BBDM KELOMPOK 15
DISUSUN OLEH
22010118130177
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
SKENARIO KASUS
BBDM 3
Seorang anak berusia 2 tahun datang dengan keluhan kejang. Kejang seluruh tubuh,
selama kejang tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang anak sadar, kejang
berlangsung selama 10 menit, mata mendelik keatas, tangan dan kaki kaku. 1 hari
sebelumnya anak demam tinggi terus menerus, disertai dengan batuk dan pilek.
Riwayat perkembangan saat ini anak baru bisa berjalan dengan dibantu, mengucapkan
satu-dua kata, dan mampu menyusun 3 balok. Dengan pemeriksaan KPSP satu bulan
sebelum sakit didapatkan skor 7. Riwayat imunisasi sesuai jadwal Puskesmas, tapi
belum mendapatkan imunisasi campak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak
sadar, napas spontan (+) adekuat, kejang (-), kesan status gizi normal. Tanda vital RR
32 x/menit, HR 110 x/menit, Nadi isi dan tegangan cukup, Suhu 39,5 C. Status
internus lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium Hb 12,0 gr% Ht 36,8 %
Leukosit 18,600/mmk, Trombosit 420,000/mmk. Pemeriksaan LCS dalam batas
normal. Pemeriksaan neurologis Nn. Craniales dalam batas normal. Meningeal sign
(-).
I. Terminologi
1. KPSP
Kuesioner Praskrinning perkembangan yang direkomendasi oleh depkes
RI yang dipakai untuk yankes primer sebagai upaya deteksi dini tumbuh
kembang anak dan untuk mengetahui apakah ada penyimpangan dengan 4
aspek dasar untuk menilai individu meliputi: Bahasa, personal sosial,
motoric kasar dan halus. Pemeriksaan KPSP dilakukan setiap 3 bulan
untuk di bawah 2 tahun dan setiap 6 bulan hingga anak usia 6 tahun.
Pertanyaan cukup dijawab ya atau tidak. Interpretasi skor :
9 – 10: pertumbuhan normal
7 – 8: pertumbuhan meragukan
<6: dicurigai terdapat penyimpangan
2. Meningeal sign
Merupakan tanda-tanda dari meningitis yang diketahui dari pemeriksaan
berupa Brudzinski, pemeriksaan kernig dan kaku kuduk. Fungsinya adalah
untuk mengetahui adanya iritasi pada meningeal.
3. Status internus
Pemeriksaan yang meliputi kepala, limfonodi, cor, paru-paru, ekstremitas,
abdomen, hepar.
4. Nadi isi
Jumlah darah yang dipompa keluar dari tiap-tiap ventrikel dalam tiap
denyutnya disebut isi sekuncup. Isi sekuncup berjumlah sekitar 70 ml
pada orang biasa dalam keadaan istirahat (70 ml dari ventrikel kiri dan 70
ml dari ventrikel kanan 2 seri pompa ventrikel).
5. Kejang
Merupakan gangguan aktivitas kelistrikan pada otak.
6. Campak
Suatu penyakit yang ditandai oleh ruam kemerahan yang disebabkan oleh
virus measles/morbilli. Penyakit akut yang sangat menular yang bisa
dicegah dengan vaksin campak atau biasa dikenal vaksin MMR.
II. Rumusan Masalah
1. Apa kemungkinan penyebab kejang demam dari anak?
2. Apakah ada hubungan dari perkembangan anak dengan kejang yang
dialami?
3. Apakah terdapat hubungan imunisasi pasien dengan keadaan yang dialami
sekarang?
4. Apakah ada hubungan demam, batuk, pilek dengan kejang yang dialami?
5. Bagaimana interpretasi KPSP. Pemeriksaan fisik?
6. Apa diagnosis sementara dari kasus scenario ini?
III. Brainstorming
1. Kemungkinan akibat campak. Pasien baru demam tinggi satu hari dan
ruamnya kemungkinan belum muncul (umumnya muncul pada hari ke-4
atau ke-5). Tanda yang mendukung kemungkinan campak adalah pasien
mengalami batuk (cough) dan pilek (coryza) yang merupakan dua tanda
patognomonis campak, serta sang anak juga belum imunisasi campak.
