Anda di halaman 1dari 3

Raja-raja 17:7-16.

Janda itu, kita tidak pernah tahu namanya, sejatinya berani mengambil risiko dengan memberi
makan Elia karena ada harapan di sana. Bagaimanapun, Elia berjanji bahwa Allah Israel akan
memberinya makan.

Pilihan cuma dua. Pertama: tidak memberi makan. Artinya, nasibnya sudah jelas, tak ada
makanan untuk esok hari. Itu berarti, dia dan anaknya tinggal menunggu ajal. Kedua: memberi
makan. Kalau dia memberi Elia makan, masih ada dua kemungkinan: tetap mati, sebagaimana
kalau tidak memberi makanan; atau hidup, sebagaimana janji Elia.

Janda di Sarfat memilih yang kedua karena ada harapan di sana. Harapan memang belum
terjadi. Tetapi, Sang Janda menggantungkan dirinya pada harapan itu. Hasilnya: tepung dan
minyak selalu tersedia hari demi hari.

Ketersediaannya memang sehari demi sehari. Jadi, tidak langsung jatuh dari langit: satu kuintal
tepung dan 100 liter minyak. Tetapi, sehari demi sehari. Allah mencukupkan hidup mereka
bertiga, Elia, janda, dan anaknya, sehari demi sehari.

Di mata Elia, janda di Sarfat itu telah memperlihatkan wajah Allah. Melalui janda itu, Sang Nabi
bisa merasakan kasih Allah. Jangan lupa, janda itu merupakan orang asing, musuh Israel lagi.
Tetapi, dia mau dipakai Allah untuk memberikan kehidupan kepada Elia melalui berbagi dalam
kekurangannya.

I Rajaraja 17: 7 – 16

Saudaraku! Sering sekali situasi krisis sangat memengaruhi sikap iman kita kepada Tuhan, bahkan acap situasi krisis
menentukan bagaimana kita beriman kepada Tuhan. Apabila peristiwa itu baik maka baiklah hubungan kita kepada
Tuhan, namun bila persitiwa itu tidak baik (krisis) maka kekecewaan, putus asa, bahkan mempersalahkan Tuhan
sering kita perankan. Apakah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini adalah sangat baik kita menyimak dan
merenungkan cerita tentang Elia dan janda Sarfat.

Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani, sesungguhnya tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-
tahun ini, kecuali kalau kukatakan” (ay 2). Demikianlah perkataan Elia kepada Raja Ahab (sang penguasa waktu itu)
karena dia melakukan yang jahat di mata Tuhan lebih daripada semua orang yang mendahuluinya. Dia beribadah
kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya bersama istrinya Izebel. Atas perbuatannya yang jahat di mata
Tuhan, maka Tuhan menghukum negeri itu dengan tidak menurunkan hujan selama tiga tahun lamanya. Kekeringan
melanda negeri itu, sungai kering, tumbuh-tumbuhan layu tidak menghasilkan buahnya, dan ternak mati. Krisis
besar melanda negeri itu yang secara langsung memengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat.

Kepada Elia, Tuhan berfirman: Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana.
Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan”, (ay 9). Ditengah krisis yang
terjadi Tuhan memelihara, melindungi, dan menyertai hambanya Elia. Tuhan tidak membiarkan hambanya berjalan
sendiri dalam masa krisis yang terjadi. Melalui cara-Nya Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dan kemuliaan-Nya
memelihara keberlangsungan hidup hamba-Nya. Di tepi sungai Kerit burung-burung gagak dipakai Tuhan untuk
membawa roti dan daging kepada Elia. Dan tidak sampai di situ saja di Sarfat Tuhan memakai seorang janda untuk
memberi Elia makan.

Saudaraku! Beragam cara yang dipakai Tuhan untuk menunjukkan kuasa dan kemuliaan-Nya supaya orang yang
tidak percaya menjadi percaya kepada-Nya. Sekalipun masa krisis terjadi, namun itu juga dipakai oleh Tuhan untuk
menunjukkan kuasa-Nya bahwa Dialah Sang pemilik keberlangsungan kehidupan. Akal atau pun logika tidak bisa
memahami dan mengerti rencana Tuhan dalam kehidupan. Namun satu hal yang kita tahu dan percayai bahwa “
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan,
yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberi kepadamu hari depan yang penuh
harapan”, (Yer 29: 11). Keberlangsungan masa depan hamba-Nya Elia telah berada di dalam rancangan Allah.
Tuhan tidak berada di dalam genggaman krisis yang terjadi, namun Tuhan berada mengatasi setiap krisis yang ada.

