Anda di halaman 1dari 6

LEMBAR JAWABAN

UNIVERSITAS GADJAH UJIAN TENGAH SEMESTER


MADA (UTS)
FAKULTAS HUKUM SEMESTER GENAP TA 2020/2021
PROGRAM STUDI SARJANA NAMA: Candyna Muthiah Bepa
HUKUM NIM: 20/458701/HK/22433
NO. UJIAN: 49
TANGGAL: 29 / Maret / 2021
MATA KULIAH: Lingkungan
KELAS: F
DOSEN: I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.

JAWABAN:
1. Jelaskan bagaimanakah cara pandang atas lingkungan hidup sebagai konsep holistik dan
sebagai konsep keruangan yang berbasis Wawasan Nusantara!
Lingkungan hidup sebagai konsep holistik memiliki arti menyeluruh, maksudnya pada
setiap aspek yanga ada di lingkungan hidup merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan yang meliputi meliputi berbagai makhluk hidup beserta seluruh komponen
lingkungan disekitarnya. Komponen ini meliputi komponen fisik, kimia, sosial budaya,
dll. Makhluk hidup akan mempengaruhi perubahan lingkungannya, begitu juga
sebaliknya. Dalam konsep ini menggabungkan antara tiga dimensi yang ada dalam
lingkungan, yakni biotik (makhluk hidup), abiotik (benda mati sepeti air, udara, dan
tanah), dan sosial budaya (nilai, gagasan, dan keyakinan manusia).
Pandangan lingkungan hidup sebagai suatu konsep keruangan yang berbasi Wawasan
Nusantara memiliki makna bahwa lingkungan hidup ini adalah segala sesuatu ruang yang
ada di wilayah NKRI yang sesuai dengan Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara ini
sendiri adalah pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap diri sendiri dan juga
geografisnya yang berdasar pada Pancasila dan juga UUD 1945 yang mana tingkah laku
dan sikap bangsa Indonesia haruslah mencerminkan nilai-nilai yang terkandung pada
Pancasila dan UUD 1945.
2. Sebut dan jelaskan setidaknya 3 asas/prinsip hukum lingkungan hidup di Indonesia!
a. Asas Kehati-hatian (Precautionary Principle)
Dalam asas ini, dimaknai apabila terdapat suatu inovasi pada suatu teknologi atau hal
apapun dan hal tersebut belum memiliki justifikasi scientific berbahaya atau tidak,
inovasi tersebut sbeaiknya tidak disebarluaskan terlebih dahulu disebarluaskan atau
dipasarkan ke khalayak umum. Dalam konteks ini terdapat elemen prinsip kehati-
hatian, sebab masih adanya resiko yang harus diidentifikasi. Asas ini terdapat di pasal
2 (f) UUPPLH “ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha karena keterbatasan
ilmu pengethuan dan teknologi, bukanlah alasan untuk menunda langkah
meminimalisir atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup.”
b. Pembangunan keberlanjutan
Asas ini memperkenalkan suatu konsep baru, yakni suistainable development, yakni
pembangunan yang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup generasi saat ini,
namun tidak juga mengurangi hak generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhannya esok. Pada asas ini terdapat dua elemen dasar, yakni kebutuhan (needs)
dan batasan (limitation). Kebutuhan ini diartikan bahwa pembangunan itu harus
memenuhi kebutuhan dari manusianya, namun kebutuhan manusia itu kan
berkembang dan terus menerus semakin kompleks dan bisa saja kemudian kebutuhan