Virus measles (yang merupakan penyebab campak) tidak harus mencapai
sistem saraf pusat untuk menimbulkan kejang. Disebut kejang demam
karena anak mengalami kejang saat dia sedang demam tanpa adanya
penyebab intrakranial (meningeal sign negatif). Jadi, dapat disimpulkan
bahwa kejang terjadi karena demamnya. Campak menyebabkan demam -->
kemudian demam menyebabkan kejang.
2. Dari skor KPSP mengalami GDD, sehingga perkembangan otak anak tidak
sesuai yang berakhibat pada ambang batas kejang menjadi lebih rendah.
Kejang berulang menyebabkan gangguan perkembangan otak, KPSP skor
7: pertumbuhan meragukan (tidak normal) Umumnya pada usia 2 tahun
kemampuan motorik sudah baik/ sudah terkoordinasi, kosakata juga
meningkat (50 – 300 kata), dan dapat menyusun balok menjadi sebuah
bangunan. Perlu dilakukan follow-up setelah 2 minggu serta perlu edukasi
kepada ibu/pengasuh untuk rutin memberikan stimulasi kepada anak untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangannya.
3. Belum imunisasi campak terkena campak infeksi demam
kejang
4. Batuk, pilek mengindikasi adanya infeksi saluran pernapasan adanya
infeksi menyebabkan demam suhu naik meningkatkan epinefrin dan
prostaglandin peningkatan potensial aksi pada neuron dan terjadi
peningkatan reaksi2 oksidasi yg menyebabkan hipoksia transport ATP
terganggu Na intrasel dan K ekstrasel meningkat potensial membran
cenderung turun dan aktifitas sel saraf meningkat fase depolarisasi
neuron dg cepat timbul kejang.
5. KPSP skor 7 pertumbuhan meragukan gangguan perkembangan
Anak sadar, napas spontan dan adekuat
TTV: RR di atas rata-rata namun untuk anak kecil masih normal, Suhu
tinggi, HR normal
Laboratorium: Hb normal, leukosit sedikit meningkat, trombosit normal
Rangsang meningeal (-).
6. Diagnosis sementara: kejang demam simpleks dikarenakan campak fase
prodromal.
IV. Peta Konsep
V. Sasaran Belajar
1. Etiologi dan Faktor Risiko Kejang Demam
2. Patofisiologi kejang demam
3. Manifestasi klinis kejang demam
4. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis kejang demam
5. Tatalaksana dan edukasi untuk kejang demam
VI. Belajar Mandiri
1. Etiologi dan Faktor Risiko Kejang Demam
Etiologi
Etiologi kejang demam digambarkan dalam diagram berikut ini.
Infeksi yang berakibat pada kejang demam
Infeksi merupakan penyebab tersering dari kejang demam. Peranan infeksi
pada sebagian besar kejang demam tidak spesifik, serangan kejang terutama
didasarkan atas reaksi demam yang terjadi. Faktor lain yang mungkin
berperan menyebabkan kejang demam, antara lain:
Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi
Ensefalitis viral yang ringan yang tidak tidak diketahui atau
ensefalopati toksik sepintas
Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
Enterovirus
Enterovirus dilaporkan berkaitan dengan manifestasi kejang. Badai sitokin
“cytokine storm” pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada infeksi
enterovirus-71. Kejang demam juga dapat disebabkan oleh infeksi
enterovirus lainnya, seperti Coxsackievirus Grup A.
Rotavirus
Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi tersering
pada anak-anak berusia 3-24 bulan. Kejang sebelum onset gastroenteritis
dilaporkan terjadi pada 40% kasus. Hilangnya cairan dan elektrolit pada
diare rotavirus juga terlibat dalam patogenesis terjadinya kejang.
Herpesvirus
Beberapa anggota keluarga herpesvirus memiliki neurotropisme dan
menyebabkan gangguan neurologis pada anak, diantaranya: virus herpes
simpleks 1, virus herpes simpleks 2, varicellazoster, Epstein-Barr,
cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human herpes virus 7. Virus
herpes simpleks 1, cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human
herpes virus 7 berkaitan dengan kejang demam. Berdasarkan penelitian,
human herpes virus 6, dan human herpes virus 7 berkaitan dengan kejang
lama (30 menit atau lebih).
