start=10&q=cybersex+and+teenage+brain&hl=en&as_sdt=0,5&as_ylo=2019&as_vis=1#d=gs_qabs&u=
%23p%3DpkMKQ21IS3UJ
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=en&as_sdt=0%2C5&as_ylo=2019&as_vis=1&q=cybersex+and+teenage+development&btnG=#d=gs_q
abs&u=%23p%3Dv_rMYmgxjjoJ
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10720160008400205
https://scholar.google.co.id/scholar?
q=schneider+2000+cybersex&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart#d=gs_qabs&u=%23p
%3DS65YOpElS2QJ
https://www.semanticscholar.org/paper/An-exploratory-study-about-the-impacts-that-(the-of-
Goldberg/21e13020b0b2fdf98c9777e7f098cd017c79db30
Cybersex merupakan kegiatan melakukan online sexual activity untuk tujuan seksual
maupun hiburan/ masturbasi, jual beli terkait seksual, komunikasi seksual dengan mencari
pasangan seksual untuk hubungan tertentu) (Goldberg, 2004). Cybersex ini merupakan
perilaku yang dapat dilakukan oleh siapa saja, karena pornografi di internet bisa diakses oleh
siapapun dan tidak adanya proteksi yang ketat akan konten-konten yang mengandung
pornografi dan seksualitas tersebut. Mayoritas pengakses pornografi di internet ini adalah
remaja dan dewasa awal yang berusia 12-24 tahun, karena masa ini merupakan masa dimana
keinginan atau dorongan seksual meningkat dan mereka membutuhkan eksplorasi untuk
Hasrat seksual pada masa remaja dan dewasa berubah menjadi emosi, karena dorongan
seksual harus dipenuhi namun dilain sisi ketika akan membuat keputusan individu akan
merasa dilema dan ragu (Jersild, 1958). Selain itu hasil dari Psychology Today dan De
dorongan seksual adalah bagian dari cinta yang romantis, adanya gairah fisiologis, adanya
interpretasi gairah dan adanya aktivasi sistem kognitif yang mengandung kecenderungan
respon belajar (Zeev, 2008). Sehingga hasrat seksual dapat dikategorikan menjadi emosi.
Melakukan cybersex diawali karena adanya dorongan seksual yang terjadi pada remaja dan
seperti hasil penelitian bahwa dorongan seksual adalah bagian dari emosi, dan emosi
Dalam hal ini ketika dorongan seksual meningkat, sedangkan di lain sisi internet
menawarkan banyak situs sebagai media eksplorasi dorongan seksual, maka ketika individu
tidak mampu untuk mengontrol dorongan seksual/ emosi tersebut yang terjadi adalah
munculnya perilaku cybersex. Munculnya perilaku cybersex ini dikarenakan individu kurang
dapat mengenali emosi atau perasaan (self awareness) sebenarnya untuk melakukan cybersex
dan apa resiko yang akan didapatkan ketika melakukan cybersex. Ketika individu tidak dapat
mengenali dengan baik perasaannya atau dalam keadaan ragu, maka individu juga akan
kesulitan untuk mengelola (self management) dan melawan resiko dari apa yang akan
dilakukannya. Selanjutnya ketika individu tidak mampu mengelola dengan baik maka yang
terjadi adalah ia tidak mampu memotivasi diri untuk melakukan hal-hal atau tujuan baik, dan
hanya sekedar melampiaskan emosi saja, dalam hal ini melampiaskan dorongan seksualnya
saja, dan munculah perilaku cybersex tersebut. Sehingga cara untuk tidak terlena pada
cybersex adalah dengan kemampuan mengenali, kontrol emosi, dan memotivasi diri agar tidak
terjerumus pada hal yang negative dengan kata lain perlu adanya kecerdasan emosional.
Semakin sering individu melakukan cybersex maka individu akan menunjukkan perasaan
melakukan tindakan dan hal ini menunjukkan kurangnya keterampilan dalam memecahkan
Emotional Intelligence adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk mengenali perasaan
diri sendiri atau orang lain, memotivasi diri sendiri, merasakan, mengelola emosi dengan baik
dalam suatu hubungan untuk membantu pikiran mengatur emosi dan intelektual (Tapia, dkk,
2006; Cartwright & Solloway, 2007). Kemampuan mengatur, mengelola emosi dan
mengambil keputusan yang baik inilah yang dibutuhkan agar individu mampu membentengi
dirinya tidak terlena dengan cybersex, menahan diri untuk tidak selalu mengikuti dorongan
Ketika individu memiliki kecerdasan emosional yang baik maka, ia akan mampu mengenali
emosinya (pemenuhan dorongan seksual dengan cybersex), ia akan mampu mengelola emosi
dan perasaannya serta dapat berfikir rasional untuk tidak melakukan cybersex karena cybersex
memiliki dampak yang negatif bagi dirinya, selain itu cybersex juga bertentangan dengan
agama dan moral. Ketika ia mampu mengelola emosinya tersebut, maka ia akan mampu
mengambil keputusan yang tepat dan perilaku yang bijak dengan tidak melakukan cybersex
dan perilaku yang muncul adalah mengalihkan dorongan seksual tersebut ke hal-hal yang tidak mampu
untuk mengontrol dorongan seksual/ emosi tersebut yang terjadi adalah
munculnya perilaku cybersex. Munculnya perilaku cybersex ini dikarenakan individu kurang
dapat mengenali emosi atau perasaan (self awareness) sebenarnya untuk melakukan cybersex
dan apa resiko yang akan didapatkan ketika melakukan cybersex. Ketika individu tidak dapat
mengenali dengan baik perasaannya atau dalam keadaan ragu, maka individu juga akan
kesulitan untuk mengelola (self management) dan melawan resiko dari apa yang akan
dilakukannya. Selanjutnya ketika individu tidak mampu mengelola dengan baik maka yang
terjadi adalah ia tidak mampu memotivasi diri untuk melakukan hal-hal atau tujuan baik, dan
hanya sekedar melampiaskan emosi saja, dalam hal ini melampiaskan dorongan seksualnya
saja, dan munculah perilaku cybersex tersebut. Sehingga cara untuk tidak terlena pada
cybersex adalah dengan kemampuan mengenali, kontrol emosi, dan memotivasi diri agar tidak
terjerumus pada hal yang negative dengan kata lain perlu adanya kecerdasan emosional.
