DISUSUN OLEH:
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi”.
Makalah ini kami susun dengan harapan agar dapat menambah pengetahuan tentang
konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Persepsi Sensori :
Halusinasi secara teori dan kasus. Dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari
konstribusi rekan-rekan Focus Group dan pembimbing. Untuk itu kami
menyampaikan rasa terima kasih kepada :
2.1 Ibu Ria Utami Panjaitan, SKp., M.Kep selaku koordinator mata ajar
Keperawatan Jiwa II, serta selaku fasilitator kelas A.
2.2 Rekan-rekan kelompok yang telah menyumbangkan ide dan pemikirannya
sehingga terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Demi
kesempurnaan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini bermanfaat.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
ii
2.3.2 Etiologi ....................................................................................... 23
2.3.3 Konsep Asuhan Keperawatan...................................................... 25
2.4 Konsep Dasar Perilaku Kekerasan............................................................ 28
2.4.1 Definisi ......................................................................................... 28
2.4.2 Etiologi ......................................................................................... 31
2.4.3 Tanda dan Gejala .......................................................................... 33
2.4.4 Mekanisme Koping....................................................................... 33
2.4.5 Konsep Asuhan Keperawatan........................................................ 35
2.5 Konsep Dasar Defisit Perawatan Diri........................................................ 42
1.5.1 Definisi ........................................................................................ 42
1.5.2 Etiologi ........................................................................................ 43
1.5.3 Tanda dan Gejala ......................................................................... 44
1.5.4 Klasifikasi Defisit Perawatan Diri ............................................... 44
1.5.5 Dampak Defisit Perawatan Diri Terhadap Pemenuhan................
Kebutuhan Dasar Manusia........................................................... 44
1.5.6 Konsep Asuhan Keperawatan ..................................................... 46
2.6 Konsep Dasar Terapi Aktitivitas Kelompok (TAK)................................. 47
2.6.1 Definisi ......................................................................................... 47
2.6.2 Rangkaian Aktivitas TAK ............................................................ 48
2.7 Konsep Dasar Terapi Psikofarmaka ......................................................... 61
2.7.1 Definisi .......................................................................................... 61
2.7.2 Jenis Obat Psikofarmaka ............................................................... 62
iii
3.2.5 Evaluasi ........................................................................... 82
LAMPIRAN
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan yang baik dan
tepat kepada klien dengan Skizofrenia Paranoid
1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu:
1.2.1.2 Menjelaskan dan memahami konsep dasar Skizofrenia
1.2.1.3 Menjelaskan dan memahami konsep dasar Halusinasi
1.2.1.3 Menjelaskan dan memahami konsep dasar Isolasi Sosial
1.2.1.4 Menjelaskan dan memahami konsep dasar Resiko Perilaku Kekerasan
1.2.1.5 Menjelaskan dan memahami konsep dasar Defisit Perawatan Diri
1.2.1.6 Menjelaskan dan memahami konsep dasar TAK dan Terapi
Psikofarmaka
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.2. Etiologi
Skizofrenia adalah gangguan perkembangan saraf otak, sampai saat ini
penyebabnya belum diketahui. Tetapi ada beberapa faktor predisposisi dan
faktor presipitasi yang menyebabkan skizofrenia (Stuart, 2016):
2.1.2.1. Faktor Predisposisi
2.1.2.1.1. Genetik
Pada penelitian didapat hasil bahwa anak kembar
indetik berisiko mengalami gangguan ini sebesar 50%,
sedang kembar fraternal hanya 15%. Anak yang
memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia
memiliki resiko 15% akan mengalami gangguan ini,
dan 35% jika kedua orang tua mengalami gangguan ini
(Videbeck,2008).
3
2.1.2.1.2. Neurobiologi
Dua hasil penelitian neurobiologis yang paling
konsisten dalam skizofrenia adalah penurunan volume
otak dan perubahan sistem neurotransmiter. Penurunan
volume otak terjadi pada gray matter dan white matter
(akson saraf) (Blows, 2011).
2.1.2.1.3. Teori Virus Dan Infeksi
Paparan virus influenza pada saat prenatal, terutama
selama trimester pertama, mungkin menjadi salah satu
faktor etiologi skizofrenia pada beberapa orang (Stuart,
2016).
4
Mencakup waham, halusinasi, gangguan pemikiran, bicara kacau,
perilaku bizar, afek tidak tepat.
2.1.3.2. Gejala Negatif
Sebuah penurunan atau hilangnya fungsi otak yang normal,
biasanya tidak responsif terhadap antipsikotik tradisional dan lebih
responsif terhadap antipsikotik tipikal.
2.1.3.3. Gejala Kognitif
Gangguan fungsi kognitif sering membuat orang dengan
menyadari bahwa ide-ide dan prilaku mereka berbeda dari orang
lain, gangguan ini meliputi sulit fokus, memori, mempengaruhi
fungsi eksekutif yang meliputi abstraksi, pembentukan konsep,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan.
2.1.3.4. Gejala Suasana Hati
Gejala ini meliputi disforia, bunuh diri, keputusasaan.
5
2.1.4.4. Skizofrenia Tipe Residual
Ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia sebelumnya,
tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat,dan
afek datar.
2.1.4.5. Skizofrenia Tipe Tidak Dapat Dibedakan
Ditandai dengan gejala-gejala skizofrenia campuran disertai
gangguan pikiran, afek, dan prilaku.
6
2.2.2. Etiologi
perkembangan skizofrenia.
2. Psikologis 2. Sumber koping
dan kondisi psikologis klien. Salah Perilaku yang mewakili upaya untuk
satu sikap atau keadaan yang dapat melindungi diri sendiri dari
7
3. Sosial – budaya
bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran
stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input
ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.
Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita
jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi – materi yang ada
halusinasi.
8
retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan
sebagai berikut:
9
adaptif diterima akal.
masyarakat.
2. Respon 1. Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam mengabstrakan dan
stimulus sensori.
orang-orang disekitarnya.
10
3. Respon 1. Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah
dan mengancam.
fasenya, yaitu:
11
Tahap 2 1. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan
kompleks
12
Terdapat 7 klasifikasi halusinasi menurut Stuart dan Laraia (2005), yaitu:
Klasifikasi Keterangan
1. Auditory Mendengar suara gaduh atau suara-suara, pada umumnya
monster.
3. Olfactory Bau busuk, tengik, anyir misalnya darah, urin, atau feses;
pembentukan urin.
7. Kinesthetic Sensasi bergerak walaupun sebenarnya hanya berdiri dan
13
2.2.6. Mekanisme Koping
With Drawal Menarik diri dan klien sudah asik dengan pengalaman
internalnya
Proyeksi Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan
Regresi Terjadi dalam hubungan sehari hari untuk memproses masalah
2.2.7. Penatalaksanaan
dengan cara:
permulaan dilakukan secara individu dan usahakan terjadi kontak mata jika
mengamati agar obat yang diberikan betul di telanya serta reaksi obat yang
diberikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada.
14
membantu mengatasi masalah yang ada.
4. Memberi aktifitas kepada pasien. Pasien diajak mengaktifkan diri untuk
pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang data pasien agar ada
2.2.8.1. Pengkajian
muncul adalah:
lingkungan)
15
2. Perubahan sensori : Halusinasi
16
obat pengalaman
halusinasinya tentang
6. Mengungkapkan
atau terkontrol
17
Adaptif
Maladaptif
18
rasa percaya bayi pada orang lain. Kegagalan pemenuhan
kebutuhan pada masa ini akan mengakibatkan rasa tidak
percaya pada diri sendiri dan orang lain serta perilaku
menarik diri.
2. Prasekolah Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan
(18 Bulan–5 lingkungan di luar keluarganya. Anak membutuhkan
Tahun) dukungan dan bantuan dari keluarga dalam hal pemberian
pengakuan yang positif terhadap perilaku anak yang adaptif
sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan
berhubungan yang dimilikinya. Hal tersebut merupakan
dasar rasa otonomi anak yang nantinya akan berkembang
menjadi kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan
anak dalam berhubungan dengan lingkungan dan disertai
respons keluarga yang negatif akan mengakibatkan anak
menjadi tidak mampu pengontrol diri, tidak mandiri, ragu,
menarik diri, kurang percaya diri, pesimis, dan takut
perilakunya salah.
3. Anak Sekolah Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada
(6–12 Tahun) lingkungan sekolah. Di usia ini anak akan mengenal kerja
sama, kompetisi, dan kompromi. Pergaulan dengan orang
dewasa di luar keluarga mempunyai arti penting karena
dapat menjadi sumber pendukung bagi anak. Hal itu
dibutuhkan karena konflik sering kali terjadi akibat adanya
pembatasan dan dukungan yang kurang konsisten dari
keluarga. Kegagalan membina hubungan dengan teman
sekolah, dukungan luar yang tidak adekuat, serta
inkonsistensi dari orang tua akan menimbulkan rasa frustasi
terhadap kemampuannya, merasa tidak mampu, putus asa,
dan menarik diri dari lingkungannya.
4. Remaja Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim
dengan teman sejenis atau lawan jenis dan teman seusia,
19
sehingga anak remaja biasanya mempunyai teman karib.
Hubungan dengan teman akan sangat dependen sedangkan
hubungan dengan orang tua mulai independen. Kegagalan
membina hubungan dengan teman sebaya dan kurangnya
dukungan orang tua akan mengakibatkan keraguan identitas,
ketidakmampuan mengidentifikasi karier di masa
mendatang, serta tumbuhnya rasa kurang percaya diri.