itu apabila tidak dibatasi akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Untuk itu,
terdapat elemen kedua, yakni batasan sehingga kita sadar bahwa yang membutuhkan
pembangunan itu bukan hanya kita saja tetapi juga generasi selanjutnya. Asas ini
terdapat pada Pasal 3 UUPPLH “ Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
bertujuan: .... [i} mewujudkan pembangunan berkelanjutan.”
c. Asas Pencemar Membayar
Asas ini maksudanya ada bahwa suatu kerugian yang timbul akibat pencemaran harus
ditanggung oleh pighak yang menyebabkan pencemaran. Akan tetapi, asas ini
menimbulkan sedikit pro-kontra di kalangan sarjana hukum internasional. Menurut
Phillippe Sands terdapat dua hal yang harus diklarifikasi lebih jauh, yakni sejauh
Mana pencemar harus membayar atau memperbaiki kerusakan yang terjadi dan
pengecualian asas pencemar membayar yang berkaitan dengan aturan pemberian
subsidi. Dengan begitu, dikenal dengan istilah strict liability dan absolute liability.
Kedua hal ini adalah sama-sama menekankan pada tanggung jawab bagi seseorang
yang melakukan pencemaran wajib membayar. Akan tetapi, yang membedakan pada
strict liability terdapat pengecualian tertenti dan adanya beberapa hal yang khusus
seperti harusnya ada escape (sesuatu yang tidak seharusnya ada di suatu tempat) dan
diberlakukan pada penggunaan yang tidak alamiah. Asas ini juga diatur di Pasal 1365
KUHPer yang mana menyebabkan beban pembuktian berpindah menjadi kepada
pihak tergugat untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah atau kegiatan yang ia
lakukan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan atau dikenal sebagai asas
pembuktian terbalik.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Jelaskan tentang implikasinya terhadap hak gugat atas lingkungan sebagai
subjective rights?
Maksudnya, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat termasuk dalam Hak Asasi
Manusia yang wajib dimiliki oleh setiap manusia. Hak atas lingkungan ini mulai dikenal
dalam konteks internasional di Pasal 1 Deklarasi Stockholm tahun 1972 bahwa
komunitas onternasional memberikan ruang dan pengakuan bahawa manusia itu memiliki
hak lingkungan untuk kesejahteraan dan kesehatannya sehingga kehidupannya semakin
bermartabat. Dalam hak atas lingkungan ini dikenal dua komponen, yakni hak substantif
dan hak prosedural. Hak subtantif adalah hak-hak dasar yang yang sifatnya universal
yang mengkondisikan martabat manusia. Sementara itu, hak Prsedural adlah hak-hak
turunan yang berfungsi untuk memastikan pencapaian dan pemenuhan dari hak-hak
substantif.
Hal tersebut berimplikasi pada hak gugat atas lingkungan sebagai subjective rights,
maksudnya setiap orang dapat menggugat orang lain yang mengambil hak atas
lingkungannya tersebut. Subjective rights disini diartikan sebagai benrtuk yang paling
luas dari perlindungan seseorang. Hak tersebut memberikan kepada yang mempunyai
suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkunagn hidup yang
baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum,
dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.

