Anda di halaman 1dari 4

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)


PROGRAM STUDI SARJANA SEMESTER GENAP TA 2021/2022
HUKUM

Mata kuliah : Ilmu Negara


Hari, tanggal : Senin, 6 Desember 2021
Dosen : Tim Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM
Waktu : 100 menit
Jenis Ujian : Terbuka (Daring)

IDENTITAS DIRI
Nama Lengkap : DANDY ANNAFI’ AHSANI TAQWIM
NIM :
Kelas : C

PETUNJUK TEKNIKS:
1. Tuliskan identitas Anda pada kolom identitas Diri di atas.
2. Tuliskan jawaban pada kolom yang tersedia dalam dokumen ini.
3. Jawaban dikirimkan melalui akun SIMASTER Anda.
4. Dokumen yang dikirimkan melebihi batas waktu yang telah ditentukan atau melalui media
lainnya tidak akan diterima.
5. Format penamaan file adalah sebagai berikut: No.Presensi (sesuai kartu ujian)_NIU (6
digit)_Nama Mahasiswa_Mata Kuliah_Kelas (Contoh: 99_298377_Mawang Yeager_Ilmu
Negara_B)
6. Dokumen dikirimkan dalam format Word.
7. Bagi kelas yang diwajibkan mengumpulkan tugas pada saat hari Ujian, silakan mengikuti
ketentuan yang diberikan oleh masing-masing Dosen Pengampu.

PETUNJUK KHUSUS:
1. Jawablah semua pertanyaan secara singkat, jelas dan argumentatif.
2. Jawaban untuk setiap pertanyaan maksimal 200 kata.

PERTANYAAN

1. Salah satu isu penting yang mengemuka di Zaman Renaissance adalah mengenai absolutisme raja,
namun demikian terdapat adanya perbedaan pemikiran. Di satu sisi terdapat pihak yang mendukung
absolutisme raja. Namun di sisi lain ada yang membatasi absolutisme. Jelaskan pandangan Saudara
mengenai rasio atas perbedaan pemikiran tersebut, serta berikan contoh pemikirannya!
2. Pada Zaman Aufklarung, pemikiran mengenai hukum alam mengalami perkembangan yang
signifikan, salah satunya berkaitan dengan pembentukan negara. Jelaskan persamaan dan
perbedaan pemikiran mengenai terbentuknya antara Grotius, Thomas Hobbes, dan Spinoza!
3. Jelaskan perbedaan pemikiran mengenai pemisahan kekuasaan negara yang dikemukakan oleh
John Locke dan Montesquieu!
4. Jelaskan mengenai kontribusi Treaty of Westphalia dalam pengembangan konsep mengenai negara!
5. Jelaskan berbagai model pembentukan negara pasca-kolonial dan implikasinya terhadap negara
yang terbentuk. Berikan contoh untuk masing-masing model tersebut!

Halaman 1 dari 4
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
PROGRAM STUDI SARJANA SEMESTER GENAP TA 2021/2022
HUKUM