5. Dewasa Muda Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan
(18–25 Tahun) interdependen dengan orang tua dan teman sebaya. Individu
akan belajar mengambil keputusan dengan tetap
memperhatikan saran dan pendapat orang lain (pekerjaan,
karier, pasangan hidup). Selain itu, individu mampu
mengekspresikan perasaannnya, menerima perasaan orang
lain, dan meningkatnya kepekaan terhadap kebutuhan orang
lain. Oleh karenanya, akan berkembang suatu hubungan
mutualisme. Kegagalan individu pada fase ini akan
mengakibatkan suatu sikap menghindari hubungan intim
dan menjauhi orang lain.
6. Dewasa Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat
Tengah tinggal dengan orang tua. Individu akan mengembangkan
kemampuan hubungan interdependen yang dimilikinya. Bila
(25–65 Tahun)
berhasil akan diperoleh hubungan dan dukungan yang baru.
Kegagalan pada tahap ini akan mengakibatkan individu
hanya memperhatikan diri sendiri, produktivitas dan
kretivitas berkurang, serta perhatian pada orang lain
berkurang.
(Lebih dari 65 misalnya fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup, dan
20
menjadi sangat bergantung kepada orang lain. Individu yang
berkembang baik akan dapat menerima kehilangan yang
terjadi dalam kehidupannya dan mengakui bahwa dukungan
orang lain dapat membantu dalam menghadapi kehilangan
yang dialaminya. Kegagalan individu pada masa ini akan
mengakibatkan individu berperilaku menolak dukungan
yang ada dan akan berkembang menjadi perilaku menarik
diri.
2.3.2. Etiologi
Berbagai faktor bisa menimbulkan respons sosial yang maladaptif.
Walaupun banyak penelitian telah dilakukan pada gangguan yang
mempengaruhi hubungan interpersonal, tapi belum ada suatu kesimpulan
yang spesifik tentang penyebab gangguan ini. Mungkin saja disebabkan
oleh kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:
2.3.2.1. Faktor Predisposisi
2.3.2.1.1. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan,
akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai
masalah respons sosial maladaptif. Sistem keluarga
yang terganggu dapat menunjang perkembangan
respons sosial yang maladaptif. Beberapa masalah ini
adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya
dari orang tua. Norma keluarga mungkin tidak
mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain di
luar keluarga. Peran keluarga seringkali tidak jelas.
Orang-orang pecandu alkohol dan penganiaya anak
21
juga dapat mempengaruhi seseorang berespons sosial
maladaptif.
22
Dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit
keluarga dan berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.
2.3.2.2.2. Stressor Psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya.
Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau
kegagalan dengan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan
ansietas tinggi.
23
2. Menghindari orang lain, tampak menyendiri, dengan singkat
dan memisahkan diri dari orang lain. “ya”, “tidak”,
3. Komunikasi kurang/tidak ada, tidak tampak “tidak tahu”.
bercakap-cakap dengan orang lain. 2. Pasien tidak
4. Tidak ada kontak mata dan sering menunduk. menjawab sama
5. Berdiam diri di kamar. sekali.
6. Menolak berhubungan dengan orang lain,
memutuskan pembicaraan, atau pergi saat
diajak bercakap-cakap.
7. Tidak tampak melakukan kegiatan sehari-
hari, perawatan diri kurang, dan kegiatan
rumah tangga tidak dilakukan.
8. Posisi tidur meringkuk.
24
percaya
Tujuan: 2. Membantu pasien
Klien mampu membina hubungan menyadari perilaku isolasi
saling percaya, menyadari penyebab sosial
isolasi sosial dan berinteraksi dengan 3. Melatih pasien
orang lain. berinteraksi dengan orang
lain secara bertahap
2. Tindakan Keperawatan untuk 1. Menjelaskan mengenai
Keluarga dampak masalah,
penyebab, pengobatan
Tujuan: berkelanjutan, sikap
Keluarga mampu merawat klien keluarga menghadapi
isolasi sosial di rumah. klien dan tempat rujukan
bertanya serta faskes yang
tersedia untuk klien.
2. Memperagakan cara
berkomunikasi dengan
pasien.
3. Memberi kesempatan
kepada keluarga untuk
mempraktikkan cara
berkomunikasi dengan
pasien.
2.3.3.4. Evaluasi
Evaluasi kemampuan 1. Pasien menunjukkan rasa percayanya
pasien kepada saudara sebagai perawat dengan
ditandai pasien mau bekerja sama secara
aktif dalam melaksanakan program yang
saudara usulkan kepada pasien.
25
2. Pasien mengungkapkan hal-hal yang
menyebabkan tidak mau bergaul dengan
orang lain, kerugian tidak mau bergaul, dan
keuntungan bergaul dengan orang lain.
3. Pasien menunjukkan kemajuan dalam
berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap.
Evaluasi kemampuan Keluarga ikut bekerja sama merawat pasien
keluarga sesuai anjuran yang Anda berikan.
26
Proses terjadinya Marah:
27
Gambar proses Konsep Marah
(Beck, Rawlins, Williams, 1986 dikutip oleh Keliat dan Sinaga, 1991 dalam Yusuf,
2015)
Keterangan:
28
1. Asertif : Klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan kelegaan.
2. Frustasi : Klien gagal mencapai tujuan kepuasan atau saat marah dan tidak
dapat menemukan alternatifnya.
3. Pasif : Klien marasa tidak dapat mengungkapkan perasaanya tidak berdaya
dan menyerah.
4. Agresif : Klien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol,
mendorong orang lain dengan ancaman.
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol,
disertai amuk, merusak.
Berikut adalah perbandingan perilaku pasif, asertif, dan agresif (Yusuf, 2015):
Merengek Menuntut
Sikap tubuh Melorot Tegak • Tegang
Menundukan kepala Relaks • Bersandar ke depan
Personal Space Orang lain dapat Menjaga jarak • Memiliki teritorial
masuk pada teritorial yang orang lain
pribadinya menyenangkan
Mempertahankan
hak
tempat/teritorial
29
Gerakan Minimal Memperlihatkan • Mengancam,
Lemah gerakan yang ekspansi gerakan
Resah sesuai
Kontak mata Sedikit/tidak ada Sekali-sekali • Melotot
(intermiten) sesuai
dengan kebutuhan
interaksi
2.4.2. Etiologi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan beberapa hal, diantaranya:
30
dapat menyebabkan perilaku agresif alkoholisme dan tidak mampu
(Siever, 2008, dalam Videbeck, 2008). mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
2. Teori Psikologis 5. Kematian anggota keluarga yang
a. Teori Psikoanalisa terpenting, kehilangan pekerjaan,
Ketidakpuasan fase oral antara usia perubahan tahap perkembangan.
0-2 tahun dapat mengakibatkan tidak (Yosep, 2010)
berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Perilaku
agresif dan tindak kekerasan
merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri perilaku tindak kekerasan.
c. Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil
belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya.
(Yosep, 2010)
31
Beberapa pasien menunjukkan gejala yang khas, perawat perlu mengetahu
tanda dan gejala ini (Yusuf, 2015):
32
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi:
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi:
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi:
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya
sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan
dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia
dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi:
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement:
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat
hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai
33
bermain perang-perangan dengan temannya.
34
1. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
35
2) terhadap orang lain,
3) terhadap diri sendiri,
4) terhadap lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat
perilakunya.
f. Diskusikan bersama pasien cara
mengontrol perilaku kekerasan
secara:
1) Fisik, misalnya pukul kasur dan
batal, tarik napas dalam;
2) obat;
3) sosial/verbal, misalnya
menyatakan secara asertif rasa
marahnya;
4) spiritual, misalnya sholat atau
berdoa sesuai keyakinan pasien.
g. Latih pasien mengontrol perilaku
kekerasan secara fisik, yaitu latihan
napas dalam dan pukul kasur/bantal,
secara sosial/verbal, secara spiritual,
dan patuh minum obat.
h. Ikut sertakan pasien dalam terapi
aktivitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku
kekerasan.
Tindakan Keperawatan untuk Tindakan Keperawatan
Keluarga a. Diskusikan masalah yang dihadapi
keluarga dalam merawat pasien.
Tujuan: b. Diskusikan bersama keluarga tentang
Keluarga dapat merawat pasien di perilaku kekerasan (penyebab, tanda
36
rumah. dan gejala, serta perilaku yang muncul
dan akibat dari perilaku tersebut).
c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-
kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti
melempar atau memukul benda/orang
lain.
d. Latih keluarga merawat pasien dengan
perilaku kekerasan.
1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi
pasien melakukan tindakan yang
telah diajarkan oleh perawat.
2) Ajarkan keluarga untuk memberikan
pujian kepada pasien bila pasien
dapat melakukan kegiatan tersebut
secara tepat.
3) Diskusikan bersama keluarga
tindakan yang harus dilakukan bila
pasien menunjukkan gejala-gejala
perilaku kekerasan.
e. Buat perencanaan pulang bersama
keluarga.
Strategi Penahanan
37
Manajemen 1. Identifikasi pemimpin tim krisis.
Krisis 2. Susun atau kumpulkan tim krisis.
3. Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
4. Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
5. Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
6. Susun strategi dan beritahu anggota lain.
7. Tugas penanganan pasien secara fisik.
8. Jelaskan semua tindakan pada pasien
9. Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi
yang nyaman).
10. Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
11. Jaga tetap kalem dan konsisten.
12. Evaluasi tindakan dengan tim.
13. Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
14. Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.
Pengasingan Prinsip pengasingan antara lain sebagai berikut (Stuart dan
Tujuannya adalah Sundeen, 1995: 738).
melindungi 1. Pembatasan gerak
pasien, orang a. Aman dari mencederai diri.
lain, dan staf dari b. Lingkungan aman dari perilaku pasien.
bahaya. Hal ini 2. Isolasi
legal jika a. Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya
dilakukan secara paranoid.
terapeutik dan b. Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara
etis. bertahap.
3. Pembatasan input sensoris
Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.
38
pengekangan 2. Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik
adalah psikososial.
mengurangi 3. Hiperaktif dan agitasi.
gerakan fisik
pasien, serta
melindungi Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut.
pasien dan orang 1. Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
lain dari cedera. 2. Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
3. Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda
vital, sirkulasi, dan membuka ikatan untuk latihan
gerak.
4. Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi,
dan perawatan diri.
2.4.5.4. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi terhadap pasien dan juga
keluarga. Evaluasi tersebut meliputi (Yusuf, 2015):
1. Pada pasien
a. Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku
kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat
dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
b. Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan
secara teratur sesuai jadwal, yang meliputi:
1) secara fisik,
2) secara sosial/verbal,
3) secara spiritual,
4) terapi psikofarmaka.
2. Pada keluarga
a. Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan.
39
b. Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan
menghargai pasien.
c. Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara
mengontrol perilaku kekerasan.
d. Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus
dilaporkan pada perawat.
Respon
Respon Adaptif
Maladaptif
40
Keterangan:
a) Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stresor dan
mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan
klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
b) Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
c) Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
2.5.2. Etiologi
Menurut Depkes (2010), penyebab kurang perawatan diri adalah:
Faktor Predisposisi Faktor Presipitasi
1. Perkembangan Yang merupakan faktor presiptasi
Keluarga terlalu melindungi dan defisit perawatan diri adalah kurang
memanjakan klien sehingga penurunan motivasi, kerusakan
perkembangan inisiatif terganggu. kognisi atau perceptual, cemas,
2. Biologis lelah/lemah yang dialami individu
Penyakit kronis yang menyebabkan sehingga menyebabkan individu
klien tidak mampu melakukan kurang mampu melakukan
perawatan diri. perawatan diri.
3. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan
41
kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan
mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
42
2.5.5. Dampak Defisit Perawatan Diri Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Manusia
Menurut Keliat (2009), dampak Defisit Perawatan Diri terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar manusia adalah:
1. Nutrisi Individu dengan defisit perawatan diri biasanya memiliki
pola hidup yang tidak teratur, sehingga ia kurang
memperhatikan terhadap dirinya dan akhirnya keinginan
individu untuk makan tidak ada,sehingga terjadi gangguan
pemenuhan kebutuhan nutrisi.
2. Istirahat dan Klien tidak mempunyai motivasi untuk merawat diri
Tidur sehingga lebih sering malas-malasan dalam bentuk
aktifitas yang kurang serta pola tidur yang tidak teratur.
3. Personal Kurangnya minat individu untuk mengurus dirinya sendiri
hygiene sehingga individu tidak atau kurang perhatian dan motivasi
terhadap perawatan dirinya sendiri.
4. Kebutuhan Kurangnya perawatan diri akan mempengaruhi status
aman kesehatan pasien, pasien mudah untuk terkena berbagai
jenis penyakit akibat defisit perawatan diri.
5. Komunikasi Individu dengan defisit perawatan diri cenderung untuk
menyendiri, inkoheren, kadang sulit untuk memulai
percakapan sehingga timbul gangguan komunikasi.
6. Sosialisasi Individu dengan Defisit perawatan diri cenderung asik
dengan dirinya sendiri dan bersikap masa bodoh terhadap
lingkungan sehingga individu menarik diri dan berinteraksi
sosial terganggu.
7. Kebutuhan Individu dengan defisit perawatan diri cenderung
spiritual bermalas-malasan sehingga individu tidak menyadari
keberadaan dan kehilangan kontrol hidupnya. Akibatnya
individu terputus dengan sesama atau dengan tuhan
sebagai sumber kehidupan, harapan dan kepercayaan.
Dampaknya adalah spiritual terganggu.
8. Aktualisasi diri Individu dengan kecemasan semakin meningkat dan
43
berlanjut, cenderung bersikap masa bodoh terhadap
lingkungan dan dirinya sendiri serta individu tersebut tidak
mampu mengambil keputusan yang logis dalam
menggunakan pencapaian dalam aktivitas diri serta
individu tersebut tidak mampu mengambil keputusan yang
logis dalam menggunakan pencapaian dalam aktivitas diri.
44
Adapun masalah keperawatan yang mungkin muncul
1. Defisit perawatan diri
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
45
respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan diharapkan
menjadi adaptif.
Langkah- 1) Persiapan
langkah a. Memilih klien sesuai dengan indikasi yaitu klien
kegiatan dengan perubahan sensori persepsi; halusinasi.
b. Membuat kontrak dengan klien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
a. Salam terapeutik: terapis mengucapkan salam
b. Evaluasi validasi : terapis menanyakan perasaan
peserta hari ini
c. Kontrak : 1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan
yaitu 2) Terapis menjelaskan aturan main:
Masing-masing klien memperkenalkan diri nama,
nama panggilan.
Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok,
46
harus meminta izin pada terapis.
Lama kegiatan 45 menit
Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai
akhir
3) Kerja
a. Terapis memperkenalkan diri (nama dan nama
panggilan). Terapis meminta klien memperkenalkan
nama dan nama panggilan secara berurutan, dimulai
dari klien yang berada di sebelah kiri terapis, searah
jarum jam.
b. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan,
yaitu masing-masing klien membagi pengalaman
tentang halusinasi yang mereka alami dengan
menceritakan : 1) Isi halusinasi 2) Waktu terjadinya 3)
Frekuensi halusinasi 4) Perasaan yang timbul saat
mengalami halusinasi.
c. Meminta klien menceritakan halusinasi yang dialami
secara berurutan dimulai dari klien yang ada di
sebelah kiri terapis, seterusnya bergiliran searah jarum
jam.Hasilnya ditulis di white board
d. Saat seorang klien menceritakan pengalaman
halusinasi, setelah cerita selesai terapis mempersilakan
klien lain untuk bertanya sebanyak-banyaknya 3
pertanyaan.
e. Lakukan kegiatan (b) sampai semua klien selesai
mendapat giliran.
f. Setiap kali klien bisa menceritakan halusinasinya,
terapis memberikan pujian.
4) Terminasi
47
a. Evaluasi :1) Terapis menanyakan perasaan klien
setelah mengikuti TAK, 2) Terapis memberikan pujian
atas keberhasilan anggota kelompok
b. Rencana tindak lanjut :Terapis menganjurkan kepada
peserta jika mengalami halusinasi segera
menghubungi perawat atau teman lain.
c. Kontrak yang akan datang :1) Terapis membuat
kesepakatan dengan klien kegiatan TAK berikutnya
yaitu belajar mengontrol halusinasi, 2) Terapis
membuat kesepakatan dengan klien waktu dan tempat
TAK berikutnya.
48
Alat Sound system
Metode 1)Diskusi, 2) Tanya jawab, 3) Stimulasi
Langkah-langkah 1. Persiapan (a) mempersiapkan alat (b) mempersiapkan
kegiatan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik : terapis mengucapkan salam.
b. Evaluasi/validasi:
Terapis menanyakan perasaan klien hari ini.
Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang
telah terjadi
c. Kontrak
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan
Terapis menjelaskan atusan main: a) Lama kegiatan
45 menit. b) Setiap klien mengikuti kegiatan dari
awal dan akhir. c) Jika akan meninggalkan kelompok
,klien harus meminta izin.
3. Kerja
a. Terapis meminta masing-masing klien secara
berurutan searah dengan jarum jam menceritakan apa
yang dilakukan jika mangalami halusinasi dan apakah
itu bisa mengatasi halusinasinya.
b. Setiap selasai klien menceritakan pengalamannya,
terapis memberikan pujian dan mengajak peserta lain
memberikan tepuk tangan.
c. Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan
menghardik halusinasi saat halusinasi muncul.
d. Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi.
e. Terapis meminta masing masing klien memperagakan
menghardik halusinasi dimulai dari peserta disebelah
kiri terapis berurutan searah jarum jam sampai semua
49
peserta mendapatkan giliran.
f. Terapis memberikan pujian dan megajak semua klien
bertepuk tangan saat setiap klien selesai
memperagakan menghardik halusinasi
4. Terminasi
a. Evaluasi :1) Terapis menanyakan perasaan klien
setelah mengikuti TAK, 2) Terapis memberikan pujian
atas keberhasilan kelompok
b. Rencana tindak lanjut :Terapis menganjurkan klien
untuk menerapkan cara yang sudah dipelajari jika
halusinasi muncul
c. Kontrak yang akan datang : Terapis membuat
kesepakatan dengan klien TAK berikutnya yaitu
belajar mengontrol halusinasi dengan cara lain.
50
Sesi III: Menyusun Jadwal Kegiatan
51
dalam mencegah terjadinya halusinasi.
d. Terapis memberi contoh cara menyusun jadwal dengan
menggambarkannya dipapan tulis.
e. Terapis meminta masing – masing klien menyusun
jadwal aktivitas dari bangun pagi sampai dengan tidur
malam.
f. Terapis membimbing masing – masing klien sampai
berhasil menyusun jadwal.
g. Terapis memberikan pujian kepada masinng – masing
klien setelah berhasil menyusun jadwal.
4) Terminasi
a. Evaluasi :1) Terapis menanyakan perasaan klien setelah
bisa menyusun jadwal, 2) Terapis memberikan pujian
atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak lanjut : terapis menganjurkan klien melaksanakan
jadwal aktivitas tersebut.
c. Kontrak yang akan datang:1) Terapis membuat
kesepakatan dengan klien TAK berikutnya, 2)Terapis
membuat kesepakatan waktu dan tempat TAK
52
Tujuan 1. Klien dapat mengetahui jenis – jenis obat yang harus
diminumnya.
