Anda di halaman 1dari 88

Versi 1,

April 2020
Penyunting:
Prof. Dr. dr. Syafri K. Arif Sp.An KIC, KAKV

dr. Faisal Muchtar Sp.An KIC

Penyusun:
Prof. Dr. dr. Syafri K. Arif Sp.An KIC, KAKV

dr. Faisal Muchtar Sp.An KIC

dr. Navy Lolong Wulung Sp.An KIC

Dr. dr. Hisbullah Sp.An KIC, KAKV

dr. Pratista Herdarjana Sp.An KIC

dr. Haizah Nurdin Sp.An KIC

Kontributor:
Dr. dr. Takdir Musba Sp.An KMN

Dr. dr. Andi Ade Wijaya Sp. An KAP

Dr. dr. Kenanga Marwan Sp.An KNA

dr. Mayang Indah Lestari Sp.An KIC

dr. Ristiawan Muji Laksono Sp.An KMN, FIPP

dr. Ari Santri Sp.An

dr. Moerdekhai Leopold Laihad Sp.An KIC

dr. Andy Setiawan Sp.An

dr. Andi Adil, M.Kes., Sp.An

dr. Rusmin Sp.An


KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah
sehingga dalam masa pandemi virus corona ini Pengurus Perhimpunan Dokter
Anestesi dan Terapi Intensif (PERDATIN) dapat menyelesaikan buku pedoman
penanganan pasien kritis COVID-19. Ucapan terima kasih kepada para penyusun
yang menyumbangkan waktu dan pikirannya dalam penyelesaian buku ini.

COVID-19 adalah Corona virus disease 2019, yang ditemukan pertama kali di
Wuhan, China pada tanggal 17 November 2019, kemudian menyebar ke berbagai
negara di dunia. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai
pandemi. Kondisi ini jelas tidak boleh diremehkan karena hanya beberapa penyakit
saja yang digolongkan sebagai pandemi di sepanjang sejarah. Di indonesia,
COVID-19 pertama kali ditemukan pada tanggal 2 Maret 2020, dan sejak saat itu
virus corona ini menyebar ke berbagai provinsi di indonesia. Pada tanggal 5 April,
data dari BNPB menjelaskan jumlah pasien yang terinfeksi 2.273 orang, meninggal
198 orang, dan sembuh 164 orang.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hingga hari ini belum ada ditemukan
obat yang ideal yang dapat membunuh virus korona ini, sehingga diharapkan
sistem imun tubuh yang akan membunuh. Telah dipahami bahwa infeksi virus
corona adalah self-limiting disease, dimana sekitar 80 % pasien yang terinfeksi
tanpa disertai gejala, 20% dengan gejala, dan 5% yang bergejala akan menjadi
kritis. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi untuk melakukan penanganan
pada pasien yang optimal. Berdasarkan pengalaman penanganan infeksi virus
corona di China, penerapan strategi deteksi dini pasien kritis dan intervensi dini
pasien kritis mampu menurunkan tingkat mortalitas secara efektif (3,8%).
Berbagai strategi untuk penatalaksanaan pasien kritis di Intensive Care Unit (ICU)
juga akan menentukan luaran pasien.

Oleh karena itu, kami Perhimpunan Dokter Anestesi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Indonesia membuat panduan penanganan pasien kritis COVID-19
yang dapat dipakai oleh teman-teman dokter anestesi di rumah sakit tempat
bertugas. Kami menyadari bahwa buku pedoman ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan di dalamnya, kritik dan saran
diperlukan untuk penyempurnaan berikutnya.

Makassar, 6 April 2020

Ketua PP PERDATIN 2019-2022

Prof. Dr. dr. Syafri K. Arif Sp.An KIC, KAKV


DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 6

DETEKSI DINI PASIEN KRITIS COVID-19 ........................................................................ 8

INTERVENSI DINI PASIEN KRITIS COVID-19 ............................................................... 12

TATALAKSANA COVID-19 DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU) ...................................... 16

TATALAKSANA JALAN NAPAS PADA PASIEN COVID-19 ............................................ 38

RESUSITASI KARDIO PULMONER (RKP) PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT


CURIGA INFEKSI COVID-19 ATAU KASUS TERKONFIRMASI COVID-19 ............... 65

TRANSPORTASI PASIEN COVID-19 INTRAHOSPITAL DAN INTERHOSPITAL ....... 67

REKOMENDASI PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) .............................. 75

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 85


PENDAHULUAN

Pada tanggal 8 Desember 2019, muncul suatu jenis pneumonia baru yang
kemudian menyebar ke seluruh dunia.1 Pneumonia ini kemudian dikenal sebagai
corona virus disease 2019 (COVID-19) yang masuk ke Indonesia dan diumumkan
secara resmi oleh Presiden RI pada tanggal 2 Maret 2020.2 Kemudian diketahui
bahwa COVID-19 ini disebabkan oleh virus baru dari golongan virus corona
(2019-nCoV). Corona virus adalah kelompok virus yang dapat menyebabkan
penyakit dari gejala ringan sampai berat hingga kematian. Diketahui dua jenis
corona virus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang berat yaitu Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
COVID-19 seringkali berkembang menjadi sebuah pneumonia berat dan
menempatkan penderita pada keadaan kritis.3

Pasien kritis didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana pasien berada


dalam kondisi kesehatan yang rentan ataupun berpotensial yang mengancam jiwa.
Perawatan kritis (Critical Care) adalah perawatan khusus pada pasien yang berada
dalam kondisi mengancam nyawa yang membutuhkan perawatan yang
komprehensif, monitoring yang ketat, biasanya berada di ruang intensif. Semakin
kritis sakit pasien, semakin besar kemungkinan untuk menjadi sangat rentan, tidak
stabil dan menjadi penyakit yang kompleks, membutuhkan terapi yang intensif dan
asuhan keperawatan yang teliti. Angka kematian beragam di seluruh dunia. Data
dari World Health Organization (WHO) menunjukkan tingkat mortalitas yang
bervariasi, mulai dari 0.5% di Israel hingga >12% di Italia. Data di China
menunjukkan bahwa 10-15% pasien berada dalam kondisi kritis, dan 3,83%
meninggal.4 Per tanggal 5 April 2020, terdapat 2092 kasus COVID-19 yang
terkonfirmasi di Indonesia dengan tingkat mortalitas mencapai 9.1%.2

Ciri khas pasien kritis adalah bahwa beratnya suatu penyakit sangat
berhubungan dengan prognosis. Oleh karena itu, strategi yang mendasar untuk
memperbaiki luaran harus diarahkan untuk mendeteksi secara dini pasien yang
risiko tinggi dan pasien yang kritis. Sampai saat ini, masih belum ada obat yang
ditemukan untuk membunuh virus corona, namun dipahami bahwa penyakit ini
dapat sembuh sendiri (self-limiting disease) pada pasien dengan dengan sistem
imun yang baik. Perburukan dari paru disebabkan oleh disfungsi sistem imum
(cytokine storm) sehingga menyebabkan acute respiratory distress syndrome
(ARDS). ARDS menyebabkan oksigen tidak optimal masuk ke dalam tubuh yang
selanjutnya menyebabkan hipoksemia dan memicu terjadinya disfungsi berbagai
organ, bersama dengan mekanisme sitokin yang merusak organ.

Hal ini menunjukkan besarnya permasalahan yang dihadapi di Indonesia


sehingga diperlukan deteksi dini untuk memutus rantai penularan dan intervensi
dini untuk menurunkan angka mortalitas.5 Berdasarkan pengalaman China dalam
menangani wabah COVID-19, penyebaran virus berhasil dikontrol dan pasien yang
terinfeksi diobati dengan menggunakan pengobatan yang standar, yang
menunjukkan hasil yang signifikan dalam menurunkan angka mortalitas pasien
pneumonia COVID-19. Strategi yang digunakan adalah dengan menerapkan deteksi
dini pasien kritis dan protokol intervensi dini pasien kritis. Oleh karena itu, kami
merekomendasikan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini pada semua rumah
sakit se-Indonesia.


DETEKSI DINI PASIEN KRITIS COVID-19

Deteksi dini dalam penanganan COVID-19 dapat dibagi menjadi 2, yaitu


mendeteksi adanya pasien yang terinfeksi 2019-nCoV dan deteksi dini pasien yang
memerlukan tatalaksana intensif.

1. Deteksi dini untuk infeksi 2019-nCoV

Diagnosis COVID-19 selama ini dilakukan dengan menggunakan real-time


reverse-transcriptase polymerase chain reaction (rRT-PCR).6,7 Menurut laporan dari
komite bersama WHO China, idealnya deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan
rRT-PCR pada seluruh penderita penyakit seperti influenza dan seluruh penderita
infeksi pernafasan akut yang berat.8 Namun, metode ini tidak tersedia secara luas,
mengingat pelaksanaan prosedur rRT-PCR dalam mendiagnosa COVID-19 mungkin
memerlukan pengamanan laboratorium dengan spesifikasi bio safety level III (BSL
3).9 Kemudian klinisi mulai mencoba mengevaluasi kondisi klinis untuk memandu
diagnosis dengan menggunakan hasil Computed Tomography (CT) scan thoraks.
Setelah berhasil ditemukan, penggunaan rapid test telah menjadi primadona dan
dilakukan secara luas. Penggunaan alat rapid test yang berkualitas dan secara tepat
dapat memberikan sensitivitas sebesar 88.66% dan spesifisitas mencapai 90%.7

Gambaran CT scan dalam diagnosa COVID-19 menunjukkan gambaran kaca


hancur (ground glass opacity) bilateral. Gambaran ini tidak spesifik dan merupakan
gambaran pneumonia pada umumnya.10 Ini merupakan tantangan mengingat
kualitas gambaran modalitas radiologis pada berbagai daerah di Indonesia pun
beragam.

Penggunaan rapid test pun bukan tanpa masalah. Rapid test yang digunakan
terdapat 2 jenis, rapid test yang mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan
immonoglobulin G (IgG). IgM 2019-nCoV dapat terdeteksi sejak hari ke 3-5 sejak
awitan gejala. Sedangkan untuk IgG baru akan mengalami peningkatan pesat
beberapa hari setelahnya dan mencapai peningkatan 4 kali lipat pada masa
pemulihan.11 Sekitar 50% pasien mulai menunjukkan gejala dalam waktu 5 hari
sejak infeksi dan 97% pasien menunjukkan gejala dalam waktu 11.5 hari sejak
infeksi.12 Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan rapid test yang tepat dilakukan
dalam 3-5 hari sejak pasien menunjukkan gejala atau minimal 8 hari sejak pasien
mengalami kontak dengan sumber infeksi COVID-19. Penggunaan alat rapid test
secara besar-besaran dapat sangat membantu, tetapi ini akan membutuhkan
pemeriksaan ulang. Hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar.

Metode lain yang diperkenalkan untuk deteksi dini adalah penggunaan early
warning score (EWS) yang dikembangkan di Universitas Zhejiang. EWS ini
menggunakan beberapa parameter yang cukup sering ditemukan pada penderita
COVID-19, yaitu adanya tanda pneumonia pada CT Scan, adanya riwayat kontak
dengan pasien positif COVID-19, adanya demam, suhu maksimum >37.8oC sejak
gejala dimulai, jenis kelamin laki-laki, usia >40 tahun, adanya beberapa gejala
gangguan pernafasan dan rasio neutrofil-limfosit (Tabel 1).13

Berdasarkan pedoman Komisi Kesehatan Nasional China, riwayat kontak


disebut positif jika seseorang dalam 14 hari terakhir memiliki riwayat bepergian
ke Wuhan, riwayat bertemu dengan orang yang sakit setelah berkunjung ke
Wuhan, riwayat kontak dengan pasien COVID-19 positif dan riwayat bepergian ke
daerah dengan kasus COVID-19 yang terkonfirmasi.11

Penggunaan COVID-19 EWS memiliki training dataset 0,956 dan validate


dataset 0,966.13 COVID-19 EWS ini dapat sangat membantu karena umumnya
dapat digunakan dimana saja. Parameter pertama (pemeriksaan CT scan) memang
tidak tersedia di seluruh wilayah Indonesia, tetapi hal ini dapat disiasati dengan
menggunakan foto rontgen thorax yang lebih umum tersedia. Pada 87% pasien
dengan pneumonia, terdapat gambaran pneumonia pada foto rontgen thorax dan
CT scan thorax. Hanya 4% pasien dengan gambaran foto rontgen thorax
pneumonia dan tidak terdapat gambaran pneumonia pada CT scan.14 Belum
diketahui seberapa jauh hal ini mempengaruhi sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan, tetapi ini dapat menjadi solusi yang menjanjikan.


Tabel 1. Early warning score COVID-19 (COVID-19 EWS).13

Parameter Penilaian Nilai


Pneumonia pada CT Scan Ada 5
Riwayat kontak dengan Ada 5
pasien positif COVID-19
Demam Ada 3
Suhu maksimum ≥37.8oC sejak gejala 1
dimulai
Usia ≥44 tahun 1
Jenis Kelamin Laki-Laki 1
Gejala gangguan pernafasan ≥1 gejala 1
(Batuk, dahak, sesak, dll)
Rasio neutrofil-limfosit ≥5.8 1
Kecurigaan tinggi jika nilai >10

Permasalahan lain dari sistem ini adalah bahwa COVID-19 EWS belum
dikonfirmasi untuk penggunaannya pada populasi di Indonesia. Namun, mengingat
adanya kesamaan ras sebagai ras mongoloid, maka COVID-19 EWS berpotensi
besar memberikan manfaat yang serupa.

Pasien-pasien yang memiliki nilai COVID-19 EWS >10 merupakan indikasi


untuk dilakukannya pemeriksaan rRT-PCR guna konfirmasi diagnosis.13

Kesimpulannya, mengingat keterbatasan fasilitas rRT-PCR untuk melakukan


deteksi dini di Indonesia, dapat digunakan COVID-19 EWS sebagai indikasi untuk
melakukan isolasi pasien, penelusuran kontak dan prioritas pemeriksaan rRT-PCR.

