152
Kelas : IV (C)
Dosen : Nikmah, S.E., M.Si.Ak
Matkul : Analisis Investasi dan Portofolio

SEJARAH PERKEMBANGAN PASAR MODAL


DI INDONESIA

Dilansir dari Kumparan, dalam buku Effectengids disebutkan bahwa transaksi


Efek di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1880-an, Buku yang dirilis oleh
Vereniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939 itu juga menyatakan bahwa
transaksi Efek tidak memiliki organisasi resmi sehingga catatan transaksinya pun
tidak lengkap.
Pada tahun 1878 diketahui bahwa sebuah perusahaan yang memperdagangkan
komuitas dan sekuritas yang pertama di Indonesia akhirnya berdiri, Perusahaan itu
disebut dengan Dunlop & Koff yang rupanya menjadi permulaan dari PT Perdanas.
Perdagangan efek yang pertama kali dicatat dan dibukukan terjadi di tahun 1892, Pada
saat itu perusahaan perkebunan yang disebut dengan Cultuur Maatschappij Goalpara
yang ada di Batavia melakukan transaksi saham, Perusahaan tersebut diketahui
melakukan penjualan 400 saham dengan harga 500 gulden per saham-nya, Kemudian
transaksi lain yang terjadi di tahun 1896 juga kembali tercatat, Saat itu harian Het
Centrum dari Djoejacarta merilis prospektus penjualan saham dengan nilai 105 ribu
gulden,Diketahui harga per sahamnya sebesar 100 gulden.
Setelah itu, di awal abad ke-19 Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan
pembangunan perkebunan secara besar-besar di seluruh Tanah Air, Perdagangan
saham dari perusahaan perkebunan itu pun mulai dilakukan dan dijual kepada
golongan elit saat itu, Pada 14 Desember 1912 akhirnya pemerintah Kolonial Belanda
merintis pasar modal Amsterdamse Effectenbueurs atau Bursa Efek Amsterdam, Pasar
modal Amsterdamse Effectenbueurs di Batavia ini rupanya menjadi pasar modal
tertua keempat yang ada di Asia, Sebelumnya sudah ada pasar modal di Bombay
(1830), Hong Kong (1847), dan Tokyo (1878).
Perang Dunia I dan II
Pada saat itu Efek yang diperjualbelikan adalah saham dan obligasi dari perusahaan
perkebunan Belanda, Sayangnya, Perang Dunia I pada 1914–1918 memaksa Bursa
Efek di Batavia tutup sementara.
Meski begitu, perkembangan pasar modal yang ada di Batavia berkembang sangat
pesat hingga menarik perhatian penduduk dari kota lain, Hal itu menginisiasi
dibentuknya anggota bursa yang ada di Surabaya pada 11 Januari 1925 dan di
Semarang pada 1 Agustus 1925.
Sekali lagi, gangguan Perang Dunia harus menghentikan perkembangan pasar modal
di Indonesia, Perang Dunia II yang dimulai pada tahun 1939 menyebabkan ditutupnya
Bursa Efek yang ada di Semarang dan Surabaya, Sedangkan pada Bursa Efek Jakarta
baru ditutup pada tahun 1942. Penutupan tersebut dilakukan selama 10 tahun dan baru
dibuka kembali pada 3 Juni 1952.
Kondisi pasar modal di Indonesia saat itu semakin terpuruk karena terdampak
nasionalisasi perusahaan asing serta sengketa Irian Barat, Bahkan, saat itu inflasi
sangatlah tinggi hingga mencapai 650%. Hal itu pun membuat Bursa Efek Jakarta
tutup kembali.

Masa Orde Baru


Pada masa Orde Baru perekonomian Tanah Air mulai membaik, Pada saat itu juga
dikeluarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 mengenai pendirian Pasar Modal,
pembentukan Badan Pembina Pasar Modal, dan Badan Pelaksana Pasar Modal atau
Bapepam.
Presiden Soeharto juga kembali meresmikan Bursa Efek di tahun 1977, Pengaktifan
pasar modal tersebut juga ditandai dengan PT Semen Cibinong yang mulai go
public sebagai emiten pertama.
Selama sekitar 10 tahun perdagangan di Bursa Efek tercatat sangat lesu, Kemudian
hadir kebijakan Paket Desember 1987 yang memberikan kemudahan perusahaan
untuk melakukan penawaran umum dan membuka jalan investor asing menanam
modal di Indonesia.
Sejak saat itu pertumbuhan pasar modal di Indonesia semakin meningkat dengan
beberapa kebijakan yang dibuat, Misalnya saja kemudahan perusahaan untuk go
public dan kebijakan lain yang memiliki sisi positif pada pertumbuhan pasar modal.
Sampai saat ini pasar modal masih memerankan posisi penting untuk perekonomian
Indonesia.
Pasar modal di tengah pandemi

Di tengah pandemi Covid-19 rupanya terjadi lonjakan identitas tunggal investor atau
Single Investor Identification (SID), Data dari Tempo menunjukkan bahwa sampai
bulan Maret lalu, jumlah SID mencapai 1.160.542 akun, Jumlah tersebut mengalami
kenaikan hingga 4,82% dari awal 2020,
Bank Indonesia (BI) menyatakan, investor ritel di pasar modal mengalami
pertumbuhan yang pesat meski di tengah pandemi. Ini tercermin dari jumlah investor
ritel yang mencapai 4,16 juta, jauh lebih besar dari angka investor ritel di tahun 2019
yang sebanyak 2,48 juta, tahun 2018 sebanyak 1,62 juta, serta tahun 2017 sebanyak
1,12 juta. "Justru di masa pandemi ini pertumbuhan investor ritel itu cukup besar
menjadi 4,16 juta.
berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) hingga 31 Agustus 2020,
sebanyak 4,16 juta investor ritel tersebut terdiri dari Single Investor Identification
(SID) saham 1,31 juta, reksadana 2,44 juta, serta Surat Berharga Negara (SBN)
410.000. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada instrumen reksadana sebesar 37,9 persen
dibandingkan periode sama tahun 2019 yang sebanyak 1,77 juta investor ritel. "Paling
besar pertumbuhannya memang pada reksadana, masyarakat kita ini sudah lebih
banyak mempercayakan investasinya ke professional.
kepemilikan instrumen ini terus meningkat seiring dengan minat investor dalam
negeri akan SBN ritel. Nilai investasi investor ritel pada SBN hingga per 16 Oktober
2020 mencapai Rp 136 triliun, meningkat dari posisi awal tahun yang sebesar Rp 81
triliun di 2 Januari 2020. Baca juga: OJK Akui Pasar Modal RI Kerap Dikritik
Investor Asing "Investasi di SBN itu selama pandemi naik, sekarang nilainya ada
sekitar Rp 100 triliunan, ini angka menakjubkan," katanya. Dia menilai,
perkembangan pesat investor ritel tersebut tak lepas dari digitalisasi yang pesat selama
masa pandemi. Masyarakat jadi lebih melek teknologi, sehingga memudahkan literasi
mengenai pembelian produk investasi secara digital.

Anda mungkin juga menyukai