Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH KEBEBASAN BERAGAMA DUNIA BARAT

(PERANG AGAMA DI EROPA & REFORMASI PROTESTAN)


Tugas Mata Kuliah: Fiqh Minoritas
Dosen Pengampu: Dr. Fahmi Islam, MA

OLEH:
AGUSMAN
NIM: 7120210007

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
1443 H/ 2022 M

1
SEJARAH KEBEBASAN BERAGAMA DUNIA BARAT
(PERANG AGAMA DI EROPA & REFORMASI PROTESTAN)
Agusman
1Prodi S3 Ilmu Dakwah, Universitas Islam As Syafi'iyah, Indonesia
*email.agusmancz@gmail.com

Abstrak
Salah satu bukti sejarah kebebasan beragama dunia barat dapat dilihat melalui sejarah
kelam perang-perang yang terjadi di Eropa. Perang agama merupakan sebuah perang yang
utamanya disebabkan oleh perbedaan dalam agama atau pertempuran besar bersenjata
antara beberapa kelompok pasukan besar yang dilandasi oleh konflik agama. Pernah terjadi
serangkaian perang agama di Eropa sejak 1524 hingga 1648, menyusul bangkitnya
Reformasi Protestan di kawasan tengah, barat, dan utara benua Eropa. Latar belakang
perang dipengaruhi oleh perubahan di bidang keagamaan kala itu serta pertikaian dan
persaingan yang ditimbulkannya. Meskipun demikian, pihak-pihak yang terlibat tidak
sepenuhnya dapat dikategorikan menurut agama, dan tidak pula saling berseberangan
semata-mata karena berbeda agama. Perang ini berakhir dengan Perjanjian Damai
Westfalen yang mengakui keberadaan tiga aliran agama Kristen di wilayah Kekaisaran
Romawi Suci, yakni Katolik, Kalvinis dan Lutheran.

Kata Kunci: Perang, Agama, Eropa.

I. Pendahuluan
Perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antar agama
yang paling brutal dalam sejarah manusia. Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam
ajaran agama dapat menyebabkan terjadinya peperangan dan bahkan membenarkan
pembantaian manusia secara massal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci
agama.1 Hal ini pun terjadi dengan bersamaan adanya reformasi di Eropa yang mana pada
saat itu tidak luput dari konflik kepentingan yang menyebabkan perpecahan dan
peperangan serta korban jiwa yang disebabkan perselisihan antar manusia dan pandangan
terhadap ajaran agama yang berbeda (perang mengatas namakan Tuhan) pada saat itu
tidak dapat dilupakan begitu saja dalam fakta sejarah agama Kristen.
Masa reformasi Protestan merupakan salah satu gerakan besar yang mulai bergulir di
seluruh “Dunia Kristen” di Eropa pada abad awal abad ke 16, yang muncul bersamaan
dengan bermacam-macam gerakan yang di motori oleh kelas menengah Eropa yang
muncul untuk melakukan pembaharuan, gerakan yang menunjang gerakan reformasi
Grejawi antara lain gerakan renainsans, pencerhan, gerakan humanis, gerakan yang
mengarah kepada emanisipasi rakyat, dan gerakan untuk mencari format baru dalam
bidang kebudayaan, pembaharuan pemikiran teologi dan struktur Gereja, perkembangn
ilmu pengetahuan dan kehidupan sosial politik, serta munculnya nasionalisme dari bangsa-

1
Rodney Stark, One True God, terj. M.Sadat Ismail, (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 169

2
bangsa di Eropa yang sadar akan hegemoni kekuasaan Roma dan identitas mereka sendiri
selaku bangsa.2
Pada abad ke-16 satu abad setelah berlangsungnya era pencerahan di dunia ilmu yang
pada hakikatnya pembebasan akal dan dari kecendrungan dogmatisme (Gereja) dalam
bidang keagamaan respon terhadap otoritas Paus di Vatikan mulai bermunculan yang
dipelopori oleh Awingli (1484-1531), Marthin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-
1564).3 Perang yang didominasi oleh kepentingan agama dan perbedaan manhaj kemudian
melebar pada motivasi-motivasi kepentingan politik, ekonomi dan aliansi lintas agama.
Beberapa rangkaian perang agama yang terjadi di Eropa diantaranya pertama, perang-
perang yang berkaitan langsung dengan Reformasi 1520-an sampai 1540-an. Kedua,
Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648) di Negeri-Negeri Dataran Rendah. Ketiga,
Perang Agama Prancis (1562–1598). Keempat, Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648),
melibatkan Kekaisaran Romawi Suci yang mencakup Austria Habsburg dan Bohemia,
Prancis, Denmark, dan Swedia. Kelima, Perang Tiga Kerajaan (1639–1651), melibatkan
Inggris, Skotlandia, dan Irlandia.

II. Pembahasan
A. Perang Selama Masa Reformasi Protestan
Reformasi Protestan adalah sebuah gerakan yang timbul di abad ke-16 sebagai suatu
rangkaian upaya untuk melakukan pembaruan terhadap Gereja Katolik Roma di Eropa
Barat. Reformasi utama dimulai oleh Martin Luther dan 95 dalilnya. Reformasi ini berakhir
dengan pembagian dan pendirian institusi-institusi baru, di antaranya Gereja Lutheran,
Gereja-gereja Reformasi, dan Anabaptis. Gerakan ini juga menimbulkan Reformasi Katolik
di dalam Gereja Katolik Roma. Rancangan teologis dan latar belakangnya disusun pada
Konsili Trente (1548–1563), ketika Roma memukul balik gagasan-gagasan fundamental
yang dibela oleh para Reformator, seperti Luther.
Istilah “Protestan” berasal dari hasil persidangan umum ke dua di Speyer (Februari
1529) yang memutuskan untuk mengakhiri toleransi terhadap lutheranisme di Jerman.
Dalam bulan April tahun itu juga, enam pangeran Jerman dan empat belas kota memprotes
tindakan itu. Mereka mempertahankan kemerdekaan hati nurani dan hak-hak dari
minoritas keagamaan. Istilah “Protestan” berasal dari tindakan ini. karena itu, adalah tidak
benar untuk menerapkan istilah “Protestan” kepada individu-individu yang bergerak

2
Th. Sumartana, Sekelumit Sejarah Gereja Protestan, dalam Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama, (Yogyakarta:
Interfidei, 2003), hlm. 69-70.
3
Bahri Ghazali, Agama Masyarakat: Pengenalan Sejarah Agama-agama, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2005),
hlm.139

3
sebelum bulan April 1529 atau untuk berbicara mengenai peristiwa-peristiwa sebelum
tanggal sebagai yang membentuk “Reformasi Protestan”.4
1) Perang Rakyat Jelata Jerman (1524/1525)
Kekerasan berskala besar yang pertama disulut oleh para pengikut Luther yang lebih
radikal. Kaum radikal ini bercita-cita memperluas karya reformasi menyeluruh atas Gereja
menjadi karya reformasi menyeluruh atas masyarakat umum. Cita-cita inilah yang tidak
mendapat persetujuan dari para pembesar pendukung Luther. Perang Rakyat Jelata Jerman
adalah pemberontakan rakyat yang terhasut ajaran-ajaran para pegiat reformasi yang
radikal. Perang ini terdiri atas serangkai pemberontakan ekonomi dan agama yang
dilakukan oleh rakyat jelata, warga kota, dan kaum ningrat. Sebagian besar konflik terjadi
di kawasan selatan, barat, dan tengah dari wilayah negara Jerman modern, tetapi juga
melibatkan daerah-daerah negara tetangga di Swiss dan Austria sekarang ini. Pada
puncaknya, di musim semi dan musim panas 1525, perang ini melibatkan sekitar 300.000
pemberontak dari kalangan rakyat jelata. Menurut taksiran semasa, korban tewas
mencapai 100.000 jiwa. Perang ini merupakan pemberontakan rakyat yang paling besar
dan yang paling luas persebarannya di Eropa sebelum Revolusi Prancis pada 1789.
Karena gagasan-gagasan politiknya yang revolusioner, para pegiat reformasi yang
radikal seperti Thomas Muntzer diusir dari kota-kota Lutheran di Jerman Utara pada
permulaan era 1520-an. Mereka menyingkir ke daerah pedesaan Bohemia, Jerman Selatan,
dan Swiss untuk melanjutkan dakwah ajaran-ajaran agama dan politik revolusionernya.
Bermula sebagai gerakan perlawanan terhadap penindasan feodal, pemberontakan rakyat
jelata berkobar menjadi perang melawan segala bentuk kewenangan, dan menjadi suatu
upaya paksa untuk membentuk sebuah persemakmuran Kristen ideal yang menjamin
kesetaraan dan kebersamaan mutlak dalam hak kepemilikan harta benda. Pihak
pemberontak mengalami kekalahan telak di Frankenhausen pada 15 Mei 1525, disusul
eksekusi mati atas diri Muntzer dan ribuan pemberontak dari kalangan rakyat jelata.
Martin Luther menolak tuntutan para pemberontak dan menjunjung tinggi hak para
pembesar praja-praja Jerman untuk memberantas pemberontakan. Sikap ini
mengakibatkan ajaran-ajaran Luther ditolak banyak orang dari kalangan rakyat jelata
Jerman, terutama di kawasan selatan.
Selepas Perang Rakyat Jelata, muncul upaya kedua yang lebih gigih untuk mendirikan
sebuah teokrasi di Munster,5 Westfalen (1532–1535). Sekelompok warga kota terkemuka,
termasuk pendeta Lutheran Bernd Rothmann, Jan Matthijs, dan Jan Beukelszoon (Jan van
Leiden) tanpa harus bersusah payah berhasil merebut kendali atas kota Munster pada 5
Januari 1534. Matthijs meyakini bahwa Munster adalah "Yerusalem yang baru", dan

4
Alister E. Macgrath, Reformation Thought: An Introduction, Published by Blackwell Publishers, 1993, terj tim PT
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hlm. 7-8
5
F.D Wellem. 2004. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 334-335.

