Anda di halaman 1dari 26

IMPLEMENTASI SISTEM PENYIMPANAN OBAT

DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT


Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah

“Pengantar Ilmu Farmasi”

Dosen Pengampu :

Fauzia Ningrum Syaputri, M.Farm., APT

Disusun Oleh :

Siti Adawiyah 200106201 Ulfah Jamilah N. 200106221


Siti Maesaroh 200106203 Vunny Ridaniarni 200106225
Sri Nuraeni 200106207 Winda Siti Y. 200106229
Sulistya Agustin 200106210 Zahra Awaunissa 200106233
Syifa Khoirun Nisa 200106213 Zahra Fajriah 200106235
Syifa Syahira 200106215 Zuraida Rahmawati 200106237
Tasya Mutiara H. P. 200106217 Nikmatullah 200106239
Tsaltsa Azzahra A.Y. 200106219 Dina Amalia D. 200106241
Yurike Williyanti 200106231

Farmasi F – Kelompok 1

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2020 – 2021

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam. Atas izin dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tepat
waktu tanpa kurang suatu apapun. Tak lupa pula penulis haturkan sholawat serta
salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafa’atnya mengalir
pada kita di hari akhir kelak.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ibu Fauzia Ningrum Syaputri,
M.Farm., APT selaku dosen pengampu Pengantar Ilmu Farmasi di Universitas
Muhammadiyah Bandung. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang Implementasi Sistem Penyimpanan Obat
di Instalasi Farmasi.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada Ibu Fauzia


Ningrum Syaputri, M.Farm., APT selaku dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Farmasi
karena tugas yang diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidangyangditekunipenulis.Penulisjugamengucapkanterimakasihpadasemuapihak
yang telah membantu proses penyusunan makalahini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangunakan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Bandung, 25 Desember 2020

Penulis

II
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................... I

KATA PENGANTAR ................................................................................ II

DAFTAR ISI .............................................................................................. III

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH................................................. IV


1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................. VI
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN ................................................................. VI

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI PENYIMPANANOBAT ................................................ .VII


2.2 DEFINISI DARI IFRS MENURUT MENTERI KESEHATAN ..... VII
2.3 TUJUAN DARI PENYIMPANANOBAT ...................................... VIII
2.4 PERSYARATAN UNTUK MENYIMPAN OBAT DIIFRS .......... VIII
2.5 SISTEM PENYIMPANAN OBAT DI IFRS ................................... IX
2.6 SISTEM PENYIMPANAN OBAT NARKOTIKA MENURUT
PERMENKES .................................................................................. X
2.7 STUDI KASUS ................................................................................ XII

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN ................................................................................ XIII


3.2 SARAN ............................................................................................ XIV

DAFTARPUSTAKA................................................................................... XV

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang

Penyimpanan obat yaitu suatu kegiatan pengaturan perbekalan farmasi


menurut persyaratan yang telah ditetapkan dan disertai dengan sistem informasi
yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai dengan kebutuhan
(Febriawati, 2013). Barang yang sudah ada di dalam persediaan juga harus dijaga
agar tetap baik mutunya maupun kecukupan jumlahnya serta keamanan
penyimpanannya. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan dan pengaturan yang
baik untuk memberikan tempat yang sesuai bagi setiap barang atau bahan yang
disimpan, baik dari segi penyimpanan pengamanan maupun dari segi
pemeliharaannya (Aditama, 2015).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit, instalasi farmasi merupakan bagian dari rumah sakit yang harus
menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu,
bermanfaat, aman dan terjangkau yang bertugas menyelenggarakan,
mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi
serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit, seperti
pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai yang dilakukan
dengan cara sistem satu pintu. Adapun yang dimaksud dengan sistem satu pintu
adalah rumah sakit hanya memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk
pembuatan formularium pengadaan dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan
farmasi dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan
pasien.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 tahun 2004 tentang
standar pelayanan farmasi di rumah sakit, menyatakan bahwa instalasi farmasi
rumah sakit mempunyai tugas yaitu melangsungkan pelayanan farmasi yang
optimal, menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi, melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi
dan Edukasi), memberi pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi, melakukan pengawasan berdasarkan aturan-
aturan yang berlaku, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang

IV
farmasi, mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi,
memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
rumah sakit.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Menurut Trisnantoro
(2003), obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sakit.
Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar
pula dalam anggaran obat.
Penyimpanan obat merupakan suatu kegiatan dan usaha untuk melakukan
pengurusan penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan di dalam ruang
penyimpanan. Menurut Warman (2004) tujuan daripenyimpanan antara lain: a.)
Mempertahankan mutu obat dari kerusakan akibat penyimpanan yang tidak baik.
b.) Mempermudah pencarian di gudang atau kamarpenyimpanan. c.) Mencegah
kehilangan dan mencegahbahaya. d.) Mempermudah stok opname danpengawasan.
Prosedur Sistem Penyimpanan Obat yaitu obat disusun berdasarkan
abjad (alfabetis) atau nomor. Obat disusun berdasarkan frekuensi penggunaan:
FIFO (First In First Out), yaitu obat yang datang lebih awal harus dikeluarkan
lebih dahulu. Obat lama diletakan dan disusun paling depan, obat baru
diletakkan paling belakang. Tujuannya agar obat yang pertama diterima harus
pertama juga digunakan, sebab umumnya obat yang datang pertama biasanya
akan kadaluarsa lebih awal juga. Dan FEFO (First Expired First Out) yaitu obat
yang lebih awal kadaluarsa harus dikeluarkan lebih dahulu. Kemudian, obat
disusun berdasarkan volume. Prosedur penyimpanan obat menurut Kemenkes RI
antara lain mencakup pengaturan persediaan, sarana penyimpanan, serta sistem
penyimpanan (Depkes RI, 2010).
Penyimpanan obat narkotika yaitu narkotika yang berada dalam penguasaan
wajib disimpan secara khusus. Berdasarkan Permenkes RI No.
28/Menkes/Per/I/1978 Tentang Cara Penyimpanan Narkotika, harus memiliki
gudang khusus untuk menyimpan narkotika. Dengan persyaratannya yaitu dinding
terbuat dari tembok dan hanya mempunyai satu pintu dengan buah kunci yang kuat
dengan merek yang berlainan. Langit-langit dan jendela dilengkapi jeruji besi. Serta