2. Deteksi dini pasien yang memerlukan penanganan intensif

Dari seluruh penderita COVID-19, 80% akan menunjukkan gejala ringan dan
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, 14% memerlukan perawatan di
ruang rawat biasa dan 5% memerlukan perawatan ICU.15 Hal ini berarti hampir
25% pasien yang dirawat di rumah sakit dapat menjadi pasien kritis, apalagi jika
penanganan di ruang rawat biasa tidak optimal. Dalam kondisi terdapat
keterbatasan fasilitas ICU, deteksi dini juga menjadi sangat diperlukan untuk
mengoptimalkan perawatan dengan harapan dapat menurunkan durasi rawat
intensif dan mencakup lebih banyak penderita.16

Pada penderita COVID-19, dilakukan pengawasan laju napas, laju nadi, saturasi
oksigen pada udara bebas sebanyak 2 kali sehari. Pada pasien dengan risiko tinggi,
pengawasan dilakukan secara terus menerus. Pasien yang memiliki risiko tinggi
adalah pasien sebagai berikut:5,17

1. Usia tua (>65 tahun)


2. Limfopenia atau trend penurunan
3. Pasien yang memerlukan terapi oksigen
4. Pasien dengan infiltrat paru yang luas memerlukan pengawasan
berkelanjutan

Selama pengawasan di rumah sakit, perburukan gejala harus segera di


identifikasi. Hal ini diteliti lebih lanjut oleh Sun dkk, yang menemukan bahwa bila
terdapat satu dari tanda berikut, pasien perlu segera dipindahkan ke ruang rawat
intensif dan penanganannya diambil alih oleh dokter terapi intensif. Adapun tanda
yang dimaksud adalah sebagai berikut:5

1. SpO2 <93% dengan udara bebas


2. RR >30 kali/menit
3. HR >120 kali/menit
4. Tanda kegagalan organ

Penggunaan keempat parameter perburukan ini memiliki tingkat sensitivitas


95.5% dan spesifisitas 89.9%.5
INTERVENSI DINI PASIEN KRITIS COVID-19

Kelanjutan dari deteksi dini dalam penanganan COVID-19 adalah bagaimana


melakukan intervensi secara dini agar pasien memiliki kesempatan yang baik
untuk sembuh. Terdapat berbagai macam pilihan terapi untuk menangani
COVID-19.5,11,18 Namun, belum terdapat suatu kesimpulan baku emas untuk
penanganan COVID-19. Oleh karena itu, penanganan COVID-19 berpusat pada
upaya pencegahan perburukan penyakit. Penanganan ini perlu segera dilakukan
untuk mengoptimalkan luaran pasien. Terdapat 3 langkah yang penting dalam
pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut (Gambar 1):5

1. Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau non-invasive mechanical


ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih
disarankan dibandingkan NIV.

2. Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru.

3. Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).

Gambar 1. Alur penanganan dini pasien kritis.5


Prinsip terapi oksigen:

• NRM

o 15 liter per menit.

• HFNC

o Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus menggunakan respirator


(PAPR, N95).

o Batasi flow agar tidak melebihi 30 liter/menit.

o Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi.


Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi
aman (indeks ROX >4.88 pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan
bahwa pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX
<3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi).

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas

• NIV

o Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus menggunakan respirator


(PAPR, N95).

o Lakukan pemberian NIV selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi.


Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi
aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak ada gejala kegagalan
pernapasan atau peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan ventilasi
dan lakukan penilaian ulang 2 jam kemudian.

o Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk dilakukan ventilasi invasif.

o Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.

o Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali sehari


dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan
intubasi pada ARDS ringan hingga sedang. Hindari penggunaan
strategi ini pada ARDS berat.19
Untuk mengurangi risiko akibat terbentuknya aerosol, maka alat ventilasi dan
metode yang digunakan sebaiknya yang paling sedikit menimbulkan aerosol. NIV
dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ventilasi mekanik invasif, sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di
ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan dengan tekanan normal, namun
pasien terisolasi dari pasien yang lain) dengan standar APD yang lengkap. Untuk
mengurangi aeorosol pada penggunaan HFNC, pada pasien sebaiknya dipasang
masker surgical dan titrasi flow rate HFNC <30 liter/menit.

Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis maupun oksigenasi


setelah dilakukan terapi oksigen ataupun ventilasi mekanik noninvasif, maka harus
dilakukan penilaian lebih lanjut.

Penilaian klinis :

o Kesadaran gelisah atau menurun


o Pasien merasa tidak nyaman
o Upaya napas meningkat >30 kali/menit
o Peningkatan nadi >120 kali/menit
o Penggunaan otot-otot bantu pernapasan berlebihan

Penilaian oksigenasi :

o Jika menggunakan HFNC >30 liter/menit atau NIV dan FiO2 >60%
tidak dapat menjaga SpO2 >92% (95% dengan komorbid).

Bila ditemukan kriteria di atas, disarankan untuk melakukan intubasi dan


ventilasi mekanik secara dini. Pada rumah sakit yang tidak mempunyai alat terapi
oksigen HFNC dan NIV, disarankan untuk melakukan intubasi secara dini.

Algoritma 1. Penanganan pasien COVID-19 dengan gagal napas.
TATALAKSANA COVID-19 DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

A. Permasalahan Pasien COVID-19 di ICU

Penderita COVID-19 dapat muncul dengan berbagai gejala penyakit virus.


Tetapi umumnya pasien masuk ke ICU diakibatkan oleh ARDS dan/atau sepsis
yang diakibatkan oleh pneumonia. Pasien asimtomatis, dengan gejala ISPA dan
pasien dengan pneumonia ringan bukanlah ranah perawatan ICU.

1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)20


a. Onset: gejala pernapasan baru atau memburuk dalam waktu satu
minggu dari peristiwa klinis yang diketahui.

b. Chest imaging (Rontgen dada, CT scan, atau Ultrasonografi (USG) paru):


Opasitas bilateral, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai efusi,
lobar atau kolaps paru, atau nodul.

c. Asal edema: Gagal napas yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh
gagal jantung atau kelebihan cairan. Diperlukan penilaian objektif (misal
Ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab edema hidrostatik jika
tidak ada faktor risiko.

d. Oksigenasi (Dewasa):

i. ARDS ringan: Tekanan parsial oksigen (PaO2)/Fraksi inspirasi


oksigen (FiO2) ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau CPAP ≥5 cmH2O,
atau non-ventilated)

ii. ARDS sedang: PaO2/FiO2 >100 mmHg hingga ≤200 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O, atau non-ventilated)

iii. ARDS berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau
non-ventilated)

iv. Jika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 cenderung ARDS


(termasuk pasien yang non-ventilated)
2. Sepsis
Sepsis sendiri dapat tampil dalam 2 wujud, sepsis dan syok sepsis.
Keduanya didefinisikan sebagai berikut:

a. Sepsis
o Dewasa: disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan
oleh respon host yang tidak terkendali terhadap infeksi baik yang
dicurigai maupun yang terbukti, dan disertai disfungsi organ yang
dibuktikan dengan peningkatan skor Sepsis-related Organ Failure
Assessment (SOFA) ≥2 (Tabel 2). Skor SOFA awal diasumsikan
sebagai 0, jika tidak diketahui.20,21

Tabel 2. Skor Sepsis-related Organ Failure Assessment (SOFA).21

o Anak: Adanya infeksi/kecurigaan infeksi dan kriteria systemic


inflammatory response syndrome (SIRS) >2, dimana salah satunya
harus disregulasi suhu atau jumlah sel darah putih (Tabel 3).20


Tabel 3. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS).21

b. Syok Sepsis
o Dewasa: hipotensi yang menetap meskipun dengan resusitasi
volume, yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan MAP
≥65 mmHg dan tingkat laktat serum >2 mmol/L.

o Anak: hipotensi yang disebabkan apapun (SBP <5th centile atau >2
SD dibawah normal sesuai usia) atau 2-3 dari berikut: gangguan
status mental; takikardia atau bradikardia (HR <90 bpm atau >160
bpm pada bayi dan HR <70 bpm atau >150 bpm pada anak-anak);
capillary refill memanjang (>2 detik) atau vasodilasi hangat dengan
nadi yang kuat; takipnea; bercak-bercak di kulit atau petechiae atau
purpurea; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia or hipotermia.

B. Strategi Manajemen di ICU


Setelah melakukan deteksi dan intervensi dini. Penanganan pasien secara
menyeluruh perlu dievaluasi kembali untuk memberikan luaran pasien yang
optimal. Society of Critical Care Medicine mengeluarkan sekumpulan rekomendasi
yang perlu diperhatikan dalam penanganan pasien COVID-19 di ICU.
Rekomendasinya adalah sebagai berikut:22

1. Pengendalian Infeksi dan Pengujian

a. Petugas ICU menggunakan masker respirator (respirator N95,


FFP2, atau yang setara) disertai dengan alat pelindung diri (APD)
lain berupa sarung tangan, gaun kedap air dan pelindung mata.
b. Perawatan ICU dilakukan pada ruangan dengan tekanan negatif
(atau di ruangan dengan tekanan normal, ventilasi yang cukup, dan
pasien terisolasi dari pasien yang lain).

c. Intubasi pasien kritis dengan teknik rapid sequence intubation


(RSI), disarankan dengan menggunakan videolaryngoscope (bila
tersedia), dan dilakukan oleh personel yang paling mahir di dalam
tim.

d. Gunakan barrier atau box aerosol bila tersedia.

e. Pada pasien yang terintubasi, pengambilan sampel sebaiknya dari


aspirasi endotrakea untuk mendapatkan sampel dari saluran nafas
bawah.

f. Pengambilan sampel melalui bronkoskopi tidak direkomendasikan.

2. Hemodinamik

a. Pada pasien COVID-19 yang mengalami syok, lakukan pengawasan


parameter dinamis berupa suhu kulit, waktu pengisian kembali
kapiler darah, dan kadar laktat serum untuk menilai respons
terhadap cairan.

b. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, gunakan


strategi pemberian cairan konservatif dengan menggunakan
balanced kristaloid.

c. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, hindari


penggunaan koloid.

d. Pada fase akut pasien COVID-19 yang mengalami syok, hindari


penggunaan albumin secara rutin untuk resusitasi.

e. Pilihan vasopresor utama adalah norepinefrin, tetapi dapat diganti


dengan vasopressin atau epinefrin.
f. Hindari penggunaan dopamin jika norepinefrin tersedia.

g. Target mean arterial pressure (MAP) 60-65 mmHg.

h. Jika penggunaan norepinefrin tidak mencapai MAP target,


tambahkan vasopressin.

i. Pada pasien COVID-19 dengan disfungsi jantung dan hipotensi


persisten, tambahkan dobutamin.

j. Pada pasien COVID-19 dengan syok yang refrakter, gunakan


kortikosteroid dosis rendah, seperti hidrokortison 200 mg/hari.

3. Ventilasi

a. Berikan suplementasi oksigen jika SpO2 <92% dengan target SpO2


tidak lebih dari 96%.

b. Pada pasien COVID-19 dengan gagal nafas hipoksemia akut yang


tidak merespons terapi oksigen konvensional, gunakan HFNC.

c. Jika tidak terdapat HFNC dan tidak ada tanda-tanda kebutuhan


intubasi segera, dapat diberikan suplementasi oksigen dengan NIV
disertai dengan monitoring ketat. Tidak ada rekomendasi mengenai
jenis perangkat NIV yang lebih baik.

d. Segera lakukan intubasi dan ventilasi mekanik jika terjadi


perburukan selama penggunaan HFNC ataupun NIV.

e. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS, gunakan volume tidal (TV)


4-8 ml/kgBB dengan tekanan plateau (Pplat) < 30 cmH2O.

f. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS sedang sampai berat, gunakan


tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) tinggi dan posisikan pada
posisi tengkurap (prone) selama 12-16 jam per hari.

g. Hati-hati barotrauma pada penggunaan PEEP > 10 cmH2O.


h. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS, gunakan strategi pemberian
cairan konservatif.

i. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS sedang sampai berat, gunakan


pelumpuh otot bolus jika diperlukan. Tetapi jika terdapat asinkroni
ventilasi menetap, kebutuhan sedasi dalam, kebutuhan posisi
tengkurap, atau tekanan plateau tinggi yang menetap, gunakan
pelumpuh otot kontinu maksimal selama 48 jam.

j. Penggunaan N2O inhalasi tidak direkomendasikan.

k. Lakukan rekrutmen paru pada pasien COVID-19 dengan ARDS


berat dalam ventilasi mekanik, jika terjadi hipoksemia persisten.

l. Terdapat beberapa strategi rekrutmen paru, tetapi hindari


penggunaan strategi staircase.

m. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik,


jika terjadi hipoksemia persisten dapat coba diberikan inhalasi
vasodilator paru sebagai terapi bantuan (rescue). Tetapi jika tidak
terjadi perbaikan gejala, terapi ini perlu segera dihentikan

n. Pada pasien COVID-19 dengan ARDS berat dalam ventilasi mekanik


adalah indikasi terapi extracorporeal membrane oxygenation
(ECMO) jika terjadi hipoksemia refrakter setelah semua upaya
konvensional dilakukan.

4. Terapi

a. Pada pasien yang terventilasi mekanik dengan COVID-19 dan ARDS,


pedoman Surviving Sepsis Campaign (SSC) merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid sistemik pada kasus yang berat dengan
tingkat rekomendasi yang lemah.
b. Pada pasien dewasa yang terventilasi mekanik dengan COVID-19
dan gagal napas (tanpa ARDS), pedoman SSC tidak menyarankan
penggunaan kortikosteroid sistemik.

c. Dalam tatalaksana dukungan hemodinamik pada pasien dengan


COVID-19 dan syok refrakter, pedoman SSC merekomendasikan
untuk menggunakan terapi kortikosteroid dosis rendah
dibandingkan tidak ada terapi kortikosteroid.

d. Pada pasien COVID-19 dalam ventilasi mekanik, dapat


dipertimbangkan pemberian antibiotik empirik dengan monitoring
dan de-eskalasi ketat.

e. Gunakan parasetamol untuk kontrol suhu.

f. Hati-hati dalam penggunaan terapi intravenous immunoglobulins


(IVIG), convalescent plasma, dan lopinavir/ritonavir.

