Anda di halaman 1dari 12

Putra, 2020 l Catatan dan Potensi Jamur Makro di Pulau Belitung

Bioeduscience: Jurnal Pendidikan Biologi & Sains


http://journal.uhamka.ac.id/index.php/bioeduscience

Keanekaragaman Fungi Entomopatogen Lokal Asal Cagar Alam Gunung Tukung Gede
Rida Oktorida Khastini1,2*, Nani Maryani1,2, Iing Dwi Lestari1, Ika Rifqiawati1, Nada Ummatul Millah1
1 Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jl. Ciwaru Raya No.25, Cipare, Kec. Serang, Kota Serang, Banten
42117
2 Pusat Unggulan Inovasi Perguruan Tinggi (PUI-PT) Ketahanan Pangan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jl Raya Jakarta Km
4 Pakupatan Serang Banten
*Email Koresponden: rida.khastini@untirta.ac.id

ARTICLE INFO ABSTRAK


Article history
Background: Fungi entomopatogen merupakan salah satu aset kenaekaragaman hayati yang potensial
Received: …………… untuk dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati. Akan tetapi informasi mengenai keragaman fungi
Accepted: …………… entomopatogen terutama di cagar alam Gunung Tukung Gede (GTG) sangat terbatas. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menyediakan informasi mengenai keanekaragaman hayati fungi
Published:
entomopatogen di cagar alam GTG Metode: Cendawan entomopatogen dieksplorasi dari 3 stasiun
berbeda yaitu hutan primer, hutan sekunder dan hutan perambahan. Fungi entomopatogen ditumbuhkan
Kata kunci: dalam mediun buatan dan diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil: Berdasarkan hasil
eksplorasi diperoleh 15 spesimen fungi entomopatogen yang terdiri dari 5 famili, dan 8 jenis fungi yaitu
Keanekaragaman
Basidiobolus haptosporus, Beauveria bassiana., Metarhizium aniesophalie, Paecilomyces sp.,
Cendawan Aschersonia sp., Aspergillus sp.1, Aspergillus sp.2, dan Septobasidium sp. Fungi entomopatogen ini
Entomopatogen, Cagar
menginfeksi inang serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera, Hemiptera dan Homoptera Indeks
keanekaragaman jenis cendawan entomopatogen pada 3 stasiun berturut-turut adalah 1.5495; 1.3322;
Alam Gunung Tukung dan 0.6365 (kategori sedang). Kesimpulan: Cagar alam GTG memiliki kekayaan fungi entomopatogen
Gede, yang unik Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan pada berbagai wilayah guna mengetahui
keragaman dan potensi pemanfaaatan fungi entomopatogen yang ada.

ABSTRACT

Kata kunci: Background: Entomopathogenic fungi are one of the potential biodiversity assets to be used as
Diversity, biological control agents. However, information about the diversity of entomopathogenic fungi,
especially in the Gunung Tukung Gede (GTG) nature reserve is very limited. The purpose of this study
Entomophahogenic
was to provide information on the biodiversity of entomopathogenic fungi in the GTG nature reserve .
Fungi, Gunung Methods: The entomopathogenic fungi were explored from 3 different stations: primary forest,
tukung Gede nature secondary forest and disturbed forest. Entomopathogenic fungi were isolated identified both
reserve macroscopically and microscopically. Results: A total of 15 specimens of entomopathogenic fungi
consisting of 5 families and 8 types of fungi successfully isolate. The entomopathogen fungi were
Basidiobolus haptosporus, Beauveria bassiana., Metarhizium aniesophalie, Paecilomyces sp.,
Aschersonia sp., Aspergillus sp. 1, Aspergillus sp.2, and Septobasidium sp. These fungi infect insect
hosts from the orders Lepidoptera, Hemiptera and Homoptera. The index of the diversity of
entomopathogenic fungi at 3 consecutive stations is 1.5495; 1.3322; and 0.6365 (medium category).
Conclusions: The GTG Nature Reserve has a unique diversity of entomopathogenic fungi. Therefore,
further research is needed in order to determine the diversity and potential utilization of the existing
entomopathogenic fungi.
© 2020 Oleh Bioeduscience: Jurnal Pendidikan Biologi dan Sains, Uhamka, Jakarta. Artikel ini bersifat open access yang didistribusikan di
bawah syarat dan ketentuan Creative Commons Attribution (CC-BY) license.

Bioeducscience: Jurnal Pendidikan Biologi & Sains | 1


Putra, 2020 l Catatan dan Potensi Jamur Makro di Pulau
Belitung

Bioeducscience: Jurnal Pendidikan Biologi & Sains | 2


PENDAHULUAN Putra, 2020 l Catatan dan Potensi Jamur Makro di Pulau
Belitung sehingga tidak membunuh serangga yang berguna
Cagar alam merupakan kawasan Pada proses infeksi, fungi entomopatogen juga dapat
perlindungan alam yang memiliki flora dan fauna yang memproduksi metabolit sekunder ataupun produksi
khas. Cagar alam Gunung Tukung Gede (GTG enzim ekstraselular. Produksi senyawa metabolit
merupakan daerah konservasi yang terletak di sekunder dan enzim ekstraselular oleh fungi
Kabupaten Serang Provinsi Banten. Cagar alam entomopatogen (Ismail et al 2020) dapat menekan
Gunung Tukung Gede (GTG) seluas 1.700 Ha populasi serangga hama yang merusak tanaman
ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Keputusan (Chandrasekaran et al., 2012).
Menteri Pertanian No.395/Kpts/Um/6/1979 tanggal Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian
23 Juni 1979 dan diperbaharui melalui Keputusan menunjukan bahwa terdapat lebih dari 700 jenis fungi
Menteri Kehutanan No. SK.3622/Menhut- entomopatogen yang diwakili oleh 90 genera (Goettel
VII/KUH/2014 tanggal 6 Mei 2014 Cagar Alam seluas et al. 2010 yang telah banyak dipelajari di kawasan
1.519,50 Ha m (BKSDA, 2016). Asia Pasifik. Jenis entomopatogen yang sebagian
Cagar alam GTG memiliki dua tipe vegetasi besar ditemukan pada serangga yaitu Beauveria dan
yakni tipe vegetasi hutan hujan pegunungan dan hutan Metarhizium. Kedua jenis cendawan ini diketahui
tanaman yang sangat mendukung hewan, tumbuhan, sering kali menginfeksi serangga dari kelompok
Lepidoptera, Homoptera, Coleoptera dan Diptera
maupun mikroorganisme untuk tumbuh dan
(Khastini dan Wahyuni 2017).
berkembang, sehingga dapat dipastikan wilayah ini Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi. menyediakan informasi mengenai keanekaragaman
Biodiversitas dapat menjadi aset yang sangat hayati fungi entomopatogen di C.A GTG yang menjadi
berguna. Akan tetapi masih ditemukan berbagai dasar untuk studi lanjutan mengenai potensi
kendala seperti kurangnya data informasi. Hal ini pemanfaatan fungi tersebut di masa mendatang.
menyebabkan kegiatan eksplorasi, identifikasi Metode
maupun inventarisasi keanekaragaman hayati yang Penelitian keanekaragaman cendawan
dilakukan masih terbatas (Purwati, 2013). Oleh entomopatogen ini dilaksanakan Maret 2019 hingga
karena itu hilangnya keanekaragaman hayati Oktober 2020. Pengambilan sampel dilakukan di
Cagar Alam GTG, Kabupaten Serang, Provinsi Banten
merupakan tantangan lingkungan yang paling banyak
yang secara geografis terletak pada 6°14’ - 6°20’ LS
dihadapi di negara berkembang seperti Indonesia dan 105°52’ - 105°57’ BT (Gambar 1)
(Adenle et al 2015)
Informasi terkait keanekaragaman
mikroorganisme salah satunya kelompok fungi
entomopatogen di cagar alam GTG masih minim dan
belum banyak diteliti. Sementara itu fungi
entomopatogen memiliki banyak potensi untuk
dimanfaatkan dalam kehidupan manusia mulai dalam
dunia kedokteran yang digunakan sebagai antibakteri
(Lee at al 2005) hingga pada dunia pertanian yang
digunakan sebagai agen pengendali hayati (Evans et al
2018).
Sebagai agen pengendali hayati, fungi
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sampel fungi
entomopatogen menjadi pengatur utama populasi
serangga dalam strategi pengelolaan hama terpadu entomopatogen di cagar alam GTG
dan menjadi efektif aplikasinya dibandingkan dengan
instektisida kimia karena tidak menimbulkan Metode dalam pemilihan area pengamatan
yaitu menggunakan metode jelajah pada 3 stasiun
resistensi pada hama yang dikendalikan (Jiang et al
2020). Fungi entomopatogen memiliki miselium yang yang berbeda, yaitu hutan primer, sekunder dan
daerah perambahan yang terdapat di cagar alam. GTG.
tumbuh dengan sangat cepat mengkolonisasi serangga
sebagai inangnya. Fungi tersebut juga dapat Parameter lingkungan di lokasi pengambilan sampel
diukur dan didokumentasikan (Tabel 1).
memproduksi toksin (Davari et al 2015) yang bersifat
spesifik pada serangga target tertentu dan efek
samping bagi organisme non target sangat rendah