V
dilengkapi dengan lemari besi yang beratnya tidak kurang dari 150 kg dan harus
mempunyai kunci yang kuat.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi dari penyimpananobat?
1.2.2 Apa definisi dari IFRS menurut menterikesehatan?
1.2.3 Apa tujuan dari penyimpananobat?
1.2.4 Apa saja persyaratan untuk menyimpan obat di IFRS?
1.2.5 Bagaimana sistem penyimpanan obat diIFRS?
1.2.6 Bagaimana sistem penyimpanan obat narkotika dan psikotropika menurut
Permenkes?

1.3 Tujuan Pembahasan


1.3.1 Agar pembaca mengetahui dan memahami apa itu penyimpananobat
1.3.2 Agar pembaca mengetahui dan memahami apa itu IFRS menurut menteri
kesehatan
1.3.3 Agar pembaca mengetahui dan memahami apa tujuan dari penyimpanan obat
1.3.4 Agar pembaca mengetahui dan memahami apa saja persyaratan untuk
menyimpan obat di IFRS
1.3.5 Agar pembaca mengetahui dan memahami bagaiman asistem penyimpanan
obat di IFRS
1.3.6 Agar pembaca mengetahui dan memahami bagaimana sistem penyimpanan
obat narkotika dan psikotropika menurut Permenkes

VI
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Penyimpanan Obat

Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan pengamanan dengan cara


menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman. Kegiatan
pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang ditetapkan dibedakan
menurut bentuk sediaan dan jenisnya, dibedakan menurut suhunya, kesetabilannya,
mudah tidaknya meledak/terbakar, tahan tidaknya terhadap cahaya disertai dengan
sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai
kebutuhan.
Penyimpanan obat merupakan proses sejak dari penerimaan obat,
penyimpanan obat dan mengirimkan obat ke unit pelayanan di rumah sakit. Tujuan
penyimpanan obat adalah agar obat yang tersedia di unit pelayanan kesehatan
mutunya dapat dipertahankan. Setiap petugas pengelola yang melakukan
penyimpanan obat, perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala, paling
tidak setiap awal bulan. Pengamatan mutu obat seperti mutu obat yang disimpan
dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia, dilaporkan perubahan
yang terjadi kepada Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota untuk diteliti lebih lanjut,
secara sederhana pengamatan dilakukan dengan visual, dengan melihat perubahan
yang terjadi pada obat tablet, kapsul, cairan, salep dan injeksi (Restia, 2014).

2.2 Definisi IFRS Menurut Menteri Kesehatan

Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat diartikan sebagai suatu unit dirumah
sakit yang merupakan tempat pelaksanaan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian
yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit dan pasien. IFRS merupakan organisasi
pelayanan di rumah sakit yang memberikan pelayanan produk yaitu sediaan farmasi,
perbekalan kesehatan dan gas medis habis pakai serta pelayanan jasa yaitu farmasi
klinik (PIO, konseling, MESO, monitoring terapi obat, reaksi merugikan obat) bagi
pasien atau keluarga pasien (Kemenkes, 2016).

VII
2.3 Tujuan Penyimpanan Obat

Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan
kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas
dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (Permenkes, 2016).

Penyimpanan obat bertujuan untuk menjaga mutu dan kestabilan suatu sediaan
farmasi, menjaga keamanan, ketersediaan, dan menghindari penggunaan obat yang
tidak bertanggung jawab. Menurut PERMENKES RI No 72 Tahun 2016,untuk
mencapai tujuan penyimpanan obat tersebut ada beberapa komponen yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi
label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan
dibuka, tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus.
2. Elektrolit, konsentrasi tinggi disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
3. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan
disimpanpda area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah
penatalaksanaan yang kurang hati-hati.
4. Sediaan farmasi alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat
diidentifikasi
5. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.