Rekomendasi ini cukup komprehensif tetapi kurang praktis. Untuk


kepentingan praktik klinis ICU, penanganan akan dirangkum dalam format
FASTHUGSBID. Metode FASTHUGSBID adalah salah satu metode penanganan di
ICU yang dapat membantu mengurangi kesalahan dalam penanganan, yang
meliputi:23

1. Nutrisi dan Cairan

• Strategi cairan konservatif


Berbagai literatur yang membahas COVID-19 menunjukkan bahwa
strategi cairan konservatif memberi manfaat positif, tetapi tidak ada
yang membahas secara terperinci bagaimana teknis pelaksanaan
strategi yang dimaksud.20,22

Studi oleh Silverside dkk memberi gambaran tentang strategi


pemberian cairan konservatif pada pasien ARDS. Terdapat beberapa
kriteria klinis dimana cairan diberikan selama pasien diperkirakan
masih akan mendapatkan manfaat positif. Kita dapat menggunakan
salah satu atau beberapa kriteria, tergantung pada ketersediaan
fasilitas yang ada. Kriteria yang dimaksud adalah:24

1. Extravascular Lung Water Index (EVLW) > 7 ml/kgBB.


2. Stroke Volume Variation (SVV) > 10% pada pemeriksaan
passive leg rising (PLR).
3. Pulse Pressure Variation (PPV) > 13% pada pemeriksaan PLR.
4. Intrathoracic Blood Volume Index (ITBVI) < 850 ml).

Pada keadaan dimana terdapat keterbatasan sumber daya


kesehatan dapat dilakukan strategi berikut:24

1. Pemberian kristaloid 200-500 ml jika terdapat tanda


hipoperfusi (Laktat serum > 4 mmol/L, MAP < 50 mmHg, atau
produksi urin <0.5 ml/kgBB selama 2 jam).

2. Pembatasan regimen cairan maintenance sebesar 80% dari


perhitungan kebutuhan harian.

• Pemberian nutrisi
Nutrisi tidak dibahas dalam kebanyakan literatur yang tersedia.8,22
Hanya tersedia sebuah literatur dari Cina yang mengharuskan
pemberian nutrisi yang cukup.11 Pedoman lain dari WHO
menganjurkan untuk memberikan nutrisi dalam 24-48 jam sejak
pasien dirawat di ICU. Tetapi hal ini tidak diterangkan lebih lanjut.20

Tidak semua pasien dapat langsung mendapatkan asupan nutrisi,


karena itu diperlukan penilaian risiko dan manfaat pemberian nutrisi.
Penilaian risiko nutrisi dapat menggunakan skor nutric (Tabel 4-6).
Pasien dengan risiko tinggi harus segera mendapatkan nutrisi, jika
tidak dapat diberikan nutrisi enteral (EN), maka pasien perlu
mendapatkan nutrisi parenteral (PN). Jika pasien dengan risiko
rendah, pemberian nutrisi dapat ditunda untuk mengurangi risiko
penggunaan PN.25
Pasien yang tidak memiliki kontraindikasi pemberian EN. Maka
pasien diberikan makan biasa. Kemudian untuk penentuan kebutuhan
kalori harian dapat digunakan rule of thumb: 25-30 kkal/kgBB, disertai
dengan pemberian protein yang cukup 1.5-2 gram/kgBB/hari.26
Sumber kalori lainnya dititikberatkan pada pengurangan karbohidrat
dan peningkatan kalori yang berdasar dari lemak.27

Tabel 4. Skor nutric.25

Tabel 5. Interpretasi skor nutric jika tidak ada pemeriksaan interleukin-6.25


Tabel 6. Interpretasi skor nutric jika tidak ada pemeriksaan interleukin-6.25

Pemberian EN sebaiknya menggunakan protokol. Penggunaan


protokol dapat meningkatkan kesuksesan dari EN. Terdapat beragam
protokol yang dapat digunakan, antara lain protokol Feed Early Enteral
Diet adequately for Maximum Effect (FEED ME) (Gambar 2) dan
Protein-Energy Provision via the Enteral Route in Critically Ill Patients (PEP
uP).28

Gambar 2. Dosis dan penyesuaian dosis protokol FEED ME.28


2. Analgesia

• Analgosedation untuk kenyamanan pasien. Agen yang digunakan


umumnya adalah morfin, fentanyl maupun remifentanil yang
dititrasi berdasarkan kebutuhan pasien.29,30 Kedalaman sedasi
dapat diukur dengan beberapa metode pengukuran. Umumnya
klinisi ICU menargetkan Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS)
(Gambar 3).31

• Tidak ada pedoman spesifik dalam pemberian analgesia pada


pasien COVID-19.

• Penggunaan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dicurigai


dapat mempermudah infeksi COVID-19 dan bahkan memperburuk
perjalan penyakit. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan reseptor
angiotensin converting enzyme II (ACE II) yang menjadi reseptor
tempat virus berikatan dan menginfeksi tubuh manusia. Tetapi hal
ini tidak didasari oleh bukti ilmiah yang kuat. Beberapa penelitian
lain bahkan menunjukkan bahwa OAINS dapat membantu dalam
penanganan pasien SARS yang juga disebabkan oleh virus
corona.32,33 Oleh karena itu, hal ini perlu di waspadai. Penggunaan
OAINS tidak dilarang selama terdapat indikasi yang jelas dengan
mempertimbangan risiko dan manfaat.

Gambar 3. Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS).34


3. Sedasi

• Sedasi pada pasien COVID-19 dengan ARDS harus diminimalkan


untuk memfasilitasi pemulihan yang lebih cepat. Oleh karena itu
berkembang konsep analgosedation, dengan maksud
meningkatkan kenyamanan pasien dalam menghadapi
prosedur-prosedur ICU yang menimbulkan rasa sakit sehingga
kebutuhan obat sedasi murni pun berkurang. Penggunaan agen
sedasi dapat digunakan jika pasien perlu disedasi lebih dalam,
seperti pada kasus asinkroni ventilasi mekanik. Asinkroni pada
kasus ARDS umumnya terjadi akibat strategi volume tidal rendah
dan PEEP yang tinggi.35,36

• Penggunaan agen pelumpuh otot dapat digunakan jika pasien


terjadi asinkroni yang persisten setelah pemberian analgetik dan
sedasi. Untuk meminimalkan efek samping obat akibat dosis yang
tinggi, dapat dilakukan strategi balanced sedation menggunakan
pelumpuh otot.36 Pelumpuh otot ini diberikan secara intermiten.
Tetapi pada kasus yang refrakter, dapat digunakan secara kontinu,
selama durasi dibatasi <48 jam. Hal ini terkait peningkatan
mortalitas yang didapatkan pada pasien yang diberikan pelumpuh
otot selama lebih dari 48 jam saat dirawat di ICU.22,36

4. Profilaksis Thromboemboli dan Regulasi Suhu

• Parasetamol adalah pilihan farmakologik dalam penatalaksanaan


demam. Penggunaan OAINS lain tidak dianjurkan mengingat risiko
yang belum didapat dikonfirmasi terkait dengan reseptor ACE II
yang menjadi titik infeksi 2019-nCoV.32,33

• Profilaksis thromboemboli dengan low molecular-weight heparin


(lebih disarankan jika tersedia) atau heparin 5000-unit subkutan
dua kali sehari pada remaja dan dewasa tanpa kontraindikasi. Bagi
pasien dengan kontraindikasi, gunakan profilaksis mekanis (alat
kompresi pneumatik intermiten).20

5. Elevasi Kepala

• Jaga pasien dalam posisi semi-terlentang (elevasi kepala tempat


tidur 30-45o). Hal ini penting untuk memaksimalkan fungsi paru,
mengurangi kejadian pneumonia terkait ventilator (VAP) dan
melancarkan drainase darah dari otak.20

6. Profilaksis Ulkus

• Agen blokade reseptor histamin-2 atau proton-pump inhibitors


terutama pada pasien dengan faktor risiko perdarahan
gastrointestinal (GI). Faktor risiko perdarahan GI meliputi
penggunaan ventilasi mekanik ≥48 jam, koagulopati, terapi
penggantian ginjal, penyakit hepar, komorbiditas multipel, dan
skor kegagalan organ yang tinggi.20

• Gunakan kasur antidekubitus dan putar tubuh pasien setiap 2 jam


untuk mencegah ulkus dekubitus.20

7. Kontrol Glikemik

• Pertahankan target gula darah dalam rentang 120-180 mg/dl.


Kontrol gula darah yang terlalu ketat dapat menyebabkan risiko
hipoglikemia dan perburukan luaran pasien. Sebaliknya, gula
darah yang terlalu tinggi diasosiasikan dengan penurunan fungsi
kognitif jangka panjang.37

8. Suplementasi Oksigen dan Spontaneous Breathing Trial


• Berikan suplementasi oksigen 20,22,38
a. Segera berikan oksigen dengan nasal kanul atau facemask.

b. Jika tidak respon, gunakan HNFC.

c. NIV boleh dipertimbangkan jika tidak terdapat HFNC dan tidak


ada tanda-tanda kebutuhan intubasi segera, tetapi harus
disertai dengan NIV disertai dengan monitoring ketat. Tidak
ada rekomendasi mengenai jenis perangkat NIV yang lebih
baik.

d. Target SpO2 tidak lebih dari 96%.

e. Segera intubasi dan beri ventilasi mekanik jika terjadi


perburukan selama penggunaan HFNC ataupun NIV atau tidak
membaik dalam waktu 1 jam.

• Pengaturan ventilator

a. Mode ventilasi dapat menggunakan volume maupun pressure


based.

b. Volume tidal (VT) awal 8 ml/kgBB.

i. Titrasi VT dengan penurunan sebesar 1 ml/kgBB setiap 2


jam sampai mencapai TV 6 ml/kgBB.

ii. Rentang VT yang disarankan adalah 4-8 ml/kgBB.

iii. Gunakan predicted body weight untuk menghitung VT.


Adapun rumus perhitungan predicted body weight adalah
sebagai berikut:

• Laki-laki = 50 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])


• Perempuan = 45.5 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])

c. Laju nafas diatur dengan memperhitungan ventilasi semenit


yang adekuat, maksimal 35 kali per menit.
d. Tekanan plateau (Pplat) <30 cmH2O.
i. Periksa Pplat setiap 4 jam atau setelah perubahan PEEP dan
VT
ii. Titrasi Pplat

Ø Jika Pplat > 30 cm H2O: turunkan TB sebesar 1ml/kg


secara bertahap (minimal = 4 ml/kg).
Ø Jika Pplat < 25 cm H2O dan VT< 6 ml/kg, naikkan VT
sebesar 1 ml/kg secara bertahap sampai
Pplat>25cmH2O atau VT =6ml/kg.
Ø Jika Pplat < 30 dan terjadi asinkroni: boleh naikkan VT
sebesar 1ml/kg secara bertahap sampai 7 or 8 ml/kg
selama Pplat tetap < 30 cm H2O.

e. Gunakan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) tinggi.


i. Hati-hati barotrauma pada penggunaan PEEP >10 cmH2O.

ii. Sesuaikan FiO2 dengan PEEP yang diberikan dengan


menggunakan tabel ARDSnet (tabel 7).

Tabel 7. Pasangan PEEP dan FiO2.

iii. Target oksigenasi PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%.

• Jika terjadi hipoksemia refrakter

a. Lakukan rekrutmen paru


i. Posisikan tengkurap (posisi prone) selama 12-16 jam per
hari.
ii. Hindari strategi staircase

b. Pertimbangkan pemberian inhalasi vasodilator paru sebagai


terapi bantuan (rescue), tetapi jika tidak terjadi perbaikan
gejala, terapi ini perlu segera dihentikan. Penggunaan N2O
inhalasi tidak direkomendasikan.

c. Setelah semua upaya ventilasi mekanik konvensional


dilakukan, segera pertimbangkan pasien untuk mendapatkan
terapi extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) atau
dirujuk ke pusat pelayanan yang dapat memiliki fasilitas ECMO.

• Perawatan pasca intubasi


a. Intubasi oral lebih dipilih dibandingkan intubasi nasal pada
remaja dan orang dewasa

b. Gunakan sistem suctioning tertutup; lakukan drainase secara


berkala dan buang kondensat dalam tabung

c. Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien; jika pasien


telah terventilasi, ganti sirkuit jika kotor atau rusak tetapi tidak
secara rutin

d. Ubah heat moisture exchanger jika tidak berfungsi, kotor, atau


setiap 5-7 hari

e. Gunakan protokol penyapihan yang mencakup penilaian harian


untuk persiapan bernafas spontan

• Penyapihan ventilasi mekanik

a. Syarat penyapihan

i. PEEP ≤ 8 dan FiO2 ≤ 0,4 atau PEEP ≤ 5 dan FiO2 ≤ 0,5


ii. Usaha nafas adekuat

iii. Hemodinamik stabil tanpa topangan atau topangan


minimal

iv. Patologi paru sudah membaik

f. Tehnik penyapihan

i. Gunakan T-piece atau CPAP ≤ 5 cmH2O dan PS ≤ 5 cmH2O

ii. Awasi toleransi selama 30 menit, maksimal 2 jam

Ø SpO2 > 90% dan/atau PaO2 > 60 mmHg


Ø VT > 4 ml/kgBB
Ø RR < 35 kali/menit
Ø pH > 7.3
Ø Tidak ada tanda kesulitan bernafas seperti laju nadi >
120 kali/menit, gerakan nafas paradoks, penggunaan
otot-otot pernafasan sekunder, keringat berlebih atau
sesak.

iii. Jika terdapat tanda intoleransi, lanjutkan ventilasi mekanik


sesuai pengaturan sebelum penyapihan

9. Pergerakan Usus

• Gunakan bowel movement protocol (BMP)


Lebih dari 75% pasien mengalami disfungsi saluran cerna.
Disfungsi ini dapat berupa diare, konstipasi maupun ketidakmampuan
menerima EN. Hal ini diasosiasikan dengan kesulitan penyapihan
ventilator, translokasi bakteri, dan peningkatan durasi rawat. Warren
dalam studinya menunjukkan suatu strategi BMP yang dapat
dipergunakan untuk mengoptimalkan fungsi saluran cerna (Gambar
4).39

Gambar 4. Bowel movement protocol.39


10. Indwelling Catheter

• Gunakan checklist yang diverifikasi oleh real-time observer sebagai


pengingat setiap langkah yang diperlukan untuk pemasangan
steril.20

• Lepas kateter jika tidak diperlukan lagi.

