Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN BUKU

A HISTORY OF LUTHERANISM
by
ERIC W.GRITSCH
Minneapolis: Forteis Press, 2002

OLEH : RAMLI SN HARAHAP


NIM : 242106
DOSEN : Pdt.Dr.JAN SIHAR ARITONANG,Ph.D

TUGAS KEDUA PADA AREA KONSENTRASI STUDI II

PROGRAM STUDI PASCASARJANA

MAGISTER THEOLOGIAE

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA

(STT JAKARTA)

JL.PROKLAMASI No.27 JAKARTA, 10320

Jakarta, 5 Maret 2008

0
1. PENDAHULUAN

A. PENULIS1

Penulis buku A History oof Lutheranism ini adalah Eric W.Gritsch. Gritsch
adalah seorang Profesor Emeritus Sejarah Gereja pada Seminary Gettysburg
Lutheran, Pennsylvania. Menurut Gritsch, buku ini memberikan sebuah saringan
sejarah gerakan pembaharuan. Lebih tegas lagi Gritsch mengatakan bahwa hingga
sekarang (2002) tidak seorang pun yang telah mecoba untuk menulis sejarah umum
Lutheranisme. Gritsch mengakui bahwa penulisan buku ini adalah sebuah tugas yang
menakutkan dikarenakan perubahan-perubahan sejarah Lutheranisme di seluruh benua
di dunia ini. Sehingga Gritsch memutuskan untuk menulis buku ini sebab para
mahasiswa Sekolah-sekolah Lutheran, para pendeta, dan yang lainnya selalu mencari
sebuah sejarah yang komprehensif. Gritsch menyadari bahwa buku-buku yang
membahas sejarah Lutheranisme memang sudah ada, namun buku-buku tersebut
hanya membahas sejarah Lutheranisme yang khusus, misalnya Lutheranisme di
Amerika Utara, tetapi dari semua penulis buku-buku tersebut tidak seorang pun yang
mencoba membahas sejarah Lutheranisme secara menyeluruh (worldwide).
Dalam rangka mempermudah para pembaca buku ini untuk mengerti sejarah
Lutheranisme tanpa dibingungkan oleh ragam informasi, maka Gritsch mencoba
membuat beberapa volume dan risalah. Gritsch berharap agar banyak orang
termotivasi untuk memperbaiki bukunya ini agar semakin sempurna.
Dalam menulis buku ini, Gritsch mencantumkan beberapa sumber-sumber yang
menjadi buku pegangannya seperti: Theologische Realenzyklopädie (TRE), The
Histrorical Dictionary of Lutheranism, dan The Encyclopedia of the Lutheran
Church.

2. ISI BUKU

Buku ini terdiri dari tujuh bab dan kesimpulan. Dan pada akhir buku ini kita
temukan sebuah kronologi sejarah Lutheranisme sejak kelahiran Martin Luther hingga

1
Eric W.Gritsch, A History of Lutheranism, (Minneapolis: Forteis Press, 2002), hlm.xi-xii.

1
perkembangannya pada abad keduapuluh ini. Kronologi ini sangat menolong kita
untuk mengerti garis besar sejarah Lutheranisme di dunia ini.

2.1 KELAHIRAN SEBUAH GERAKAN, 1517-15212

Menurut Gritsch, kelahiran gerakan Lutheranisme ditandai tujuh hal yaitu:


kondisi-kondisi bagi Pembaruan, perjuangan Luther, pandangan teologi, kekuatan
Status Quo, blueprint bagi Pembaruan, masa sulit dan keputusan, dan jalan buntu.

Pertama, kondisi-kondisi bagi Pembaruan.3 Kondisi-kondisi yang


memungkinkan terpicunya pembauan itu beraneka ragam. Menurut Gritsch ada
beberapa kondisi yang mendukung terjadinya pembaruan itu yaitu: (a) setelah
berakhirnya masa kesatuan Gereja (1054), Kristendom mengalami skisma yang serius
di antara orang Kristen Yunani di Timur (kemudian disebut “Ortodox Timur”) dan
orang-orang Kristen Latin di Barat (yang dikenal sebagai “Gereja Katolik Roma”
[GKR]). Setengah milenium kemudian, tahun 1517, 95 Dalil Martin Luther melawan
penyalahgunaan indulgensia GKR.4 Hal ini menjadi skisma kedua yang
mengakibatkan tumbuhnya “Protestan”.5 (b) Kaisar-kaisar, raja-raja dan pangeran-
pangeran sangat berkompromi dengan paus-paus, uskup-uskup, dan imam-imam
untuk menikmati kekuasaan di dalam masyarakat. Paus-paus berbagi kekuasaan
dengan pangeran-pangeran. Pada masa jabatan ketigapuluh tujuh, Paus Innocentius III
mentransformasikan Vatikan ke dalam kekuatan dunia dan mengumumkan dengan
2
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.1-35.
3
Menurut Dr.Jan S.Aritonang dalam bukunya, Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 24-26, latar belakang yang memicunya gerakan pembaruan Luther ini
menyangkut empat hal yaitu: (1) Bidang kerohanian atau kegerejaan; (2) bidang sosial-politik; (3)
bidang kebudayaan; dan (4) bidang ekonomi. Sedangkan Kurt Aland dalam bukunya A History of
Christianity, (Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986), hlm.5-12, mengatakan bahwa motif-motif
yang menyebabkan terjadinya Reformasi adalah (a) karena kritik terhadap Gereja Katolik; (b) usaha
untuk membangun kesadaran nasionalisme; (c) faktor politik; dan (d) karena adanya penurunan
moralitas. Demikian juga Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern,
(Kanisius: Yogyakarta, 2004), hlm. 42-51, mengatakan bahwa alasan-alasan munculnya Reformasi
adalah: (a) nasionalisme dan bangkitnya negara-negara nasional, (b) ketidakpuasan dan kekacauan di
bidang ekonomi, (c) kelemahan kepausan, (d) keadaan GKR yang sangat memprihatinkan.
4
Indulgensia adalah penghapusan (sepenuhnya atau sebagian) dari penghukuman sementara yang
masih ada bagi dosa-dosa setelah kesalahan seseorang dihapuskan melalui absolusi (pernyataan oleh
imam bahwa dosa seseorang telah dihapuskan). Luther menganggap penjualan indulgensia ini sebagai
penyelewengan yang dapat menyesatkan umat sehingga mereka hanya mengandalkan indulgensia itu
saja dan mengabaikan pengakuan dosa dan pertobatan sejati.
5
Masa sebelum Luther disebut dengan “the late Middle Ages” (masa akhir Abad Pertengahan) yang
ditandai dengan sebuah penolakan yang radikal nilai-nilai tradisi yang dihormati masyarakat Kristen.

2
resmi doktrin-doktrin baru. Di antara tahun 1309 dan 1378, tujuh paus memindahkan
tempat tinggal mereka ke Avignon, Perancis. (c) Gereja mencoba menjaga umat di
dalam jalur ideologi teologi yaitu Allah digambarkan seorang yang murka, yang harus
disenangkan melalui penebusan yang dimanifestasikan dalam kepatuhan kepada
Gereja, mediator keselamatan itu. Anggota Jemaat didorong untuk berbuat baik untuk
memperoleh anugerah ilahi dan berkat sakramental dari bayi hingga kematian
(kuburan).6 (d) Ancaman kebangkitan Islam yang didirikan oleh Muhammad tahun
622. Tentara Turki mengalahkan perang Salib orang Kristen pada Tanah Suci. (e)
Timbulnya pemikiran baru, perdagangan, dan kehidupan. Augsburg, Jerman menjadi
sebuah pusat perbankan dan perdagangan di bawah pimpinan Jacob Fugger. Dan pada
saat yang bersamaan, Johann Gutenberg merevolusi metode percetakan di Timur. (f)
Adanya perlawanan dan tirani Gereja dan Negara. Jan Hus, imam dan profesor dari
Bohemia (sekarang Republik Ceko), melakukan gerakan pembaruan di Paraha yang
mengajarkan ide-ide yang dia peroleh dari seorang Reformator Inggris, John Wycliffe
(kira-kira 1325-1384). Hus mengajarkan otoritas Kitab Suci sebagai hukum Allah
melawan lembaga Gereja yang diperintah oleh paus. Akibat pengajarannya ini, Hus
akhirnya dihukum bakar tahun 1409. Tokoh pembaharuan yang lebih radikal lagi
datang dari seorang Dominikan Italia Jerome Savonarola (1452-1498), yang mencoba
mentransformasikan kota Florence dari sebuah “kota-kota sombong” (city of vanities)
menjadi sebuah tempat bagi millenium baru, permulaan kedatangan Kristus kali
kedua. (g) Kebangkitan Renaissans dan Humanisme. Renaissans yang berpusat di
Florence, Itali melahirkan banyak penulis, pujangga dan seniman (misalnya: Marsilio
Ficino dan Leonardo da Vinci). Humanisme Kristen7 membangkitkan penelitian
sumber-sumber sejarah misalnya: Alkitab, Credo (Pengakuan Iman) dan gereja Purba
kala. Pemikiran humanisme ini nantinya sangat banyak mempengaruhi Martin Luther.
(h) Timbulnya teologi mistik (mystical piety)8 yang mendirikan pusat persekutuan
umum di Low Countries (sekarang Belanda) dan di Jerman di sepanjang sungai
Rhine. Salah seorang dari murid terbaiknya adalah Thomas a Kempis, seorang penulis
spiritual klasik, Imitation of Christ. (i) Timbulnya sekolah-sekolah teologi. Artinya
dengan berbagai pengajaran semakin banyak bermunculan. Pengajaran Thomisme
6
Melalui tujuh sakramen: Baptisan, Perjamuan Kudus, Konfrimasi, Pernikahan, Pengakuan, pemberian
minyak suci dan juga penahbisan.
7
Humanisme Kristen ini dipelopori oleh Humanis Jerman John Reuchlin dan Humanis Belanda
Erasmus dari Rotterdam.
8
Tokoh teologi mistik ini misalnya: John Eckhart dan Bretheren Common Life, yang mengajarkan
kehidupan batin sebagai sebuah “pemujaan baru” (devotio moderna).

3
semakin banyak diperdebatkan sehingga bemunculanlah teolog-teolog baru seperti
Thomas Aquinas, Erasmus dan William Ockham.
GKR sendiri merespons seluruh perubahan situasi dan kondisi tersebut. Paus
Gregorius IX (1227-1241) membentuk sebuah inkuisi (lembaga penyelidikan) yang
dikontrol oleh paus untuk mendeteksi bidat-bidat.

Kedua, perjuangan Luther.9 Menurut Gritsch ada beberapa perjuangan Luther selama
hidupnya. (a) Perjuangan pendidikan. Luther yang lahir dan meninggal
di sebuah kota kecil Eisleben (10 November 1483 – 18 Februari 1546)
berjuang dalam sebuah kehidupan keluarga yang konservatif yang telah
menetapkan dirinya akan menjadi seorang ahli hukum. Sehingga untuk
mencapai tujuan ini, keluarganya menyekolahkan Luther ke sekolah yang berkualitas
dan terkenal hingga ke Universitas di Erfurt tahun 1501. Luther tinggal di asrama
yang disebut dengan bursa, dan dia dikenal sebagai seorang “filsuf”. Luther
menamatkan sarjana muda tahun 1502 dan meraih master tahun 1505 dan kemudian
memasuki sekolah hukum. (b) Perjuangan kerohanian. Setelah beberapa minggu
memasuki sekolah hukum, pada umur 21 tahun, Luther memasuki Serikat Eremit
Augustinus. Keinginan orangtua Luther ialah agar Luther menjadi seorang ahli
hukum, namun karena Luther mengalami pergumulan secara rohani maka dia
memutuskan untuk mengubah jalan hidupnya. Peristiwa 2 Juni 1505 membelokkan
seluruh kehidupannya. Dalam perjalanan pulang dari Mansfeld ke Erfurt tiba-tiba
turun hujan lebat yang disertai dengan guntur dan kilat yang hebat. Luther sangat
ketakutan. Ia merebahkan dirinya ke tanah sambil memohon keselamatan dari bahaya
kilat. Luther berdoa kepada Santa Anna, yaitu orang kudus yang dipercayai sebagai
pelindung dari bahaya kilat sebagai berikut. "Santa Anna yang baik, tolonglah aku!
Aku mau menjadi biarawan." Luther sangat bergumul sekali untuk mencari Allah
yang rahmani itu. Akhirnya Luther memutuskan menjadi seorang imam untuk
semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan segera Luther diterima menjadi
diakon dan pada tahun 1507. Luther ditahbiskan menjadi seorang imam. (c)
Pergumulan tentang kematian. Bagi Luther, setelah memasuki kehidupan biara dan
9
Bnd. F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993), hlm. 168-172; A.Kenneth Curtis dkk, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 75-77; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 120-126; Tony Lane, Runtut Pijar, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996), hlm, 130.

4
memiliki kuasa keimaman, perasaan takut akan kematian dan penghukuman Allah
tidak berkurang sedikit pun. Trauma akibat sambaran halilintar yang mempengaruhi
dimensi spiritualnya tidak bisa hilang kendati dia sudah hidup di dalam lingkungan
biara. Luther semakin merenungkan lebih dalam apakah dia termasuk yang dipilih
oleh Allah untuk diselamatkan. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka Luther
semakin rajin mendalami Alkitab. (d) Pergumulan tentang Alkitab. Bagi Luther, untuk
mendalami Alkitab haruslah dengan melakukan Pendalaman Alkitab (Bible Study).
Apa yang disebutkan oleh Augustinus dalam The Spirit and the Letter (De spiritu et
litera) banyak memengaruhi Luther dalam pergumulannya tentang Alkitab. Johann
von Staupitz mengirimkan Luther ke Universitas Wittenberg tahun 1508 menjadi
seorang guru besar filosofi moral dan mengajar etika Aritoteles. Dan pada saat yang
bersamaan, Luther melanjutkan studi doktoralnya di bidang biblical baccalaureate
(baccalaureus biblicus). (e) Perjuangan moralitas kepausan. Perjalanan Luther dari
Saxony ke Roma selama tahun 1510-1511 menimbulkan banyak kesan bagi Luther.
Dalam perjalanannya ini, Luther sangat menyayangkan: birokrasi kepausan yang
membingungkan, keboborokan moral secara umum, dan apati spiritual. Di Roma
sendiri, Luther menemukan praktik penghapusan dosa melalui indulgensia. (f)
Perjuangan kedamaian. Setelah pulang dari perjalanan dari Roma, Luther bersama
Staupitz berkeinginan untuk melakukan gerakan pembaharuan. Staupitz yang sangat
memperhatikan masa depan Luther, mengirimkan Luther ke Wittenberg tahun 1511
dan menjadikannya sebagai kepala biara di sana. Luther tinggal dengan kira-kira
empat puluh orang biarawan. Akhirnya, Staupitz memutuskan agar Luther menjadi
seorang doktor dan pengkhotbah. Luther memang menolak hal ini, namun Staupitz
terus mendorong Luther dan akhirnya Luther pun menerimanya. Dan inilah
pengalaman Luther yang disebut dengan Anfechtung. Ketika Luther bergumul dengan
pertanyaan bagaimana menemukan anugerah Allah, Staupitz mengatakan kepadanya
untuk melihat penebusan dosa dalam sakramen bukan berarti sebagai menyenangkan
hati Allah tetapi sebagai sebuah latihan rohani untuk menghadirkan kasih Allah bagi
orang berdosa yang dinyatakan dalam Salib Kristus. Luther meraih gelar doktornya
pada tanggal 9 Oktober 1512 dan mulai mengajar sebagai guru besar Alkitab (lectura
biblica) tahun 1513. (g) Perjuangan terobosan baru. Setelah menjadi imam-guru besar
di Wittenberg, Luther mengalami sebuah “perubahan” atau “terobosan” baru
spiritualnya. Hal ini akibat pekerjaan dan pengajarannya atas Kitab-kitab Mazmur
(1513-1518), Kitab Roma (1515-1516), Kitab Galatia (1516-1517) dan Kitab Ibrani

5
(1517-1518). Luther bergumul akan pengertian kebenaran (righteousness). Apakah
kebenaran itu lebih merupakan milik Allah atau sesuatu yang diciptakan manusia,
dengan demikian kebenaran itu sebagai “kebenaran yang asing” (alien
righteousness)? Atau dapatkah kebenaran diperoleh melalui perbuatan baik manusia,
sebuah “kebenaran aktif” (active righteousness) keselamatan? Luther menemukan
kembali pengertian nabi-nabi dahulu di dalam perjanjian antara Allah dan Israel:
seseorang menjadi benar dengan percaya hanya kepada kasih Allah bagi umat
manusia: “tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Habakuk 2:4).
Seseorang dibenarkan “oleh imannya sendiri”. Dengan demikian Luther merasakan
“lahir kembali” sebab perhatiannya telah lebih tertuju pada apa yang dilakukan Allah
di dalam Kristus dari pada apa yang telah dilakukannya bagi Allah. Hal inilah yang
menjadi perubahan yang radikal dari keresahan monastik apakah dia dapat atau tidak
mampu untuk menyenangkan Allah (kebenaran aktif) pada itikad bahwa Luther telah
dikasihi Allah (kebenaran pasif). Pengalaman ini membuka pintu sorga bagi Luther
dengan mendalami surat Paulus dalam Roma 1:17 dan 3:28. Luther akhirnya
memahami bahwa iman itu sendiri diikat oleh kasih Allah di dalam Kristus. Gereja
adalah pengantin perempuan Kristus, dan Kristus menjadi pengantin laki-laki dan
kedua-duanya akan selalu menjadi satu.

Ketiga, wawasan teologi. Wawasan teologi Luther banyak dipengaruhi oleh


Augustinus, John Tauler, metodologi Aristoteles, dan teologi modern William dari
Ockham. Pemikiran teologi Luther kemudian akan terlihat dalam pemikirannya yang
radikal dalam karyanya atas teks-teks Alkitab yang disebut dengan “pengalaman
menara” (tower experience). Perhatian Luther diutamakan pada dua hal yakni tentang
praktik indulgensia sebagai usaha manusia untuk penebusan dosa atau kepuasan –
dengan memberikan uang ke gereja. Kedua ajaran penggunaan indulgensia ini
menjadi hal yang kompleks dan kontroversial. Ajaran yang normatif mengartikan
indulgensia sebagai bagian dari remisi total penghukuman bagi dosa-dosa yang telah
diberikan; indulgensia bagian dari pembayaran atau kepuasan. Untuk melawan praktik
indulgensia ini, Luther menggunakan tiga saat untuk mengekspose interrelasi yang
berbahaya di antara tuntutan doktrinal dan praktik kegerejaan. Pertama, di dalam ujian
salah seorang muridnya untuk meraih gelar sententiarius tahun 1516, Luther
menggunakan pembelaan untuk berargumentasi bahwa anugerah Allah, bukan
kehendak manusia, ditentukan proses keselamatan dari dosa. Kedua, setahun

6
kemudian, Luther memberikan pendapat di dalam perdebatan umum selama ujian bagi
gelar sarjana muda (baccalaureate) tentang metodologi Aristoteles atas pemikiran
skolastik mengenai kehendak bebas (pemilihan manusia atau melawan keselamatan),
dan keyakinan teolog akan spekulasi filosofi harus ditinggalkan. Dan ketiga, Luther
melakukan perlawanan atas kekuatan dan kehebatan indulgensia dengan 95 Dalilnya
pada tanggal 31 Oktober 1517.
Pemikiran Luther lainnya adalah mengenai penatalayanan keuangan gereja,
yang dihubungkan dengan kemerosotan penjualan indulgensia yang akhirnya
melahirkan gerakan pembaharuan. Luther melanjutkan untuk menjelaskan secara
rinci pandangannya didukung oleh pendiri Serikat Eremit Augustinus, Staupitz.
Luther menyebut teologinya sebuah “teologi salib” yang didasarkan hanya pada
anugerah ilahi melalui Kristus. Luther menekankan bahwa Allah dapat dikenal hanya
melalui penderitaan dan salib.
Luther bukanlah seorang teolog sistematik yang memaparkan pemikirannya
secara apik. Luther lebih dikenal sebagai seorang teolog biblika dibandingkan sebagai
seorang teolog praktika. Bagi Luther, teologi menjadi praktis ketika teologi itu
dihubungkan dengan kenyataan hidup – melalui perjuangan, penderitaan,
kebahagiaan, dan kegagalan.
Luther memfokuskan pemikirannya atas kemanusiaan Allah di dalam Kristus
dan percaya penuh tentang apa yang telah dikatakan Alkitab mengenai “pembenaran
oleh iman” merupakan bagian dari pekerjaan yang dituliskan oleh hukum (Roma
3:28). Dengan demikian, Luther membedakan anugerah dan hukum. Anugerah Allah
dikenal melalui komunikasi bahwa percaya sepenuhnya pada Yesus Kristus
mengantarai keselamatan dari dosa-dosa; komunikasi ini adalah Injil (kabar baik).
Hukum Allah, salah satu dari hubungan perjanjian anugerah di antara Allah dan umat
Israel. Luther menegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk berargumentasi bagi
keselamatan diri di hadapan Allah. Sama halnya dengan tidak ada jalan untuk
menyenangkan hati Allah dengan perbuatan moral. Iman sangat sederhana
dibandingkan dengan percaya dengan rasional tentang Allah. Iman artinya memahami
firman Allah bahwa Kristus adalah arti dari kehidupan. “Iman membuat pribadi,
pribadi melakukan perbuatan baik, perbuatan baik tidak membuat iman dan juga
pribadi”. Menurut Luther, iman adalah pengalaman yang dipahami oleh kasih Allah
melalui cerita inkarnasi Allah di dalam Kristus.

7
Luther juga memberikan pemikiran tentang soteriologi. Akhirnya pemikiran
teologi Luther disebut sebagai “sebuah revolusi Copernicus” di dalam sejarah
pemikiran Kristen. Sama seperti astronout Nicolaus Copernicus (1473-1543)
menggeser pusat pemikiran dari bumi ke matahari, maka Luther mengubah pemikiran
Kristen dari antroposentis ke theosentris.

Keempat, kekuatan Status Quo. John Tetzel mecoba memfitnah Luther dengan
mempublikasikan 106 dalil, mendakwa Luther sebagai bidat. Tetzel telah mendapat
amanah dari Uskup Albrecht dari Magdeburg dan bank Fugger di Augsburg untuk
menggunakan perintah Dominikan untuk menjual indulgensia (dengan menggunakan
slogan, “Kalau uang berdenting di dalam peti, melompatlah jiwa itu ke dalam
sorga!”). Demikian juga sikap uskup Jerome Ghinducci meminta Sylvester Mazzolin
(juga dikenal sebagai Prierias) untuk mengevaluasi Luther. Dia juga menyatakan
bahwa pengajaran Luther keliru dan dimusuhi sebab Luther mempertanyakan hak
kewibawaan paus untuk mengontrol iman dan moral. Karena itu ia menyatakan
Luther sebagai penyesat, dan menulis bantahan ilmiah terhadap dalil-dalilnya.
Bantahan ini menegaskan kewibawaan paus terhadap Gereja dan menolak setiap
penyimpangan daripadanya yang dianggap sebagai ajaran sesat.
John Eck berusaha untuk menyatakan kelemahan Luther di dalam argumentasi
Luther dengan mempublikasikan Obelisks (Yunani: obeliskos, “pisau belati kecil”),
dan menyatakan Luther sebagai pembohong, bidat, dan pemberontak. Luther dengan
segera menjawab dengan Asterisks (Yunani: asterikos, “bintang kecil”), menyatakan
bahwa Eck tak berpengetahuan untuk mengerti kasus Luther.
Banyak mahasiswa dan teolog muda mendukung gerakan Luther untuk kembali
ke teologi alkitabiah dan mengajarkan ajaran gereja mula-mula, khususnya tulisan
Augustinus. Yang menyelamatkan Luther dari kemarahan politik Roma adalah
keadaan status quo dari Elektor Frederick dari Saxony. Frederick meminta kepada
Paus agar Luther diperiksa di Jerman dan permintaan ini dikabulkan. Paus mengutus
Kardinal Thomas de Vio (Cajetanus) untuk memeriksa Luther pada tanggal 12-14
Oktober 1518. Cajetanus meminta Luther menarik kembali dalil-dalilnya, namun
Luther tidak mau. Cajetanus pun gagal dalam misinya.
Perdebatan demi perdebatan pun semakin banyak terjadi. Perdebatan pada 27
Juni – 14 Juli 1519, di Leipzig, Luther berhadapan dengan Johann Eck disertai oleh
Carlstadt, rekan mahagurunya di Wittenberg. Carlstadt dan Luther ditemani oleh

8
presiden Universitas Wittenberg, Duke Barnim dari Pomerania dan Melanchthon dan
beberapa kolega yang lain serta sekitar dua ratus mahasiswanya. Perdebatan ini
berlangsung di Pleissenburg. Perdebatan ini membahas indulgensia dalam
hubungannya dengan dosa dan anugerah. Menurut Eck, paus memiliki otoritas atas
apa yang telah dilaksanakan yaitu praktik indulgensia. Namun dalam perdebatan ini
pokok perdebatan telah bergeser dari surat indulgensia ke kekuasaan Paus. Menurut
Luther yang berkuasa di kalangan orang-orang Kristen bukanlah Paus atau konsili,
tetapi firman Allah saja.
Walaupun kelihatannya dalam debat Leipzig ini Eck yang menang, namun
Luther mendapat dukungan yang lebih banyak ketimbang Eck sendiri. Froben
mengkoleksi pekerjaan Luther dalam tiga edisi pada tahun 1520 dan disebarkan ke
Inggris, Belanda, Perancis dan Italia. Luther disebut sebagai “Daniel baru” yang akan
membebaskan umat Allah dari perbudakan pada teologi skolastik.

Kelima, blueprint bagi Pembaruan. Produksi literatur Luther makin berkembang


pesat di antara tahun 1519 dan tahun 1521. Seorang sekretaris menulis 116 khotbah
untuk dipublikasikan dan Luther sendiri memberikan enambelas risalah untuk dicetak
selama enam bulan selama perdebatan Leipzig. Luther juga mengerjakan tafsiran
kitab Mazmur dan menyelesaikan tafsiran pertamanya atas kitab Galatia.
Perdebatan mengenai primasi kepausan masih dilanjutkan. Augustinus Alveld,
seorang biarawan Franciskan dari Leipzig membela kepausan sebagai institusi ilahi di
dalam dua ringkasan dengan menggunakan Matius 16:18 sebagai dasar alkitabiah atas
argumentasinya. Alveld menyebut Luther seorang “serigala di antara domba”,
“seorang manusia galak”, seorang “bidat”. Luther merespons dengan alasan yang baik
membela posisinya bahwa paus adalah lebih merupakan sebuah institusi kemanusiaan
daripada insitusi yang ilahi. Luther didukung oleh Ulrich von Hutten dan Albrecht
Durer. Luther melakukan gerakan ini dengan menerbitkan empat seminal tahun 1520,
berkaitan dengan posisi Luther yang menantang melawan status quo: (1) Ringkasan
Pekerjaan Allah; (2) Seruan kepada Pemimpin-pemimpin Jerman; (3) Pembuangan
Babel Gereja; dan (4) Kebebasan Kristen. 10 Hal ini diuraikan secara mendalam oleh

10
Uraian mengenai hal ini dapat dibaca lebih mendalam dalam Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …,
hlm. 31; Kurt Aland dalam bukunya A History of …, hlm.75-94; H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah ...,
hlm. 131-132; Tony Lane, Runtut ..., hlm, 132-133; Eddy Kristiyanto, Reformasi dari …, hlm. 60-61

9
Gritsch dalam bukunya ini. (Dan mengenai hal ini sudah dibahas dalam laporan buku
sebelumnya pada konsentrasi I).

Keenam, pengadilan dan keputusan. Ketika Luther sibuk membangun platform


teologi gerakan Reformasi, Roma sibuk mencari penghakiman kepada Luther in
absensia. Pada bulan Januari 1520, perlawanan melawan Luther kembali dibuka untuk
mencari bukti tuduhan atas tuduhan sebagai bidat. Eck membuat gambaran yang jelas
tentang pandangan Luther kepada jemaat (curia) setelah perdebatan Leipzig. Eck
menghukum Luther sebagai teolog muda yang cemerlang yang memiliki kesulitan
dengan pengajarannya tentang gereja.
Paus Leo X memerintahkan dengan hati-hati untuk menginvestigasi pengajaran
Luther, mengangkat Kardinal Pietro Accolti, ahli hukum dan Cajetanus untuk
memimpin penyelidikan ini yang dibantu oleh Eck dan John Hispanus dari
Universitas Roma. Mereka bertemu empat kali untuk mempertimbangkan bukti
melawan Luther, yang diambil dari risalah-risalah dan sermon-sermon Luther bukan
dari pekerjaan tafsiran Alkitab Luther. Akhirnya, pada tanggal 15 Juni 1520, paus
mengeluarkan bulla (Latin: bulla, surat dokumen yang dikeluarkan paus) berkenaan
dengan Luther dengan melarang pengajaran Luther kecuali kalau Luther menarik
kembali pandangannya dalam tempo enampuluh hari. Bulla yang dikeluarkan paus itu
dinamakan dengan Exsurge Domine (dari Mazmur 74:22, “Bangunlah, ya Allah”).
Bulla ini menyatakan bahwa empat puluh satu dari tuntutan Luther dinyatakan gereja
keliru.
Pada 10 Desember 1520 Luther membakar bulla Paus tersebut bersama-sama
dengan Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik Roma di depan gerbang kota
Wittenberg dengan disaksikan oleh sejumlah besar mahasiswa dan mahaguru
Universitas Wittenberg. Tindakan ini merupakan tanda pemutusan hubungannya
dengan Gereja Katolik Roma. Kemudian keluarlah bulla kutuk Paus pada tanggal 3
Januari 1521 dengan bulla, Decet Romanum Pontificem (Hal ini layak bagi Paus
Roma). Alasan dikeluarkannya bulla ini adalah karena Luther menolak untuk menarik
kembali ajarannya dan mendorong orang lain untuk mengikuti tindakannya, sehingga
mereka harus dihukum dengan penderitaan.
April 1521, Kaisar Karel V mengadakan rapat kekaisaran di Worms. Luther
diundang untuk mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya dan karangan-
karangannya. Kaisar Karel V menjanjikan perlindungan atas keselamatan jiwa Luther.

10
Pada 18 April 1521, Luther mengadakan pembelaannya. Wakil Paus meminta agar
Luther menarik kembali ajaran- ajarannya, namun Luther tidak mau. Kaisar Karel V
ingin menepati janjinya kepada Luther sehingga sebelum rapat menjatuhkan
keputusan atas dirinya, Luther diperintahkan untuk meninggalkan rapat. Pada 26 Mei
1521, dikeluarkanlah Edik Worms yang berisi antara lain: Luther dan para
pengikutnya dikucilkan dari masyarakat; segala karangan Luther harus dibakar; dan
Luther dapat ditangkap dan dibunuh oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun juga.

Ketujuh, jalan buntu. Sebelum Luther meninggalkan Worms, seseorang atas


suruhan Budiman Frederick menyergap dan membawa Luther untuk disembunyikan
di istana Wartburg. Di sini Luther tinggal selama sepuluh bulan dengan memakai
nama samaran “Knight George” (Junker Georg). Di sini pulalah Luther mengerjakan
terjemahan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani (naskah asli PB) ke dalam bahasa
Jerman yang dikenal dengan “September Bible” tahun 1522. Dia menerjemahkan PL
tahun 1534. Dan tahun 1546 edisi akhir sudah selesai.
Pengaruh yang paling berarti yang diperbuat Luther di Wartburg adalah
mengenai “pembenaran oleh iman” yang disampaikan kepada teolog Louvain,
Jakobus Latomus. Luther berkata kepadanya bahwa seorang teolog harus serius
membuang kekuatan dosa setelah baptisan. Oleh karena itulah maka Allah
memberikan “hukum” – Dasa Titah dan pemerintahan sekuler. Di dalam Alkitab dan
di dalam teologi, hukum dan Injil harus dibedakan sebagai “dua pernyataan” Allah.
Pernyataan pertama, hukum menyatakan kejahatan manusia, kejahatan manusia
dibedakan dalam diri mereka masing-masing ketika mereka melakukan apa yang
mereka inginkan, dan hukum menghukum mereka dengan hukuman ilahi. Pernyataan
kedua, Injil juga memiliki dua hal. Injil memberikan kebenaran, iman di dalam
Kristus yang mati bagi dosa manusia (Roma 3:28). Iman memampukan orang percaya
melakukan yang baik bagi sesama manusia. Kebenaran diikuti dengan anugerah,
kehendak yang baik dan pengasihan Allah bagi seluruh orang yang percaya pada
Allah .
Luther juga mengatakan kepada Latomus perbedaan di antara hukum dan Injil
adalah metodologi yang mungkin dalam refleksi prinsip teologi. Pembedaan ini
memimpin Luther untuk menerima bahwa seorang Kristen adalah secara simultan
benar oleh iman di dalam Injil dan “berdosa” oleh karena hukum (simul justus et
peccator).

11
2.2 PERTUMBUHAN DAN KOSOLIDASI, 1521-155511

Dalam bagian ini Gritsch menguraikan pertumbuhan dan konsolidasi


Lutheranisme dalam tujuh hal yaitu:

Pertama, Model-model hidup orang Kristen yang [sudah] dibarui. Model


pembaharuan hidup Luther ini dimulai dari hubungannya dengan keempat sahabat
baiknya yakni: Philip Melanchthon (ahli bahasa Yunani dan Ibrani), John Bugenhagen
(yang memampukan Luther menjadi seorang pengaku dalam pengakuan pribadinya),
Justus Jonas (yang menerjemahkan tulisan-tulisan Luther dari bahasa Latin ke bahasa
Jerman), dan Nicolas von Amsdorf (seorang pendukung Luther menjadi uskup di
Naumburg tahun 1541).
Secara ringkas Gritsch menyimpulkan bahwa model pembaharuan hidup orang
Kristen yang dilakukan Luther adalah: (1) Hidup dengan kekudusan pribadi. Dalam
rangka mencapai hidup kudus ini, Luther menerbitkan “Buku Doa Pribadi” (1522)
yang berisikan ringkasan “Dekalog” (“apa yang harus dilakukan”), Pengakuan Iman
(“apa yang harus dipercayai”) dan Doa Bapa kami (“bagaimana berdoa”). (2)
Pembaharuan dalam tugas panggilan imam. Dasar pandangan Luther atas pelayanan
ini termasuk uskup bukanlah sebuah tahbisan yang ilahi. (3) Pembaharuan yang ketiga
ialah pembaharuan ibadah.
Di sisi lain, Luther juga menerbitkan liturgi baptisan dengan keiukutsertaan
orangtua dan nenek sebagai “imam” baptisan. Luther juga sangat memberikan
perhatiannya dalam perbaikan pendidikan dengan mengajarkan sejarah dan bahasa –
bahasa klasik seperti bahasa Latin dan Yunani bagi kaula muda. Luther mendirikan
perpustakaan untuk mendorong masyarakat menjadi terpelajar dan mempelajari lebih
dalam tentang dunia.
Pernikahan Luther menjadi model pembaharuan hidup Kristen ketika ia menikah
dengan Katherine von Bora tahun 1525. Dengan pernikahan ini, Luther mendorong
para imam lainnya untuk menikah. Melalui pernikahan ini Luther dikaruniakan Tuhan
enam orang anak yakni: Hans (1526), Elizabeth (1527), Magdalena (1529), Martin

11
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.36-69.

12
(1531), Paul (1533) dan Margareth (1534). Di samping enam anaknya ini, Luther
mengadopsi enam orang anak panti asuhan.
Dalam gerakan pembaharuan ini Luther dan Melanchthon yang dibantu oleh
dewan kota Wittenberg membaharui ibadah umum dengan pembaharuan pendidikan.
Mereka merencanakan rencana “perkunjungan” dengan membentuk empat orang satu
tim “kunjungan” dengan tugas: dua orang memperhatikan soal-soal ekonomi, dan dua
orang lainnya mengevaluasi kehidupan jemaat. Melanchthon membuat buku panduan
“Instruksi” atas dasar saran dari Luther (1528). Setiap tim memiliki tugas untuk
mengajarkan delapan belas bahan yakni: doktrin (perbedaan di antara Katolik Roma
dan tuntutan-tuntutan Lutheran), Dekalog, kehidupan doa, moralitas, baptisan,
Perjamuan Kudus, penebusan dosa, pengakuan pribadi, penghapusan dosa, peraturan
gereja, pernikahan, kehendak bebas, kebebasan Kristen, Turk (isi yang signifikan bagi
kebijakan orang Kristen asing), ibadah, pengucilan, pegawai uskup (superintendent)
dan sekolah-sekolah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Luther menerbitkan Katekismus Bersar
Jerman yang digunakan sebagai bahan bagi katekisasi yang berisikan pendahuluan
dan lima bagian yaitu: Dekalog, Pengakuan Iman, Doa Bapa kami, Baptisan dan
Perjamuan Kudus.

Kedua, Bahaya yang tersembunyi dan Entusiasme. Menurut Gritsch ada


beberapa bahaya dan entusiasme yang terjadi pada masa pertumbuhan dan konsolidasi
ini yaitu:
(1) Thomas Muntzer (1491-1525). Gerakan yang dipimpin Muntzer ini
dikenal dengan pemberontakan petani (1525). Muntzer mendasarkan
gerakan ini atas pandangan Luther akan Kebebasan Kristen. Semula ia
adalah pengagum dan pengikut setia Luther. Tetapi sejak tahun 1521 ia
menyalahgunakan ajaran Luther tentang Kebebasan Seorang Kristen untuk
mengobarkan pemberontakan melawan para penguasa politik.12 Luther
sendiri menolak pemberontakan ini sebagai gerakan rakyat yang illegal
yang harus diganyang. Pemberontakan ini mengakibatkan tentara Katolik
Roma yang dipimpin George dari Saxony dan Philip dari Hesse dari
Protestan membunuh ribuan petani dalam peristiwa yang dikenal dengan
perang di Franckenhausen pada bulan Mei 1525. Katolik dan Protestan
12
Bnd. Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 33.

13
sama-sama menolak tindakan Muntzer ini. Akhirnya Muntzer ditangkap,
dianiaya dan kepalanya dipenggal.
(2) Andreas Bodenstein dari Carlstadt atau lebih dikenal dengan Carlstadt.
Luther menuduh Carlstadt sebagai penggagas pemberontakan dan Luther
menganggap dia sebagai musuh yang menolak kehadiran Kristus dalam
Perjamuan Kudus. Bagi Carlstadt, kata “inilah” dalam kalimat “inilah
tubuh-Ku” (1Kor.11:23-26) lebih merujuk kepada tubuh Yesus sendiri,
daripada roti dan anggur. Akhirnya Frederick mengeluarkan Carlstadt dari
Saxony tahun 1524.
(3) Erasmus. Pada tahun 1525 perdebatan Luther dengan filsuf Erasmus pun
terjadi tentang masalah apakah manusia memiliki kebebasan untuk
menolak anugerah ilahi. Menurut Erasmus, keselamatan diperoleh melalui
perbuatan baik, sementara Luther menolak keras keterlibatan perbuatan
baik manusia dalam keselamatan yang Allah berikan.
(4) Ulrich Zwingli. Zwingli mengadopsi dan mengelaborasi penafsiran
humanis Belanda Cornelius Hoen yang mengatakan bahwa Perjamuan
Kudus pada dasarnya merupakan sebuah peringatan “spiritual” bukan
makan dan minum yang “material”. Sehingga perkataan Yesus, “Inilah
tubuh-Ku” artinya “Ini menandakan tubuh-Ku” dan perayaan Perjamuan
Kudus lebih merupakan sebuah penegasan iman dan komitmen pribadi
pada Kristus dari pada sebuah peristiwa “kehadiran tubuh” Kristus. Luther
menolak dan melawan pengajaran Zwingli yang membedakan antara
“spiritual” dan “material” dalam Perjamuan Kudus ini. Menurut Luther,
Kristus dapat ‘duduk di sebelah kanan Allah Bapa’ dan juga berada dalam
roti dan anggur. “Ubiquitas” Allah tidak terbatas sebab Allah berjanji
dalam Injil bahwa Allah hadir di dalam Perjamuan Kudus.
(5) Anabaptis. Luther sangat terganggu atas sikap dan tindakan gerakan
Anabaptis ini. Di kota Munster Westphalia, gerakan ini ingin
memberlakukan pemerintahan Allah. Mereka meniadakan ibadah Minggu,
memberlakukan poligami, memberlakukan praktik-praktik kehidupan
Perjanjian Lama (PL). Luther sendiri tidak menyukai gerakan ini dan
mendukung tindakan pemerintah membasmi gerakan radikal ini.13

13
Bnd. Jan S.Aritonang, Berbagai Aliran …, hlm. 35.

14
Luther mencoba menstir apa yang terjadi pada abad Pertengahan antara
“Reformasi sayap kiri” yang terdiri dari Muntzer, Anabaptis Munster, Zwinglian atau
“sakramentarian” dengan “Reformasi sayap kanan” yang berisikan iman yang benar.

Ketiga, Konfesi Augsburg. Konfesi ini bermula dari persetujuan yang diberikan
Kaisar Charles V pada Diet Augsburg tahun 1530. Luther menyetujui tulisan
Melanchthon tentang Konfesi Augsburg. Melanchthon sendiri memulai pekerjaan ini
dengan lebih dulu meringkas “Teologi Lutheran” (1521) yang berjudul Loci
Communes rerum theologicarum (Tema-tema dasar Teologi). Konfesi Augsburg ini
terdiri dari dua bagian besar yaitu: Bab I berisikan “Pasal-pasal Iman dan Ajaran” dan
Bab II berisikan “Pasal-pasal bantahan, Daftar Kekurangan yang telah diperbaharui”.
Secara ringkas Gritsch menguraikan isi Konfesi ini. Dalam pendahuluan, Luther
menjelaskan tiga hal: (1) Pasal-pasal iman yang telah dihubungkan dengan dasar
Alkitab. (2) Lutheran tidak akan gagal dalam segala hal. (3) Lutheran sudah siap
berpartisipasi secara umum.
Gritsch memaparkan secara ringkas isi pasal-pasal bab I Konfesi Augsburg ini.
Pasal 1-3 menegaskan dogma Trinitas, menunjukkan persetujuan Lutheran dengan
dasar teologi dari gereja kuno. Pasal 4-6 menggambarkan bagaimana kasih Allah
dalam diri Yesus Kristus. Pasal 5 berisikan tentang imam . Pasal 7-15 membahas
tentang gereja. Pasal 16 membahas tentang keterlibatan orang Kristen dalam politik.
Pasal 17 membahas tentang kedatangan Kristus kali kedua. Pasal 18-20 membahas
tentang hubungan di antara iman dan perbuatan baik. Pasal 20 adalah pasal yang
terpanjang sebab pasal ini khusus membicarakan tentang “perbuatan baik” yang
menjadi perjuangan Luther terhadap Katolik Roma. Pasal 21 berbicara tentang orang-
orang kudus.
Pasal-pasal pada bab II memiliki pembahasan yang lebih mendalam tentang:
cawan Perjamuan Kudus untuk kaum awam, perkawinan para imam, bentuk ibadah
misa, pengakuan pribadi, puasa, janji imam dan Uskup.
Konfesi ini dikritik oleh Kaisar Charles V dan John Eck serta dua puluh enam
teolog dengan membuat Confutation (penyangkalan). Untuk menjawab semua kritikan
ini, maka Melanchthon membuat Apologi terhadap Konfesi Augsburg pada tahun
1531.

15
Keempat, Hubungan orang-orang Skandinavia. Gerakan Reformasi Luther
dengan cepat menyebar ke utara, mendirikan benteng pertahanan pertama di wilayah
Schleswig dan Holstein melalui para pengkhotbah Lutheran sejak tahun 1522. Di
Skandinavia sendiri, gerakan Lutheran ini bertumbuh akibat situasi politik di
Kesatuan Kalmar dari tahun 1397-1523. Akibat keadaan politik yang berkaitan
dengan kekristenan di Skandinavia, maka Raja Christian II Denmark (1513-1523)
menghubungi Wittenberg tahun 1520 untuk memohon bantuan imam Saxon untuk
membangun kurikulum pendidikan. Maka datanglah Andreas Carlstadt dari
Universitas Wittenberg mengajar Martin Reinhart. Dengan demikian mulailah terjadi
pertumbuhan Lutheran di Skandinavia. Christian III (1534-1559) cucu tertua Raja
mendirikan enam puluh jemaat Lutheran di sekitar Haderslev di wilayah Schleswig.
Gerakan ini dibantu dua orang teolog Jerman dari Wittenberg yakni: Eberhard
Weidensee dan John Wendt. Mereka membangun wilayah gereja Lutheran pertama di
Skandinavia tahun 1528.
Lutheranisme juga di bawa ke Swedia oleh Olavus Petri yang dikenal sebagai
“Martin Luther Swedia” yang belajar di Wittenberg. Olavus menerbitkan Perjanjian
Baru dalam bahasa Swedia.
Gerakan Reformasi di Swedia ini dikaitkan juga dengan perang melawan
Denmark, Polandia dan Lubek (1536-1570) oleh Raja Erik XIV (1560-1568). Erik
menyenangi Calvinisme.
Lutheranisme di Norwegia dimulai dengan kegiatan pengkhotbah Lutheran
Antonius tahun 1526 di kota kota yang terbesar Bergen yang diambil dari wilayah
Hanseatik Jerman. Tahun 1537, Christian II Denmark mendekritkan sebuah transisi
dari Katolikisme ke Lutheranisme. Olav Uskup Katolik Trondheim meninggalkan
kota dan uskup lainnya dipecat. Gerakan Lutheranisme di Norwegia ini sungguh
sangat kuat sekali. Para uskup dan imam kemudian belajar teologi yang sangat dekat
dengan humanisme dan Calvinisme. “Hanya buku-buku bacaan keagamaan yang
ditulis selama masa periode Reformasi” yang dipublikasikan tahun 1572 oleh Jens
Skielderup uskup Bergen melawan Katolikisme yang berjudul: A Christian
Instruction from the Holy Writ about the Considerations a Christian Should Take on
Idolatry. Selama masa jabatan Jens (1557-1582) dan penggantinya Anders (1583-
1607) gereja baru di Norwegia berdiri menjadi seperti Gereja Lutheran Denmark.
Namun gereja Lutheran di Norwegia ini tidak mengadopsi seluruh pandangan

16
Lutheranisme misalnya mereka tidak menerima Buku Konkord di Norwegia dan
Denmark.
Gerakan Lutheranisme di Finlandia bertalian dengan raja Swedia, Gustavus Vasa
yang memisahkan diri dari Roma tahun 1523. Tokoh gerakan di Swedia ini yang
dikenal sebagai Martin Luther adalah Michael Agricola (1510-1557). Literatur
Agricola menghasilkan banyak teologia Lutheran di Finlandia dan memperbanyak
literatur dalam bahasa Finlandia. Dia merupakan penulis buku pertama dalam bahasa
Finlandia yakni ABC-Book tahun 1541 yang berisikan alfabetika, bilangan, dan
katekismus yang didasarkan pada Katekismus Kecil Martin Luther. Kemudian dia
juga menulis buku-buku doa tahun 1544 dan Perjanjian Baru bahasa Finlandia tahun
1548.
Lutheranisme di Islandia didekritkan oleh Gereja Denmark tahun 1537. Jauh
sebelumnya para pedagang dari Hamburg telah memimpin ibadah Lutheran di diosis
Skalholt sehingga dua orang pembantu uskup yakni: Gizur Einarsson dan Oddur
Gottskalksson menjadi menerima Lutheranisme. Gottskalksson bekerja di penerjemah
Perjanjian Baru yang dipublikasikan tahun 1540 di Denmark dan inilah buku tertua
yang dikenal di Islandia.
Lutheranisme di Skandinavia sama seperti Lutheranisme Jerman berdirinya
lebih dikarenakan oleh politik raja daripada pangeran.

Kelima, Di luar Jerman dan Skandinavia. Gerakan Lutheranisme ini semakin


berkembang ke luar Jerman dan Skandinavia misalnya ke daerah Baltik (Lithuania,
Latvia, Estonia), ke arah timur (Polandia, Czekoslowakia, Hungaria, Rumania) dan
menyusup ke wilayah Katolik di utara dan barat (Austria, Italia, Perancis dan
Spanyol).
Gerakan Lutheranisme di Baltik dipengaruhi oleh Teutonic Order, persekutuan
kesatria Jerman. Pada masa Grandmaster Margrave Albrecht Brandenburg (1490-
1568), Lutheranisme diperkenalkan di wilayah ini. Kemudian, Albrecht menemui
Luther dan Melanchthon di Wittenberg dan dia dinasihati oleh Luther dan
Melanchthon untuk mendirikan negara yang merdeka.
Ide-ide Luther pertama kelihatan di Riga, sekarang Latvia (bagian dari Livonia)
tahun 1521. Murid-murid Erasmus John Bugenhagen di Treptow, Pomerania, Andreas
Knopcken menghubungi Melanchthon di Wittenberg dan memulai mengajarkan ide-
ide Lutheran sebagai pendeta di Gereja St.Petrus.

17
Di Estonia (bagian dari Livonia), pengajaran Lutheran mulai kelihatan tahun
1523 di Reval (sekarang ibu kota Tallinn). Di Lithuania, Lutheranisme kelihatan
setelah tahun 1530 yang dibawa oleh kaum bangsawan, penduduk kota dan imam.
Mereka memiliki banyak motivasi bagi perubahan keagamaan. Beberapa orang tidak
suka Katolikisme. Yang lain menginginkan gereja yang lepas dan merdeka dari
Katolik Pilandia. Tetapi pendukung Lutheranisme tidak toleransi dan harus berpindah
ke gereja Prussia. Albrecht dari Brandenburg mensponsori penerbitan katekismus
Lutheran Lithuania pertama tahun 1547 Tetapi pendukung Lutheranisme tidak
toleransi dan harus berpindah ke gereja Prussia. Albrecht dari Brandenburg
mensponsori penerbitan katekismus Lutheran Lithuania pertama tahun 1547 yang
berjudul: The Simple Words of the Catecism. Tokoh lain yang bekerja di Lithuania ini
adalah Martin Mosviolius yang menerbitkan buku-buku nyanyian dan bahan-bahan
lainnya dan Johan Bretke yang menerjemahkan Alkitab tahun 1591.
Di Polandia, panggilan Luther akan pembaharuan telah didengar: penduduk di
Gdansk (Danzig) membaca 95 Dalil tahun 1518 setahun setelah Luther
mempublikasikannya di Wittenberg. Walaupun Raja Sigismund I (1506-1648)
melarang memasukkan ide-ide Luther. Tetapi ide-ide Luther masih beredar di
Universitas Krakow. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Jan Laski (1499-
1560). Hanya di kota Ciezsyn, sebuah kota dekat Czech Lutheranisme bertahan hidup
sejak tahun 1523, ketika mereka pertama kali memakai ibadah Reformasi di Polandia.
Kemudian sebuah gereja lembaga Lutheran didasarkan pada Konfesi Augsburg.
Moravia juga dikontrol oleh Archduke Ferdinand sebab dia menjadi raja
Bohemia tahun 1526. Gerakan Lutheranisme di Bohemia ini didukung oleh orang-
orang Hussit Moravia yang dipimpin oleh Jan Roh yang mendukung Luther sejak
tahun 1520. Pendukung Luther lainnya adalah Paul Speratus yang datang ke Moravia
sebagai pengungsi hingga dia menetap di Prussia di bawah perlindungan
Pemerintahan Teutonik Lutheran.
Di Hungaria, Lutheranisme dikenal pertama sekali melalui perdagangan para
saudagar. 95 Dalil Luther telah mereka baca di Lubica (dekat Kezmarok). Tokoh yang
dikenal di daerah ini adalah Matyas Devai yang dikenal sebagai “Luther Hungaria”.
Gerakan Lutheranisme di Transylvania (sekarang Rumania) telah dimulai sejak
tahun 1140. Pemikiran Luther semakin dikenal tahun 1520 di antara orang-orang
Saxon di Rumania. Tokoh yang membawa pemikiran Luther di Rumania ini adalah
Kronstadt dan Hermannstadt yang memperkenalkan Lutheranisme pada Gereja dan

18
sekolah-sekolah. Setelah tahun 1543 sudah ada gereja Lutheran di Rumania yang
disebut dengan Gereja Allah dari Bangsa Saxon.
Di Austria, Lutheranisme menyebar dengan sangat cepat pada parohan pertama
abad keenambelas. Limabelas tulisan Luther dipublikasikan di Vienna di antara tahun
1519 dan 1522. Ide-ide Luther juga menyebar dengan cepat ke Carinthia di sebelah
selatan pada tahun 1526.

Keenam, Isu-isu neuralgis. Pendirian daerah-daerah Lutheran ditandai oleh


kesetiaan pada Konfesi Augsburg menghalau banyak harapan untuk menghindari
perpecahan yang dibangun kekuasaan kepausan dan kekaisaran di Eropa. Luther
menjadi pemimpin gerakan pembaharuan yang berhasil. Paus Paulus III dan Kaisar
Charles V tidak dapat membungkam Luther melalui pengucilan dan edik paus.
Mahaguru Wittenberg memberikan ringkasan pada bagian ini yaitu: pertama,
pembedaan antara konsili pertama dan keempat yang telah merumuskan dogma
Trinitas yakni: Nicea (325), Konstantinopel (381), Efesus (431), dan Khalsedon (451).
Kedua, Luther kemudian mendefinisikan konsili lainnya sebagai sidan dari
representasi gereja untuk membahas tata gereja, sama seperti konsistori, dewan
supremasi, dan lain sebagainya. Akhirnya, gereja sebagai persekutuan orang Kristen
yang dikenal dengan tujuh karakteristiknya yakni: memberitakan firman Tuhan,
melaksanakan baptisan, Perjamuan Kudus, kekuatan pengampunan dan pertobatan,
para pelayan, ibadah dan penderitaan.
Kaisar Charles V berharap untuk menghindari skisma keagamaan dengan cara
negosiasi. Utusan Katolik dipimpin John Eck dan dari Protestan Melanchthon telah
melakukan banyak pertemuan tahun 1540 dan 1541 dan mereka mencapai doktrin
persetujuan bersama di Regensburg. Tetapi Roma menolak untuk mengabsahkan hasil
kesepakatan ini.
Lebih jauh dalam bagian ini Gritsch memaparkan pertikaian antara pengikut
Luther dan Katolik. Luther berhadapan dengan Duke Henry dari Braunschweig. Duke
tidak takut atas perdebatannya dengan Luther. Keluarga Luther sendiri mengalami
penderitaan. Katherine mengalami penyakit serius tahun 1540 dan Magdalena
meninggal pada usia 13 tahun setelah menderita penyakit tahun 154214. Ketika Luther

14
Luther sangat berdukacita setelah anak kesayangannya diambil darinya. Selama hidupnya, anak itu
tidak pernah membuat dia marah. Suasana murung dan berduka cita segera hilang dari Luther sebab ia
terlalu optimis bahwa hidupnya ada di dalam tangan Allah. (W.J.Kooiman, Doktor Dalam Kitab Suci
Reformator Gereja: MARTIN LUTHER, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet.6, hlm. 207-208).

19
menerima kabar bahwa Paus Paulus III akhirnya mengumumkan bahwa konsili umum
akan dilaksanakan di Trente, Italia tahun 1545, Luther memutuskan mengirimkan
perlawanan akhir ambisi pilitik kepausan. Hasilnya adalah “Melawan Paus Roma,
sebuah Lembaga Setan”. Setelah itu, Luther merasa puas sebab tugasnya telah
selesai. Dia kembali menyelesaikan tulisannya atas Kejadian tahun 1545. Luther
mengantisipasi kematiannya. Gritsch memaparkan kematian Luther secara rinci.
Luther meninggal pada tanggal 15 Februari 1545 pada pukul 3.00 AM.

Ketujuh, Damai yang rapuh. Luther meninggal di tengah perkembangan


politik yang memperjuangkan gerakan pembaharuan itu. Paus Paulus III telah
menegur Kaisar Charles V tahun 1544 atas toleransinya pada wilayah Lutheran yang
menutup hukum Gereja. Pada saat yang bersamaan, Roma menawarkan 12.500
serdadu sewaan dan dukungan finansial bagi perang melawan Perkumpulan Smalcald
Lutheran.
Keputusan yang sangat penting dalam keputusan perjanjian adalah pengakuan
wilayah Lutheran dan Katolik sebagai kepala Gereja dan Negara. “Di mana ada
sebuah pemerintah, di sana harus ada sebuah agama” (kemudian semboyan ini dikenal
dengan, “Siapa pun yang memimpin wilayah menentukan agamanya” (cuius regio,
eius religio).
Ketentuan khusus dibuat bagi pemimpin gereja yang berkeinginan kembali ke
Lutheran seperti sebagai uskup dan biarawan. Ketentuan ini dikenal dengan “reservasi
kegerejaan”.
Kedamaian Augsburg bermaksud untuk menerangkan permasalahan keagamaan
hingga konsili umum di Trente yang akan membuat keputusan akhir. Kedamaian
Augsburg meletakkan Lutheranisme pada peta Eropa. Lutheranisme banyak berada di
Jerman dan Skandinavia, dan pengikut Konfesi Augsuburg dapat juga ditemukan di
wilayah Rusia yang dikenal sebagai Moscovia atau Muscovy. Kedamaian Augsburg
mendirikan wilayah teritorial Lutheranisme yang didasarkan pada dugaan bahwa
pemimpin teritorial dapat memaksa secara politik dasar keseragaman baik di dalam
Gereja Katolik Roma atau di dalam Konfesi Augsburg.

2.3 IDENTITAS KONFESIONAL, 1555-158015


15
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.70-108.

20
Identitas Konfesional ini dibahas Gritsch dengan tujuh bagian besar yaitu:

Pertama, Jalan Katekisasi16. Pada bagian ini Gritsch menguraikan tentang isi
Katekisasi Martin Luther itu mulai dari Sepuluh Perintah Tuhan, Pengakuan Iman,
Doa Bapa kami, baptisan dan Perjamuan Kudus.

Kedua, Faktor Melanchthon. Pemimpin arsitek konfesi Lutheran adalah


Philip Melanchthon (1497-1560) yang bergabung dengan fakultas teologi di
Wittenberg tahun 1518. Sebagai maha guru bahasa Yunani, Melanchthon memulai
belajar telologi dengan Luther dan menyakini hidup bahwa Allah menerima orang
berdosa oleh anugerah sendiri demi Kristus. Dasar teologi inilah yang dituangkannya
dalam Loci Communes (Common place), buku pegangan teologi Lutheran pertama
yang dipublikasikan tahun 1521. Dan kemudian tiga tulisan lainnya menjadi bagian
normatif pengakuan Lutheran yaitu: Buku Konkord (1580), Konfesi Augsburg (1530)
dan Risalah atas Kuasa Primasi Paus (1537).
Yang mau disampaikan Gritsch dalam bagian ini adalah bahwa Melanchthon
sangat memiliki banyak andil dalam perkembangan pemikiran teologi Luther. Pada
tahun 1527 dan 1538, Melanchthon menerbitkan etika filosofi Kristen yang diikuti
kemudian fisika tahun 1549 dan antropologi tahun 1553. Gritsch juga memaparkan
isi artikel dari Apologi Konfesi Augsburg yang dikeluarkan tahun (1531).
Melanchthon dikenal juga sebagai Gnesio-Lutheran. Maka pengikut Melanchthon
dikenal sebagai Philippist.

Ketiga, Dihakimi oleh Roma. Konsili Trente (di sebelah utara Italia, 1545-
1563) membuka penghukuman Roma atas Lutheranisme. Yang menjadi perdebatan
dalam masa ini adalah mengenai pembenaran oleh iman hubungannya dengan
anugerah ilahi dan tindakan manusia. Dalam perdebatan ini Jerome Seripando
menekankan anugerah atas kodrat dan setiap orang berdosa hanya diselamatkan oleh
anugerah Allah saja. Konsekuensinya, konsili berpikir bahwa dosa manusia hanya
dapat diatasi melalui kasih Kristus dari pada karena usaha manusia dan kasih karunia
ini dimediasikan dalam sakramen baptisan. Tetapi konsili Bapa Gereja membuat
16
Uraian lebih mendalam tentang topik ini dapat dilihat dalam Katekismus Besar: Martin Luther, (terj.
Anwar Tjen), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996); bnd. Katekhismus DR.Martin Luther, (terj. John
B.Pasaribu), (Jakarta: Yayasan Borbor, 2004), hlm. 1-22.

21
perbedaan di antara dosa asali (dosa Adam dan Hawa) dan concupiscence (keinginan
untuk berdosa). Konsili berpendapat bahwa baptisan hanya membuang dosa asal dan
penghumannya, bukan menghapus keinginan untuk berdosa. Bagi pemikiran Luther
bahwa seluruh dosa, baik itu dosa asali maupun keinginan untuk berdosa, dihapuskan
oleh iman di dalam Kristus. Pembenaran iman bukan salah satu aksi Allah di dalam
Kristus, tetapi langkah pertama dalam sebuah proses atau perjalanan yang berangsur-
angsur orang-orang berdosa kembali kepada keluarga yang ilahi, keluarga yang
dimulai dengan Adam yang ditebus di dalam Kristus, Adam kedua.
Pada tahun 1564 secara resmi bulla Paus dikeluarkan oleh Pius IV yang menolak
Protestanisme. Sebagai tambahan, Roma meringkaskan dogma Trente di dalam
“Profession of the Tridentine Faith” yang berisikan bahwa setiap imam harus patuh
kepada paus. Tindakan ini diikuti oleh lima komponen yakni: (1) Daftar Buku-buku
yang dilarang; (2) Katekismus Katolik yang harus digunakan oleh imam untuk
mempropagandakan pengajaran Trente; (3) Buku Doa (Breviary) Roma digunakan
imam sebagai disiplin spiritual mereka; (4) Missal Roma, mengkoordinasikan ibadah
melalui perayaan Misa yang beraneka ragam; (5) Edisi baru Alkitab Latin, Vulgata,
menjadi edisi akhir dari Alkitab Latin.

Keempat, Perdebatan Intra-Lutheranisme. Konsili Trente membuang banyak


harapan Philipp Melanchthon dan Philippist bagi pembangunan dialog kesatuan.
Gritsch memaparkan ada enam perdebatan yang tejadi di kalangan intra-
Lutheranisme. Empat di antara perdebatan ini membahas tentang pengertian
pembenaran oleh iman. Satu di antaranya mengklarifikasi hubungan Lutheranisme
dan Katolikisme, dan yang lainnya membicarakan hubungan tradisi Reformed atau
Calvinis (khususnya membahas mengenai bagaimana Perjamuan Kudus ditafsirkan).
Adapun keenam perdebatan itu adalah: 1) Perdebatan Antinomian, 2) Perdebatan
Sinergis, 3) Perdebatan mayoristik, 4) Perdebatan Osiandrian, 5) Perdebatan
Adiaphoris dan 6) Perdebatan Cripto-Calvinis.

Kelima, Mediasi. Melanchthon mencoba menemukan jalan tengah di antara dua


posisi yaitu berharap kesatuan Protestan (Jerman – Swiss) melawan Katolik.
Melanchthon telah membentuk persekutuan Konfesi Augsburg tahun 1540 yang
bernama Varita. Dalam rangka mediasi ini Melanchthon telah mencoba sebagai irenik
(bagian dari teologi Kristen yang mempersatukan perbedaan sekte) sebisa mungkin,

22
namun dia meninggal di tengah-tengah perselisihan ini tahun 1560. Melanchthon mati
dibakar di podium Kastel Gereja di Wittenberg. Namun usaha mediasi ini tidak
berhenti karena ipar anak Melanchthon, Caspar Peucer dan teolog Christopher Pezel
mencoba menstir di antara Lutheran dan Calvinis tentang doktrin Perjamuan Kudus.
Sebegitu jauh mediasi ini dilakukan, namun kesatuan Lutheran masih belum
tercapai. Salah seorang warga jemaat akhirnya mencoba membuat dasar teologi bagi
kesatuan ini yaitu: Jacob Andreae dari Wǜrttemberg, seorang pejabat tinggi di
Universitas Tǜbingen (1561-1590). Dia berjalan melalui batas wilayah elektoral
Saxony dan dibantu Duke Julius dari Braunschweig-Wolfenbuttel dalam
memperkenalkan Lutheranisme di teritial ini setelah tahun 1568. Adreae
menggunakan ringkasan teologi sebagai rumusan bagi kesatuan yang berisikan lima
pasal tentang pembenaran, perbuatan baik, kehendak bebas, adiaphora dan Perjamuan
Kudus. Tetapi pertemuan berbagai faksi tidak menunjukkan keinginan untuk bersatu.
Maka Andreae merubah dari pengajaran pada berkhotbah dengan menerbitkan
pekerjaannya sebagai Six Sermon on the Division among Theologians of the Augsburg
Confession tahun 1573. Usaha ini pun gagal sebab pemimpin Lutheranisme di sebelah
utara Jerman khususnya David Cytraeus dari Rostok dan Joachim Westphal dari
Hamburg tidak menyukai sermon tersebut sebagai flatform bagi negosiasi kesatuan.
Mereka meminta Andreae menukar sermon ini dengan Swabian Concord (1574). Dan
akhirnya setelah mengalami banyak proses maka Andreae bersama Duke Ulrich,
Count George Ernst, dan Margrave Karl membentuk tim kesatuan teolog yang
menghasilkan Maulbrum Formula (1576).
Keenam, Rumus Konkord17. Dalam bagian ini Gritsch memaparkan sejarah
dan proses terbentuknya Rumus Konkord dan isi pasal demi pasal. Ringkasnya,
Gritsch memaparkan bahwa Rumus Konkord ini berisikan dua belas pasal yang
dielaborasikan dengan “Solid Declaration” dan ringkasan dalam “Epitome”.
Pasal 1 (dosa asali) dan 2 (kehendak bebas) dialamatkan pada isu-isu perdebatan
Sinergis. Pasal 3 (Pembenaran Iman di hadapan Allah) dialamatkan pada isu-isu
perdebatan Osiandrian tentang “pembenaran iman di hadapan Allah”. Pasal 4
(Perbuatan baik) dialamatkan pada isu-isu perdebatan Mayoris yang mempertanyakan
apakah perbuatan baik diperlukan bagi keselamatan. Pasal 5 (Hukum Taurat dan Injil)
dan pasal 6 (Fungsi Hukum Taurat yang Ketiga) dialamatkan pada isu-isu perdebatan

17
Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam, Rumus Konkord, (terj. W.Sihite,dkk) (P.Siantar, Lembaga
Komunikasi Sejahtera, ttp).

23
Antinomian. Pasal 7 (Perjamuan Kudus), pasal 8 (pribadi Kristus) dan pasal 9
(Turunnya Kristus ke dalam Kerajaan Maut) dialamatkan pada isu-isu perdebatan
Crypto-Calvinis. Pasal 7 menekankan “kehadiran nyata” Kristus di dalam Perjamuan
Kudus. Pasal 8 mendefinisikan kehadiran nyata Kristus di dalam Perjamuan Kudus
sebagai kehadiran penuh baik tubuh Kristus yakni tubuh kemanusiaan dan tubuh
keilahian-Nya. Zwingli, Calvinis dan beberapa Philippis (crypto-Calvinis)
beranggapan bahwa hanya tubuh kemanusiaan ilahi yang hadir di dalam Perjamuan
Kudus sebab kemanusiaan, tubuh fisik Kristus tidak bisa hadir di dalam dua tempat
pada saat yang sama, pada satu sisi di sebelah kanan Allah di sorga dan
dikonsentrasikan di dalam roti dan anggur. Pasal 8 mengatakan kehadiran kedua
kodrat itu dalam Perjamuan Kudus. Pasal 10 (Kebiasaan-kebiasaan Gerejawi)
dialamatkan pada isu-isu perdebatan adiafhoris. Pasal 10 ini menegaskan bahwa setiap
persekutuan Kristen dibolehkan untuk memiliki berbagai macam kebiasaan atau ritus-
ritus “menurut kebiasaan dan ketentraman umum”. Pasal 11 (Pratahu Allah yang kekal
dan Predestinasi) dialamatkan pada isu-isu ringkasan perdebatan di antara Lutheran
dan Calvinis di Strasbourg dan Lower Saxony tahun 1563. John Calvin dan
penggantinya, Theodore Beza, beranggapan bahwa Allah tidak ingin seluruh manusia
bertobat dan percaya pada Injil. Pasal 12 (Faksi yang tidak pernah menerima Konfesi
Augsburg) yang mendaftarkan kelompok yang radikal di dalam Reformasi khususnya
Anabaptis, Schwenckfelders, dan Anti-Trinitas atau Unitarian yang menolak Trinitas.
Ketujuh, Konfesi Gereja Lutheran18. Tepatnya setelah limapuluh tahun
pengajuan Konfesi Augsburg baru pada tanggal 25 Juni 1580 Lutheran
mempublikasikan pengajaran formalnya di dalam Buku Konkord (kemudian
dimasukkan “Pengakuan Gereja Evangelikal Lutheran”).
Dalam bagian ini Gritsch memaparkan isi ringkas dari Buku Konkord ini. Buku
Konkord ini dimulai dengan sebuah Konkordia, kemudian kata pembukaan, kemudian
tiga teks pengakuan iman ekumenis (Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea,
dan Pengakuan Iman Athanasianum).
Kemudian Gritsch memaparkan dasar pendirian teologis yang
mengidentifikasikan pengakuan gereja Lutheran pada abad kesembilan belas yaitu: (1)
Penegasan kerendahan hati kasih Allah sebagai satu-satunya jalan keselamatan. (2)
Injil tentang pembenaran Ilahi di dalam Kristus sebagai norma pemberitaan
18
Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam, The Book of Concord: The Confession of the Evangelical
Lutheran Church, (Philadelphia: Fortress Press, 1976) dan sebagian dalam terjemahan Indonesia, Buku
Konkord, (terj. ) (P.Siantar, Lutheran Literatur Team, 1986).

24
kegerejaan dan sebagai dasar kehidupan Kristen. (3) Perbedaan Hukum Taurat dan
Injil sebagai penjagaan atas pesan anugeah Ilahi. (5) Penekanan Firman dan Sakramen
sebagai arti yang penting pada keselamatan melalui yang Kristus telah buat dan
pelihara di dalam Gereja-Nya. (6) Penekanan atas keimamatan seluruh orang percaya
sebagai sebuah indikasi bahwa seluruh orang Kristen adalah sama di hadapan Allah
dan memiliki kewajiban apostolik bagi misi. (7) Penegasan dunia sebagai ciptaan
Allah, yang menuntun dunia ke kemuliaan Ilahi. (8) Penunjukan dunia Kristen
bertanggung jawab sebagai hubungan kepatuhan dengan pekerjaan Allah di dunia. (9)
Penggunaan Alkitab sebagai norma bagi pemberitaan dan pengajaran di dalam Gereja
serentan dengan perhatian pada perbedaan, memisahkan Injil dan Alkitab. (10)
Komitmen pada pengakuan Gereja sebagai arti untuk melestarikan sebuah
pemberitaan yang benar dari Injil dan kesatuan Gereja. (11) Usaha intensif teologi
untuk menyediakan sebuah iman dan pemberitaan yang benar tentang Injil di sini dan
sekarang.

2.4 ORTODOKSI, 1580-167519

Dalam membahas ortodoksi ini Gritsch mengemukaan tujuh hal penting yaitu:
Pertama, Daerah Imperatif. Kedamaian Augsburg tahun 1555 menciptakan
teritorial Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma di bawah otoritas pangeran.
Gereja Lutheran dipandang sebagai yang ortodox ketika gereja Lutheran memasukkan
Konfesi Lutheran di dalam Buku Konkord tahun 1580; Gereja Katolik dituntun oleh
norma-norma Konsili Trente (1545-1563). Ortodoksi Lutheran mengakar di sekolah
teologi yang mencoba memodernisasi seluruh pemikiran dan kehidupan Kristen dan
mempersiapkan sistem tunggal bagi kesatuan politik dan kegerejaan. Sekolah-sekolah
inilah nantinya yang menghasilkan para pendeta dan pengajar yang menjaga “doktrin
yang murni”.
Gritsch memaparkan beberapa orang yang terus berjuang menjaga dan
memelihara daerah-daerah imperatif ini misalnya: (1) John Brenz (1499-1570),
pemimpin gereja di Wurttemberg yang menciptakan sebuah model teritorialisme
Lutheran yang menggabungkan kekuatan masyarakat dan spiritual. Model ini
dikembangkan di dalam dokumen yang berjudul Great Church Order tahun 1559. (2)
19
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.109-140.

25
Marsillius yang mencoba menghubungkan antara gereja dan negara dalam karyanya
Defender of Peace (Defensor pacis, 1324). (3) Thomas Luber yang dikenal dengan
Erastus (1524-1583) yang melihat daerah teritorial sebagai hukum Kristen tertinggi,
cerminan pola raja-raja Israel Perjanjian Lama. (4) Di Denmark, Raja Frederick II
(1559-1588) sangat tegas menekankan legislasi termasuk menyensor dan menolak
doktrin-doktrin orang lain. (5) Di Swedia, Raja-raja Swedia selalu menolak
Calvinisme; dan mereka mengadopsi Rumus Konkord Jerman tahun 1663. (6) Di
Finlandia, hanya orang-orang Lutheran yang dikenal sebagai warga negara.
Ortodoksi Lutheran membenarkan teritorial imperatif dengan ajaran dua
kerajaan (realms atau regiments) yang biasanya dipahami Augustinus (354-430) dan
Luther. Luther menekankan perbedaan dua lembaga kerajaan dengan: kerajaan dunia
(the realm of the world) yang dipimpin oleh otoritas sekular dan kerajaan persekutuan
Kristen yang tertulis dalam Injil. Orang Kristen milik kedua kerajaan ini, sementara
orang yang tidak percaya hanya milik kerjaan dunia saja. Ortodoksi Lutheran
mengalami sisi positif dan negatif setelah kematian Luther.

Kedua, Praduga. Banyak praduga yang berkembang setelah daerah imperatif


dan ortodoksi Lutheran semakin menyebar. Menurut Gritsch ada beberapa pradugaan
orang akan hal ini yaitu: (1) mengangkat Luther dari konteks sejarah dan
memandangnya sebagai nabi yang memiliki kebenaran ilahi yang tak terbantahkan.
(2) Gerakan Reformasi dilihat sebagai sebuah tindakan supernatural Allah yang
didirikan Gereja Lutheran. Dan Luther lebih dilihat sebagai objek iman dari pada
sebuah subjek penelitian sejarah. (3) Pengaruh liturgi dan pembinaan iman menjadi
sebuah pujian (hymne) yang membangunkan pietisme. Puisi-puisi dan hyme Lutheran
yang ditulis Paul Gerhardt (1607-1676) menjadi sumber pietis ortodox yang
berpengaruh. (4) Munculnya pembaharuan kehidupan Kristen dengan kedalaman
mistik yang dipelopori oleh Johann Arndt (1555-1621). Karyanya yang sangat
terkenal adalah, Four Books of True Christianity (1605-1609) menjadi buku terlaris
pada masa ortodoksi, bagi para pemikir teolog ortodox Lutheran.

Ketiga, Mencari Doktrin yang Murni. Gritsch lebih jauh memaparkan para
tokoh yang mempertahankan doktrin Lutheran yang murni dalam bukunya ini. Para
tokoh dimaksud adalah: (1) Alumnus Universitas Tǜbingen yang menjadi pendiri
ortodoksi Lutheran di Wittenberg yang dipimpin oleh Aegidius Hunnius (1530-1603),

26
Polikarpus Leyser (1552-1610), dan Leonhart Hutter (1563-1616). Mereka bersama
dengan yang lainnya mendukung kuat Elektor Frederick William dari Saxony yang
berkeinginan untuk memelihara Universitas Wittenberg sebagai “kursi Luther”
(Cathedra Lutheri). Hutter mencoba menjadi seorang teolog ortodox terkenal dengan
mengambil dan mempelajari ringkasan teologi Lutheran yakni Loci Melanchthon dan
mengggantikannya dengan karyanya yang berjudul Compendium tahun 1610. (2)
Generasi kedua dari teolog orthodks di Wittenberg adalah John Andreas Quenstedt
(1617-1688) yang mempublikasikan karyanya yang berjudul Didactic, Polemical, or
Systematic Theology (1685). Dia mencoba menunjukkan bagaimana pemikiran
ortodox Lutheran memaparkan sistem analisis yang masuk akal yang didasarkan pada
Alkitab. (3) Ortodox Lutheran Jerman di Barat dipertahankan oleh Universitas-
universitas Marburg dan Giessen yang dipimpin oleh Balthasar Mentzer (1565-1627)
yang memisahkan konsep doktrin kemurnian Lutheranisme dari Calvinisme dari
wilayah barat ini. (4) Di Universitas Strasbourg dipelopori oleh kelompok “Trio
Yohanes” (“Johannine triad”): John Schmidt (1594-1658), John Dorsche (1597-
1658), dan John Dannhauer (1603-1666). Dan yang paling berpengaruh suaranya
adalah Dannhauer dari ketiga orang ini. Dannhauer begitu gigih menyerang
Katolikisme, Calvinisme dan nonortodox Lutheranisme. Pandangannya atas doktrin
yang murni tidak boleh digabungkan dengan usaha ekumenis untuk menyatukan
Katolik dan Protestan. Karyanya yang terkenal adalah Hodosophia christiana sive
theologia positiva (Hikmat Kristen atau teologi positif, 1649). (5) Lutheran Ortodox
di Universitas Leipzig lama yang dipelopori oleh John Hulsemann (1602-1661) yang
mengeluarkan bukunya yang berjudul Breviarium theologiae (Isi Ringkas Teologi,
1641). Dia menggunakan kuasanya sebagai pendeta Gereja St.Nicolai dan sebagai
uskup untuk mempropagandakan doktrin murni sebagai seri pasal yang fundamental
didasarkan pada Alkitab dan Konfesi Lutheran. (6) Di sebelah utara, doktrin yang
murni ini dibahas di Universitas Rostock dan di Copenhagen, Denmark yang
dipelopori oleh John Quistorp Sr. (1584-1648) dan anaknya John (1624-1669) yang
menekankan disiplin spiritual di dalam traktat-traktat dan sermon-sermon,
menekankan Penelaahan Alkitab, menolak polemik-polemik dan pelayanan sederhana
gereja. (7) Ortodox Lutheran yang terkenal adalah Abraham Calov (1612-1686) yang
tumbuh, dilatih dan aktif melayani di Konigsberg, Prussia dan Wittenberg. Dia
berpengaruh besar sebagai superintendent gereja-gereja Saxon dan sebagai “mahaguru
yang dibedakan” (“distinguished professor” – professor primarius). (8) Dan terakhir

27
tokoh ortodox Lutheran adalah David Hollaz (1648-1713). Dia meringkaskan
pandangannya di dalam sebuah karya dogmatikanya yang berjudul Examen
theologicum acroamaticum (1707).
Secara umum para teolog ortodox Lutheran mencoba mempertahankan
persetujuan yang diperoleh di dalam Rumus Konkord tahun 1577 dengan beberapa
metode. Metode pertama, mereka mencoba untuk mendefinisikan doktrin murni
melalui metode loci, yang digunakan pertama kali oleh teolog sistematik,
Melanchthon. Metode kedua, mendefinisikan doktrin murni dengan analisa, memberi
contoh pertama di dalam karya John Gerhard. Dan metode ketiga, metode analisis
yang mendefinisikan doktrin murni dengan mencakup refleksi filosofi dan teologi
metafisika dan teologi alami.

Keempat, Alkitab dan Inspirasi. Gritsch menjelaskan bahwa orthodoksi


Lutheran secara umum beranggapan bahwa Alkitab adalah firman Allah. Bahkan John
Gerhard mengatakan, “Alkitab adalah Firman Allah, yang ditulis berdasarkan
keinginan Tuhan melalui evangelis dan rasul-rasul… untuk mengarahkan pada hidup
yang kekal”. Allah-lah yang menjadi penulis Alkitab. Oleh karena itu maka teologi
ortodox mengatakan bahwa penulis utama Alkitab adalah Allah dan kedua para
penulis dan akhirnya para penafsir Alkitab.
Dasar literatur inspirasi ini ditemukan dalam Alkitab itu sendiri. “Segala tulisan
yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”
(2 Timotius 3:16). Dasar lainnya adalah 2 Petrus 1:21, “Sebab tidak pernah nubuat
dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang
berbicara atas nama Allah”.
Teolog ortodox melihat inspirasi verbal ilahi sebagai alasan bahwa Alkitab
memiliki otoritas yang eksklusif, dengan “Kitab Suci itu sendiri” (Latin: sola
scriptura). “Sebab penulis Kitab Suci adalah Allah dengan langsung
menginspirasikannya kepada para nabi, penginjil dan rasul yang memiliki otoritas”.
Teolog ortodox sistematika berpendapat bahwa Alkitab sebagai firman Allah yang
berfokus pada dugaan autentisitas, sufisiensi (kecukupan), dan efikasi (kemanjuran).
Sufisiensi artinya kanon Alkitab berisikan segala sesuatunya harus dipercayai
menyelamatkan dan setiap orang harus melakukannya di dalam hidup yang
menyenangkan Allah. Sebagai efikasi, Alkitab, firman Allah harus diwartakan sebagai

28
kabar baik bagi manusia yang berdosa. Dengan argumen bahwa Alkitab adalah
autentik, sufisien, dan efikasi, para teolog ortodox mengatakan bahwa Kitab Suci
adalah benar sebagai sumber keselamatan.
Teolog ortodox juga mengatakan bahwa Alkitab bukanlah sebuah buku bagi
ilmu pengetahuan alam. Tetapi Alkitab berisikan kebenaran tentang keselamatan dan
kebenaran ini tidak dijamin dari pengalaman manusia.

Kelima, Polemik-polemik. Dalam bagian ini Gritsch mencoba memaparkan


beberapa polemik yang terjadi akibat ortodoksi Lutheranisme. Sebenarnya polemik ini
sudah muncul selama masa Reformasi dan post-Reformasi. (1) Robert Bellarmine,
Teolog Katolik Roma yang sangat berpengaruh dalam karyanya Controversies (1583)
dan dalam banyak edisi yang menuntun untuk anti-Protestan pada abad ketujuhbelas.
Polemik Lutheran yang melawan Konsili Trente adalah Martin Chemnitz dalam
karyanya Examination of the Council of Trent (1573). Lutheran juga berlawanan
dengan Reformed (Calvinis) atas perbedaan prinsip di dalam Perjamuan Kudus.
Polemik berikut yang dipermasalahkan adalah masuknya filosofi di dalam
teologi. Bagi Luther berkata bahwa sangat baik pernikahan antara filosofi dengan
teologi. Kebangkitan Aristotelianisme dan humanisme di universitas-universitas
Jerman memaksa para teolog untuk mengevaluasi aturan filosofi.
Inti polemik ortodox adalah melawan doktrin tradisi Katolik yang diterima pada
Konsili Trente. Doktrin yang diajarkan bahwa penafsiran Alkitab harus dilakukan oleh
uskup gereja yaitu paus. Ortodox Lutheran berprinsip bahwa “Hanya oleh Kitab Suci”
(sola scriptura) sebab Alkitab diinspirasikan oleh Roh Kudus.
Musuh terpenting dari doktrin Lutheran inspirasi verbal adalah Robert
Bellarminus yang mendaftarkan enam alasan mengapa Alkitab membutuhkan gereja
menjadi jelas: (1) banyak pesan menunjukkan berlawanan satu sama lainnya; (2)
Alkitab berisikan firman dan pernyataan-pernyataan yang bermakna ganda; (3)
Alkitab berisikan pernyataan yang tidak sempurna atau pemikiran-pemikiran yang
tidak konsisten; (4) Alkitab berisikan pernyataan yang mustahil; (5) banyak
ditemukan Hebraisme; dan (6) ditemukan banyak bahasa figuratif (alegoris, metafora,
dan sebagainya). Polemik ortodox Lutheran merupakan bagian pekerjaan teologi yang
harus membuat jelas perbedaan apakah itu yang benar dan palsu.

29
Keenam, Selingan irenik (menuju kedamaian). Karena sudah bosan dan capai
berpolemik, para teolog mecoba mencari dasar yang lebih tinggi. Mengapa Protestan
(Lutheran dan Calvinis) tidak menyatu melawan Katolik, Socianian dan gerakan
unortodox radikal lainnya? Franciscus Junius (1545-1602) yang mengajar di
Heidelberg dan Leiden, Belanda mencoba mendamaikan Lutheran ortodoksi dengan
mengusulkan dua esensi dogmatika loci sebagai dasar bagi kesatuan: penerimaan
otoritas Alkitab dan pusat penebusan Kristus melalui kematian-Nya. Kedua kubu ini
seharusnya jangan terlalu lama larut dalam persoalan penafsiran Perjamuan Kudus
tetapi merayakannya dengan misteri kesatuan.
Tetapi pertemuan di antara Lutheran dan Reformed di Leipzig tahun 1631 tidak
membuahkan hasil keinginan untuk bersatu walaupun sudah banyak usaha-usaha yang
dilakukan dalam mencapai kesatuan ini.
Usaha selanjutnya ialah usaha penyatuan Lutheranisme dengan Katolik yang
diprakarsai oleh Calixtus. Namun usaha ini juga ditolak oleh teolog ortodox Lutheran
karena usaha penyatuan ini merusak aturan dan otoritas Konfesi Lutheranisme.

Ketujuh, Bahaya-bahaya kesatuan (Uniformity). Di sisi lain Gritsch juga


memaparkan bahaya-bahaya kesatuan yang sedang dikerjakan oleh para teolog.
ortodox Lutheran menggabungkan komitmen konfesi Lutheran pada kesatuan orang
Kristen dengan kesatuan yang menyeluruh di dalam pengajaran, kesatuan
dogmatikanya. Pasal 7 Konfesi Augsburg telah dengan jelas bahwa “sudah cukup
[satis est] bagi kesatuan gereja yang benar untuk menyetujui pengajaran Injil dan
sakramen. Tidak lagi penting tradisi-tradisi manusia … sama seperti di mana saja”.
Ortodoksi Lutheran mewarisi dan bagian manifestasi dari skisma gereja pada
abad keenambelas gerakan Reformasi di dalam Gereja Katolik Roma yang berpisah
dari Gereja Ortodox Yunani tahun 1054. Dengan demikian ortodox Lutheran bukan
mencari kesatuan “kesatuan dari hal-hal yang kudus” sebagai mana dituangkan dalam
pasal 7 tetapi kesatuan di dalam pemikiran yang sistematik, dogma yang benar tentang
Alkitab. Konfesi Lutheran tidak memerlukan keseragaman tetapi berbicara tentang
dua kondisi bagi kesatuan yang diekspresikan dalam “sudah cukup” (it is enough”):
pengajaran Injil dan pelaksanaan sakramen.

30
2.5 PIETISME, 1675-181720

Dalam membahas Pietisme ini, Gritsch menguraikan dan menjelaskan latar


belakang berdirinya gerakan ini hingga pada perkembangannya di dunia baru.
Gerakan ini dijelaskannya secara mendalam dan sistematis. Ada beberapa catatan
yang menjadi perhatiannya dalam membahas Pietisme ini yaitu:

Pertama, Deklarasi (Manifesto) Pietis. Menurut Gritsch, gerakan ini pada


mulanya merupakan gerakan yang dihubungkan dengan ortodoksi Lutheran yang
menganut faham mistik yang dihubungkan dengan skolastisisme. Misalnya John
Gerhard mendirikan “sekolah kekudusan” (schola pietatis) tahun 1622 yang berusaha
untuk menggabungkan dogma rasional dengan kekudusan emosional. Kemudian
Johann Arndt (1555-1621) mendirikan reformasi umum kekudusan Lutheran dengan
subur. Dia melakukannya dengan mempublikasikan karyanya True Christianity tahun
1610, buku yang sangat laris dan berpengaruh pada masa itu. Arndt mengajarkan
bagaimana keselamatan di dalam Kristus menjadi sebuah jalan pengudusan melalui
tiga langkah yaitu: penyucian, pencahayaan, dan penggemblengan jiwa dengan Allah.
Tokoh lainnya yang menjadi pelopor berdirinya Pietisme ini adalah Philip Jacob
Spener (1635-1705) yang lahir di Alsace. Karyanya Spener yang terkenal adalah Pia
Desideria (Kehendak Saleh). Secara ringkas Gritsch menjelaskan isi Pia Desideria ini.
Isi Pia Desederia adalah sebuah program pembaharuan. Pia Desideria terbagi dalam
tiga pokok penting. Bab I membahas diagnosa kemunduran gereja yang menyangkut
kondisi korup di dalam gereja; bab II diikuti dengan prognosis tentang harapan
perbaikan gereja; bab III merupakan usul-usul program pembaharuan yang berisikan
enam komponen; dan inilah yang menjadi pusat manifesto Pietis.

20
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.141-178; uraian yang dalam tentang gerakan Pietisme ini dapat
dibaca dalam buku Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme: Menilai kembali Reputasi Pietisme pada
Gereja-gereja Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993); H.Berkhof & I.H.Enklaar, Sejarah
Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm.244-255. Sekitar tahun 1677 di Darmstadt, istilah
Pietisme muncul dan menjadi populer di kalangan gereja-gereja Lutheran. Kata pietisme dipergunakan
sebagai ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis), yang pada
waktu tumbuh menjamur dalam gereja-gereja Lutheran. Menurut penilaian pada waktu itu, kesalehan-
kesalehan mereka terlalu berlebihan dan dituduh Farisi oleh masyarakat. Tetapi lama kelamaan
konotasi negatif dari kata itu mulai hilang, bahkan Pietisme lalu menjadi tanda pengenal atau nama
aliran itu.

31
Bab I menganalisa kebobrokan pemerintahan gereja dengan pembedaan di
antara pengajaran dan kehidupan. Bab II berbicara tentang harapan akan masa depan
melalui dasar pembaharuan di dalam janji-janji alkitabiah. Bab III berisikan program
pembaharuan yang terdiri dari enam langkah yakni: (1) Penggunaan Firman Allah
secara ekstensif (1 Korintus 14:26-40). (2) Kebangunan Imamat yang Rajani seluruh
orang percaya. (3) Kekristenan lebih menekankan praktik dari pada pengetahuan. (4)
Tidak perlu perdebatan-perdebatan teologi. (5) Pembaharuan menyeluruh pendidikan
teologi. (6) Hidup sederhana, memperbaiki cara berkhotbah.

Kedua, Yayasan Halle. Spener adalah orang yang sangat baik dalam bersahabat
sehingga banyak yang bersimpati kepadanya. Misalnya di Berlin, salah seorang yang
menjadi pilar Pietisme adalah August Hermann Francke (1663-1727). Ia meneruskan
gagasan Spener dan mempertahankan ajaran Spener dari penentang-penentangnya.
Menurut Francke, teologi harus melayani perubahan hidup, pembaharuan gereja,
pembaharuan bangsa dan penginjilan dunia. Berbeda dengan ortodoksi, Francke tidak
menekankan doktrin yang benar, tetapi yang dipentingkan adalah perwujudan ajaran
itu di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu seperti Spener, Francke lebih
banyak berbicara tentang lahir baru dan kurang berbicara tentang pembenaran.
Tindakan objektif Allah dalam keselamatan diabaikan, sedangkan peranan subjektif
manusia ditekankan. Dengan perkataan lain Francke menganut Ordo Salutis yang
diajarkan Spener.21 Francke berjalan lebih jauh dari Spener. Kalau Spener hanya
mengandalkan Collegia Pietatis dalam universitas, maka menurut Francke harus ada
revisi seluruh sistem pendidikan, dari sekolah dasar sampai universitas. Mereka
dikenal dengan sekolah-sekolah Jerman. Francke juga mendirikan sekolah bagi
pelatihan guru. Untuk itu Francke menjadikan Halle sebagai model. Kesalehan
pendidikan menjadi perhatian utamanya, sebab mereka harus menjadi contoh bagi
anak-anak didik. Pada tahun 1707, Francke mendirikan “Seminarium Selectum
Praeceptorum”. Akhirnya, Francke mendirikan toko-toko buku dan percetakan di
panti asuhan untuk mempropagandakan program pembaharuan Halle. Gerakan ini
didukung oleh Freiherr Carl von Canstein (1667-1719) yang menjadi kepala
“Lembaga Alkitab” tahun 1710 yang menjadi lembaga Alkitab pertama di dunia
(menjadi Lembaga Alkitab Cansteinian sejak tahun 1720). Francke dan Lembaga
Halle didukung sepenuhnya oleh pemerintah Prussia. Raja-raja Prussia mengirimkan
21
Leonard Hale, Jujur Terhadap …, hlm. 28.

32
pendeta tentara dilatih dan dibimbing di Halle. Yayasan ini juga berkembang di
Copenhagen sehingga didirikanlah Misi Danish-Halle untuk mempropagandakan
Kekristenan Pietis di India. Francke sendiri memelihara hubungan dengan organisasi
Lutheranisme di Amerika dengan Henry Melchior Muhlenberg (1711-1787) salah
seorang lulusan Halle.

Ketiga, Pietis Zinzendorf. Tokoh ketiga yang terkenal dalam gerakan Pietisme
ini adalah Count Nikolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760). Gerakan Pietisme
Zinzendorf ini dimulai di Herrnhut (kelompok orang Kristen Moravian yang dipaksa
melarikan diri dari tanah airnya karena penganiayaan). Di daerah inilah Zinzendorf
mengembangkan pietismenya. Walaupun Zinzendorf dipengaruhi oleh Halle, namun
Zinzendorf mengembangkan Pietisme Herrnhurt dengan gayanya sendiri. Pandangan
teologis Zinzendorf tidak diuraikan secara sistematis. Pandangan Zinzendorf hanya
dapat disimak dari khotbah-khotbahnya atau dari perkataan-perkataannya. Zinzendorf
tidak setuju dengan ortodoksi dan Pencerahan yang terlalu menekankan akal namun ia
menekankan perasaan. Menurut Zinzendorf, agama personal adalah persoalan
perasaan dan bukan akal. Pusatnya di hati dan bukan di kepala.
Perkembangan Pietisme Zinzendorf ini selanjutnya diteruskan oleh anaknya,
Christian Renatus (Latin: “lahir kembali”, 1727-1752) yang menggiring Pietisme
Herrnhurt ke fantasi yang ekstrem. Ibadah Minggu menjadi sebuah teater yang
berisikan musik intrumental, khotbah yang memukau dan pertunjukan yang berbagai
macam gambar untuk melukiskan hubungan antara Kristus dengan orang-orang
Kristen. Bentuk ekstrem Pietisme Herrnhurt akhirnya diberhentikan tahun 1750 oleh
dewan Saxon. Zinzendorf mempunyai perbedaan yang cukup menyolok dengan
Pietisme Halle. Ia setuju dengan Halle ketika ia menekankan pertobatan dan lahir
baru. Tetapi ia menolak Francke yang terlalu menekankan penyesalan, sehingga sering
disertai dengan kesedihan dan air mata. Bagi Zinzendorf, pengalaman pertobatan
adalah pengalaman sukacita yang membawa serta jaminan keselamatan.
Akhirnya Gritsch berpendapat bahwa pandangan Zinzendorf tentang Pietisme
sebagai sebuah gerakan pembaharuan dalam gereja Katolik sama seperti gerakan
Luther dan Melanchthon dimengerti bahwa Lutheranisme menjadi gerakan
pembaharuan di dalam Gereja Katolik Roma. Sebab tiga dari mereka, mengingatkan
gereja harus bersatu tanpa menjadi seragam.

33
Keempat, Kebangunan Jemaat. Gerakan Pietisme ini mampu membaharui
kehidupan jemaat lokal misalnya di Wǜrttemberg yang menjadi pusat intelektual
Universitas Tǜbingen. Dua orang tokoh Pietisme Wǜrttemberg yang terkenal adalah
John Albrecht Bengel (1687-1752) dan seorang filsuf-teolog, Frederick Christopher
Oetinger (1702-1782). Secara teologis walaupun Bengel dipengaruhi oleh Halle,
tetapi ia memberikan warna atau cap tersendiri kepada Pietisme Wǜrttemberg.
Misalnya Bengel sangat mementingkan hidup baru, tetapi ia tidak membuat semacam
jalan khusus ke arah hidup baru itu. Beberapa yang menarik dari Bengel ialah: ia
memulai menyelidiki Alkitab dan menekankan kritik teks. Dengan kritik teks, Bengel
bermaksud menolong orang agar dapat mengerti Alkitab lebih baik. Bengel
merupakan orang yang pertama yang membuat pembagian naskah atau penggolongan
naskan dalam Perjanjian Baru.
Sementara itu, Oetinger menekankan ajaran metafisika untuk menggambarkan
kerajaan supranatural dari roh. Oetinger sangat gemar mencari jemaat yang
mengalami pengalaman khusus, termasuk vis yang menjadi bagian dari “pusat visi”.
Dia berbicara tentang “kedalaman” dari “tubuh-jiwa” di mana Kristus bersatu di
dalam cara yang luar biasa. Kekhasan Oetinger adalah dia sangat memberikan tempat
dan perhatian yang cukup besar bagi ilmu pengetahuan.
Pietisme Wǜrttemberg melestarikan, menguatkan, dan mengembangkan
panggilan Spener bagi kebangunan jemaat melalui keaktifan imam-imam dan seluruh
orang yang percaya. Dengan kelompok kecil yang terus menelaah Alkitab, berdoa,
dan membaharui masyarakat menjadikan jemaat menjadi “gereja kecil di dalam
gereja”, menguatkan kesaksian Injil di dalam gereja dan memampukan orang ke luar
dan berjuang di antara kebaikan dan kejahatan di dunia ini.

Kelima, Gerakan Radikal. Dalam gerakan Pietisme ini juga dikenal dengan
adanya gerakan yang radikal sama seperti gerekan lainnya seperti yang terjadi di
dalam gerakan Reformasi. Terkadang gerakan radikal ini memisahkan dirinya dari
institusi yang mapan. Beberapa tokoh radikal dalam Pietisme ini adalah: (1) Gottfried
Arnold (1666-1714). Orang Kristen yang benar menurut Arnold, harus mengalami
kelahiran baru secara radikal dan pembaharuan hati. Ia mengatakan semua itu terjadi
karena anugerah Allah. Arnold juga mempunyai padangan yang negatif terhadap
dunia ini. Ia juga tidak menghormati organisasi-organisasi gereja pada umumnya dan
Lutheran khususnya. Menurutnya ada empat berhala dalam Lutheranisme yaitu: kursi

34
pengakuan dosa, altar, bejana baptisan dan mimbar. Sebab menurutnya, yang paling
penting di atas segala-galanya ialah identifikasi batin dengan Kristus. (2) Ernst
Christoph Hochmann von Hohenau (1670-1721), seorang pengkhotbah kebangunan
rohani yang mengatraksikan umat dari seluruh pemberhentian hidupnya. Dia mencela
baptisan anak, sidi yang pasif, dan bergerak dengan cepat dari satu tempat ke tempat
lain untuk melarang penganiayaan politik. Orang melihat dia di Switzerland, di
Belanda, dan di Chekoslowakia di mana ia bersahabat dengan gerakan separatis
lainnya seperti Mennonit dan misitik.
Beberapa dari gerakan radikal ini membentuk jemaat kecil. Percaya pada
baptisan dewasa yang disatukan dengan yang telah membaca karya Arnold yang
berjudul First Love, yang menolak baptisan anak sebagai yang tidak alkitabiah. Salah
satu di antaranya adalah Conrad Beissel (1690-1786) yang mendirikan komunitas
monastik di Ephrata, Pennsylvania.
Ada yang menyebut dirinya sebagai “alat-alat Tuhan” yang dipimpin oleh John
Frederick Rock (1678-1749) yang mendirikan komunitas kecil di berbagai bagian
Jerman dan Switzerland.
Spekulasi milenialis bangkit kembali di dalam “jemaat Sion” di Ronsdorf dekat
Elberfeld yang didirikan oleh Elias Eller (1690-1750). Jemaat ini diinspirasikan oleh
gadis kecil yang bernama Anna von Buchel yang mengklaim memiliki pengalaman
“suara hati” yang memberitahukan kedatangan Yesus kali kedua di akhir milenium.

Keenam, Para Misionaris. Gerakan Pietisme memiliki visi bagi kesatuan orang
Kristen dan semangat bagi penginjilan yang luar biasa. Yayasan Halle Francke
menjadi puat pelatihan misionaris. Salah seorang muridnya, Anton Wilhelm Bohme
(1673-1722), menjadi pendeta tentara di Inggris dan mendirikan jaringan dengan
“Masyarakat bagi Promosi Pengetahuan Kristen” tahun 1699. Misionaris pertama
yang tamat dari Yayasan Halle adalah: Bartholomew Ziegenbalg (1682-1719) dan
Henry Plutschau (1677-1646). Dalam melaksanakan penginjilannya, Ziegenbalg
mendasarkan penginjilannya pada lima prinsip dasar yang kemudian dikenal menjadi
model bagi misionaris Pietis yaitu: (1) pendidikan Kristen bagi anak-anak di dalam
sebuah sekolah paroki harus dikonsentrasikan atas firman Allah. (2) Firman Allah
harus dimengerti di dalam bahasa setempat. (3) Pengkomunikasian Injil harus
menyesuaikan diri pada pemikiran dan kehidupan umat. (4) Misi adalah konversi

35
pribadi. (5) Gereja harus mengatur sesegera mungkin melayani dengan melatih orang
yang bertobat sebagai pemimpin.
Murid Francke yang lain, John Henry Callenberg (1694-1760) mendirikan apa
yang dikenal sebagai “Lembaga Yahudi dan Muhammad” (Institutum Judaicum et
Muhamedicum) tahun 1728 di Halle. Para misionaris dikirim ke bukan hanya ke
Eropa utara dan Timur Tengah tetapi juga ke Skandinavia. Dari Halle, mereka pergi ke
Denmark untuk mempertobatkan orang Yahudi di sana.
Pergerakan penginjilan ini semakin berkembang ke daerah Baltik (Riga dan
Reval), Belanda, Inggris, Switzerland dan ke India Barat. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Pietisme bukanlah menopang gerakan kepercayaan ekumenikal dan
misionaris, melainkan Yayasan Halle menjadi pusat misi dunia. Banyak misionaris
dilatih di sana dan dikirimkan ke seluruh dunia.

Ketujuh, Hubungan pada Dunia Baru (Amerika). Penyebaran Pietisme ini


semakin merambat ke Amerika. Lutheran kelihatan pertama sekali tahun 1528 di
Amerika Utara yang dikenal sekarang sebagai Venezuela. Kemudian Lutheran
berkembang di Florida, Swedia, New York, dan lain sebagainya.
Perkembangan Pietisme ke Amerika adalah karena seorang murid Francke di
Halle yaitu: Justus Falckner. Setelah menerima tahbisan, Falckner diutus menjadi
pengkhotbah berpindah-pindah, pergi ke Gereja Reformed Belanda dan jemaat
Lutheran di Manhattan, Albany dan Athena, New York dan Hackensack, New Jersey.
Selanjutnya, ketika Yayasan Halle dipimpin oleh Gotthilf August Francke (anak
August Hermann Francke), maka dia mengutus Henry Melchior Muhlenberg untuk
mengamankan dan mengorganisasikan permasalahan Lutheran di Amerika. Dengan
cepat dia menjadi “bapa gereja” Lutheranisme di Amerika Serikat. Tahun 1733,
Lutheran Pennsylvania mulai berhubungan dengan Pietis Halle yang dipimpin
anaknya Francke, Gotthilf dan Frederick M.Ziegenhagen, dan mereka
mempresentasikan misi Halle di London. Dua puluh empat pendeta misionaris dikirim
ke Amerika Utara, khususnya ke Pennsylvania selama parohan kedua abad kedelapan
belas. Hallesche Berichte (Laporan Halle) dari Amerika menjadi terkenal dan
digunakan untuk merekrut dan dana misionaris.
Memang harus diakui bahwa di mana saja selalu terjadi konflik dalam
penyebaran Injil. Di antara kolonial Lutheran Amerika, ada beberapa tanda konflik di
antara Ortodoksi dan Pietis Lutheran di Eropa. Pembela Ortodoksi mengatakan bahwa

36
Pietis bukanlah Lutheran yang murni dan sangat berbahaya atau bahkan kelompok
“Crypto-Herrnhuter” (Moravian tersembunyi). Akhirnya Gritsch memaparkan bahwa
Pietisme pada masa perang Tiga Puluh tahun, Lutheranisme merasa aman karena
intervensi militer atas Raja Lutheran Sedia, Gustavus Adolphus II (1594-1632) yang
dibunuh di dalam sebuah peristiwa.

2.6 DIVERSIFIKASI (KEBHINEKAAN), 1817-191822

Pada masa kebhinekaan ini Gritsch menguraikan beberapa hal yaitu:

Pertama, Kebangkitan Gereja yang Mengaku (Konfesional). Kebangkitan


gereja yang mengaku ini tidak terlepas dari kebangkita peradaban dunia pada masa
itu. Misalnya dengan kebangkitan “sistem pasar bebas” oleh Adam Smith (1723-
1790), pendeklarasian kemerdekaan Amerika Serikat (1776), Revolusi Perancis
(1789), dan lain sebagainya. Segera setelah kebangkitan itu, maka di kalangan gereja
pun mengalami kebangkitan juga. Gereja yang mengaku menyebar melalui Jerman
yang berpusat di Universitas Erlangen yang memegang pengakuan Lutheranisme yang
konservatif.
Gritsch memberikan beberapa contoh tokoh kebangkitan gereja yang mengaku
ini yaitu: (1) Pdt.Wilhelm Lohe (1808-1872) yang mengorganisasikan sebuah model
jemaat Neo-Lutheranisme tahun 1837 di Neuendettelsau, sebuah kota kecil Bavarian.
Lohe adalah seorang Neo-Lutheran yang memiliki jaringan ekumenis mengenai
substansi Konfesi Lutheran dengan misi ke dalam dan ke luar. Dia berpendapat bahwa
misi sebagai perkembangan organik menuju masa akhir yang bertentangan dengan
pasal 17 Konfesi Augsburg yang menolak spekulasi. (2) Nikolaj F.S. Grundtvig
(1783-1872) seorang pendeta Denmark yang memimpin gerakan reformasi pada
permulaan tahun 1830 di Skandinavia. Dia menunjukkan dasar roh kebebasan
ekumenis Lutheranisme di dalam tradisi pengakuan para rasul untuk menyatukan
Kekristenan dan budaya melalui pendidikan. (3) Hans Nielsen Hauge (1771-1824)
seorang pemimpin kebangkitan di Norwegia. Dia merupakan seorang penganut
konfesi Lutheran di dalam arti bahwa dia meyakini disiplin orang Kristen menjadi
dasar pembedaan di antara hukum Taurat (penampakan dosa) dan anugerah
22
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.179-216.

37
(menyingkap keselamatan di dalam Kristus). (4) Pdt.Lars Levi Laestadius (1800-
1861) dan pengkhotbah awam Carl Olof Rosenius (1816-1868) yang menjadi
pemimpin kebangkitan di Swedia. Mereka menciptakan kebangunan keagamaan
dengan pembaharuan moral dan misi di dalam dan ke luar. (5) Paavo Ruotsalainen
(1777-1852) seorang pemimpin kebangkitan di Finlandia yang dikenal dengan “nabi
dari padang gurun”. Khotbahnya tentang pertobatan dan kebutuhan akan doa diminati
banyak orang baik imam maupun kaum awam.
Gereja Jerman mengaku dan Lutheran liberal mencoba bersatu melawan
berbagai ancaman kesatuan dengan Reformed. Maka mereka mendirikan Allgemeine
Evangelische-Lutherische Konferenz atau Konferensi Evangelikal Lutheran Umum
tahun 1867 yang bertemu pada tahun 1868 di dalam sidang raya di Hannover. Isu
utama yang dibahas ialah arti dari Konfesi Augsburg pasalal 7 dihubungkan pada
kepemimpinan gereja.

