Anda di halaman 1dari 4

Bisnis Syariah mampu menghasilkan profit keberkahan dan

membangun ekonomi masyarakat


Al-Qur’an adalah Firman ALLAH SWT dan sumber ajaran Islam. Kitab suci
menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keIslaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu umat Islam sepanjang empat belas
abad lebih sejarah pergerakan umat ini. Al-Qur’an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan
tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang
ditelan masa dan waktu. Begitu juga Pengembannya, islam tidak pernah lepas dari kehidupan
dan aktivitas kehidupan sehari-hari salah satunya bermuamalah. Bermuamalah adalah bagian
dari ajaran islam yang sangat banyak dijelaskan dalam Al-Quran yaitu Salah satu aktivitas
muamalah yang sudah dipaktekkan di masa Nabi dan Ummat Nabi. Mengingat
perkembangan jaman, bermuamalah atau istilah yang sering digunakan sekarang berbisnis
atau berwirausaha sudah menjadi tuntutan kebutuhan. Bisnis menjadi perlombaan dalam
meraih keuntungan dan banyak lahir istilah yang sejenisnya dengan keanekaraman kemajuan
teknlogi dan gagasan terbaru. Islam tidak membatasi berbisnis apalagi mengekang
perdagangan tetapi sangat dianjurkan mengikuti rambu-rambu dalam bertransaksi. Jika bisnis
menjadi berkah harus mentauladani pembisnis masa klasik yaitu Nabi khususnya nabi terahir
yaitu Nabi Muhammad SAW. Nabi menjadi Tauladan dalam bermuamalah secara syariah.
Dengan meningkatnya ketaatan kepada ALLAH yang melahirkan keimanan dan
menenangkan hati menjadi solusi berekonomi masa kini.

Kemudian Selama ini banyak orang memahami bisnis adalah bisnis, yang tujuan
utamanya memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Hukum ekonomi klasik
konvensional yang mengendalikan modal sekecil mungkin dan mengeruk keuntungan sebesar
mungkin telah menjadikan para ‘pelaku bisnis’ menghalalkan segala cara untuk meraih
keuntungan, mulai dari cara memperoleh bahan baku, bahan yang digunakan, tempat
produksi, tenaga kerja, pengelolaannya, dan pemasarannya dilakukan seefektif dan seefesien
mungkin. Hal ini tidak mengherankan jika para pelaku bisnis jarang memperhatikan
tanggungjawab sosial dan mengabaikan etika bisnis. Etika bisnis dalam studi Islam selama ini
kajiannya lebih didasarkan pada al-Qur’an. Padahal Nabi Muhammad dalam tinjauan sejarah
dikenal sebagai pelaku bisnis yang sukses, sehingga kajian tentang etika bisnis perlu melihat
perilaku bisnis Muhammad semasa hidupnya. Mental pekerja keras Nabi Muhammad
dibentuk sejak masa kecil sewaktu diasuh Halimah Assa’diyah hingga dewasa. Bersama
anak-anak Halimah, Muhammad yang saat itu berusia 4 tahun menggembala kambing.
Pengalaman ini yang kemudian ia jadikan sebagai pekerjaan penggembala kambing-kambing
milik penduduk Makkah. Pengalaman Muhammad merupakan hasil terpaan pergulatannya
dengan kehidupan masyarakat Jahiliyyah. Sejak usia 12 tahun Muhammad memiliki
kecenderungan berbisnis. Ia pernah melakukan perjalanan ke Syam bersama pamannya, Abu
Thalib. Ia juga mengunjungi pasar-pasar dan festival perdagangan, seperti di pasar Ukaz,
Majinna, Dzul Majaz dan tempat lainnya. Gelar al-Amīn bagi dirinya yang waktu itu ia masih
muda semakin menambah para pembisnis lain untuk membangun jaringan bersamanya, baik
ketika ia menjadi karyawan Khadijah maupun menjadi suaminya. Kesibukan sehari-harinya
mengantarkan Muhammad menjadi pelaku bisnis yang profesional dengan
mempertimbangkan etika bisnis yang diyakininya. Profesi ini ditekuni Nabi Muhammad
hingga ia berusia 40 tahun, sejak ia resmi menjadi rasul.