• Ganti kateter secara reguler.

11. Obat dan De-eskalasi Obat

• Manajemen Syok
a. Lakukan pengawasan parameter dinamis berupa suhu kulit,
waktu pengisian kembali kapiler darah, dan kadar laktat serum
untuk menilai respons terhadap cairan. 20,22

b. Jika memungkinkan gunakan ekokardiografi ataupun monitor


PiCCO2.

c. Gunakan strategi pemberian cairan konsevatif

Ø Gunakan balanced crystalloid.


Ø Albumin 5% dapat dipertimbangkan, tetapi tidak secara
rutin.
Ø Hindari penggunaan koloid lain.

• Antibiotik

Pemberian antibiotik empirik terhadap pneumonia dapat


dipertimbangkan pada pasien COVID-19 yang mendapatkan ventilasi
mekanik.22 Regimen antibiotik empirik terbagi menjadi 2, regimen
antibiotik empirik pneumonia komunitas (Tabel 8) dan regimen
antibiotik empirik terkait rumah sakit dan ventilasi mekanik (Tabel
9).39,40
Tabel 8. Regimen antibiotik empirik pneumonia komunitas.

Tabel 9. Regimen antibiotik empirik terkait rumah sakit dan ventilasi mekanik.


• Kortikosteroid
Kortikosteroid pilihan adalah hidrokortison 200 mg/24 jam.
Kortikosteroid ini diberikan hanya pada syok yang refrakter atau
dapat dipertimbangkan jika terdapat tanda-tanda ARDS. Steroid dapat
menekan sistem imun sehingga memperlambat bersihan virus.
Mengingat patofisiologi COVID-19 diakibatkan oleh adanya badai
sitokin, pemberian steroid dapat menurunkan intensitas badai sitokin
dan meringankan gejala.20,22

• Antivirus
Terapi antivirus masih belum memiliki bukti yang kuat. WHO dan
SCCM meminta kehati-hatian dalam penggunaannya.20,22 Petunjuk
penggunaan agen antivirus lebih jelas di bahas dalam pedoman
kesehatan yang digunakan oleh pemerintah China.11

a. Alpha-interferon (5 juta UI/dosis ditambahkan 2 ml air steril,


diberikan dengan inhalasi atomik setiap 12 jam)

b. Lopinavir/ritonavir 400 mg/100mg /12 jam untuk orang


dewasa selama maksimal 10 hari.

c. Ribavirin 500 mg intravena (IV)/8-12 jam untuk orang


dewasa selama maksimal 10 hari (sebaiknya dikombinasi
dengan interferon)

d. Klorokuin (500 mg/12 jam selama 7 hari untuk orang dewasa


usia 18-65 dengan berat badan > 50 kg; 500 mg/12 jam
selama 2 hari lalu dilanjutkan 1 kali sehari selama 4 hari
untuk orang dewasa dengan berat badan < 50 kg)

e. Arbidol 200 mg /8 jam untuk orang dewasa selama maksimal


10 hari.

Penggunaan lebih dari 2 jenis kombinasi antivirus tidak


disarankan, karena dapat memberikan efek samping yang besar.
Gunakan obat dengan efek samping terhadap kehamilan terkecil, jika
diberikan pada ibu hamil.11

12. Lain-lain

a. Lakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan rRT-PCR setiap 2-4


hari untuk penegakan diagnosa dan memastikan kesembuhan.20

b. Lakukan pengambilan sampel darah sebelum pemberian antibiotik


dosis pertama. Pengambilan darah ini penting, tetapi jangan
menyebabkan penundaan pemberian antibiotik dosis pertama lebih
dari 1 jam.20

c. Pengawasan hemodinamik secara ketat untuk mengoptimalkan


waktu dilakukannya penyesuaian penanganan.20

d. Mobilisasi aktif pasien segera setelah kondisi pasien memungkinkan


untuk mengurangi insidens kelemahan terkait ICU.20

e. Terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRT) dapat


dipertimbangkan penggunaannya.11


TATALAKSANA JALAN NAPAS PADA PASIEN COVID-19

A. Latar Belakang

Beberapa pasien yang sakit kritis memerlukan tindakan intubasi dan ventilasi.
Meskipun sebagian besar operasi elektif ditunda, operasi emergensi pada pasien
yang terkonfirmasi atau suspek COVID-19 tetap diizinkan untuk dilakukan.
Beberapa prosedur pembedahan ini dilakukan dengan tindakan anestesi umum
intubasi endotrakeal. Intubasi dan ventilasi pada pasien COVID-19 dalam kondisi
kritis yang memerlukan tindakan operasi segera memberikan tantangan bagi para
ahli anestesi. Dimana kondisi ini memerlukan rancangan teknik intubasi dan
ventilasi yang paling baik untuk pasien COVID-19 dan bagi ahli anestesi dimana
pada saat yang bersamaan harus dengan ketat memproteksi diri sendiri.41

B. Risiko Bagi Petugas Kesehatan

Penyebaran utama COVID-19 adalah melalui droplet dan permukaan benda


yang terkena virus (fomite). Droplet merupakan partikel besar cairan tubuh yang
dipengaruhi oleh gravitasi dalam beberapa detik dan karenanya hanya bisa
menyebar dalam jarak dekat di udara sebelum mendarat pada permukaan benda.
Droplet yang mengandung virus dapat menyebabkan penularan langsung pada
kontak jarak dekat atau menyebabkan kontaminasi pada permukaan benda
seperti pakaian, peralatan dan perabotan, dimana virus aktif dari beberapa jam
hingga beberapa hari. Sebaliknya, aerosol merupakan partikel cairan tubuh yang
lebih kecil dan dapat bertahan di udara untuk waktu yang lama. Jika virus stabil
pada sekret jalan napas yang menjadi aerosol, hal ini meningkatkan risiko
penyebaran, Beberapa peristiwa yang potensial menyebabkan aerosolisasi virus
yang mengkontaminasi cairan tubuh dapat dilihat pada Tabel 10. Proses merawat
pasien dengan COVID-19 yang berat dan melakukan tindakan yang menimbulkan
proses aerosolisasi meningkatkan risiko infeksi bagi petugas kesehatan.42
Tabel 10. Penyebab potensial terjadinya aerosol selama tatalaksana jalan napas.42,43

A. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya aerosol

• Batuk/bersin/mengeluarkan dahak

• NIV atau ventilasi tekanan positif dengan masker yang tidak


adekuat

• High flow nasal oxygen (HFNO)

• Jet ventilasi

• Melakukan nebulisasi atau obat yang diasapkan melalui simple


mask

• Resusitasi kardio pulmoner (yang didahului oleh intubasi


endotrakeal)

• Ekstubasi

B. Tindakan yang meningkatkan risiko terjadinya aerosol

• Suction endotrakeal tanpa sistem tertutup

• Laringoskopi

• Intubasi endotrakeal

• Bronkoskopi/gastroskopi

• Tindakan front-of-neck airway (FONA), termasuk


trakeostomi, krikotiroidotomi

Catatan: aerosol paling banyak terjadi dengan endoendotracheal tube > supraglottic
airway > facemask

Sangat disarankan dibuatnya standar kebijakan terhadap tatalaksana jalan


napas. Tatalaksana jalan napas harus dilakukan oleh klinisi paling mahir di dalam
tim dengan menggunakan APD lengkap.44
Tujuan tatalaksana jalan napas adalah untuk meminimalkan diskoneksi,
terjadinya aerosol dan paparan petugas kesehatan terhadap penyebaran virus.
Intubasi endotrakeal lebih direkomendasikan dibanding penggunaan supraglottic
airway, kecuali jika diperlukan airway “rescue”.44

Tindakan tatalaksana jalan napas meningkatkan risiko terjadinya penyebaran


secara aerosol dengan alasan sebagai berikut:42

• Pasien mengalami agitasi dan gelisah akibat hipoksia


• Masker pasien harus dilepas
• Posisi petugas kesehatan ada didekat jalan napas pasien
• Tindakan laringoskopi dan intubasi sangat riskan terjadinya aerosol
• Tindakan tatalaksana jalan napas umumnya adalah tindakan
yang menyebabkan terjadinya aerosol.

Tabel 11. Faktor risiko terjadinya aerosol.42

Faktor Risiko Strategi Proteksi

Batuk - Gunakan APD lengkap sebelum memasuki ruang


intubasi dan mendekati jalan napas pasien.

- Jaga jarak minimal saat melepas masker


pasien dan gunakan facemask disertai filter
virus.

- Facemask dengan lapisan yang baik disertai filter


virus

- Pastikan pasien dilumpuhkan sebelum tindakan


dilakukan (adekuat dosis dan onset).

- Hindari batuk saat ekstubasi.

Facemask - Facemask yang sesuai (fitting) dengan filter virus.


inadekuat saat
- Gunakan Vice (V-E) grip.
preoksigenasi
- Gunakan alat ventilasi manual dengan
collapsible bag.

- Penggunaan monitor EtO2 untuk menandai


preoksigenasi yang adekuat untuk
memperpendek durasi penggunaan facemask.

Ventilasi tekanan - Hindari ventilasi tekanan positif.


positif dengan
- Seal facemask berfungsi baik:
facemask inadekuat
• Facemask (FM): seperti di atas.

• Supraglottic airway (SGA): gunakan SGA


generasi kedua, ukuran sesuai, kedalaman
anestesi adekuat saat insersi, kembangkan
balon cuff.

• ETT: pastikan posisi balon cuff di bawah


plica vocalis, gunakan cuff manometry,
fiksasi ETT

• Alat ventilasi manual dengan collapsible


bag untuk mengurangi tekanan positif

• Airway manometry untuk meminimalkan


tekanan ventilasi

• Kurangi tekanan ventilasi dengan


penggunaan pelumpuh otot, head-up 30
derajat dan gunakan oropharyngeal
airway.

Aliran gas tinggi - Hindari HFNO

Gambar 5. Vice (V-E) grip.42

C. Sistem Untuk Mencegah Kontaminasi Petugas Kesehatan, termasuk Alat


Pelindung Diri (APD)

Alat pelindung diri (APD) merupakan salah satu bagian dari sistem untuk
mencegah kontaminasi dan infeksi petugas kesehatan selama perawatan pasien.
Selain APD, prosedur seperti dekontaminasi seluruh permukaan dan alat
kesehatan, meminimalkan kontak yang tidak perlu dengan pasien, meminimalkan
kontak permukaan dan prosedur membuang sampah dengan hati-hati sangat
penting untuk mengurangi risiko penularan.43

Prinsip umum APD adalah harus sederhana dan mudah dilepas tanpa
mengkontaminasi pemakainya, hindari APD yang rumit. Harus melindungi seluruh
tubuh dan sekali pakai jika memungkinkan. Alat pelindung diri harus dibuang
secara cepat dan tepat setelah dilepas (“doffing”). Terdapat observer dan checklist
yang memastikan donning dan doffing dilakukan secara benar. Alat pelindung diri
harus digunakan saat melakukan tatalaksana pada seluruh pasien COVID-19.43
Penggunaan sarung tangan ganda saat intubasi endotrakeal dapat memberikan
proteksi ekstra dan meminimalkan penyebaran kontaminasi dari permukaan
peralatan dan lingkungan. Idealnya, pasien COVID-19 dirawat di ruangan tunggal
bertekanan negatif dengan laju aliran pertukaran udara yang baik (>12
pertukaran per jam) untuk mengurangi risiko paparan penularan udara. 43

Gambar 6. Prinsip Utama Tatalaksana Jalan Napas Pasien COVID-19. 43

D. Prinsip Tatalaksana Jalan Napas pada Pasien Suspek atau Terkonfirmasi


COVID-19

Tatalaksana jalan napas pasien suspek atau terkonfirmasi COVID-19 pada


kasus emergensi dan non emergensi prinsipnya adalah sama. 43

1. Persiapan

a. Persiapan institusi (peralatan untuk tatalaksana rutin dan jika terjadi


kesulitan; jumlah staf terlatih yang mencukupi, ketersediaan checklist
intubasi endotrakeal, APD dan lain-lain) harus dilakukan dengan baik
sebelum terjadi tindakan tatalaksana jalan napas. Jika belum ada,
sangat direkomendasikan untuk menyiapkan secepatnya.

b. Tim dan Perseorangan harus mengetahui persiapan institusi dan skill


yang diperlukan, bagaimana menggunakan APD dengan benar dan
mengevaluasi jalan napas pasien untuk menilai ada tidaknya kesulitan
intubasi dan mempersiapkan tindakan jalan napas yang akan
dilakukan. Konsep MACOCHA (Malampatti, Obstructive sleep apnoea,
C-spine movement, mouth opening, coma, hipoxaemia, non anaestetist
intubator) tidak diterima secara luas, tapi konsep ini valid dan
direkomendasikan.

Gambar 7. Skor MACOCHA untuk prediksi jalan napas sulit. 43

2. Menyiapkan troli atau set alat intubasi endotrakeal COVID-19

Pasien yang sakit kritis seringkali harus diintubasi ditempat dibanding di


ICU. Di ICU, intubasi endotrakeal biasanya dilakukan di satu ruangan.
Siapkan troli intubasi endotrakeal atau set alat yang dapat diambil ke dekat
pasien dan didekontaminasi setelah digunakan.

3. Memiliki strategi

Strategi tatalaksana jalan napas (membuat rencana utama atau rencana


cadangan, dan jika terjadi perubahan) harus disiapkan dan mengadakan
briefing tim sebelum melakukan tindakan.

4. Melibatkan sejumlah kecil tenaga yang diperlukan

Tidak mungkin melakukan tindakan sendirian, tetapi staf yang tidak


diperlukan sebaiknya tidak memasuki ruangan tindakan. Sebanyak 3 orang
tenaga yang diperlukan: 1 intubator, 1 asisten dan 1 orang yang memberikan
obat dan mengawasi monitor. Petugas lain (runner) harus mengawasi dari
luar dan harus dapat membantu dengan cepat jika diperlukan.

5. Gunakan APD yang benar dan sesuai

Dalam situasi emergensi termasuk henti jantung, APD harus digunakan


dan di cek seluruhnya sebelum melakukan tatalaksana jalan napas dan
petugas tidak boleh membuat dirinya terpapar risiko apapun.

6. Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol sepanjang memungkinkan

Jika terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan. Jika tindakan yang
menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah
terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20
menit.

7. Fokus pada ketepatan waktu dan kepercayaan.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan keberhasilan pada saat pertama


kali intubasi. Jangan terburu-buru, tetapi melakukan setiap usaha
sebaik-baiknya yang dapat dilakukan. Usaha yang berkali-kali meningkatkan
risiko kontaminasi kepada petugas lainnya dan kepada pasien.

8. Gunakan Teknik yang berhasil baik untuk semua pasien, termasuk


jika terjadi kesulitan intubasi.

Gambar 8. Posisi petugas saat intubasi pasien COVID-19. 43

Teknik yang sebenarnya mungkin berbeda tergantung lokasi dan peralatan.


Jika pelatihan dan peralatan tersedia, sebaiknya meliputi: 43

1. Penggunaan a kit clump mat.


2. Videolaryngoscope untuk intubasi endotrakeal.
3. Gunakan 2 orang 2 tangan untuk memegang facemask ventilasi dengan
VE-grip.
4. Siapkan SGA generasi kedua untuk rescue airway (misal: i-gel, Ambu, Aura
Gain, LMA proseal, LMA Protector)
5. Petugas paling sesuai adalah yang harus melakukan tindakan jalan napas.
6. Jangan gunakan teknik yang tidak familier atau tidak terlatih.
7. Pastikan semua alat jalan napas yang diperlukan ada di ruangan sebelum
melakukan tindakan intubasi endotrakeal.

a. Monitor termasuk capnograph.


b. Suction yang berfungsi baik.
c. Ventilator yang sudah diatur.
d. Akses intravena yang baik dan lancar.

8. Gunakan checklist intubasi


Checklist digunakan sebagai alat bantu dan harus dicek sebelum memasuki
kamar pasien sebagai bagian dari persiapan.

9. Gunakan alat bantu kognitif jika terjadi kesulitan

Kesulitan intubasi akan menyebabkan kegagalan untuk melakukan tindakan


secara optimal. Alat bantu kognitif akan membantu tim tetap fokus dan
mempercepat pilihan tindakan melalui algoritma. Terdapat dua algoritma yang
diambil dari panduan Difficult Airway Society (DAS) 2018 untuk intubasi
endotrakeal pada pasien sakit kritis yang sudah direduksi ruang lingkupnya
untuk mengakomodasi kondisi sekarang dan memberikan keputusan dan
tindakan yang tepat dan cepat.

10. Gunakan Bahasa yang jelas dan closed loop communication

Komunikasi akan menjadi sulit saat menggunakan APD dan petugas


bekerja di luar area yang normal. Gunakan instruksi sederhama. Bicara dengan
jelas dan keras tanpa perlu berteriak. Jika menerima instruksi, ulangi apa yang
anda pahami terhadap pemberi instruksi. Jika anggota tim tidak saling kenal,
penggunaan stiker nama yang ditempelkan di atas kepala dapat membantu
komunikasi satu sama lain.

Gambar 9. (a) Teknik 2 tangan 2 orang dengan posisi VE-grip, orang kedua memompa bag. (b)
Posisi C-hand harus dihindari. 43


E. Anestesi dan Teknik Jalan Napas pada Intubasi Endotrakeal Emergensi 43

1. Teknik Rapid Sequence Induction (RSI) menjadi pilihan. Penggunaan


penekanan krikoid masih kontroversi, tetapi gunakan jika ada assisten
yang dapat melakukan dan secepatnya dilepas jika menyebabkan
kesulitan intubasi.

2. Preoksigenasi dengan teliti menggunakan facemask yang pas selama 3-5


menit. Sirkuit tertutup optimal digunakan (misal: breathing circuit pada
mesin anestesi) dan rebreathing circuit (misal: sirkuit mapleson’s C
(‘waters’) lebih diutamakan dibanding bag-mask yang mengeluarkan gas
ekshalasi yang mengandung virus ke dalam ruangan.

3. Tempatkan pemanas dan humidifier (HME) filter antar ujung endotracheal


tube dan sirkuit. Ventilasi non invasif harus dihindari. High flow nasal
oxygen (HFNO) tidak direkomendasikan.

4. Posisi pasien, seperti posisi menyamping pada pasien obese dan reverse
trendelenberg untuk memaksimalkan safe apnea time.

5. Pada pasien dengan agitasi, lebih cocok menggunakan teknik delayed


sequence tracheal intubation.

6. Jika terdapat risiko tinggi ketidakstabilan kardiovaskuler,


direkomendasikan induksi dengan ketamin 1-2 mg/kgBB. Pelumpuh otot,
rocuronium 1.2 mg/kgBB diberikan secepatnya. Tujuannya untuk
meminimalkan masa apnea dan mengurangi risiko pasien batuk. Jika
menggunakan suksametonium dosisnya adalah 1.5 mg/kgBB.

7. Pastikan pelumpuh otot bekerja maksimal sebelum melakukan intubasi


endotrakeal. Untuk memastikannya dapat menggunakan nerve stimulator
perifer atau ditunggu hingga 1 menit.

8. Pastikan bolus atau infus segera vasopresor untuk mengatasi jika terjadi
hipotensi.

9. Hanya jika pasien sudah kehilangan kesadaran dapat diberikan


continuous positive airway pressure (CPAP) untuk menghindari batuk dan
jika facemask berfungsi baik untuk mengurangi kebutuhan ventilasi.
Bag-mask ventilasi digunakan sebagai bantuan ventilasi dan mencegah
hipoksia. Gunakan oropharyngeal airway (guedel) untuk
mempertahankan patensi jalan napas. Gunakan teknik 2 tangan 2 orang
dengan VE-grip untuk memperbaiki ventilasi terutama pada pasien
obesitas. Jika menggunakan ventilasi bag-mask, minimalkan aliran
oksigen dan tekanan jalan napas dengan tetap mencegah terjadinya
hipoksia.

10. Sebagai alternatif, lakukan pemasangan generasi kedua SGA setelah


pasien hilang kesadaran dan sebelum intubasi endotrakeal dilakukan. Hal
ini untuk menghindari penggunaan bag-mask ventilasi jika ada kesulitan
ventilasi.

11. Lakukan laringoskopi dengan alat yang memungkinkan keberhasilan


intubasi sekali coba oleh petugas terlatih, dan laringoskopi ini yang
disarankan adalah videolaryngoscope.

a. Berdiri dengan menjaga jarak aman dari jalan napas pasien, tetapi
dengan praktis memberikan teknik optimal saat menggunakan
laringoskop apapun juga.

b. Penggunaan videolaryngoscope dengan layar terpisah membuat


operator menjaga jarak aman dari jalan napas pasien dan teknik ini
direkomendasikan bagi yang sudah terbiasa menggunakannya.

c. Jika menggunakan videolaryngoscope dengan bilah Macintosh, perlu


disiapkan bougie.
d. Jika menggunakan videolaryngoscope dengan bilah yang hiperangulasi,
perlu menggunakan stylet (mandrin)

e. Jika tidak menggunakan videolaryngoscope, bilah Macintosh standar


dan bougie (yang digunakan langsung pada endotracheal tube)
merupakan pilihan yang terbaik.

f. Jika menggunakan bougie atau stylet, hati-hati saat mengeluarkannya


dari rongga mulut untuk mencegah percikan sekret ke anggota tim
lainnya.

12. Intubasi menggunakan endotracheal tube ukuran 7.0-7.5 mm diameter


internal (ID) pada wanita dan ukuran 7.5-8.0 mm ID pada laki-laki,
disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Jika memungkinkan gunakan
endotracheal tube yang memiliki port suction subglotik.

13. Saat melakukan intubasi endotrakeal, tanpa menghilangkan pandangan


dari layar, masukkan endotracheal tube 1-2 cm di bawah plica vocalis
untuk menghindari terjadinya intubasi bronkial.

14. Kembangkan balon cuff dengan tekanan udara 20-30 cmH2O segera
setelah intubasi dilakukan.

15. Fiksasi endotracheal tube seperti biasa.

16. Jalankan ventilasi mekanik setelah mengembangkan cuff dan pastikan


tidak ada kebocoran.

17. Pastikan keberhasilan intubasi dengan adanya gelombang pada


capnopgraph.

18. Mengkonfirmasi kedalaman insersi endotracheal tube dalam kondisi ini


sangat sulit.

a. Saat menggunakan APD, melalukan auskultasi dada sangat sulit dan


meningkatkan risiko kontaminasi stetoskop dan petugas lainnya,
sehingga tidak direkomendasikan.
b. Memperhatikan simetrisasi pengembangan dada bilateral saat ventilasi
direkomendasikan.

c. USG paru dan rontgent dada diperlukan jika masih terjadi keragu-
raguan.

19. Jika dapat memastikan kebenaran posisi endotracheal tube, jangan lupa
mencatat kedalaman insersi endotracheal tube tersebut.

20. Lakukan pemasangan pipa nasogastrik setelah tindakan intubasi


endotrakeal selesai dilakukan dan ventilasi telah dijalankan untuk
meminimalkan intervensi selanjutnya.

21. Jika pasien belum terkonfirmasi positif COVID-19, ambil sampel sekret
dari dalam endotrakeal menggunakan closed suction untuk pemeriksaan
COVID-19. Kadang-kadang sampel yang diambil dari jalan napas atas
memberikan hasil negatif.

22. Rekaman visual intubasi endotrakeal harus dapat terlihat dari kamar
pasien.

F. Kesulitan yang Tidak Diharapkan

Dasar algoritme intubasi endotrakeal biasanya menggunakan panduan DAS


2018 yang disederhanakan untuk intubasi pada pasien sakit kritis. Jika terjadi
kesulitan intubasi hal ini harus diantisipasi menggunakan standar rescue
algoritme dengan memperhatikan hal-hal berikut: 43

a. Pelajari alur algoritme dengan mempertimbangankan untuk


meminimalkan jumlah usaha yang dilakukan untuk masing-masing teknik.

b. Jelaskan adanya kesulitan atau kegagalan setiap tahapan pada anggota tim.

c. Ventilasi ditunda dan lakukan pemasangan SGA generasi kedua sebagai


alternatif sebelum melakukan intubasi. Hal ini dapat mengurangi risiko
aerosol karena mengurangi kebocoran jalan napas dibanding ventilasi
facemask.
d. Jika diperlukan FONA emergensi, panduan DAS 2018 yng disederhanakan
harus digunakan. Teknik scapel-bougie-endotracheal tube kadang dipilih
pada pasien COVID-19 mengingat risiko terjadinya aerosol akibat insuflasi
oksigen melalui kanula.

Untuk sederhananya, hal ini disesuaikan dengan kondisi masing-masing di


lapangan. Jika terjadi masalah, rencana antisipasi kesulitan jalan napas harus
dicatat, ditampilkan dan didiskusikan dengan petugas saat pergantian shift jaga.

G. Prediksi Kesulitan Jalan Napas 43


• Panduan ini tidak menjelaskan secara spesifik pilihan teknik yang sesuai
untuk pasien jika terjadi kesulitan intubasi.

• Banyak teknik untuk mengatasi kesulitan jalan napas yang potensi


meningkatkan risiko terjadinya aerosol. Dan ada beberapa catatan dari
beberapa negara yang melakukan intubasi awake:

a. Penggunaan topikalisasi jalan napas harus secara hati-hati unutk


meminimalkan batuk dan tindakan yang menyebabkan aerosol.

b. Teknik fleksibel bronkoskopi (secara tunggal atau dengan bantuan SGA


atau dengan videolaringoskop yang disebut video-assisted flexible
intubation) merupakan tindakan yang menyebabkan aerosol, sehingga
tidak menjadi pilihan.

c. Teknik alternatif jika terjadi kesulitan intubasi adalah intubasi


endotrakeal melalui SGA termasuk intubasi LMA (blind atau dengan
flexible bronchoscope-assisted), atau dengan (panduan video dan
Aintree intubation catheter)

H. Manajemen Jalan Napas setelah Intubasi Endotrakeal dan Trouble


Shooting 43
• Gunakan filter HME dekat dengan pasien, selain humidifier yang
dihangatkan (wet circuit) tapi pastikan kondisi in tidak menyebabkan
basah dan membuat sumbatan.

• Monitor tekanan balon cuff dengan hati-hati untuk mencegah kebocoran.


Jika menggunakan tekanan tinggi, pastikan tekanan cuff minimal 5 cmH2O
diatas peak inspiratory pressure. Sebelum melakukan tindakan maneuver
apapun sebaiknya tekanan cuff ditinggikan untuk memastikan tidak ada
kebocoran.

• Monitor dan catat kedalaman endotracheal tube setiap pergantian shift jaga
untuk meminimalkan risiko dislokasi endotracheal tube.

• Mengatasi risiko dislokasi endotracheal tube. Risiko ini terjadi saat reposisi
pasien termasuk: posisi prone, mengembalikan posisi pasien, aspirasi pipa
nasogastric atau memastikan posisi nasogastric tube (NGT), sewaktu
membersihkan mulut pasien. Tekanan balon cuff dan kedalaman
endotracheal tube harus dicek dan diperbaiki sebelum dan setelah tindakan
tersebut. Saat menghentikan sedasi juga menyebabkan risiko terjadinya
dislokasi endotracheal tube dan hal ini harus memperhatikan waktu,
adanya perawat dan sebagainya.

• Suction. Yang disarankan adalah suction endotrakeal tertutup jika tersedia.

• Kebocoran balon cuff. Jika terjadi kebocoran balon cuff, untuk menghindari
terbentuknya aerosol, pasang tampon faring sembari memberikan oksigen
100% dan mempersiapkan reintubasi. Sebelum reintubasi, segera hentikan
mesin ventilator.

• Intervensi jalan napas meliputi prosedur fisioterapi, memompa alat bantu


napas, proses transfer, posisi prone, mengembalikan posisi pasien dan
reposisi endotracheal tube. Jika intervensi tersebut memerlukan diskoneksi
endotracheal tube dengan ventilator sebelum melakukan intervensi jalan
napas, maka:

a. Pastikan sedasi adekuat.


b. Pertimbangkan penggunaan pelumpuh otot.

c. Hentikan ventilator, sehingga mesin ventilator dan aliran gas berhenti.

d. Klem endotracheal tube.

e. Pisahkan sirkuit dengan HME tetap melekat pada pasien.

f. Kembalikan posisi semula setelah sirkuit disambung kembali.

• Hindari diskoneksi. Pastikan semua koneksi sirkuit rapat dan erat untuk
menghindari terjadinya diskoneksi tidak disengaja.

• Diskoneksi tidak disengaja. Hentikan ventilator. Klem endotracheal tube.


Sambung kembali secepatnya dan klem endotracheal tube dilepas.

• Ekstubasi tidak disengaja. Kondisi ini harus diatasi seperti biasa, tetapi
tatalaksana harus tetap menjaga ‘donning’ APD dengan lengkap dan
hati-hati sebelum mendatangi pasien, tanpa memperhatikan kegawatan
klinis yang terjadi.

• Trakeostomi. Tindakan ini berisiko tinggi terjadinya aerosol, dan hal ini
harus dipertimbangkan sebelum dilakukan trakeostomi. Sebaiknya
trakeostomi ditunda hingga dinyatakan penyakit COVID-19 pasien tidak
aktif lagi dan membaik.

I. Risiko Sumbatan Jalan Napas akibat Penghangat dan Saringan Filter


Pelembab 43

Sebaiknya hindari penggunaan wet circuit yang aktif dihangatkan dan


dilembabkan, setelah intubasi endotrakeal untuk mencegah virus terkumpul
dalam sirkuit ventilator. Secara teori hal ini akan mengurangi risiko kontaminasi
ruangan jika terjadi diskoneksi sirkuit yang tidak diduga. Jika filter basah akan
memudahkan terjadinya sumbatan. Hal ini akan menyebabkan filter tersumbat
dan menjadi penyebab pasien mengalami penurunan. Pertimbangkan filter HME
basah dan tersumbat jika pasien mengalami penurunan atau susah diventilasi. Jika
posisi filter HME sebelum endotracheal tube atau di dekat kateter, cairan pekat
dapat memenuhi HME. Hal ini biasanya terjadi jika filter HME dan wet circuit
digunakan secara terus menerus.

J. Ekstubasi Endotrakeal
43

• Banyak ICU yang secara rutin menggunakan HFNO lebih dari 24 jam segera
setelah pasien di ekstubasi. Pada pasien COVID-19, hal ini tidak bisa
dilakukan. Konsekuensinya ekstubasi endotrakeal ditunda, kecuali jika
kebutuhan ventilator dan kamar menjadi pertimbangan.

• Usaha yang dilakukan ditujukan untuk meminimalkan batuk dan


penyebaran percikan sekret saat dilakukan ekstubasi.

a. Lakukan fisioterapi dan suction endotrakeal dan rongga mulut seperti


biasanya sebelum ekstubasi dilakukan.

b. Persiapkan dan cek semua alat yang diperlukan untuk masker atau
aliran rendah oksigen nasal kanul (<5 LPM) sebelum dilakukan
ekstubasi.

c. Setelah ekstubasi, pastikan pasien segera menggunakan masker wajah


seperti menggunakan oksigen masker atau nasal kanul jika lebih
praktis.

d. Selama pembiusan, gunakan obat yang meminimalkan batuk saat


pemulihan seperti deksmedetomidine, lidokain dan opioid. Kegunaan
obat ini belum terbukti pada pasien kritis dan harus diimbangi dengan
efek samping pada pusat napas, fungsi neuromuskuler dan tekanan
darah. Karena alasan tersebut, obat-obat diatas tidak rutin digunakan.

e. Sebelum ekstubasi dapat dipertimbangkan penggunaan SGA untuk


meminimalkan batuk, dimana hal ini menjadi pilihan kedua dan adanya
kemungkinan kesulitan jalan napas setelah insersi SGA sehingga
tindakan ini tidak menjadi pilihan utama.
f. Penggunaan airway exchange catheter relatif kontraindikasi pada
pasien COVID-19 karena cenderung menimbulkan batuk dan
sebagainya.

K. Tatalaksana Jalan Napas Pada Henti Jantung 43


• UK Resuscitation Council telah mengeluarkan aturan tatalaksana henti
jantung pada pasien COVID-19.

• Prosedur jalan napas pada kasus henti jantung cenderung membuat


petugas terpapar dengan risiko kontaminasi virus. Alat pelindung diri
minimal yang harus digunakan untuk evaluasi pasien, memulai kompresi
dada dan memastikan iranma henti jantung pada monitor adalah APD
tingkat 3 (masker wajah, pelindung mata, apron plastik dan sarung tangan).

• Hindari mendengarkan atau merasakan napas pasien dengan cara


mendekatkan telinga atau pipi ke mulut pasien.

• Jika ada petugas yang trampil melakukan tindakan intubasi, segera lakukan
intubasi dan kembangkan balon cuff.

• Sebelum intubasi, insersi SGA dapat dilakukan untuk memberikan ventilasi


karena lebih sedikit menyebabkan aerosol jika dibandingan memberikan
ventilasi dengan facemask.

• Tekanan tinggi penutup pada SGA lebih dipilih daripada SGA dengan
penutup bertekanan rendah. Ini biasanya merupakan SGA generasi kedua,
jika tersedia.

L. Tatalaksana Jalan Napas Bagi Ahli Anestesi


43

• Saat ini pasien dapat asimtomatik tapi menderita COVID-19 dan infeksius,
meski pasien simptomatik lebih berisiko untuk menularkan penyakit. Pada
situasi epidemik, harusnya dianggap semua pasien bersifat infeksius dan
sangat penting melakukan tindakan jalan napas dimana semua pasien
dianggap berisiko tinggi.

• Keputusan melakukan tatalaksana jalan napas harus didasarkan


prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan sebelumnya.

• Tatalaksana jalan napas harus aman, akurat dan cepat.

• Penggunaan SGA lebih diutamakan dibanding ventilasi dengan facemask


dan sebaiknya lebih diutamakan intubasi endotrakeal.

• Jika menggunakan SGA, ventilasi spontan lebih dianjurkan untuk


menghindari kebocoran udara dibanding dengan ventilasi kontrol.

• Pilihan obat akan berbeda dengan pasien sakit kritis, dan jika pasien dalam
kondisi sehat, ketamin bukan pilihan untuk induksi.

• Ingat bahwa intubasi endotrakeal lebih sering menimbulkan batuk saat


ekstubasi dibandingkan jika menggunakan SGA. Hal ini dapat dihindari
dengan cara:

a. Gunakan SGA dibandingkan intubasi endotrakeal.

b. Tukar endotracheal tube dengan SGA sebelum pemulihan.

c. Gunakan lidokain intravena atau intracuff, deksmedetimide intravena,


opioid (misal fentanyl, remifentanil) sebelum ekstubasi.

I. Ringkasan Intubasi Endotrakeal emergensi pada pasien COVID-19 43


• Intubasi endotrakeal pasien COVID-19 merupakan prosedur risiko tinggi
bagi petugas kesehatan tanpa memandang berat ringannya penyakit.

• Pasien yang menderita COVID-19 berat, tindakan intubasi juga berisiko


bagi pasien.

• Petugas yang terlibat dalam intubasi endotrakeal dibatasi jumlahnya: 1


intubator, 1 asisten dan 1 petugas yang memasukkan obat dan mengawasi
monitor pasien.
• Siapkan troli intubasi COVID-19 yang dapat digunakan di ICU atau tempat
lainnya.

• APD sangat efektif dan harus digunakan. Gunakan APD lengkap setiap saat.
Gunakan sarung tangan ganda. Google anti kabut atau pelindung mata jika
memungkinkan. Sentuh sedikit mungkin untuk menghindari kontaminasi
permukaan.

• Intubasi dalam ruangan bertekanan negatif dengan >12 kali pertukaran


aliran udara per jam jika memungkinkan.

• Setiap petugas harus mengetahui rencana tindakan sebelum memasuki


ruangan.

• Gunakan checklist untuk membantu hal ini.

o Rencanakan cara komunikasi sebelum memasuki ruangan.

o Algoritme/bantuan kognitif yang direncanakan harus ditampilkan


atau dibawa ke dalam ruangan.

o Seluruh persiapan alat jalan napas dan obat dilakukan seluruhnya di


luar ruangan.

o Gunakan kit mat jika memungkinkan.

o Petugas paling terlatih mengenai tatalaksana jalan napas yang harus


melakukan tindakan intubasi, untuk mengoptimalkan keberhasilan
intubasi pada saat pertama kali dilakukan.

o Fokus pada keamanan, ketepatan waktu dan keyakinan. Tujuannya


adalah berhasil melakukan intubasi pada usaha yang pertama,
karena pengulangan tindakan meningkatkan risiko bagi pasien dan
petugas kesehatan. Jangan terburu-buru, tetapi melakukan setiap
tindakan sebaik mungkin.

o Gunakan teknik yang paling efektif untuk dilakukan, termasuk jika


terjadi kesulitan intubasi. Pilihan teknik tergantung ketersediaan
alat dan obat dilapangan, hal ini meliputi:

§ Preoksigenasi dengan facemask yang sesuai dan mapleson C


(‘waters’) atau sirkuit anestesi selama 3-5 menit.

§ Videolaryngoscope untuk intubasi endotrakeal.

§ Gunakan 2 orang, 2 tangan saat ventilasi dengan facemask


dengan cara VE-grip untuk memperketat posisi facemask.

§ Untuk rescue airway gunakan SGA generasi kedua, hal ini juga
akan memperbaiki penutup dan mengurangi kebocoran.

• Pasang filter HME antara ujung kateter dan sirkuit sepanjang waktu. Jaga
agar tetap kering untuk mencegah terjadinya sumbatan.

• Hindari tindakan yang menyebabkan terjadinya aerosol, seperti high flow


nasal oxygen, ventilasi non invasif, bronkoskopi dan suction trakea, kecuali
jika menggunakan sistem suction tertutup.

• Gunakan monitoring lengkap termasuk capnograph: sebelum, selama dan


sesudah intubasi endotrakeal.

• Gunakan RSI dengan penekanan krikoid jika asisten terlatih dapat


melakukannya. Tapi lepaskan jika menyulitkan intubasi.

• Untuk menghindari kolaps kardiovaskuler, gunakan ketamin 1-2 mg/kgBB,


rocuronium 1.2 mg/kgBB atau suksametoneum 1,5 mg/kgBB.

• Berikan vasopresor secara bolus atau infus segera untuk mencegah


hipotensi.

• Pastikan pelumpuh otot bekerja maksimal sebelum melakukan intubasi


endorakeal.

• Hindari ventilasi dengan facemask, kecuali jika diperlukan dan gunakan 2


orang, aliran rendah, teknik tekanan rendah jika diperlukan.

• Intubasi menggunakan endotracheal tube ukuran 7.0-7.5 mm (ID) pada


wanita dan 7.5-8.0 mm (ID) pada laki-laki. Jika memungkinkan gunakan
endotracheal tube dengan port suction subglotik.

• Lewatkan endotracheal tube 1-2 cm di bawah plica vocalis untuk


menghindari intubasi bronkial. Memastikan kedalaman endotracheal tube
akan sulit saat menggunakan APD.

• Kembangkan balon cuff untuk menutup jalan napas sebelum mulai


melakukan ventilasi. Ingat dan catat kedalaman endotracheal tube.

• Konfirmasi keberhasilan intubasi endotrakeal melalui gelombang pada


capnograph, yang muncul bahkan pada kasus henti jantung.

• Gunakan algoritme standar jika terjadi kegagalan intubasi disertai akat


bantu kognitif jika diperlukan.

• Lakukan komunikasi secara jelas, instruksi sederhana, gunakan close loop


communication (ulang kembali instruksi yang diberimkan), suara keras
tanpa perlu berteriak.

• Pasang NGT setelah tindakan intubasi selesai dilakukan dan ventilasi


berlangsung aman.

• Jika pasien belum terkonfirmasi positif, ambil cairan dari dalam trakea
menggunakan suction tertutup untuk pemeriksaan virologi.

• Buang peralatan sekali pakai dengan aman setelah digunakan.


Dekontaminasi semua alat yang akan digunakan kembali sesuai dengan
intruksi.

• Setelah meninggalkan ruangan, lepaskan APD (‘doffing’) secara hati-hati.

• Bersihkan ruangan dalam waktu 20 menit setelah intubasi dilakukan (atau


setelah tindakan yang menyebabkan aerosol terakhir kali).

• Rekaman visual intubasi endotrakeal harus jelas terlihat dari ruangan


pasien,

• Jika terjadi kesulitan jalan napas, rencana tindakan selanjutnya harus


didiskusikan dan dikomunikasikan saat pergantian shift dinas.

Gambar 10. Checklist Intubasi Endotrakeal Emergensi.

Gambar 11. Intubasi Endotrakeal pada Pasien COVID-19.



Gambar 12. Algoritma Difficult Airway Management.


M. Penutup

Tatalaksana jalan napas pada pasien COVID-19 harus mempertimbangkan


keselamatan petugas dan pasien. Penggunaan APD harus secara hati-hati dan
tepat untuk mencegah kontaminasi. Akurasi sangat penting, dan petugas
kesehatan tidak boleh menggunakan teknik yang tidak valid, tidak familiar dan
pengulangan teknik saat tatalaksana jalan napas mengingat tindakan ini berisiko
tinggi menyebabkan terjadinya aerosol. Tatalaksanan jalan napas harus aman,
akurat dan cepat. Cepat dengan maksud pada waktunya, tidak terburu-buru dan
tidak terlambat.


RESUSITASI KARDIO PULMONER (RKP) PADA PASIEN
DENGAN PENYAKIT CURIGA INFEKSI COVID-19 ATAU
KASUS TERKONFIRMASI COVID-19

1. RKP dengan segera dilakukan pada pasien yang tidak berespon


(unresponsive) disertai dengan pola pernafasan yang tidak normal
(gasping).45

2. Perabaan denyut nadi karotis dalam mengidentifikasi henti jantung, hanya


dilakukan oleh petugas yang terlatih.

3. Tidak melakukan tindakan look, listen dan feel sebagai upaya dalam menilai
jalan nafas dan pernafasan pasien.

4. APD tingkat 3 yang disepakati secara nasional harus digunakan saat


melakukan penilaian terhadap pasien, kompresi dada, pemantauan irama
jantung pasien dan tindakan intervensi jalan nafas.

5. Seluruh anggota tim resusitasi/emergensi harus menggunakan APD tingkat


3 sebelum memasuki ruang tindakan.

6. Pada kondisi ketiadaan APD tingkat 3, tim resusitasi/emergensi dapat


menunda tatalaksana RKP pada pasien dengan COVID-19.

7. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penundaan, maka perlu untuk


mempersiapkan set APD tingkat 3 untuk persiapan resusitasi.

8. Setelah menggunakan set APD tingkat 3, RKP dimulai hanya dengan


kompresi dada.

9. Kompresi dada dilakukan sambil masker oksigen menutupi mulut dan


hidung pasien.

10. Memasang perangkat monitoring fungsi vital.

65
11. Tindakan intervensi jalan nafas (insersi supraglottic airway atau intubasi
endotrakeal) yang dilengkapi dengan filter HME, tanpa disertai kompresi
dada.

12. Tindakan ventilasi tekanan positif hanya dilakukan setelah melakukan


tindakan intervensi jalan nafas (supraglottic airway atau endotracheal tube
yang dilengkapi dengan filter HME).

13. Melakukan defibrilasi pada irama jantung yang shockable sebelum memulai
kompresi dada.

14. Identifikasi dan melakukan upaya penanganan terhadap semua penyebab


henti jantung yang bersifat reversibel (misal; hipoksemia berat) sebelum
memutuskan untuk menghentikan tindakan RKP.

15. RKP tidak disarankan pada pasien dengan kecurigaan COVID-19 atau kasus
terkonfirmasi COVID-19 dengan hipoksemia berat yang refrakter (Saturasi
oksigen <80% pada fraksi oksigen 100% dan PEEP >15).

66
TRANSPORTASI PASIEN COVID-19 INTRAHOSPITAL DAN
INTERHOSPITAL

Pedoman kementrian kesehatan menyatakan untuk menghindari membawa


dan memindahkan pasien COVID-19 keluar dari ruangan atau daerah isolasi
kecuali diperlukan secara medis. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah bila
menggunakan peralatan X-ray dan peralatan diagnostik portabel penting lainnya.
Jika diperlukan membawa pasien, gunakan rute yang dapat meminimalisir pajanan
terhadap petugas, pasien lain dan pengunjung (Pedoman). Transfer intrahospital
mungkin diperlukan dari ruangan instalasi gawat darurat (IGD) ke ruang rawat /
bangsal, dari ruangan biasa ke ruangan intensive care unit (ICU) dan ruangan
radiologi untuk pemeriksaan tambahan. Transfer interhospital mungkin
diperlukan untuk extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) apabila pasien
COVID-19 mengalami acute respiratory distress syndrome (ARDS) berat dalam
rumah sakit dengan fasilitas ventilasi standar. Selama episode transport pasien
diluar ruangan isolasi, terdapat potensi penyebaran infeksi. Pada waktu yang
bersamaan, ketika pasien COVID-19 terjadi perburukan selama transport,
manajemen menjadi tantangan tersendiri karena staf pendamping harus
menggunakan alat pelindung diri terstandarisasi.46

Mitigasi penyebaran COVID-19 merupakan suatu prioritas dan sebagai bagian


dari usaha ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan transport pasien yang aman
untuk pasien suspek atau konfirmasi. Petugas kesehatan yang mendampingi
transport pasien COVID-19 harus mengikuti beberapa prinsip sebagai berikut:46

1. Deteksi dini perburukan kondisi pasien

2. Keselamatan petugas kesehatan

3. Keselamatan pendamping pasien

4. Perencanaan apabila terjadi kondisi emergensi medis selama transportasi

5. Dekontaminasi pasca transport

67
Tabel 12. Transport pasien untuk COVID-19.46

Transport Intrahospital Transport Interhospital

IGD ke bangsal atau Transpor ke Untuk perawatan ICU


ICU, Bangsal ke ICU radiologi lanjut contohnya ECMO

Keselamatan Transfer dini untuk Gunakan Transfer dini untuk kasus


pasien kasus perburukan bedside USG perburukan
ke ICU untuk
Memiliki batasan jelas
meminimalkan
untuk transfer dan alur
kebutuhan
kerja untuk senter
scan
non-ECMO

• Untuk pasien perburukan, nilai kebutuhan intubasi sebelum


transport

• Didampingi minimal oleh seorang dokter dan perawat yang


dapat menangani kondisi emergensi selama transport

• Monitoring kontinu tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen

• Monitoring kontinu EtCO2 untuk pasien terintubasi

• Monitor transport harus dilengkapi fungsi defibrilasi atau


membawa defibrilasi terpisah jika diperlukan

Keselamatan • Seluruh petugas menggunakan • Staf menggunakan


petugas medis masker N95 masker N95 dan terlatih
dan staf untuk menggunakan
• Menggunakan APD lengkap
transport PPAR
• Memasang masker bedah pada
• Menggunakan APD
pasien
lengkap
• Hindari menggunakan sirkuit
• Gunakan baterai
pernafasan terbuka atau
cadangan untuk PPARs
high-flow nasal oxygenation

68
atau tekanan positif non invasif • Menggunakan filter
selama transport HEPA untuk ETT bila
bagging diperlukan
• Menggunakan filter HEPA
menggunakan bag-valve
untuk ETT bila bagging
mask
diperlukan menggunakan
bag-valve mask • Menggunakan filter
HEPA untuk expiratory
• Menggunakan filter HEPA
limbs dari sirkuit
untuk expiratory limbs dari
pernafasan pada
sirkuit pernafasan pada
ventilator
ventilator
• Minimalisasi diskoneksi
• Hindari diskoneksi tidak
ETT
penting pada sirkuit pernafasan
selama transport • Buka jendela ambulans
bila memungkinkan
• Lakukan scanning pada jam
akhir pelayanan agar
setelahnya ruang radiologi
dapat dibersihkan

Keselamatan • Menggunakan rute transportasi yang telah direncanakan


pendamping
• Petugas keamanan memandu dan memastikan keamanan
pasien
pendamping selama rute transport bersama tim transport
pasien

• Petugas keamanan menggunakan masker bedah

Kondisi • Periksa apakah membutuhkan intubasi sebelum transport.


emergensi Intubasi baik dilakukan di ICU dalam kondisi terkontrol
medis selama dengan petugas medis menggunakan APD lengkap
transportasi
• Menyiapkan perlengkapan dan obat untuk emergensi medis
seperti henti jantung atau hipotensi

69
• Bagging dengan lembut menggunakan BVM untuk mengurangi
aerosolisasi pada kondisi hipoksemia. BVM sebaiknya dilapisi
filter HEPA

Dekontaminasi • Tim pembersih yang terpilih • Tim pembersih yang


pasca menggunakan APD untuk terpilih menggunakan
transportasi melakukan pembersihan pada APD untuk melakukan
rute dan elevator setelah pembersihan pada rute
transport pasien dan elevator setelah
transport pasien
• Melepas APD setelah transport
• Melepas APD dan PAPR
setelah transport

• Disinfeksi PAPR dengan


alkohol

• Staf menggunakan APD


baru untuk perjalanan
pulang dengan ambulan
yang sama

• Staf melepas APD pada


area klinis terdekat
seperti parker ambulans
saat kedatangan pulang

• Membersihkan ambulan
setelah pulang dari
rumah sakit rujukan

Keterangan: APD = alat pelindung diri; BVM = bag-valve mask; ECMO = extracorporeal membrane
oxygenation; ETT = endotracheal tube; HEPA = high efficiency particulate air; ICU = intensive care
unit; PAPR = powered air-purifying respirator; USG = ultrasonography.

70
Langkah spesifik membutuhkan desain zona untuk transport, persediaan APD
yang cukup, pelatihan staf medis dan bantuan personel lain seperti petugas
keamanan dan petugas kebersihan. PAPRs yang ditambahkan diatas penggunaan
N95 harus digunakan untuk kasus dengan risiko tinggi seperti kondisi yang
membutuhkan transportasi ambulan untuk ke pusat ECMO.46 Pastikan bahwa
petugas kesehatan yang membawa/mengangkut pasien harus memakai APD yang
sesuai dengan antisipasi potensi pajanan dan membersihkan tangan sesudah
melakukannya. Sebelum transfer pasien pastikan untuk memberi tahu daerah/unit
penerima agar dapat menyiapkan kewaspadaan pengendalian infeksi sebelum
kedatangan pasien. Bersihkan dan disinfeksi permukaan peralatan (misalnya
tempat tidur) yang bersentuhan dengan pasien setelah digunakan. Semua orang
yang masuk kamar pasien (termasuk pengunjung) harus dicatat (untuk tujuan
penelusuran kontak).47,48 Untuk mencegah aspirasi selama transport pasien
sebaiknya sebelum transportasi, hentikan nasal feeding, aspirasi residu gaster dan
hubungan tube gaster ke pembungkus bertekanan negatif. Selama transportasi
lakukan elevasi kepala 30o pada pasien.49

Berdasarkan pedoman dari kemenkes RI berikut protokol penyiapan


transportasi untuk rujukan ke RS rujukan:47

1. Menghubungi RS rujukan untuk memberi informasi pasien dalam


pengawasan yang akan dirujuk

2. Petugas yang akan melakukan rujukan harus secara rutin menerapkan


kebersihan tangan dan mengenakan masker dan sarung tangan medis
ketika membawa pasien ke ambulans

a. Jika merujuk pasien dalam pengawasan COVID-19 maka petugas


menerapkan kewaspadaan kontak, droplet dan airborne

b. APD harus diganti setiap menangani pasien yang berbeda dan


dibuang dengan benar dalam wabah dengan penutup sesuai dengan
peraturan nasional tentang limbah infeksius

71
3. Pengemudi ambulans harus terpisah dari kasus (jaga jarak minimal satu
meter). Tidak diperlukan APD jika jarak dapat dipertahankan. Bila
pengemudi juga harus membantu memindahkan pasien ke ambulans, maka
pengemudi harus menggunakan APD yang sesuai.

4. Pengemudi dan perawat pendamping rujukan harus sering membersihkan


tangan dengan alkohol dan sabun

5. Ambulans atau kendaraan angkut harus dibersihkan dan didesinfeksi


dengan perhatian khusus pada area yang bersentuhan dengan pasien dalam
pengawasan. Pembersihan menggunakan desinfektan yang mengandung
0.5% natrium hipoklorit (yaitu setara dengan 5000 ppm) dengan
perbandingan 1 bagian disinfektan untuk 9 bagian air.

Setelah melakukan transportasi lakukan disinfektan pada alat transport


dengan:49

1. Alat transportasi khusus harus digunakan secara khusus untuk mengangkut


kain terinfeksi

2. Alat-alat harus segera didisinfeksi segera setiap kali setelah digunakan


untuk transport

3. Alat transport harus dibersihkan dengan disinfektan mengandung klorin


(dengan 1000 mg/L klorin aktif). Biarkan disinfektan selama 30 menit
sebelum membersihkan alat pembersih dengan air bersih

Penyebaran global yang semakin meluas dari COVID-19 semakin mendorong


pentingnya peran rumah sakit dalam penanganan kasus ini. Transportasi kasus
terinfeksi yang tidak baik dapat menyebabkan penyebaran nosokomial dan
menghambat pemutusan rantai penyebaran.46

72

Gambar 13. Contoh Ambulans Transport dengan Tandu Isolasi.

Gambar 14. Contoh Ambulans Transport dengan Tandu Isolasi.

73

Gambar 15. Ambulans yang terpisah dengan pengemudi dan penderita dengan barrier
plastik.

Gambar 16. Ambulans yang terpisah dengan pengemudi dan penderita dengan barrier
plastik.

74
REKOMENDASI PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI
(APD)

COVID-19 merupakan penyakit saluran napas akut yang disebabkan oleh


infeksi novel Coronavirus (SARS-CoV-2) yang menular melalui droplet dan aerosol.
Saat ini, COVID-19 telah menjadi pandemi dan masalah global, termasuk di
Indonesia. Hal ini merupakan tantangan bagi petugas kesehatan yang rentan
terinfeksi. Untuk mencegah penularan penyakit ini, dokter anestesi sebagai salah
satu garda terdepan penanganan pasien COVID-19, mulai dari ruang gawat darurat,
kamar operasi, hingga perawwatan intensif. Oleh karena itu, dokter anestesi harus
mengetahui standar penggunaan APD yang baik dan benar setiap melakukan
pelayanan. Berikut ini adalah standar penggunaan APD yang direkomendasikan
oleh Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Maret 2020.50

1. Gown coverall

Bahan gaun yang digunakan kembali (reusable) terbuat dari poliester atau
kain katun-poliester. Gaun yang terbuat dari kain ini dapat dicuci dengan aman
sesuai prosedur rutin dan digunakan kembali. Harus dipastikan untuk tidak
menyentuh permukaan luar gaun selama perawatan.

Gambar 17. Contoh gown coverall.

2. Masker

75
a. Masker Bedah 3 Ply (Surgical Mask 3 Ply)

Masker bedah memiliki 3 lapisan (layers) yaitu lapisan luar kain tanpa
anyaman kedap air, lapisan dalam yang merupakan lapisan filter densitas tinggi
dan lapisan dalam yang menempel langsung dengan kulit yang berfungsi sebagai
penyerap cairan berukuran besar yang keluar dari pemakai ketika batuk maupun
bersin.

Gambar 18. Tiga lapisan masker bedah. 50

b. Masker N95

Masker N95 adalah masker yang lazim dibicarakan dan merupakan


kelompok masker Filtering Facepiece Respirator (FFR) sekali pakai (disposable).
Kelompok jenis masker ini memiliki kelebihan tidak hanya melindungi pemakai
dari paparan cairan dengan ukuran droplet, tapi juga hingga cairan berukuran
aerosol. Masker jenis ini pun memiliki face seal fit yang ketat sehingga mendukung
pemakai terhindar dari paparan aerosol asalkan seal fit dipastikan terpasang
dengan benar. Masker Filtering Facepiece Respirator (FFR) yang ekuivalen dengan
N95 yaitu FFP2 (EN 149- 2001, Eropa), KN95 (GB2626-2006, China), P2 (AS/NZA
1716:2012, Australia/New Zealand), KF94 (KMOEL-2017-64, Korea), DS
(JMHLW-Notification 214,2018, Jepang).

