April 2020
Penyunting:
Prof. Dr. dr. Syafri K. Arif Sp.An KIC, KAKV
Penyusun:
Prof. Dr. dr. Syafri K. Arif Sp.An KIC, KAKV
Kontributor:
Dr. dr. Takdir Musba Sp.An KMN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah
sehingga dalam masa pandemi virus corona ini Pengurus Perhimpunan Dokter
Anestesi dan Terapi Intensif (PERDATIN) dapat menyelesaikan buku pedoman
penanganan pasien kritis COVID-19. Ucapan terima kasih kepada para penyusun
yang menyumbangkan waktu dan pikirannya dalam penyelesaian buku ini.
COVID-19 adalah Corona virus disease 2019, yang ditemukan pertama kali di
Wuhan, China pada tanggal 17 November 2019, kemudian menyebar ke berbagai
negara di dunia. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai
pandemi. Kondisi ini jelas tidak boleh diremehkan karena hanya beberapa penyakit
saja yang digolongkan sebagai pandemi di sepanjang sejarah. Di indonesia,
COVID-19 pertama kali ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020, dan sejak saat itu
virus corona ini menyebar ke berbagai provinsi di indonesia. Pada tanggal 5 April,
data dari BNPB menjelaskan jumlah pasien yang terinfeksi 2.273 orang, meninggal
198 orang, dan sembuh 164 orang.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hingga hari ini belum ada ditemukan
obat yang ideal yang dapat membunuh virus korona ini, sehingga diharapkan
sistem imun tubuh yang akan membunuh. Telah dipahami bahwa infeksi virus
corona adalah self-limiting disease, dimana sekitar 80 % pasien yang terinfeksi
tanpa disertai gejala, 20% dengan gejala, dan 5% yang bergejala akan menjadi
kritis. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi untuk melakukan penanganan
pada pasien yang optimal. Berdasarkan pengalaman penanganan infeksi virus
corona di China, penerapan strategi deteksi dini pasien kritis dan intervensi dini
pasien kritis mampu menurunkan tingkat mortalitas secara efektif (3,8%).
Berbagai strategi untuk penatalaksanaan pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU)
juga akan menentukan luaran pasien.
Oleh karena itu, kami Perhimpunan Dokter Anestesi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Indonesia membuat panduan penanganan pasien kritis COVID-19
yang dapat dipakai oleh teman-teman dokter anestesi di rumah sakit tempat
bertugas. Kami menyadari bahwa buku pedoman ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan di dalamnya, kritik dan saran
diperlukan untuk penyempurnaan berikutnya.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 6
PENDAHULUAN
Pada tanggal 8 Desember 2019, muncul suatu jenis pneumonia baru yang
kemudian menyebar ke seluruh dunia.1 Pneumonia ini kemudian dikenal sebagai
corona virus disease 2019 (COVID-19) yang masuk ke Indonesia dan diumumkan
secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 2 Maret 2020.2 Kemudian diketahui
bahwa COVID-19 ini disebabkan oleh virus baru dari golongan virus corona
(2019-nCoV). Corona virus adalah kelompok virus yang dapat menyebabkan
penyakit dari gejala ringan sampai berat hingga kematian. Diketahui dua jenis
corona virus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang berat yaitu Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
COVID-19 seringkali berkembang menjadi sebuah pneumonia berat dan
menempatkan penderita pada keadaan kritis.3
Ciri khas pasien kritis adalah bahwa beratnya suatu penyakit sangat
berhubungan dengan prognosis. Oleh karena itu, strategi yang mendasar untuk
memperbaiki luaran harus diarahkan untuk mendeteksi secara dini pasien yang
risiko tinggi dan pasien yang kritis. Sampai saat ini, masih belum ada obat yang
ditemukan untuk membunuh virus corona, namun dipahami bahwa penyakit ini
dapat sembuh sendiri (self-limiting disease) pada pasien dengan dengan sistem
imun yang baik. Perburukan dari paru disebabkan oleh disfungsi sistem imum
(cytokine storm) sehingga menyebabkan acute respiratory distress syndrome
(ARDS). ARDS menyebabkan oksigen tidak optimal masuk ke dalam tubuh yang
selanjutnya menyebabkan hipoksemia dan memicu terjadinya disfungsi berbagai
organ, bersama dengan mekanisme sitokin yang merusak organ.
DETEKSI DINI PASIEN KRITIS COVID-19
Penggunaan rapid test pun bukan tanpa masalah. Rapid test yang digunakan
terdapat 2 jenis, rapid test yang mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan
immonoglobulin G (IgG). IgM 2019-nCoV dapat terdeteksi sejak hari ke 3-5 sejak
awitan gejala. Sedangkan untuk IgG baru akan mengalami peningkatan pesat
beberapa hari setelahnya dan mencapai peningkatan 4 kali lipat pada masa
pemulihan.11 Sekitar 50% pasien mulai menunjukkan gejala dalam waktu 5 hari
sejak infeksi dan 97% pasien menunjukkan gejala dalam waktu 11.5 hari sejak
infeksi.12 Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan rapid test yang tepat dilakukan
dalam 3-5 hari sejak pasien menunjukkan gejala atau minimal 8 hari sejak pasien
mengalami kontak dengan sumber infeksi COVID-19. Penggunaan alat rapid test
secara besar-besaran dapat sangat membantu, tetapi ini akan membutuhkan
pemeriksaan ulang. Hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar.
Metode lain yang diperkenalkan untuk deteksi dini adalah penggunaan early
warning score (EWS) yang dikembangkan di Universitas Zhejiang. EWS ini
menggunakan beberapa parameter yang cukup sering ditemukan pada penderita
COVID-19, yaitu adanya tanda pneumonia pada CT Scan, adanya riwayat kontak
dengan pasien positif COVID-19, adanya demam, suhu maksimum >37.8oC sejak
gejala dimulai, jenis kelamin laki-laki, usia >40 tahun, adanya beberapa gejala
gangguan pernafasan dan rasio neutrofil-limfosit (Tabel 1).13
Tabel 1. Early warning score COVID-19 (COVID-19 EWS).13
Permasalahan lain dari sistem ini adalah bahwa COVID-19 EWS belum
dikonfirmasi untuk penggunaannya pada populasi di Indonesia. Namun, mengingat
adanya kesamaan ras sebagai ras mongoloid, maka COVID-19 EWS berpotensi
besar memberikan manfaat yang serupa.
Dari seluruh penderita COVID-19, 80% akan menunjukkan gejala ringan dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, 14% memerlukan perawatan di
ruang rawat biasa dan 5% memerlukan perawatan ICU.15 Hal ini berarti hampir
25% pasien yang dirawat di rumah sakit dapat menjadi pasien kritis, apalagi jika
penanganan di ruang rawat biasa tidak optimal. Dalam kondisi terdapat
keterbatasan fasilitas ICU, deteksi dini juga menjadi sangat diperlukan untuk
mengoptimalkan perawatan dengan harapan dapat menurunkan durasi rawat
intensif dan mencakup lebih banyak penderita.16
Pada penderita COVID-19, dilakukan pengawasan laju napas, laju nadi, saturasi
oksigen pada udara bebas sebanyak 2 kali sehari. Pada pasien dengan risiko tinggi,
pengawasan dilakukan secara terus menerus. Pasien yang memiliki risiko tinggi
adalah pasien sebagai berikut:5,17
• NRM
• HFNC
• NIV
Penilaian klinis :
Penilaian oksigenasi :
o Jika menggunakan HFNC >30 liter/menit atau NIV dan FiO2 >60%
tidak dapat menjaga SpO2 >92% (95% dengan komorbid).
c. Asal edema: Gagal napas yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh
gagal jantung atau kelebihan cairan. Diperlukan penilaian objektif (misal
Ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab edema hidrostatik jika
tidak ada faktor risiko.
d. Oksigenasi (Dewasa):
ii. ARDS sedang: PaO2/FiO2 >100 mmHg hingga ≤200 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O, atau non-ventilated)
iii. ARDS berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau
non-ventilated)
a. Sepsis
o Dewasa: disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan
oleh respon host yang tidak terkendali terhadap infeksi baik yang
dicurigai maupun yang terbukti, dan disertai disfungsi organ yang
dibuktikan dengan peningkatan skor Sepsis-related Organ Failure
Assessment (SOFA) ≥2 (Tabel 2). Skor SOFA awal diasumsikan
sebagai 0, jika tidak diketahui.20,21
Tabel 2. Skor Sepsis-related Organ Failure Assessment (SOFA).21
Tabel 3. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS).21
b. Syok Sepsis
o Dewasa: hipotensi yang menetap meskipun dengan resusitasi
volume, yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan MAP
≥65 mmHg dan tingkat laktat serum >2 mmol/L.
o Anak: hipotensi yang disebabkan apapun (SBP <5th centile atau >2
SD dibawah normal sesuai usia) atau 2-3 dari berikut: gangguan
status mental; takikardia atau bradikardia (HR <90 bpm atau >160
bpm pada bayi dan HR <70 bpm atau >150 bpm pada anak-anak);
capillary refill memanjang (>2 detik) atau vasodilasi hangat dengan
nadi yang kuat; takipnea; bercak-bercak di kulit atau petechiae atau
purpurea; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia or hipotermia.
2. Hemodinamik
3. Ventilasi
4. Terapi
• Pemberian nutrisi
Nutrisi tidak dibahas dalam kebanyakan literatur yang tersedia.8,22
Hanya tersedia sebuah literatur dari Cina yang mengharuskan
pemberian nutrisi yang cukup.11 Pedoman lain dari WHO
menganjurkan untuk memberikan nutrisi dalam 24-48 jam sejak
pasien dirawat di ICU. Tetapi hal ini tidak diterangkan lebih lanjut.20
Tabel 6. Interpretasi skor nutric jika tidak ada pemeriksaan interleukin-6.25
2. Analgesia
3. Sedasi
5. Elevasi Kepala
6. Profilaksis Ulkus
7. Kontrol Glikemik
• Pengaturan ventilator
a. Syarat penyapihan
f. Tehnik penyapihan
9. Pergerakan Usus
• Manajemen Syok
a. Lakukan pengawasan parameter dinamis berupa suhu kulit,
waktu pengisian kembali kapiler darah, dan kadar laktat serum
untuk menilai respons terhadap cairan. 20,22
• Antibiotik
Tabel 9. Regimen antibiotik empirik terkait rumah sakit dan ventilasi mekanik.
• Kortikosteroid
Kortikosteroid pilihan adalah hidrokortison 200 mg/24 jam.
Kortikosteroid ini diberikan hanya pada syok yang refrakter atau
dapat dipertimbangkan jika terdapat tanda-tanda ARDS. Steroid dapat
menekan sistem imun sehingga memperlambat bersihan virus.
Mengingat patofisiologi COVID-19 diakibatkan oleh adanya badai
sitokin, pemberian steroid dapat menurunkan intensitas badai sitokin
dan meringankan gejala.20,22
• Antivirus
Terapi antivirus masih belum memiliki bukti yang kuat. WHO dan
SCCM meminta kehati-hatian dalam penggunaannya.20,22 Petunjuk
penggunaan agen antivirus lebih jelas di bahas dalam pedoman
kesehatan yang digunakan oleh pemerintah China.11
12. Lain-lain
TATALAKSANA JALAN NAPAS PADA PASIEN COVID-19
A. Latar Belakang
Beberapa pasien yang sakit kritis memerlukan tindakan intubasi dan ventilasi.
Meskipun sebagian besar operasi elektif ditunda, operasi emergensi pada pasien
yang terkonfirmasi atau suspek COVID-19 tetap diizinkan untuk dilakukan.
Beberapa prosedur pembedahan ini dilakukan dengan tindakan anestesi umum
intubasi endotrakeal. Intubasi dan ventilasi pada pasien COVID-19 dalam kondisi
kritis yang memerlukan tindakan operasi segera memberikan tantangan bagi para
ahli anestesi. Dimana kondisi ini memerlukan rancangan teknik intubasi dan
ventilasi yang paling baik untuk pasien COVID-19 dan bagi ahli anestesi dimana
pada saat yang bersamaan harus dengan ketat memproteksi diri sendiri.41
• Batuk/bersin/mengeluarkan dahak
• Jet ventilasi
• Ekstubasi
• Laringoskopi
• Intubasi endotrakeal
• Bronkoskopi/gastroskopi
Catatan: aerosol paling banyak terjadi dengan endoendotracheal tube > supraglottic
airway > facemask
Alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu bagian dari sistem untuk
mencegah kontaminasi dan infeksi petugas kesehatan selama perawatan pasien.
Selain APD, prosedur seperti dekontaminasi seluruh permukaan dan alat
kesehatan, meminimalkan kontak yang tidak perlu dengan pasien, meminimalkan
kontak permukaan dan prosedur membuang sampah dengan hati-hati sangat
penting untuk mengurangi risiko penularan.43
Prinsip umum APD adalah harus sederhana dan mudah dilepas tanpa
mengkontaminasi pemakainya, hindari APD yang rumit. Harus melindungi seluruh
tubuh dan sekali pakai jika memungkinkan. Alat pelindung diri harus dibuang
secara cepat dan tepat setelah dilepas (“doffing”). Terdapat observer dan checklist
yang memastikan donning dan doffing dilakukan secara benar. Alat pelindung diri
harus digunakan saat melakukan tatalaksana pada seluruh pasien COVID-19.43
Penggunaan sarung tangan ganda saat intubasi endotrakeal dapat memberikan
proteksi ekstra dan meminimalkan penyebaran kontaminasi dari permukaan
peralatan dan lingkungan. Idealnya, pasien COVID-19 dirawat di ruangan tunggal
bertekanan negatif dengan laju aliran pertukaran udara yang baik (>12
pertukaran per jam) untuk mengurangi risiko paparan penularan udara. 43
1. Persiapan
3. Memiliki strategi
Jika terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan. Jika tindakan yang
menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah
terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20
menit.
Gambar 9. (a) Teknik 2 tangan 2 orang dengan posisi VE-grip, orang kedua memompa bag. (b)
Posisi C-hand harus dihindari. 43
E. Anestesi dan Teknik Jalan Napas pada Intubasi Endotrakeal Emergensi 43
4. Posisi pasien, seperti posisi menyamping pada pasien obese dan reverse
trendelenberg untuk memaksimalkan safe apnea time.
8. Pastikan bolus atau infus segera vasopresor untuk mengatasi jika terjadi
hipotensi.
a. Berdiri dengan menjaga jarak aman dari jalan napas pasien, tetapi
dengan praktis memberikan teknik optimal saat menggunakan
laringoskop apapun juga.
14. Kembangkan balon cuff dengan tekanan udara 20-30 cmH2O segera
setelah intubasi dilakukan.
c. USG paru dan rontgent dada diperlukan jika masih terjadi keragu-
raguan.
19. Jika dapat memastikan kebenaran posisi endotracheal tube, jangan lupa
mencatat kedalaman insersi endotracheal tube tersebut.
21. Jika pasien belum terkonfirmasi positif COVID-19, ambil sampel sekret
dari dalam endotrakeal menggunakan closed suction untuk pemeriksaan
COVID-19. Kadang-kadang sampel yang diambil dari jalan napas atas
memberikan hasil negatif.
22. Rekaman visual intubasi endotrakeal harus dapat terlihat dari kamar
pasien.
b. Jelaskan adanya kesulitan atau kegagalan setiap tahapan pada anggota tim.
• Monitor dan catat kedalaman endotracheal tube setiap pergantian shift jaga
untuk meminimalkan risiko dislokasi endotracheal tube.
• Mengatasi risiko dislokasi endotracheal tube. Risiko ini terjadi saat reposisi
pasien termasuk: posisi prone, mengembalikan posisi pasien, aspirasi pipa
nasogastric atau memastikan posisi nasogastric tube (NGT), sewaktu
membersihkan mulut pasien. Tekanan balon cuff dan kedalaman
endotracheal tube harus dicek dan diperbaiki sebelum dan setelah tindakan
tersebut. Saat menghentikan sedasi juga menyebabkan risiko terjadinya
dislokasi endotracheal tube dan hal ini harus memperhatikan waktu,
adanya perawat dan sebagainya.
• Kebocoran balon cuff. Jika terjadi kebocoran balon cuff, untuk menghindari
terbentuknya aerosol, pasang tampon faring sembari memberikan oksigen
100% dan mempersiapkan reintubasi. Sebelum reintubasi, segera hentikan
mesin ventilator.
• Hindari diskoneksi. Pastikan semua koneksi sirkuit rapat dan erat untuk
menghindari terjadinya diskoneksi tidak disengaja.
• Ekstubasi tidak disengaja. Kondisi ini harus diatasi seperti biasa, tetapi
tatalaksana harus tetap menjaga ‘donning’ APD dengan lengkap dan
hati-hati sebelum mendatangi pasien, tanpa memperhatikan kegawatan
klinis yang terjadi.
• Trakeostomi. Tindakan ini berisiko tinggi terjadinya aerosol, dan hal ini
harus dipertimbangkan sebelum dilakukan trakeostomi. Sebaiknya
trakeostomi ditunda hingga dinyatakan penyakit COVID-19 pasien tidak
aktif lagi dan membaik.
J. Ekstubasi Endotrakeal
43
• Banyak ICU yang secara rutin menggunakan HFNO lebih dari 24 jam segera
setelah pasien di ekstubasi. Pada pasien COVID-19, hal ini tidak bisa
dilakukan. Konsekuensinya ekstubasi endotrakeal ditunda, kecuali jika
kebutuhan ventilator dan kamar menjadi pertimbangan.
b. Persiapkan dan cek semua alat yang diperlukan untuk masker atau
aliran rendah oksigen nasal kanul (<5 LPM) sebelum dilakukan
ekstubasi.
• Jika ada petugas yang trampil melakukan tindakan intubasi, segera lakukan
intubasi dan kembangkan balon cuff.
• Tekanan tinggi penutup pada SGA lebih dipilih daripada SGA dengan
penutup bertekanan rendah. Ini biasanya merupakan SGA generasi kedua,
jika tersedia.
• Saat ini pasien dapat asimtomatik tapi menderita COVID-19 dan infeksius,
meski pasien simptomatik lebih berisiko untuk menularkan penyakit. Pada
situasi epidemik, harusnya dianggap semua pasien bersifat infeksius dan
sangat penting melakukan tindakan jalan napas dimana semua pasien
dianggap berisiko tinggi.