Bioeducscience: Jurnal Pendidikan Biologi & Sains | 3


Tem Intensi
p. Kelem tas
Stasiun GPS bapan Karakter vegetasi
(oC) Cahay
relatif a
(%) (Lux)
1.HP 6°07’5 28 92 1323 Tumbuhan yang 106°00 Bayur
8.1”LS mendominasi di ’15.0” (Pterpspernum
- lokasi adalah BT javanicum)dan
106°00 Pohon mahoni durian (Durio
’23.1” (Swietenia zibethinus)
BT macrophylla), Pulus 3. P 6°08’4 32 52 1570 Tumbuhan yang
( Laporta 8.9”LS mendominasi di
stimulant), dan - lokasi adalah
Burahol 106°01 tanaman perkebunan
(Stelechocarpus ’45.8” yaitu Coklat
burahol) BT (Theobroma cacao),
2.HT 6°08’1 31 69 1441 Tumbuhan yang Melinjo (Gnetum
3.6”LS mendominasi di gnemon) dan Kopi
- lokasi adalah Pohon (Coffea canephora)
Ket: HP: Hutan Primer, HS: Hutan Sekunder, P: Hutan
Perambahan
Isolasi dan Identifikasi fungi entomopatogen yakni pengamatan secara kasat mata meliputi
warna, bentuk dan ukuran stroma, warna dan
Pengambilan sampel dilakukan pada fungi ukuran sinema serta inangnya. Pengamatan secara
entomopatogen yang hidup parasit pada serangga mikroskopi dilakukan dengan membuat irisan tipis
sebagai inang, terdapat pada bagian organ tumbuhan spesimen, kemudian dibuat preparat dengan
seperti daun, ranting maupun batang dan serasah pewarnaan biru metilen untuk diamati
yang terletak di lantai hutan. Spesimen yang telah menggunakan mikroskop (Pratiwi, 2012).
berhasil ditemukan dilokasi penelitian, kemudian Pengamatan mikroskopi meliputi bentuk dan ukuran
peritesium, askus dan askospora, warna dan bentuk
didokumentasikan dengan habitat aslinya, lalu
piknidium dan konidium. Identifikasi mengacu pada
disimpan di dalam kantung kertas yang kemudian Luangsa-ard et al. (2007, 2008) berdasarkan
akan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. struktur reproduksi fungi yang terdapat pada tubuh
Isolasi dan identifikasi fungi entomopatogen hewan serangga.
dilakukan di Laboratorium Pendidikan Biologi, FKIP,
UNTIRTA melalui teknik isolasi langsung yaitu Indeks Keanekaragaman
menggoreskan spora fungi yang tumbuh pada
Sampel yang berhasil teridentifikasi
permukaan tubuh inangnya pada media
kemudian dihitung nilai keanekaragamannya.
pertumbuhan Pottato Dextrose Agar (PDA) (Luangsa- Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai
Ard et al. 2006). Cawan yang berisi isolat kemudian keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas
disimpan di box tertutup dengan suhu 25o C. Spora struktur komunitas. Rumus yang digunakan untuk
yang telah tumbuh selanjutnya dipindahkan ke media menghitung keanekaragaman spesies adalah rumus
PDA yang baru untuk mendapatkan biakan murni. dari indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Batten
Identifikasi dilakukan melalui pengamatan 197
makroskopi dan mikroskopi. Secara makroskopi
6).
H’< 1: Keanekaragaman rendah, jumlah individu tidak
H' = -Σpi ln pi; pi = ni/N
seragam, ada spesies yang dominan
dengan:
H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wienner HASIL
Pi= Kelimpahan relatif dari suatu spesies
ni= jumlah individu dari suatu spesies Fungi entomopatogen merupakan
Nt= jumlah total individu seluruh spesies mikroorganisme yang hidup parasit pada serangga
Selanjutnya nilai H’ yang diperoleh yang banyak ditemui di daerah tropis. Gambar 1
dicocokkan dengan kriteria indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa di cagar alam GTG, inang
Shannon-Wienner
H’> 3: Keanekaragaman tinggi, jumlah individu serangga yang terbanyak ditumbuhi oleh cendawan
seragam, tidak ada spesies yang dominan. entomopatogen ini adalah Lepidoptera sebesar
1≤ H’≤ 3: Keanekaragaman sedang, jumlah individu 37.5% diikuti Hemiptera dan Homoptera masing-
hampir seragam, ada beberapa spesies yang dominan. masing sebanyak 25% %.
Berdasarkan hasil eksplorasi, sebanyak 15
spesimen fungi entomopatogen berhasil
teridentifikasi yang terdiri dari 5 famili, dan 8 jenis
fungi entomopatogen seperti yang terdapat pada
Tabel 2. Famili fungi entomopatoden tersebut
adalah Trichocomaceae (2 spesies),
Clavicipitaceae (2 spesies), Basidiobolaceae,
Moniliaceae dan Septobasidiaceae masing-masing
dengan 1 spesies.

Gambar1. Profil sebaran cendawan entomopatogen


yang teridentifikasi pada serangga inang

Tabel 2. Hasil identifikasi cendawan entomopatogen di Cagar Alam Gunung Tukung Gede

Ciri Koloni
No Famili Nama Spesies Warna koloni Inang
Hilfa Konidia
Atas Bawah
Basidiobola
1. Basidiobolus Abu Putih Hialin, Bulat Lepidoptera
ceae haptosporus keputihan septa
Hialin, Oval
2. Beauveria Putih Putih Lepidoptera
bassiana tidak
Clavicipita bersepta
ceae Putih
3. Aschersonia Putih Hialin, Bulat Homoptera
kekuni
sp. septa
ngan
4. Moniliaceae Metarhizium Abu Abu Hialin, Bulat Hemiptera
aniesophalie septa
5. Paecilomyces Cokelat Cokelat Hialin, Bulat Homoptera
sp. septa
6. Trichocoma Aspergillus Abu Hijau Hialin, Oval Hemiptera
sp.1 tidak
ceae
bersepta
7. Aspergillus Ungu Ungu Hialin, Bulat
sp.2 septa
Septobasidia
8. Septobasidium Hitam Hitam Hialin, Oval Lepidoptera
ceae sp. septa
Indeks keanekaragaman cendawan Kaitannya dengan hal ini, Purwowidodo (2015)
entomopatogen dihitung menggunakan indeks menyatakan bahwa fungi memiliki perbedaan syarat
keanekaragaman Shannon-Wienner (H’). tumbuh terutama terhadap paparan sinar matahari. Hal
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa ini menyebabkan perbedaan keanekaragaman jenis fungi
angka indeks plot pertama dan kedua secara yang tumbuh di lokasi tersebut. Tutupan kanopi yang
berturut-turut berada H´= 1.5495 dan H´= 1.3322 bervariasi ini juga didukung dengan area hutan yang
(Gambar 2). terlihat lebih luas daripada area di stasiun ketiga.
Koneril dan Soroyo (2013) menyatakan bahwa struktur
habitat dan bentuk vegetasi yang beragam memiliki
6,0 hubungan positif dengan dengan keragaman suatu
5,0 spesies termasuk fungi entomopatogen.
Indeks Shannon-wiener

4,0
Persentase keanekaragaman suatu organisme
3,0 1,529500 dalam suatu ekosistem dapat diketahui dari nilai H’.
2,0 0 1,3322 Nilai keanekaragaman spesies dapat digunakan juga
1,0 0,6365 untuk menngetahui mengukur stabilitas komunitas
,0 yang ada di lingkungan (Thibaut & Connolly 2013).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Berdasarkan analisis indeks keanekaragaman
Stasiun Pengambilan sampel (H’) pada ketiga stasiun lokasi pengambilan sampel
fungi cendawan entomopatogen angka sedang, namun
Gambar 2. Indeks Keanekaragaman Cendawan dua dari tiga stasiun, yaitu stasiun satu dan stasiun dua
memiliki indeks yang lebih tinggi dibandingkan
Entomopatogen di Cagar Alam Gunung Tukung
dengan stasiun ketiga.
Gede
Nilai indeks ini menunjukkan keanekaragaman
PEMBAHASAN
tingkat “sedang”. Keanekaragaman tingkat sedang ini
Fungi entomopatogen mampu pada penelitian menunjukkan kondisi lingkungan di kedua stasiun
ini ditemukan pada 3 ordo inang serangga yang berbeda. tersebut masih terbilang cukup baik dan mendukung
Menurut Ortiz-Urquiza, & Keyhani (2013) fungi kehidupan mikroorganisme didalamnya khususnya
entomopatogen dapat menginfeksi kisaran inang serangga cendawan entomopatogen, namun perlu adanya usaha
inang yang sangat luas. Mekanisme infeksi dilakukan oleh untuk tetap menjaga kelestarian cendawan
fungi entomopatogen pada inang yang rentan melalui entomopatogen tersebut.
penetrasi langsung di kutikula sebagai interaksi awal.
Fungi entomopatogen telah mengembangkan mekanisme Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui
untuk adhesi dan pengenalan isyarat permukaan inang bahwa selisih angka yang relatif sangat kecil, yaitu
yang membantu mengarahkan respons adaptif yang 0,2173. Selisih yang relatif kecil ini disebabkan oleh
mencakup produksi: (a) enzim hidrolitik, asimilasi, dan / kemiripan struktur vegetasi penyusun yang terdapat di
atau detoksifikasi termasuk lipase/esterase, katalase, hutan primer dan hutan sekunder. Kedua stasiun ini
sitokrom P450, protease, dan kitinase; (b) struktur infeksi memiliki tipe habitat yang didominasi oleh jenis
khusus, misalnya appressoria atau tabung penetran; dan pepohonan yang tinggi. Akan tetapi jenis kanopi nya
(c) metabolit sekunder dan metabolit lain yang berbeda yang berdampak pada intensitas sinar matahari
memfasilitasi infeksi. yang masuk pun menjadi berbeda.