3. Pelindung Mata (Google dan Face Shield)

Pelindung mata (eye protector) adalah salah satu jenis alat perlindungan diri
(APD) yang diperlukan untuk melindungi mata dari paparan bahan kimia

76
berbahaya, percikan darah dan cairan tubuh, uap panas, sinar ultraviolet (UV)
maupun pecahan kaca. Terdapat beberapa jenis pelindung mata yaitu Google, Face
shield, kacamata pelindung (safety glass), dan respirator seluruh muka (Full-face
respirators). Standar untuk pelindung mata harus minimal sesuai dengan arahan
standar UE 86/686/ EEC, EN 166/2002 atau ANSI / ISEA z87.1-2020.

Gambar 19. Contoh google.


4. Headcap

Tujuan dari penutup kepala adalah untuk melindungi kulit kepala dan leher
serta rambut dari kontaminasi virus dan kemungkinan penularan tidak dikenal
berikutnya ke mukosa mata, hidung atau mulut. Rambut dan ekstensi rambut
harus pas di dalam penutup kepala.

Spesifikasi dari penutup kepala:

a. Sekali pakai
b. Tahan cairan
c. Dapat disesuaikan dan tidak mudah bergerak setelah disesuaikan
d. Terdapat bagian terbuka (bagian wajah) yang tidak elastis. Selain
menutupi wajah, panjang bagian ini adalah mencapai bagian atas gaun.

77

Gambar 20. Contoh headcap.

5. Boot

Penggunaan sepatu boot karet:

a. Memberikan perlindungan optimal ketika lantai basah


b. Melindungi dari cedera benda tajam di ruang perawatan atau operasi
c. Mudah dibersihkan dan disinfektan

Gambar 21. Contoh sepatu boot.

Spesifikasi teknis:

a. Nonslip, memiliki sol PVC yang sepenuhnya tersegel


b. Berukuran lebih tinggi dari tepi bawah gaun
c. Warna terang dapat mendeteksi kemungkinan kontaminasi
d. Terdapat berbagai ukuran untuk meningkatkan kenyamanan dan
menghindari trauma pada kaki

78
Adapun rekomendasi mengenai standar penggunaan APD berdasarkan lokasi
dan prosedur tindakan antara lain sebagai berikut:

1. Tingkat 1

Lokasi/Cakupan:

a. Triase pra-pemeriksaan, poliklinik


b. Kegiatan yang tidak menimbulkan aerosol

Standar penggunaan APD:

a. Masker bedah 3 ply


b. Baju kerja
c. Sarung tangan karet sekali pakai

Gambar 22. APD tingkat 1. 50

2. Tingkat 2

Lokasi/Cakupan:

a. Ruang perawatan pasien/UGD post-triase

79
b. Kegiatan yang tidak menimbulkan aerosol

Standar penggunaan APD:

a. Pelindung mata
b. Penutup kepala
c. Masker bedah 3 ply
d. Gown
e. Sarung tangan karet sekali pakai

Gambar 23. APD tingkat 2. 50

3. Tingkat 3

Lokasi/Cakupan:

a. Ruang prosedur dan tindakan operasi pada pasien dengan kecurigaan atau
sudah terkonfirmasi COVID-19
b. Kegiatan yang menimbulkan aerosol

Standar penggunaan APD:

80
a. Pelindung mata dan face shield
b. Penutup kepala/headcap
c. Gown all-cover dan apron
d. Masker N95 atau ekuivalen
e. Sarung tangan bedah karet steril sekali pakai
f. Boots

Gambar 24. APD tingkat 3. 50

81


Gambar 25. Prosedur pemasangan APD. 51


Gambar 26. Prosedur pelepasan APD. 51

82

Gambar 27. Protokol pemakaian APD untuk menangani pasien COVID-19. 51

83

Gambar 28. Protokol pelepasan APD setelah menangani pasien COVID-19. 51

84
DAFTAR PUSTAKA

1. Wang C, Horby PW, Hayden FG, Gao GF. A novel coronavirus outbreak of
global health concern. Lancet. 2020;395:470–3.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. COVID-19. 2020 [cited 2020
Apr 5].
3. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, Yang B, Song J, et al. A Novel Coronavirus from
Patients with Pneumonia in China, 2019. N Engl J Med. 2020;2019–20.
4. WHO. Coronavirus disease (COVID-19) Situation Dashboard Geneva: World
Health Organization. 2020 [cited 2020 Apr 5].
5. Sun Q, Qiu H, Huang M, Yang Y. Lower mortality of COVID-19 by early
recognition and intervention: experience from Jiangsu Province. Ann
Intensive Care. Springer International Publishing; 2020;10(1):2–5.
6. Li D, Wang D, Dong J, Wang N, Huang H, Xu H, et al. False-negative results of
real-time reverse-transcriptase polymerase chain reaction for severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2: Role of deep-learning-based ct
diagnosis and insights from two cases. Korean J Radiol. 2020;21(4):505–8.
7. Li Z, Yi Y, Luo X, Xiong N, Liu Y, Li S, et al. Development and Clinical
Application of A Rapid IgM-IgG Combined Antibody Test for SARS-CoV-2
Infection Diagnosis. J Med Virol. 2020;1–16.
8. Aylward, Bruce; Liang W. Report of the WHO-China Joint Mission on
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). WHO-China Jt Mission Coronavirus
Dis 2019. 2020;16–24.
9. Emery SL, Erdman DD, Bowen MD, Newton BR, Winchell JM, Meyer RF, et al.
Real-Time Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction Assay for
SARS-associated Coronavirus. Emerg Infect Dis. 2004;10(2):311–6.
10. Kooraki S, Hosseiny M, Myers L, Gholamrezanezhad A. Coronavirus
(COVID-19) Outbreak: What the Department of Radiology Should Know. J Am
Coll Radiol. Elsevier Inc; 2020;17(4):447–51.
11. NHC. Diagnosis and Treatment Protocol for Novel Coronavirus Pneumonia.
Natl Heal Comm State Adm Tradit Chinese Med. 2020;1–17.
12. Lauer SA, Grantz KH, Bi Q, Jones FK, Zheng Q, Meredith HR, et al. The
Incubation Period of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) From Publicly
Reported Confirmed Cases: Estimation and Application. Ann Intern Med.
2020;1–7.
13. Song C-Y, Xu J, He J-Q, Lu Y-Q. COVID-19 early warning score: a
multi-parameter screening tool to identify highly suspected patients.
medRxiv. 2020;1–22.

85
14. Upchurch CP, Grijalva CG, Wunderink RG, Williams DJ, Waterer GW, Anderson
EJ, et al. Community-Acquired Pneumonia Visualized on CT Scans but Not
Chest Radiographs. Chest. 2018;153(3):601–10.
15. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons from the
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a
Report of 72314 Cases from the Chinese Center for Disease Control and
Prevention. JAMA - J Am Med Assoc. 2020;E1–4.
16. Mathukia C, Fan W, Vadyak K, Biege C, Krishnamurthy M. Modified Early
Warning System improves patient safety and clinical outcomes in an
academic community hospital. J Community Hosp Intern Med Perspect.
2015;5(2):1–6.
17. Guan W, Ni Z, Hu Y, Liang W, Ou C, He J, et al. Clinical Characteristics of
Coronavirus Disease 2019 in China. N Engl J Med. 2020;1–13.
18. WHO. Landscape analysis of COVID therapeutics as 21 March 2020. Geneva:
World Health Organization. 2020 [cited 2020 Apr 5].
19. Ding L, Wang L, Ma W, He H. Efficacy and safety of early prone positioning
combined with HFNC or NIV in moderate to severe ARDS: A multi-center
prospective cohort study. Crit Care. Critical Care; 2020;24(1):1–8.
20. WHO, Organization WH. Clinical management of severe acute respiratory
infection when novel coronavirus (2019-nCoV) infection is suspected.
Geneva: World Health Organization; 2020.
21. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M,
et al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3). Jama. 2016;315(8).
22. Alhazzani W, Moller MH, Arabi YM, Loeb M, Gong MN, Fan E, et al. Surviving
Sepsis Campaign: Guidelines on the Management of Critically Ill Adults with
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Crit Care Med. 2020/04/01. 2020;
23. Nair AS, Naik VM, Rayani BK. FAST HUGS BID: Modified Mnemonic for
Surgical Patient. Indian J Crit Care Med. 2017/11/17. 2017;21(10):713–4.
24. Silversides JA, Major E, Ferguson AJ, Mann EE, McAuley DF, Marshall JC, et al.
Conservative fluid management or deresuscitation for patients with sepsis or
acute respiratory distress syndrome following the resuscitation phase of
critical illness: a systematic review and meta-analysis. Intensive Care Med.
2016;43(2):155–70.
25. Jung YT, Park JY, Jeon J, Kim MJ, Lee SH, Lee JG. Association of Inadequate
Caloric Supplementation with 30-Day Mortality in Critically Ill Postoperative
Patients with High Modified NUTRIC Score. Nutrients. 2018/11/02.
2018;10(11).
26. Amin P. Nutrition support. In: Chawla R, Todi S, editors. ICU protocol. India:
Springer; 2012. p. 341–7.

86
27. Howard P. Basics in clinical nutrition: Enteral nutrition. E Spen Eur E J Clin
Nutr Metab. 2009;4(5):e223–5.
28. Taylor B, Brody R, Denmark R, Southard R, Byham-Gray L. Improving Enteral
Delivery Through the Adoption of the “Feed Early Enteral Diet Adequately for
Maximum Effect (FEED ME)” Protocol in a Surgical Trauma ICU. Nutr Clin
Pract. 2014;29(5):639–48.
29. Nies RJ, Mü ller C, Pfister R, Binder PS, Nosseir N, Nettersheim FS, et al.
Monitoring of sedation depth in intensive care unit by therapeutic drug
monitoring? A prospective observation study of medical intensive care
patients. J Intensive Care. 2018;6(1).
30. Devabhakthuni S, Armahizer MJ, Dasta JF, Kane-Gill SL. Analgosedation: A
Paradigm Shift in Intensive Care Unit Sedation Practice. Ann Pharmacother.
2012;46(4):530–40.
31. Stephens RJ, Ablordeppey E, Drewry AM, Palmer C, Wessman BT, Mohr NM,
et al. Analgosedation Practices and the Impact of Sedation Depth on Clinical
Outcomes Among Patients Requiring Mechanical Ventilation in the ED. Chest.
2017;152(5):963–71.
32. Russell B, Moss C, Rigg A, Van Hemelrijck M. COVID-19 and treatment with
NSAIDs and corticosteroids: should we be limiting their use in the clinical
setting? Ecancermedicalscience. 2020;14.
33. Sills J, FitzGerald GA. Misguided drug advice for COVID-19. Science (80- ).
2020;367(6485):1434.1-1434.
34. Han JH, Vasilevskis EE, Schnelle JF, Shintani A, Dittus RS, Wilson A, et al. The
Diagnostic Performance of the Richmond Agitation Sedation Scale for
Detecting Delirium in Older Emergency Department Patients. Acad Emerg
Med. 2015;22(7):878–82.
35. Chiumello D, Cozzi OF, Mistraletti G. Sedation in ARDS: An Evidence-Based
Challenge. In: Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine
2017. 2017. p. 263–76.
36. Shah FA, Girard TD, Yende S. Limiting sedation for patients with acute
respiratory distress syndrome – time to wake up. Curr Opin Crit Care.
2017;23(1):45–51.
37. Hopkins RO, Suchyta MR, Snow GL, Jephson A, Weaver LK, Orme JF. Blood
glucose dysregulation and cognitive outcome in ARDS survivors. Brain Inj.
2010;24(12):1478–84.
38. NIH-NHLBI. ARDSnet Mechanical Ventilation Protocol Summary.
Massachusetts: National Institutes of Health - National Heart, Lung, and
Blood Institute - ARDS network;
39. Warren D, Kent B. Determining the impact of a bowel management protocol
on patients and clinicians’ compliance in cardiac intensive care: A mixed-

87
methods approach. J Clin Nurs. 2018;28(1–2):89–103.
40. Govindan S, Hyzy RC. The 2016 guidelines for hospital-acquired and
ventilator-associated pneumonia: A selection correction? Am J Respir Crit
Care Med. 2016;194(6):658–60.
41. Meng L, Qiu H, Wan L, Ai Y, Xue Z, Guo Q, et al. Intubation and Ventilation
amid the COVID-19 Outbreak: Wuhan’s Experience. Anesthesiology. 2020;1–
17.
42. Brewster DJ, Chrimes NC, Do TBT, Fraser K, Chris J, Newman FG, et al.
Consensus statement: Safe Airway Society principles of airway management
and tracheal intubation specific to the COVID-19 adult patient group. Med J
Aust. 2020;1–36.
43. Cook TM, El-Boghdadly K, McGuire B, McNarry AF, Patel A, Higgs A.
Consensus guidelines for managing the airway in patients with COVID-19.
Anaesthesia. 2020;1–15.
44. Australian Society of Anaesthetists. Anaesthesia and caring for patients
during the COVID-19 outbreak. Aust Soc Anaesth. 2020;1–8.
45. Resuscitation Council UK. Resuscitation Council UK Statement on COVID-19
in relation to CPR and resuscitation in acute hospital settings. 2020;
46. Liew MF, Siow WT, Yau YW, See KC. Safe patient transport for COVID-19. BMC.
Critical Care; 2020;24(94):1–3.
47. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pencegahan dan pengendalian
coronavirus disease (COVID-19) revisi ke-4 1. 2020.
48. WHO. Hospital Readiness Checklist for COVID-19. WHO Europe. 2020;
49. LIANG T. Handbook of COVID-19 Prevention and Treatment. FAHZU. 2020;
50. Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Maret 2020. Rekomendasi Standar
Penggunaan APD untuk Penanganan COVID-10 di Indonesia. :1–27.
51. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD)
dalam Menghadapi Wabah COVID-19. Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan; 2020.

88

Anda mungkin juga menyukai