Anda di halaman 1dari 3

DISKUSI 4

PKNI4317.31
LIVINDA TRI ANIS SETIYADI
858687164

A. Pengertian Kekuasaan
Terdapat beberapa pengertian menurut para ahli, diantaranya adalah:
1. Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1992) mengemukakan bahwa “kekuasaan
adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.”
2. Strausz-Hupe mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan pada
orang lain”.
3. C. Wright Mills, “kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan
kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan mempunyai sifat memaksa”.
4. Menurut Talcot Parsons, kekuasaan adalah kemampuan umum untuk menjamin pelaksanaan dari
kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh unit-unit organisasi kolektif dalam suatu sistem yang
merupakan kewajiban-kewajiban yang diakui dengan acuan kepada pencapaian tujuan-tujuan kolektif
mereka dan bila ada pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negatif
tertentu, siapapun yang menegakkannya. Pengertian ini menitikberatkan kepada kekuasaan publik
untuk menegakkan aturan-aturan masyarakat yang bersifat memaksa demi untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat.
5. Harold D.Laswell, dan Abraham Kaplan mengatakan bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan di
mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar
sesuai tujuan dari pihak pertama.
6. Laswell dan Kaplan, Van Doorn mengungkapkan bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan untuk
membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari
pihak pertama”.
7. R.J. Mokken merumuskan konsep “Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku (seseorang atau
kelompok atau lembaga) untuk menetapkan secara mutlak atau mengubah (seluruhnya atau
sebagiannya) alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-alternatif memilih, yang tersedia bagi
pelaku-pelaku lain”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan diartikan sebagai konsep hubungan sosial dominatif yang
menggambarkan adanya suatu kekuatan yang dimiliki oleh seseorang atau satu pranata untuk
memaksakan kehendaknya kepada orang lain (termasuk pranata lain) yang dilakukan melalui penetapan
perintah-perintah atau pembuatan aturan-aturan tingkah laku sehingga orang lain menjadi tunduk dan
patuh terhadap perintah-perintah dan aturan-aturan tingkah laku tersebut.

B. Implementasi Kekuasaan Awal Perjalanan Romawi Suci


Keruntuhan Romawi Barat kemudian memunculkan Eropa sebagai benua yang terpecah belah
menjadi banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh seorang
Charlemagne, Raja Bangsa Frankish untuk menaklukkan hampir seluruh wilayah Eropa kecuali Spanyol,
Skandinavia, Italia Selatan, dan Slavia di Timur dan menjadikannya Kekaisaran Romawi Suci yang di
dalamnya terdapat peleburan tradisi Prancis, Jerman, Kristen, dan Romawi. Charlemagne sendiri
kemudian dinobatkan oleh Paus Leo III sebagai Kaisar Romawi Suci di Hari Natal tahun 800. Pendirian
Kekaisaran Romawi Suci ini kemudian menandai awal berdirinya Christendom di Eropa karena Kepausan
kemudian menemukan sebuah monarki tunggal yang dominan, yang menguasai Eropa, serta melindungi
dan melayani wilayah Kristen. Di bawah kekuasaan Charlemagne, Kekaisaran Romawi Suci
menempatkan diplomasi sebagai hal yang cukup penting karena bagi Charlemagne, agar dapat
mempertahankan kekuasaanya, ia harus melakukan banyak praktik diplomasi dengan kaum
Muslim di timur dan Kekaisaran Byzantium. Praktik diplomasi yang ia lakukan adalah melalui
utusan serta perwakilan-perwakilan diplomatik, pemberian hadiah-hadiah, serta melalui
pernikahan antar dinasti.
Berlanjut ke topik bahasan mengenai Christendom yang kemudian mendominasi Eropa sejak
kejatuhan Romawi Barat, pendirian Kekaisaran Romawi Suci hingga kemunculan era Rennaissance di
abad ke 15. Christendom adalah sebutan untuk kekuasaan dan absolutisme yang dilakukan oleh Kepausan
dan Gereja Katolik di hampir seluruh wilayah Kekristenan Eropa di masa Dark Ages. Salah satu titik tolak
penting bagi perkembangan Christendom di Eropa adalah diadakannya Konsili Nicea oleh Kaisar
Konstantin Agung di tahun 323 M. Melalui konsili ini pandangan iman Kristen secara holistik dihasilkan
dalam bentuk Credo Nicea dan Gereja kemudian mencapai konsensusnya yang pertama melalui suatu
permusyawaratan yang mewakili seluruh umat Kristiani. Namun, secara lebih jauh, konsensus Nicea ini
juga menjadi salah satu upaya konsolidasi kekuasaan Konstantin dan legitimasi agama Kristen sebagai
agama Kekaisaran Romawi. Akan tetapi, ketika Romawi Barat Runtuh, legitimasi kekuasaan Konstantin
ini kemudian diklaim oleh Gereja Katolik dan Kepausan sebagai warisan yang harus mereka pertahankan
dan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dominasi Gereja Katolik dan Kepausan di Eropa. Oleh
karenanya, di era Christendom, sistem feodalisme Gereja sangat berakar kuat dimana hampir
seluruh wilayah kerajaan dan kekaisaran di Eropa masih harus tunduk kepada kekuasaan dan
hukum-hukum Gereja. Hal ini dibuktikan dengan adanya pendirian Kekaisaran Romawi Suci,
munculnya Perang Salib, pendirian Gereja Anglikan Inggris, dan berpuncak pada Reformasi
Protestan. Diplomasi di era Christendom ini sangat berpusat pada dogmatisme doktrin-doktrin
Gereja Katolik dan memiliki sifat yang sedikit memaksa pihak-pihak yang berada di bawah
dominasi Gereja melalui ancaman sanksi yang berupa ekskomunikasi. Di masa tersebut,
ekskomunikasi adalah sebuah hal yang cukup serius karena Gereja memegang kendali dan kuasa
di hampir semua aspek kehidupan masyarakat Eropa. Dominasi Christendom ini kemudian
mengalami guncangan ketika Konstantinopel Kristen jatuh ke tangan Kesultanan Turki Ottoman di tahun
1453. Hal ini kemudian menandai kemunculan pengaruh dari kekuatan Islam di Eropa khususnya di
bagian timur.
Dari berbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan diplomasi di Abad
Pertengahan sangat dipengaruhi oleh kekuasaan dan dominasi Gereja Katolik dan Kepausan. Selain itu,
figur seorang Charlemagne dan departemen luar negeri kekaisaran Byzantium juga memainkan peranan
yang penting bagi perkembangan diplomasi khususnya di Eropa. Akan tetapi, dominasi Gereja Katolik
dalam bentuk Christendom ini kemudian memunculkan banyak kritik dan pertentangan di dalam
kehidupan masyarakat Eropa yang kemudian berpuncak di era Rennaissance dan Reformasi Protestan
dimana dominasi Gereja secara bertahap mengalami kemunduran. Di era Rennaissance, diplomasi
kemudian mengalami beberapa titik tolak penting di tangan Spanyol yang mengupayakan reqonquista,
Italia yang berupaya menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan seni era Romawi dan Yunani Kuno,
dan Prancis yang mengupayakan establishment praktik-praktik diplomasi modern.