JAWABAN
NO 1
Pada era Dark Ages muncul pula paham-paham baru akibat dari pengaruh gereja yang kian besar
dalam arti ‘menindas’ seperti Kristendom dan Absolutisme. Hal ini pula yang menghambat
perkembangan di Eropa baik dari segi ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi dan bahkan
prinsip-prinsip moralitas (Knutsen, 1997). Absolutisme raja yang menjadi salah satu isu penting
di awal Zaman Renaissance menimbulkan pro dan kontra. Ada pihak yang mendukung, ada juga
yang menentang. Hal itu didasari pada sudut pandang masing-masing individu dalam menilai isu
tersebut.
Dalam halnya, Eropa tengah dikuasi oleh konsep kristendom yang terjadi di abad ini
sebagai suatu proses kristenisasi yang ada di Eropa (Marty, 2008). Kristendom merupakan
paham dimana dalam satu wilayah meskipun terdiri dari berbagai suku dan etnis, haruslah
bersandar dalam satu agama yakni Kristen. Kristendom lahir di Eropa dan berpusat di Inggris
karena pada Abad Pertengahan, kerajaan Inggris memiliki relasi yang terlebas luas di benua
Eropa dan sekitarnya. Diplomasi yang dilakukan dalam Abad Pertengahan dilakukan oleh
kerajaan dan gereja. Dari sini gereja berada di bawah otoritas kerajaan dan digunakan sebagai
instrumen kekuasaan, sebagai gantinya gereja mendapatkan perlindungan dari kerajaan. Selain
itu, gereja juga merupakan penasihat raja dan berperan besar dalam pengambilan keputusan
termasuk sebagai pemeran utama dalam diplomasi pada waktu itu. Dominasi diplomasi dipegang
oleh Paus atas nama kepentingan agama. Diplomasi yang dilakukan Paus lebih cenderung
sebagai mediator konflik. Jenis diplomasi yang berkembang awalnya adalah “old
diplomacy” dan “secret diplomacy” dengan karakteristik yang bersifat  tertutup, rahasia, elitis
dan diwarnai dengan tipu daya (Roy, 1995).
Absolutisme dianggap telah mencapai puncaknya di bawah kekuasaan Raja Perancis
Louis XIV from 1643 – 1715 yang dikenal dengan semboyannya “L'etat c'est moi”. Selain itu
juga raja-raja yang terkenal dengan absolutismenya antara lain yakni Katarina yang
Agung dari Rusia, Leopold I dari Austria, John V dari Portugal, Frederick III dari
Denmark, Charles XI dan Charles XII dari Swedia, dan Frederick Agung dari Prusia. Melihat
dari kesewenang-wenangan raja atas kekuasaan yang dimilikinya jelas memperlihatkan
bahwasanya diplomasi absolutisme ini menempatkan raja yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Model diplomasi yang diperlihatkan melalui paham ini sangat didasari dengan kebenaran.
Disamping efek negatif yang dimilikinya, Absolutisme juga membawa efek positif terhadap
dunia sekarang dimana dari paham Absolutisme ini  yang pada akhirnya menyadarkan bahwa
negara membutuhkan sesosok pemimpin atau raja yang bijaksana dan tidak sewenang-wenang
dalam kekuasaannya. Pada paham Absolutisme, raja memiliki kekuataan tertinggi sehingga
diplomasi pun juga turut berpengaruh oleh kehadiran sosok raja. Dari sini dapat ditarik bahwa
Absolutisme berkontribusi dalam konsep diplomat yang dibawa hingga kini yang mana diplomat
harus berbicara kebenaran mutlak terhadapnya. Diplomat dituntut harus berbicara benar dalam
pengemban tugas diplomatiknya walaupun mereka harus mati (Salamah, 2014). Karena bagi
paham ini kebenaran adalah absolut dan absolut tidak akan pernah bisa hancur.
Seusai mengalami dominansi gereja, abad pertengahan diwarnai dengan hal-hal yang
sekarang disebut humanisme, hal ini dikarenakan sebelumnya nilai-nilai yang menjadi panutan
adalah nilai gereja bukan ukuran yang dibuat oleh manusia. Nilai-nilai tersebut antara lain

Halaman 2 dari 4
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
PROGRAM STUDI SARJANA SEMESTER GENAP TA 2021/2022
HUKUM

humanisme, individualisme, empirisme dan rasionalisme (Tafsir, 2007). Timbulnya nilai-nilai


dipicu oleh tulisan Dante Alighieri, Rene Descartes, Martin Luther dan para pemikir lainnya
berhasil membuat runtuhnya dominasi Gereja di Eropa. Dengan dibawanya nilai-nilai baru pada
masa tersebut, pola diplomasi juga turut berubah. Yakni yang pada Abad Pertengahan ditengarai
berbau pemaksaan dan kekerasan, sedangkan dalam rennaisans lebih menekankan pada sisi
negosiasi (soft power).
Paham Kristendom yang awalnya mendominasi Eropa dengan kristenisasi dan kesewang-
wenangan petinggi gereja, turut digantikan dengan Absolutisme yang memberikan kekuasaan
tertinggi berada pada Raja. Awal absolutisme modern diyakini telah ada di seluruh Eropa yang
menjadi awal mula zaman modern. Akhir zaman kegelapan pun ditandai dengan hadirnya
renaisans yang membawa nilai-nilai baru yakni humanisme, individualisme, empirisme dan
rasionalisme. Praktik-praktik diplomasi pun telah berkembang selayaknya zaman modern, seperti
penempatan perwakilan diplomatic secara permanen dalam rangka menjalin hubungan antar
negara, serta telah menggunakan keutamaan negosiasi (soft power) dalam hal menyelesaikan
konflik. Lahirnya Abad Renaisans juga didukung oleh aktor-aktor berpengaruh seperit
Machiaveli yang memberontak kekuasaan gereja. Dalam hal keuasaan, Nicolo Macghiavelli
mengungkapkan penguasa harus melakukan segala cara dalam mempertahankan kedaulatan
negaranya, sebagaimana diplomasi seharusnya dilaksanakan.

NO 2
Pada Zaman Aufklarung berkembang Teori Hukum Alam abad XVII : (berfungsi menerangkan).
Tokoh-tokohnya : a. Grotius (Hugo de Groot); b. Thomas Hobbes; c Benedictus de Spinoza; d.
John Locke.
Tokoh-Tokoh Persamaan Perbedaan

NO 3
Prinsip pemisahan kekuasaan dikembangkan oleh dua pemikir besar dari Inggris dan Perancis,
John Locke dan Montesquieu. Konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh dua
pemikir besar tersebut kemudian dikenal dengan teori Trias Politica. Menurut John Locke
kekuasaan itu dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu :1 1) Kekuasaan legislatif, bertugas untuk
membuat peraturan dan undang-undang. 2) Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk melaksanakan
undang-undang yang ada di dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili. 3) Kekuasaan
federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan
dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar
negeri). Sementara itu Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan membedakannya
dalam tiga bagian pula meskipun ada perbedaan dengan konsep yang disampaikan John Locke,
yaitu : 1) Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat undang-undang. 2) Kekuasaan eksekutif,
bertugas untuk menyelenggarakan undang-undang (tetapi oleh Montesquieu diutamakan
tindakan di bidang politik luar negeri). 3) Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili atas
pelanggaran undangundang. Dari dua pendapat ini ada perbedaan pemikiran antara John Locke
dengan Montesquieu. John Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan

Halaman 3 dari 4
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
PROGRAM STUDI SARJANA SEMESTER GENAP TA 2021/2022
HUKUM

eksekutif, sementara Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai


kekuasaan yang berdiri sendiri.2 Menurut Montesquieu dalam setiap pemerintahan tiga jenis
kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai
alat perlengkapan (organ) yang melakukannya. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya
campur tangan atau pengaruh-mempengaruhi, antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan artinya ketiga kekuasaan itu
masing-masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang menanganinya.3 Terkait
dengan teori pemisahan, Montesquieu membuat analisis atas pemerintahan Inggris dan ia
menyatakan; ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang yang sama, atau
pada lembaga tinggi yang sama, maka tidak ada kebebasan. Sekali lagi tidak akan ada
kebebasan, jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Dan pada akhirnya akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang yang sama atau
lembaga yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu menetapkan hukum, manjalankan
keputusankeputusan publik dan mengadili kejahatan atau perselisihan para individu.

NO 4

Perjanjian Wesphalia ( The Peace of Westphalia / The Westphalia Treaty) Tahun 1648,
merupakan perjanjian yang mengakhiri perang selama 30 tahun sekaligus berhasil menjadi
sebuah tonggak sejarah bernegara secara modern dalam konsep nation-state dan menjadi
permulaan bagi terjadinya suatu sistem hubungan internasional yang disebut Wesphalian System.
Doktrin Wesphalia hasil dari perjanjian ini meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu
negara dan hak menentukan nasib sendiri (Right to Self Determination) yang menginginkan agar
setiap negara ataupun suatu bangsa terbebas dari apa yang disebut dengan penjajahan, oleh
karena itu suatu bangsa mempunyai hak menentukan nasibnya sendiri (Right to Self
Determination) agar terbebas dari penjajahan.

Halaman 4 dari 4

Anda mungkin juga menyukai