Anda di halaman 1dari 26

Nama : Nisa Izzah Islami

NIM : 181014201640

Kelas : Keperawatan 6B

Jurnal 1 STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN KELUARGA PASIEN DALAM BERKOMUNIKASI DENGAN


PERAWAT DI PRIORITAS 2 (P2) INSTALASI GAWAT DARURAT

Penanganan lebih utama daripada komunikasi mempunyai makna dimana keluarga mempunyai
anggapan bahwa komunikasi bukan hal yang terpenting pada kondisi gawat darurat di IGD. Keluarga
beranggapan bahwa komunikasi sebenarnya penting, tetapi yang lebih dipentingkan adalah penanganan
kepada pasien, beberapa keluarga pasien juga beranggapan bahwa komunikasi memperpanjang waktu
tunggu pasien mendapat penanganan. Persepsi keluarga bahwa penanganan lebih utama daripada
komunikasi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu komunikasi memperpanjang waktu tunggu pasien
mendapat penanganan, dan yang lebih utama dari komunikasi adalah penanganan sesuai prosedur.
Alasan pertama yang menunjang tema penanganan lebih utama daripada komunikasi adalah sub tema
komunikasi bukan keharusan, komunikasi diibaratkan sebagai pelengkap dari sajian utama yaitu
penanganan. Persepsi awal keluarga dan pasien ketika memutuskan untuk membawa pasien ke IGD
adalah sakit yang dialami bersifat parah karena jika tidak merasa parah mereka tidak akan membawa
pasien tersebut ke IGD. Hal ini bebeda dengan hasil penelitian (Bowles, et al., 2011) yang
mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan. Komunikasi
untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi kesehatan pasien juga merupakan salah satu dari 4
kebutuhan utama keluarga yang mendampingi pasien di IGD (ENA, 2010). Sub tema berikutnya adalah
penanganan pasien lebih utama. Menurut keluarga pasien penanganan yang sesuai prosedur idealnya
segera dilakukan dan komunikasi bisa dilakukan setelahnya, tidak harus ijin dulu. Komunikasi ke
keluarga sebenarnya dilakukan paling awal sebelum perawat melakukan tindakan. Pengkajian perlu
dilakukan sebelum membuat rencana dan melakukan implementasi kepada pasien (Potter & Perry,
2010). Komunikasi memperpanjang waktu tunggu merupakan sub tema ketiga yang mempengaruhi
tema penanganan lebih utama daripada komunikasi. Keluarga berpendapat bahwa dengan melakukan
komunikasi akan memperlama pasien mendapat penanganan. Waktu tunggu yang lama mendapat
penanganan adalah salah satu permasalahan utama di IGD selain jumlah pasien dan keluarga yang
datang melebihi kapasitas IGD, penggunaan ambulan sebagai sarana layanan pre hospital (Gordon;
Sheppard, et al., 2010) (Coughlan & Corry, 2007). Penanganan lebih utama daripada komunikasi ini
menggambarkan persepsi dari keluarga pasien tentang komunikasi. Pasien yang datang ke IGD
cenderung didahulukan penanganan fisik, kebutuhan emosional dan sosial dianggap kurang mendesak
dan sering tidak dianggap. Meskipun keluarga tidak mengutarakan secara langsung tentang kebutuhan
komunikasi, tetapi kepuasan dari keluarga ataupun pasien akan terpengaruh (Hostutler, et al., 2000).
Manfaat lain dari komunikasi yang dilakukan perawat adalah dapat mengurangi krisis yang dialami
keluarga (Azoulay, 2001). Tema keenggananan perawat ini berisi hambatan eksternal keluarga dalam
berkomunikasi dengan perawat di IGD. Keenganan perawat ditunjukkan dengan tindakan yaitu
penjelasan diberikan setelah tindakan, pemberian tindakan tanpa penjelasan, perawat kurang aktif,
perawat tidak memberitahu kondisi pasien, keluarga tidak mendapat penjelasan tentang waktu tunggu,
dan penjelasan diberikan setelah keluarga bertanya. Persepsi keluarga tentang perawat yang kurang
aktif didasari oleh sikap perawat yang tidak menjelaskan tentang tindakan dan perawat tidak tanggap
dengan kondisi yang ada. Mendapat penjelasan tentang kondisi pasien atau mengetahui prognosis sakit
yang dialami merupakan kebutuhan utama keluarga yang mendampingi pasien di IGD (Hashim & Hussin,
2012) (Mallairou, et al., 2014). Selain itu, perawat tidak tanggap dengan kondisi IGD yang ramai, ketika
kondisi sedang ramai, beberapa petugas berseragam batik biru (seragam perawat) hanya diam saja tidak
ikut membantu, penjelasan juga diberikan setelah keluarga bertanya sehingga wajar jika keluarga
berpersepsi bahwa perawat kurang aktif. Penjelasan kondisi pasien yang dimaksud disini adalah
pemberian informasi tentang tindakan yang akan atau sudah dilakukan kepada pasien, tetapi untuk
penjelasan alasan kenapa tindakan tersebut dilakukan tidak dijelaskan kepada keluarga. Menjaga agar
keluarga tetap mendapatkan informasi terbaru tentang kondisi pasien merupakan kesalahan yang sering
terjadi pada komunikasi antara perawat dan pasien (Pytel, 2009).

Menurut saya dalam penanganan di IGD perlunya komunikasi kepada pasien agar pasien mengerti akan
tindakan apa saja yang dilakukan oleh tenaga medis, terlepas dari para tenaga medis yang sedang sibuk
atau tidak tetap dalam penanganan pasien harus ada sangkut pautnya dengan keluarga.

Apabila tenaga medis yang sangat sibuk dengan kegiatannya bisa saja kekurangan tenaga medis di
rumah sakit sehingga semakin banyak pasien semakin sibuk pula para tenaga kesehatan.

Jurnal 2 : STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN PERAWAT INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) DALAM
MERAWAT PASIEN TERLANTAR PADA FASE END OF LIFE DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Perawat memiliki kecenderungan merasa hati tersentuh dan terharu pada pasien yang dirawat secara
langsung. Pasien terlantar yang menjelang ajal hanya sendiri tanpa ada dukungan dan pendampingan
dalam perawatannya. Hal ini menjadikan kecenderungan munculnya perubahan psikologis timbul
perasaan tersentuh, mengalami suatu perasaan yang berbeda saat merawat pasien terlantar yang
menjelang ajal, menjadi tersentuh, muncul perasaan kasihan, iba, empati dan rasa penyesalan karena
tidak ada keluarga yang mendampingi dalam tahap akhir dalam kehidupan yang dirasakan oleh perawat.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Enggune., et al 2014 yang menyebutkan bahwa
perasaan empati dan perasaan sedih merupakan dampak dari seringnya merawat pasien yang
meninggal dan merupakan suatu hal yang wajar. Fridh, Forsberg, & Bergbom, (2009) menyebutkan
bahwa pasien yang meninggal dalam keadaan tanpa didampingi oleh keluarga akan menjadikan suatu
hal yang sangat menyedihkan. Mengatasi perubahan psikologis yaitu dengan mengendalikan perasaan,
dimana membedakan simpati empati, menyampingkan empati, tidak terpengaruh oleh perasaan.
Pengendalian dan mengatasi perubahan psikologis yang dirasakan sangat perlu disadari oleh perawat
IGD untuk tetap bersikap professional dalam melakukan perawatan pasien terlantar yang menjelang
ajal. Bersikap professional dengan memberikan perawatan caring secara fisik, secara emosional dan
psikologis. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hudak & Gallo (2010) yang menyatakan bahwa
perawat peka dalam membangun rasa empati pada pasien, tapi bukan perawat yang kehilangan kendali.
Sikap menghargai harkat dan martabat menjadi bagian dalam perawatan pasien terlantar yang
menjelang ajal. Watson (2010) menyebutkan perawat menunjukan nilai-nilai humanistic (rasa
kemanusian) dengan nilai kebaikan, empati dan caring pada pasien dengan mengutamakan kepentingan
pasien yang akan berdampak rasa kebahagian dan kepuasaan dari perawat tersebut. Perawatan pasien
terlantar yang menjelang ajal kondisi End of Life membutuhkan fokus memberikan perawatan suportif.
Perawatan suportif yang diberikan yaitu perawatan lanjut kebutuhan dasar, memberikan kenyamanan
dan mengobservasi juga memonitor pasien terlantar yang menjelang ajal. Bailey, Murphy, &
Porock(2011) menyebutkan pasien di IGD dengan perawatan suportif untuk mengontrol gejala. Situasi
kerja yang kurang mendukung, terlebih di IGD pasien-pasien yang harapan hidupnya lebih tinggi menjadi
prioritas. Kondisi Prioritas berdasarkan tingkat dan level kegawatan dari setiap pasien. Decker, lee,
Morphet (2014) menyebutkan Situasi IGD yang sibuk, dengan banyaknya tuntutan, mungkin sulit untuk
memberikan pendampingan kematian yang baik. Bailey, Murphy, & Porock(2011) dan Chan (2011)
menyebutkan bahwa pasien-pasien dengan resusistasi selalu didahului diatas perawatan End of Life.
Ketidakmampuan perawat untuk mendampingi spiritual ini menimbulkan dilema bagi perawat saat disisi
lain perawat menyadari kebutuhan spiritual bagi pasien namun disisi lain lingkungan kerja dan
banyaknya tugas dan pasien lain yang membutuhkan perhatian dari perawat. Perawat memiliki peran
dalam melakukan intervensi secara langsung atau mengatur akses untuk mendapatkan perawatan
spiritual bagi pasien yang menjelang ajal. Tingginya tuntutan, dan kurangnya waktu mempengaruhi dan
menjadi hambatan keterampilan interpersonal dalam penyediaan spritual dari seorang perawat untuk
penyediaan perawatan menjelang kematian yang optimal.

Menurut saya meskipun keadaan pasien tersebut dalam kondisi menjelang ajal end of life pasien
tersebut masih membutuhkan pelayanan kesehatan dan pihak rumah sakit seharusnya menyediakan
layanan tersebut jangan sampai pasien sampai terlantar.
44 Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 3, Nomor 3, Oktober 2015, hlm. 44-53

STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN KELUARGA PASIEN


DALAM BERKOMUNIKASI DENGAN PERAWAT DI PRIORITAS 2
(P2) INSTALASI GAWAT DARURAT

Mokhtar Jamil
Poltekkes RS dr. Soepraoen

Abstrak

Pendahuluan: Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah bagian terdepan dan sangat berperan di rumah sakit,
Permasalahan tersering di IGD adalah jumlah pasien dan keluarga yang datang melebihi kapasitas, lamanya waktu
tunggu, dan penggunaan ambulan sebagai sarana layanan pre hospital. Pasien dan keluarga yang dibawa ke IGD
mempunyai persepsi bahwa sakit yang dialami bersifat parah, Persepsi tersebut tidak sepenuhnya benar karena
pasien yang masuk ke IGD bervariasi dari kasus P1, P2 atau P3. Penanganan pasien di P2 adalah tindakan menyetabilkan
kondisi dan mengobservasi pasien. Tindakan observasi yang dilakukan idealnya selama 2 jam, tetapi yang sering
terjadi, obsevasi yang dilakukan sering memanjang dan lama, pasien tanpa diberikan tindakan apapun. Komunikasi
untuk menjelaskan bahwa kondisi pasien termasuk prioritas 2 yang mempunyai waktu tunggu 30 menit – 2 jam jarang
diberikan sehingga membuat keluarga merasa tidak terurus.Tujuan penelitian : Mengekplorasi pengalaman keluarga
pasien gawat darurat prioritas 2 (P2) dalam berkomunikasi dengan perawat di Iinstalasi Gawat Darurat.Desain penelitian
: Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretatif yang melibatkan 6 keluarga pasien prioritas 2 (P2) di
Instalai Gawat Darurat RS Wava Husada Malang. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan dianalisis
dengan menggunakan analisa tematik Braun & Clarke. Hasil penelitian : Penelitian ini menghasilkan 6 tema dari hasil
analisis data yang dilakukan. Tema yang ditemukan adalah penanganan menyetabilkan pasien lebih utama, kebutuhan
keluarga terhadap komunikasi tidak terpenuhi, pasien dan keluarga merasa terabaikan, kesulitan keluarga berkomunikasi
dengan perawat, keluarga tidak bisa menolak atuan yang berlaku dan keluarga berharap bisa berkomunikasi dengan
perawat. Kesimpulan dan saran: Keluarga menganggap bahwa penanganan pasien lebih utama daripada komunikasi,
adanya perasaan terabaikan dan baik keluarga maupun pasien terhadap proses pemberian layanan di IGD. Kesulitan
keluarga berkomunikasi dengan perawat dan keengganan perawat memberi penjelasan kepada keluarga menjadi
hambatan tersendiri bagi keluarga. Keluarga mempunyai harapan agar perawat lebih komunikatif, memberi penjelasan
tentang kondisi pasien dan menjelaskan kepada eluarga perawat penanggung jawab pasien. Menjalankan komunikasi
2 arah merupakan tantangan untuk keluarga maupun perawat, diperlukan kejelasan aturan dan adanya SOP tentang
isi komunikasi yang disampaikan kepada keluarga.