Kondisi yang mendukung pertumbuhan fungi Berbeda dengan nilai indeks yang terlihat pada
entomopatogen kehidupan dipengaruhi oleh faktor-faktor stasiun pertama dan kedua, nilai indeks
abiotik yang ada lingkungan tempat tumbuh fungi keanekaragaman pada stasiun ketiga ini tergolong
entomopatogen. Faktor abiotik tersebut meliputi faktor keanekaragaman tingkat rendah, dengan nilai indeks
fisika dan kimia berupa suhu, kelembaban, intensitas sebesar 0.6365. Hal ini disebabkan karena tipe habitat
cahaya, dan derajat keasaman (pH). Kondisi lingkungan pada stasiun ketiga ini merupakan hutan perambahan
di 3 stasiun pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel yang struktur vegetasi penyusun yang berbeda dari
1. hutan primer dan sekunder.
Area ini di dominasi oleh hasil perambahan warga
hutan primer namun tidak dapat menyamai nilai
sekitar cagar alam yang berupa pohon durian (Durio
keanekaragaman hayatinya.
zibethinus) dan melinjo (Gnetum gnemon). Luas area
pada hutan perambahan ini pula nampak lebih kecil Stasiun 3 memiliki indeks keanekaragaman
dibandingkan dengan hutan primer dan sekunder. yang paling rendah di antara stasiun lainnya. Hal ini
Kondisi ini menyebabkan jenis tumbuhan maupun disebabkan oleh wilayah stasiun 3 merupakan daerah
serangga yang hidup didalamnya menjadi lebih sedikit, perambahan yang sering dikunjungi warga sekitar
sehingga serangga inang cendawan entomopatogen Cagar Alam GTG. Area ini berdekatan dengan
menjadi lebih sedikit pula. pemukiman penduduk sehingga seringkali warga
sekitar yang tinggal di dekat kawasan cagar alam
Adanya perbedaan angka keanekaragaman berlalu lalang disekitar kawasan sehingga
cendawan entomopatogen di ketiga tipe habitat ini mengganggu pertumbuhan cendawan entomopatogen.
erat kaitannya dengan faktor abiotik Menurut Wang Pada hutan perambahan pula sering dilalui kendaraan
dan Fath (2017), organisme dan lingkungan bermotor dari warga sekitar sehingga menyebabkan
abiotiknya berhubungan erat dan saling kondisi udara yang cukup buruk bagi kelangsungan
mempengaruhi satu sama lain. Kaitannya dalam hal ini hidup cendawan entomopatogen.
tumbuhnya cendawan entomopatogen sangat
tergantung oleh suhu lingkungan, sehingga cendawan KESIMPULAN
entomopatogen harus berada di lingkungan yang Penelitian ini telah memberikan data dasar
sesuai. tentang keanekaragaman fungi entomopatogen yang
keanekaragaman dan persebaran lumut sangat
Stasiun penelitian 1 memiliki nilai indeks
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Hasil eksplorasi
keanekagaraman yang paling tinggi di antara stasiun
keanekaragaman cendawan entomopatogen di Cagar
penelitian yang lain, yaitu sebesar 1.5495. Menurut
Alam GTG diperoleh 15 sampel yang terdiri dari 8 jenis
Moris et al. (2014) nilai indeks keanekaragaman
cendawan. Fungi entomopatogen ini menginfeksi inang
dipengaruhi oleh dua komponen yaitu jumlah dan
serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera, Hemiptera
kemerataan spesies. Penelitian ini indeks
dan Homoptera. Indeks keanekaragaman cendawan
keanekaragamannya cenderung tinggi karena tidak
entomopatogen pada 3 stasiun secara berturut-turut adalah
ada spesies yang mendominasi pada setiap stasiun.
1.5295; 1.3322; dan 0.6365 (kategori sedang).
Hal ini juga didukung dengan faktor abiotik yang
memadai. Suhu dan kelembaban pada area ini pula REFERENSI
cukup mendukung pertumbuhan cendawan
Adenle, A.A.; Stevens, C.; Bridgewater, P.
entomopatogen.
Stakeholder Visions for Biodiversity Conservation
Stasiun penelitian kedua memiliki nilai indeks in Developing Countries. Sustainability 2015, 7,
keanekaragaman yang cenderung rendah, meskipun 271-293.
masih berada pada kriteria sedang. Indeks
keanekaragaman pada stasiun ini hanya sebesar Barlow, J., Gardner, T. A., Araujo, I. S., Ávila-Pires,
1.3322. Rendahnya indeks keanekaragaman pada T. C., Bonaldo, A. B., Costa, J. E., Esposito, M. C.,
stasiun ini disebabkan oleh area stasiun yang Ferreira, L. V., Hawes, J.,. Hernandez, M. I. M,
merupakan hutan sekunder. Hutan sekunder pada Hoogmoed, M. S., Leite, R. N., Lo-Man-Hung, N.
cagar alam gunung tukung gede memiliki tutupan F., Malcolm, J. R., Martins, M. B., Mestre, L. A.
kanopi yang cenderung kurang rapat, sehingga suhu M., Miranda-Santos, R., Nunes-Gutjahr, A. L.,
yang terdapat di area tersebut cukup tinggi. Overal, W. L, Parry, L., Peters, S. L.,. Ribeiro-
Junior, M. A M., da Silva, N. F. da Silva C. Motta,.
Suhu yang tinggi ini pula menghasilkan kelembaban Peres C. A. 2007,Proceedings of the National
udara yang rendah, sehingga pertumbuhan cendawan Academy of Sciences: 104 (47) 18555-18560;
entomopatogen di area tersebut kurang optimal. Hal ini DOI: 10.1073/pnas.0703333104
dibuktikan dengan hanya ditemukan sebanyak 4 jenis
cendawan entomopatogen. Barlow et al., (2007) Batten L. 1976. Bird communities of some
menyatakan bahwa hutan sekunder yang beregenerasi Killarney woodlands. Proc Royal Irish Acad
secara alami dapat menyediakan jasa konservasi 76B:258-301.
selayaknya
BKSDA. 2016. Informasi Kawasan Konservasi
Lingkup BKSDA Jabar.www.ksdajabar.com
Chandrasekaran, R., K. Revathi, S. Nisha , S. A. Invertebrate-Pathogenic Fungi. Workshop
Kirubakaran, S. S. Narayanam and S. S. Nathan. Manual. Pathum Thani: NSTDA.
2012. Physiological Effect of Chitinase Purified
from Bacillus subtilis Against the Tobacco Luangsa-ard, J. J., Tasanathai, K., Mongkolsamrit,
Cutworm Spodoptera litura Fab. Pesticide S., Hywel-Jones, N. (2008). Luangsa-ard, J. J.,
Biochemistry and Physiology 10(4), 65--71. Tasanathai, K., Mongkolsamrit, S., Hywel-Jones,
N. (2008). Atlas of invertebrate-pathogenic fungi
Davari B, Limoee M, Khodavaisy S, Zamini G, Izadi of Thailand . Workshop Manual. Pathum Thani:
S. Toxicity of entomopathogenic fungi, Beauveria NTSDA.Atlas of invertebrate-pathogenic fungi of
bassiana and Lecanicillium muscarium against a Thailand . Workshop Manual. Pathum Thani:
field-collected strain of the German cockroach NTSDA
Blattella germanica (L.) (Dictyoptera: Blattellidae).
Trop Biomed. 2015 Sep;32(3):463-70. PMID: Morris, E. K., Caruso, T., Buscot, F., Fischer, M.,
26695206. Hancock, C., Maier, T. S., Meiners, T., Müller, C.,
Obermaier, E., Prati, D., Socher, S. A.,
Evans, H. C., Elliot, S. L., & Barreto, R. W. (2018). Sonnemann, I., Wäschke, N., Wubet, T., Wurst, S.,
Entomopathogenic fungi and their potential for the & Rillig, M. C. (2014). Choosing and using
management of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) diversity indices: insights for ecological
in the Americas. Memorias do Instituto Oswaldo applications from the German Biodiversity
Cruz, 113(3), 206–214. Exploratories. Ecology and evolution, 4(18), 3514–
https://doi.org/10.1590/0074-02760170369 3524. https://doi.org/10.1002/ece3.1155
Goettel MS, Eilenberg J, Glare TR. 2010. Ortiz-Urquiza, & Keyhani (2013). Action on the
Entomopathogenic Fungi and their Role in Surface: Entomopathogenic Fungi versus the Insect
Regulation of Insect Populations. In: Gilbert LI, Cuticle. Insects, 4(3), 357–374.
Gill SS (eds.). Insect Control Biological and https://doi.org/10.3390/insects4030357 )
Synthetic Agents, Elsevier, Nederlands
Purwati, N. 2013. Keanekaragaman Jenis Kumbang
Ismail HM, Freed S, Naeem A, Malik S, Ali N. The (Coleoptera) dikawasan Cagar Alam Tukung Gede
Effect of Entomopathogenic Fungi on Enzymatic Serang-Banten. Skripsi. Fakultas Keguruan dan
Activity in Chlorpyrifos-Resistant Mosquitoes, Ilmu Pendidikan. Universitas Sultan Ageng
Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). J Med Tirtayasa. Serang. 76 hlm.
Entomol. 2020 Jan 9;57(1):204-213. doi:
10.1093/jme/tjz143. PMID: 31586214. Purwowidodo, 2015. Studi Keanekaragaman Hayati
Kupu-Kupu (Sub Ordo Rhopalocera) dan Peranan
Jiang, W.; Peng, Y.; Ye, J.; Wen, Y.; Liu, G.; Xie, J. Ekologisnya di Area Hutan Lindung Kaki Gunung
Effects of the Entomopathogenic Fungus Prau Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Skripsi.
Metarhizium anisopliae on the Mortality and Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas
Immune Response of Locusta migratoria. Insects Islam Negeri Walisongo Semarang. Semarang. 230
2020, 11, 36. hlm.
Khastini, R.O. & Wahyuni, I. 2017. Eksplorasi Thibaut, L. M., & Connolly, S. R. (2013).
Keragaman Fungi Entomopatogen di Desa Understanding diversity-stability relationships:
Cikeusik-Baduy Dalam, Banten. Scientium 6(1): 1- towards a unified model of portfolio effects.
-10. Ecology letters, 16(2), 140–150.
https://doi.org/10.1111/ele.12019
Lee SY, Nakajima I, Ihara F, Kinoshita H, Nihira T.
Cultivation of entomopathogenic fungi for the Wang, C., Bi, J., & Fath, B. D. (2017). Effects of
search of antibacterial compounds. abiotic factors on ecosystem health of Taihu Lake,
Mycopathologia. 2005 Nov;160(4):321-5. doi: China based on eco-exergy theory. Scientific
10.1007/s11046-005-0179-y. PMID: 16244901. reports, 7, 42872.
https://doi.org/10.1038/srep42872
Luangsa-ard J. J., Tasanathai, K., Mongkolsamrit,
S., Hywel-Jones, N.L., Spatafora, J. W. (2006).
The Collection, Isolation, and Taxonomy of

Anda mungkin juga menyukai