2.4 Persyaratan untuk Menyimpan Obat di IFRS

Pengelolaan obat termasuk proses penyimpanan haruslah efektif dan


efisien. Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan
dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
Berdasarkan Permenkes Nomor 3 tahun 2015, pengelolaan obat narkotika dan
psikotropika khususnya pada tahap penyimpanan harus memiliki tempat dan lemari

VIII
khusus di instalasi farmasi rumah sakit milik pemerintah. (Permenkes, 2015)
a) Semua obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
b) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
c) Menggunakan sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First
In First Out)

2.5 Sistem Penyimpanan Obat di IFRS

Petugas gudang farmasi melakukan penyimpanan obat atau alkes dimulai dari
petugas gudang farmasi memilah perbekalan farmasi berdasarkan suhu penyimpanan,
jenis sediaan, bentuk sediaan, dan huruf alfabetis, setelah itu menempatkan
perbekalan farmasi di rak penyimpanan, menyusun perbekalan farmasi secara FIFO
(first in first out)/ FEFO (first expired first out), yaitu barang yang datang terlebih
dahulu dan atau ED (Expired Date) dekat dikeluarkan dulu, selain itu, Obat disusun
berdasarkan volume barang dengan jumlah banyak harus ditempatkan sedemikian
rupa agar tidak terpisah, sehingga mudah pengawasan dan penanganannya, barang
yang jumlah sedikit harus diberi perhatian/tanda khusus agar mudah ditemukan
kembali, LASA(Look Alike Sound Alike) obat dengan penampilan dan penamaan
yang mirip tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk
mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat. Petugas gudang farmasi
kemudian mencatat di kartu stok meliputi tanggal penerimaan, asal perbekalan
farmasi, jumlah yang diterima, stok akhir dan tanggal kadaluarsa yang nanti kartu
stok akan ditempatkan di rak penyimpanan masing-masing agar mudah dalam
pengecekan (Permenkes, 2016).

IX
2.6 Sistem Penyimpanan Obat Narkotika dan Psikotropika Menurut Permenkes

Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi,


Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan
kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas
dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (Permenkes, 2016).
Pengelolaan obat termasuk proses penyimpanan haruslah efektif dan efisien.
Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan dukungan
kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
Berdasarkan Permenkes Nomor 3 tahun 2015, pengelolaan obat narkotika dan
psikotropika khususnya pada tahap penyimpanan harus memiliki tempat dan lemari
khusus di instalasi farmasi rumah sakit milik pemerintah (Permenkes, 2015).
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika
(Permenkes, 2015).
Narkotika adalah obat yang sering disalahgunakan untuk tujuan selain
pengobatan. Pengelolaan obat golongan narkotika penting dilakukan untuk mencegah
penyalahgunaan narkotika. Penyimpanan narkotika diatur dalam Permenkes RI No.
28 tahun 1978 dan kelengkapan administrasi resep diatur dalam Kepmenkes RI No.
1027 tahun 2004 (Anonim, 2004).
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintesis
bukan narkoba, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada akitivitas mental dan perilaku
(Permenkes, 2015).

1) Tempat khusus untuk menyimpan obat-obat narkotika berupa Iemari


yang dapat dikunci dengan baik
2) Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan
a. Dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yangkuat.
b. Harus mempunyai kunci yangkuat.
c. Tumpat tersebut dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang
X
berlainan. Bagian pertama untuk menyimpan morfin, petidin, dan
garam garamnya. Bagian kedua untuk menyimpan persediaan obat-obat
narkotika lainnya yang akan dipakaisehari-hari
d. Jika tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari
40x80x100 cm maka lemari tersebut harus dilekatkan pada tembok
atau lantai.
e. Lemari khusus tersebut tidak boleh digunakan untuk menyimpan
barang barang lain selain obat-obat narkotika, kecuali ditentukan lain
oleh Menteri Kesehatan.
f. Anak kunci dari lemari harus dikuasai oleh penanggung jawab, atau
pegawai lain yang dikuasakan.
g. Lemari khusus tersebut disimpan di tempat yang aman dan tidak
terlihat oleh umum.
3) Untuk obat-obat narkotika yang rusak atau sudah tidak memenuhi syarat
lagi, maka pemegang izin khusus, dapat memusnahkannya, dengan
disaksikanoleh:
a. Petugas Badan POM untuk importir, pabrik farmasi, dan unit perdagan
pusat.
b. Petugas Dinas Kesehatan, untuk pedagang farmasi penyalur narkotika, dan
unit pergudangan propinsi.
c. Petugas Dinas Kesehatan DT II, untuk apotek, rumah sakit, puskesmas,dan
dokter.
4) Pemusnahan obat-obat narkotika harus dilengkapi dengan pembuatan
berita acara pemusnahannya paling sedikit rangkap tiga yang memuat:
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
b. Nama pemegang izin khusus/penanggung jawab instalasi farmasi.
c. Nama seorang saksi dari pemerintah. dan seorang saksi lain dari
perusahaan atau badantersebut.
d. Nama dan jumlah narkotika yangdimusnahkan.
e. Cara pemusnahan.
f. Tanda tangan penanggung jawab pemegang izin khusus dansaksi.
5) Berita acara pemusnahan obat-obat narkotika harus dikirimkan kepada
Balai POM dan Dinas Kesehatan setempat.

