Akhir Abad Pertengahan ditandai oleh berbagai musibah dan malapetaka yang
meliputi bencana kelaparan, wabah penyakit, dan perang, yang secara signifikan
menyusutkan jumlah penduduk Eropa; antara 1347 sampai 1350, wabah Maut
Hitam menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk Eropa. Kontroversi, bidah, dan Skisma
Barat yang menimpa Gereja Katolik, terjadi bersamaan dengan konflik antarnegara,
pertikaian dalam masyarakat, dan pemberontakan-pemberontakan rakyat jelata yang melanda
kerajaan-kerajaan di Eropa. Perkembangan budaya dan teknologi mentransformasi
masyarakat Eropa, mengakhiri kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, dan mengawali kurun
waktu Awal Zaman Modern
Periode ini, secara garis besar, dapat dibagi dua, yaitu:
1. Masa Patristik.
Seiring dengan perkembangan agama Kristen di Barat, pemikiran filsafat terfokus
pada ajaran-ajaran Kristen tentang Tuhan, yang karenanya disebut teosentris. Pada
masa ini, tradisi Yunani yang mengajarkan kebebasan berpikir mulai melemah.
Orang hanya boleh berpikir dengan mengikuti rambu-rambu yang ditentukan oleh
pemimpin-pemimpin gereja, yakni filsafat harus mendukung dogma-dogma
gereja. Akibatnya, orang-orang yang menguasai filsafat, sesuai dengan rambu-
rambu yang ditentukan tersebut, adalah bapak-bapak gereja atau patres, sehingga
periode filsafat tersebut disebut dengan zaman Patristik. Tujuan filsafat dan
pengetahuan pada masa ini hanyalah sebagai alat untuk mengabdi kepada teologi
Kristen, dengan mempertahankan dogma-dogma gereja. Para filosof, yang
merupakan para pimpinan gereja masa ini, umumnya meyakini bahwa kebenaran
sejati hanya ada pada kitab suci, Injil. Mereka ini, antara lain, adalah: Justinus de
Martyr, Tertulianus, Origens dan Agustinus.
Tertulianus, sedemikian kuatnya memegangi dogma agama (Kristen), pernah
menyatakan: Credo qua absurdum est, yang artinya: Saya percaya karena tidak
masuk akal Pernyataan ini adalah sebagai pembelaannya terhadap dogma
Trinitas, yang sangat sulit memahaminya. Sedangkan Agustinus, masih dalam
koridor mempertahankan dogma agama, telah mencoba menyatukan antara
pemikiran filsafat dengan agama.
Pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, pengaruh filsafat Yunani, terutama Neo-
Platonisme, mulai benar-benar masuk ke kalangan gereja. Sekolah-sekolah
teologi, seperti sekolah umum, juga mempelajari Seven Liberal Arts, yaitu:
Grammar, Rhetoric, Dealictic, Aritmathic, Geometry, Music, dan Astronomy.
Tetapi, di sisi lain, pengaruh pemimpin gereja semakin dominan dalam pemikiran
masyarakat. Filsafat dan ilmu pengetahuan dipelajari di Katederal justreru
dimaksudkan untuk mendukung doktrin teologi (Lubis, 2014: 9).
Dengan ungkapan lain, pada masa itu ilmuwan-ilmuwan dan ahli-ahli filsafat
yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan adalah para teolog. Mereka itu
hampir semuanya adalah para teolog dan ahli agama, sehingga aktivitas-aktivitas
ilmiah selalu terpanut dengan aktivitas-aktivitas keagamaan.
Mereka secara konsisten mengarahkan kegiatan ilmiah untuk mendukung
kebenaran dogma-dogma agama (Kristen). Pada saat itu, semboyan yang berlaku
bagi ilmu adalah “Ancilla theologiae”, atau “Abdi agama”. Oleh karena itu, sejak
jatuhnya kekaisaran Romawi Barat hingga kira-kira abad ke-10, di Eropa nyaris
tidak ada kegiatan yang berarti dalam bidang ilmu pengetahuan, sehingga periode
ini dikenal dengan sebutan abad kegelapan (dark age).