Semakin sering individu melakukan cybersex maka individu akan menunjukkan perasaan
melakukan tindakan dan hal ini menunjukkan kurangnya keterampilan dalam memecahkan
Emotional Intelligence adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk mengenali perasaan
diri sendiri atau orang lain, memotivasi diri sendiri, merasakan, mengelola emosi dengan baik
dalam suatu hubungan untuk membantu pikiran mengatur emosi dan intelektual (Tapia, dkk,
2006; Cartwright & Solloway, 2007). Kemampuan mengatur, mengelola emosi dan
mengambil keputusan yang baik inilah yang dibutuhkan agar individu mampu membentengi
dirinya tidak terlena dengan cybersex, menahan diri untuk tidak selalu mengikuti dorongan
Ketika individu memiliki kecerdasan emosional yang baik maka, ia akan mampu mengenali
emosinya (pemenuhan dorongan seksual dengan cybersex), ia akan mampu mengelola emosi
dan perasaannya serta dapat berfikir rasional untuk tidak melakukan cybersex karena cybersex
memiliki dampak yang negatif bagi dirinya, selain itu cybersex juga bertentangan dengan
agama dan moral. Ketika ia mampu mengelola emosinya tersebut, maka ia akan mampu
mengambil keputusan yang tepat dan perilaku yang bijak dengan tidak melakukan cybersex
dan perilaku yang muncul adalah mengalihkan dorongan seksual tersebut ke hal-hal yang positif
Mengingat pentingnya dampak dari cyber sextersebut banyak para ahli yang tertarik untuk
melakukukan penelitian terhadap dampak cyber sex bagi manusia. Penelitian yang telah
dilakukan di Amerika, antara lain (1) Cooper dkk, 2000 yang meneliti tentang ciri-ciri dan pola
kebiasaan para pencandu cyber sex (cyber sex addicts); (2) Schneider, 2000 yang meneliti
tenting pengaruh mereka sendiri/akibat penggunaan cyber sex terhadap pasangan mereka
sendiri (suami/istri); dan (3) Peter David Goldberg, 2004 yang meneliti tentang pengalaman
para terapis keluarga dan perkawinan terhadap klien yang mngalami konflik pnggunaan cyber
sex.
Pornography can bring about significant changes in the brain similar to what can be seen in
drug addictions. Owing to the boom of technology and easy access to such material, it is
imperative to provide specifically designed pornography addiction education programs to
educate students about the adverse effects of pornography.
Selain itu hasil perhitungan rata-rata kecerdasan emosional dan cybersex antara laki-laki dan
laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dan
cybersex pada laki-laki dan perempuan berbanding terbalik. Dari hasil penelitian juga
diketahui bahwa rata-rata hasil skor cybersex laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yang
berarti bahwa ketertarikan laki-laki atau bahkan kegiatan cybersex laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Hal ini selaras dengan yang dikutip oleh Susan Krauss Whitbourne
(2014) pada artikel harian Psychology Today dari sebuah jurnal penelitian Christian, Laier,
dkk (2014) yakni bahwa perempuan lebih sedikit yang melakukan cybersex daripada laki-laki.
Hal ini terjadi karena ketertarikan laki-laki pada seks lebih besar daripada perempuan.
Penelitian lain yang mendukung yakni hasil penelitian yang dilakuakan Baumeister dan
Catanese (2001) yang menyatakan bahwa ketertarikan laki-laki pada hal yang berbau seksual
lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki lebih sering memikirkan seks, laki-laki menilai
kekuatan kendali seksnya sendiri, laki-laki lebih tertarik pada stimulus seksual visual
sehingga mereka akan rela menghabiskan uangnya untuk menonton video porno atau pergi
ketempat prostitusi. Satu penelitian lain yang memperkuat yakni penelitian Oliver & Hyde
(1993) yang menyatakan bahwa kemampuan laki-laki untuk masturbasi semakin hari semakin
sering hal ini yang membuktikan bahwa ketertarikan laki-laki pada seks lebih besar (dalam
Peplau, 2003)