XI
2.7 Studi Kasus

1. Penyimpanan Obat Di Gudang Instalasi Farmasi RS PKU Muhammadiyah


Yogyakarta Unit I

Pada studi kasus yang penulis ambil adalah sistem penyimpanan obat di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi
Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I tidak sesuai dengan standar Seto,
yaitu penggolongan obat tidak berdasarkan kelas terapi/khasiat obat. Hal tersebut
dikarenakan tidak semua petugas gudang memiliki latar belakang pendidikan
kefarmasian. Petugas yang berasal dari sekolah umum akan kesulitan dalam
menghapalkan nama-nama obat berdasarkan kelas terapi/khasiat obat, sehingga
dikhawatirkan proses penyimpanan akan berlangsung lebih lama.Pengelolaan obat
oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) mempunyai peran penting dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu pengelolaan obat
yang kurang efisien pada tahap penyimpanan akan berpengaruh terhadap peran rumah
sakit secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Unit I.
Sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi menggunakan
gabungan antara metode FIFO dan metode FEFO. Metode FIFO (First in First Out)
yaitu obat-obatan yang baru masuk diletakkan di belakang obat yang terdahulu,
sedangkan metode FEFO (first expired first out) dengan cara menempatkan obat-
obatan yang mempunyai ED (expired date) lebih lama diletakkan di belakang obat-
obatan yang mempunyai ED lebih pendek. Proses penyimpanannya memprioritaskan
metode FEFO, baru kemudian dilakukan metode FIFO. Barang yang ED-nya paling
dekat diletakkan di depan walaupun barang tersebut datangnya belakangan. Sistem
penyimpanan dikelompokkan berdasarkan jenis dan macam sediaan, yaitu:
1). Bentuk sediaan obat (tablet, kapsul, sirup, drop, salep/krim, injeksi dan infus).
2). Bahan baku.
3). Nutrisi.
4). Alat-alat kesehatan.
5). Gas medik.
6). Bahan mudah terbakar.
7). Bahan berbahaya.
XII
8). Reagensia.
9). Film Rontgen

Sistem penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi RS PKU


Muhammadiyah Yogyakarta Unit I tidak sesuai dengan standar Seto 5, karena dalam
sistem penyimpanan obatnya menggunakan metode FIFO dan FEFO, penggolongan
obat berdasarkan jenis dan macam sediaan, dan penggolongan obat berdasarkan
abjad/alphabetis, namun belum menerapkan penggolongan obat berdasar kelas
terapi/khasiat obat.
Hambatan terkait dengan penyimpanan obat di Gudang Instalasi Farmasi
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I antara lain adalah penggolongan obat
yang belum berdasarkan kelas terapi/khasiat dikarenakan pola peresepan obat
oleh dokter yang berubah-ubah. Hal tersebut dapat menyebabkan obat disimpan di
gudang dalam yang waktu yang lama, sehingga resiko obat ED semakin besar. Hal
tersebut dapat diatasi dengan cara:
1) Rumah sakit membentuk Clinical Leader, yaitu membentuk suatu perkumpulan
yang terdiri dari para dokter yang dipimpin oleh para dokter spesialis yang
profesional untuk merumuskan suatu standar obat/formularium untuk penyakit
yang sedang trend saat ini yang kemudian direkomendasikan ke PFT (Panitia
Farmasi dan Terapi).
2) PFT mengembangkan, merevisi, mengubah, dan menetapkan formularium
berdasarkan rekomendasi Clinical Leader.
3) PFT menetapkan program dan prosedur yang membantu memastikan terapi
obat yang aman dan bermanfaat.

2. Evaluasi Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit “X”

Pada studi kasus yang penulis ambil adalah evaluasi pengelolaan obat di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit “X” mengenai kecocokan antara barang dengan kartu
stok, sistem penataan gudang, stok obat kadaluarsa atau rusak, dan indikator stok mati
obat.

XIII
a. Indikator Kecocokan antara Barang dengan Kartu Stok
Hasil persentase kecocokan antara barang dengan kartu stok adalah 80,2
%. Jika dibandingkan dengan penelitian di RSMH Palembang yaitu 83,3%
(Masdahlena, 2004), maka belum efisien dan nilai standar Pudjaningsih (1996)
bahwa kecocokan antara barang dengan kartu stok seharusnya adalah 100%,
maka dapat dikatakan penyimpanan pada indikator kecocokan antara barang
dengan kartu stok belum efisien. Berdasarkan pernyataan dari kepala instalasi
farmasi ketidakefisienan disebabkan karena Sumber Daya Manusia (SDM)
yang tidak teliti dalam memeriksa obat, tidak disiplin dalam melakukan
pencatatan stok obat, kurangnya kepedulian petugas instalasi farmasi yang
seharusnya sebagai pengendali yang seharusnya melakukan pengecekan dan
pemeriksaan, jumlah petugas yang kurang sehingga menyebabkan petugas
mempunyai tugas rangkap. Mengingat bahwa buku pengeluaran tidak dapat
berfungsi sama dengan kartu stok sebagai kartu kendali, ditambah dengan
ketidakteraturan pengisian kartu stok sedangkan jumlah obat yang ada di
gudang begitu banyak karena berasal dari berbagai sumber (Askes,
Jamkesmas) maka akan berdampak pada semakin sulit mengontrol atau
mengendalikan persediaan obat di gudang. Untuk dapat mengatasi faktor-
faktor penghambat dari aspek tenaga manusia dapat dilakukan berbagai cara
berikut ini :
1) Diadakan pelatihan atau kursus atau sekolah mengenai standar
kompetensi yang dipakai di gudang.
2) Membuat SOP(standard operating procedure) bagi tenaga gudang.
3) Pengukuran kepatuhanakan SOP.
4) Melakukan review SOP (Damanik, 2006).
b. Indikator Sistem Penataan Gudang
c. Hasil penelitian sisapat persentase kesesuaian penyimpanan obat sesuai suhu,
no batch, ED sebesar 88,9 % walaupun cukup mendekati nilai standar yaitu
100% tetapi masih saja ada penyimpangan sebesar 11,1%. Dengan adanya
ketidaksesuaian antara hasil evaluasi (88,9%) dengan nilai standar
Pudjaningsih (100%), maka penelitian ini belum efisien tetapi jika
dibandingkan dengan penelitian di RSUD Kefamenanu Kabupaten Timor
Tengah Utara didapatkan hasil sebesar 70% (Olin, 2008), maka hasil penelitian
di “X” dikatakan lebih efisien. Ketidakcocokan terdapat pada salep hal ini