2. Klien mengetahui perlunya minum obat secara teratur.
3. Klien mengetahui 5 benar minum obat
4. Klien mengetahui efek terapi dan efek samping obat
5. Klien mengetahui akibat jika putus obat
Setting 1) Klien duduk melingkar, 2) Kelompok berada diruang
yang tenang dan nyaman
Alat 1)Contoh obat – obatan, 2)Spidol white board, 3) White
board
Metode 1) Diskusi, 2) Tanya jawab, 3)Simulasi
Langkah-langkah 1) Persiapan
kegiatan a. Terapis mempersiapkan alat dan tempat
b. Terapis membuat kontrak dengan klien
2) Orientasi
a. Salam terapeutik : terapis mengucapkan salam
kepada klien.
b. Evaluasi / validasi
Terapis menanyakan perasaan klien hari ini
Terapis menanyakan apakah jadwal aktivitas telah
dikerjakan (TL TAK sebelumnya).
c. Kontrak
Terapis menjelaskan tujuan TAK
Terapis menjelaskan aturan main TAK a) Klien
mengikuti dari awal sampai akhir b) Jika klien akan
keluar dari kelompok, harus meminta izin kepada
terapis c) Lama waktu TAK 60 menit
3) Kerja
a. Terapis membagikan contoh obat, sesuai obat yang
diberikan kepada masing – masing klien.
53
b. Terapis menjelaskan pentingnya minum obat secara
teratur, sesuai anjuran.
c. Terapis meminta klien untuk menjelaskan ulang
pentingnya minum obat, secara bergantian, searah
jarum jam, dimulai dari klien yang berada disebelah
kiri terapis.
d. Terapis mejelaskan akibat jika tidak minum obat
secara teratur.
e. Terapis meminta klien menyebutkan secara
bergantian akibat jika tidak minum obat secara
teratur.
f. Terapis menjelaskan lima benar ketika menggunakan
obat: benar obat, benar klien, benar waktu, benar
cara, benar dosis.
g. Terapis menjelaskan efek terapi dan efek samping
masing-masing obat sesuai contoh obat yang yang
ada pada klien.
h. Terapis meminta klien menyebutkan jenis obat, dosis
masing masing obat, cara penggunakan , waktu dan
efek obat (efek terapi dan efek samping) sesuai
dengan contoh obat yang ada di tangan klien masing-
masing. Secara berurutan secara jarum jam, dimulai
dari sebelah kiri terapi.
i. Terapis memberikan pujian dan mengajar klien
bertepuk tangan setiap kali klien menyebutkan
dengan benar.
4) Terminasi
a. Evaluasi 1) Menanyakan perasaan klien setelah
mengikuti TAK. 2) Memberikan pujian atas
keberhasilan kelompok.
54
b. Tindak lanjut 1) Menganjurkan klien untuk
meminum obat secara teratur 2) Menganjurkan jika
ada pertanyaan lain tentang obat, klien dapat
menghubungi perawat yg saat itu bertugas.
c. Kontrak yang akan datang 1) Terapi menyepakati
kegiatan TAK berikutnya. 2) Terapi menyepakati
tempat dan waktu TAK
55
2. Klien menerapkan cara menghubungi orang lain ketika
mulai mengalami halusinasi.
Setting 1)Tempat TAK di ruangan yang tenang dan nyaman,
2)Klien duduk melingkar.
Alat 1) Spidol, 2) White board
Metode 1) Diskusi kelompok, 2) Simulasi
Langkah-langkah 1) Persiapan
kegiatan a. Terapis mempersiapkan alat dan tempat TAK.
b. Terapis membuat kontrak dengan klien.
2) Orientasi
a. Salam; terapi mengucapkan salam ke klien
b. Evalusi/validasi; 1) Terapis menanyakan kabar
klien hari ini; 2) Terapis menanyakan pengalaman
klien mengontrol halusinasi setelah menerapkan 3
cara lainya
c. Kontrak 1) Terapis menjelaskan tujuan TAK 2)
Terapi menjelaskan waktu kegiatan 3) Terapi
menjelaskan aturan main.
3) Kerja
a. Terapis menjelaskan pentingnya berbincang dengan
orang lain untuk mengatasi halusinasi.
b. Terapis meminta kepada klien kejadian yang sering
dialami sehingga mengalami halusinasi. Klien
secara bergantian bercerita
c. Terapis memperagakan bercakap-cakap dangan
orang lain jika ada tanda halusinasi muncul.
d. Klien meminta memperagakan hal yang sama
secara bergantian.
e. Terapis memberikan pujian kepada klien setiap
selesai memperagakan
56
4) Terminasi
a. Evaluasi; 1) Terapis menanyakan perasaan klien
setelah selesai mengikuti TAK 2) Terapis
memberikan pujian atas kebersihan kelompok.
b. Tindak lanjut 1) Terapi menganjurkan klien untuk
menerapkan bercakap cakap dengan orang lain bila
mulai mengalami halusinasi 2) Mendorong klien
untuk memulai bercakap cakap bila ada klien lain
yang mulai mengalami halusinasi
c. Kontrak yang akan datang; 1) Terapi menyepakati
kegiatan TAK berikutnya 2) Terapi menyepakati
tempat dan waktu TAK berikutnya.
57
dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat
golongan antipsikotik ini adalah untuk penderita gangguan psikotik, seperti
Skizofrenia atau gejala psikotik lainnya (Yusuf, 2015).
Selain itu, penggunaan obat golongan anti psikotik digunakan untuk
gangguan skizoafektif, sindrom otak organik dengan psikosis, gangguan
waham dan gangguan bipolar baik dalam kondisi akut maupun regimen
pemeliharaan (Stuart, 2013). Penggunaan antipsikotik jangka pendek juga
diberikan pada pasien dengan keadaan depresi berat dengan gambaran
psikosis dan psikosis akibat pengggunaan obat. Obat antipsikotik juga
dapat mengobati perilaku agresif dan masalah perilaku yang tejadi pada
klien dengan gangguan pervasif, serta pada klien lansia dengan demensia
dan delirium dengan kondisi agitasi dan psikosis (Stuart, 2013).
58
(Sumber : Stuart 2013)
59
1. Dapat menghasilkan sindrom metabolik dengan masalah yang terkait
dengan kenaikan berat badan, diabetes, dan dislipidemia, sering
mengakibatkan penyakit kardiovaskular.
2. Harganya jauh lebih mahal daripada antipsikotik tipikal.
60
samping yang jarang tetapi berpotensi fatal (14% hingga 30%
kematian) dari obat antipsikotik adalah neuroleptic malignant
syndrome (NMS). Gejala NMS termasuk demam, takikardia,
berkeringat, kekakuan otot, tremor, inkontinensia, dan pingsan.
Perawatan untuk NMS termasuk menghentikan obat pemicu dan
memulai perawatan suportif (Strawn et al, 2008; Agar, 2010).
61
Penting untuk meminimalkan ketakutan pasien, mengurangi rasa
stigmatisasi, dan meningkatkan kepatuhan terhadap terapi obat melalui
pendidikan pasien yang efektif, dukungan, dan manajemen obat yang
intensif dan komprehensif. Karena pentingnya dalam mengelola pasien yang
memakai obat psikotropika dan efek samping yang ditimbulkannya.
62
BAB III
TINJAUAN KASUS
Seorang laki-laki, 41 tahun, duda, saat ini klien tidak bekerja. Klien tinggal di
rumah hanya dengan pembantu. Klien dirawat di rumah sakit jiwa untuk ketiga
kalinya dengan alasan marah-marah, merusak barang, dan tidak mampu mengurus
diri. Klien mengatakan sering mendengar suara yang ingin membunuh dirinya.
Suara itu sangat menakutkan sehingga klien kesal dan merusak barang-barang
agar suara tersebut hilang. Selama di RS klien sering menyendiri, duduk di pojok
ruangan atau tiduran di tempat tidur, kadang berjalan mondar-mandir. Klien
tampak sering bicara dan tertawa sendiri. Diagnosa medik: Skizofrenia Paranoid.
3.2.1 Pengkajian
3.2.1.1 Identitas
1) Identitas klien
Nama : Tn. R
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Jalan Kenari III
Tanggal masuk : 15-04-2018
63
No RM : 187 834 21
Diagnosa medik : Skizofrenia paranoid
64
e. Faktor biologis
Klien tidak memiliki kelainan dalam dirinya, lahir dengan fisik sempurna.
Tidak memiliki riwayat penyakit menular dan bawaan lahir.
f. Faktor genetik
Klien memiliki keluarga dengan gangguan yang sama (Kakek).
g. Faktor presipitasi
Klien memiliki hubungan yang tidak baik dengan lingkungannya,
cenderung bermusuhan, mengalami tekanan, isolasi, perasaan tidak
berguna, dan tidak berdaya dikarenakan klien tidak bisa mengurus dirinya
sendiri, klien dibiarkan hanya tinggal berdua dengan pembantu di
rumahnya.
h. Status kesehatan
Klien tampak kurus, dikarenakan klien cenderung tidak ingin makan jika
tidak lapar, sehingga ketika disediakan makan, jika tidak lapar enggan
makan. Istirahat klien juga tidak teratur, terutama jika mendengar suara-
suara klien cenderung untuk tetap terjaga dan marah-marah agar suara
tersebut pergi.
i. Lingkungan sekitar klien
Klien tinggal di lingkungan yang mengasingkan klien karena mengetahui
klien sakit jiwa, klien hanya tinggal berdua sama pembantu. Klien tidak
pernah bersosilaisasi dengan tetangga ataupun orang lain kecuali
pembantunya.
j. Penilaian sikap klien
Klien cenderung menarik diri dari percakapan dan mengatakan selalu
merasa kesal dan ingin marah-marah jika mendengar suara-suara di
telinganya.
k. Penilaian perilaku
“Respon klien terhadap suara-suara yang Ia dengar adalah ingin marah-
marah dan kesal. Klien merasa gelisah jika suara-suara tersebut akan
datang lagi dan klien sering terlihat tertawa dan bicara sendiri.”
65
3.2.1.4 Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital :
TD: 140/90 mmHg; Suhu: 36,6°C; Nadi: 98x/menit, RR: 26 x/menit
b. Pengukuran antopometri : BB: 48 kg; TB: 163 cm
c. Keadaan Fisik
1) Kepala : bentuk simetris, tidak ada kelainan.
2) Mata : penglihatan dalam batas normal
3) Hidung : tidak ada kelaianan, indra penciuman dapat berfungsi
dengan baik
4) Mulut : bibir tampak kering
5) Muka : bentuk simetris, tampak kusam.
6) Ekstremitas : Tampak memar dan lecet pada tangan dan kaki
3.2.1.5 Psikososial
a. Genogram
b. Konsep Diri
i. Gambaran diri : Klien mengatakan senang dengan
anggota bagian tubuhnya, dan merasa dirinya kuat.
ii. Identitas Diri : Klien adalah seorang duda. Memiliki 1
orang anak yang sudah tidak tinggal dengan bersama sejak 5 tahun
yang lalu.
iii. Peran : Klien seorang duda, sudah 5 tahun tidak
tinggal bersama dengan anaknya, ia merasa tidak dianggap dan tak
66
berguna. Klien mengatakan tidak memiliki pekerjaan dan hanya
tinggal dengan pembantunya.
iv. Ideal Diri : Klien ingin suara-suara yang ada
dipikirannya menghilang. Klien ingin bisa sembuh dari
sakitnya.
v. Harga Diri :Klien suka menyendiri didalam kamar
dan berdiam diri di pojok ruangan, tidak mau bersosialisasi,
merasa dirinya tidak berguna.
c. Hubungan Sosial
Selama klien dirawat di RS klien tidak suka berkumpul dengan sesame
pasien , ketika didekati klien berusaha menghindar, tidak mau menatap.
Klien mengatakan lebih suka di dalam kamar dan tidak ingin bertemu
dengan orang banyak. Klien Nampak tidak peduli (acuh) dengan
lingkungan sekitar. Klien terlihat lebih suka sendiri di kamarnya, duduk
di pojok ruangan atau tiduran di tempat tidur, kadang berjalan mondar-
mandir.
d. Spiritual (Nilai dan Keyakinan)
Klien enggan untuk berdoa dan beribadah.
67
e. Afek : Afek klien labil, emosinya cepat berubah-ubah, kadang
senang, sedih dan gelisah.
f. Interaksi Selama Wawancara : Pada saat wawancara, tidak mau
menatap perawat, bicara berbelit-belit.
g. Persepsi : Klien mendengar suara-suara yang muncul dikepalanya.
Isi suara itu adalah suara yang ingin membunuhnya. Saat klien
mendengar suara-suara itu klien merasa takut, kesal, dan marah.
h. Proses Fikir : Ketika dilakukan pengkajian, klien terlihat sulit
menjawab pertanyaan yang mudah. Bicara berbelit-belit
i. Isi Pikir : Klien mengatakan ada suara yang ingin membunuhnya
dan merebut hartanya.
j. Tingkat Kesadaran : Klien dapat membedakan siang dan malam,
tidak dapat membedakan tempat, klien mengenali pembantunya.
k. Memori
1) Jangka Panjang : Klien tidak mau berbicara mengenai
dirinya
2) Jangka Pendek : Klien mengingat kapan ia terakhir
makan, yaitu pagi tadi dengan nasi dan lauk ikan.
l. Tingkat Konsentrasi dan Berhitung : Klien dapat berhitung 1-10.
Namun terlihat bingung ditanyakan berapa jumlah obat yang ada
di tangannya untuk dikonsumsi.
m. Kemampuan Penilaian : Klien merasa suara yang Ia dengar sangat
mengganggunya dan itu merupakan masalah sangat berat untuk
dirinya
n. Daya Tilik Diri : Klien pernah dirawat di RSJ 3 kali. Klien tidak
mampu mengambil keputusan sendiri.
68
3.2.1.7 Mekanisme Koping
Jika klien mendapatkan masalah klien lebih memilih untuk
memendamnya sendiri (menyendiri) dan enggan menceritakan pada
orang lain.
Analisa data
Data Objektif:
- Klien tampak bingung.
- Mulut komat-kamit.
- Klien kadang bicara sendiri.
- Klien mondar-mandir.
69
- Klien mengatakan lebih suka di
dalam kamar
- Klien mengatakan tidak ingin
bertemu dengan orang banyak
Data Objektif:
Data Objektif:
Aspek Medis
a. Diagnosa Medik : Skizofrenia paranoid
70
b. Terapi Medis :
Terapi farmakologi :
Klien mendapatkan obat lanjutan: Chlorpromazine dan Haloperidol
Pohon Masalah
71
- Klien mengungkapkan prtemuan yang saling dapat
frekuensi halusinasi. diterima dengan cara yang
- Klien mampu tepat.
mengungkapkan perasaan d. Pelihara postur tubuh
terkait dengan halusinasi. terbuka.
e. Ciptakan iklim yang hangat
dan menerima secara tepat.
f. Berespon pada pesan non
verbal klien dengan cara
yang tepat.
g. Tunjukkan ketertarikan pada
klien dengan
mempertahankan kontak
mata, berhadapan, posisi
mata sejajar, saat berbicara
perawat sedikit
membungkuk jika
diperlukan.
2. Manajemen Halusinasi
(Halusination Management)
a. Observasi tingkah laku yang
berhubungan dengan
halusinasi.
b. Bantu klien mengenal
halusinasi:
Jika dari hasil observasi
ditemukan tampak klien
mengalami halusinasi,
tanyakan apakah klien
mengalami halusinasi.
Jika jawaban klien ada,
tanyakan apa yang didengar,
dilihat, atau dirasakan.
Katakana bahwa perawat
percaya apa yang dialami
klien tetapi perawat sendiri
tidak mendengar/
melihat/merasakan.
Katakana klien lain juga ada
yang mengalami hal yang
sama.
Katakana bahwa perawat
akan membantu klien.
c. Diskusikan dengan klien
waktu, isi, frekuensi, dan
situasi pencetus munculnya
halusinasi.
72
d. Diskusikan dengan klien
apa yang dirasakan jika
halusinasi muncul.
e. Beri klien kesempatan untuk
mengungkapkan
perasaannya.
f. Identifikasi dan diskusikan
dengan klien perilaku yang
dilakukan saat halusinasi
muncul.
g. Diskusikan manfaat dan
akibat dari cara atau
perilaku yang dilakukan
klien.
2 TUPAN
Isolasi sosial Setelah dilakukan tindakan 1. Tingkatkan sosialisasi
keperawatan, Klien mampu a. BHSP
mendemostrasikan keterlibatan Prinsip komunikasi
sosial secara mandiri dan
terapeutik
mempunyai sistem pendukung
yang daptat membantu
Pertahankan
mengekspresikan perasan dan konsistensi sikap
pikirannya. (terbuka, tepati janji,
hindari kesan negatif)
TUPEN : Gunakan tahap-tahap
1. Setelah dilakukan interaksi dengan tepat
interaksi selama 3x24 jam, b. Observasi perilaku
klien dapat memulai menarik diri klien
interaksi dengan orang lain c. Kaji pengetahuan klien
dengan kriteria hasil : tentang perilaku menarik
a. Klien mampu
dirinya
memperkenalkan
dirinya dengan orang
d. Diskusikan dengan klien
lain : berjaba tangan, hal-hal yang
menjawab salam, ada menyebabkan klien
kontak mata, dan menarik diri
meluangkan waktu e. Beri kesempatan kepada
untuk duduk klien untuk menceritakan
berdampingan dengan perasaannya terkait
orang lain dengan isolasi diri
b. Klien mau f. Dorong klien untuk
menyebutkan alasan membagi masalah yang
menarik diri
dihadapinya
c. Klien mau
mengutarakan
g. Dukung klien untuk jujur
masalahnya dan menunjukkan
identitas dirinya dengan
orang lain
h. Libatkan dalam TAKS
73
2. Manajemen kestabilan
2. Setelah dilakukan Mood serta perasaan aman
interaksi selama 3x24 jam, dan nyaman
klien mampu
a. Observasi kesesuaian
mengungkapkan
perasaannya dengan
antara afek dan
kriteria hasil : ungkapan secara verbal
klien
a. Klien mau b. Beriakn perasan aman
mengungkapkan dan nyaman pada klien
perasaannya setelah c. Dorong klien
berinteraksi dengan menggungkapkan
orang lain perasaan dan
b. Klien dapat ekspresikannya secara
mengungkapkan tepat
manfaat dan d. Bantu klien
keuntungan mengidentifikasi
berinteraksi dengan
perasaan yang mendasari
orang lain
c. Klien dapat keinginan untuk tidak
menyebutkan kerugian melakukan interaksi
tidak berinteraksi dengan orang lain
dengan orang lain e. Dorong klien untuk
d. Klien dapat mengungkapkan
mempertahankan hambatan dan kesulitan
keinginan dan dalam berinteraksi
kebutuhannya dengan orang lain
berinteraksi dengan f. Diskusikan dengan klien
orang lain manfaat berinteraksi
dengan orang lain
g. Diskusikan dengan klien
kerugian tidak
berinteraksi dengan
orang lain.
3. Setelah dilakukan h. Kelola pemberian obat
interaksi selama 3X24 sesuai program
jam, klien dapat i. Monitor efek samping
mengembangkan obat
hubungan/interaksi sosial j. libatkan klien dalam
dengan kriteria hasil : TAK, SP Umum
k. Lakukan kolaborasi
a. Klien mau melakukan
dengan psikiater bila
interaksi dengan
perawat/petugas, diperlukan
teman/klien lain, dan
keluarga. 3. Tingkatkan sosialisasi
74
b. Klien berpartisipasi a. Bantu klien
dalam mengidentifikasi
kegiatan/aktivitas kelebihan, hambatan,
diruangan. dan kesulitan dalam
berkomunikasi dengan
orang lain.
b. Tingkatkan kesadaran
4. Setelah dilakukan klien terhadap kelebihan
interaksi selama 3x24 jam, dan keterbatasan dalam
klien mampu berkomunikasi.
meningkatkan sosial c. Dukung klien
secara mandiri dengan mengembangkan
kriteria hasil : hubungan yang telah
terbina.
a. Klien mau dan mampu d. Dukung klien dalam
bekerja sama dengan kegiatan/aktivitas
orang lain. diruangan
b. Klien bersikap ramah
e. Berikan reinforcement
c. Klien perhatian pada
orang lain. atas keberhasilan yang
d. Klien menempati janji. dicapai klien
e. Klien mau membantu f. Libatkan klien TAK
orang lain.
f. Klien dapat 4. Modifikasi perilaku :
menggunakan waktu keterampilan sosial
luangnya dengan a. Bantu klien
aktivitas-aktivitas mengidentifikasi
selama dalam masalah-masalah
perawatan. interpersonal yang
menyebabkan kurangnya
berinteraksi dengan
orang lain.
b. Dorong klien untuk
mengungkapkan
perasaannya terkait
dengan masalah
lnterpersonal yang
dihadapi.
c. Identifikasi
ketrampilan/kemampuan
sosial yang ingin
difokuskan pada latihan
berinteraksi dengan
orang lain.
d. Bantu klien
75
menetapkan tahapan dan
hal-hal yang ingin
dicapai dalam melatih
hubungan interaksi
dengan orang lain.
e. Dorong klien
meningkatkan interaksi
dengan orang lain
disekitarnya.
f. Dorong klien
mengikuti aktifitas
diruangan
g. Libatkan klien dalam
TAK
h. Rujuk klien untuk
mengikuti aktifitas
diruang rehabilitasi
76
saat meuncul tanda- 2. a. Bantuan kontrol
tanda akan marah
melakukan 1) Bantu klien
kekerasan. mengidentifikasi
c. Klien melaporkan waktu dan situasi yang
kepada petugas memicu perilaku
kesehatan setiap kekerasan
muncul tanda-tanda 2) Diskusikan bersama
akan melakukan klien pangaruh negatif
kekerasan perilaku kekerasan
terhadap dirinya, orang
2. Setelah dilakukan lain dan lingkungan
interaksi selama 3) Jelaaskan pada klien
3X24jam,klien dapat cara mengeluarkan
mengendalikan perilaku energi marah atau
agresi/amuk kriteria perilaku kekerasan
hasil : secara adaptif dan
a. Klien konstruktif :
menyebutkan waktu Kegiatan fisik :
dan situasi yang olah raga,
memicu terjadi membersikan
perilaku kekerasan rumah, relaksasi
b. Klien dapat Kegiatan
menahan ledakan spiritual : berdoa,
kemarahan atau melakukan ibadah
perilaku kekerasan Kegiatan sosial :
yang dapat meminta sesuatu
membahayakan pada orang lain
dirinya dengan cara yang
c. Klien baik sehingga
memperaktekkan orang lain tidak
penyaluran energi tersinggung
positif dari perikaku 4) Jelaskan pada klien
kekerasan manfaat minum obat
d. Klien minum obat 5) Berikan
sesuai dengan reinforcement untuk
program terapi egresi marah yang
e. Klien dapat tepat
menyebutkan 6) Libatkan klien dalam
manfaat minum obat TAK SP : PK.
untuk kontrol marah. b. Manajemen lingkungan
1) Jauhkan barang-
barang yang dapat
membahayakan diri
77
klien
2) Lakukan pembatasan
terhadap perilaku
kekerasan klien agar
tidak menyakiti atau
melukai orang lain
3) Tempatkan klien
pada lingkungan yang
restrictive (isolasi)
4) Diskusikan bersama
keluarga tentang tujuan
pembatasan (isolasi)
78
3.2.4 Implementasi
3.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus - menerus pada
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dillaksanakan (Keliat,
2006). Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses atau
formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan tindakan keperawatan dan
evaluasi hasil sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien
dengan tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan
pendekatan SOAP sebagai berikut :
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
O : Respon obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
A : Analisa data atas subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap muncul atau muncul masalah baru atau data –
data yang kontra indikasi dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien
79
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada tahap awal ini sesuai dengan Stuart dan Laraia (2005), dimana data
yang dikelompokkan merupakan data dari faktor predisposisi, faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping yang
dimiliki klien.
Identitas (Keliat, 2006), mengharuskan pengkajian awal klien dimulai dari
identitas klien).
4.1.1 Identitas klien
Nama : Tn. R
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa
Pendidikan : S1 (Strata 1)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Jalan Kenari III
Tanggal masuk : 15-04-2018
No. RM : 187 834 21
Diagnosa medik : Skizofrenia paranoid
80
dan merusak barang-barang agar suara tersebut hilang. Klien tampak
sering bicara dan tertawa sendiri. Klien memiliki riwayat dirawat di
Rumah Sakit ini sebelumnya sebanyak 2 kali.” Hal ini sesuai dengan
Keliat (2006) dimana umumnya klien halusinasi dibawa ke rumah sakit
karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena
perilaku klien, dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga
klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
a. Faktor Perkembangan:
“Klien berada pada fase usia dewasa tengah, Selama memasuki fase
ini klien tidak dapat melanjutkan membangun hidupnya yang berfokus
terhadap karir dan keluarga. Klien merasa tidak produktif dan tidak
terlibat di dunia ini.” Hal ini sesuai menurut teori perkembangan
Ericson (1950) dalam Stuart (2009) dimana usia klien merupakan fase
usia dewasa tengah, jika klien mampu melewati fase ini dengan baik
maka tugas utama perkembangannya adalah mencapai tujuan atau cita-
cita juga mulai mempertimbangkan generasi berikutnya. Tercapainya
tugas usia di masa ini menunjukan kepuasan pribadi baik pribadi
maupun profesional, juga berkontribusi untuk kesejahteraan orang lain.
Akan aktif dalam pelayanan masyarakat dan sosial. Generativity
(perilaku menghasilkan) dicapai ketika individu menunjukkan
kepuasan didemonstrasikan dengan mencoba membuat tempat tinggal
dan lingkungan menjadi lebih baik. Kegagalan pencapaian di tahap ini
akan menunjukkan kurangnya peduli dengan kesejahteraan orang lain
dan total sibuk dengan diri sendiri. Individu menarik diri, isolasi, tidak
mampu membuka diri pada orang lain.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga
“Klien tidak ada komunikasi dengan keluarganya, tidak adanya
kehangatan dari keluarga. Keluarga merasa sudah tidak mampu
81
menanggapi klien.” Menurut Keliat (2006), komunikasi pada klien
dengan skizofrenia paranoid biasanya merupakan komunikasi tertutup,
tidak ada kehangatan, komunikasi dengan emosi berlebihan dan
cenderung komunikasi peran ganda.
c. Faktor sosial budaya
“Klien berada pada lingkungan orang dengan tuntutan tinggi dimana
klien tidak bisa bersosialisasi karena diasingkan di rumah hanya
dengan pembantu.” Sesuai dengan teori Keliat (2006), pengkajian
faktor sosial budaya klien dengan skizofrenia dimana salah satunya
adalah klien mengalami tuntutan tinggi terhadap dirinya.
d. Faktor psikologis:
“Klien memiliki kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi,
harga diri rendah, gambaran diri negatif, dan koping destruktif.” Hal
ini sesuai dengan Keliat (2006), dimana disebutkan bahwa faktor
psikologis yang terjadi pada klien dengan skizofrenia adalah mudah
kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri
tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran,
gambaran diri negatif, dan koping destruktif. Sedangkan menurut
Stuart dan Laraia (2005), mengemukakan faktor psikologis dapat
berupa keluarga, pengasuh, dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap
atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
e. Faktor biologis
“Selama pengkajian belum ditemukan data tersebut, riwayat pernah
masuk sebelumnya juga belum dapat ditemukan data mengenai faktor
atau kejadian biologis. Klien tidak memiliki kelainan dalam dirinya,
lahir sempurna, dan tidak memiliki riwayat penyakit menular maupun
bawaan lahir”. Sementara menurut Keliat (2006), faktor biologis
dapat berupa kejadian terhadap fisik, berupa: atrofi otak, pembesaran
82
vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbic.
Sedangkan menurut Stuart (2009), dijelaskan bahwa gangguan biologis
yang mungkin adalah gangguan dalam umpan balik otak yang
mengatur jumlah informasi yang dapat diproses pada waktu tertentu.