• Pilihan obat akan berbeda dengan pasien sakit kritis, dan jika pasien dalam
kondisi sehat, ketamin bukan pilihan untuk induksi.
• APD sangat efektif dan harus digunakan. Gunakan APD lengkap setiap saat.
Gunakan sarung tangan ganda. Google anti kabut atau pelindung mata jika
memungkinkan. Sentuh sedikit mungkin untuk menghindari kontaminasi
permukaan.
§ Untuk rescue airway gunakan SGA generasi kedua, hal ini juga
akan memperbaiki penutup dan mengurangi kebocoran.
• Pasang filter HME antara ujung kateter dan sirkuit sepanjang waktu. Jaga
agar tetap kering untuk mencegah terjadinya sumbatan.
• Jika pasien belum terkonfirmasi positif, ambil cairan dari dalam trakea
menggunakan suction tertutup untuk pemeriksaan virologi.
M. Penutup
RESUSITASI KARDIO PULMONER (RKP) PADA PASIEN
DENGAN PENYAKIT CURIGA INFEKSI COVID-19 ATAU
KASUS TERKONFIRMASI COVID-19
3. Tidak melakukan tindakan look, listen dan feel sebagai upaya dalam menilai
jalan nafas dan pernafasan pasien.
65
11. Tindakan intervensi jalan nafas (insersi supraglottic airway atau intubasi
endotrakeal) yang dilengkapi dengan filter HME, tanpa disertai kompresi
dada.
13. Melakukan defibrilasi pada irama jantung yang shockable sebelum memulai
kompresi dada.
15. RKP tidak disarankan pada pasien dengan kecurigaan COVID-19 atau kasus
terkonfirmasi COVID-19 dengan hipoksemia berat yang refrakter (Saturasi
oksigen <80% pada fraksi oksigen 100% dan PEEP >15).
66
TRANSPORTASI PASIEN COVID-19 INTRAHOSPITAL DAN
INTERHOSPITAL
67
Tabel 12. Transport pasien untuk COVID-19.46
68
atau tekanan positif non invasif • Menggunakan filter
selama transport HEPA untuk ETT bila
bagging diperlukan
• Menggunakan filter HEPA
menggunakan bag-valve
untuk ETT bila bagging
mask
diperlukan menggunakan
bag-valve mask • Menggunakan filter
HEPA untuk expiratory
• Menggunakan filter HEPA
limbs dari sirkuit
untuk expiratory limbs dari
pernafasan pada
sirkuit pernafasan pada
ventilator
ventilator
• Minimalisasi diskoneksi
• Hindari diskoneksi tidak
ETT
penting pada sirkuit pernafasan
selama transport • Buka jendela ambulans
bila memungkinkan
• Lakukan scanning pada jam
akhir pelayanan agar
setelahnya ruang radiologi
dapat dibersihkan
69
• Bagging dengan lembut menggunakan BVM untuk mengurangi
aerosolisasi pada kondisi hipoksemia. BVM sebaiknya dilapisi
filter HEPA
• Membersihkan ambulan
setelah pulang dari
rumah sakit rujukan
Keterangan: APD = alat pelindung diri; BVM = bag-valve mask; ECMO = extracorporeal membrane
oxygenation; ETT = endotracheal tube; HEPA = high efficiency particulate air; ICU = intensive care
unit; PAPR = powered air-purifying respirator; USG = ultrasonography.
70
Langkah spesifik membutuhkan desain zona untuk transport, persediaan APD
yang cukup, pelatihan staf medis dan bantuan personel lain seperti petugas
keamanan dan petugas kebersihan. PAPRs yang ditambahkan diatas penggunaan
N95 harus digunakan untuk kasus dengan risiko tinggi seperti kondisi yang
membutuhkan transportasi ambulan untuk ke pusat ECMO.46 Pastikan bahwa
petugas kesehatan yang membawa/mengangkut pasien harus memakai APD yang
sesuai dengan antisipasi potensi pajanan dan membersihkan tangan sesudah
melakukannya. Sebelum transfer pasien pastikan untuk memberi tahu daerah/unit
penerima agar dapat menyiapkan kewaspadaan pengendalian infeksi sebelum
kedatangan pasien. Bersihkan dan disinfeksi permukaan peralatan (misalnya
tempat tidur) yang bersentuhan dengan pasien setelah digunakan. Semua orang
yang masuk kamar pasien (termasuk pengunjung) harus dicatat (untuk tujuan
penelusuran kontak).47,48 Untuk mencegah aspirasi selama transport pasien
sebaiknya sebelum transportasi, hentikan nasal feeding, aspirasi residu gaster dan
hubungan tube gaster ke pembungkus bertekanan negatif. Selama transportasi
lakukan elevasi kepala 30o pada pasien.49
71
3. Pengemudi ambulans harus terpisah dari kasus (jaga jarak minimal satu
meter). Tidak diperlukan APD jika jarak dapat dipertahankan. Bila
pengemudi juga harus membantu memindahkan pasien ke ambulans, maka
pengemudi harus menggunakan APD yang sesuai.
72
73
Gambar 15. Ambulans yang terpisah dengan pengemudi dan penderita dengan barrier
plastik.
Gambar 16. Ambulans yang terpisah dengan pengemudi dan penderita dengan barrier
plastik.
74
REKOMENDASI PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI
(APD)
1. Gown coverall
Bahan gaun yang digunakan kembali (reusable) terbuat dari poliester atau
kain katun-poliester. Gaun yang terbuat dari kain ini dapat dicuci dengan aman
sesuai prosedur rutin dan digunakan kembali. Harus dipastikan untuk tidak
menyentuh permukaan luar gaun selama perawatan.
2. Masker
75
a. Masker Bedah 3 Ply (Surgical Mask 3 Ply)
Masker bedah memiliki 3 lapisan (layers) yaitu lapisan luar kain tanpa
anyaman kedap air, lapisan dalam yang merupakan lapisan filter densitas tinggi
dan lapisan dalam yang menempel langsung dengan kulit yang berfungsi sebagai
penyerap cairan berukuran besar yang keluar dari pemakai ketika batuk maupun
bersin.
b. Masker N95
Pelindung mata (eye protector) adalah salah satu jenis alat perlindungan diri
(APD) yang diperlukan untuk melindungi mata dari paparan bahan kimia
76
berbahaya, percikan darah dan cairan tubuh, uap panas, sinar ultraviolet (UV)
maupun pecahan kaca. Terdapat beberapa jenis pelindung mata yaitu Google, Face
shield, kacamata pelindung (safety glass), dan respirator seluruh muka (Full-face
respirators). Standar untuk pelindung mata harus minimal sesuai dengan arahan
standar UE 86/686/ EEC, EN 166/2002 atau ANSI / ISEA z87.1-2020.
4. Headcap
Tujuan dari penutup kepala adalah untuk melindungi kulit kepala dan leher
serta rambut dari kontaminasi virus dan kemungkinan penularan tidak dikenal
berikutnya ke mukosa mata, hidung atau mulut. Rambut dan ekstensi rambut
harus pas di dalam penutup kepala.
a. Sekali pakai
b. Tahan cairan
c. Dapat disesuaikan dan tidak mudah bergerak setelah disesuaikan
d. Terdapat bagian terbuka (bagian wajah) yang tidak elastis. Selain
menutupi wajah, panjang bagian ini adalah mencapai bagian atas gaun.
77
5. Boot
Spesifikasi teknis:
78
Adapun rekomendasi mengenai standar penggunaan APD berdasarkan lokasi
dan prosedur tindakan antara lain sebagai berikut:
1. Tingkat 1
Lokasi/Cakupan:
2. Tingkat 2
Lokasi/Cakupan:
79
b. Kegiatan yang tidak menimbulkan aerosol
a. Pelindung mata
b. Penutup kepala
c. Masker bedah 3 ply
d. Gown
e. Sarung tangan karet sekali pakai
3. Tingkat 3
Lokasi/Cakupan:
a. Ruang prosedur dan tindakan operasi pada pasien dengan kecurigaan atau
sudah terkonfirmasi COVID-19
b. Kegiatan yang menimbulkan aerosol
80
a. Pelindung mata dan face shield
b. Penutup kepala/headcap
c. Gown all-cover dan apron
d. Masker N95 atau ekuivalen
e. Sarung tangan bedah karet steril sekali pakai
f. Boots
81
Gambar 25. Prosedur pemasangan APD. 51
Gambar 26. Prosedur pelepasan APD. 51
82
83
84
DAFTAR PUSTAKA
1. Wang C, Horby PW, Hayden FG, Gao GF. A novel coronavirus outbreak of
global health concern. Lancet. 2020;395:470–3.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. COVID-19. 2020 [cited 2020
Apr 5].
3. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus from
Patients with Pneumonia in China, 2019. N Engl J Med. 2020;2019–20.
4. WHO. Coronavirus disease (COVID-19) Situation Dashboard Geneva: World
Health Organization. 2020 [cited 2020 Apr 5].
5. Sun Q, Qiu H, Huang M, Yang Y. Lower mortality of COVID-19 by early
recognition and intervention: experience from Jiangsu Province. Ann
Intensive Care. Springer International Publishing; 2020;10(1):2–5.
6. Li D, Wang D, Dong J, Wang N, Huang H, Xu H, et al. False-negative results of
real-time reverse-transcriptase polymerase chain reaction for severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2: Role of deep-learning-based ct
diagnosis and insights from two cases. Korean J Radiol. 2020;21(4):505–8.
7. Li Z, Yi Y, Luo X, Xiong N, Liu Y, Li S, et al. Development and Clinical
Application of A Rapid IgM-IgG Combined Antibody Test for SARS-CoV-2
Infection Diagnosis. J Med Virol. 2020;1–16.
8. Aylward, Bruce; Liang W. Report of the WHO-China Joint Mission on
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). WHO-China Jt Mission Coronavirus
Dis 2019. 2020;16–24.
9. Emery SL, Erdman DD, Bowen MD, Newton BR, Winchell JM, Meyer RF, et al.
Real-Time Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction Assay for
SARS-associated Coronavirus. Emerg Infect Dis. 2004;10(2):311–6.
10. Kooraki S, Hosseiny M, Myers L, Gholamrezanezhad A. Coronavirus
(COVID-19) Outbreak: What the Department of Radiology Should Know. J Am
Coll Radiol. Elsevier Inc; 2020;17(4):447–51.
11. NHC. Diagnosis and Treatment Protocol for Novel Coronavirus Pneumonia.
Natl Heal Comm State Adm Tradit Chinese Med. 2020;1–17.
12. Lauer SA, Grantz KH, Bi Q, Jones FK, Zheng Q, Meredith HR, et al. The
Incubation Period of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) From Publicly
Reported Confirmed Cases: Estimation and Application. Ann Intern Med.
2020;1–7.
13. Song C-Y, Xu J, He J-Q, Lu Y-Q. COVID-19 early warning score: a
multi-parameter screening tool to identify highly suspected patients.
medRxiv. 2020;1–22.
85
14. Upchurch CP, Grijalva CG, Wunderink RG, Williams DJ, Waterer GW, Anderson
EJ, et al. Community-Acquired Pneumonia Visualized on CT Scans but Not
Chest Radiographs. Chest. 2018;153(3):601–10.
15. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons from the
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a
Report of 72314 Cases from the Chinese Center for Disease Control and
Prevention. JAMA - J Am Med Assoc. 2020;E1–4.
16. Mathukia C, Fan W, Vadyak K, Biege C, Krishnamurthy M. Modified Early
Warning System improves patient safety and clinical outcomes in an
academic community hospital. J Community Hosp Intern Med Perspect.
2015;5(2):1–6.
17. Guan W, Ni Z, Hu Y, Liang W, Ou C, He J, et al. Clinical Characteristics of
Coronavirus Disease 2019 in China. N Engl J Med. 2020;1–13.
18. WHO. Landscape analysis of COVID therapeutics as 21 March 2020. Geneva:
World Health Organization. 2020 [cited 2020 Apr 5].
19. Ding L, Wang L, Ma W, He H. Efficacy and safety of early prone positioning
combined with HFNC or NIV in moderate to severe ARDS: A multi-center
prospective cohort study. Crit Care. Critical Care; 2020;24(1):1–8.
20. WHO, Organization WH. Clinical management of severe acute respiratory
infection when novel coronavirus (2019-nCoV) infection is suspected.
Geneva: World Health Organization; 2020.
21. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M,
et al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3). Jama. 2016;315(8).
22. Alhazzani W, Moller MH, Arabi YM, Loeb M, Gong MN, Fan E, et al. Surviving
Sepsis Campaign: Guidelines on the Management of Critically Ill Adults with
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Crit Care Med. 2020/04/01. 2020;
23. Nair AS, Naik VM, Rayani BK. FAST HUGS BID: Modified Mnemonic for
Surgical Patient. Indian J Crit Care Med. 2017/11/17. 2017;21(10):713–4.
24. Silversides JA, Major E, Ferguson AJ, Mann EE, McAuley DF, Marshall JC, et al.
Conservative fluid management or deresuscitation for patients with sepsis or
acute respiratory distress syndrome following the resuscitation phase of
critical illness: a systematic review and meta-analysis. Intensive Care Med.
2016;43(2):155–70.
25. Jung YT, Park JY, Jeon J, Kim MJ, Lee SH, Lee JG. Association of Inadequate
Caloric Supplementation with 30-Day Mortality in Critically Ill Postoperative
Patients with High Modified NUTRIC Score. Nutrients. 2018/11/02.
2018;10(11).
26. Amin P. Nutrition support. In: Chawla R, Todi S, editors. ICU protocol. India:
Springer; 2012. p. 341–7.
86
27. Howard P. Basics in clinical nutrition: Enteral nutrition. E Spen Eur E J Clin
Nutr Metab. 2009;4(5):e223–5.