Kedua, Misi ke Dalam. Melanjutkan perhatian pada praktik kehidupan Kristen


maka diciptakanlah gerakan Misi ke Dalam (Inner Mission) di Jerman dan di
Skandinavia. Gerakan ini pada dasarnya adalah sebagai tambahan pada gerakan “misi
ke luar” yang bertugas untuk menyampaikan bimbingan Alkitab kepada sesama
manusia, pelayanan diakonia kepada seluruh warga jemaat. Pendeta Lutheran dan
tokoh-tokoh gerakan Misi ke Dalam yang sangat antusias dalam misi ini misalnya: (1)
Pdt.John E.Oberlin (1740-1826) di Waldbach, Alasce, melakukan pekerjaan sosial
dengan mendirikan sekolah, menyehatkan perbankan, dan peningkatan pertanian. (2)
Pdt. John Falk (1768-1828) yang mengabdikan dirinya memelihara keluarga dan
anak-anak yang membutuhkannya. Dia mendirikan bimbingan keluarga, persekutuan
kecil bagi bimbingan keagamaan dan “rumah pemulihan” (Rettungshauser) dan yang
paling terkenal adalah “Lutheran Court” (Lutherhof) di Weimar. (3) Theodor Fliedner
(1800-1864) yang menganjurkan program anti kemiskinan, pembaharuan penjara, dan
aktif melayani kaum perempuan yang bekerja di perindustrian. Dia juga mendirikan
rumah sakit bagi orang-orang miskin dan mendirikan rumah diakones pertama di
Kaiserswerth yang menjadi pusat pelatihan bagi gereja khususnya pendidikan dan
pastoral konseling. (4) John H.Wichern (1808-1881) yang diasuh Pietisme dan Inner
Mission memiliki teologi aksi sosial. Mulai terjun ke aksi sosial di Hamburg dengan
mengumpulkan anak-anak dan tahun 1833 mendirikan pusat pendidikan bagi anak-
anak muda penjahat yang dikenal sebagai “rumah cowboy” (Rauhes Haus). Tamatan

38
dari pendidikan ini menjadi “saudara” yang pergi ke jalanan untuk menyelamatkan
anak-anak lainnya dari kehidupan yang tercela dan misikin. (5) Pdt.Frederick
Bodelschwingh (1831-1910). Dalam masa pelayanannya di daerah Dellwig an der
Ruhr di wilayah orang miskin di Rheinland, dia kehilangan empat orang anaknya
dalam masa dua minggu karena epidemi batuk. Peristiwa ini mengubah hidupnya.
Tahun 1877 dia mendirikan rumah persaudaraan, yang menuntun anak-anak yang
terlantar di jalanan dan tahun 1882 dia mendirikan “balai latihan kerja”
(Arbeitskolonie) dekat Wilhelmsdorf di tempat orang-orang yang diluar kasta dan
penduduk yang bermental sakit. “Kerja adalah amal” itulah motto hidupnya. Di
samping misi ke dalam, dia juga melakukan misi ke luar dengan mendirikan Lembaga
Misi bagi Jerman Afrika Timur (sekarang Tanzania). Pekerjaannya ini kemudian
dilanjutkan oleh anaknya, Bodelschwingh Jr. (1877-1946). (6) Johan Gottfried Herder
(1744-1803) seorang tokoh gerakan misi ke dalam di Jerman yang menekankan
“terang, hidup dan kasih” sebagai suara umum filosofi romantik. (7) Pdt.Vilhelm
Beck (1829-1901) yang membantu pemerintah Denmark dalam misi ke dalam tahun
1861 dengan mendirikan tiga puluh misi ke dalam pada tahun 1872. (8) Pdt.William
A.Passavant (1821-1894), tokoh gerakan misi ke dalam di Austria tahun 1874 dengan
berbagai macam lembaga termasuk rumah induk bagi diakones di Gallneukirchen
dekat Linz.

Ketiga, Menuju pelembagaan di Amerika Utara. Pada tahun 1817, tapal


batas Amerika Utara telah dibuka oleh transportasi yang baik dan penganiayaan yang
memalukan pada penduduk asli Amerika yang disebut dengan Indian. Lutheran New
York mendirikan Badan Misi ke Dalam tahun 1823 yang dipimpin oleh kepala
Seminary Hartwick, Ernst L.Hazelius (1777-1853) pendiri Moravian. Tokoh yang
menonjol dalam masa ini adalah Samuel S.Schmucker (1799-1873). Dia memiliki tiga
cita-cita bagi Lutheranisme di Amerika Utara yaitu: (1) mendirikan sekolah seminary
untuk mempersiapkan pendeta-pendeta yang berpendidikan; (2) mendirikan perguruan
tinggi sebagai dasar bagi pengetahuan umum dan yang dikhususkan pada bidang
filosofi dan teologi; dan (3) membangun komposisi teologi sistematik Lutheran dan
dogmatika Lutheran. Namun Sinode umum hanya menyetujui dua hal yaitu dengan
mendirikan Seminary Gettysburg tahun 1826 dan Perguruan Tinggi Gettysburg tahun
1832 yang keduanya berada di Pennsylvania.

39
Gritsch berpendapat bahwa motivasi kehadiran Lutheran di Dunia Baru dari
Jerman dan Skandinavia adalah karena alasan politik, ekonomi, dan agama. Perluasan
pelembagaan Lutheran sangat cepat di Amerika. Hal ini terlihat dari fakta bahwa
paling sedikitnya enam puluh sinode diorganisasikan di antara tahun 1830 dan 1875.
Lutheran Amerika Serikat juga mengutus para misionarisnya ke Kanada. Para
misionaris juga mendirikan persekutuan di Ontario dan Nova Scotia. Pelembagaan
Lutheranisme di Amerika Utara termasuk juga di dalamnya pendirian lembaga
pendidikan khususnya seminary-seminary, perguruan tinggi dan universitas-
universitas.

Keempat, Versi/sayap Missouri. Tahun 1839, tujuh ratus Lutheran Saxon


memprotes melawan rasionalisme dan melakukan/memprakarsai perpindahan
penduduk ke St.Louis (dan kota Perry), Missouri yang dipimpin oleh pendeta Dresden
Martin Stephan. Tetapi pemalsuan dan kesalahan dana managemen menghancurkan
koloni Lutheran. Pemimpin baru, Pdt.C.F.W.Walther (1811-1887) mendirikan dasar
bagi sinode mendatang bagi “gereja yang benar” yang loyal kepada Konfesi Lutheran.
Sebab sinode tersebut diorganisasikan empat badan yaitu: (1) Orang Saxon dari
Missouri, (2) Para misionaris Lohe, (3) Wilhelm Sihler dan sahabatnya yang
dikeluarkan dari sinode Ohio, dan (4) Frederick C.D.Wynecken dan koleganya yang
dikeluarkan dari Sinode Umum. Mereka semua berkeinginan untuk melestarikan
Lutheranisme dari Amerikanisasi. Dalam sebuah kesepakatan bersama tahun 1846,
mereka menegaskan menerima Konfesi Lutheran “sebagai penjelasan yang benar dan
tidak menyimpang dan penampakan Firman Allah”.
Sinode baru ini berkeinginan sekali untuk mempropagandakan konfesi
konservatif ini melalui tiga jurnal yaitu: Der Lutheraner, yang dipublikasikan pertama
kali oleh Walther tahun 1844; Lehre und Wehre (Doktrin dan Pembelaan) tahun 1855;
dan Lutheran Witness tahun 1882. Concordia Seminary menjadi pusat teologi yang
dipimpin oleh Walther.
Namun kesatuan ini tidak bertahan lama sebab Lohe dan Walther memiliki
perbedaan pandangan tentang tahbisan pendeta. Lohe berpendapat bahwa hanya
pendeta yang dapat ditahbiskan sinode. Sementara Walther mengatakan bahwa
penahbisan itu juga termasuk kepada pelayan sebagai lembaga ilahi. Perdebatan lain
yang terjadi di antara Missouri dan Sinode Lutheran lainnya adalah berkenaan dengan
predestinasi.

40
Kelima, Pemikiran sekolah-sekolah Teologi Eropa. Dalam bagian ini Gritsch
memaparkan beberapa pemikiran teolog-teolog Eropa seperti: (1) Friedrich
Schleiermacher (1768-1834) yang mencoba membalas rasionalisme filosofi
Pencerahan dengan teologi yang didasarkan pada pengalaman iman. Pengalaman
iman bukan semata-mata pengalaman perorangan, tetapi juga pengalaman
persekutuan orang Kristen. Dari pengalaman seperti itulah rumusan-rumusan iman
telah dan akan dirumuskan. Schleiermacher yakin bahwa setiap orang adalah religius
dan memiliki perasaan kebergantungan sama pada semua agama serta tujuan agama
pada akhirnya adalah membawa manusia dalam hubungan yang harmonis dengan
Allah.23 Schleiermacher adalah teolog pertama yang membangkitkan pemikiran
teologi Lutheran Jerman pada abad itu sebelum akhir Perang Dunia I tahun 1918. (2)
Albrecht Ritschl (1822-1889) salah seorang murid Baur yang mengajar di Berlin.
Menurutnya, Kekristenan berakar di dalam inkarnasi Allah di dalam Yesus dan di
dalam dogma Trinitas. (3) Adolf von Harnack (1851-1930) seorang sejarawan dogma
yang menetap di Tǜbingen dan mengajar di Berlin. Dia menunjukkan bahwa ide-ide
Yunani mendominasi Kekristenan mula-mula dan bagaimana perhatian pergeseran
dari pengajaran Yesus pada pribadi-Nya. Bagi Harnack ada hal-hal penting yang harus
diperhatikan dalam kebangunan Kekristenan berdasarkan tiga esensi pengajaran
Kristus yaitu: a) pemerintahan Allah dan kedatangan-Nya, b) Allah Bapa dan nilai
jiwa manusia yang tidak terbatas, dan c) kebenaran yang tertinggi dan perjanjian
kasih. (4) David F. Strauss (1808-1874) seorang sejarawan yang paling radikal yang
memprakarsai perdebatan panjang dengan penerbitan biografinya tentang Yesus. Dia
membedakan antara apa yang dia sebut dengan Kristus iman dan Yesus sejarah.
Tokoh dan pemikir lain yang dicatat oleh Gritsch dalam bukunya ini adalah:
Ludwig Feuerbach (1804-1872), John K.von Hofmann (1810-1877), Gottfried
Thomasius (1802-1875), Isac A.Dorner (1809-1884), Wilhelm Herrmann (1846-
1922), Hans L.Martensen (1808-1884), Søren Kierkegaard (1813-1855), Henrik
Schartau (1757-1825), dan Wilhelm Dilthey (1833-1911).

Keenam, Di luar Eropa dan Amerika Utara. Gerakan kebangunan dan Misi
ke Dalam di Eropa seperti migrasi orang Lutheran ke Amerika Utara, menguatkan

23
Bnd. F.D.Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993), hlm. 222.

41
misi global pertama yang dipelopori oleh Pietis. Pekerjaan misionaris ini menjadi
bagian program global yang digaungkan William Carey (1761-1834), seorang tukang
sepatu Baptis Inggris dalam sebuah khotbahnya tahun 1792 atas Yesaya 54:2-3. Abad
kesembilan belas menjadi abad misi. Anglikan, Methodis, dan Baptis mengambil
bagian dalam misi ini. Berbagai lembaga misi bangsa dan wilayah mendukung dan
mempropaganda untuk menginjili kepada orang kafir yang kemudian dikenal sebagai
negara berkembang (di luar Amerika Utara dan Eropa).
Gereja-gereja Lutheran Jerman pertama mendukung Lembaga Reformed Basel
di Switzerland (1819). Berlin menjadi pusat kegiatan bagi misi asing tahun 1824 yang
didukung oleh gereja. Pdt.John Gossner (1773-1858) mentransformasikan usaha ini ke
dalam Lembaga Gossner tahun 1829.24 Lembaga Barmen-Rhenish (1829) memulai
Jerman mendukung pekerjaan gereja di Inggris dan di London.
Setiap Gereja Lutheran di kota Skandinavia memiliki lembaga misionarisnya
sendiri yang bekerja di daerah jajahan Skandinavia seperti: Badan Misi Denmark
(didirikan tahun 1821), Badan Misi Norwegia (1824), Badan Misi Swedia (1835), dan
Badan Misi Finlandia (1859).
Lebih jauh Gritsch memaparkan kegiatan-kegiatan misi ke luar ini di berbagai
benua misalnya di Asia dan Pasifik, di Afrika, dan di Amerika Utara.
Ketujuh, Akibat Perang Dunia. Dalam bagian ini Gritsch memaparkan
pengaruh Perang Dunia bagi perkembangan Lutheranisme di dunia. Perang Dunia I
(1914-1918) memberikan konsekuensi tragis bagi Lutheranisme. Gereja Luther
Jerman secara total tertutup dari Lutheran lainnya, bahkan dari orang Kristen. Di
Amerika Utara, orang Amerika lainnya berpandangan Lutheran sebagai musuh. Misi
Lutheran di seluruh dunia terhambat tetapi dilanjutkan sebagai misi panitia asuhan
yang dikerjakan oleh para misionaris Protestan dari Amerika Serikat, Kanada, Austria
dan Swedia.
Dua simbol peristiwa kegagalan akibat Perang Dunia I ini yaitu: Pertama, dua
pemimpin Kristen dipisahkan oleh perang, Pdt.Frederick Sigmund-Schultze dari
Gereja Lutheran Jerman Bersatu dan Quaker Henry Hodkin Inggris, merencanakan
menciptakan sebuah kesaksian melalui formasi Perjanjian Rekonsiliasi Internasional.
Hal ini tidak pernah terealisasi karena kekurangtertarikan orang Kristen Protestan di
Jerman dan Inggris. Kedua, hampir dalam waktu yang bersamaan, pendeta tentara

24
Dan lembaga ini mengutus Ottow dan Geinsler ke Papua tahun 1815.

42
Lutheran di dewan Prussia berkhotbah pada ibadah bagi delegasi entusiastik tentang
perang atas pesan alkitabiah “Jika Allah di pihak kita, siapa lawan kita?” (Roma 8:31).

2.8 UPAYA-UPAYA BARU25

Bagian terakhir buku Gritsch ini membahas tentang upaya-upaya baru bagi
Lutheranisme dan implikasinya di dalam perkembangan dunia. Perjuangan
Lutheranisme mengarah ke dunia baru dan harapan baru. Karena itu Gritsch
membahas topik ini dengan berbagai topik yaitu:

Pertama, Para Penggagas (Pioneering) Gerakan Ekumenis. Setelah Perang


Dunia I, perasaan kesatuan kemanusiaan mulai mempengaruhi kesatuan Kekristenan.
Usaha perdamaian dunia dan internasional mulai dikerjakan. Banyak organisasi dunia
internasional didirikan untuk mempromosikan perdamaian dunia. Mahasiswa
dinasihati untuk berdamai. Gerakan Mahasiswa Kristen tahun 1895 menjadi pelopor
utama bagi kesatuan Kekristenan dan misi sebagai dasar perdamaian. Pemimpin
Kristen bergabung dalam jalan ini. Misi Kristen menderita kemiskinan kesatuan
Kekristenan. Uskup Uppsala Gereja Lutheran Swedia, Nathan Soderblom (1866-
1931) merupakan pemimpin pertama mentransformasi kesatuan Kekristenan dalam
sebuah program nyata. Soderblom membuat proposal pertamanya bagi kesatuan orang
Kristen tahun 1908 selama masa kunjungan Raja Edward VII Inggris. Soderblom
terus berusaha untuk mewujudkan kesatuan ini melalui Aliansi Gereja-gereja Dunia
untuk mempromosikan persaudaraan internasional. Soderblom membuat sebuah
“Manifesto” tahun 1917 yang ditandatanganinya. Soderblom melanjutkan
mengundang konferensi internasional termasuk Gereja Ortodox Yunani dan Gereja-
gereja Katolik Roma. Banyak gereja Ortodox setuju berpartisipasi tetapi Vatikan di
Roma mundur dari pertemuan. Tetapi Soderblom mampu mengumpulkan enam puluh
anggota Badan Aliansi Internasional Dunia dari empat belas negara di Oud Wassenaar
dekat The Hague (=Den Haag), Belanda tahun 1919.
Hingga Perang Dunia II (1939-1945), Gereja Lutheran melanjutkan untuk
mendukung gerakan ekumenis ini. Perkembangan yang terlihat dalam Konferensi
Iman dan Tata Gereja tahun 1937, delegasi Lutheran semakin bertambah dari luar
25
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.217-256.

43
Eropa (Amerika Utara, India). Karena gereja-gereja Lutheran sudah semakin banyak
maka timbullah kerinduan untuk membentuk sebuah kesatuan yang khusus bagi
orang-orang Lutheran yang dilaksanakan di Eisenach, Jerman tahun 1923 dengan
pertemuan Konfensi Lutheran Se-Dunia. Inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya
Federasi Lutheran Se-Dunia tahun 1947. Dan masih banyak lagi kesatuan gereja-
gereja Lutheran di berbagai negara seperti di Amerika Utara, Washington, Amerika
Serikat, dan lain sebagainya. Pergerakan ini terus diperjuangkan hingga pada masa
Dietrich Bonhoeffer (1906-1945).

Kedua, Perjuangan dengan Tyranny26. Gerakan ekumenis terputus akibat


Perang Dunia II (1939-1945) dan akibat dasar ideologi perjuangan Fasisme di Italia
yang dipimpin Benito Musolini (1883-1945), Sosialisme Nasional Jerman yang
dimpimpin Adolf Hitler dan komunis Rusia, Joseph Stalin (1879-1953). Lutheranis
menghadapi situasi politik baru di Jerman setelah tahun 1918, ketika teritorial
kerajaan kehilangan kuasa vetonya atas gereja sebagai “uskup tertinggi” (summi
episcopi).
Lebih jauh dalam ulasan ini Gritsch menjelaskan panjang lebar perjuangan
gereja Lutheran di Jerman, Skandinavia, Norwegia dan di Hungaria dengan situasi
negara yang dikuasai oleh Nazi dan komunis Rusia. Ketakutan atas Nazisme Jerman
dan komunis Rusia menyapu seperti awan hitam atas Lutheranisme di Eropa.

Ketiga, Kecenderungan Teologi. Pemerintahan Nazisme di Jerman membuat


traumatik bagi teologi Lutheran. Konfesi teolog yang benar milik Konfesi Gereja di
dasarkan pada Konfesi Barmen tahun 1934. Walaupun banyak pengajaran teologi
diajarkan uskup, pendeta, dan jemaat untuk memelihara iman melalui konferensi,
buku-buku, dan hubungan keluarga. Teolog yang memiliki pengaruh selama dan
setelah Perang Dunia II adalah: (1) Karl Barth (1886-1968) 27 seorang pendeta
Reformed Swiss. (2) Rudolf Bultmann (1884-1876)28 yang membedakan antara
26
Gereja Lutheran tidak mendukung Nazi/Hitler pada masa ini, walaupun ada tuduhan bahwa seolah-
olah ajaran Luther khususnya Ajaran Dua Kerajaan-nya menjadi landasan keberpihakan greja kepada
Hitler. Gereja memang menyambut Hitler pada mulanya karena Hitler berjanji akan menyelamatkan
Eropa dari ateis-komunis. Tetapi tidak semua gereja mendukung Hitler. Misalnya, Martin Niemoller,
memimpin perlawanan gereja terhadap Hitler dengan membentuk kelompok Gereja Yang Mengaku dan
berperan aktif menyusun Deklarasi Barmen (Lih. MSE.Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,
(Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), hlm. 3.
27
Bnd. Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke-20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993),
hlm. 24-35.
28
Ibid., hlm. 60-71.