4. Jelaskan konsep AMDAL sebagai instrumen pengendalian dampak lingkungan, serta


bagaimana pengaturan AMDAL di Indonesia? Apa pula perubahan penting konsep
AMDAL setelah berlakunya UU Cipta Kerja?
Menurut Pasal 1 ayat (11) UUPPLH amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Amdal
sebagai instrumen pengendalian dampak lingkungan dapat dilihat dari isinya, yang
mencakup kajian atas dampak lingkungan tersebut, evaluasi atas aktivitas yang telah
dilakukan, rekomendasi rakyat, evaluasi keseluruhan atas dampak yang terjadi, dan
terkahir rencana pemantauan dan juga pengelolaan lingkunagn.
Setahun yang lalu disahkannya UU Cipta Kerja yang dalam isinya memuat terkait
ketentuan amdal yang berubah cukup signifikan dibanding yang adad di UU sebelumnya.
Di dalam UU Cipta Kerja dihapuskannya Komisi Penilai Amdal (Tim Uji kelayakan)
yang dulunya terdiri atas masyarakat, ahli, pecinta lingkungan, dan lain-lain yang intinya
terbuka, digantikan dengan Tim Uji Kelayakan yang hanya terdiri dari perwakilan
pemerintah pusat dan daerah dan ahli yang disertifikasi oleh pemerintah. Dengan
ketentuan tersebut seakan-akan terlihat partisipasi publik yang sangat kurang. Kedua,
Akses informasi menjadi hanya menggunakan media elektronik. Hal ini beralaskan agar
penyebaran informasi semakin cepat, tetapi melupakan bahwasanya masih banyak
masyarakat di daerah yang belum terjangkau oleh akses internet yang stabil. Ketiga,
Partisipasi Publik yang dulunya masyarakat terdampak, dan juga ahli diubah hanya
menjadi masyarakat terdampak saja. Hal ini menyebabkan masyarakat terdampak
tersebut belum tentu paham dan mengerti terkait hal tersebut, sedangkan masyarakat
tidak boleh didampingi oleh lsm atau akademisi untuk memahaminya. Terakhir, Izin
lingkungan yang dihapuskan diganti persetujaun lingkungan. Dulungya seseorang akan
diperbolehkan membuang limbah ketika telah memenuhi syarat baku mutu lingkungan
dan memperoleh izin dari pejabat berwenang, tetapi sekarang pemusatan izin hanya ada
pada pemerintahan pusat. Dengan perubahan-perubahan tersebut sangat memiliki dampak
yang signifikan atas keberlanjutan lingkungan hidup. Sebab semua seakan-akan
didominasi oleh pemerintah pusat, yang aman masyarakat dan lingkungan sekitar yang
terdampak tidak tahu –menahu akan hal tersebut.
7. Bagaimanakah perkembangan kelembagaan dan pengaturan hukum lingkungan di Indonesia
setelah Konferensi Stockholm 1972?
Setelah munculnya kesepakatan konferensi Stockholm 1972, Indonesia menindaklanjutinya
dengan dikeluarkannya Keputusan presiden No. 16 Tahun 1972 yang didalamnya berisi
Indonesia membentuk suatu panitia antardepartemen yang selanjutnya disebut dengan Panitia
Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan hidup yang berfungsi untuk
merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di Bidang Lingkungan Hidup. Panitia Perumus
dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan hidup berhasil merumuskan suatu
program kebijaksanaan lingkungan hidup sebagai mana yang tertuang pada butir 10 bab II
GBHN 1973-1978 dan bab IV Repelita.
Pada Tahun 1975, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1975 yang menjadi dasar
pembentukan Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam yang memiliki tugas pokok
untuk menelaah secara nasional pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi di
masa kini dan juga mendatang serta implikasi pola tersebut terhadap bidang lain.
Pada Tahun 1976, Penyusunan RUU Lingkungan Hidup dimulai dengan pembentukan kelompok
kerja hukum dan aparatur dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
Pada Tahun 1978, dalam kabinet Pembangunan II diangkat menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkunagn hidup yang berupaya untuk memantapkan koordinasi
pengelolaan lingkungan daerah, Menteri Dalam Negeri menindaklanjuti dengan menetapkan
Keputusan mendagri No. 240 tahun 1980 yang didalamnya terdapat Biro Kependudukan dan
Lingkungan hidup.

Terkait pengaturan Hukum lingkungan di Indonesia juga terjadi perkembangan yang pada
dasarnya di setiap perkembangan tersebut telah memuat prinsip-prinsip dalam Dekralasi
Stockholm seperti, persoalan kewenangan negaram hak, dan kewajiban masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Perkembangan ini dimulai ketika, Indonesia mengeluarkan UU
No. 4 Tahun 1982 tentang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang kemudian digantikan dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

9. Jelaskan pentingnya pelibatan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkunagan


hidup!
Perlindungan dan pengelolaan lingungan hidup sendiri memiliki arti suatu Upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Berdasarkan pengertian
tersebut, sudah sepatutnya keterlibatan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingungan hidup diperlukan. Sebab dalam prakteknya, masyarakat sendiri juga yang akan
mengalami dampak yang terjadi apabila perlinduangan dan pengelolaan lingunagn hidup tersbeut
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk itu, agar masyarakat dapat mengerti bagaimana cara
dan upaya yang perlu dilakukan untuk perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup agar
masyarakat tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan
lingkungan. Selain itu, dengan dimasukannya keterlibatan masyarakat pada perlindungan dan
pengelolaan lingkunagan hidup proses Upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum terhadap ingkunagn akan lebih efektif dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai