Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Kajian Teoritik

1. Pembelajaran Matematika

Matematika adalah ilmu yang merupakan alat komunikasi, alat pikir, dan

alat pemecahan masalah praktis. Menurut Dharmawan (2011: 4), untuk

memahami matematika, pertama-tama matematika harus diletakkan sebagai

bagian integral dari praktik manusia membangun alam kehidupannya di muka

bumi. Aktivitas bermatematika harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan

proses sosio-historis kerja manusia secara kolektif di tengah alam raya. Jadi,

matematika yang sering dianggap ilmu abstrak justru penting untuk menghadapi

persoalan dunia nyata.

Menurut Ruseffendi (Heruman, 2010: 1), matematika adalah bahasa

simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu

tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang

tidak di definisikan, ke aksioma atau postukat dan akhirnya ke dalil. Soedjadi

(Heruman, 2010: 1), mangatakan matematika memiliki objek tujuan abstrak

bertumpu pada kesepakatan dan pola pikir yang deduktif.

Pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan guru mata

pelajaran matematika dalam mengajarkan kepada para sisanya yang terkandung

upaya guru untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan,

9
potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa tentang matematika yang amat

beragam agar

10
10

terjadi interaksi optimal anatara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa dalam

mempelajari matematika (Suyitno, 2004: 2).

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa matematika

adalah ilmu dasar yang dipandang sebagai suatu bahasa, struktur logika, batang

tubuh dari bilangan dan ruang, rangkaian metode untuk menarik kesipulan, esensi

ilmu terhadap dunia fisik dan sebagai aktivitas intelektual.

Tujuan belajar matematika adalah mendorong siswa untuk menjadi

pemecah masalah berdasarkan proses berpikir yang kritis, logis dan rasional. Oleh

sebab itu materi kurikulum dan strategi pembelajaran perlu memperhatikan hal

sebagai berikut: (1) menekankan penemuan, tidak ada hafalan; (2)

mengeksplorasika pola-pola peristiwa dan proses yang terjadi di alam, tidak hanya

menghafal rumus; (3) merumuskan ketertarikan-ketertarikan yang ada

dalamhubungan secara keseluruhan, tidak hanya penyelesaian soal yang diberikan

dalam latihan matematika. (Martini, 2014: 177)

2. Bahan Ajar Interaktif

Menurut National Centre for Competency Based Training ( Andi

Prastowo, 2012: 16), bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan

untuk membantu guru atau intruktur dalam melaksanakan proses pembelajaran di

kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun tak tertulis. Bahan

ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sitematis baik tertulis maupun

tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan peserta didik


11

untuk belajar. Pendidik harus menggunakan bahan ajar yang sesuai dengan

kurikulum, karakteristik sasaran, tuntutan pemecahan masalah belajar (Daryanto

& Aris, 2014: 171). Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan dapat

disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan segala bentuk bahan yang disusun

untuk mencapai tujuan pembelajaran baik tertulis maupun tidak tertulis yang

memungkinkan siswa untuk termotivasi untuk belajar sehingga dapt mencapi

standar kompetnsi yang telah ditentukan.

Bahan ajar mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kegiatan

pembelajaran. Adapun fungsi bahan ajar menurut Joni yang dikutip dari Harijanto

seperti:

a. Memberikan petunjuk yang jelas bagi pembelajar dalam mengelola kegiatan

belajar mengajar.

b. Meyediakan alat/bahan lengkap yang diperlukan untuk setiap kegiatan.

c. Merupakan media penghubung antara guru dan peserta didik.

d. Dapat dipakai oleh peserta didik sendiri dalam mencapai kemampuan yang

telah ditetapkan.

e. Dapat dipakai sebagai program perbaikan.

Menurut Amri & Ahmadi (2010: 159) bahan ajar disusun dengan tujuan:

a. Menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan

mempertimbangkan kebutuhan siswa, yakni bahan ajar yang sesuai dengan

karakteristik dan setting atau lingkungan sosial siswa.


12

b. Membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar di samping buku-

buku teks yang terkadang sulit diperoleh.

c. Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Pengembangan bahan ajar hendaklah memperhatikan pronsip-prinsip

pembelajaran. Diantara prinsip pembelajaran tersebut adalah:

a. Mulai dari yag mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret

untuk memahami yang abstrak.

b. Pengulangan akan memperkuat pemahaman.

c. Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman

siswa

d. Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu

keberhasilan belajar.

e. Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setehap, akhirnya akan

mencapai ketinggian tertentu.

f. Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong siswa terus mencaoai

tujuan (Amri & Ahmadi, 2010:160).

Sebuah bahan ajar paling tidak mencangkup antara lain: (1) petunjuk

belajar (petunjuk siswa/guru), (2) komptensi yang akan dicapai, (3) konten atau isi

materi pembelajaran, (4) informasi pendukug, (5) latihan-latihan, (6) petujuk kerja

dapat berua lembar kerja (LK), (7) evaluasi, (8) respon, atau balikan tehadap hasil

evaluasi (Ningrum, dkk, 2014: 156).


13

Bahan ajar memiliki berbagai jenis, ada yang cetak maupun non cetak.

Bahan ajar cetak yang sering dijumpia antar lain berupa handout, buku, modul,

brosur, dan lembar kerja siswa. Sedangkan bahan ajar non cetak meliputi bahan

ajar dengar (audio) seperti kaset, radio, piringan hitam. Selain itu ada juga jenis

bahan ajar yang lain seperti bahan ajar pandang dengar (audio visual) dan bahan

ajar multimedia interaktif (interactive teaching material).

Bahan ajar interaktif merupakan seperangkat materi pembelajaran yang

dikemas sehingga dapat memberikan umpan balik dan memungkinkan siswa

belajar secara mandiri. Apabila bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum

tidak ada ataupun sulit diperoleh, maka membuat bahan belajar sendiri adalah

suatu keputusan yang bijak. Untuk mengembangkan bahan ajar referensi dapat

diperoleh dari berbai sumber baik itu berupa pengalaman ataupun pengetahuan

sendiri. Demikian pula referensi dapat diperoleh dari buku, media masa, internet,

dll. Namun demikian, kalaupun bahan yang sesuai dengan kurikulum cukup

melimpah guru tidak perlu mengembangkan bahan sendiri. Seringkali bahan yang

terlalu banyak membuat siswa bingung, untuk itu maka guru perlu membuat

bahan ajar menjadi pedoman bagi siswa.

Prastowo (2011) menyatakan bahwa proses pembelajaran dengan

menggunakan bahan ajar interaktif dapat mendorong siswa untuk bersikap aktif.

Bahan ajar interaktif ini tidak seperti bahan ajar cetak atau buku teks pelajaran

yang paling banyak digunakan diantara semua bahan ajar yang bersifat pasif dan

tidak bisa melakukan kendali terhadap penggunanya (Prastowo, 2011: 329).

Bahan ajar interaktif dapat memperjelas penyampaian materi secara animasi,


14

interaktif dan menarik dan diberikan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari

dengan ditampilkan secara konkret, sehingga dapat mempermudah siswa dalam

memahami konsep materi sekaligus memungkinkan terjadinya komunikasi dua

arah agar proses pembelajaran tidak monoton.

3. Budaya Banten

Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi di Negara kesatuan Republik

Indonesia ditetapkan berdasarkan UU No 23 tahun 2000. Secara Geografis

wilayah Provinsi Banten berbatasan: sebelah utara bebatasan dengan Laut Jawa;

sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda; sebelah timur berbatasan dengan

Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat; sebelah selatan berbatasan dengan

Samudera Hindia.

Seperti halnya tempat lain, Banten memiliki karakteristik dan budaya

tersendiri. Beberapa budaya material Banten yang masih dapat dilihat adalah

sebagai berikut:

a. Keraton Surosoan

Keraton surosoawan adalah sebuah keraton di Banten. Keraton ini

dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin,

yang kemudian dikenal sebagai pendiri dari Kesultanan Banten. Selanjutnya, pada

masa penguasa Banten berikutnya bangunan keraton ini ditingkatkan bahkan

konon juga melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucasz

Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk islam yang


15

bergelar Pangeran Wiraguna. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area

keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surosoawan mirip sebuah benteng Belanda

yang kokoh bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut

bangunanya, sehinnga pada masa jayanya Banten juga disebut dengan Kota Intan.

b. Keraton Kaibon

Ditinjau dari namanya (Kaibon artinya keibuan), keraton ini dibangun

untuk ibu Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah, mengingat pada waktu itu, sebagai

sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syafiudin masih sangat muda (masih

berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan. Pada keratan Kaibon,

masih tersisa gerbang dan pintu-pintu besar yang ada dalam kompleks istana.

Pada keraton Kaibon, setidaknya oengunjung masu bisa melihat sebagian struktur

bangunan yang masih tegak berdiri. Sebuah pintu berukuran besar yang dikenal

dengan Pintu Paduraksa (khas bugis) dengan bagian atanya yang tersambung,

tampak masih bisa dilihat secara utuh. Di bagian lain, sebuah ruangan persei

empat dengan bagan dasarnya yang lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah,

diduga merupakan kamar dari Ratu aisyah.

c. Masjid Agung Banten

Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah atap bangunan

utama yang bertumuk lima, mirip pegoda China yang juga mrupakan karya arsitek

Cina yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian

menjadi pelengkap di sisi utara dan slatan bangunan utama. Masjid Agung Banten

juga memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti
16

Masjid ini. Paviliun dua lantai ini dinamakan Triyamah. Berbentuk persegi

panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno, bangunan ini dirancang oleh

seorang arsitek Belanda bernama Hendrick Lucasz Cardeel.

d. Batik Banten

Batik Banten memiliki 12 jenis motif batif, yaitu Datulaya, Mandalika,

Kapurbang, Kawangsan, Pamaranggen, Pacaniti, Pasepem, Pasulaman,

Pejanten, Sabakinking, Srimaganti, Surosowan. Nama-nama batik Banten diambil

dari nama tata ruang di Kerajaan Banten, nama gelar Sultan, Pangean, dan nama

desa di Banten.

e. Permainan Tradisional Anak

Permainan tradisional sebagai sebuah representasi dari kebudayaan yang

ada dalam suatu masyarakat, dianggap mempunyai sebagai fungsi, mulai dari

fungsi edukasi. Fungsi rekreasi, fungsi psikologis, nilai kesenangan, nilai

demokratis, pertemanan, nilai kebersamaan, nilai tanggung jawab, nilai

kepatuhan, kreativitas, dan sportivitas. Beberapa pemain tradisional di Banten

adalah kelereng (gundu) dan panggal.

4. Pendekatan Etnomatematika

Etnomatematika diperkenalkan oleh D’Ambrosio, seorang

matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut

etnomatematika menurut D’Ambrasio (Rosa & Orey, 2011: 35) adalah:


17

The prefix is today accepted as avery broad term that refres to


socialcultural contex and therefore includes language, jargon, and codes
of behavior, myths, and symbol. The derivation of mathema is difficult,
but tends to mean to explain, to know, to understand, ad todo activities
such as ciphering, measuring, classifying, inferring and modeling. Thw
suffix tics is drived from techne, and has the same root as technique.
Secara bahasa, awalan ethno diartikan sesuatu yang sangat luas yang

mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode prilaku,

mitos dan simbol. Kata dasar mathema cenderung berarti menjelaskan, megetahui,

memahami dan melakukan kegiatan seperti pengkodean. Mengukut,

mengklarifikasi, menyimpulakan, dan pemodelan. Akhiran kata tics berasal dari

techne, dan bermakna sama seperti teknik.

Etnomatematika dapat didefinisikan sebagai cara-cara khusus yang

dilakukan oleh suatu kelompok tertentu dalam melakukan aktifitas matematika.

Bentuk dari etnomatematika berupa hasil dari aktivitas matematika yng dimiliki

atau berkembang pada kelompok itu sendiri, meliputi konsep matematis pada

peninggalan budaya berupa candi dan prasasti, peralatan tradisional, permainan

tradisional, dan berbagai macam hasil aktivitas yang sudah membudaya. (Rizqi

Hanafi, dkk, 2013: 2)

Menurut Tandiling (2013: 1), jika ditinjau dari sudut pandang riset maka

etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural anthropology

of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika. Gagasan

etnomatematika akan dapat memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada.

Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banya dikaji maka bukan
18

tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya

setempat.

Rosa & Orey (2011: 32) menyebutkan bahwa:

Ethnomathematical approaches are intended to make schoool


mathematics more relevant and meaningful to students and to promote to
overall guality of education.
Pendekatan etnomatematika dimaksudkan unutk membuat matematika

sekolah lebih relevan dan bermakna bagi siswa dan untuk mengembangkan

kualitas pembelajaran. Jadi, pendekatan etnomatematika adalah suatu jalan atau

cara menyampaikan konsep matematika melalui unsur-unsur budaya yang

terdapat dalam suatu kelompok masyarakat. Cara pembelajaran dimana siswa

diberikan stimulus untuk mengamati aspek kultural, salah satunya, benda-benda

budaya untuk membangun konsep matematika.

5. Karakteristik Bahan Ajar dengan Pendekatan Etnomatematika

Berbasis Budaya Lokal di Banten

Pembelajaran matematika membutuhkan suatu pendekatan agar dalam

pelaksanaannya memberikan keefektifan. Sebagaimana dari salah satu tujuan

pembelajaran itu sendiri bahwa pembelajaran dilakukan agar peserta didik dapat

mampu menguasai konten atau materi yang diajarkan dan menerangkannya dalam

memecahkan masalah. (Wahyuni,A. dkk, 2013: 116). Matematika yang diajarkan

melalui perspektif budaya dapat membantu siswa untuk lebih mengetahui tentang

realitas, budaya, sosial, isu lingkungan, dan diri siswa sendiri dengan
19

menyediakan konten matematika dan pendekatan pedagogi yang mampu membuat

siswa sukses mempelajari matematika. Hal ini dinyatakan oleh Rosa & Orey

(2011: 49), sebagai berikut:

This means that teaching mathematics through an ethnomathematical


perspective help students to know more abaut reality, culture, society,
environmental issue, and themselves by providing them with
mathematical content and pedagogical approaches that anable them to
seccesfully master academic mathematics.
Bahan ajar yang menggunakan pendekatan etnomatematika berbasis

budaya Banten memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Mengunakan Konteks Budaya

Pembelajaran matematika hendaklah menggunakan masalah-masalah

nyata atau kontekstual yang dapat membantu siswa memahami konsep. Masalah

nyata tersebut dapat muncul melalui benda-benda budaya Banten, seperti situs

bersejarah kompleks Keraton Surosowan, batik Banten, dan lalin-lain.

b. Menggunakan Model

Dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman,

yaitu dari mampu menemukan solusi masalah kontekstual secara informal, sampai

mampu menemukan solusi atau masalah matematis secara formal.

c. Interaktvitas

Matematika dipandang sebagai hasil kebudayaan (hasil pemikiran)

manusi. Siswa diarahkan untuk memecahkan masalah yang muncul dalam

lingkungannya melalui konsep matematika. Siswa perlu dan harus diberikan


20

kesempatan menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah

kepada orang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang

lain dna bagaimana strateginya serta berusaha untuk menanggapinya.

6. Pendekatan Etnomatematika diantara Pendekatan Lain dalam

Matematika

Pembelajaran matematika memerlukan suatu pendekatan agar

pelaksanaannya lebih efektif dan menyenangkan. Pembelajaran matematika di

kelas biasanya terkesan formal, kurang inovasi dan kurang kontekstual, sehinggga

siswa kurang memahami makna, manfaat matematika dan jauh dari konteks nyata

dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu diperlukan strategi yang tepat dalam

proses pembelajaran untuk menyajikan matematika yang dekat dengan kehidupan

siswa, agar siswa memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar matematika.

Pembelajaran dengan etnomatematika lebih sesuai digunakan karena merupakan

pembelejaran matematika realistik.

Pendekatan matematika tentu berbeda dengan pendekatan lainya yang

digunakan dalam pembelajaran matematika. Jika disandingkan dengan pedekatan

realistik, pendekatan etnomatematika sebenarnya masih berkaitan. Hal ini karena

pendekatan etnomatematika juga menggunakan konteks nyata untuk

menghantarkan konsep matematika seperti halnya pendekatan realistik. Namun

lebih spesifik lagi, pendektan etnomatematika mengggunakan konteks nyata hasil

budaya manusia. Hasil budaya yang digunakan dapat berupa benda-benda


21

kerajinan khas daerah, situs peninggalan berupa candi, artevak, permainan

tradisional, alat musik, dan sebagainya.

Pendekatan etnomatematika memberikan nuansa baru dlam

pembelajaran. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Sebagaimana pepatah

tersebut, melaui pendekatan etnomatematika, siswa dapat memahami konsep

matematika sekaligus mempelajari dan melestarika kebudayaan.

7. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Etnomatematika

Etnomatematika merupakan jembatan matematika dengan budaya,

sebagaimana telah dijelaskan bahwa etnomatematika mengakui adanya dengan

cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dalam aktivitas masyarakat.

Pendekatan etnomatematika memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan pendekatan etnomatematika salah satunya disebutkan oleh Wahyuni,

dkk (2013: 16):

Dengan menerapkan etnomatematika sebagai salah satu pendekatan


pembelajaran akan sangat memungkinkan suatu materi yang
dipelajari terkait dengan budaya sehingga pemahaman suatu materi
oleh siswa menjadi lebih mudah karena materi tersebut terkait
langsung dengan budaya siswa yang merupakan aktivitas siswa
sehari-hari dalam bermasyarakat. Tentunya hal ini mebantu guru
sebagai fasilitator dalam pembelajaran untuk dapat memfasilitasi
siswa secara baik dalam memahami suatu materi.
Adapun kekurangan dari pendeketan etnomatematika ini adalah sulitnya

menyajikan budaya lokal sebagai pengantar yang mudah dipahami siswa untuk

menemukan konsep matematika. Hal ini membutuhkan kreativitas perencana


22

pembelajaran yaitu guru, agar dapat mengemas budaya lokal menjadi bahan dalam

memahami konsep matematika.

8. Barisan dan Deret

Barisan dan deret merupakan salah satu pokok bahasan dalam mata

pelajaran matematika. Dalam kurikulum 2013, barisan dan deret merupakan

materi kelas VIII bab pertama. Pada materi ini menjadi prasyarat bagi materi

matematika yang lain, misalnya dalam membicarakan induksi matematika, hitung

keuangan untuk siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial dan dalam kehidupan

sehari-hari. Dalam barisan dan deret dibahas pola urutan bilangan. Terdapat dua

bahasan utama yaitu barisan, deret aritmatika dan geometri. Selain itu, ada pula

barisan hingga dan tak hingga.

Siswa menganggap materi barisan dan deret hanya berisi kumpulan

rumus untuk menentukan suku kesekian dari satu pola bilangan untuk

menghilangkan anggapan demikian, penting kiranya untuk menyajikan materi

barisan dan deret ini melalui pendekatan yang berbeda.

B. Penelitian yang Relevan

Terdapat penelitian yang relevan sebagai pendukung penelitian ini,

diantaranya adalah sebagai berikut:


23

1. Penelitian yang dilakukan oleh Miftah Rizqi Hanafi, dkk. (2013) dari

Univeristas Negri Yogyakarta berjudul “Borobudur Smart Math, Aplikasi

Media Pembelajaran Geometri Berbasis Etnomatematika”. Menyatakan

bahwa aplikasi pembelajaran matematika berbasis budaya khususnya candi

Borobudur dapat menarik minat siswa belajar matemtaika sekaligus

menambah wawasan mengenai budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah

penelitian Miftah materi yang digunakan adalah geometri, sedangkan

peneliti membahas materi barisan dan deret. Selain tiu, aspek budaya yang

digunakan Miftah adalah situs Candi Borobudur, sementara peneliti

menggunakan budaya khas Banten.

2. Penelitian berjudul “Pengembangan Pembelajaran Matematika dengan

Pendekatan Etnomatematika Berbasis Budaya Lokal sebagai Upaya untuk

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika Di Sekolah” yang

dilakukan oleh Edy Tandililing (2013). Beberapa hal yang disimpulakan

dari penelitian tersebut:

a. Berbagai bentuk kegiatan sehari-hari maupun kegaitan ritual

masyarakat Dayak sepeti dalam mantra-mantra atau satra lisan lainnya

mempunyai nilai Etnomatematika. Termasuk jenis-jenis permainan

yang dipraktikkan anak-anak dan artifak-artifak seni budaya baik seni

lukis mempunyai nilai etnomatematika. Gagasan Etnomatematika yang

dipraktikkan dalam masyarakat ini dapat memperkaya pengetahuan

matematika yang telah ada.


24

b. Berbagai potensi dari etnomatematika yang dipraktikkan masyarakat

Dayak dapat dikembangkan dalam berbagai pokok bahasan atau materi

matematika khususnya di SD seperti pada materi bilangan dan

lambangnya, membandingkan bilagan, dan mengurutkan bilangan di

kelas satu SD semester satu, materi penjumlahan dan pengurangan

bilangan asli di kelas satu dan kelas dua SD pada materi geometri

seperti: titik, garis, sudut, pojok, bangun ruang dan bangun datar.

Selain materi dan aspek budaya yang digunakan, perbedaan penelitia

tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah tujuan hasil

penelitian Edy diperuntukkan bagi siswa tingkat sekolah dasar, sementara

peneliti membuat bahan ajar untuk siswa tingakat menengah pertama.

3. “Penerapan Pendidikan RME Berbasis Budaya Banten dengan Teknik Think

Pair Share terhadap Pemehaman Konsep Matematika dan Kemandirian

Belajar Siswa” sebuah penelitian kuasi eksperimen yang dilakukan oleh

Marisca Puspa Utami tahun 2013 menghasilkan bahwa pembelajaran

matematika dengan menggunakan pendekatan realistik berbasis budaya

Banten dapat meningkatkan motivasi serta pemahaman siswa terhadap

konsep matematik. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh

peneliti adalah Marisca Puspa Utami menggunakan pendekatan

Etnomatematika. Jenis penelitian yang dilakukan juga berbeda, Utami

menggunakan jenis penelitian kuantitatif, sementara peneliti menggunakan

jenis peneliti menggunakan jenis peneliti dan pengembang.


25

C. Indikator Keberhasilan

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah produk yang

dikembangkan yaitu bahan ajar dengan pendekatan etnomatematika pada pokok

bahasan barisan dan deret untuk SMP kelas VIII terselesaikan dan hasil persentase

kelayakan dari uji ahli minimal 70%

Anda mungkin juga menyukai