Dunia usaha atau yang lebih dikenal dengan kata bisnis, merupakan dunia yang paling
ramai dibicarakan. Karena beberapa orang terkaya yang kita sering dengar seperti Bill Gates,
Warren Buffet, Carlos Slim, dan lain sebagainya datang dari kalangan pembisnis. Begitu juga
di Indonesia, kekayaan dikuasai oleh para pembisnis seperti Abu Rizal Bakry, Antoni Salim,
Chairul Tandjung, dan lain-lain. Sesuai dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
fakta ini menunjukkan bahwa berbisnis merupakan pintu utama rezeki. Selain itu, merujuk
pada sejarah, profesi bisnis adalah profesi yang mulia, sebagian besar Nabi Allah merupakan
pembisnis, termasuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang
berusaha melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata bisnis dari bahasa
inggris (business), dengan kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu,
komunitas, ataupun masyarakat. Dengan arti lain, bisnis itu identik dengan ’sibuk’
mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Secara
terminologi, menurut Skinner, bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang yang saling
menguntungkan atau memberi manfaat. Sedangkan, Straub & Attner mendefenisikan bisnis
sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa
yang diinginkan oleh konsumen untuk mendapatkan profit.
Dalam Islam, secara etimologi kata bisnis berarti identik dengan al-tijarah, al-
bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam
bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna
berdagang atau berniaga.  At-tijaratun walmutjar  yaitu perdagangan, perniagaan. Menurut
Ar-Raghib al-Asfahan at-tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari
keuntungan. Secara terminologi, menurut Yusanto & Wijaya Kusuma bisnis Islami adalah
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah
kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara
memperolehnya dan pendayagunaan hartanya disebabkan aturan halal dan haram.

Berbisnis atau melakukan aktivitas bisnis merupakan suatu jalan ’halal’ yang dapat
dilakukan seorang muslim untuk memperoleh rezeki guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bisnis termasuk dalam golongan muamalah dalam Islam. Ketika membahas tentang
muamalah, maka tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah syara’ yang telah ditetapkan ulama
terdahulu. Para ulama dan fuqaha, dalam menetapkan hukum menyangkut masalah-masalah
muamalah, selalu mendasarkan ketetapannya dengan suatu prinsip pokok bahwa ’ segala
sesuatu asalnya mubah (boleh). Suatu aktivitas muamalah akan menjadi haram dilakukan jika
terdapat dasar dalil yang mengharamkan aktifitas tersebut.

Pandangan lain adalah paradigma bisnis dalam Islam bahwa Allah SWT adalah
pemilik segala sumber daya yang ada di dunia, sedangkan manusia (sebagai pelaku bisnis)
berkedudukan sebagai pemegang amanah yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengelola
sumber daya. Tugas pengembanan  amanah ini termasuk tugas ibadah kepada Allah dalam
bentuk pelaksanaan kegiatan bisnis. Oleh karena itu, tujuan yang dikandung di dalam
menjalankan bisnis di dunia adalah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang yaitu
kehidupan yang abadi di akherat. Artinya, bahwa hal yang melatarbelakangi berjalannya
suatu bisnis adalah karena niat beribadah muamalah, berlandaskan tauhid dan pengabdian
kepada Allah melalui usaha memberikan manfaat positif bagi kemaslahatan manusia.
Terdapat 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan bisnis syariah, yaitu :
Pertama, Bisnis dilakukan tidak hanya sekedar mencari untung sendirian, tetapi bisnis juga
mencari dan menginginkan tercapainya tujuan lain yang secara teori dibutuhkan dalam
rangka kelangsungan dan eksistensi secara berkelanjutan atau untuk jangka panjang. Hal
yang berorientasi pada tujuan untuk menjawab persoalan-persoalan umat manusia pada
umumnya, yaitu mencapai tujuan kesejahteraan hidup secara ekonomi dan sosial. Kedua,
Mendirikan bisnis sebagai lahan beribadah mu’amalah mencari ridha Allah subhanahu wa
ta'ala yang sesuai dengan amanah yang diemban manusia untuk memelihara bumi. Ketiga,
Fokus pada tujuan optimal. Orientasi tujuan keuntungan optimal adalah tujuan jangka
panjang dan dilakukan dengan cara penggunaan sumber daya ekonomi yang benar dan logis
setelah memenuhi kebutuhan dan keinginan pihak Stakeholder. Stake holder utama dalam
bisnis Islam adalah Allah. Stake holder lain : pemilik modal, pemilik SDM Pemilik sumber
daya, pemerintah, lembaga sosial, konsumen dll. Mereka ini amat layak menerima alokasi
sumber daya secara optimal dari sistem bisnis yang melakukan tranformasi dan pembentukan
nilai tambah dalam proses bisnis. Pendukung tercapainya keuntungan optimal, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat yang sebenarnya. Hal ini sangat penting
karena majunya bisnis ditentukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat konsumen.
Berdasarkan ketiga hal tersebut arah dan tujuan bisnis syariah adalah: i), Untuk
ibadah: pengelolaan bisnis diniatkan sebagai ibadah mu’amalah, ii) Kemaslahatan umat &
Ikut serta memecahkan masalah sosial, iii) Mendapat profit yang layak, iv) Menjaga
kelangsungan usaha, v) Pertumbuhan; artinya perkembangan aset di masa mendatang, serta
vi) Membangun citra yang baik di masyarakat dengan Menciptakan nilai tambah, manfaat
dan kesejahteraan. Maka ekonomi syariah mampu memberikan keadilan dalam pemenuhan
kebutuhan dan mengurangi masalah-maslah ekonomi bahkan menghapus kedzoliman dalam
kecurangan dalam berbisnis.

Anda mungkin juga menyukai