4
melakukan persiapan-persiapan tidak saja untuk mempertahankan yang sudah berhasil
direbut, tetapi juga untuk menaklukkan dunia dengan berpangkal tolak dari Munster.
2) Perang Schmalkaldic (1546/1547)
Perang Schmalkaldic merupakan perang antara pasukan Karl V dari Kekaisaran
Romawi Suci (dibantu oleh Spanyol) dan kelompok Lutheran Liga Schmalkaldic yang
terjadi pada 1546 hingga 1547 yang terjadi di Kekaisaran Romawi Suci. Kekaisaran
Romawi Suci dikomandani oleh Fernando Alvarez dari Toledo. Setelah reformasi yang
dilakukan Martin Luther, beberapa negara bagian Kekaisaran Romawi Suci menolak
beberapa perjanjian yang berasal dari Habsburg dan langsung berpindah haluan menjadi
Lutheran. Wangsa Habsburg menganggap konversi ini sebagai simbol perlawanan
terhadap kekuasaan mereka termasuk melawan Kekaisaran Romawi Suci.6 Hal ini
kemudian diperkuat rencana Karl V pada 1521 untuk segera menghapus kaum Lutheran
dari wilayah kekaisarannya.7
Selepas Sidang Umum Augsburg pada 1530, Kaisar menitahkan agar seluruh inovasi
keagamaan yang tidak diotorisasi oleh Sidang Umum harus dihentikan mulai 15 April 1531.
Pihak-pihak yang tidak mematuhi titah ini akan dihadapkan ke Mahkamah Kekaisaran.
Sebagai tanggapan, para pembesar Lutheran, yang telah menerapkan tata peribadatan
Protestan di gereja-gereja praja mereka, berkumpul di kota Schmalkalden pada Desember
1530. Di kota ini mereka bersepakat untuk bersatu membentuk Liga Schmalkaldis, sebuah
aliansi yang dirancang untuk melindungi anggota-anggotanya dari jerat hukum Kekaisaran.
Anggota-anggota liga pada akhirnya menghendaki agar Liga Schmalkaldis menggantikan
Kekaisaran Romawi Suci, dan oleh karena itu setiap praja anggota liga diwajibkan untuk
mengerahkan 10.000 infantri dan 2.000 kavaleri demi keamanan bersama. Pada 1532,
Kaisar, yang tertekan oleh permasalahan luar negeri, memutuskan untuk mengalah dan
menawarkan "Perjanjian Damai Nuremberg", yang menangguhkan seluruh tindakan
hukum atas praja-praja Protestan sampai ada keputusan dari Konsili Umum Gereja.
Moratorium ini berhasil mempertahankan perdamaian di praja-praja Jerman selama lebih
dari satu dasawarsa, namun selama itu pula mazhab Protestan semakin kokoh berakar dan
semakin luas menyebar.
Perdamaian berakhir dengan Perang Schmalkaldis, konflik singkat dari 1546 sampai
1547 antara bala tentara Kaisar Karl V dan bala tentara para pembesar praja anggota Liga
Schmalkaldis. Konflik ini berakhir dengan kemenangan di pihak Katolik, sehingga Kaisar
dapat memaksakan pemberlakuan Interim Augsburg, suatu kompromi yang mengizinkan
tata ibadat yang sedikit dimodifikasi. Interim Augsburg diharapkan dapat terus
diberlakukan sampai Konsili Umum Gereja mengeluarkan keputusannya, akan tetapi

6
Dietmar., Regensburger, Dietmar., Regensburger, Harriet Rudolph & (2016). The European Wars of Religion: an
Interdisciplinary Reassessment of Sources, Interpretations, and Myths. Florence: Taylor and Francis.
7
"The Schmalkaldic League: Reformation War". ThoughtCo. Diakses tanggal 2022-14-6

5
berbagai unsur Protestan menolak interim ini, dan perang Schmalkaldis kedua pun meletus
pada 1552.
B. Perang Delapan Puluh Tahun (1566/1648)
Perang Delapan Puluh Tahun atau Pemberontakan Belanda adalah pemberontakan
Tujuh belas Provinsi di Belanda terhadap raja Spanyol. Awalnya Spanyol berhasil meredam
pemberontakan ini, tetapi pada tahun 1572, pihak pemberontak berhasil menguasai
Brielle, dan pemberontakan kembali merebak. Provinsi-provinsi utara bergabung, awalnya
secara de facto dan resmi pada tahun 1648, menjadi Republik Belanda, yang secara cepat
berkembang menjadi kekuatan dunia melalui kapal-kapal dagangnya serta mengalami
periode pertumbuhan ekonomi, ilmu, serta budaya. Belanda Selatan (kini Belgia,
Luxembourg, dan Prancis Utara) awalnya tetap berada di bawah kekuasaan Spanyol.
Penindasan terus-menerus oleh Spanyol di wilayah selatan akhirnya mengakibatkan
larinya kaum elit keuangan, intelektual, dan budayawan ke wilayah utara, yang turut
menyumbangkan suksesnya Republik Belanda. Pada 1648, sejumlah besar wilayah selatan
jatuh ke tangan Prancis.
Pada awal Agustus 1566, pecah kerusuhan di gedung Gereja Hondschoote di Flandria
(Prancis Utara sekarang ini).8 Warta tentang insiden yang relatif kecil ini menyebar ke
utara dan menimbulkan Beeldenstorm, gerakan ikonoklastis kaum Kalvinis, yang
menyerbu gedung-gedung Gereja dan gedung-gedung keagamaan lainnya untuk menista
dan merusak patung-patung dan gambar-gambar orang kudus Katolik di seluruh negeri
Belanda. Bagi kaum Kalvinis, patung-patung ini adalah unsur dari penyembahan berhala.
Jumlah para perusak-citra tampaknya relatif kecil. Limm (1989) mencatat bahwa "hanya
ada segelintir kasus yang melibatkan 200 orang dalam setiap peristiwa" sekalipun di
provinsi-provinsi utara, tempat peristiwa-peristiwa ikonoklastis dihadiri oleh kerumunan
besar masyarakat. Sementara itu di provinsi-provinsi selatan, menurutnya ada suatu
kelompok yang relatif kecil namun terorganisasi bergerak menjelajahi kawasan itu. Spaans
(1999) berpendapat bahwa ikoklasme sebenarnya direkayasa oleh para elit lokal demi
kepentingan politik.9 Pada umumnya para penguasa lokal tidak turun tangan meredam aksi
vandalisme itu. Aksi-aksi ikonoklasme membuat kaum bangsawan terpecah menjadi dua
kubu, yakni Willem van Oranje bersama bangsawan-bangsawan tinggi di kubu pendukung,
dan bangsawan-bangsawan lain, teristimewa Hendrik van Brederode, di kubu penentang
para pelaku aksi ikonoklastis.
Pemberontakan baru ini menimbulkan perpecahan di antara orang-orang Belanda. Di
satu pihak ada kaum minoritas Kalvinis militan yang ingin terus memerangi Raja Katolik

8
Van der Horst, Han (2000). Nederland, de vaderlandse geschiedenis van de prehistorie tot nu (dalam bahasa
Belanda) (edisi ke-ke-3). Bert Bakker. hlm. 133
9
Spaans, J. "Catholicism and Resistance to the Reformation in the Northern Netherlands". In: Benedict, Ph., and
others (eds), Reformation, Revolt and Civil War in France and the Netherlands, 1555–1585 (Amsterdam
1999), 149–163).

6
Felipe II, dan menjadikan seluruh warga negeri Belanda sebagai pengikut mazhab Kalvinis.
Di lain pihak ada segolongan kecil umat Katolik yang ingin tetap setia kepada Tuan Tanah
dan pemerintah di bawahnya yang didukung Spanyol. Di antara kedua pihak ini ada
mayoritas warga negara beragama Katolik yang tidak berpihak, tetapi juga menghendaki
hak-hak istimewa Belanda dipulihkan dan bala tentara bayaran Spanyol disingkirkan. Alba
digantikan pada 1573 oleh Luis de Requesens dan suatu kebijakan baru yang moderat
dicoba untuk diterapkan. Meskipun demikian, ketidakmampuan Spanyol untuk membayar
upah prajurit-prajurit bayaran dalam angkatan daratnya menimbulkan aksi-aksi dahagi,
dan pada November 1576 pasukan-pasukan prajurit bayaran menjarah-rayah Antwerpen
sehingga merenggut 8.000 korban jiwa. Peristiwa yang terkenal dengan julukan "Murka
Spanyol" ini semakin membulatkan tekad rakyat di tujuh belas provinsi untuk bangkit
memberontak. Willem van Oranje yang memanfaatkan situasi anarki itu untuk memperluas
kekuasaannya atas hampir seluruh wilayah Belanda dalam aliansi dengan Dewan Negara,
memasuki kota Brussel pada September 1577.
Pada 6 Januari 1579, karena digusarkan oleh perilaku berlebihan kaum Kalvinis di
Oudenarde, Kortrijk, Brugge dan Ieper, serta penyebaran mazhab Kalvinis secara agresif
yang terus-menerus berlangsung di praja-praja utara, beberapa praja di selatan
menandatangani Perjanjian Uni Arras (Atrecht), memaklumkan kesetiaan mereka pada
Raja Spanyol. Sebagai tanggapan, Willem mempersatukan praja-praja utara, yakni
Holandia, Selandia, Utrecht, Gelre, dan Provinsi Groningen dalam Perjanjian Uni Utrecht
pada 23 Januari 1579. Beberapa kota di selatan seperti Brugge, Gent, Brussel, dan
Antwerpen bergabung dengan Uni Utrecht, dan dengan demikian ketujuh belas provinsi
pun terbagi-bagi ke dalam dua kubu yang saling berseteru.
Pada tahun-tahun berikutnya, Gubernur Spanyol yang baru, Alexander Farnese (Adipati
Parma), menaklukkan kembali sebagian besar wilayah Flandria dan Brabant, serta
sebagian besar wilayah provinsi-provinsi timur laut. Agama Katolik Roma dipulihkan di
sebagian besar kawasan ini. Pada 1585, Antwerpen (kota terbesar di wilayah Negeri-
Negeri Dataran Rendah kala itu) jatuh ke tangan Alexander Farnese, sehingga
mengakibatkan sekitar setengah dari populasinya melarikan diri ke utara. Negeri Belanda
terpecah menjadi wilayah utara yang merdeka dan wilayah selatan yang tetap tunduk pada
kekuasaan Spanyol. Karena pemerintahan golongan separatis yang didominasi kaum
Kalvinis berjalan nyaris tanpa jeda, sebagian besar populasi provinsi-provinsi utara beralih
keyakinan menjadi penganut agama Protestan sepanjang beberapa dasawarsa kemudian.
Wilayah selatan, di bawah pemerintahan Spanyol, tetap menjadi benteng pertahanan
Katolik; sebagian besar kawulanya yang beragama Protestan melarikan diri ke utara.
Spanyol menempatkan bala tentara dalam jumlah besar di wilayah selatan, sehingga
sewaktu-waktu dapat pula dikerahkan untuk melawan Prancis. Setelah keadaan damai
berjalan beberapa waktu, perang kembali meletus pada 1622, dan akhirnya usai pada 30
Januari 1648, dengan penandatanganan Traktat Munster antara Spanyol dan negeri

7
Belanda merdeka. Traktat ini merupakan bagian dari keseluruhan Perjanjian Damai
Westfalen tingkat Eropa yang juga mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun.
C. Perang Agama Prancis (1562/1598)
Perang Agama Prancis adalah istilah yang mengacu pada periode perang saudara antara
orang-orang Katolik dan Protestan di Kerajaan Prancis. Konflik ini melibatkan wangsa-
wangsa aristokrat seperti Wangsa Bourbon dan Wangsa Guise (Lorraine), dan kedua belah
pihak menerima bantuan asing. Sejarawan hingga kini masih memperdebatkan lama
berlangsungnya perang ini; beberapa sejarawan meyakini bahwa Maklumat Nantes pada
tahun 1598 mengakhiri perang ini, walaupun pemberontakan Huguenot masih berlanjut
sehingga menurut sejarawan lain Perdamaian Alais pada tahun 1629 merupakan peristiwa
yang mengakhiri perang ini. Namun, Pembantaian Vassy pada tahun 1562 dianggap
sebagai awal mula Perang Agama Prancis. Diperkirakan 2.000.000 hingga 4.000.000 orang
tewas akibat perang, kelaparan, dan penyakit.10 Saat konflik berakhir pada tahun 1598,
Maklumat Nantes memberikan berbagai hak dan kebebasan untuk Huguenot, walaupun
maklumat ini tidak mengakhiri permusuhan antara Katolik dengan Protestan. Perang ini
melemahkan otoritas monarki, walaupun nantinya Raja Henri IV berhasil memperkuatnya
kembali.
Reformasi merupakan peristiwa mengerikan, karena mampu membelah Eropa menjadi
kubu-kubu yang saling bermusuhan. Di Inggris, kaum Protestan dan Katolik saling
membantai satu sama lain. Kemudian di Prancis terjadi perang saudara antara Protestan
dan Katolik ( 1562-1598). Konflik tersebut dimulai dari pertengahan abad 16 dan diakhiri
keluarnya maklumat Nantes tahun 1598. Peperangan ini meliputi peperangan sipil dan
juga operasi militer. Di samping unsur-unsur agama, peperangan tersebut merupakan
perjuangan terhadap kontrol yang berlebihan akan aturan-aturan negara antara kekuasaan
House of Guise (Lorraine) dan Liga Katolik di satu sisi dengan House of Bourbon di sisi lain.
Peperangan ini juga dianggap sebagai perang antara Raja Philip II dari Spanyol dan Ratu
Elizabeth I dari Inggris. Perang ini diakhiri dengan dikeluarkannya maklumat Nantes oleh
Henry IV, Raja Perancis yang memberikan toleransi keagaamaan pada Protestan.
Pada Desember 1560, Francois II mangkat dan Catharina de' Medici naik takhta sebagai
wali putranya, Raja Charles IX. Meskipun beragama Katolik, ia bersedia untuk berunding
dengan wangsa Bourbon yang tergolong kaum Huguenot. Oleh karena itu ia mendukung
toleransi beragama dengan mengeluarkan Maklumat Saint-Germain (Januari 1562) yang
mengizinkan kaum Huguenot untuk beribadah secara terbuka di luar kota dan secara
tertutup di dalam kota. Akan tetapi pada 1 Maret, sekelompok kawula wangsa Guise
menyerang upacara peribadatan ilegal kaum Kalvinis di Wassy-sur-Blaise, Provinsi
Champagne. Perseteruan yang timbul membuat maklumat itu dibatalkan. Peristiwa ini
menyulut Perang Pertama. Wangsa Bourbon, dengan dukungan Inggris, di bawah pimpinan

10
Knecht, Robert J. (2002). The French Religious Wars 1562-1598. Osprey Publishing. hlm. 91

8
Louis I de Bourbon, Pangeran Conde bersama Laksamana de Coligny mulai merebut kota-
kota stategis di sepanjang Sungai Loire dan menempatkan garnisun di kota-kota itu.
Pertempuran Dreux dan Pertempuran Orleans adalah pertempuran-pertempuran besar
pertama dalam Perang Pertama. Pada Februari 1563, Francois, Adipati de Guise terbunuh
di Orleans, dan Catherina yang mulai khawatir perang akan berlarut-larut akhirnya
memprakarsai gencatan senjata dan mengeluarkan Maklumat Amboise (1563), yang sekali
lagi menjamin toleransi beragama secara terkendali atas peribadatan Protestan.
Meskipun demikian, baik umat Katolik maupun kaum Protestan pada umumnya tidak
merasa puas. Suhu politik sedang meningkat di negeri-negeri jiran, sementara kerusuhan
agama semakin dahsyat berkobar di negeri Belanda. Kaum Huguenot berusaha
mendapatkan dukungan pemerintah Prancis untuk melakukan intervensi terhadap
kedatangan bala tentara Spanyol di negeri Belanda. Karena usaha mereka menemui jalan
buntu, pasukan-pasukan Protestan pun mencoba namun gagal untuk menangkap dan
mengendalikan Raja Charles IX di Meaux pada 1567. Peristiwa ini kembali memicu
perseteruan (Perang Kedua) yang diakhiri dengan kesepakatan gencatan senjata yang lagi-
lagi tidak memuaskan kedua belah pihak, yakni Perjanjian Damai Longjumeau (Maret
1568).
Pada bulan September tahun itu, perang kembali meletus (Perang Ketiga). Catherina
dan Charles kali ini memutuskan untuk beraliansi dengan wangsa Guise. Bala tentara
Huguenot dipimpin oleh Louis I de Bourbon, Pangeran Conde dibantu kekuatan tempur
dari kawasan tenggara Prancis dan serombongan milisi Protestan dari Jerman—termasuk
14.000 reiter bayaran di bawah pimpinan Adipati Zweibrucken yang berpaham Kalvinis.
Setelah Adipati Zweibrucken tewas dalam pertempuran, ia digantikan oleh Tumenggung
Mansfeld dan Willem van Oranje beserta saudara-saudaranya, Lodewijk dan Hendrik, dari
negeri Belanda. Sebagian besar dana perang kaum Huguenot berasal dari sumbangan
Elizabeth I, Ratu Inggris. Umat Katolik dipimpin oleh Adipati d'Anjou (kelak naik takhta
menjadi Raja Henri III) dibantu pasukan-pasukan dari Spanyol, negara-negara Kepausan,
dan Kadipaten Agung Toscana.
Bala tentara Protestan melakukan pengepungan atas sejumlah kota di daerah Poitou
dan Saintonge (guna melindungi La Rochelle), dan kemudian juga di Angoulême dan
Cognac. Dalam Pertempuran Jarnac pada 16 Maret 1569, Pangeran Conde tewas, sehingga
Laksamana de Coligny terpaksa mengambil alih kepemimpinan atas bala tentara Protestan.
Laksamana de Coligny menarik mundur bala tentara Protestan ke kawasan barat daya
kemudian bergabung dengan Gabriel de Montgommery, dan pada musim semi 1570
mereka menjarah kota Toulouse, memintas melalui kawasan selatan Prancis dan bergerak
menelusuri Lembah Sungai Rhône menuju La Charite-sur-Loire. Utang kerajaan yang
semakin mengkhawatirkan dan keinginan Charles IX untuk mencari solusi damai
mendorong terbitnya Perjanjian Damai Saint-Germain-en-Laye pada 8 Agustus 1570, yang
sekali lagi memberikan lebih banyak konsesi kepada kaum Huguenot. Pada 1572,

9
peningkatan ketegangan antara umat Katolik Paris dan bala tentara Protestan yang datang
guna menghadiri upacara pernikahan Henri de Navarre dengan saudari Raja, Marguerite de
Valois, berpuncak pada peristiwa pembantaian di Hari Santo Bartolomeus. Peristiwa ini
menyulut Perang Keempat pada 1572 dan Perang Kelima pada 1573-1576.
Peperangan yang terjadi di prancis antara katolik dan protestan yang melibatkan 16
negara yang dimulai tahun 1562 dan berakhir pada tahun 1598. diakhiri dengan adanya
kesepakatan atau perjanjian yang isinya memberikan kebebasan beragama bagi orang
Protestan jaminan itu ditetapkan pada bulan 13 April 1598 dari raja Hanry IV di Prancis.
Dan semua konflik antara protestan dan katolik diakhiri dengan perjanjian wesphalia,
perjanjian ini merujuk dengan ditandatanganinya perjanjian mulai 19 Mei sampai 24
Oktober 1928 dan perdamaian ini mengakhiri peperangan baik 30 tahun maupun 80 tahun
peperangan antara Katolik dan Protestan. Inti dari perjanjian itu antara lain: semua
kelompok menerima perjanjian Augsbrug tahun 1555, bahwa setiap penguasa memiliki
hak untuk menentukan agama negaranya, untuk memilih luteran, calvin, yuwingli. Dan
oarang yang hidup di negara yang tempat hidupnya bukan sesuai dengan agamanya
diberikan kebebasan untuk beribadah pada waktu yang telah ditentukan sesusi dengan
ajaran Gereja.11
D. Perang Tiga Puluh Tahun (1618/1648)
Perang Tiga Puluh Tahun adalah sebuah konflik yang terjadi antara tahun 1618 hingga
1648, khususnya di wilayah yang sekarang menjadi negara Jerman, dan melibatkan
sebagian besar kekuatan-kekuatan di kawasan tersebut. Ada beberapa sebab mengapa
perang ini terjadi. Meskipun tampak sebagai konflik keagamaan antara kaum Protestan dan
Katolik, persaingan antara Dinasti Habsburg dan kekuatan lainnya juga merupakan salah
satu motif penting terjadinya perang ini, hal ini dapat terlihat dari fakta kaum Katolik
Prancis mendukung pihak Protestan, yang meningkatkan persaingan Kekaisaran Prancis
dan Wangsa Habsburg. Perang ini sendiri mungkin hanya berlangsung tiga puluh tahun,
tetapi konflik yang dipicunya tetap berlanjut hingga waktu yang lama. Perang ini diakhiri
melalui Perjanjian Westfalen.
Perang ini dimulai sebagai perang agama, yang tumbuh dari konflik antara Katolik
Roma Jerman dan para pemeluk Protestan. Hal ini berkembang menjadi sebuah kontes
politik penguasa Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci yang berusaha memperluas kendali
mereka di Eropa, sementara sejumlah kekuatan lainnya seperti Swedia berusaha
membatasinya. Prancis pada khususnya (meskipun juga kekuatan Katolik) khawatir
dengan prospek hegemoni Habsburg di Eropa. Kepausan Spanyol dan sebagian besar
pangeran Jerman bergabung dengan kelompok Katolik yang diperjuangkan oleh Habsburg
Austria. Mereka ditentang oleh kekuatan Protestan Swedia dan Denmark, pangeran Jerman
yang Protestan, dan Prancis Katolik (setelah 1635). Perang Tiga Puluh Tahun adalah

11
Nugroho, 2019, Reformasi Protestan Dan Perang Agama Perancis, JIA, no 1

10
konflik paling dahsyat pada era Eropa modern awal.12 Baik Austria-Jerman, maupun
kawasan Eropa yang lebih luas, terlibat dalam perang yang bermula dari masa
pemerintahan Kaisar Maximilian I, khususnya, semenjak Reformasi dan pemilihan Karl V,
Raja Spanyol, ke tahta kekaisaran tahun 1519.
Secara umum, perang tiga puluh tahun terdiri dari empat fase.13 Fase pertama adalah
fase Bohemia (1618-1625) yang ditandai perang saudara di wilayah Bohemia. Perang
Bohemia ini melibatkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand II melawan Serikat
Protestan yang dipimpin Pangeran Friedrich V dari Palatine. Kemudian Raja Ferdinand II
diberhentikan dari jabatan rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai
gantinya, Friedrich V diangkat menjadi raja Bohemia pada tahun 1618. Naiknya Ferdinand
II sebagai Kaisar Agung Romawi pada tahun 1620 akhirnya berujung pada penghapusan
Protestanisme dari Bohemia. Fase kedua adalah fase Denmark (1625-1630) di mana Raja
Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum Protestan. Jenderal perang Liga
Katolik, Wallenstein, terlalu kuat bagi Christian IV sehingga kekalahan terjadi di pihak
Protestan. Kedua fase ini berlangsung selama 10 tahun, di mana Bohemia sepenuhnya
menjadi Katolik di bawah kekuasaan Ferdinand II.
Fase ketiga diawali dengan kedatangan Raja Swedia (1625-1635), Gustavus Adolphus di
tanah Jerman. Fase ini disebut dengan fase Swedia. Negara seperti Denmark (lagi),
Polandia, Finlandia, dan beberapa negara kecil di kawasan Baltik, serta Raja Gustavus
bergabung untuk membantu kaum Protestan, khususnya menolong saudaranya, Adipati
Mecklenburg, yang saat itu sedang diasingkan. Fase ini ditandai dengan keterlibatan
kekaisaran Prancis, melalui Perdana Menteri Kardinal Richelieu, yang membantu Swedia
secara finansial. Gustavus berhasil melawan pasukan pihak Katolik di Pertempuran
Breitenfield dan Lutzen, yang terjadi pada tahun 1631 dan 1632. Namun, Gustavus
akhirnya tewas dalam pertempuran di Nördlingen pada tahun 1634. Hal ini membuat
Prancis ikut campur tangan membela pihak protestan (lebih tepatnya melawan Dinasti
Habsburg).
Fase terakhir ditandai dengan kedatangan Prancis pada perang ini (1635-1648), yang
sekaligus menandai "internasionalisasi" Perang Tiga Puluh Tahun, dengan bergabungnya
Belanda (yang merupakan bentuk balas budi ketika dibantu berperang melawan Spanyol
pada tahun 1622), Skotlandia, dan sejumlah tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja
Protestan Jerman, yang memperkuat kubu Serikat Protestan. Perang pada fase ini
berlangsung lama, bahkan bisa disebut 'stalemate' (imbang), di mana tidak ada pihak yang
memenangkan peperangan. Hal ini disebabkan keterbatasan logistik di kedua belah pihak.
Situasi 'stalemate' membuat para raja atau ratu tidak memiliki pilihan lain selain membuat
perjanjian damai untuk menghentikan perang, setidaknya untuk sementara waktu. Perang

