Anda di halaman 1dari 2

Kevin Sihar Maranatha Hutajulu / 072011233108 / Jurnal Individu / Week 8

Dinamika Hubungan Internasional Sebelum Era Modern

Studi Hubungan Internasional syang sekarang tidaklah mungkin tiba-tiba muncul dengan sendirinya, pasti ada
sejarah yang telah mengawalinya. Beberapa penulis menyatakan bahwa hubungan internasional pertama kali
muncul pada saat Perang Dunia I. Akan tetapi, hal tersebut banyak dibantah oleh beberapa artikel yang
menyebutkan bahwa jauh sebelum Perang Dunia I sudah banyak terjadi perang dan perdamaian sebagai cikal
bakal lahirnya hubungan internasional. Secara garis besar, sebelum memasuki era Hubungan Internasional yang
modern sekarang ini, terdapat dua fase penting yang mengawalinya, yaitu tersebut dapat dibagi menjadi dua
fase, yaitu zaman Yunani kuno dan abad pertengahan (Knutsen, 1997).

Pada zaman Yunani kuno ini, praktik hubungan interstate sudah mulai berlangsung (Knutsen, 1997). Salah satu
buktinya adalah, mulai muncul sistem negara kuno pada tahun 500 SM-100 SM yang lebih lanjut dikenal
dengan istilah Hellas. Hellas memiliki lima interstate besar, yaitu Argos, Megara, Corinth, Sparta, dan Athena.
Mereka bersama-sama memformulasikan sistem negara pertama dalam sejarah barat walaupun hanya sebatas
hubungan interstate (Jackson & Sørensen, 2013). Akan tetapi, sistem Yunani kuno tersebut akhirnya hancur
oleh kekaisaran Romawi, yang berlangsung pada tahun 200 SM-500 M. Pada saat itu, Romawi betul-betul
mengatur seluruh hubungan negara jajahannya dan memaksa mereka semua untuk patuh. Melihat situasi
tersebut, banyak komunitas kecil interstate kekuasan Romawi yang tidak senang dan akhirnya menyerbu dan
menghancurkan kekasisaran Romawi tersebut dan menikmati masa kejayaannya. (Knutsen, 1997).

Runtuhnya kekuasaan Romawi tersebut melahirkan babak baru dalam sejarah Hubungan Internasional, yaitu
abad pertengahan. Pada masa itu, pembagian kekuasaan sangatlah sarat dengan keyakinan agama. Paham
Katolik berpusat di Roma dan paham Ortodoks berkembang di kekaisaran Byzantine yang pusatnya berlokasi di
Konstantinopel (Jackson & Sørensen, 2013). Pada masa ini, eksistensi Gereja sangat krusial dan seringkali
bertindak otoriter. Satu-satunya sumber hukum yang berlaku ialah agama, bahkan pengetahuan yang
bertentangan dengan Gereja tidak segan-segan untuk dibu,ihanguskan. Tidak hanya itu, walaupun pada saat itu
menggunakan sistem pemerintahan monarki, segala keputusan raja tidak dapat berlaku apabila tidak mendapat
persetujuan dari uskup. (Knutsen, 1997). Oleh karena banyak sekali pihak yang tidak suka dengan kesewenang-
wenangan Gereja tersebut, akhirnya lahirlah gerakan Renaisans.

Gerakan Renaissans dapat diartikan sebagai kelahiran kembali orang Eropa untuk menguasai ilmu pengetahuan
Romawi dan Yunani kuno yang rasional. Pusat dari gerakan Renaisans ini berlokasi di Florence, Italia
kemudian menyebar cepat ke seluruh Eropa. Beberapa karakteristik dari gerakan Renaissans tersebut, antara
lain nilai humanis, pandangan sekuler, dan Machiavelli politics. Humanis yang dimaksud tersebut adalah
sekelompok individu yang bebas mengeksplorasi melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan
Gereja, baik itu ilmu pengetahuan, seni, bahkan pendidikan filosofis. Contoh orang yang dimaksud dalam
Kevin Sihar Maranatha Hutajulu / 072011233108 / Jurnal Individu / Week 8

kelompok humanis ini adalah para ahli seni dan ilmuwan. Selanjutnya, pandangan sekuler adalah pandangan
poliki yang didasari oleh gasgasan-gagasan yang bersifat netral, tanpa campur tangan agama. Terakhir,
Machiavelli politics merupakan sebuah konsep yang menekankan kebebasan manusia untuk berbuat sesukanya
(Knutsen, 1997).

Setelah gerakan Renaisans tersebut, Hubungan Internasional memasuki titik akhir era pertengahan yang
sekaligus menjadi pintu gerbang Hubungan Internasional modern, yaitu Perang Tiga Puluh Tahun dan
Perjanjian Westphalia yang menjadi tanda berakhirnya perang tersebut. Perjanjian Westphalia juga telah
berhasil melegitimasi persemakmuran negara-negara berdaulat dan menandakan kemenangan “The Stato” yang
telah berhasil mendeklarasikan kemerdekaannya secara eksternal (Jackson & Sørensen, 2013). Oleh sebab itu,
banyak sekali konsep tentang negara modern yang mengalami perubahan, salah satunya adalah popular
sovereignty. Popular sovereignty adalah bentuk implementasi demokrasi langsung. Dengan adanya kedaulatan
tersebut, partisipasi massa dalam proses pengambilan kebijakan untuk kemajuan negaranya semakin
berkembang dan unggul dalam kancah internasional (Knutsen, 1997).

Sebagai kesimpulan, Hubungan Internasional adalah suatu fenomena yang tidak pernah berhenti berkembang,
seiring perkembangan manusia yang semakin kompleks. Kompleksitas tersebut telah memaksa semua individu
untuk berinteraksi agar dapat memenuhi kebutuhannya. Interaksi tersebut telah berlangsung dari zaman kuno
sampai dengan era modern sekarang ini, seperti antara kerja sama mempertahankan suatu wilayah pada zaman
Yunani kuno, bahkan peristiwa Perang Tiga Puluh Tahun. Oleh sebab itu, makna penting sebuah kedaulatan
negara harus tertanam dalam setiap pola piker manusia sehingga masyarakat semakin mengembangkan
kebiasaan partisipasi aktif dalam hidup bermasyarakat.

Referensi:

Knutsen, Torbjorn L. 1997. “A History of International Relations Theory”, Manchester University Press, pp. 1-
128.

Jackson, R. dan George Sørensen. 2013. “Introduction to International Relations”, 5th edition, Oxford Unity
Press, pp. 10-16.

Anda mungkin juga menyukai