Kendatipun demikian, masa menjelang berakhirnya abad pertengahan, di Barat
bukan berarti tidak ada kemajuan sama sekali. Masih ada penemuan-penemuan
yang membanggakan, antara lain tentang pembaruan penggunaan bajak yang
dapat membantu penggunaan energi para petani, demikian juga kincir air mulai
digunakan untuk menggiling jagung, dll. Selanjutnya ada pula kemajuan dan
pembaruan dalam bidang perkapalan dan navigasi pelayaran, dengan berbagai
perlengkapan kapal, sehingga kapal dapat digunakan lebih efektif. Tidak hanya
itu, kompas sudah mulai digunakan oleh di Eropa.
Demikian juga ketrampilan dalam membuat tekstil dan pengolahan kulit
terlihat ada kemajuan, dikenal alat-alat pemintal kapas (Ihsan, 2010: 199).
Sekaitan dengan kondisi peradaban Barat pada abad pertengahan, perlu
dikemukakan uraian Henry S. Lucas yang memiliki pandangan yang berbeda dari
ahli-ahli sejarah pada umumnya, seperti dituangkan dalam karyanya A Short
History of Civilization. Lucas (1993: 251) mengatakan, bahwa Abad Pertengahan
ternyata menghasilkan banyak kontribusi yang berarti bagi sejarah teknologi.
Pandangan hanya agama yang berkembang selama abad-abad ini tidak dapat
dipertahankan.
Bangsa Eropa Abad Pertengahan tidak hanya mewarisi perlengkapan mekanis
dari zaman klasik, tetapi juga mampu mengembangkannya. Penemuan-penemuan
teknik pada abad pertengahan ini ternyata merupakan basis bagi perkembangan
teknologi modern, demikian Lucas. Banyak penemuan yang dihasilkan pada abad
pertengahan ini, selain mempertahankan warisan dari era pendahulunya. Di antara
penemuan yang merupakan pengembangan era sebelumnya adalah: Pertama, Alat
giling.
Penemuan ini merupakan penerapan prinsip gerak roda penggilingan biji padi-
padian, yang di era sebelumnya tidak menggunakan roda (Lucas, 1993: 252).
Kedua, modifikasi alat tenun dan pemintal. Penenunan dan pemintalan sudah
dikenal sejak zaman batu, alat-alat tenun dan pemintal sudah biasa dikenal di
kalangan suku-suku pengembala domba dan kambing, tetapi alat tenun pada
masa-masa itu masih sangat Filsafat Ilmu_59 sederhana. Namun, pada zaman
Romawi terjadi modifikasi alat tenun dan pemintal, yang telah diwariskan ke
dunia Eropa abad pertengahan. Selanjutnya, pada abad pertangahan alat-alat tenun
dan pemintal tersebut terus dimodifikasi. Ketiga, kompas dan cross-staff Navigasi
mengalami perkembangan yang cukup berarti pada Abad Pertengahan. Memang
pada zaman kuno, para pelaut telah terbiasa mengatur pelayaran mereka dengan
mendasarkan diri pada letak bintang-bintang, yakni dengan meastikan arah dari
posisi bintang kutub. Setelah tahun 1300 para pelaut mulai lebih menyandarkan
diri pada kompas daripada mengamati letak bintang-bintang.
Dengan kompas para pelaut dimungkinkan sekali untuk memastikan arah
walaupaun langit berawan dan bintang-bintang tidak dapat dilihat. Walaupun
penemuan kompas ini menandai suatu langkah maju dalam perkembangan
navigasi ilmiah, para pelaut ternyata tidak meninggalkan sama sekali kebiasaan
melihat bintang kutub untuk memastikan posisi mereka.
Maka pada abad pertangahan ditemukan apa yang disebut dengan cross-staff,
yaitu alat yang biasa digunakan pada masa-masa akhir abad pertengahan, sehingga
lebih memungkinkan para pelaut untuk mengetahui ketepatan posisi mereka jika
mereka itu telah jauhd dari daratan. Selain hal di atas, pengembangan dan
penemuan yang dilakukan oleh Eropa pada abad pertengahan adalah tentang
aklileri, baju baja, senjata api, khronometer (alat pengkuran), percetakan, kertas
dan lain-lain yang bukan hanya menyempurnakan atau mengembangkan
penemuan-penemuan sebelumnya, tetapi juga banyak dia antaranya yang baru
lahir pada abad pertengahan (Lucas, 1993: 256-260).
2. . Masa Skolastik.
Zaman ini dimulai pada abad ke-10 hingga abad ke 15 M. Masa ini muncul
mazhab-mazhab baru di kalangan para 60_Duski Ibrahim pendeta, sebagai reaksi
atas kemewahan duniawi dari monastisisme yang mapan. Pada masa ini, pengaruh
filsafat Aristoteles paling dominan, sekalipun filsafat Plato juga masih
berpengaruh. Para tokoh mereka mempelajari peran rasio manusia dari filsafat
Plato, dan mempelajari filsafat tentang kesatuan antara alam (nature) dengan akal
(reason) dari ajaran Aristoteles. Para pemikir terkenal pada masa Skolastik ini,
antara lain, adalah: Abelardus, Anselmus, Duns Scotus, William Ockham dan
Thomas AquinasPara pemikir terkenal pada masa Skolastik ini, antara lain,
adalah: Abelardus, Anselmus, Duns Scotus, William Ockham dan Thomas
Aquinas. Anselmus terkenal dengan pembuktian ontologisnya tentang Tuhan.
Menurutnya, Tuhan adalah suatu yang paling besar untuk dipikirkan, dan
sesuatu yang terbesar untuk dipikirkan itu, pastilah ada. Ia menyatakan bahwa
untuk mengerti Tuhan pertama-tama orang harus percaya, seperti istilah yang
dikemukakannya “Credo ut intelligam”, artinya: Saya percaya supaya saya
mengerti. William Ockham terkenal dengan “Ockham's razor” (Pisau cukur
Ockham), yang juga disebut dengan prinsip kehematan.
Maksudnya adalah, keharusan untuk bersahaja dalam menguji teori. Prinsip
keberahajaan itu adalah “apapun jangan dilipatgandakan tanpa alasan”. Jika ada
hipoteis yang sederhana, maka hipotesis yang rumit menjadi irasional (Lubis,
2014: 10). Abelardus terkenal dengan pemikirannya yang berusaha menyatukan
antara universalia (universal) dengan individualia (particular), yang terjadi antara
pendukung nominalisme dengan realisme yang sangat menguasai filsafat Abad
Pertengahan. Kaum realis menyatakan bahwa pengertian umum itu ada pada
bendanya, sementara kaum nominalis menyatakan bahwa konsep universal itu ada
sesudah/di luar bendanya. Untuk mengatasi ini, Abelardus mengemukakan
E. Periode Renaisans
Renaisans yang berarti „kebangkitan‟ adalah suatu era 'antara' Abad Pertengahan dan
zaman Modern. Era ini, sangat perhatian terhadap bidang seni lukis, patung, arsitektur,
musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (Lucas 1960). Di era ini berbagai
gerakan dilakukan, yang tertuju kepada penentangan terhadap pola pemikiran dogmatis Abad
Pertengahan, dan menghasilkan perubahan mendasar dalam pemikiran manusia, yang
merupakan suatu pola pemikiran baru dalam filsafat (Patterson, 1971: 2), yaitu era kelahiran
kembali kebebasan manusia dalam berpikir, sebagaimana manusia pada zaman Yunani.
Dengan ungkapan lain, di era ini manusia Barat berpikir yang terlepas dari otoritas
Gereja dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan, yang pada Abad
Pertengahan sangat terikat dengan otoritas tersebut. Pada mulanya, gerakan renaisans hanya
dilakukan oleh beberapa orang yang menonjol, di antaranya, Petrarch. Tetapi, pada
gilirannya, terutama pada abad ke 15 gerakan atau gagasan kebangkitan ini semakin
menyebar di kalangan Itali terdidik. Renaisans bukanlah suatu periode yang penuh penemuan
dalam filsafat, tetapi pada masa itu ada beberapa hal penting yang perlu dicatat, sebagai
rintisan dan fondasi kejayaan pada abad ke -17. Pertama, sistem skolastik yang sangat kaku
dan mengekang telah berhasil diatasi. Perhatian kepada pemikiran para filosof, terutama
pemikiran Plato dan Aristoteles kembali tumbuh dan berkembang. Kedua, berbagai
pemikiran didiskusikan kembali secara serius, sehingga muncul suasana perdebatan akademik
yang kreatif dan independen. Ketiga, aktivitas intelektual semakin berkembang, sebagai ganti
meditasi dalam rangka pelestarian ajaran-ajaran keagamaan gereja.