12
Richard, Bonney, The Thirty Years' War, 1618-1648. Oxford.
13
Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal-usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara.
Depok: Penerbit Kepik

11
ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Westfalen, dengan dua traktat utamanya:
Traktat Munster yang mendamaikan Prancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Agung
Romawi serta Traktat Osnabruck yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya) dengan
Kekaisaran Agung Romawi.
E. Perang Tiga Kerajaan (1639/1651)
Peperangan Tiga Kerajaan,14 yang dikenal sebagai Peperangan Saudara Britania,
membentuk serangkaian konflik yang terjadi di Inggris, Irlandia dan Skotlandia antara
1639 dan 1651. Perang Saudara Inggris telah menjadi konflik paling terkanl dan meliputi
eksekusi raja kerajaan tersebut, Charles I, oleh parlemen Inggris pada 1649. Peperangan
tersebut meliputi Peperangan Uskup-uskup tahun 1639 dan 1640, Perang Saudara
Skotlandia tahun 1644–45; Pemberontakan Irlandia 1641, Konfederasi Irlandia, 1642–49
dan Penaklukan Irlandia oleh Cromwellian pada 1649 (secara kolektif disebut Perang
Sebelas Tahun atau Peperangan Konfederasi Irlandia); dan Peperangan Saudara Inggris
Pertama, Kedua dan Ketiga masing-masing pada tahun 1642–46, 1648–49 dan 1650–51.
Perang ini merupakan perang antara Kaum Protestan (Anglikan, Kalvinis, berbagai
kaum nonkonformis lainnya), umat Katolik terdistribusi dalam berbagai kubu yang saling
bertikai. Perang saudara ini memperjuangkan perkara-perkara hubungan agama-negara
dan kebebasan beragama, dengan unsur kebangsaan.
F. Resolusi Konflik
Reformasi Protestan telah menghanguskan Eropa. Secara rinci, Bainton mencatat
beberapa dampak Gerakan Reformasi Protestan. Tanpa seluruhnya mengafirmasi dampak
ini sebagai akibat logis dari gerakan Reformasi, Bainton mencatat beberapa akibat yang
paling tidak dipicu oleh gerakan Reformasi ini.15 Pertama, perpecahan di dalam agama
Kristen. Perpecahan ini telah memperlemah struktur agama Kristen yang telah terbangun
selama tiga ratusan tahun. Perpecahan ini juga mengakibatkan perang saudara yang
membumi-hanguskan Eropa. Kedua, Reformasi Protestan memiliki dampak sosial, di
antaranya adalah lahirnya nasionalisme dan demokrasi. Nasionalisme mencakup
nasionalisme kultural dan nasionalisme politik. Sementara demokrasi meliputi doktrin
tentang kedaulatan terbatas negara, hak-hak perorangan, pemerintahan perwakilan, hak
suara universal, pemisahan Gereja dengan negara, kebebasan beragama, dan pendidikan
rakyat. Ketiga, Reformasi Protestan memiliki dampak ekonomi, di antaranya, kaum
Protestan-terutama Kalvinisme-telah menghembuskan andil yang tidak sedikit kepada
spirit kapitalisme. Keempat, gerakan reformasi mendorong gelombang perkawinan dan
menjauhi laku selibat sebagaimana lazim dalam tradisi kerahiban Katolik. Gejala ini
membentuk kultur yang turut mewarnai wajah peradaban Eropa dikemudian hari. Last but

14
Ian Gentles, citing John Morrill, states, "there is no stable, agreed title for the events...They have been variously
labeled the Great Rebellion, the Puritan Revolution, the English Civil War, the English Revolution and most
recently, the Wars of the Three Kingdoms." (Gentles 2007, hlm. 3)
15
Roland H. Bainton, The Age of Reformation (New Jersey: D. Van. Nostrand Company, Inc.,1956), hal.80-92

12
not least, dampak yang tidak kalah penting adalah bahwa Reformasi Protestan telah
merobohkan klaim universalitas kedaulatan Gereja dan Paus yang pada urutannya
mempersiapkan landasan bagi era absolutisme sekuler.
Eropa pada abad pertengahan dilanda perang yang hebat, perang ini berlangsung
selama kurang lebih tiga puluh tahun (1618-1648). Perang ini disebabkan pertentangan
antara kaum Protestan dan kaum Katolik (dimulai oleh Reformasi Protestan sampai pada
kontra Reformasi Katolik) dan disamping aspek agama ini juga persaingan dinasti
Hapsbruk dan Boubron. Setelah didera keletihan dan kehancuran besar, akhirnya perang
terhenti melalui PerjanjianWestphalia pada tahun 1648 di tanda tangani di Westphalen,
Jerman., selanjutnya dikenal dengan Perdamaian Westphalia (The Peace of Westphalia).16
Perjajian tersebut dapat dikatakan telah mensyahkan suatu sistim negara bangsa
karana telah mengakui, bahwa Empire (gereja, kerajaan-kerajaan) tidak dapat lagi
memaksakan kehendaknya kepada negara-negara bagiannya atau wilayahnya. Akan tetapi
dapat dilakukan apabila daerah-daerah tersebut mau mengakui atau bergabung dengan
Empire-empire tersebut. Bahkan di perjanjian inipun Sri Pauspun dibatasi kekuasaannya
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah Hukum
Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum Internasional
modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya adalah :17 (1) Selain
mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam
peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa . (2) Perjanjian perdamaian
mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci. (3) Hubungan antara
negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas
kepentingan nasional negara itu masing-masing. (4) Kemerdekaan negara Nederland,
Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia. Perjanjian
Westphalia meletakan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik
mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan
atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni
pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Dasar-dasar yang
diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam Perjanjian Utrech yang penting
artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena menerima asas keseimbangan
kekuatan sebagai asas politik internasional.