44
“eksistensi” (kenyataan) dan “mitos” di dalam Perjanjian Baru. (3) Paul Tillich (1886-
1965)29 yang membahas pengertian keagamaan, khususnya hubungan Kekristenan
pada pluralisme keagamaan. Teologi Kristen harus memiliki dasar filosofi agar
keagamaan itu berada pada posisi kebenaran. Baginya, iman adalah sebagai
“keprihatinan yang mahaluhur” yang membangun pertanyaan eksistensi terakhir.
Masalah ini dinamakan dengan “korelasi” untuk menjawab pertanyaan khusus yang
didasarkan pada Allah, “dasar dari segala sesuatu”. Artinya bahwa antara dua hal ada
hubungan timbal-balik. Hubungan Allah dan manusia saling bergantungan: Allah
untuk manusia dan manusia untuk Allah.

Keempat, Lutheran World Federation (LWF). Ketika Konvensi Lutheran Se-


Dunia pertama kali bertemu di Eisenach tahun 1923, maka harapan akan kesatuan
Lutheran akan bertumbuh. Namun Perang Dunia II menghancurkan usaha kesatuan
global ini. Setelah Perang Dunia II, tapi sebelum pendirian Dewan Gereja-gereja Se-
Dunia tahun 1948, ada empat pilar yang menjadi perhatian Lutheran bagi organisasi
Federasi Lutheran Se-Dunia ini di Geneva yaitu: (1) tolong-menolong dalam
kebutuhan, (2) berinisiatif bagi misi umum, (3) usaha bersama di dalam teologi dan
(4) merespons tantangan ekumenis. Gereja Lutheran German, Skandinavia dan
Amerika Serikat menjadi penggerak utama melahirkan pertemuan federasi pertama
kali di Lund, Sweden, tahun 1947. Sekretaris eksekutif pertama LWF (kemudian
sekretaris jenderal) adalah, Sylvester Michelfelder, seorang pendeta Gereja Lutheran
Amerika. Konstitusi LWF tidak begitu menekankan kesatuan doktrinal tetapi
menekankan kesatuan itu sebagai “persahabatan bebas gereja-gereja Lutheran” yang
tidak mengintervensi otonomi gereja masing-masing.
Gritsch dalam bahasannya ini menyebutkan lebih dalam lagi apa yang terjadi
dalam tubuh LWF itu sendiri, baik itu pergumulan mengenai integritas pengakuan
gereja Lutheran, persoalan tindakan dan perilaku anggota gereja yang tinggal di
negara-negara komunis, proses penerimaan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
menjadi anggota LWF tahun 1952 dengan menerima pengakuan iman HKBP tahun
1951, hingga kerjasama yang dibangun LWF dengan Dewan Gereja-gereja se-Dunia
sebagai rasa pertanggungjawaban LWF atas persoalan dunia. LWF juga bergabung
dan memperhatikan persoalan hak azasi manusia, persoalan politik di Amerika Latin
dan lain sebagainya.
29
Ibid., hlm. 84-95

45
Kelima, Gerakan Dialog Ekumenis. Lutheranisme abad enambelas
membangun norma-norma ekumenis liberal bagi dialog untuk menjangkau kesatuan
Kristen kembali. Gereja Katolik Roma, Persekutuan Reformed (Zwinglian-Calvinis),
dan Gereja Orthodok Timur menjadi pola dalam berdialog. Philipp Melanchthon
pemimpin penganjur gerakan ekumenis Lutheran yang memformulasikan kondisi bagi
dialog di dalam pasal 7 Konfesi Augsburg yakni untuk menyetujui firman dan
sakramen. Tetapi tidak ada persetujuan yang mungkin terjadi pada abad keenambelas.
Tim Lutheran dan Katolik mencoba sekuat tenaga di Regensburg tahun 1541 tetapi itu
pun gagal. Tidak ada lagi dialog yang dilaksanakan hingga akhir masa Vatikan II
tahun 1965 di Baltimore. Banyak usaha Lutheran-Reformed untuk mengatasi
permasalahan Perjamuan Kudus, itu pun gagal.
Namun dalam perkembangan selanjutnya pintu dialog pun mulai terbuka.
Masing-masing organisasi Gereja-gereja nasional dan LWF telah menjadi mitra kerja
(partner) di dalam gerakan dialog ekumenis pada abad keduapuluh dengan
kebangkitan gerakan ekumenisme. Dialog yang dibangun itu pun bermacam-macam.
Ada tingkatan dialog yang bilateral (dengan dua mitra) dan ada yang multilateral
(banyak mitra). Beberapa dialog internasional yang disponsori oleh LWF adalah: (1)
Dialog Gereja Lutheran dengan Gereja Katolik Roma, (2) Dialog Gereja Lutheran
dengan Gereja Reformed (Zwinglian dan Calvinis), (3) dialog Gereja Lutheran
dengan Gereja Anglikan, (4) dialog Gereja Lutheran dengan Gereja Ortodox, (5)
dialog Gereja Lutheran dengan Denominasi lainnya.

Keenam, Percaturan (Konstelasi) Global. Lutheran dapat ditemukan hampir


di seluruh dunia. Jumlahnya sekitar 64 juta orang yang berada di Eropa (37 juta),
Afrika (10,5 juta), Etiopia (3,3 juta), Tanzania (2,5 juta), dan di daerah lainnya. 30
Pemimpin yang terkenal di dalam organisasi ini adalah: Josiah Kibira (1925-1988),
presiden LWF dari tahun 177 hingga 1984.
Lebih lanjut uraian Gritsch ini memaparkan keadaan dan pergumulan gereja-
gereja Lutheran di bebagai belahan bumi ini seperti di Afrika, di Eropa, di Asia, di
Asia Timur Jauh, di Amerika Utara. Pada bagian akhir bahasan ini Gritsch
menjelaskan bagaimana status dan kedudukan Gereja Lutheran Missouri yang tidak

30
LWF sekarang terdiri dari 140 anggota gereja-gereja di 78 negara di seluruh dunia dengan jumlah
anggotanya 68,3 juta (lih. Lutheran World Information (LWI) pada www.lutheranworld.org).

46
mau bergabung dengan LWF karena perbedaan pemahaman doktrin tentang inspirasi
Alkitab.

Ketujuh, Konfesi dan Budaya. Lutheranisme mulai sebagai gerakan


pembaharuan di dalam Gereja Katolik Roma. Ketika paus dan kaisar mencoba
membasmi gerakan pembaharuan melalui gerakan pengucilan dan pengeluaran edik
paus, Lutheranisme melakukan pembaharuan baru. Konfesi Augsburg tahun 1530
bukan hanya merupakan pernyataan doktrinal tetapi juga merupakan uraian dari apa
yang dipikirkan dan dilakukan di dalam penguasaan teritorial. Konfesi ini pertama
kali mendaftarkan “Pasal Iman” dan kemudian “Pasal yang membeberkan penurunan
moral yang telah diperbaiki”.
Lutheranisme memahami dirinya sendiri menjadi pembela kemurnian katolik
dan “tradisi manusia” ekumenis yang didasarkan pada Alkitab dan persetujuan dengan
Bapa-bapa Gereja kuno dari Gereja Katolik Roma sebelah Barat sama seperti
Ambrosius dan Augustinus. Lutheranisme menganggap bahwa setiap orang “tradisi
manusia” Kristen tidak identik dengan “satu, Gereja Kristen yang kudus”. Di dalam
kepelbagaian ini, kesatuan gereja dilihat di dalam persekutuan firman dan sakramen.
Reformasi bukan skisma pertama yang dihubungkan dengan kekuatan budaya.
Ada tiga skisma yang terjadi di dalam Kristendom sebelum Reformasi terjadi.
Pertama, Orang Kafir dan Orang Kristen Yahudi menghancurkan kesatuan mereka
atas permasalahan sunat dan makanan. Kedua, skisma atas doktrin keilahian Kristus
pada abad keempat di Mesir. Arian menolak keilahian Kristus dan memaksa gereja
berdebat di dalam hal doktrin Tritunggal. Dan ketiga, skisma besar antara Gereja
Timur dan Gereja Barat tahun 1054 di mana kedua kubu saling menghukum satu
dengan lainnya.

2.8 KESIMPULAN: BAGI LUTHER?31

Pada bagian akhir bukunya ini Gritsch mencoba membuat kesimpulannya yang
khusus ditujukan kepada Martin Luther atau yang lain karena masih merupakan
sebuah pertanyaan.
Dalam kesimpulan akhirnya ini Gritsch berpendapat bahwa Lutheranisme hanya
mencoba untuk menstir di pertengahan antara autoritarianisme dan anarkhisme dan
31
Eric W.Gritsch, A History of …, hlm.257-260.

47
kemudian memberitakan Injil dan melaksanakan sakramen sebagai jaminan melawan
ketakutan. Dan yang paling berharga dari kesimpulannya adalah bahwa Luther
merupakan seorang tiang penunjuk jalan yang terpandang di atas jalan ramai tradisi
Kristen. Martin Luther tidak boleh diabaikan – paling tidak oleh orang Lutheran itu
sendiri.
Sebagai pelengkap buku ini Gritsch menambahkan kronologi peristiwa yang
terjadi di dalam perjalanan sejarah Lutheranisme di dunia ini sejak hari lahirnya
Martin Luther hingga tahun 2000. Kronologi ini juga sekaligus mencantumkan
kronologi yang terjadi di dunia dengan berbarengan apa yang terjadi pada masa
Lutheranisme itu sendiri.32

3. TANGGAPAN HISTORIS

A. ISI BUKU

Berdasarkan apa yang dikeluhkan oleh penulis buku ini pada kata sambutannya
bahwa sangat jarang ditemukan sebuah buku yang memaparkan secara umum sejarah
Lutheranisme, inilah yang mendorong Gritsch untuk menulis buku ini. Secara umum
harapannya itu termaktub dalam buku ini. Dengan membaca buku ini maka kita akan
tertolong memahami gerakan Lutheranisme sejak awal hingga abad kedua puluh satu,
walaupun harus diakui bahwa pembahasan topik demi topik masih merupakan
pembahasan umum.
Memang banyak buku-buku yang membahas sejarah Lutheranisme, namun
pembahsan mereka hanya difokuskan pada salah satu bagian daerah tertentu, misalnya
Lutheranisme di Amerika Utara, Lutheranisme di Jerman dan lain sebagainya. Namun
dengan membaca buku ini, kita akan melihat benang merah gerakan Lutheranisme di
seluruh dunia ini, baik yang ada di Eropa, maupun di Amerika Utara, Asia dan Afrika,
dan daerah-daerah lainnya di dunia ini.

32
Pada tabel kronologis tersebut tidak disebutkan tahun dari “Joint Declaration on the Doctrine of
Justification (1995). Yang disebutkan/dicatat adalah “celeberation” dari deklarasi tersebut pada tahun
1999.

48
B. REFLEKSI

Setelah membaca buku ini, maka timbul dalam benak saya bahwa: pertama,
perpecahan di dalam gereja Lutheran sejak dulu selalu diakibatkan oleh persoalan
doktrin dan ajaran yang dipahami berbeda, pemahaman hubungan Gereja dan Negara
dan Tata Gereja yang berbeda-beda di kalangan Lutheranisme itu sendiri. Berbeda
dengan situasi Gereja Lutheran di Indonesia, perpecahan yang terjadi di Gereja bukan
karena pemahaman akan doktrin yang berbeda, melainkan karena persoalan pemimpin
organisasi gereja itu sendiri.
Kedua, sejak dulu hingga kini sangat sulit mempersatukan orang Kristen.
Perseteruan antara Gereja Katolik Roma dengan Protestan dipelihara ratusan tahun.
Untunglah perseteruan tersebut sudah diakhiri dengan ditandatanganinya Joint
Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and
The Roman Catholic Church yang dirayakan pada 31 Oktober 1999 di Augsburg. 33
Jika Lutheran dan Katolik sudah bisa membuat sebuah persetujuan bersama, mengapa
gereja-gereja yang sealiran dengan Lutheranisme tidak mengikuti jejak ini? Misalnya
di Indonesia sendiri, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam cita-cita
luhurnya untuk mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia. 34 Namun
apa yang terjadi? Malahan yang terjadi adalah krisis (kepemimpinan) gereja-gereja
Protestan. Kemudian gereja-gereja yang sealiran juga semakin semangat membentuk
kesatuan-kesatuan mereka sendiri, misalnya: Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta di
Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta35, dan lain-lain.
Ketiga, warna teologi Lutheran tidak sama di seluruh dunia. Mengapa? Sebab
banyak gereja yang mengaku anggota LWF namun dalam ibadah, tata gereja dan
peraturan lainnya tidak seutuhnya murni didasarkan pada ajaran dan tata ibadah
Lutheran murni. Misalnya, Gereja-gereja Lutheran yang ada di Indonesia pada
umumnya tidak murni memakai tata ibadah Lutheran.

33
Lih. Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The
Roman Catholic Church, (Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K.: William B.Eerdmas Publishing
Company, 2000), hl.241.
34
Pergumulan ini disampaikan oleh Pdt.Dr.Natan Setia Budi dalam sebuah tulisannya yang berjudul
“Krisis (Kepemimpinan) Gereja-gereja Protestan” dalam Jeirry Sumampow, dkk, Krisis Gereja
Protestan?, (Jakarta: Keluarga Alumni STT Jakarta, 2004), hlm.145-153.
35
Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta ini dideklarasikan tanggal 20 April 2008 oleh Gereja-
gereja Lutheran Se-Jakarta di GKPA Penjernihan, Jakarta.

49
Keempat, sebenarnya harus diakui bahwa perkembangan Lutheranisme di
seluruh dunia tidak begitu berkembang pesat, bahkan yang terjadi sebaliknya semakin
menurun. Berbeda dengan Gereja Katolik, dari tahun ke tahun perkembangan gereja
ini terlihat statis dan bertahan. Data statistik Kristen di dunia menunjukkan bahwa
jumlah Kristen keseluruhannya hampir mencapai 2,1 milyard dari 6,6 milyard
penduduk dunia. Dan dari 2,1 milyard tersebut, 1,1 milyard adalah Katolik. Dari
statistik ini terlihat bahwa, sejak Reformasi Luther 1517 hingga kini, Lutheranisme
tidak bisa mengimbangi jumlah Katolik itu sendiri. Itu berarti pengaruh ajaran Luther
terhadap Katolik tidak begitu mempengaruhi jumlah anggota Katolik itu sendiri.
Memang harus diakui bahwa, pengaruh Luther ini tidak hanya dirasakan oleh pihak
Lutheranisme itu saja bahkan sebenarnya pengaruh Luther itu sangat besar bagi
pembaharuan Katolik itu sendiri dari dalam.

4. KEPUSTAKAAN

Aland, Curt A History Of Christianity, Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986.


Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran Di Dalam dan Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995.
Berkhof, H.& Enklaar, I.H.Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
Buku Konkord, (terj. ) P.Siantar, Lutheran Literatur Team, 1986.
Curtis dkk, A.Kenneth 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006.
Gritsch, Eric W. A History of Lutheranism, Minneapolis: Forteis Press, 2002.
Hale, Leonard Jujur Terhadap Pietisme: Menilai kembali Reputasi Pietisme pada
Gereja-gereja Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Hadiwijono, Harun Teologi Reformatoris Abad Ke-20, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Joint Declaration On the Doctrine of Justification: The Lutheran World Federation and The
Roman Catholic Church, Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K.:
William B.Eerdmas Publishing Company, 2000.
Katekismus Besar: Martin Luther, (terj. Anwar Tjen), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Katekhismus DR.Martin Luther, (terj. John B.Pasaribu), Jakarta: Yayasan Borbor, 2004.
Kooiman, W.J. Doktor Dalam Kitab Suci Reformator Gereja: MARTIN LUTHER,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Kristiyanto, Eddy Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, Kanisius:
Yogyakarta, 2004.

50
Lane, Tony Runtut Pijar, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Rumus Konkord, (terj. W.Sihite,dkk) P.Siantar, Lembaga Komunikasi Sejahtera, ttp.
Simorangkir, MSE. Ajaran Dua Kerajaan Luther, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI,
2008.
Sumampow, dkk, Jeirry Krisis Gereja Protestan?, Jakarta: Keluarga Alumni STT Jakarta,
2004.
The Book of Concord: The Confession of the Evangelical Lutheran Church, Philadelphia:
Fortress Press, 1976.
Wellem, F.D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… (i)

1. PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1

2. ISI BUKU ………………..................................... …………………… 1

2.1 KELAHIRAN SEBUAH GERAKAN, 1517-1521 ............... 2

2.2 PERTUMBUHAN DAN KOSOLIDASI, 1521-1555 ............ 12

2.3 IDENTITAS KONFESIONAL, 1555-1580 ........................... 21

2.4 ORTODOKSI, 1580-1675 …..…............................................. 25

2.5 PIETISME, 1675-1817 …………..……….............................. 31

2.6 DIVERSIFIKASI (KEBHINEKAAN), 1817-1918 ................... 37

51
2.7 UPAYA-UPAYA BARU ………………................................ 43
2.8 KESIMPULAN: BAGI LUTHER? ........................................ 48

3. TANGGAPAN HISTORIS …......…………………………………… 48

4. DAFTAR PUSTAKA ..........…....……………………………………. 50

Jakarta, 5 Maret 2008

Kepada Yth.

Pdt. Dr.Jan S.Aritonang,Ph.D

JL.Proklamasi 27

Jakarta

“SEBAGIAN LAPORAN BUKU 2 KONSENTRASI II”

Salam sejahtera,

52
Bersama ini saya sampaikan “Sebagian Laporan Buku 2” pada area Konsentrasi 2

untuk dapat dibimbing lebih lanjut.

Demikianlah saya sampaikan, atas perhatian dan bimbingan bapak dihanturkan terima

kasih.

SALAM KASIH!

Ramli SN Harahap

Jakarta, 18 April 2008

Kepada Yth.

Pdt. Dr.Jan S.Aritonang,Ph.D

JL.Proklamasi 27

Jakarta

“LAPORAN BUKU 2 KONSENTRASI II”

Salam sejahtera,

53
Bersama ini saya sampaikan “Laporan Buku 2” pada area Konsentrasi 2 untuk dapat

dibimbing lebih lanjut.

Demikianlah saya sampaikan, atas perhatian dan bimbingan bapak dihanturkan terima

kasih.

SALAM KASIH!

Ramli SN Harahap

54

Anda mungkin juga menyukai