Di Sarfat Elia menjumpai seorang janda miskin yang pekerjaannya hanya mengumpulkan kayu api. Kepadanya Elia
berseru: “Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum; Cobalah ambil juga bagiku sepotong
roti”, (ay 10, 11). Dengan seluruh keberadaannya janda miskin berkata dengan jujur:””…tidak ada roti padaku
sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli… kemudian aku mau
pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati”, (ay 12).
Apa yang disampaikan oleh janda miskin ini adalah pengakuan yang jujur dengan melihat realitas yang terjadi. Akal
dan perasaan itulah yang sering kita pakai untuk mengukur atau menilai apa dan bagaimana hidup kita selanjutnya.
Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi ada hal sangat penting dan ini sering terabaikan yaitu peran Tuhan yang
terus merajut masa depan setiap orang harus mendapat tempat di dalam akal dan perasaan kita. Pada akhirnya masa
krisis yang dihadapi oleh janda miskin berubah menjadi kelimpahan dalam kehidupannya, karena ternyata: “Tepung
dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang”, (ay 16). Janda miskin berpikir
bahwa krisis ini adalah akhir dari hidupnya, namun Allah mempunyai rancangan bahwa ini adalah awal dari
kelimpahan.

Saudaraku! Melalui nas khotbah ini kisah Elia dan janda di Sarfat ada beberapa pesan rohani, kabar baik yang bisa
menjawab setiap peristiwa kehidupan yang kita hadapi:

Pertama: Tangan Tuhan tidak kurang panjang memelihara dan menyertai hidup setiap orang, asalkan dia percaya
dan melakukan perintah Tuhan. Bukankah Elia hamba Tuhan melakukan hal demikian? Ya! Tuhan berkata kepada
Elia: Pergilah… maka dia pergi. “Diamlah di Sarfat… maka dia diam. Bukan hanya Elia menunjukkan itu, tetapi
janda miskin di Sarfat juga melakukannya. Di saat Elia berkata kepadanya cobalah ambil bagiku… maka janda
Sarfat melakukannya. Inilah bentuk iman yang sesungguhnya percaya dan melakukannya. Iman seperti inilah yang
bisa membuat kita bisa bertahan dalam menghadapi kondisi sesulit apa pun. Akal dan perasaan itu penting dalam
mempertimbangkan keberadaan situasi kita saat ini, namun tidak kurang penting menempatkan mata rohani kita
melihat pemeliharaan Allah yang mencukupkan kebutuhan bahkan masa depan kita.
Kedua: Tuhan adalah benteng dan perlindungan kita, di dalam Dia kelimpahan akan kita peroleh. Bukankah janda
miskin di Sarfat berkata: “…bagiku hanya ada segenggam tepung dalam tempayan, dan sedikit minyak dalam buli-
buli, setelah kami memakannya, maka kami akan mati”. Dia berada dalam masa krisis pangan, dan melihat itu
sebagai akhir dari kehidupannya. Namun Tuhan menunjukkan kuasanya di dalam masa krisis itu, sehingga apa yang
dikatakan orang sebagai akhir justru itu adalah awal bagi Tuhan. Awal untuk memperoleh hidup yang
berkelimpahan. Setiap orang pasti pernah mengalami krisis (masa-masa sulit) dalam kehidupannya, dan ketika itu
terjadi janganlah pesimis, hilang harapan (baca= mandele), terlebih mempersalahkan Tuhan. Tuhan tidak pernah
salah, namun kitalah yang selalu salah. Lihatlah masa-masa sulit itu bukan sebagai akhir, namun itulah awal bagi
Tuhan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik.
Ketiga: Hiduplah dalam kemurahan hati, (Mangolu ma ho dibagasan parasinirohaon). Janda miskin di Sarfat tidak
menolak kehadiran Elia berdiam di rumahnya. Dia menerima kehadiran Elia untuk tinggal di rumahnya bahkan
memberinya makan sekalipun janda miskin itu kekurangan. Dalam hal ini Tuhan tidak melihat kelebihan dan
kekuranganmu, namun yang Tuhan lihat adalah kemurahan dan ketulusan hatimu. Karena kemurahan tidak
tergantung pada apa yang lebih dan pada apa yang kurang dalam hidupmu, tetapi pada ketulusan hatimu. Untuk
sikap seperti ini Tuhan berkata: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh
kemurahan”, (Mateus 5: 7). Buah dari kemurahan itu adalah “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak
dalam buli-buli itu tidak kurang…”. Bermurah hatilah!

Anda mungkin juga menyukai