Selain itu juga terdapat mekanisme gating (proses listrik yang
melibatkan elektrolit) yang tidak normal.
f. Faktor genetik
“Klien memiliki keluarga dengan gangguan yang sama (yaitu
kakeknya)”. Menurut APA (2013), faktor resiko yang paling utama
mengembangkan skizofrenia adalah memiliki tingkat pertama
hubungan dengan skizofrenia. Sebagai contoh anak-anak yang
memiliki orang tua biologis dengan skizofrenia dan diadopsi pada saat
lahir oleh sebuah keluarga tanpa kejadian gangguan memiliki resiko
yang sama seperti jika orang tua biologis mereka telah mengangkat
mereka. Sedangkan menurut Keliat (2006), genetik schizofrenia
diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson
yang ke berapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai
sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia
adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan
nomor 4, 8, 5, dan 22.
g. Faktor presipitasi
“Klien memiliki hubungan yang tidak baik dengan lingkungannya,
cenderung bermusuhan, mengalami tekanan, isolasi, perasaan tidak
berguna, dan tidak berdaya dikarenakan klien tidak mengurus dirinya
sendiri, klien dibiarkan hanya tinggal berdua dengan pembantunya”.
Hal ini sesuai dengan Stuart dan Laraia (2005), dimana faktor-faktor
pencetus respon neurobiologis dapat meliputi berlebihannya proses
informasi pada sistem syaraf yang menerima dan memproses informasi
di thalamus dan frontal otak, mekanisme penghantaran listrik di syaraf
terganggu (mekanisme penerimaan abnormal) dan adanya hubungan
83
yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa,
dan tidak berdaya.
h. Status kesehatan
“Status nutrisi klien dinilai kurang sehingga klien tampak kurus
dikarenakan klien cenderung tidak ingin makan jika tidak lapar,
sehingga ketika disediakan makan, jika tidak lapar enggan makan.
Waktu istirahat klien juga tidak menentu, jika mendengar suara-suara
klien cenderung untuk tetap terjaga dan marah-marah agar suara
tersebut pergi”. Hal ini sesuai menurut Stuart dan Laraia (2005),
dimana klien dengan skizofrenia mengalami status nutrisi dan tidur
kurang, ketidakseimbangan irama sirkardian, kelelahan dan infeksi,
obat-obatan sistem syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
i. Lingkungan sekitar klien
“Klien tinggal di lingkungan yang memusuhi klien karena mengetahui
klien sakit jiwa, sehingga klien diasingkan dan hanya tinggal berdua
sama pembantu. Klien jarang dan dianggap tidak pernah
bersosilaisasi dengan tetangga ataupun orang lain kecuali
pembantunya”. Hal ini juga sesuai dengan Stuart dan Laraia (2005),
yang mengemukakan bahwa keadaan lingkungan yang memusuhi,
masalah dalam rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam
melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalam berhubungan
dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial, tekanan
kerja (kurang terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan,
kurangnya alat transportasi dan ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
j. Penilaian sikap klien
“Klien cenderung menarik diri dari percakapan dan mengatakan
selalu merasa kesal dan ingin marah-marah jika mendengar suara-
suara di telinganya”. Stuart dan Laraia (2005), juga mengemukakan
klien dengan skizofrenia merasa dirinya tidak mampu (harga diri
84
rendah), putus asa (tidak percaya diri), merasa gagal (kehilangan
motivasi menggunakan keterampilan diri), kehilangan kendali diri
(demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang
(tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual), bertindak tidak seperti
orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan
pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.
k. Penilaian perilaku
“Respon klien terhadap suara-suara yang Ia dengar adalah ingin
marah-marah dan kesal. Klien merasa gelisah jika suara-suara
tersebut akan datang lagi dan klien sering terlihat tertawa dan bicara
sendiri”. Hal ini sesuai dengan Stuart dan Laraia (2005) dan Stuart
(2009), dimana respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak
diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara
inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang
tidak nyata. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat
tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi
adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian
selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis
halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan
meliputi: isi halusinasi, waktu dan frekuensi serta situasi pencetus
halusinasi dan respon klien terhadap halusinasinya.
Tanda-tanda Vital:
TD : 140/90 mmHg; Suhu : 36,6°C; Nadi : 98x/menit; RR : 26 x/menit
Pengukuran antopometri:BB: 48 kg; TB: 163 cm
Keadaan Fisik
85
1) Kepala : Normal (bentuk simetris, tidak ada kelainan)
2) Mata : Normal (fungsi penglihatan dalam batas normal)
3) Hidung : Normal (fungsi pembauan dalam batas normal)
4) Mulut : Normal (mukosa bibir kering)
5) Muka : Normal (muka tampak kusam)
6) Ekstremitas : Tampak memar pada tangan kanan dan kaki kiri
4.1.5 Psikososial
4.1.5.1. Genogram :
Pada saat dilakukan pengkajian, belum terkaji dengan
baik mengenai riwayat keluarga klien karena tidak ada
orang terdekat klien saat dilakukan pengkajian. Dari
pembantu yang membawa klien ke rumah sakit, klien
merupakan duda, memiliki anak 1, dan memiliki riwayat
keluarga dengan penyakit yang sama yaitu kakeknya.
4.1.5.2. Konsep Diri:
Konsep diri cenderung negatif, klien menarik diri dan suka
menyendiri. Hal ini sesuai dengan teori Stuart (2009),
dimana klien dengan skizofrenia memiliki konsp diri yang
negatif dengan respon menarik dirinya.
86
Klien seorang duda yang tidak memiliki pekerjaan dan
hanya tinggal dengan pembantunya.
Ideal Diri:
Klien tidak memiliki ideal diri atas dirinya.
Harga Diri:
Klien suka menyendiri di dalam kamar dan berdiam diri di
pojok ruangan, tidak mau bersosialisai, merasa dirinya
tidak berguna.
4.1.5.3. Hubungan Sosial:
“Selama klien dirawat di RS klien tidak suka berkumpul
dengan teman-temannya maupun perawat yang ada
ruangan. Klien tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Klien terlihat lebih suka sendiri di kamarnya, duduk di
pojok ruangan atau tiduran di tempat tidur, kadang
berjalan mondar-mandir.” Hal ini juga sesuai dengan
Stuart dan Laraia (2005), yang mengemukakan bahwa
keadaan lingkungan yang memusuhi, sukar dalam
berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya
dukungan sosial, tekanan kerja (kurang terampil dalam
bekerja) dapat menyebabkan klien menarik diri dari
lingkungan sosialnya.
4.1.5.4. Spiritual (Nilai dan keyakinan) :
Klien enggan untuk berdoa dan beribadah.
87
dengan teori Stuart dan Laraia
(2005) dimana klien dengan
skizofrenia tidak dapat menerima
informasi dengan banyak karena
cenderung penerimaan informasi
dipersepsikan dengan hal yang
tidak relevan.
3) Aktvitas Motorik : Aktivitas klien menurun, sehari-
hari banyak menghabiskan waktu
di kamarnya, duduk di pojok
kamar, terkadang mondar-mandir
di dalam kamar, terlihat sering
berbicara dan tertawa sendiri.
4) Alam Perasaan : Emosi klien naik turun, terlihat
sering mengepalkan tangannya,
kemudian tertawa dan berbicara
sendiri.
5) Afek : Afek klien labil, emosinya cepat
berubah-ubah, kadang senang,
sedih dan gelisah.
6) Interaksi Selama Wawancara : Respon verbal berbelit-belit dan
tidak mau menatap perawat.
7) Persepsi : Klien mengalami halusinasi
dengar. “Klien mendengar suara-
suara yang muncul dikepalanya.
Isi suara itu adalah suara yang
ingin membunuhnya. Saat klien
mendengar suara-suara itu klien
merasa takut, cemas, dan kesal”.
Hal ini sesuai dengan teori Stuart
88
dan Laraia (2005), dimana klien
dengan halusinasi ditandai dengan
persepsi yang tidak akurat dengan
mendengar suara gaduh atau suara-
suara, pada umumnya dalam
bentuk suara-suara baik suara yang
mengajak bicara pasien,
percakapan antara dua orang atau
lebih tentang pasien yang
mengalami halusinasi.
8) Proses Fikir : “Ketika dilakukan pengkajian,
klien terlihat sulit menjawab
pertanyaan yang mudah”. Hal ini
sesuai dengan teori Stuart dan
Laraia (2005), dimana proses fikir
kadang terganggu (ilusi): yaitu
menifestasi dari persepsi impuls
eksternal melalui alat panca indra
yang memproduksi gambaran
sensorik pada area tertentu di otak
kemudian diinterpretasi sesuai
dengan kejadian yang telah dialami
sebelumnya.
9) Isi Pikir : “Klien yakin bahwa ada yang
ingin membunuhnya dan merebut
hartanya”.
10) Tingkat Kesadaran : Klien dapat membedakan siang dan
malam, tidak dapat membedakan
tempat, klien mengenali
pembantunya.
89
11) Memori
- Jangka Panjang : Klien tidak mau berbicara
mengenai dirinya.
- Jangka Pendek : Klien mengingat kapan ia terakhir
makan, yaitu makan pagi tadi
dengan nasi dan lauk ikan.
12) Tingkat Konsentrasi dan Berhitung : Klien dapat berhitung dari 1 – 10,
namun terlihat bingung ditanyakan
berapa jumlah obat yang ada di
tangannya untuk dikonsumsi.
13) Kemampuan Penilaian : Klien merasa suara yang ia dengar
sangat mengganggunya dan itu
merupakan masalah sangat berat
untuk dirinya.
14) Daya Tilik Diri : Klien pernah dirawat di RSJ 3
kali. Klien tidak mampu
mengambil keputusan sendiri.
90
menghadapi kegagalan pencapaian perkembangan. Klien berlanjut
menarik diri. Dapat disimpulkan klien memiliki satu faktor kuat
predisposisi dari neurobiologis yang kurang mendapat rangsangan
eksternal dan dua faktor presipitasi berupa sumber koping yang
minim dan gagal mencapai tugas perkembangan.
ANALISA DATA
DO:
- Klien tampak bingung.
- Mulut komat-kamit.
- Klien kadang bicara sendiri.