Bakteri
Dibandingkan dengan infeksi viral, bakteremia jarang menyebabkan kejang
demam. Beberapa penelitian menemukan bahwa infeksi oleh Shigella
dysenteriae (enteritis), Streptococcus pneumoniae (infeksi saluran nafas),
dan Escherichia coli (infeksi saluran kemih) berkaitan dengan kejang
demam.
Vaksinasi
Demam merupakan efek samping dari imunisasi yang umum terjadi.
Kejang demam yang berkaitan dengan vaksinasi sangat jarang terjadi.
Kejang demam terutama terjadi pasca pemberian vaksin tertentu, khususnya
vaksin dengan organisme yang dilemahkan, seperti vaksin Measles,
Mumps, Rubella (MMR) dan vaksin yang mengandung toksin atau vaksin
dengan preparat sel utuh (whole cell), seperti vaksin whole cell pertusis.
Angka kejadian pasca vaksinasi MMR adalah 25-34 per 100.000 anak,
sedangkan pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak. Tidak
ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak yang mengalami
kejang demam.
Genetik
Faktor resiko genetik telah lama diketahui berkontribusi terhadap kejang
demam. Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, dengan resiko
terbesar pada keluarga tingkat pertama (orang tua dan saudara kandung).
Namun, pola turunan dari kejang demam tidak diketahui. Sekitar 10-20%
saudara kandung dari anak dengan kejang demam akan mengalami kejang
demam. Dalam penelitian pada saudara kembar dan orang tua, kejang
demam dapat diturunkan sebesar 70%. Sebagian besar penelitian
mendukung pola pewarisan poligenik atau multifaktorial. Jarang ditemukan
pola pewarisan monogenik pada kejang demam.
P
enyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada
penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya,
misalnya tonsilo-faringitis dan otitis media akut (lihat tabel).
Penyebab Demam Jumlah
Penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis 100
Otitis media akut (radang liang telinga tengah) 91
*
#
?
)"@? !!/
6
5
&
!!'
7&
6
#
6
)
#=
!!'
#
#78 -9
11; (
+
!!
)
&
*
#
?
)"@? !!/
6
5
&
!!'
7&
6
#
6
)
#=
!!'
#
#78 -9
11; (
+
!!
)
&
*
#
?
)"@? !!/
6
5
&
!!'
7&
6
#
6
)
#=
!!'
#
#78 -9
11; (
+
!!
)
&
Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat
keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi
berat badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor
pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).
a. Faktor Demam
Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak
tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi
virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam
sebesar 80%. Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh
terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan
suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta
produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan
adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan
hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu
fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia.
b. Faktor usia
Tahap perkembangan dalam pembentukan reseptor untuk eksitator lebih
awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang
reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi
lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon
(CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila
terpicu oleh demam
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling
banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar
60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat
pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang
tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua
orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam
maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang
akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dalam kehamilan dan
persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan
prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada
asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai.
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan
eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi
pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun.
Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan
oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia
disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat
timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah
ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan
intrauterin dan bayi berat lahir rendah.
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan.
Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan
dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan
cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan
kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini
dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya.
g. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan
ibu, seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak
janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau 18 mengalami cedera
atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat
mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah
menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko
kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil
adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan
perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang
sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan
trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang.
h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal
dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada
daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia
perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini
dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan
frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul
6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24
jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90%
kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu
diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan
peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak.
Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang
bila ada rangsangan yang memadai.
i. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau
iskemia otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat
menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan
metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya 19
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan
selanjutnya.
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna
sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature
menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan
sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah
ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan
lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang
permanen lebih besar. Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau
postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan
makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami
oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil,
hipoglikemia, dan kelainan neurologic
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih
dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II
1,5 jam. Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II
1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari
cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan
kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik
pada kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan
letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan
cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga 20
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan
kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh
gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan
subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama
terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat
terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral
yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama
dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan
gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi
klinisnya.
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya.
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di
Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes
Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti
serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini
dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan
kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi
sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral palsy,
retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta
kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada
sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah
focus epilepsy yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian
menimbulkan kejang.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0.6 - 6.7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena
itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan untuk dilakukan
Bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan
Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih
dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis)
Paresis nervus VI
Papiledema
Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
Kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastik).
Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu
pula dengan diazepam rektal dosis 0.5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu >
38.5 derajat Celcius (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi
dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-
39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam
tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)