Renaisans, seperti telah disinggung, bukan suatu gerakan rakyat, melainkan gerakan
sejumlah ilmuwan dan seniman, yang didorong oleh pendukung mereka yang bersikap
liberal. Sikap mereka terhadap gereja sangat bervariasi: Pertama, sebagian mereka bersikap
acuh (pemikir bebas). Kedua, bahkan sebagiannya lagi ada yang bersikap menentang.
Kecenderungan yang semakin menguat dari penentangan terhadap dogma-dogma gereja,
adalah semakin mencuatnya harapan terhadap akal dan penalaran. Sekaitan dengan ini,
William Occam menawarkan dua jalan di persimpangan. Pertama, disebutnya via antiqua
(jalan kuno), yaitu jalan yang menggiring manusia kepada kekakuan dogma dan kepercayaan
mitos. Kedua, disebutnya via moderna (jalan modern), yaitu suatu jalan yang akan membawa
kepada kebebasan dan pencerahan.
Tantangan terhadap kewibawaan gereja yang lebih dahsyat, ternyata datang dari dalam
sendiri, dengan munculnya Martin Luther (1483-1546) yang terkenal dengan 72_Duski
Ibrahim gerakan Protestanisme-nya, suatu gerakan yang mengajarkan penentangan terhadap
otoritas gereja Katolik pada saat itu. Pada masa renaisans ini tidak banyak muncul filosof dan
pemikir. Di antara sedikit pemikir tersebut, selain yang telah dikemukakan, adalah Leonardo
Da Vinci (1452-1519 dan Michelanglo (1475-1564). Tetapi, lagi-lagi, mereka ini lebih
banyak berkiprah sebagai seniman, ilmuwan atau budayawan. Kendatipun demikian, pada
masa renaisans ini muncul seorang filosof terkenal, melalui filsafat politiknya yang sangat
berpengaruh, seperti tertuang dalam bukunya The Prince (Sang Pangeran). Filosof tersebut
adalah bernama Niccolo Machiaveli (1467-1527). Ada rumusan „menyentak‟ dalam filsafat
politik, yang pernah dikemukakannya, yaitu: The end justifies the means, yang berarti
„Tujuan menghalalkan berbagai cara,‟ atau dalam bahasa Arab disebut al-ghayah tubarrir al-
waqi‟. Dari rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa asal tujuannya baik semua cara boleh
dilakukan. Kalau begitu, dapat ditafsirkan, bahwa seseorang boleh saja merampok,
memperkosa, memfitnah atau melakukan apa saja, asal ditujukan untuk mencapai kebaikan.
Dengan demikian, seorang mahasiswa boleh saja merampok atau mencuri asalkan untuk
membayar kuliah dalam rangka menuntut ilmu. Bukankah menuntut ilmu itu adalah kebaikan
(Lubis, 2004). Dari sisi lain, filsafat politik yang dicetuskan dan dikembangkan Machiavelli
ini sangat bersifat realitis, berdasarkan pengalamannya sendiri, bertujuan untuk mengerahkan
semua sarana yang ada untuk pencapaian tujuan yang diinginkan bersama, dengan
mengabaikan pertimbangaan sesaat yang menghambat. Untuk mendapat kersuksesan
memang harus kuat dan tegas. Machiavelli mengatakan „Setiap nabi yang bersenjata telah
berhasil menaklukkan, dan yang tak bersenjata gagal.
Antara abad ke-15 dan ke -17 muncul babakan baru dalam sejarah perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan Barat, yaitu periode yang menjembatani Abad pertengahan dan
abad modern, yang dikenal dengan sebutan zaman renaisans (abad ke-14 – 17) dan
pencerahan (awal abad ke-18). Pada periode ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles dan
humanimse telah melahirkan kebangkitan dan kebebasan individu dan manusia 74_Duski
Ibrahim dijadikan sebagai pusat segala-galanya (antroposentris). Era Renaisans dan
Pencerahan benar-benar telah menghidupkan kembali pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan. Sebab itu, era ini disebut juga zaman penemuan kembali manusia (rediscovery
of man). Pada masa renaisans muncul kembali upaya membangkitkan kebebasan berpikir
seperti pada masa Yunani. Sementara otoritas gereja mulai lemah dan kepercayaan terhadap
kebenaran mutlak agama Kristen mulai luntur. Sejauh itu, pada masa ini mulai berkembang
bibit reformasi yang pada abad ke -16/17 menghasilkan 'Pemisahan Protestan dan Katolik
(Lubis, 2014: 13).