Kata Kunci: pengalaman keluarga, komunikasi, perawat, IGD

Abstract

Introduction:Emergency Department (ED) is front part and plays an important role in the hospital. The most
common problems in the ED is the number of patients and families who come exceed the capacity, waiting time,
and the use of an ambulance as a tool pre-hospital services. Patients and families were taken to the ED have the
perception that their pain is severe and worst than other, the perception is not entirely correct because patients
admitted to the ED vary from case P1, P2 or P3. The management of patients in P2 is stabilizing action and observe
the patient’s condition. The act of observation performed ideally for +2 hours, but is often the patient observation
is prolong and without any treatment. Communication to explain that the patient’s condition is included in the
priority 2, which has a waiting time approximately + 2 hours is rarely given makes the family feel abandoned.
Purpose: explore of Patient’s Family in Communicating with Nurses in Priority 2 (P2) The Emergency Depart-
ment. Specifically researchers wanted to explore the patient’s family perceptions about communication in the ED,

44
Jamil, Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Pasien 45

the patient’s family feeling while communicating, barriers in communication and family expectations related to
communication in the ED nurse. Design This qualitative intepretive research using phenomenological approach.
The study was conducted in the emergency department Wava Husada Hospital Malang. Participants in this study
are 6 patient’s family with priority 2 in the ED.Data were collected through in depth interviews with open-ended
questions and analyzed using thematic analysis Braun & Clarke. Result : This study produced six themes, namely
1) Stabilizing patient more important, 2) families’ access to information are not met, 3) patient and family feel
neglected, 4) family accepts the rules in the forced, 5) family difficulties communicating with nurses, 6) family
hopes able to communicate with nurses. Conclusion:Family assume stabilizing the patient more important than
communication, patient and family feel neglected in emergency service. family difficulties communicating with
nursesand illustrates families’ access to information are not met. family hopes able to communicate with nurses,give
explanation about patient condition and expain to family which nurse who responsible to patient . Doing 2 ways
comunication is challenge for family or nurse, it should be supported by clear rules and SOP are socialized to
nurses about therapeutic communication.

Keywords: family experience, communication, nurse, emergency department

Pendahuluan yang beranggapan bahwa sakit yang dialami pasien


Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah bagian parah.
terdepan dan sangat berperan di rumah sakit. Pela- Penanganan pasien di P2 adalah tindakan me-
yanan gawat darurat mempunyai aspek khusus nyetabilkan kondisi dan mengobservasi pasien. Tin-
karena berkaitan dengan kondisi mengancam nyawa dakan observasi yang dilakukan idealnya selama 2
atau kecacatan seseorang. IGD berperan sebagai jam, tetapi yang sering terjadi, obsevasi yang dilaku-
gerbang utama jalan masuknya penderita gawat kan sering memanjang dan lama, pasien tanpa diberi-
darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan seca- kan tindakan apapun, dan kadang tidak mendapat
ra keseluruhan sebagai pusat rujukan penderita dari kejelasan tentang kondisi pasien. (Gordon; Sheppard;
pra rumah sakit tercermin dari kemampuan unit ini et al., 2010).
(Mallairou, et al., 2014). Keluarga dan pasien mempunyai harapan ke-
Permasalahan tersering di IGD adalah jumlah tika datang ke IGD, harapan tersebut meliputi pela-
pasien dan keluarga yang datang melebihi kapasitas yanan yang cepat, komunikasi serta informasi aku-
IGD, lamanya waktu tunggu, dan penggunaan am- rat, dan biaya terjangkau (Fry; Gallagher, et al.,
bulan sebagai sarana layanan pre hospital (Gordon; 2014). Emergency Nursing Association (ENA)
Sheppard, et al., 2010) (Coughlan & Corry, 2007). menyebutkan bahwa kebutuhan yang diperlukan
Waktu tunggu sangat mempengaruhi kepuasan dari oleh keluarga pasien yang dirawat di IGD adalah
pasien atau keluarga yang menerima layanan di berada di samping keluarga yang sakit, diberikan
IGD. Waktu tunggu yang lama dan kondisi lingkung- informasi mengenai kondisi kesehatan keluarganya,
an yang tidak kondusif dapat menambah kecemasan diberikan kenyamanan dan dukungan, serta merasa
dan stress bagi pasien dan keluarga (Woodwar- bahwa anggota keluarganya sudah mendapat pena-
Kron, et al., 2014). nganan yang terbaik. Keluarga juga mempunyai
Pasien dan keluarga yang dibawa ke IGD mem- kebutuhan berupa kesempatan untuk mendengarkan
punyai persepsi bahwa sakit yang dialami bersifat informasi dengan lebih seksama karena ada situasi
parah karena jika tidak merasa parah mereka tidak krisis keluarga tidak mudah mengolah informasi yang
akan membawa pasien tersebut ke IGD. Persepsi diberikan dikarenakan pada saat keluarga dalam
tersebut tidak sepenuhnya benar karena pasien yang kondisi cemas, depresi, trauma, dan berduka
masuk ke IGD bervariasi dari kasus yang gawat (Brysiewicz & Bhengu, 2010).
darurat, gawat tidak darurat maupun tidak gawat Keluarga berperan sebagai pemberi perawatan,
tidak darurat (Kemenkes RI, 2009). Perawat meng- saksi, dan pembuat keputusan bagi pasien. Keluarga
gunakan panduan menentukan tingkatan kegawatan mempunyai efek yang positif terhadap respon pasien
pasien menggunakan triage, karena semua pasien dalam berkomunikasi, keluarga juga berperan seba-
yang masuk IGD harus melalui proses triage untuk gai buffer dan sumber koping positif pasien terhadap
diidentifikasi kondisinya (Kemenkes RI, 2009), ber- stress yang dialami (Gullinale, et al., 2005). Pening-
beda dengan persepsi dari pasien atau keluarga katan jalur komunikasi antara pasien dan perawat
46 Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 3, Nomor 3, Oktober 2015, hlm. 44-53

dapat mengurangi sejumlah masalah yang dialami Hasil Penelitian


pasien selama di IGD. Komunikasi yang baik antara Penelitian ini menghasilkan 6 tema dari hasil
keluarga dan tenaga kesehatan menyebabkan hasil analisis data yang dilakukan. Tema yang ditemukan
pengobatan lebih baik (Woodwar-Kron, et al., adalah penanganan lebih utama daripada komu-
2014). Komunikasi pada keluarga atau pasien sering nikasi, keengganan perawat memberi penjelasan
terabaikan karena perawat sering kali memiliki kepada keluarga, pasien dan keluarga merasa ter-
waktu yang terbatas untuk anggota keluarga karena abaikan, kesulitan keluarga berkomunikasi dengan
lebih fokus dalam memberikan tindakan fisik mem- perawat, keluarga tidak bisa menolak atuan yang
berikan bantuan oksigenasi, fisiologis, dan meng- berlaku dan perawat lebih komunikatif.
observasi (Morse & Pooler, 2002).
Keberadaan keluarga dalam ruang IGD sering
Tema Penanganan Menyetabilkan Pasien
diabaikan sehingga perawat tidak mengetahui
kondisi atau pengalaman traumatik yang dialami oleh
Lebih Utama
keluarga pasien (Wagner, 2004). Kurangnya du- Secara harfiah komunikasi adalah pengiriman
kungan dan informasi yang diberikan oleh petugas dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang
kesehatan kepada keluarga akan membuat keluarga atau lebih sehingga isi pesan yang disampaikan dapat
menjadi kebingungan yang dapat menjadi stressor dipahami. Penanganan lebih utama daripada komu-
kemudian akan membuat keluarga menjadi cemas nikasi merupakan makna dimana keluarga mempu-
(Miracle, 2006). Dengan komunikasi yang jelas nyai anggapan bahwa komunikasi bukan hal utama
tentang kondisi pasien dan hal apa saja yang bisa pada kondisi gawat darurat di IGD. Tema ini tergam-
dilakukan oleh keluarga diharapkan dapat membantu bar dari tiga subtema yaitu komunikasi bukan keha-
keluarga untuk beradaptasi dengan stressor yang rusan, penanganan pasien lebih utama, dan komuni-
ada. kasi memperpanjang waktu tunggu. Tema dan
Berdasarkan pada teori dan fenomena yang ter- subtema ini menjawab pertanyaan penelitian tentang
kait dengan komunikasi pada keluarga, maka pene- persepsi keluarga dalam berkomunikasi dengan
liti merasa perlu dilakukan penelitian mengenai perawat di IGD.
pengalaman keluarga yang mendampingi pasien
gawat darurat yang masuk kriteria prioritas 2 (P2) ”Aku gak popo mas gak diajak ngomong,
terkait komunikasi yang dilakukan oleh perawat di pokok ndang ditambani, ndang waras, mulih”
IGD. (saya tidak apa-apa mas tidak diajak bicara,
Secara spesifik peneliti ingin menggali persepsi yang penting segera diobati, segera sembuh,
keluarga pasien P2 dalam berkomunikasi dengan pulang).(par4)
perawat, permasalahan/hambatan keluarga dalam
berkomunikasi, bagaimana perasaan keluarga sete- ”Cuma nggih niku, sing penting niku
lah berkomunikasi dan harapan keluarga terait pokok’e tanda tangan langsung ditangani
komunikasi dengan perawat di IGD. intensif kan” (yang penting itu pokoknya tanda
tangan segera ditangani intensif)
Bahan dan Metode Penelitian
”Mungkin nek tindakane sesuai prosedur
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
nggih mboten nopo-nopo mboten dikan-
dengan pendekatan fenomenologi interpretatif. Pe-
dani”(Mungkin jika tindakannya sesuai dengan
nelitian dilakukan di IGD RS Wava Husada Kepanjen
prosedur ya tidak apa-apa tida diberitahu)
Malang. Partisipan dalam penelitian ini adalah
keluarga pasien P2 yang mendampingi pasien di IGD
”Saya kira juga secara logika juga
sebanyak 6 orang. Data dikumpulkan melalui wa-
memang tidak harus prosedur dulu lah, bisa
wancara mendalam dengan pertanyaan terbuka dan
ditangani duluan”
dikembangkan oleh peneliti. Analisis data dilakukan
dengan menggunakan Analisa tematik Braun &
”Seharusnya juga tidak harus prosedur
Clarke yang terdiri dari 6 tahapan. Penelitian ini telah
dulu, harus tanya begini, bagaimana, kasian
mendapatkan laik etik di Fakultas Kedokteran
pasien harus nunggu”
Universitas Brawijaya Malang.
Jamil, Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Pasien 47

Tema Kebutuhan Keluarga terhadap Komu- IGD, ya kan harus ditangani dulu, sama2
nikasi Tidak Terpenuhi nganu, pasien a, tapi yo piye yo” (Par 2)
Tema ini berisi tentang persepsi keluarga
”Kalau menurutku yang ditangani ya yang
tentang keengganan perawat dalam memberikan
datang duluan, langsung ditangani kan gitu.
penjelasan. Tema ini terdiri dari 6 sub tema yaitu
Yang dtg duluan, langsung ditangani gak nung-
penjelasan diberikan setelah tindakan, tindakan tanpa
gu belakangan, disuruh nunggu lama, nunggu
penjelasan, perawat kurang aktif , perawat tidak
meriksa 2 orang”
memberitahu kondisi pasien, keluarga tidak menda-
pat penjelasan tentang waktu tunggu, dan penjelasan
”Dulu pernah, berapa kali, 2x, 3x sekarang
diberikan setelah keluarga bertanya. Tema dan sub
ini, kok malah dikerekne,(kok malah ditangani
tema ini menjawab pertanyaan mengenai hambatan
belakangan) yang didulukan orang gondang
yang dialami keluarga dalam berkomunikasi dengan
legi itu” (Par3)
perawat.
”Mas ini tadi ibu saya selang, ibu saya cuci
Tema Pasien dan Keluarga Merasa Terabaikan
perutnya, maaf ini tadi saya ndak ijin dulu ke
mas soalnya saya harus menangani pasien ibuk Tema ini berisi tentang perasaan pasien dan
yang dalam kondisi gawat darurat. Nah seka- keluarga yang merasa terabaikan karena merasa
rang saya mohon maaf ini ada surat yang harus tidak segera mendapat penanganan, merasa tidak
ditanda tangani”. dihargai, dan merasa tidak dilibatkan dalam peng-
ambilan keputusan. Tema dan sub tema ini menja-
”Kulo dipanggil diparingaken trus diting- wab pertanyaan mengenai perasaan keluarga ketika
gal, dikandani niki diombekne nggih pak” (saya berkomunikasi dengan perawat IGD RS Wava
dipanggil, diberikan trus ditinggal, diberitahu Husada.
ini diminumkan ya pak). ”Prasaku kok koyok gak diurus. Malih gak
koyok biyen, apik’an sing ndisik, yang dulu itu
lha wong mantun maringaken pil e niku pun kan habis datang langsung dirawat, kalo
ditinggal, dadi ya ra sempet takon” (Tidak, lha sekarang ditinggal ngrawat itu, ngrawat itu, gak
setelah memberikan obat pil itu sudah ditinggal, langsung dirawat” (par 2)
jadi ya tidak sempat bertanya)
”Koyok iku mau, nek enek pasien ojo
”baju biru yang lain itu cuma dieeem aja, begejekan (seperti ini tadi, jika ada pasien
saya gak tanya itu siapa, saya gak fokus ke jangan bercanda), tenang, jare pasien kon
seperti itu”. ”Yang pakaian biru-biru juga istirahat total, iki malah bercanda, gek ndek igd
banyak tapi yo gak lapo2” pisan ngunu kuwi,”

”Mbooteen, mboten wonten njelasaken ”Nggih..nggih,,susahe niku nggih nek bade


nopo-nopo, malah teng mriki (ICU) sing ngobrol niku, mereka nnggrumbul niku nggih,
njelasaken” (tiidaak, tidak ada menjelaskan trus guyon niku (ya..ya..,,susahnya itu ya jika
apa-apa, malah disini (ICU) yang menjelaskan). mau mengobrol itu, mereka bergerombol itu ya,
trus bercanda-canda itu)
Mboten, yo mek aban-aban jantung ngono,
podo omong2an ngono lo, ora dikandani ”Niki wau dikandani ayo nang radiologi,
langsung.” (Tidak, Cuma dengar-dengar nggih ayo, kulo ngoten, mboten dijelasno
jantung gitu, saling berbicara gitu lo (dokter- nopo2, dikandani sampeyan ngetutne aq ae.
perawat), tidak diberitahu langsung) Dadi yo ngetutne tok aq mz”(ini tadi diberitahu,
ayo ke radiologi, ya ayo, saya jawab begitu,
”Yang dikasi tau obat maag itu, itu saya tidak dijelaskan apa-apa, diberitahu bapak
membaca di brosurnya, ndak dikasi tau”. ikutin saya saja, jadi a ngikuti saja saya mas).

”Ya waktu itu ya sangat-sangat kecewa mas,


padahal ibu saya kan posisine koyok ngene,
48 Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 3, Nomor 3, Oktober 2015, hlm. 44-53

Tema Keluarga Tidak Bisa Menolak Aturan ”Kan jadi ragu-ragu tanya itu kan, pera-
yang Berlaku watnya sudah bilang, kalau sudah tau hasilnya
itu kalau sudah ada USG besok”.
Tema ini berisi tentang reaksi emosional yang
muncul dari keluarga terhadap aturan yang ada di
”Anu mas, iya kalau dijawab, saya kan
IGD RS Wava Husada. Reaksi emosi yang muncul
tanya katanya disuruh nunggu USG baru bisa
adalah perasaan pasrah dan tidak berdaya terhadap
tahu sakitnya apa”
aturan yang berlaku. Tema dan subtema ini menja-
wab pertanyaan penelitian tentang perasaan keluar-
”Ndak tanya mas, ntar dijawab ”kok
ga ketika berkomunikasi dengan perawat di IGD
tanyaaaa ae”,,takut dimarahi, hehehe. Dulu
IGD RS Wava Husada. Tema keluarga tidak bisa
pernah dimarahi soalnya, tapi bukan disini ”
menolak aturan yang berlaku ini terdiri dari 2 sub
tema yaitu keluarga menerima aturan dengan ter-
”Ndak jadi tanya soalnya takut, hehe,
paksa dan keluarga pasrah dengan tindakan pera-
engko takon dilokne (nanti tanya dihina), gak
wat.
takon gak paham (tidak tanya tidak paham)”
Perawate ngomong, ”ibu yang oleh nunggu
di dalam cuma 1 orang saja, bapaknya bisa
”Beno wis mas, timbangane engko gak
nunggu diluar, nanti gantian”.
diopeni” (Biarkan saja mas, daripada nanti
tidak dirawat) (Par3)
”yo’opo yo mas, yo kesel lah, kecewa,
pengen ngancani ibuku nang njero, tapi saya
”Nek sing teng ngisor niku ajenge tangklet
ya harus ngikuti prosedur” (ya gimana ya mas,
nopo-nopo kulo sungkan, perawate guyoooon
ya kesel lah, kecewa, ingin menemani ibu di
ae, ate nyesel takon sungkan dadine” (kalau
dalam, tapi ya saya harus ngikuti prosedur).
yang dibawah (IGD) itu mau tanya apa-apa
saya sungkan, perawatnya bercanda saja, mau
”Namane wong kate bunuh diri, kita kan
menyela bertanya jadi sungkan).
angan2e wis titik nol, kematian kan yang kita
bayangkan, tapi saya ya harus pasrah, yo’opo
”Sing teng ngisor niku mboten semerep sing
maneh, saya gak bisa apa2, skg yang bisa
pundi2 niku lo, soalx katah, gonta-ganti pera-
nangani ya perawat, perawat 2 itu tadi, ya
wate sing nangani, rame katik’an pak.” (yang
biarkan perawat itu bekerja
di bawah itu tdk tahu yang mana2, soalnya
banyak, gant-ganti perawatnya, rame juga
”Namane wong kate bunuh diri, kita kan
pak).
angan2e wis titik nol, kematian kan yang kita
bayangkan, tapi saya ya harus pasrah, yo’opo
Petugas2 yang lain itu itu ada, pakai baju
maneh, saya gak bisa apa2, skg yang bisa
biru juga tapi kayaknya seksi pengamanan
nangani ya perawat, perawat 2 itu tadi, ya
kayaknya”.
biarkan perawat itu bekerja.
Tema Keluarga Berharap Bisa Berkomuni-
Tema Kesulitan Keluarga Berkomunikasi kasi dengan Perawat
dengan Perawat Tema ini berisi tentang harapan keluarga terha-
dap komunikasi perawat di IGD. Harapan keluarga
Tema ini berisi tentang kesulitan keluarga dalam
agar perawat lebih komunikatif didasari oleh 3 sub
melakukan komunikasi dengan perawat. Tema ini
tema yaitu keluarga berharap perawat lebih aktif,
menjelaskan hambatan yang dialami dari sisi internal
mendapat penjelasan terkait keadaan pasien, dan
keluarga pasien Tema ini terdiri dari 2 sub tema
mendapat penjelasan tentang orang yang bertang-
yaitu keluarga takut untuk bertanya dan keluarga
gungjawab terhadap pasien. Tema ini menjawab
kesulitan mengidentifikasi perawat. Tema dan sub
pertanyaan penelitian harapan yang diinginkan oleh
tema ini menjawab pertanyaan mengenai hambatan
keluarga.
yang dialami keluarga dalam berkomunikasi dengan
perawat.
Jamil, Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Pasien 49

Ya bisa, tapi susah, sama mbawa impus, yaitu penanganan. Persepsi awal keluarga dan pa-
sama mberdirikan infus, kan susah. Kan sendiri, sien ketika memutuskan untuk membawa pasien ke
Cuma boleh ditungguin 1 orang. Kan kudune IGD adalah sakit yang dialami bersifat parah karena
perawate ngewangi kan mas?iya gak? jika tidak merasa parah mereka tidak akan mem-
bawa pasien tersebut ke IGD. Hal ini bebeda dengan
Oo,,inggih to pak, jane mboten usah hasil penelitian (Bowles, et al., 2011) yang meng-
tangklet malah, dijelasaken langsung. Cek ungkapkan bahwa komunikasi merupakan aspek
butuhe kluarga niku pak, secepatnya penting dalam asuhan keperawatan. Komunikasi
untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi
Ya pengen tau sakitnya apa, katanya kan, kesehatan pasien juga merupakan salah satu dari 4
dulu itu dibawa ke dr.gombong yang di pakis kebutuhan utama keluarga yang mendampingi
aji, katanya ususnya kelet, abis itu bengkak, pasien di IGD (ENA, 2010).
infeksi, kurang cairan, tipes. Sakitnya beda- Sub tema berikutnya adalah penanganan pasien
beda, makanya pengen tau yang benar ini sakit lebih utama. Menurut keluarga pasien penanganan
apa. yang sesuai prosedur idealnya segera dilakukan dan
komunikasi bisa dilakukan setelahnya, tidak harus
”Kalau ngerti kan, ada apa-apa bisa tanya ijin dulu. Komunikasi ke keluarga sebenarnya dilaku-
ke orang itu, kasarane ki enek wong sing kan paling awal sebelum perawat melakukan tin-
dicekel ngono mas” (kalau mengerti kan bisa dakan. Pengkajian perlu dilakukan sebelum mem-
tanya ke orang itu, biar ada orang yang buat rencana dan melakukan implementasi kepada
dipegang gitu mas”. pasien (Potter & Perry, 2010).
Komunikasi memperpanjang waktu tunggu
Harusnya itu, kan ibu sakit ini, dikasi obat merupakan sub tema ketiga yang mempengaruhi
ini, dikasi tau obatnya apa, jadi ga kliru tema penanganan lebih utama daripada komunikasi.
keluarga masukin obatnya Keluarga berpendapat bahwa dengan melakukan
komunikasi akan memperlama pasien mendapat
”Kan saya ini ingin tau dokternya siapa penanganan. Waktu tunggu yang lama mendapat
dokter yang nangani ibuk saya itu, kan ada penanganan adalah salah satu permasalahan utama
pasien, ada dokter dan susternya, jadi tanya- di IGD selain jumlah pasien dan keluarga yang da-
tanya bisa lebih jelas” tang melebihi kapasitas IGD, penggunaan ambulan
sebagai sarana layanan pre hospital (Gordon;
Sheppard, et al., 2010) (Coughlan & Corry, 2007).
Pembahasan Penanganan lebih utama daripada komunikasi
Penanganan lebih utama daripada komunikasi ini menggambarkan persepsi dari keluarga pasien
mempunyai makna dimana keluarga mempunyai tentang komunikasi. Pasien yang datang ke IGD
anggapan bahwa komunikasi bukan hal yang terpen- cenderung didahulukan penanganan fisik, kebutuhan
ting pada kondisi gawat darurat di IGD. Keluarga emosional dan sosial dianggap kurang mendesak dan
beranggapan bahwa komunikasi sebenarnya pen- sering tidak dianggap. Meskipun keluarga tidak
ting, tetapi yang lebih dipentingkan adalah penanga- mengutarakan secara langsung tentang kebutuhan
nan kepada pasien, beberapa keluarga pasien juga komunikasi, tetapi kepuasan dari keluarga ataupun
beranggapan bahwa komunikasi memperpanjang pasien akan terpengaruh (Hostutler, et al., 2000).
waktu tunggu pasien mendapat penanganan. Per- Manfaat lain dari komunikasi yang dilakukan pera-
sepsi keluarga bahwa penanganan lebih utama wat adalah dapat mengurangi krisis yang dialami
daripada komunikasi dipengaruhi oleh beberapa hal keluarga (Azoulay, 2001).
yaitu komunikasi memperpanjang waktu tunggu Tema keenggananan perawat ini berisi ham-
pasien mendapat penanganan, dan yang lebih utama batan eksternal keluarga dalam berkomunikasi dengan
dari komunikasi adalah penanganan sesuai prosedur. perawat di IGD. Keenganan perawat ditunjukkan
Alasan pertama yang menunjang tema pena- dengan tindakan yaitu penjelasan diberikan setelah
nganan lebih utama daripada komunikasi adalah sub tindakan, pemberian tindakan tanpa penjelasan,
tema komunikasi bukan keharusan, komunikasi perawat kurang aktif, perawat tidak memberitahu
diibaratkan sebagai pelengkap dari sajian utama kondisi pasien, keluarga tidak mendapat penjelasan
50 Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 3, Nomor 3, Oktober 2015, hlm. 44-53

tentang waktu tunggu, dan penjelasan diberikan perawat, dengan adanya keengganan perawat da-
setelah keluarga bertanya. lam memberikan penjelasan kepada keluarga, sema-
Persepsi keluarga tentang perawat yang kurang kin memperkuat keinginan keluarga untuk memen-
aktif didasari oleh sikap perawat yang tidak menjelas- dam pertanyaannya.
kan tentang tindakan dan perawat tidak tanggap Tema pasien dan keluarga merasa terabaikan
dengan kondisi yang ada. Mendapat penjelasan ten- mempunyai makna keluarga dan pasien merasa
tang kondisi pasien atau mengetahui prognosis sakit tidak dipedulikan oleh perawat. Hal ini disebabkan
yang dialami merupakan kebutuhan utama keluarga karena pasien tidak segera mendapat penanganan
yang mendampingi pasien di IGD (Hashim & Hussin, dan keluarga merasa tidak dihargai oleh perawat.
2012) (Mallairou, et al., 2014). Selain itu, perawat Tema ini menjawab pertanyaan penelitian perasaan
tidak tanggap dengan kondisi IGD yang ramai, ketika keluarga ketika berkomunikasi dengan perawat.
kondisi sedang ramai, beberapa petugas berseragam Keluarga merasa pasien tidak segera mendapat
batik biru (seragam perawat) hanya diam saja tidak penanganan karena keluuarga merasa pasien dibe-
ikut membantu, penjelasan juga diberikan setelah dakan dengan pasien lainnya, baik dari cara pena-
keluarga bertanya sehingga wajar jika keluarga ber- nganan maupun perlakuan. Keluarga juga merasa
persepsi bahwa perawat kurang aktif. pasien bukan prioritas karena penanganan pasien
Penjelasan kondisi pasien yang dimaksud disini tidak segera dilakukan. Pasien yang masuk IGD
adalah pemberian informasi tentang tindakan yang bervariasi kondisi kegawatannya, digunakan triage
akan atau sudah dilakukan kepada pasien, tetapi untuk mengidentifikasi tingkat keparahan (Gilboy et
untuk penjelasan alasan kenapa tindakan tersebut al, 2012). Perbedaan triage inilah yang membedakan
dilakukan tidak dijelaskan kepada keluarga. Menjaga penanganan dan perlakuan. Triage dengan prioritas
agar keluarga tetap mendapatkan informasi terbaru lebih tinggi mempunyai respon time yang lebih
tentang kondisi pasien merupakan kesalahan yang cepat. Hal yang membuat keluarga merasa pasien
sering terjadi pada komunikasi antara perawat dan tidak segera mendapat penanganan karena tidak
pasien (Pytel, 2009). Keluarga membutuhkan infor- adanya penjelasan kepada keluarga terkait hal terse-
masi yang terkait dengan anggota keluarganya yang but. Komunikasi pada keluarga atau pasien sering
sedang dirawat di IGD. Informasi yang dibutuhkan terabaikan karena perawat sering kali memiliki wak-
oleh keluarga adalah tentang perkembangan penya- tu yang terbatas untuk anggota keluarga karena
kit pasien, penyebab atau alasan suatu tindakan dila- lebih fokus dalam memberikan tindakan fisik mem-
kukan pada pasien, kondisi pasien yang sesungguhnya berikan bantuan oksigenasi, fisiologis, dan meng-
dan perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan observasi (Morse & Pooler, 2002).
tindakan. Keluarga membutuhkan informasi yang Keluarga merasa tidak dihargai oleh perawat
diberikan terus menerus dan detail (ENA, 2010). karena perawat tidak fokus kepada pasien, perawat
Triage merupakan proses pemilahan pasien banyak bercanda dengan perawat lain, waktu inter-
untuk diprioritaskan berdasarkan tingkat kegawatan aksi dengan perawat yang dirasa kurang, serta
(Brown, 2001). Pada pasien dengan triage prioritas kurangnya informasi yang didapat keluarga. Makna
2 memang mempunyai waktu tunggu untuk diobser- dari perawat tidak fokus ke pasien adalah perawat
vasi selama 30 menit. Keluarga pasien merasa kon- banyak melakukan aktivitas lain dan tidak konsen-
disi yang dialami pasien tergolong parah, sehingga trasi pada satu pasien, perawat juga terlalu banyak
menuntut untuk penanganan segera, tetapi tidak bercanda dengan sesama perawat yang menurut
dengan kategori triage. Pasien yang memang tergo- keluarga hal tersebut kurang etis dilakukan oleh pera-
long prioritas 2 mempunyai waktu observasi selama wat di tengah kondisi keluarga sedang mengalami
30 menit, tidak adanya informasi dari perawat yang masalah atau kebingungan.
menjelaskan tentang prioritas ini membuat keluarga Keluarga tidak dilibatkan dalam pengambilan
merasa tidak diurus, merasa dianaktirikan. keputusan didasari oleh beberapa komunikasi yang
Menurut Kim, et al. (2008) beberapa faktor dilakukan perawat bersifat searah dan bermodel
yang mempengaruhi keluarga untuk berkomunikasi perintah, ditambah kondisi keluarga yang pasrah
adalah mendapat feedback positif dari perawat dan terhadap perawat karena merasa tidak mengerti
merasa punya hak dan tanggung jawab untuk ber- apa-apa sehingga keluarga hanya sekedar menger-
komunikasi. Feedback dari perawat mempengaruhi jakan apa yang diminta oleh perawat.
kemauan keluarga untuk berkomunikasi dengan
Jamil, Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Pasien 51

Tema keluarga tidak bisa menolak aturan yang pasien tersebut. Menurut Malliarou, et al. (2014),
berlaku mempunyai makna keluarga merasa pasrah peran perawat yang dibutuhkan keluarga menurut
dengan aturan yang ada, dan keluarga menerima versi keluarga adalah memastikan bahwa keluarga
dengan terpaksa aturan yang berlaku. mengetahui perawat yang menangani termasuk me-
Sub tema keluarga menerima aturan dengan ngetahui nama perawat. Keluarga mengetahui nama
terpaksa ditunjukkan dari pemberitahuan aturan oleh perawat dengan membaca papan nama yang dipakai
perawat dan respon kecewa yang muncul dari ke- perawat, bukan dari perkenalan diri yang dilakukan
luarga. Keluarga mempunyai keinginan untuk men- perawat. Dengan mengetahui perawat penanggung
dampingi pasien di dalam IGD. Menurut Malliarou jawab pasien akan membuat keluarga mempunyai
(2014) kebutuhan keluarga pasien ketika mendam- orang yang bisa dijagakan, merasa bisa menanyakan
pingi pasien adalah dibolehkan menghabiskan waktu setiap hal kepada perawat tersebut dan merasa aman
dengan pasien dan berharap perawat dapat mem- ketika akan meninggalkan pasien sebentar (Malliarou,
bantu keluarga untuk tetap dekat dan dapat berko- 2014). Hambatan-hambatan yang dirasakan oleh
munikasi dengan pasien. keluarga membuat keluarga mengurungkan niat
Sub tema keluarga merasa pasrah dengan tin- untuk bertanya kepada perawat, yang berujung pada
dakan perawat disebabkan karena keluarga merasa tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga terkait keti-
pasrah terhadap perawat dan pasrah terhadap atur- daktahuan mereka tentang kondisi pasien.
an yang ada. Keluarga beranggapan bahwa yang Menurut Kim, et al. (2008) hal yang mendo-
paling mengerti kebutuhan pasien adalah perawat, rong komunikasi antara keluarga dan perawat dari
sehingga walaupun keluarga mempunyai keinginan sisi keluarga adalah motivasi untuk mendapat laya-
lain, keluarga berusaha menahan untuk tidak meng- nan, keluarga percaya diri dengan kemampuan
ungkapkan keinginan tersebut. komunikasi yang dimiliki, Motivasi yang dimiliki
Tema kesulitan keluarga dalam berkomunikasi keluarga cenderung kalah kuat dibandingkan dengan
dengan perawat dimaknai sebagai hal-hal yang men- kesulitan yang dihadapi oleh keluarga dalam berko-
jadi penghalang keluarga dalam melakukan komuni- munikasi dengan perawat
kasi dengan perawat. Hambatan ini didasari 2 alasan Tema harapan keluarga dalam komunikasi
yaitu, 1) keluarga merasa takut untuk bertanya dan dimaknai sebagai keinginan yang muncul dari ke-
2) keluarga kesulitan mengidentifikasi perawat yang luarga setelah melakukan komunikasi dengan pera-
merawat. wat selama mendampingi pasien di IGD. Harapan
Keluarga mempunyai perasaan takut ketika muncul dipengaruhi oleh persepsi awal keluarga ten-
akan bertanya kepada perawat. Hal ini disadari oleh tang komunikasi, hambatan internal dan eksternal
perasaan ragu dan takut keluarga ketika akan ber- yang dialami keluarga selama berkomunikasi, serta
tanya, ketakutan akan dimarahi jika banyak berta- perasaan yang dialami keluarga setelah berkomu-
nya, takut tidak mendapat respon dari perawat, sam- nikasi dengan perawat. Tema ini didasari oleh ke-
pai merasa sungkan untuk bertanya kepada perawat. inginan keluarga agar perawat lebih aktif, mendapat
Hal ini sesuai dengan penelitian Pytel (2009) yang penjelasan terkait keadaan pasien, dan mendapat
menjelaskan bahwa keluarga secara terbuka me- penjelasan tentang perawat yang bertanggungjawab
ngalami ketakutan untuk mengkritik perawat karena terhadap pasien.
takut akan ”pembalasan” perawat, pembalasan Keluarga berharap perawat lebih aktif dalam
dapat berupa pengabaian pasien. Tindakan yang menanggapi ketidakmampuan keluarga dalam mela-
dilakukan keluarga seringnya bukan kritik, tetapi kukan sesuatu. Menurut penelitian Hashim &
malah menahan diri untuk tidak mengungkapkan, Hussin (2012), keluarga merasa asing ketika di
dan baru disampaikan di sosial masyarakat, sehingga dalam IGD, diibaratkan seperti tamu yang jika tuan
hal tersebut dianggap menjadi suatu hal yang wajar rumah tidak menyambut akan merasa bingung.
(McCabe, 2004). Sub tema berikutnya adalah keluarga beharap
Masalah lain yang dihadapi oleh keluarga ada- mendapatkan penjelasan terkait keadaan pasien.
lah keluarga kesulitan mengidentifikasi perawat Ketidaktahuan tentang kondisi pasien, ketidakpa-
yang merawat pasien. Hal ini dikarenakan berganti- haman harus melakukan apa ketika di IGD menjadi
gantinya perawat yang menangani pasien dan tidak salah satu stressor bagi keluarga. Dengan menge-
ada penjelasan yang dilakukan perawat kepada tahui kondisi pasien, akan mengurangi kecemasan
keluarga terkait perawat penanggung jawab pada keluarga, dan keluarga bisa berperan menjadi
52 Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti, Volume 3, Nomor 3, Oktober 2015, hlm. 44-53

sumber koping posiif untuk pasien (Gullinale, et al., Kesimpulan dan Saran
2005). Keluarga yang sangat tergantung kepada Keluarga menganggap bahwa penanganan pa-
perawat untuk mendapat informasi terkait kondisi sien lebih utama daripada komunikasi, adanya pera-
pasien, ketika rasa bergantung tersebut tidak terfasi- saan terabaikan dan baik keluarga maupun pasien
litasi akan membuat perasaan kecewa (Hashim & terhadap proses pemberian layanan di IGD. Kesu-
Hussin, 2012). Kurangnya dukungan dan informasi litan keluarga berkomunikasi dengan perawat dan
yang diberikan oleh petugas kesehatan kepada ke- keengganan perawat memberi penjelasan kepada
luarga akan membuat keluarga menjadi kebingungan keluarga menjadi hambatan tersendiri bagi keluarga.
yang dapat menjadi stressor kemudian akan mem- Keluarga mempunyai harapan agar perawat lebih
buat keluarga menjadi cemas (Miracle, 2006). komunikatif, memberi penjelasan tentang kondisi
Sub tema penyusun harapan berikutnya adalah pasien dan menjelaskan kepada keluarga perawat
harapan keluarga untuk mengetahui perawat yang penanggung jawab pasien. Menjalankan komunikasi
bertanggungjawab terhadap pasien. Dengan menge- 2 arah merupakan tantangan untuk keluarga maupun
tahui penanggung jawab, keluarga merasa mempu- perawat, diperlukan kejelasan aturan dan adanya
nyai orang yang bisa dipegang, orang yang menjadi SOP tentang isi komunikasi yang disampaikan ke-
rujukan ketika keluarga mengalami masalah apapun pada keluarga.
ketika di IGD. Menurut Malliarou, et al. (2014),
kebutuhan keluarga pasien di IGD adalah memas-
DAFTAR RUJUKAN
tikan keluarga tahu nama perawat karena dengan
mengetahui perawat penanggungjawab, keluarga Braun, & Clarke. 2006. Using Thematic Analysis in Psy-
merasa dapat menanyakan semua hal tentang pa- chology. Qualitative Research in Psychology
(Vol. 3).
sien. Dengan mengetahui perawat penanggung ja-
Brown, J., Benton, G., Daily, S., Dilley, S., Julie, F., Goding,
wab, keluarga merasa sebagian kebutuhannya S., et al. 2001. Guidelines For Triage Education
terpenuhi dan menjadi lebih tenang. and Practice. Victoria: Monash Medical Center.
Brysiewicz, P., & Brengu, B. 2010. The Experience of Nurse
Implikasi Keperawatan In Providing Psychosocial Support to Families
Of Critically Ill Trauma Patients In Intensive Care
Penelitian ini memiliki beberapa implikasi prak-
Units. Southern African Journal of Critical Care,
tek dan pendidikan keperawatan. Penelitian ini 28(2), 42–51.
memberikan gambaran mendalam tentang bagai- Coughlan, M., & Corry, M. 2007. The Experiences of Pa-
mana pengalaman keluarga dalam berkomunikasi tients and Relatives/Significant Others of Over-
dengan perawat di IGD. Impikasi pada pendidikan crowding in Accident And Emergency in Ireland:
diharapkan dapat memberikan gambaran pengalam- A Qualitative Descriptive Study. Accident and
an keluarga dalam berkomunikasi dengan perawat Emergency Nursing, 15(4), 201–209.
di IGD. Hasil penelitian ini juga diharapkan berman- ENA, Emergency Nursing Association. 2010. Emergency
faat sebagai referensi dalam literatur family cente- Nursing: Principles and Practice (6th ed.).
red care pada konteks melibatkan keluarga di setting United States of America: Mosby Elsevier.
Fry, M., Gallagher, R., Chenoweth, L., & Stein-Parbury, J.
gawat darurat, persepsi, kebutuhan, hambatan dan
2014. Nurses’ Experiences And Expectations of
harapan keluarga yang mendampingi pasien di IGD
Family and Carers of Older Patients in The Emer-
di daerah Malang. gency Department. International Emergency
Implikasi praktis dari hasil penelitian ini mem- Nursing 22, 31–36.
berikan masukan bagi penyedia layanan dalam Gilboy, N., Tanabe, P., & Travers, D. 2012. Emergency
membuat kebijakan untuk meningkatkan pelayanan Severity Index (ESI) a triage tool for emergency
kesehatan pasien dan kepuasaan keluarga berupa department care version 4. AHRQ publication,
Standar Operational Procedure (SOP) komuni- 1(1), 12–14.
kasi yang dilakukan kepada keluarga di setting gawat Gordon, J., Sheppard, L.A., & Anaf, S. 2010. The patient
darurat. Secara praktis diharapkan hasil penelitian experience in the emergency department: A sys-
tematic synthesis of qualitative research. Inter-
ini juga dapat dijadikan sebagai landasan untuk
national Emergency Nursing, 18(2), 80–88.
membuat model perawatan pasien dengan prinsip Hashim, F., & Hussin, R. 2012. Communication Needs of
family centered care pada konteks gawat darurat Family Members with a Relative in Intensive Care
di daerah Malang. Unit. Journal of Asian Behavioural Studies, 2(6).
Jamil, Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Pasien 53

Kemenkes RI. 2009. Pedoman Pelayanan Keperawatan Morse, J., & Pooler, C. 2002. Patient Family Nurse Inter-
Gawat Darurat di Rumah Sakit. actions in The Trauma Resuscitation Room.
Kim, Y.M., Heeney, M., Kols, A. 2008. Factors That En- American Journal of Critical Care, 11(3), 240–
able Nurse–Patient Communication In A Family 249.
Planning Context: A Positive Deviance Study. Potter, A.G., & Perry, P.A. 2010. Fundamental of Nursing
Journal of Law, Medicine and Ethics, 28(1), 5– Concepts, Process and Practice (4th ed.). St.
18. Louis: Mosby Year Book.
Malliarou, M., Gerogianni, G., Babatsikou, F., Evaggelia Pytel, C., Fielden, N., Meyer, K., Albert, N. 2009. Nurse-
Kotrotsiou, & Zyga, S. 2014. Family Perceptions Patient/Visitor Communication in The Emergency
of Intensive Care Unit Nurses’ Roles: a Greek per- Department. J Emerg Nurs. 35:406–11.
spective. Health Psychology Research, 2(994), Wagner, J. 2004. Parents Need Care Too: Providing Fa-
1–3. mily Centered During Pediatric Resuscitation in
Miracle, V. 2006. Strategies to Meet the Needs of Fami- A Rural Area. Australian Journal of Rural Health,
lies of Critically Ill Patients. Dimension of Criti- 9(1), 18–21.
cal Care Nursing, 25(3), 121–125.
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN PERAWAT INSTALASI GAWAT DARURAT
(IGD) DALAM MERAWAT PASIEN TERLANTAR PADA FASE END OF LIFE
DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
1 2 3
Maria Imaculata Ose , Retty Ratnawati , Retno Lestari
1
Universitas Borneo Tarakan
2,3
Staf Pengajar Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Pasien terlantar dalam keadaan kritis yang memasuki fase End of Life sering dirawat di IGD. Kondisi tanpa
ada keluarga yang mendampingi dan lingkungan IGD yang sibuk dan bising menjadi hambatan juga
tantangan dalam perawatan End of Life. Perawatan pasien terlantar dalam tahap End of Life membutuhkan
penanganan yang bertujuan memberikan rasa nyaman, ketenangan, kedekatan dukungan social. Penelitian
ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam merawat pasien terlantar dalam fase End
of Life di ruang IGD RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Desain penelitian dengan metode kualitatif dengan
pendekatan Fenomenologi interpretif, yang melibatkan 7 perawat IGD. Data dikumpulkan melalui Indepth
interview dan dianalisis dengan menggunakan analisa tematik Braun & Clark. Hasil penelitian menghasilkan
7 tema yaitu 1. merasakan hati tersentuh pada pasien terlantar menjelang ajal 2. Tidak membedakan
perlakuan pada pasien terlantar dengan pasien lain yang menjelang ajal 3. Menghargai harkat dan
martabat pasien 4. Memilih perawatan suportif sebagai tindakan terbaik 5. Terpaksa meninggalkan pasien
tanpa pendampingan spritual 6. Mengalami konflik dalam menempatkan pasien terlantar yang menjelang
ajal 7. Mengharapkan situasi lingkungan kerja yang mendukung. Kesimpulan adalah perawat bersikap
profesional, menghormati harkat dan martabat dalam memberikan perawatan tanpa membedakan
perlakuan dengan pasien lain yang menjelang ajal. Perasaan hati yang tersentuh muncul saat merawat
pasien terlantar yang menjelang ajal tanpa didampingi keluarga. Perawatan End of Life lebih berfokus pada
perawatan suportif, sedangkan dukungan spiritual tidak dapat diberikan di IGD karena karakteristik
lingkungan yang sibuk dan lebih memprioritaskan pasien kritis. Hal ini menimbulkan konflik dan dilema bagi
perawat sehingga diperlukan adanya ruangan khusus dan tim kerohanian untuk menyiapkan kematian yang
damai dan bermartabat.
Kata Kunci: Pasien terlantar, End of Life, Perawatan Gawat Darurat.
Abstract
Homeless patients who are encountering the End of Life phase are regularly admitted to the emergency
department. Barriers to treating these patients arise due to no family assistance and unconducive
environment. Treatments given to the patients who are facing the End of Lifephase should be able to make
the patients feel comfortable, calm, and socially supported. This research aimed to explore the experiences
of the nurses who care for the homeless patients in the emergency department of RSUD dr. Saiful Anwar
Malang. This research was designed qualitatively employing the interpretive phenomenological approach.
There were seven nurses participating in this study. Data was obtained through an in-depthinterview and
analyzed by the Braun & Clark’s thematic analysis. The results have successfully found seven themes: 1.
Nurses feel touched at the moment the patients are facing the dead 2. Nurses give mutual treatments to all
patients, including the homeless 3. Nurses respect the homeless 4. Nurses prefer supportive treatments as
the best intervention 5. Nurses have to leave the homeless without any spiritual assistance 6. Nurses face
conflicts where to place the homeless 7. Nurses expect a conducive working environment. In conclusion the
nurses maintained their professionalism, respected the homeless patients, gave mutual treatments to the
patients. They felt touched because there was no family assisted the patients when they were struggling at
the edge of their life. Treatments given to the patients at the End of Life phase were focused more on
supportive treatments. No spiritual assistance could be provided by the emergency department due to busy
environment and priority given to other dying patients. These have become problematic for the nurses. So,
the availability of rooms for the homeless and spiritual teams can be helpful to prepare the patients die in
peace and dignity.
Keywords: Homeless Patients, End of Life, Emergency of Nursing.
Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol:4, No.2; Korespondensi : Maria Imaculata Ose. Universitas Borneo Tarakan.
Alamat: Jl. S. Mahakam Asmil Kompi C 613 Kampung 4 Tarakan.Email. onijuntak@gmail.com. No. Hp
085652149185

www.jik.ub.ac.id
171
PENDAHULUAN perawat, terutama jika tidak ada yang

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit mendampingi. IGD RSUD dr. Saiful Anwar

pertama dalam pelayanan kesehatan di cukup banyak pasien terlantar. Berdasarkan

Rumah Sakit yang memprioritaskan pasien Laporan Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar

sesuai dengan tingkat keadaan gawat darurat. (2014) di IGD menerima pasien terlantar pada

Dalam hal ini perawat dituntut untuk mampu tahun 2012 sebanyak 69 orang, pada tahun

dalam berkomunikasi dan memberikan 2013 sebanyak 55 orang pasien terlantar, dan

pelayanan secara profesional. Kondisi pasien tahun 2014 mengalami peningkatan 75 orang

yang datang ke IGD bervariasi, baik yang pasien yang terlantar.

mengancam jiwa maupun yang menjelang Berdasarkan pengamatan peneliti pada bulan
ajal. Pasien dengan kondisi mengancam desember 2015 di IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
nyawa berfokus pada tindakan resusitasi, perawat tidak dapat maksimal menemani dan
sedangkan pada pasien yang menjelang ajal selalu berada mendampingi disisi pasien
lebih berfokus pada perawatan End of Life. terlantar ini. Persepsi perawat pada pasien

End of Life Care diberikan pada pasien yang terlantar dengan End of Life bukanlah pasien

menjelang meninggal atau fase kritis dengan yang prioritas lagi. Banyak pasien lain dalam

menerapkan Teori Peaceful End of Life. kondisi emergency yang membutuhkan

(Ruland & Moore, 1998 dalam Aligood & penanganan sehingga perawat tidak memiliki

Tomey, 2014). Teori iniyang mencakup konsep banyak waktu untuk fokus membantu pasien

persiapan yang baik dalam menghadapi terlantar melewati fase End of Life.

kematian. Intervensi dalam konsep teori ini


Wolf, (2015) menyebutkan bahwa perawat di
dilakukan yang bertujuan pasien merasa
IGD sudah menyediakan End of Life Care, dan
bebas dari rasa nyeri, merasa kenyamanan,
perawat mengakui sudah menerapkan End of
merasa dihargai, dihormati dan berada dalam
Life Care namun terdapat keterbatasan dalam
kedamaian dan ketenangan juga merasa
pelaksanaan fase End of Life meliputi
dekat dengan orang dirawatnya.
beberapa hal yaitu pengalaman perawat, dan
Beckstrand et al (2015) menyebutkan perawat pengetahuan perawat, persepsi perawat,
mengalami hambatan dalam memberikan jumlah perawat saat menghadapi pasien
pelayanan End of Lifeyang baik pada pasien dengan kondisi yang kritis. IGD merupakan
yang tidak memiliki identitas. Selain itu lingkungan yang sibuk, bising dan memiliki
perawatan End of Life menjadi sulit dilakukan privasi yang sangat rendah. Kondisi ini
dan menimbulkan permasalahan bagi menyebabkan pasien terlantar tidak
Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016
172
mendapatkan perawatan End of Life. Hal ini yang berkerja di IGD dalam rawat pasien
sangat bertolak belakang dengan yang terlantar dengan fase End of Life belum
dibutuhkan untuk perawatan pasien terlantar banyak diuraikan secara komprehensif dan
dalam tahap End of Life, yang membutuhkan mendalam, sehingga eksplorasi dalam
penanganan yang bertujuan untuk terhadap pengalaman dan makna
memberikan rasa nyaman, ketenangan, pengalaman IGD dalam merawat pasien
kedekatan dukungan sosial. Hal ini sejalan terlantar dengan fase End of Life penting di
dengan penelitian yang dilakukan oleh lakukan.
Beckstand et al (2015) yang menyebutkan IGD
METODE
merupakan bukan tempat yang ideal saat
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
menghadapi kematian.
dengan pendekatan fenomenologi iinterpretif.
Hasil wawancara pada beberapa perawat IGD Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat
RSUD dr.Saiful Anwar menyatakan bahwa yang berkerja di ruang IGD RSUD dr. Saiful
pasien terlantar yang menjelang ajal biasanya Anwar. Tahap pemilihan partisipan dengan
sendiri tanpa ada yang mendampingi teknik purposive sampling berdasarkan
menimbulkan rasa keprihatinan oleh perawat. kriteria inkulsi dan memilih partisipan yang
Tantangan lain dalam pelaksanaan End of Life sudah dikenal oleh peneliti, dengan
yaitu kurangnya staf, kurangnya dukungan pertimbangan agar dalam pengambilan data
sosial (penyediaan tokoh agama, dukungan dan Indepth interview partisipan tidak merasa
keluarga), waktu, dan tidak ada area khusus canggung, dan kaku serta mendapatkan
untuk pasien terlantar yang menjelang ajal. informasi yang lebih mendalam. Adapun
kriteria partisipan adalah: (1) Perawat yang
Penelitian ini bertujuan melihat pengalaman
memiliki pengalaman kerja 8-19 tahun di
perawat IGD merawat pasien terlantar dalam
ruang Critical Care IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
fase End of Life. Adanya kunjungan pasien
(2) Perawat yang memiliki pengalaman
terlantar dalam fase End of Life yang tidak
pengalaman merawat pasien terlantar pada
memiliki keluarga sehingga perawat memiliki
fase End of Life (3) Pendidikan partisipan D3
tanggung jawab dalam mendampingi pasien
keperawatan-S1 Keperawatan (4) Dalam
terlantar di IGD. Kondisi IGD yang
keadaan sehat secara fisik, (5) Bersedia
mengambarkan lingkungan perawatan yang
sebagai partisipan dengan menandatangani
sibuk dan intensitas kerja yang cepat.
Penelitian dan literatur terkait dengan surat kesediaan menjadi partisipan. Proses
seleksi terhadap partisipan diawali dengan
pembahasan mengenai pengalaman perawat
www.jik.ub.ac.id
173
peneliti bertemu Kepala Perawatan ruang menempatkan pasien terlantar yang
Critical Care kemudian menjelaskan tujuan menjelang ajal 8. Mengharapkan situasi
dari penelitian. Pengambilan data dimulai dari lingkungan kerja yang mendukung.
kepala ruangan sebagai partisipan kunci,
Tema Merasa hati tersentuh pada pasien
selanjutnya dikembangkan ke partisipan
terlantar menjelang ajal
lainnya. Pada penelitian ini, saturasi data
Merasa kasihan mengandung makna rasa iba
dicapai pada wawancara partisipan ke tujuh.
hati dan menyatakan rasa belas kasih. Merasa
Data dikumpulkan melalui wawancara
kasihan terbangun dari perasaan kasihan,
mendalam(Indepth interview)dengan
empati, iba dan rasa penyesalan. Ungkapan
pertanyaan terbuka dan dikembangkan oleh
perasaan kasihan partisipan sebagai berikut:
peneliti.Analisis data dilakukan dengan
“…..yah aslinya dilema di sini
menggunakan Analisa tematik Braun & Clark
memandang gak keluarganya itukan
yang terdiri dari 6 tahapan.Penelitian ini telah
kasihan sebenarnya…” (P3)
mendapatkan laik etik di RSUD dr. Saiful
“….kalau perasaan kasihan pasti ada ..
Anwar
yah terbentur juga .. (P4)
HASIL “ ....yang terlintas pasti empati itu yah
Hasil penelitian ini menemukan ada 8 tema ada .. (P4))
berdasarkan analisis tematik Braun &Clack “ …ehm.... kasihan yah... apalagi yang
(2006) yang dilakukan. Delapan tema yang tidak ada keluarganya…”(P7)
dihasilkan dalam penelitian ini
Ungkapan partisipan diatas dapat disimpulkan
mengambarkan pengalaman perawat IGD
bahwa partisipan tersebut merasakan
merawat pasien terlantar dalam fase End of
tersentuh, iba, rasa belas kasih ketika melihat
Life yaitu1. Merasakan hati tersentuh pada
dan merawat pasien-pasien terlantar yang
pasien terlantar menjelang ajal 2. Tidak
tidak ada keluarganya dengan kondisi yang
membedakan perlakuan pada pasien terlantar
menjelang ajal.
dengan pasien lain yang menjelang ajal 3.
Tema Tidak membedakan perlakuan pada
Menghargai harkat dan martabat pasien 4.
pasien terlantar dengan pasien lain yang
Memastikan tidak ada kecurangan pemberian
menjelang ajal.
nota dinas 5. Memilih perawatan suportif
Perlakuan menjadi perbuatan yang dikenakan
sebagai tindakan terbaik 6. Terpaksa
terhadap sesuatu atau orang lain. Tidak
meninggalkan pasien tanpa pendampingan
membedakan perlakuan pada pasien terlantar
spritual 7. Mengalami konflik dalam

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


174
dengan pasien lain yang menjelang ajal terlantar tetaplah seorang manusia seutuhnya
mengandung makna kontekstual perawat yang mana tetap wajib mendapatkan
memberikan hak dan perlakuan yang sama perlakuan yang layak. Hal ini diungkapkan
bagi setiap pasien yang datang ke IGD oleh partisipan :
walaupun pasien tersebut tidak memiliki “..yah aslinya dilema di sini
keluarga. Walaupun pasien terlantar tidak memandang itukan kasihan sebenarnya
memiliki keluarga dan kondisi yang sangat cuman mr.x ..mr.x jugakan manusia
memprihatikan dari segi hygiene namun ..”(P1)
secara psikologis perawat tidak membedakan- “…Mr x dipandang sebagai
bedakan pasien dari sisi terlantar maupun manusia…...mr.x kan manusia ..” (P3)
tidak terlantar. “..sama-sama manusia .. terlantar atau
“..Sama….. gak ada bedanya antara tidak terlantar sama saja ..”(P5)
telantar dan tidak terlantar….”(P1) Selain memandang pasien terlantar sebagai
“…jadi kalau saya pribadi tidak ada seorang manusia seutuhnya, sikap berusaha
perbedaan pada pasien terlantar yang memberikan pelayanan secara manusiawi
kritis ..“(P7) pada pasien terlantar, perawat memposisikan
“…gak memperlakukan lebih.. menurut seandainya pasien sebagai keluarganya. Hal
saya sesuai dengan kebutuhnya…saya ini menjadi suatu alasan kuat untuk berusaha
kira gak ada sih bedanya perlakuan memberikan pelayanan yang layak, dalam
..”(P5) fase menjelang ajal.

“…....andaikan itu keluarga saya yang


Tema Menghargai Harkat dan Martabat
diposisi itu .. saya tidak bisa melakukan
pasien terlantar
tindakan apa-apa ..makanya saya tetap
Dari tema ini dibangun dari subtema
melakukan yang terbaik ….”(P4)
mengupayakan memberikan perawatan
menjelang ajal yang baik dan bermartabat. Tema memilih perawatan suportif sebagai
Mengupayakan memberikan perawatan tindakan terbaik
menjelang ajal yang baik dan bermartabat Perawatan suportif menjadi tindakan yang
mengandung arti melakukan usaha perawatan terbaik bagi pasien-pasien yang menjelang
menjelang ajal yang baik dengan ajal. Perawatan suportif mengandung makna
memperlakukan pasien terlantar sebagai perawatan yang diberikan setelah tindakan
seseorang dengan manusiawi. Pasien resusitasi dan usaha komprehensif dinyatakan

www.jik.ub.ac.id
175
dan ditentukan tidak berhasil. Usaha suportif lebih tinggi.Tema terpaksa meninggalkan
adalah perawatan lanjutan pada pasien tanpa pasien tanpa pendampingan spiritual
melakukan intubasi dan pembukaan jalan dibangun dari subtema lebih memprioritas
nafas secara non-invasif. Pasien yang pasien yang harapan hidup lebih tinggi, tidak
menjelang ajal perawatannya lebih berfokus mampu melakukan pendampingan spiritual
pada kebutuhan fisik dan kebutuhan dasar. dan mengalami ketidakseimbangan antara
Perawatan suportif dalam pemenuhan beban kerja dan tenaga perawat.
kebutuhan dasar meliputi pemberiaan Perawat IGD lebih memprioritas pasien yang
oksigen, pemberiaan cairan, obat-obatan harapan hidup lebih tinggi. Hal ini seperti yang
antinyeri. diungkapkan oleh partisipan:
“…Kalau perawatan...... yang menjelang “Kalau ada pasien lain yang gawat.. ya
ajal harus di ini ... gak .. jadi itu hanya prioritas tetap pada pasien yang hidup
istilah secara umum-umum... sama saja .. dulu …. kalau yang pertama kita
secara medis itu atau kesehatan itu yah kepentingannya menyelamatkan nyawa ..
sudah kita.. sudah melakukan ini (P2)”
prosedurnya, obat-obatnya sudah
“...... kita memprioritaskan apa yang
masuk... seperti itu oksigen, cairan ini
masih bisa kita dilakukan dengan pasien
tetap kita berikan……”(P3)
yang lain ... dibanding dengan pasien
“…kalau saya oksigen tidak stop, infus terminal” (P4)
tetap jalan tapi tidak ada tindakan yang
“kalau saya secara pribadi sendiri ..itu
lain ... yah sudah … sudah terpasang itu
saya yang mendominakan pasien yang
kita tidak melepas itu ... berarti alat yang
belum terminal..”(P6)
terpasang pada saat resusitasi, sebelum
resusitasinya dinyatakan gagal yah sudah “kita secara psikologis kita meningkat

dibiarkan saja sampai meninggal ... “(P2) yang harapan hidupannya lebih tinggi
..”(P6)
Tema Terpaksa meninggalkan pasien tanpa
pendampingan spiritual “… disini banyak pasien ..kalau ada

Meninggalkan pasien yang terlantar kondisi yang gawat lainnya tentu saja

menjelang ajal ketika ada pasien kritis yang yang hidup dulu,.. tetap yang hidup dulu

membutuhkan penanganan, menjadi pilihan ...... kalau penyelamatan nyawa itu

yang dilakukan oleh partisipan, memilih utama, kemudian nanti baru menyiapkan

pasien yang prioritas harapan hidup yang pasien yang terlantar untuk berangkat

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


176
dengan tenang” (P3) “…..kalau sisi kerohaniannya protokolnya
ada ... tapi aplikasinya disini belum
Dukungan spiritual ini menjadi bagian dalam
berjalan…..” (P6)
pemberian pelayanan pasien menjelang ajal.
“…..tapi dalam SOP boleh didampingi oleh
IGD RSUD dr. Saiful Anwar telah memiliki
rohaniawan .. ustad.... tapi di rumah sakit
Standar Operasional Prosedur untuk
ini belum ada tampaknya …”(P6)
Pelayanan Kerohanian terkait dengan
Perawat menyadari pasien terlantar juga
pelayanan pasien yang menjelang ajal
harus mendapatkan dukungan spiritual dalam
(terminal). Perawat belum dapat
menghadapi ajal. Terbatasnya waktu,
mengaplikasikan pelayanan kerohanian pada
tingginya beban kerja dan tidak adanya team
pasien terlantar karena banyaknya beban
khusus kerohanian dalam pelaksanaan
kerja dan kurangnya tenaga perawat. Namun
dukungan spiritual yang dilakukan perawat
apabila pasien tersebut memiliki keluarga
pada pasien yang menjelang ajal dilakukan
maka perawat akan memfasilitasi keluarga
dengan spontan dan situasional saat
untuk memberikan dukungan ke rohanian
menghadapi pasien tersebut.
atau spiritual.
“...…kalau saya pribadi seperti itu ... yang
“…tetap mbak fasilitas keluarga .. bukan
jelas dalam kita mimpin doa bukannya
hanya memanggil keluarga .. tapi memberi
tidak mau atau tidak bisa yang jelas...
kesempatan keluarga untuk memberikan
banyak pekerjaan lain yang harus
dukungan kepada pasiennya .. kita sendiri
diselesaikan (P6)
kalau terlibat ke pasiennya saya kira gak….
“…cuman kalau masalah spritual itu yang
Itu kalau ada keluarganya…(P2)
kurang di kita ......”(P3)
Belum adanya team kerohanian dan belum
“…..misalnya mr.x datang gak ada
adanya tenaga rohaniawan yang membantu
keluarganya sudah gak sadar lagi .. masuk
memberikan dukungan spiritual.
dengan trauma atau kadang dengan
“Kalau di IGD ..selama di IGD sih saya penyebab lain dan tidak didampingi
belum pernah dikunjungi oleh petugas keluarga yah .. setahu saya tidak pernah
kerohanian.... mungkin yang belum kita dilakukan“…nanti kalau kita mimpin doa
punya itu adalah layanan kerohanian nanti di komplainin yang lain... (P5)
(P2). “….Selama ini perawatan umum saja,

“…pendampingan oleh rohaniwan kita belum ada perawatan secara khusus


hanya sebatas wacana…”(P1) spritual yah hanya spontan aja .. tapi yah

www.jik.ub.ac.id
177
kadang-kadang kita mesti harus menginfus atau lainnya istilahnya
ngomong...”(P1) lebih membantu yang lain (P3)
“….gak ada ... atau belum pernah ada kita
Jumlah tenaga perawat dengan beban kerja
berikan dukungan spiritual….yah cuman
yang tidak seimbang dirasakan oleh partisipan
...... kalau secara spontan yah….”(P5)
sehingga tidak mampu melakukan
Tugas perawat di IGD selain melakukan
pendampingan secara maksimal. Kurangnya
tindakan mandiri, perawat juga bertugas
tenaga perawat mengurangi keterlibatan
dalam kelengkapan administrasi dan
dalam pendampingan secara intens.
kelengkapan dokumentasi pasien yang
Pendampingan dalam makna kontekstual
menjadi tanggung jawab perawat IGD..
yaitu memberikan dukungan secara
“…kita harus di tuntut administrasi,
emosional, sosial, kenyamanan juga
kelengkapan dokumentasi, pasien yang
memberikan perasaan ketenangan hati bagi
akan pindah keruangan ... jika kita tidak
pasien yang menghadapi fase menjelang ajal.
mengerjakan itu .. maka IGD akan penuh
…” (P7) “.. secara halnya petugasnya juganya

“…tapi kan kita juga ada dibebani dengan kurang secara BOR .. pasiennya juga tidak

target ..dibebani dengan mana yang wes karuan seperti itu ….ditambah lagi

harus kita prioritaskan... tergantung dari kondisi disini situasi yang sulit jumlah

kondisi pasien..”(P4) pasiennya 100, kita yang jaga cuman ber

“…semuanya perawat jadi multi fungsi 4 .. tenaganya sangat jauh “.... dan

selama perawatan disini .. “(P6) memang di protokol didampingi seperti

Peran perawat di IGD selain melaksanakan ini.. tapi kalau dalam aplikasinya kita kan

fungsi mandirinya, perawat juga minimal dari petugas kebutuhan yang

melaksanakan tindakan kolaborasi dan diharapan kendalanya sumber dayanya

kegiatan atas instruksi dari tenaga medis minimal sekali ..”(P3)

lainnya. “…karena kan .. jumlahnya terbatas ..


“..nanti kalau dokternya sudah mungkin tenaga kesehatannya..beban kerja
gak bisa mengejar yah.... yang lebih perawat sangat banyak .. jumlah
dominan perawatnya..”(P2) pasiennya tidak sesuai .. ...perawatnya
“… bukan kita tidak mau yah .. yang lain
lebih sedikit dan tidak ideal ... ” (P7)
pasien juga banyak yang memerlukan ..
mungkin juga dokternya memerlukan kita

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


178
Tema Mengalami konflik dalam ..... histeris pasiennya …”(P2)
menempatkan pasien terlantar yang Tema Mengharapkan situasi lingkungan kerja
menjelang ajal yang mendukung.
IGD RSUD dr. Saiful Anwar tidak memiliki
Adanya team kerohanian yang diharapkan
ruangan khusus untuk pasien-pasien yang
dapat lebih berperan dan berfokus dalam
menjelang ajal. Seperti yang diungkap oleh
memberikan pendampingan dan dukungan
partisipan dibawah ini
spiritual pada pasien-pasien yang menjelang
“…kalau ruangan khusus disini gak ada ..
ajal terutama bagi pasien yang tidak memiliki
ruangannya yah general seperti p1, p2
dan didampingi oleh keluarga. Harapan ini di
dan P3 sebenarnya sih kalau idealnya,
ungkapkan oleh partisipan sebagai berikut:
sangat tidak ideal .. …” (P6)

“….. tetap ada pendampingan dari pihak


“…kendalanya itu pasien P1 datang
rumah sakit pada fase ajal itu harusnya
tempat penuh .. kita berbenturan yaitu,
ada team bimbingan rohani...”(P4)
kalau mau mengeser .. sudah di label
pasien menjelang ajal .. tidak ada “……pasien yang tidak ada keluarganya
tindakan tapi menunggu ajal tuh ...taruh bisa kita lakukan dengan menjelang ajal
ditempat yang agak kepinggir sedikit harus ada team yang berperan……
yang mungkin nanti dengan catatan tidak harapannya….”(P3)
sampai melupakannya..” (P2)
Harapan adanya sarana ruangan khusus untuk
Hambatan lain yang muncul yaitu dalam perawatan pasien-pasien yang menjelang ajal
kesulitan menjaga dan mempertahankan baik pasien terlantar maupun yang memiliki
privasi pasien. Banyaknya pasien yang tidak keluarga. Dengan adanya ruangan khusus
memiliki ruangan khusus untuk pasien yang diharapkan pasien mendapatkan suasana
menjelang ajal menjadi suatu kesulitan untuk yang lebih nyaman, dan tenang.
menjaga dan mempertahankan privasi pada
“…. mungkin perlu dipikirkan atau
pasien tersebut. seperti yang diungkap oleh
disiapkan ruangan khusus untuk pasien
partisipan :
yang menjelang ajal mau terlantar atau
“ ….karena saya sudah beberapa kali tidak, apa yah istilah ruangan khusus,
menemui eh .. apa yah .. sebelahnya semacam ruangan upacara khusus,
tidak meninggal sebenarnya, ruangan kecil sehingga kalau itu ingin
meninggalnya jauh P1, pasiennya di p3 melakukan upacara dalam kecil-kecilan

www.jik.ub.ac.id
179
kita bisa…...memfasilitasi atau mungkin menjadikan suatu hal yang sangat
ingin berdoa disana lebih privasi…”(P2) menyedihkan.

“….harapan saya .. memang harus ada Mengatasi perubahan psikologis yaitu dengan
tempat.. kalau untuk IGD..... memang mengendalikan perasaan, dimana
tempat pasien DNR itu harus ada …oh iya membedakan simpati empati,
kalau lingkungannya lebih tenang kan menyampingkan empati, tidak terpengaruh
lebih enak membimbing..”(P3) oleh perasaan. Pengendalian dan mengatasi
perubahan psikologis yang dirasakan sangat
PEMBAHASAN
perlu disadari oleh perawat IGD untuk tetap
Perawat memiliki kecenderungan merasa hati
bersikap professional dalam melakukan
tersentuh dan terharu pada pasien yang
perawatan pasien terlantar yang menjelang
dirawat secara langsung. Pasien terlantar yang
ajal. Bersikap professional dengan
menjelang ajal hanya sendiri tanpa ada
memberikan perawatan caring secara fisik,
dukungan dan pendampingan dalam
secara emosional dan psikologis. Hal ini
perawatannya. Hal ini menjadikan
sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hudak
kecenderungan munculnya perubahan
& Gallo (2010) yang menyatakan bahwa
psikologis timbul perasaan tersentuh,
perawat peka dalam membangun rasa empati
mengalami suatu perasaan yang berbeda saat
pada pasien, tapi bukan perawat yang
merawat pasien terlantar yang menjelang ajal,
kehilangan kendali.
menjadi tersentuh, muncul perasaan kasihan,
Sikap menghargai harkat dan martabat
iba, empati dan rasa penyesalan karena tidak
menjadi bagian dalam perawatan pasien
ada keluarga yang mendampingi dalam tahap
terlantar yang menjelang ajal. Watson (2010)
akhir dalam kehidupan yang dirasakan oleh
menyebutkan perawat menunjukan nilai-nilai
perawat. Hal ini sejalan dengan penelitian
humanistic (rasa kemanusian) dengan nilai
yang dilakukan oleh Enggune., et al 2014 yang
kebaikan, empati dan caring pada pasien
menyebutkan bahwa perasaan empati dan
dengan mengutamakan kepentingan pasien
perasaan sedih merupakan dampak dari
yang akan berdampak rasa kebahagian dan
seringnya merawat pasien yang meninggal
kepuasaan dari perawat tersebut.
dan merupakan suatu hal yang wajar. Fridh,
Forsberg, & Bergbom, (2009) menyebutkan Perawatan pasien terlantar yang menjelang
bahwa pasien yang meninggal dalam keadaan ajal kondisi End of Life membutuhkan fokus
tanpa didampingi oleh keluarga akan memberikan perawatan suportif. Perawatan

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


180
suportif yang diberikan yaitu perawatan lanjut spritual dari seorang perawat untuk
kebutuhan dasar, memberikan kenyamanan penyediaan perawatan menjelang kematian
dan mengobservasi juga memonitor pasien yang optimal
terlantar yang menjelang ajal. Bailey, Murphy,
Penempatan ruangan menjadi suatu
& Porock(2011) menyebutkan pasien di IGD
permasalahan yang terjadi di IGD, terbatasnya
dengan perawatan suportif untuk mengontrol
ruangan dengan jumlah pasien yang melebihi
gejala. Situasi kerja yang kurang mendukung,
kapasitas area P1 maka mengeser pasien
terlebih di IGD pasien-pasien yang harapan
karena tidak adanya ruangan khusus untuk
hidupnya lebih tinggi menjadi prioritas.
pasien yang menjelang ajal. Perawat
Kondisi Prioritas berdasarkan tingkat dan level
mengalami kesulitan menjaga dan
kegawatan dari setiap pasien. Decker, lee,
mempertahankan privasi pasien dan pasien
Morphet (2014) menyebutkan Situasi IGD
lain karena ruangan yang menyatu dan
yang sibuk, dengan banyaknya tuntutan,
terlihat oleh pasien lain menimbulkan dampak
mungkin sulit untuk memberikan
psikologis yang tidak kenyaman bagi pasien
pendampingan kematian yang baik. Bailey,
lain.Lingkungan kerja yang kondusif
Murphy, & Porock(2011) dan Chan (2011)
merupakan prasyarat perawat untuk
menyebutkan bahwa pasien-pasien dengan
menyediakan perawatan End of Life yang
resusistasi selalu didahului diatas perawatan
berkualitas. perawat sangat membutuhkan
End of Life. Ketidakmampuan perawat untuk
ruangan perawatan yang khusus untuk pasien
mendampingi spiritual ini menimbulkan
yang menjelang aja. Perawatan pasien dalam
dilema bagi perawat saat disisi lain perawat
tahap End of Life, yang membutuhkan
menyadari kebutuhan spiritual bagi pasien
penanganan yang bertujuan untuk
namun disisi lain lingkungan kerja dan
memberikan rasa nyaman, ketenangan,
banyaknya tugas dan pasien lain yang
kedekatan suport sosial (Beckstrand et.al,
membutuhkan perhatian dari perawat.
2012, Decker, et.al, 2015).Perawatan pasien
Perawat memiliki peran dalam melakukan
yang menjelang fase End of Life melibatkan
intervensi secara langsung atau mengatur
berbagai displin yang meliputi pekerja sosial,
akses untuk mendapatkan perawatan spiritual
ahli agama, perawat, dokter (dokter ahli atau
bagi pasien yang menjelang ajal. Tingginya
dokter umum yang berfokus pada perawatan
tuntutan, dan kurangnya waktu
yang holistic meliputi fisik, emosional, sosial,
mempengaruhi dan menjadi hambatan
dan spiritual. (Hockenberry &Wilson, 2005).
keterampilan interpersonal dalam penyediaan

www.jik.ub.ac.id
181
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dapat dijadikan gambaran kondisi IGD pada
sarana evaluasi pelayanan perawatan End of umumnya di Indonesia.
Life maupun perawatan pada pasien terlantar. KESIMPULAN
Evaluasi yang dilakukan sebagai perbaikan Perawat tetap bersikap profesional
dan penyempurnaan pelayanan End of Life. menghormati harkat dan martabat pasien
diharapkan dengan mempertimbangkan dalam memberikan perawatan. Konflik batin,
adanya team kerohanian dan team khusus emosi, perasaan hati tersentuh muncul
yang berfokus untuk pendampingan, dan dengan melihat kondisi pasien terlantar
dukungan spiritual pada pasien terlantar yang menjelang ajal.
menjelang ajal di IGD.
Dukungan spiritual tidak dapat diberikan
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu
namun perawatan suportif menjadi bagian
peneliti tidak mengeksplorasi terkait upaya
perawatan terbaik bagi pasien terlantar yang
kolaboratif perawat dengan dokter dan
menjelang ajal. Tantangan dan hambatan
anggota lain dari tim perawatan kesehatan.
dalam perawatan End of Life yaitu kondisi
Kolaborasi bagian dari tanggung jawab dalam
lingkungan kerja di IGD tidak adanya team
merawat pasien. Fokus tenaga medis
kerohanian dan tidak adanya ruangan khusus
penanganan dan pengobatan pada pasien
untuk pasien yang End of Life. Selain itu
dengan harapan hidup yang lebih tinggi,
pelayanan IGD yang lebih memprioritaskan
sehingga tidak berperan secara nyata pada
pasien dengan kesempatan hidupnya lebih
pasien dalam transisi pasien yang menjelang
tinggi.
ajal dirumah Sakit RSUD dr. Saiful Anwar.
Penelitian ini hanya dilakukan terbatas di satu Adanya fasilitas ruangan yang khusus dan
rumah sakit yang tentunya memiliki team kerohanian bagi pasien terlantar
perbedaan kebijakan dan keterkaitan dengan diharapkan dapat menyiapkan kematian yang
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan damai dan bermartabat dengan tidak adanya
kebijakan bagi pasien terlantar di rumah sakit perlakuan yang berbeda antara pasien
yang lainnya. Sehingga hasilnya mungkin tidak terlantar dengan pasien lain yang menjelang
ajal.

DAFTAR PUSTAKA Louis Missoury : Mosby Elseveir.


Alligood, M., & Tomey, A. (2014). Nursing Bailey, C., Murphy, R., & Porock, D. (2011).
Theorist and Their Work. Sixth Edition. St

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


182
Trajectories of end-of-life care in the Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa).
emergency department. Annals of Emergency Enggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R.
Medicine, 57(4), 362– (2014). Persepsi Perawat Neurosurgical
369.http://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2 Critical Care Unitterhadap Perawatan
010.10.010 Pasien Menjelang Ajal.Jurnal
Beckstrand., et, al. (2015). Rural Emergency Keperawatan Padjadjaran, 2(1).
Nurse’s End of Life care obstacle Fridh, I., Forsberg, A., & Bergbom, I. (2009).
experiences: stories from the last Doing one’s utmost: Nurses' descriptions
frontier. Journal Of Emergency Nursing. 1- of caring for dying patients in an intensive
9 care environment. Intensive and Critical
Braun, V & Clark, V. (2006). Using Thematic Care Nursing, 25(5), 233–241.
Analysis in Psychologi. Qualitative Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan
Research in Psychology 3 (77-101). kritis pendekatan holistik (Edisi 6. Vol. 1).
Chan, G. K. (2011). Trajectories of Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Approaching Death in the Emergency (Hockenberry &Wilson, 2005)
Department : Clinician Narratives of Laporan Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar
Patient Transitions to the End of Life. (2014)
Journal of Pain and Symptom
Wolf, L,. A., Altair M. D, et al. (2015).
Management, 42(6), 864–881.
Exploring the management of death:
http://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.20
Emergency nurses’ perceptions of
11.
Challenges and facilitators in the
Decker, K., Lee, S., & Morphet, J. (2015). The
Provision of end-of-life care in the
experiences of emergency nurses in
Emergency department. Journal Of
providing end-of-life care to patients in
Emergency Nursing. 41 (5) : e23-e33
the emergency department.
Ebta Setiawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Watson, J (2010). Caring science and the next

Online. 2012-2016 versi 1.9: Badan decade of holistic healing:transforming

Pengembangan dan Pembinaan self and system from inside out.

www.jik.ub.ac.id
183

Anda mungkin juga menyukai