C. Makna Kedaulatan Setelah ditandatangani Konferensi Montevideo tahun 1933


Kita semua tahu bahwa tiap negara memiliki unsur-unsur pembentuknya, katakanlah unsur ini sebagai bagian terkecil
untuk membentuk suatu negara. Nah unsur-unsur ini pada tahun 1933 telah dirumuskan dan
disepakati (dihasilkan) dalam Konvensi Montevideo, dimana konferensi ini merupakan konferensi antara
negara-negara Amerika yang berlangsung di Montevideo (Ibu kota Uruguay). Berdasarkan hasil konvensi ini,
unsur-unsur berdirinya suatu negara adalah sebagai berikut
1. Penghuni (penduduk/rakyat).
2. Wilayah.
3. Kekuasaan tertinggi (pemerintah yang berdaulat).
4. Kesanggupan untuk berhubungan dengan negara lain.
5. Pengakuan dari negara lain.
Keempat unsur pertama disebut unsur konstitutif atau unsur pembentuk yang harus terpenuhi agar terbentuk negara,
sedangkan unsur yang kelima disebut unsur deklaratif yakni unsur yang sifatnya menyatakan, bukan unsur mutlak
artinya jika unsur konstitutif sudah terpenuhi maka suatu negara bisa tidak memerlukan unsur deklaratif.
Bila dikaji dari sudut pandang hukum internasional, kedaulatan mewakili totalitas hak-hak negara dalam
menjalankan hubungan luar negeri dan menata urusan-urusan-urusan dalam negerinya. Menurut sudut
pandang ini ciri utama negara yang berdaulat adalah bahwa kemampuan untuk melakukan sendiri
pengawasan terhadap wilayahnya dan orang-orang yang berada di dalam wilayah itu, kecuali bila hal itu
bertentangan dengan aturan-aturan hukum internasional. Negara, sebagai subjek utama dalam sistem
hukum internasional dan pencipta hukum di dalam sistem tersebut, mempunyai tugas primer, yaitu
berperan dalam perumusan ketentuan-ketentuan yang membatasi tingkah lakunya. Sebagai kekuasaan
negara yang tertinggi, pengertian kedaulatan mengandung dua pembatasan penting, yaitu (1) kekuasaan
itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan (2) kekuasaan itu berakhir di
mana kekuasaan suatu negara lain mulai. Paham kedaulatan dalam arti terbatas tadi mengandung dua
implikasi penting bagi status negara dalam hubungannya dengan negara lain dalam masyarakat
internasional. Selain mengakui kemerdekaan, paham ini juga mengakui persamaan derajat negara-negara
yang berdaulat tadi. Artinya, selain merdeka negara-negara yang berdaulat tadi memiliki derajat yang
sama dengan yang lainnya.
Melihat Konvensi Montevideo dapat disimpulkan bahwa negara sebagai entitas Internasional dengan
kapasitasnya di dunia Internasional dibuktikan dengan adanya wilayah yang dikuasai dan populasi
permanen sehingga memunculkan satu konsep yaitu kedaulatan. Sehingga dengan adanya kedaulatan,
sebuah negara memiliki kekuasaan penuh dalam mengatur negaranya tanpa ikut campur negara lain.

Anda mungkin juga menyukai