28. Taylor B, Brody R, Denmark R, Southard R, Byham-Gray L. Improving Enteral
Delivery Through the Adoption of the “Feed Early Enteral Diet Adequately for
Maximum Effect (FEED ME)” Protocol in a Surgical Trauma ICU. Nutr Clin
Pract. 2014;29(5):639–48.
29. Nies RJ, Mü ller C, Pfister R, Binder PS, Nosseir N, Nettersheim FS, et al.
Monitoring of sedation depth in intensive care unit by therapeutic drug
monitoring? A prospective observation study of medical intensive care
patients. J Intensive Care. 2018;6(1).
30. Devabhakthuni S, Armahizer MJ, Dasta JF, Kane-Gill SL. Analgosedation: A
Paradigm Shift in Intensive Care Unit Sedation Practice. Ann Pharmacother.
2012;46(4):530–40.
31. Stephens RJ, Ablordeppey E, Drewry AM, Palmer C, Wessman BT, Mohr NM,
et al. Analgosedation Practices and the Impact of Sedation Depth on Clinical
Outcomes Among Patients Requiring Mechanical Ventilation in the ED. Chest.
2017;152(5):963–71.
32. Russell B, Moss C, Rigg A, Van Hemelrijck M. COVID-19 and treatment with
NSAIDs and corticosteroids: should we be limiting their use in the clinical
setting? Ecancermedicalscience. 2020;14.
33. Sills J, FitzGerald GA. Misguided drug advice for COVID-19. Science (80- ).
2020;367(6485):1434.1-1434.
34. Han JH, Vasilevskis EE, Schnelle JF, Shintani A, Dittus RS, Wilson A, et al. The
Diagnostic Performance of the Richmond Agitation Sedation Scale for
Detecting Delirium in Older Emergency Department Patients. Acad Emerg
Med. 2015;22(7):878–82.
35. Chiumello D, Cozzi OF, Mistraletti G. Sedation in ARDS: An Evidence-Based
Challenge. In: Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine
2017. 2017. p. 263–76.
36. Shah FA, Girard TD, Yende S. Limiting sedation for patients with acute
respiratory distress syndrome – time to wake up. Curr Opin Crit Care.
2017;23(1):45–51.
37. Hopkins RO, Suchyta MR, Snow GL, Jephson A, Weaver LK, Orme JF. Blood
glucose dysregulation and cognitive outcome in ARDS survivors. Brain Inj.
2010;24(12):1478–84.
38. NIH-NHLBI. ARDSnet Mechanical Ventilation Protocol Summary.
Massachusetts: National Institutes of Health - National Heart, Lung, and
Blood Institute - ARDS network;
39. Warren D, Kent B. Determining the impact of a bowel management protocol
on patients and clinicians’ compliance in cardiac intensive care: A mixed-
87
methods approach. J Clin Nurs. 2018;28(1–2):89–103.
40. Govindan S, Hyzy RC. The 2016 guidelines for hospital-acquired and
ventilator-associated pneumonia: A selection correction? Am J Respir Crit
Care Med. 2016;194(6):658–60.
41. Meng L, Qiu H, Wan L, Ai Y, Xue Z, Guo Q, et al. Intubation and Ventilation
amid the COVID-19 Outbreak: Wuhan’s Experience. Anesthesiology. 2020;1–
17.
42. Brewster DJ, Chrimes NC, Do TBT, Fraser K, Chris J, Newman FG, et al.
Consensus statement: Safe Airway Society principles of airway management
and tracheal intubation specific to the COVID-19 adult patient group. Med J
Aust. 2020;1–36.
43. Cook TM, El-Boghdadly K, McGuire B, McNarry AF, Patel A, Higgs A.
Consensus guidelines for managing the airway in patients with COVID-19.
Anaesthesia. 2020;1–15.
44. Australian Society of Anaesthetists. Anaesthesia and caring for patients
during the COVID-19 outbreak. Aust Soc Anaesth. 2020;1–8.
45. Resuscitation Council UK. Resuscitation Council UK Statement on COVID-19
in relation to CPR and resuscitation in acute hospital settings. 2020;
46. Liew MF, Siow WT, Yau YW, See KC. Safe patient transport for COVID-19. BMC.
Critical Care; 2020;24(94):1–3.
47. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pencegahan dan pengendalian
coronavirus disease (COVID-19) revisi ke-4 1. 2020.
48. WHO. Hospital Readiness Checklist for COVID-19. WHO Europe. 2020;
49. LIANG T. Handbook of COVID-19 Prevention and Treatment. FAHZU. 2020;
50. Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Maret 2020. Rekomendasi Standar
Penggunaan APD untuk Penanganan COVID-10 di Indonesia. :1–27.
51. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD)
dalam Menghadapi Wabah COVID-19. Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan; 2020.
88