Membinasakannya
ق ااْل ِ ْن َسانَ فِي أَحْ َس ِن تَ ْق ِوي ِْم َوالّ ِذيْ هَدَانَا اَ ْل َح ْم ُد ِهللِ الًّ ِذى َخلَ َ
لِطَ ِر ْيقِ ِه ْالقَ ِوي ِْم َوفَقَّهَنَا فِي ِد ْينِ ِه ْال ُم ْستَقِي ِْم .أَ ْشهَ ُد أَ ْن آلاِلهَ إِاّل َ
صلُنَا إِلَى َجنَّا ِ
ت النَّ ِعي ِْم ك لَهُ َشهَا َدةً تُوْ ِ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي َ
َوتَ ُكوْ ُن َسبَبًا لِلنَّظَ ِر لِ َوجْ ِه ِه ْال َك ِري ِْم .وأَ ْشهَ ُد أَ ْن َسيِّ َدنَا َونَبِيَّنَا
صلَّى هللاُ ف ال َّر ِح ْي ُم َ ى ال َّر ُؤ ُ ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ النَّبِ ُ
َو َسلَّ َم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَلِ ِه َوأَصْ َحابِ ِه أُوْ لِى ْالفَضْ ِل
ضرُوْ نَ َر ِح َم ُك ُم هللاُ، ْال َج ِسي ِْم .أَ َّما بَ ْع ُد ،فَيَا أَيُّهَا ْال َحا ِ
ص ْينِ ْي نَ ْف ِس ْي َوإِيَّا ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ ،فَقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُوْ نَ قَا َل هللاُ أُوْ ِ
تَ َعالَى :بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم لَقَ ۡد خَ لَ ۡقنَا اإۡل ِ ۡن َسانَ فِ ۡۤي
أَ ۡح َس ِن ت َۡق ِو ۡي ٍم
1
makhluk Allah lainnya. Malaikat
diciptakan hanya memiliki akal tanpa
diberi syahwat dan nafsu. Hewan dibekali
syahwat sehingga hidupnya hanya
mengikuti keinginan kebutuhan badannya;
makan, minum, berhubungan badan dan
segala keinginan yang bersifat jasmaniah.
Sementara setan diciptakan hanya dengan
bekal nafsu sehingga sepanjang hidupnya
selalu ingkar akan nikmat Allah. Manusia,
sebagaimana disebutkan dalam surat At-
Tiin ayat 4 diciptakan dalam bentuk yang
sebaik-baiknya:
2
dalam tarikan antara ketiganya. Manusia
bisa menjadi seperti malaikat hanya
tunduk patuh pada Allah, bisa seperti
hewan hanya mementingkan keinginan
jasmaninya, ataupun bisa seperti setan
hanya mengumbar hawa nafsunya.
Sebagai makhluk ciptaan dalam bentuk
terbaik, manusia dikaruniai empat hal
sebagai permata dirinya. Empat permata
ini disebutkan Rasulullah dalam hadistnya,
sebagaimana dikutip oleh Ihya’
Ulumiddin.
ال َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم أَرْ بَ َعةُ َج َو ِه َر فِ ْي َ َق
ِجس ِْم بَنِ ْي اَ َد َم يُ َزلُهَا اَرْ بَ َعةُ أَ ْشيَا َء اَ َّما ْال َج َوا ِه ُر فَ ْال َع ْق ُل
َوال ِّدي ُْن َو ْال َحيَا ُء َو ْال َع َم ُل ْالصَّالِ ُح
3
pada manusia, sifat malu adalah
pengendali, dan amal salih adalah buah
dari akal memahami agama dengan
pengendali berupa sifat malu tadi. Akal
menjadi pemimpin dalam tubuh manusia
untuk memahami mana yang hak dan
batil, mana yang patut ataupun tidak, mana
yang harus dikerjakan ataupun
ditinggalkan. Ibnu Hajar al-Asyqalani
dalam kitabnya Nashaihul Ibad
mendefinisikan akal sebagai
َجوْ هَ ٌر رُوْ َحانِ ٌّي خَ لَقَهُ هللاُ تَ َعالَى ُمتَ َعلَّقًا بِبَ ْد ِن ا ِال ْن َسا ِن
ق َو ْالبَا ِط ُلُّ ف بِ ِه ْال َح
ُ يُ ْع َر
4
pantas. Agama menjadi pedoman
bagaimana manusia menjalani
kehidupannya; bagaimana mengendalikan
syahwat dan nafsu. Akal sehat akan
mengarahkan kita dapat menerima agama
yang hanif (lurus), yang mampu
memberikan ketenangan lahir batin dan
dapat melahirkan sifat pengedali (malu),
serta membuahkan amal salih. Malu
merupakan sifat yang dikembangkan oleh
agama untuk mengendalikan perilaku
manusia, yang dapat membedakan kita
dengan hewan ataupun setan. Oleh karena
itu, Ibnu Hajar al-Asqalani membagi malu
menjadi dua, yakni haya’un nafsiyun dan
haya’un imaniyun. Haya’un nafsiyun
adalah rasa malu yang diberikan Allah
pada setiap manusia, seperti rasa malu
memperlihatkan auratnya dan sejenisnya.
Sifat ini tidak diberikan pada hewan.
Sementara haya’un imaniyun adalah
5
ِ أَ ْن يَ ْمنَ َع ال ُم ْؤ ِم ُن ِم ْن فِ ْع ِل ْال َم َعا
ِصي خَ وْ فًا ِمنَ هللا
“Ketika seorang mukmin mampu
mencegah dirinya untuk berbuat maksiat
karena takut kepada Allah subhanahu
wata'ala.” Sifat ini hanya diberikan pada
orang mukmin yang mampu menggunakan
akalnya untuk memahami perintah dan
larangan Allah. Karena itu, wajar jika
Rasulullah pernah memberikan nasihat
kepada sahabatnya dengan mengatakan:
6
kemampuan kita mengendalikan sikap
dalam kehidupan. Banyak orang mampu
memahami agama atau mengerti ilmu
agama, tetapi tidak mampu mengendalikan
syahwat dan nafsunya, sehingga ia tidak
memiliki rasa malu, maka ia hanya bisa
melakukan sesuatu yang hanya
berorientasi pada kebutuhannya yang
kadang merugikan orang lain. Contoh
sederhana yang dapat kita amati dalam
kehidupan sehari-hari, betapa banyak
orang pandai agama tetapi tidak mampu
mengendalikan diri, sehingga ia bukan
mengamalkan ilmu agama, namun hanya
memperalat agama untuk kepentingan
dirinya atau kelempoknya. Maka akibat
yang timbul dari itu bukan amal shalih
tetapi justru maksiat. Jamaah Jumat yang
dimulayakan Allah, Rasulullah dalam
dalam hadits di atas juga mengingatkan
pada kita akan bahaya yang mengancam
empat permata manusia tersebut. Rasul
mengatakan:
7
َضبُ ي ُِز ْي ُل ْال َع ْق َل َو ْال َح َس ُد ي ُِز ْي ُل ال ِّد ْينَ َوالطَّ َم ُع ي ُِز ْي ُل
َ فَ ْالغ
ْال َحيَا َء َو ْال ِغ ْيبَةُ ي ُِز ْي ُل ْال َع َم َل الصَّالِ َح