XIV
dikarenakan suhu penyimpanan suppositoria seharusnya 5-15 derajat celcius
tetapi di dalam ruangan suhunya 18,7 derajat celcius. Ketidaksesuaian suhu
akan berakibat:
1) Hilangnya zat aktif.
2) Hilangnya keseragaman kandungan.
3) Menurunkan keadaan microbiological. Jika penyimpana dalam suhu yang
tidak tepat, maka kemungkinan akan mempengaruhi keadaan yang
merugikan, seperti munculnya mikroorganisme.
4) hilangnya penampilan obat. Hal ini bisa membuat pasien berfikir bahwa
kualitas dari obat tersebut tidak bagus.
5) terbentuknya degradasi toksik (Carstensen &Rhodes, 2000).
Efisien dapat tercapai bila pemeliharaan sarana dan alat kesehatan
yang memadai dan untuk itu haruslah disusun petunjuk teknis dan
Standart Operational Procedure (SOP) tentang pemeliharaan dan
optimalisasi pemanfaatan sarana rumah sakit dan alat kesehatan
(Depkes, 2003)
Menurut Depkes (2004) persyaratan penyimpanan yaitu: dibedakan
menurut bentuk sediaan dan jenisnya, dibedakan menurut suhu dan
kestabilannya, mudah tidaknya meledak atau terbakar, tahan atau
tidaknya terhadap cahaya, disertai dengan sistem informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
Penyusunan obat pada Gudang Instalasi Farmasi di “X” sudah
berdasarkan abjad atau alphabetis dari A-Z dan penyusunan
penggolongan obat sudah berdasarkan jenis dan macam sediaan tetapi
penyusunan golongan obat belum dilaksanakan berdasarkan kelas terapi
atau khasiat obat
Sistem penataan gudang di “X” menggunakan Sistem penyimpanan
obat di Gudang Instalasi Farmasi menggunakan gabungan antara metode
FIFO dan metode FEFO. Metode FIFO (First in First Out), yaitu obat-
obatan yang baru masuk diletakkan di belakang obat yang terdahulu,
sedangkan metode FEFO (first expired first out) dengan cara
menempatkan obat-obatan yang mempunyai ED (expired date) lebih
lama diletakkan di belakang obat-obatan yang mempunyai ED lebih
pendek. Proses penyimpanannya memprioritaskan metode FEFO, baru

XV
kemudian dilakukan metode FIFO. Barang yang ED-nya paling dekat
diletakkan di depan walaupun barang tersebut datangnya belakangan.
Ruang penyimpanan diatur suhu dan kelembaban yang dilakukan
secara berkala, yaitu 2 (dua) kali sehari setiap jam 08.00 WIB dan 15.00
WIB. Suhu yang terdapat di ruangan penyimpanan 18,7 derajat celcius.

d. Indikator Stok Obat Kadaluwarsa atau Rusak


Dari hasil penelitian didapat persentase sebanyak 0,2 %, Jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten
Sumedang, persentase obat yang rusak atau kadaluwarsa tahun 2003-2005
berturut- turut adalah 0,83%; 0,60% dan 0,63%, penelitian di RS PKU
Muhammadiyah Unit I didapatkan hasil sebesar 0,03 % (Sheina, 2010), maka
dikatakan belum efisien dan berdasarkan indikator Pudjaningsih (1996)
seharusnya besaran persennya 0%. Walaupun penyimpangannya cuma 0,2 %
tapi hal ini dikatakan belum efisien. Ketidakefisienan ini mencerminkan
ketidaktepatan perencanaan, kurangnya pengamatan dalam penyimpanan.
Adanya persentase nilai obat kadaluwarsa karena pengelolaaan obat yang
kurang baik khususnya pada tahap penyimpanan hingga menyebabkan obat
kadaluwarsa. Hal ini disebabkan karena peresepan dokter bervariasi, sehingga
menyebabkan obat-obat yang digunakan berubah, akibatnya banyak obat yang
tidak keluar atau tidak digunakan dan menumpuk, yang akhirnya bisa menjadi
kadaluwarsa. Walaupun sudah menerapkan sistem FIFO dan FEFO, tetapi
kadang petugas merasa barang selalu cepat berputar, padahal hal tersebut
mungkin tidak berlaku pada beberapa obat karena obat tersebut tidak bersifat
fast moving juga kesibukan pada saat pelayanan dan kurangnya petugas.
Untuk mengatasi agar stok tidak terjadi kadaluwarsa maka dilakukan
beberapa cara, yaitu:
1) mengganti sistem komputerisasi yang ada dengan yang
lebih baik
2) kebijakan tentang reward and punishment sebagai langkah
meningkatkan kesadaran dan komitmen dalam melakukan tugas dan
pekerjaan
3) membuat evaluasi yang berkesinambungan, misalnya evaluasi
pelaksanaan prosedur tetap penyimpanan dengan pelaksanaan di

XVI
lapangan
4) pembinaan, pelatihan, pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan SDM (Rohayati, 2008).

e. Indikator Stok Mati Obat


Hasil penelitian didapat hasil persentase sebanyak 10,9 %. Jika
dibandingkan dengan penelitian di Rumah Sakit Muhammadiyah Gresik yaitu
3,31% (Madania, 2009), maka dikatakan belum efisien dan nilai standar
Pudjaningsih (1996) bahwa persentase stok mati seharusnya adalah 0%, maka
dapat dikatakan penyimpanan pada indikator persentase stok mati belum
efisien. Terdapatnya stok mati sebesar 10,9 % ini menunjukan bahwa sebagian
ketersediaan obat di gudang farmasi “X” bukan yang benar-benar dibutuhkan
di rumah sakit selain itu juga kurangnya pengawasan petugas serta media
komunikasi antara instalasi farmasi dan staf medis belum berjalan optimal.
Selain itu, stok mati ini lebih disebabkan karena terlampau banyaknya jenis
obat yang ada dan kasus penyakit yang jarang menggunakan obat tersebut. Hal
tersebut dapat diatasi dengan pembinaan, pelatihan, pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan SDM, dan menjaga hubungan
antara pekerja supaya komunikasi antar pekerja lancar.

3. Analisis Penyimpanan Obat di Gudang Farmasi Rumah Sakit Permata Medika


Semarang

Pada studi kasus yang penulis ambil adalah Analisis Penyimpanan Obat
di Gudang Farmasi Rumah Sakit Permata Medika kota Semarang.
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan tahun 2014.Pengelolaan
data stok obat di instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) Permata Medika masih
dilakukan secara manual sehingga dirasa kurang efektif dan efisien untuk
menangani masalah pengelolaan data stok obat karena memerlukan waktu yang
lama untuk mengolah data dan menyajikan laporan dengan Microsoft Excel. Sarana
penyimpanan obat yang ada di IFRS pengawasannya seharusnya dilakukan secara
triwulan atau rutin untuk menghindari adanya obat kadaluarsa atau rusak.
Dari hasil wawancara dengan petugas gudang farmasi RS Permata
Medika saat survey awal lokasi penelitian terdapat masalah yang melatarbelakangi
XVII
penelitian ini yaitu :
1. Pengecekan stok opname obat yang dilakukan tidak tepat waktu.
Pengecekan stok opname obat di gudang farmasi seharusnya dilakukan
setiap bulan, namun karena keterbatasan sumber dayammanusia
pengecekan stok opname obat dilakukan 2 atau 3 bulan sekali.
2. Stok obat kadaluarsa
Masih didapati banyak stok obat baik di gudang farmasi maupun stok obat
di apotek instalasi farmasi RS Permata Medika yang kadaluarsa.
3. Rayap
Alas atau palet untuk mengalasi tumpukan kardus obat masih terbuat dari
kayu dan beberapa diantaranya ada yang sudah dimakan rayap. Hal ini dapat
berisiko timbulnya kerusakan obat yang disebabkan oleh kontaminasi rayap.
4. Penataan obat yang tidak sesuai standar
Penataan obat tidak sesuai standar yang terdapat pada SOP penyimpanan
obat di gudang farmasi. Dari permasalahan diatas peneliti tertarik meneliti
lebih dalam agarmengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
penyimpanan obat di gudangfarmasi RS Permata Medika Semarang
Dari hasil penelitian “Analisis Penyimpanan Obat Di Gudang Farmasi
Rumah Sakit Permata Medika Semarang” dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Sumber daya manusia gudang yang tersedia di gudang farmasi sebanyak 1
orang sehingga belum sesuai dengan ketentuan minimal yang dibuat dalam
pedoman penyimpanan obat Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
tahun 2010 yang menyebutkan minimal yang harus tersedia meliputi 1 orang
atasan kepala gudang, 1 orang kepala gudang, 1orang pengurus barang, dan
1 orang pelaksana. Sementara itu, kesesuaian antara keterampilan dan
pengetahuan petugas gudang farmasi dengan kegiatan penyimpanan yang
dilakukan juga belum sesuai dengan pedoman Penyimpanan Dirjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan tahun 2010 meskipun memiliki
keterampilan yang baik, namun masih dibutuhkan pelatihan karena latar
belakang pendidikan petugas yang bukan berasal dari bidang farmasi sesuai
pedoman.
2. Prosedur penyimpanan obat di gudang farmasi RS Permata Medika sudah
sesuai dengan pedoman penyimpanan obat Dirjen Bina Kefarmasian dan