III. Penutup
Sejarah kebebasan beragama dunia barat secara garis besar merupakan konflik agama
dan aliran-aliran yang muncul akibat pengaruh kepentingan pihak terkait. Selama masa
peperangan di Eropa, peran dan pengaruh Protestan sangat mendominasi perkembangan
kepercayaan (agama) di Eropa. Terjadinya Reformasi Protestan di sebabkan faktor

16
lihat Charles Blitzer, Age of Kings (New York: Time Incorporated, 1967).
17
http://perjanjian-westphalia-dan-munculnya-negara-bangsa/

13
ekonomi, politik, nasionalisme, paham individualisme renaisans, dan keprihatinan yang
sangat meningkat terhadap penyalahgunaan wewenang Gereja di Eropa. Konflik-konflik di
Kekaisaran Romawi Suci, Prancis, dan Negeri-Negeri Dataran Rendah berakhir dengan
hasil yang umumnya positif bagi kaum Protestan, dengan dikeluarkannya traktat-traktat
yang menjamin pengakuan, kebebasan, atau keistimewaan bagi mereka. Perang Rakyat
Jelata Jerman berakhir dengan kegagalan dan rakyat jelata harus menanggung penindasan
dari tuan-tuan tanah mereka, baik yang beragama Protestan maupun yang beragama
Katolik, sementara Perang Tiga Kerajaan berakhir dengan kemenangan kaum republik
(hasil berbeda-beda bagi masing-masing golongan agama).
Peperangan yang terjadi di prancis antara katolik dan protestan yang melibatkan 16
negara yang dimulai tahun 1562 dan berakhir pada tahun 1598. diakhiri dengan adanya
kesepakatan atau perjanjian yang isinya memberikan kebebasan beragama bagi orang
Protestan jaminan itu ditetapkan pada bulan 13 April 1598 dari raja Hanry IV di Prancis.
Dan semua konflik antara protestan dan katolik diakhiri dengan perjanjian wesphalia,
perjanjian ini merujuk dengan ditandatanganinya perjanjian mulai 19 Mei sampai 24
Oktober 1928 dan perdamaian ini mengakhiri peperangan baik 30 tahun maupun 80 tahun
peperangan antara Katolik dan Protestan. Inti dari perjanjian itu antaralain: semua
kelompok menerima perjanjian Augsbrug tahun 1555, bahwa setiap penguasa memiliki
hak untuk menentukan agama negaranya, untuk memilih luteran, calvin, yuwingli. Dan
oarang yang hidup di negara yang tempat hidupnya bukan sesuai dengan agamanya
diberikan kebebasan untuk beribadah pada waktu yang telah ditentukan sesusi dengan
ajaran Gereja.

14
IV. Daftar Pustaka
Alister E. Macgrath, Reformation Thought: An Introduction, Published by Blackwell
Publishers, 1993, terj tim PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hlm. 7-8
Bahri Ghazali, Agama Masyarakat: Pengenalan Sejarah Agama-agama, (Yogyakarta: Pustaka
Fahima, 2005), hlm.139
Dietmar., Regensburger, Dietmar., Regensburger, Harriet Rudolph & (2016). The European
Wars of Religion: an Interdisciplinary Reassessment of Sources, Interpretations, and
Myths. Florence: Taylor and Francis.
F.D Wellem. 2004. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 334-335.
Ian Gentles, citing John Morrill, states, "there is no stable, agreed title for the events...They
have been variously labeled the Great Rebellion, the Puritan Revolution, the English Civil
War, the English Revolution and most recently, the Wars of the Three Kingdoms."
(Gentles 2007, hlm. 3)
Knecht, Robert J. (2002). The French Religious Wars 1562-1598. Osprey Publishing. hlm. 91
Nugroho, 2019, Reformasi Protestan Dan Perang Agama Perancis, JIA, no 1
Polimpung, Hizkia Yosie. (2014). Asal-usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat
Mikrofasis Bernegara. Depok: Penerbit Kepik
Richard, Bonney, The Thirty Years' War, 1618-1648. Oxford.
Rodney Stark, One True God, terj. M.Sadat Ismail, (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 169
Roland H. Bainton, The Age of Reformation (New Jersey: D. Van. Nostrand Company,
Inc.,1956), hal.80-92
Spaans, J. "Catholicism and Resistance to the Reformation in the Northern Netherlands". In:
Benedict, Ph., and others (eds), Reformation, Revolt and Civil War in France and the
Netherlands, 1555–1585 (Amsterdam 1999), 149–163).
Th. Sumartana, Sekelumit Sejarah Gereja Protestan, dalam Sejarah, Teologi dan Etika
Agama-agama, (Yogyakarta: Interfidei, 2003), hlm. 69-70.
The Schmalkaldic League: Reformation War. ThoughtCo. Diakses tanggal 2022-14-6
Van der Horst, Han (2000). Nederland, de vaderlandse geschiedenis van de prehistorie tot
nu (dalam bahasa Belanda) (edisi ke-ke-3). Bert Bakker. hlm. 133

15

Anda mungkin juga menyukai