- Klien mondar-mandir.
- Koping maladaptif.
DO:
91
suara suara yang ingin
membunuhnya dan mencoba
menghilangkannya dengan cara
merusak barang-barang
DO:
Aspek Medis
a. Diagnosa Medik : Skizofrenia paranoid
b. Terapi Medis :
Terapi farmakologi :
Klien mendapatkan obat lanjutan: Chlorpromazine dan Haloperidol
Hal ini sesuai dengan teori oleh Keliat (2006) terapi psikofarmaka yang
dapat digunakan oleh klien halusinasi menurut prof. Budi adalah:
a. Chlorpromazine
b. Tryhexipenidil
c. Haloperidol
Pohon Masalah
92
Perilaku kekerasan Akibat
Menurut Katherine dan Patricia (2004), tanda dan gejala yang dapat
timbul pada pasien dengan halusinasi dapat berbeda sesuai dengan tingkat
intensitas halusinasinya dimana klien berada dalam Stage 2: Condemning,
yaitu dimana halusinasi menjadi menjijikan dan menakutkan, klien mulai
kehilangan kendali, klien berusaha menjauhi halusinasi, klien menyadari ini
dan merasa malu dengan orang lain hingga ia memilih menyendiri, masih
mungkin diajak berbicara dan dikembalikan ke realita. Secara fisik dapat
dilihat tanda mulai cemas seperti nadi naik, tekanan darah naik, fokus mulai
dangkal, mungkin mulai kesulitan membedakan halusinasi dan kenyataan.
Termasuk psikotik ringan.
93
Sebuah teori menurut David dan Busatto mengungkapkan minim atau
absensi impuls dari luar yang berfungsi juga sebagai inhibitor korteks
memproduksi impuls otomatis adalah penyebab munculnya halusinasi.
Absensi berkepanjangan impuls luar (misal suara) akan otomatis membuat
hipocampus memproduksi memori yang pernah disimpan dengan sendirinya
hingga terinterpretasi oleh korteks sebagai impuls nyata yang dipersepsikan
dapat melalui korteks visual, korteks auditory, korteks gustatory, dan
sebagainya.
Dalam keadaan ini halusinasi bertanggung jawab akan seperti apa reaksi
penderitanya bergantung pada stage berapa. Perilaku kekerasan, risiko
mencederai diri atau orang lain, risiko bunuh diri diangkat karena merupakan
stage 4 (akhir) dari halusinasi yaitu keadaan terburuk yang dianggap keadaan
mengancam (emergency) sementara stage sebelumnya tidak terlalu berbahaya
meski bukan berarti tidak perlu penanganan.
a. Halusinasi pendengaran
b. Isolasi Sosial: Menarik diri
c. Perilaku kekerasan
Hal ini sesuai dengan teori Keliat (2006) yaitu:
a. Resiko Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
94
hal sederhana seperti menanyakan waktu. Perawat menjawab pertanyaan-
pertanyaan pasien tersebut dengan penuh rendah hati dan menjawab sesuai
fakta tanpa mempermalukan.
Tujuan akhir intervensi pada pasien dengan halusinasi adalah membantu
mereka meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala sehingga mereka dapat
membedakan antara dunia yang dimunculkan oleh psikosis dan dunia nyata
yang dijalani orang lain tanpa schizophrenia. Langkah pertama untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan memfasilitasi komunikasi. Namun
sayangnya, pasien yang mengalami gejala ini lebih sering menghindar,
menertawai, atau mengacuhkan ketika gejala muncul. Memahami tentang
halusinasi seseorang membantu melewati kendala dalam memulai komunikasi
karena gejala dapat saja muncul tanpa disadari. Bila dibiarkan tanpa perhatian,
halusinasi akan berlanjut dan mungkin saja meningkat.
Perawat juga sebaiknya dapat memahami halusinasi karena pemahaman
ini dapat membantu perawat mengetahui pasien berada di level berapa bila
dilihat dari gejala yang muncul selama monitoring. Selama melakukan
monitoring ini pasien harus merasa nyaman terhadap perawat dan bersedia
jujur pada perawat mengenai gejala yang dialaminya.
Pasien sering memilih untuk tidak membicarakan pengalaman yang
dialaminya dengan siapapun karena mereka biasanya mendapatkan respon
negatif dari orang-orang sekitar yang berpikir kalau ide atau gagasan yang ia
munculkan dianggap aneh.
Bagi yang tidak pernah mengalami halusinasi, tidaklah mudah untuk
memahami bahwa sulit sekali bagi pasien yang mengalami halusinasi untuk
mengontrol gejala tersebut. Pasien dengan psikotik tidak memiliki
kemampuan secara langsung mengatasi kegagalan fungsi yang terjadi pada
otak mereka yang mengakibatkan halusinasi. Namun dengan mengabaikan
halusinasi pun dapat meningkatkan kebingungan yang dialami pasien yang
dari awal sudah kacau dan dipenuhi delusi dan gagasan-gagasan yang tidak
berhubungan satu sama lain.
95
Mengingat satu-satunya alat untuk menggali data dari klien dengan
schizophrenia adalah komunikasi, maka kelompok menyarankan perawat
benar-benar menjadikan dirinya sebagai fasilitator. Diskusi ini hanya dapat
terjadi dalam suasana yang tulus dan penuh perhatian (Stuart, 2016).
Intervensi yang diambil pada kasus telah sesuai dengan intervensi
keperawatan klien halusinasi berdasarkan kasus. Dalam kasus, disebutkan
klien sudah dirawat yang ketiga kalinya. Stuart (2016) menyarankan bagi
perawat untuk strategi pencegahan terjadinya relapse yaitu dengan:
a. Mengidentifikasi tanda dan gejala yang menunjukkan relapse (Identify
symptoms that signal relapse)
b. Mengidentifikasi gejala pemicu (Identify symptom triggers)
c. Memilih teknik penanganan gejala tersebut agar dapat dihindari (Select
symptom management techniques)
d. Identifikasi strategi koping yang dapat mencegah relapse (Identify coping
strategies for symptom triggers)
e. Identifikasi support system untuk dapat mencegah kekambuhan (Identify
support system for future relapse)
f. Catat perencanaan dan setujui dengan keluarga (Document action plan in
writing, and file with key support people)
g. Fasilitasi agar perawat kesehatan mental dapat dijangkau oleh keluarga
(Facilitate integration into family and community)
4.4 Implementasi
96
dengan klien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan (Keliat, 2006).
Untuk mengatasi core problem (halusinasi), kelompok melakukan strategi
pelaksanaan yang dapat perawat lakukan secara individu pada klien dengan
gangguan sensori persepsi menurut prof. Budi adalah dengan cara dibawah
ini:
a. Membantu klien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol
halusinasi dengan menghardik halusinasi.
b. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama
orang lain.
c. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas
terjadwal.
d. Melatih pasien minum obat secara teratur.
4.5 Evaluasi
97
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus - menerus pada
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dillaksanakan (Keliat,
2006). Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses atau
formatif yang dilakukan tiap selesai melakukan tindakan keperawatan dan
evaluasi hasil sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien
dengan tujuan yang telah ditentukan.
Kriteria evaluasi untuk kliendengan halusinasi adalah dengan
menggunakan pendekatan SOAP, yaitu :
98
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis yang berat dan terus menerus.
Akibatnya berupa respon yang dapat mengganggu kehidupan individu, keluarga
dan masyarakat dan merupakan salah satu dari gangguan jiwa (American
Psychiatric Association, 2013 dalam Stuart, 2016). Skizofrenia adalah suatu
penyakit otak neurobiologis yang menyebabkan adanya gangguan baik persepsi,
pikiran, emosi, gerakan dan prilaku yang berat dan menetap. Gejala skizofrenia
dibagi dalam dua kategori utama yaitu gejala positif atau nyata dan gejala
negatif, serta tambahan gejala lain berupa gejala kognitif dan gejala suasana hati.
Salah satu gejala positif berupa munculnya halusinasi.
99
penyimpangan-penyimpangan persepsi yang salah ditandai dengan perubahan
sensori persepsi, merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan atau penghiduan, pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak
ada.
Gangguan – gangguan halusinasi yang dirasakan tersebut memberikan
dampak lain. Seseorang yang mendengar sesuatu yang membuat dia marah
menimbulkan risiko perilaku kekerasan dengan merusak barang atau perilaku
marah – marah sehingga tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Karena perilaku
ini, orang – orang disekitarnya merasa takut dan memandang negatif dirinya
sehingga timbul rasa malu, ketidakpercayaan diri atau isolasi sosial
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Rawlins, 1993 dalam
Yusuf, dkk, 2015).
100
kesehatan dan kesejahteraan sesuai kondisi kesehatannya, klien dinyatakan
terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri
(Depkes 2010). Menurut Herdman (2012) defisit perawatan diri atas 4 kegiatan
yaitu: mandi/ hygine, berpakaian/ berhias, makan, dan toileting.
5.2 Saran
101
yang timbul sebagai dampak dari halusinasi tersebut, serta bagaimana asuhan
keperawatan yang diberikan kepada klien dimulai dari pengkajian yang
dilakukan oleh perawat, yang merupakan hal penting karena ditahap pengkajian
ini perawat akan mendapatkan data – data klien yang dapat digunakan dalam
merumuskan diagnosa keperawatan yang akurat, kemudian menyusun rencana
keperawatan yang akan dilakukan, melakukan tindakan keperawatan yang telah
direncanakan, serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.
Perawat juga harus mengetahui strategi pelaksaan yang dapat perawat lakukan
secara individu pada klien juga strategi lain berupa berbagai jenis terapi aktifitas
kelompok sesuai dengan gangguan yang dialami klien.
102