XVIII
Alat Kesehatan tahun 2010 meskipun prosedur penerimaan, penyusunan
obat dan stock opname ada yang belum dilaksanakan oleh petugas. Hal
tersebut menyebabkan adanya obat kadaluarsa dalam jumlah yang tidak
sedikit.
3. Dokumen Penyimpanan Obat masih belum sesuai dengan pedoman
penyimpanan obat yang dibuat oleh Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan tahun 2010 karena dokumennya hanya terdiri dari buku harian
penerimaan obat, buku harian pengeluaran obat/buku defecta, kartu induk
persediaan, surat pesanan obat, dan bukti barang keluar. Menurut pedoman
dokumen penyimpanan obat meliputi kartu induk persediaan obat, kartu stok
obat, buku harian penerimaan obat, surat izin pengeluaran obat, buku harian
pengeluaran obat, laporan pengeluaran obat, laporan stock opname dan data
obat kadaluarsa. Pelaporan dokumen obat tidak tepat waktu dikarenakan
pelaporan hanya mengacu pada perintah kepala farmasi yang meminta
kepadapetugas gudang.
4. Sarana dan prasarana penyimpanan yang tersedia di gudang farmasi rumah
sakit Permaata Medika masih belum sesuai luas dan jumlahnya berdasarkan
ketentuan minimal yang dibuat oleh pedoman penyimpanan obat yang di
buat oleh Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan tahun2010. Ketidak
sesuaian ini membuat sistempenyimpanan obat yang berjalan tidak secara
maksimal yang berisiko terjadinya kerusakan obat yang ada di tempat
penyimpanan.Penyimpanan obat di gudang farmasi rumah sakit Permata
Medika sudah sesuai pedoman Dirjend Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan tahun 2010, hanya saja pada penerapannya kerap mengalami
hambatan seperti keterbatasan waktu membuat tidak dilakukannya
pencatatan tanggal obat.

Dari hasil penelitian penelitian “Analisis Penyimpanan Obat Di Gudang


Farmasi Rumah Sakit Permata Medika Semarang” dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pelatihan keterampilan petugas gudang tentang manajemen logistik (obat)
oleh kepala Instalasi Farmasi untuk mendukung kemampuan dalam
pengelolaan obat di rumah sakit, serta audit beban kerja untuk menentukan
kebutuhan tenaga kerja di bagian logistik (obat).

XIX
2. Monitiring evaluasi terhadap kerja petugas logistik (obat) oleh kepala
Instalasi Farmasi rumah sakit.
3. Pemanfaatan dan kedisiplinan dalam memanfaatkan buku penerimaan obat
yang sudah disediakan manajemen rumah sakit, untuk meminimalisir
kesalahan dalam pencatatan obat.
4. Penyediaan sarana prasarana yang sesuai pedoman rumah sakit untuk
meminimalisir terjadinya kerusakan obat yang menimbulkan kerugian.
5. Petugas gudang diharapkan dapat melakukan pemeriksaan terhadap obat-
obatan yang disimpan di gudang farmasi secara berkala untuk membantu
mendeteksi adanya obat kadaluarsa dan obat rusak

XX
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Pada penyimpanan obat juga perlu menerapkan metode penyimpanan obat


baik secara FIFO (First in First out) ataupun FEFO (First Expired First Out).
Penyimpanan obat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan
kegiatan kefarmasian rumah Sakit. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan. (Permenkes,
2016)

Penyimpanan obat berdasarkan suhu terbagi menjadi beberapa macam


yaitu Dingin suhu tidak lebih dari 8 derajat. Lemari pendingin memiliki suhu
antara 2- 8 derajat sedangkan lemari pembeku memiliki suhu antara -20 s/d -10
derajat. Sejuk adalah suhu antara 15 derajat. Suhu kamar adalah suhu yang
diatur antara 15 s/d 30 derajat. Hangat adalah suhu 30 s/d 40 derajat. Panas
berlebih adalah suhu di atas 40 derajat.

Penyimpanan obat narkotika yaitu narkotika yang berada dalam


penguasaan wajib disimpan secara khusus. Berdasarkan Permenkes RI No.
28/Menkes/Per/I/1978 Tentang Cara Penyimpanan Narkotika, harus memiliki
gudang khusus untuk menyimpan narkotika. Dengan persyaratannya yaitu
dinding terbuat dari tembok dan hanya mempunyai satu pintu dengan buahkunci
yang kuat dengan merek yang berlainan. Langit-langit dan jendela dilengkapi
jeruji besi. Serta dilengkapi dengan lemari besi yang beratnya tidak kurang dari
150kg dan harus mempunyai kunci yang kuat.

Pada ketiga studi kasus yang penulis temukan, penulis simpulkan bahwa
pada studi kasus pertama ditemukan penyimpanan obat yang tidak sesuai dengan
standar Seto serta penggolongan obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit

XXI
I belum berdasarkan kelas terapi atau khasiat. Hal tersebut dapat menyebabkan obat
di simpan di gudang dalam waktu yang lama, sehingga resiko Expired Date
semakin besar. Kemudian pada studi kasus kedua ditemukan ketidakcocokan antara
dan kartu stok disebabkan karena sumber daya manusia (SDM) yang tidak teliti
dalam memeriksa obat, dan tidak disiplin dalam melakukan pencatatan stok obat.
Serta ditemukan dalam penyusunan obat di IFRS tersebut belum dilaksanakan
secara kelas terapi atau khasiat obat yang menyebabkan obat tersebut menumpuk
dan akhirnya kadaluarsa. Serta adanya stok mati obat yang di sebabkan terlampau
banyaknya jenis obat yang ada dan jarang status penyakit yang menggunakan obat
tersebut. Kemudian pada studi kasus ketiga ditemukan pengecekan stok opname
obat yang dilakukan tidak tepat waktu, stok obat kadaluarsa, sarana dan prasarana
yang tersedia di gudang farmasi RS Permata Medika masih belum sesuai dengan
pedoman penyimpanan obat yang dibuat oleh Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan tahun 2010.

XXII
3.2 Saran

Pengelolaan obat di Instalasi Farmasi RS harus lebih di tingkatkan lagi


terutama pada tahap pemilihan, perencanaan, dan pengadaan kesesuaiannya
dengan peraturan pemerintah yang berlaku saat ini, untuk menjamin proses
pengelolaan obat yang baik dan benar.

Agar tidak terjadi obat menumpuk di gudang serta obat expired date yang
tersimpan, sebaiknya obat disimpan sesuai dengan sistem penyimpanan yang baik
menurut SOP, selain itu juga agar obat yang terlebih dahulu masuk didistribusikan
terlebih dahulu. Serta tenaga Farmasi akan mudah menemukan obat yang sedang
dibutuhkan.

Supaya ada penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab ketidakefisien


dan supaya ada pelatihan, pelatihan dan pendidikan bagi tenaga kesehatan agar
dapat meningkatkan pengelolaan obat secara optimal.

Pembelajaran atau pendidikan yang lebih terhadap tenaga Farmasi agar


paham tentang stok opname obat dan harus lebih teliti agar obat sesuai dengan yang
ada diketerangan stok opnamenya.

XXIII
DAFTAR PUSTAKA

 IAI.( 2015).Informasi Spesialite Obat Indonesia. PT. ISFI Penerbitan,


Jakarta.

 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun


2014tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit.

 Siregar Charles, J.P., Lia Amalia. 2003. Teori dan Penerapan Farmasi
Rumah Sakit.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,EGC.

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal


PelayananKefarmasian dan Alat Kesehatan. 2002. Pedoman
Teknis Pengadaan ObatPublik dan Perbekalan Kesehatan
Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD). Jakarta.

 Hassan, WE. 1986. Hospital Pharmacy, 5th editon, Lea dan


FebgerPhiladelphina.

 Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 189/Menkes/SK/III/2006,


tentang
Kebijakan Obat Nasional Menteri Kesehatan Republik
Indonesia http://repository.poltekkes
tjk.ac.id/712/2/BAB%20II.pdf. Diakses pada tanggal 20
Desember 2021

 Olivia, R. L. 2019. Evaluasi sistem penyimpanan pada display obat diinstalasi


farmasi rumah sakit umum Pindad.

 Depkes RI, 2004, Standar Pelayanan Kefarmasian di

Apotek. Keputusan MenteriKesehatan

Nomor.1027/Menkes/SK/IX/2004.Republik

Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016

XXIV
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Rumah Sakit, Jakarta.

https://www.academia.edu/14600766/APOTEK_PENYIMPANAN_NARKO
TIKA_BAB_II1

 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014


tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

 Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 189/Menkes/SK/III/2006,


tentangKebijakan Obat Nasional Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.

 Prahmanti, K. dkk. 2015. Buku Undang-Undang Kesehatan Bidang


Keahlian Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran : EGC.

 Yasinta, D. (2018) . Bab I dan Bab III. http:// repository.helvetia.ac.id


Borneo Journal of Pharmascientech, Vol. 02, No. 01.
(2018).https://jurnalstikesborneolestari.ac.id/index.php/borne
/article/view/199/142 . Diakses pada tanggal 30 Desember
2020

 Uyun, A.(2019).Bab II Kajian Pustaka.


http://eprints.umg.ac.id/3149/3/5.%20BAB%202.pdf .Diakses
pada tanggal 1 Januari 2021

 WINARNI, D. (2019) . Bab II Studi Pustaka.


https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/16383/05.
2%20bab%202.pdf?sequence=7&isAllowed=y . Diakses pada
tanggal 5 Januari 2021

XXV
 Hendriani, L. (2015).Gambaran Tempat Penyimpanan Dan Kelengkapan
Administratif Resep Narkotika Di Apotek Kecamatan
Banjarmasin Utara.http://www.akfar-isfibjm.ac.id/.

 Ulfah, H. (2015). Permerkes RI No.3 Tahun 2015


https://www.slideshare.net/ulfahhanum1/permenkes-3-2015
peredaran-penyimpanan-pemusnahan-dan-pelaporan-narkotika
Diakses pada tanggal 5 Januari 2021

 Sheina B., Umam M.R., Solikhah. (2010): Penyimpanan Obat di Gudang


Instalasi Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I.
https://media.neliti.com/media/publications/25003-ID-
penyimpanan-obat-di-gudang-instalasi-farmasi-rs-pku-
muhammadiyah-yogyakarta-unit.pdf . Diakses pada tanggal 16
Januari 2021.

 Somantri A. P. (2013) : Evaluasi Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi


Rumah Sakit “X” .
http://eprints.ums.ac.id/26269/10/NASKAH_PUBLIKASI.pdf .
Diakses pada tanggal 16 Januari 2021.

 Sauri I. (2016) : Analisis Penyimpanan Obat Di Gudang Farmasi Rumah


Sakit Permata Medika Semarang Tahun 2016.
http://eprints.dinus.ac.id/20281/2/jurnal_18466.pdf . Diakses
pada tanggal 16 Januari 2021

XXVI

Anda mungkin juga menyukai