Anda di halaman 1dari 3

Situasi pangan dan gizi di negara berkembang salah satunya Indonesia digambarkan dalam

beberapa faktor yaitu ketahanan pangan dan gizi, budaya makan, dan transisi gizi di negara
berkembang. Ketahanan pangan befokus kepada ketersediaan pangan. Akses terhadap pangan di
Indonesia meningkat dan prevalensi gizi kurang (undernutrition) terus menurun selama beberapa
tahun terakhir. Namun, status gizi masyarakat Indonesia masih rendah menurut standar
internasional dan perbedaan gizi antar daerah masih tetap besar. Pada saat yang bersamaan,
Indonesia juga menyaksikan makin tingginya prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan
obesitas, serta defisiensi mikronutrien (micronutrient deficiency) di masyarakat. Indonesia
menghadapi tiga beban malnutrisi, yaitu gizi kurang yang berdampingan dengan kelebihan gizi
(overnutrition) dan defisiensi mikronutrien.
Keluarga yang miskin cenderung di negara berkembang tidak bisa mengonsumsi makanan
yang monoton dan berfokus pada pangan pokok. Pola konsumsi pangan penduduk Indonesia
masih dominan dengan makanan pokok sepert beras, jagung, singkong, ubi jalar, dan sagu.
Konsumsi produk hewani tergolong kecil (5%). Budaya makan di Indonesia beragam tergantung
dengan sosial dan budaya, keyakinan agama, serta preferensi makanan di dalam komunitas,
faktor-faktor ini juga memengaruhi akses masyarakat kepada makanan. Tidak hanya Indonesia,
tetapi rata-rata negara berkembang juga pola makannya masih didominasi dengan beras dan
makanan pokok.
Analisis situasi menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mencatat beberapa kemajuan
penting dalam meningkatkan ketahanan pangan dan gizi. Meski demikian, masih terdapat
beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama, peningkatan produksi sebagian komoditas pangan,
khususnya beras, belum bisa mengimbangi kenaikan konsumsi dan kebutuhan akan komoditas
ini. Masih tingginya ketergantungan terhadap impor beras dapat mengancam ketahanan pangan
selama krisis akibat pandemi COVID-19. Oleh karena itu, negara-negara berkembang
membutuhkan kapasitas untuk menghasilkan devisa agar mereka dapat membeli makanan dari
pasar dunia, yang pada gilirannya perlu menawarkan sumber pasokan makanan yang terjangkau
dan dapat diandalkan. Kedua, meski prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (prevalence of
undernourishment) terus menurun, sekitar 21 juta orang di Indonesia masih memiliki asupan
kalori di bawah kebutuhan pangan minimum pada 2018. Kemiskinan dan relatif tingginya harga
pangan terhadap pendapatan masih menjadi tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam
upaya meningkatkan akses pangan. Ketiga, pola konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia
masih kurang ideal, dengan karbohidrat masih mendominasi asupan kalori; konsumsi protein,
buah-buahan, dan sayuran masih belum mencukupi; serta peningkatan konsumsi makanan
olahan dan siap saji di perkotaan maupun perdesaan. Keempat, meski prevalensi stunting , berat
badan kurang (underweight), dan wasting di kalangan anak usia di bawah 5 tahun menurun
sejak 2013, prevalensi gizi kurang masih tinggi menurut standar internasional. Selain itu,
prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas terus meningkat di kalangan anak usia 6 sampai
12 tahun, remaja, dan orang dewasa. Bukti juga menunjukkan bahwa defisiensi mikronutrien
banyak terjadi meski data yang representatif belum dikumpulkan selama bertahun-tahun. Krisis
yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial dapat mengikis
kemajuan yang telah dicapai selama ini.
Transisi nutrisi menggambarkan perubahan pola makan dan asupan nutrisi individu,
keluarga, kelompok orang, atau seluruh populasi ketika lingkungan makanan dan keadaan lain
berubah. Hal ini biasanya disertai dengan transisi epidemiologis, yaitu pergeseran dari pola
prevalensi tinggi penyakit menular terkait malnutrisi menjadi salah satu peningkatan penyakit
gizi kronis terkait gaya hidup (NR-CDL). Perubahan lingkungan atau keadaan yang biasanya
terkait dengan transisi nutrisi adalah urbanisasi, modernisasi (ketika orang mengadopsi gaya
hidup "kebarat-baratan" modern), dan akulturasi (ketika orang meninggalkan budaya tradisional
untuk mengadopsi gaya hidup dan kepercayaan baru).
Globalisasi produksi dan pasokan pangan menimbulkan masalah khusus bagi negara-negara
berkembang. Pertanian dengan input tinggi, hasil tinggi dan transportasi jarak jauh
meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan yang kaya dalam karbohidrat olahan dan
minyak nabati. Selain itu, globalisasi budaya dan perdagangan mendorong westernisasi sistem
pangan dan pola makan di negara berkembang. Sistem pangan modern dengan demikian
memainkan peran penting dalam transisi nutrisi, mengakibatkan beban ganda yaitu kekurangan
gizi dan kelebihan gizi di satu negara yang sama. Ketahanan pangan global sekarang bergantung
pada sistem pangan global, yang diarahkan pada pertanian komersial skala besar, pemrosesan
dan pengemasan produk pangan, konsentrasi perusahaan dalam ritel dan distribusi (nama merek,
supermarket besar), dan pertumbuhan populasi perkotaan, yang mana mengandalkan hampir
sepenuhnya pada makanan yang dibeli.
Promosi konsumsi makanan tradisional dan retensi pola makan budaya diketahui sebagian
dapat mencegah transisi ini. Namun ada beberapa kendala dalam solusi ini, termasuk
ketersediaan makanan tradisional tersebut. Salah satu cara untuk mempromosikan peningkatan
konsumsi makanan tradisional adalah dengan mengkomersialkan produksi dan pemasarannya.
Modernisasi dan Westernisasi dicirikan oleh transisi rasa dan akses ke makanan praktis. Oleh
karena itu, upaya pendidikan yang besar diperlukan untuk meyakinkan orang dalam masa
transisi bahwa budaya makanan tradisional mereka cocok dengan makanan yang enak,
kesehatan yang baik, dan risiko CDL yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai