Anda di halaman 1dari 29

PENGARUH KOMUNIKASI TERAUPETIK PERAWAT TERHADAP TINGKAT

KECEMASAN KELUARGA PASIEN DI INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH


SAKIT JIFA PROF. DR. V. L. RATUMBUYSANG MANADO

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
HERI MARSEL PIOH
NIM. 19142010219

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA


FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Komunikasi Teraupetik Perawat Terhadap Tingkat Kecemasan

Keluarga Pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.

Ratumbuysang Manado.

Nama : Herni Marsel Pioh


Nim : 19142010219
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Stefanus Timah, SKM. M. Kes Ns. Vandri Kalalo, S.Kep,M.Kep

Mengetahui ,
Dekan

Ns. Vivi Mampuk, S.Kep., M.Kes


NIDK. 0918078704
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Komunikasi terapeutik adalah proses di mana perawat secara sadar mempengaruhi klien atau
membantu klien untuk pemahaman yang lebih baik melalui komunikasi verbal atau nonverbal.
Komunikasi terapeutik melibatkan penggunaan strategi spesifik yang mendorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan dan gagasan dan yang menyampaikan penerimaan dan penghargaan
(Grant, 1981; Videbeck, 2019). Teknik-teknik komunikasi terapeutik yang diterapkan dapat
membantu menurunkan tingkat kecemasan. Namun sebaliknya apabila komunikasi yang
digunakan tidak terapeutik, maka level kecemasan akan meningkat (Videbeck, 2019).
Komunikasi terapeutik akan meningkatkan pemahaman dan dapat membantu membina
hubungan yang konstruktif antara perawat dan keluarga pasien (Videbeck, 2019). Komunikasi
terapeutik mempunyai tujuan dan berfungsi sebagai terapi bagi pasien dan keluarga, karena itu
pelaksanaan terapeutik harus direncanakan dan terstruktur dengan baik. Struktur dalam proses
komunikasi terapeutik terdiri dari empat tahap yaitu tahap persiapan atau prainteraksi, tahap
perkenalan atau orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi (Videbeck, 2019).

Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik (menyembuhkan) tidak


saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, mencegah terjadinya masalah
illegal, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra
profesi keperawatan serta citra rumah sakit. Komunikasi sangat penting karena sebagai sarana
untuk koordinasi dan bekerjasama dalam mencapai tujuan (Pohan, 2013).

Kecemasan adalah hal yang normal di dalam kehidupan karena kecemasan sangat dibutuhkan
sebagai pertanda akan bahaya yang mengancam. Namun ketika kecemasan terjadi terus-menerus,
tidak rasional dan intensitasnya meningkat, maka kecemasan dapat mengganggu aktivitas sehari
- hari dan disebut sebagai gangguan kecemasan. Bahkan pada beberapa penelitian menunjukkan
bahwa gangguan kecemasan juga merupakan suatu komorbiditas (Luana, 2013). Gangguan
kecemasan adalah salah satu gangguan mental yang umum dengan prevalensi seumur hidup yaitu
16% - 29% (Katz, et al., 2013). Dilaporkan bahwa perkiraan gangguan kecemasan pada dewasa
muda di Amerika adalah sekitar 18,1% atau sekitar 42 juta orang hidup dengan gangguan
kecemasan, seperti gangguan panik, gangguan obsesiv-kompulsif, gangguan stres pasca trauma,
gangguan kecemasan umum dan fobia (Duckworth, 2013). Sedangkan gangguan kecemasan
terkait jenis kelamin dilaporkan bahwa prevalensi gangguan kecemasan seumur hidup pada
wanita sebesar 60% lebih tinggi dibandingkan pria (NIMH dalam Donner & Lowry, 2013). Di
Indonesia prevalensi terkait gangguan kecemasan menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau
sekitar 14 juta penduduk di Indonesia mengalami gangguan mental emosional yang ditunjukkan
dengan gejalagejala kecemasan dan depresi (Depkes, 2014).

Hasil penelitian Kun Ika Nur Rahayu (2013) mengatakan bahwa tingkat kecemasan keluarga
diketahui 33,3 % keluarga mengalami kecemasan ringan dan berat (panic). Uji statistik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik Chi Square dengan nilai signifikan sebesar
0,023 yang berarti lebih kecil dari pada α (0,05), artinya ada hubungan antara komunikasi
terapeutik dengan tingkat kecemasan keluarga pasien di Ruang Intensive Care Unit RSUD Pare
Kab Kediri.

B.Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado.

C.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Apakah ada pengaruh komunikasi teraupetik terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado.

2 Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh teraupetik terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien di Instalasi


Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado.

b. Mengetahui tingkat kecemasan keluarga pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado.

c. Mengetahiu pengaruh komunikasi teraupetik perawat dengan tingkat kecemasan keluarga di


Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manadao.

.D. Manfaat Penelitian


1. Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini merupakan bahan masukan yang bermanfaat untuk pengembangan
ilmu keperawatan, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan selanjutnya.
2. Bagi lokasi penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan di Instalasi Gawat
Darurat mengenai komunikasi teraupetik pada tingkat kecemasan keluarga pasien
3. Bagi peneliti lanjutan
Penelitian ini akan menambah pengetahuan, ketrampilan, serta memperluas wawasan
bagi peneliti selanjutnya untuk dapat meneliti tentang komunikasi teraupetik perawat
dengan tingkat kecemasan yang lebih mendalam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi Teraupetik

1. Pengertian

Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yakni communicatio yang artinya pemberitahuan
atau pertukaran ide. Pemberitahuan atau pertukaran ide dalam suatu proses komunikasi akan ada
pembicara yang menyampaikan pernyataan ataupun pertanyaan yang dengan harapan akan ada
timbal balik atau jawaban dari pendengarnya (Suryani, 2015). Terapeutik merupakan suatu hal
yang diarahkan kepada proses dalam memfasilitasi penyembuhan pasien. Sehingga komunikasi
terapeutik itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam komunikasi yang
dilakukan secara terencana dan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan pasien
(Damayanti, 2008). Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat untuk
membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain. Komunikasi dalam profesi keperawatan sangatlah
penting sebab tanpa komunikasi pelayanan keperawatan sulit untuk diaplikasikan (Priyanto,
2009). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan
dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan klien (Ina dan Wahyu, 2010). Komunikasi
terapeutik bertujuan untuk mengembangkan segala yang ada dalam fikiran dan diri pasien ke
arah yang lebih positif yang nantinya akan dapat mengurangi beban perasaan pasien dalam
menghadapi maupun mengambil tindakan tentang kesehatannya.

Tujuan lain dari komunikasi terapeutik menurut Suryani (2015) adalah:

1) Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri;

2) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung
dengan orang lain;

3) Meningkatkan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan pasien serta mencapai
tujuan yang realistik;

4) Menjaga harga diri;

5) Hubungan saling percaya. Jenis komunikasi terdiri dari verbal dan non verbal yang
dimanifestasikan secara terapeutik (Mubarak, 2009).

a. Komunikasi Verbal

Komunikasi yang menggunakan kata – kata mencakup komunikasi bahasa terbanyak dan
terpenting yang digunakan dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan karena bahan dapat
mewakili kenyataan kongkrit. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu
memungkinkan tiap individu untuk beberapa secara langsung.

Komunikasi verbal yang efektif harus :

1) Jelas dan ringkas. Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung.
Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa, dan dimana.
Ringkas dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana;

2) Perbendaharaan kata (mudah dipahami). Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan
tidak mampu menerjemahkan kata atau ucapan. Istilah-istilah teknis yang digunakan dalam
keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingun
dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting;

3) Denotatif dan konotatif. Denotatif ialah memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam
suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat
akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian;

4) Selaan dan kesempatan berbicara. Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan
keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok
pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan
sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata – kata
tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada
pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan
dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapakannya, menyimak isyarat
nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada
pendengar jika ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan apakah perlu untuk diulang?;

5) Waktu dan relevensi. Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien
sedang menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan
diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan
secara akurat. Perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula
komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat
dan kebutuhan klien;

6) Humor. Humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan


perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi
relaksasi pernafasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau
menutupi ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.

b. Komunikasi non verbal Komunikasi non verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan
kata-kata. Cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat
perlu menyadari pesan verbal dan non verbal yang disampaikan klien mulai dari saat saat
pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti
terhadap pesan verbal.

B. Konsep Perawat

1 Pengertian perawat
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 menyatakan bahwa
perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun
di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan. Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit
(Kementerian Sekretariat Negara RI, 2014). Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan
program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan
pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta
pelayanan terhadap klien. Perawat adalah seorang yang telah mampu menempuh serta lulus
pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya telah disahkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia, sedangkan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang didasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan biopsiko, sosiokultural dan spiritual yang
komprehensif, baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia.
Keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental,
keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri (Mulyatina, 2011).

2. Macam-macam perawat

Perawat terbagi menjadi tiga macam menurut Amelia (2013) yaitu:

a. Perawat vokasional Perawat vokasional adalah seseorang yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan praktik dengan batasan tertentu dibawah supervisi langsung maupun tidak langsung
oleh perawat profesional dengan sebutan Licensed Vocational Nurse (LVN).

b. Perawat profesional Perawat profesional adalah tenaga profesional yang mandiri, bekerja
secara otonom, berkaloborasi dengan yang lain, telah menyelesaikan program pendidkan profesi
keperawatan dan telah lulus uji kompetensi perawat profesional yang dilakukan oleh konsil
dengan sebutan Registered Nurse (RN).
c. Perawat profesional spesialis Perawat profesional spesialis adalah seorang perawat yang
disiapkan di atas level perawat profesional, mempunyai kewenangan sebagai spesialis atau
kewenangan yang diperluas dan telah lulus uji kompetensi perawat profesional spesialis.`

3 Jenis dan jenjang pendidikan keperawatan

Perawat di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi, mulai dari Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) yang setara pendidikan Tingkat Menengah (program ini telah dihapus secara
bertahap), Diploma 3 Keperawatan/Akademi Keperawatan (Akper) dan Strata 1 (S-1)
Keperawatan dengan gelar Ners-nya. Pengelolaan pendidikan keperawatan dilakukan baik oleh
pemenrintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan Kementerian
Kesehatan (Kemkes) melalui Politeknik kesehatan (Poltekkes) serta pihak swasta. Beberapa
daerah Provinsi, Kabupaten/Kota juga TNI/Polri juga 12 membina institusi pendidikan yang
membuka jurusan bidang kesehatan (Kurniati dan Efendi, 2012). Menurut Suara dkk (2010)
dalam menghadapi tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan kesehatan dimasa datang,
serta memperhatikan tuntutan pembangunan keperawatan sebagai suatu profesi yang mandiri,
sistem pendidikan keperawatan (dengan pengertian dalam tatanan sistem pendidikan tinggi),
dikembangkan dengan berbagai jenis dalam berbagi jenjang pendidikan.

.4 Fungsi perawat

Menurut Hidayat (2011) fungsi perawat merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai
dengan perannya. Fungsi tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. Dalam
menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya:

a. Fungsi independen

Fungsi independen yaitu tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan perawat
bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu keperawatan. Perawat bertanggung jawab terhadap
klien, akibat yang timbul dari tindakan yang diambil contohnya melakukan pengkajian (Budiomo
& Pertami, 2015

b. Fungsi dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari
perawat lain. Sehingga sebagai 15 tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya
dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum atau dari perawat primer ke perawat
pelaksana (Hidayat, 2011). Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan
tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter seperti
pemasangan infus, pemberian obat dan melakukan suntikan. Oleh karena itu setiap kegagalan
tindakan medis menjadi tanggung jawab dokter (Budiomo & Pertami, 2015).

c. Fungsi interpenden

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu
dengan lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan yang membutuhkan kerja sama
tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita
yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja
melainkan juga dari dokter ataupun lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan
pengobatan bekerja sama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah diberikan
(Hidayat, 2011).

5. Peran perawat

Menurut Hidayat (2011) peran perawat adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh
orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kependudukan dalam sistem, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan
yang bersifat konstan. Peran perawat terdiri dari:

a. Peran sebagai

Pemberi asuhan keperawatan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan
perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui
pemberian pelayanan 16 keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat
ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat
sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai
dengan kompleks.

b. Peran sebagai advokat


Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan
berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien, jaga dapat berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak klien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-
baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya. Hak atas privasi, hak untuk menentukan
nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

c. Peran pendidik

Perawat harus memberikan pendidikan baik formal dan informal kepada klien, baik individu atau
kelompok. Sebagai contoh, klien diajarkan mengenai obat-obatan yang harus dikonsumsi oleh
klien. Pendidikan tersebut dilakukan pada saat pemberian obat-obatan tersebut atau
menginformasikan betapa pentingnya untuk kontrol saat sedang melakukan perawatan luka.
Edukasi formal biasanya diberikan pada kelompok atau kepada keluarga klien. Perawat bisa
menggunakan ruang kelas atau membawa alat peraga visual (misal CD atau DVD), atau alat
peraga audio atau laptop sebagai sarana edukasi (Black & Hawks, 2014). 17

d. Peran koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan


kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan
klien (Hidayat, 2011).

e. Peran kolaborator

Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari
dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk
pelayanan selanjutnya (Murwani, 2009).

f. Peran konsultasi

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan koperawatan yang
tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang
tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan (Hidayat, 2011).

g. Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama,
perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan
(Murwani, 2009).

C. Konsep Dasar Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan sangat berkaitan dengan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi

ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang

merupakan penilaian intelektual terhadap suatu yang berbahaya (Stuart dan Sundeen 2018).

Perbedaan rasa takut dan kecemasan, ketakutan adalah merasa gentar atau rasa tidak berani

terhadap suatu obyek yang konkrit, misalnya: takut akan harimau, polisi (Kartini Kartono,

2019).

Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-

istilah seperti kekhawatiran, kepribadian dan rasa takut yang kadang-kadang kita alami

dalam tingkat yang berbeda-beda (Alkinson, 2019).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

a. Faktor predisposisi

1) Teori psikoanalitik

Menurut Freud struktur kepribadian terdiri dari 3 elemen yaitu Id, Ego, dan

Super ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego

mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya

seseorang, sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari Id dan

super ego.
Ansietas merupakan konflik emosional antara id dan super ego yang berfungsi

untuk memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi ( Stuart dan

Sundeen, 2018).

2) Teori Interpersonal

Ansietas terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal. Hal ini juga

dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti kehilangan, perpisahan

yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya individu yang mempunyai harga

diri rendahbiasanya sangat mudah untuk mengalami ansietas yang berat (Stuart dan

Sundeen, 2018).

3) Teori Perilaku

Ansietas merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang mengganggu

kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku

menganggap ansietas merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan

keinginan untuk menghindarkan rasa sakit. Teori ini menyakini bahwa manusia yang

pada awal kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan

menunjukkan kemungkinan ansietas yang berat pada kehidupan masa dewasanya (

Smeltzer dan Bare, 2017).

b. Faktor Presipitasi

Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dielakkan pada kehidupan manusia

dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman ansietas seseorang tidak sama pada

beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Ada 2 faktor yang mempengaruhi kecemasan

pasien preoperasi :

1) Faktor eksternal :
a) Ancaman integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap

kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan).

a) Ancaman sistem diri antara lain : ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan

hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status/peran ( Stuart & Sundeen,

2018 ).

2) Faktor Internal :

Menurut Stuart dan Sundeen (2018), Kemampuan individu dalam merespon

terhadap penyebab kecemasan ditentukan oleh :

a) Potensi Stressor.

Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan

perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan

adaptasi (Smeltzer dan Bare, 2018).

b) Maturitas

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami

gangguan akibat kecemasan, karena individu yang matur mempunyai daya

adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan ( Hambly, 2017).

c) Pendidikan dan status ekonomi.

Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada seseorang akan

menycbabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan. Tingkat pendidikan

seseorang atau individu akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir,

semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan

menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru

( Stuart & Sundeen, 2018 ).


d) Keadaan fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cidera, operasi akan mudah

mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah mengalami kecemasan, di

samping itu orang yang mengalami kelelahan fisik lebih mudah mengalami

kecemasan (Oswari, 2019 ).

e) Tipe Kepribadian.

Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat

kecemasan daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri-ciri orang dengan

kepribadian A adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna,

merasa diburu-buru waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah

tersinggung, otot-otot mudah tegang. Sedangkan orang dengan tipe kepribadian

B mempunyai ciri-ciri yang berlawanan dengan tipe kepribadian A. Karena tipe

kepribadian B adalah orang yang penyabar, tenang, teliti, dan rutinitas ( Stuart

dan Sundeen, 2018).

f) Lingkungan dan situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami

kecemasan dibanding bila dia berada di lingkungan yang bisa dia tempati

(Hambly, 2018 ).

g) Umur

Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih mudah mengalami

gangguan akibat kecemasan daripada seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga

yang berpendapat sebaliknya ( Varcoralis, 2017 ).


h) Jenis kelamin.

Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yag ditandai oleh kecemasan

yang spontan dan episodik. Ganguan ini lebih sering dialami wanita daripada

pria (Varcoralis, 2017 ).

2. Menurut Townsend ( 2016 ) konsep kecemasan ada empat poin rentang kontinum dari

kecemasan ringan sampai panik yaitu :

a. Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan

menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya.

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi

meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah

laku sesuai situasi.

b. Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan

mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif

namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Manifestasi yang terjadi pada

tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan

volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal,

kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang

tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan

menangis.

c. Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk

memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak berpikir tentang hal lain.

Semua perilaku ini untuk mengurangi ketegangan. Manifestasi yang muncul pada

tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, insomnia, sering kencing,
diare, palpitasi lahan persepsi menyempit, tidak mampu belajar secara efektif, berfokus

pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan

tidak berdaya, bingung, disorientasi.

d. Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari

proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, orang yang panik tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi

kepribadian. Dengan panik terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya

kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpangkan

kehilangan pikiran yang rasional. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah

susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphorosis, pembicaraan inkoheren,

hiperaktif, tidak mampu berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit,

mengalami halusinasi dan delusi (Harold, 1998).

3. Manifestasi cemas

Menurut Stuart & Sundeen, (2018) manifestasi cemas dapat meliputi respon

fisiologi, kognitif, tingkah laku dan afektif.

a. Respon Fisiologi.

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk

memelihara keseimbangan homeostatis dalam tubuh. Karena mengakibatkan

peningkatan fungsi sistem organ vital secara umum. Seperti pada sistem di bawah ini

( Stuart & Sundeen, 2018 ):

a) Sistem kardiovaskuler

Palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah dan denyut nadi menurun, pingsan
b) Sistem pernapasan.

Napas cepat, pemapasan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik dan

terengah-tengah.

c) Sistem neuromuskuler.

Peningkatan reflek, reaksi kejutan, insomnia, ketakutan, gelisah, tegang,

kelemahan secara umum, gerakan lambat.

d) Sistem gastrointestinal.

Kehilangan nafsu makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, diare.

e) Sistem perkemihan.

Tidak dapat menahan buang air kecil, sering buang air kecil.

f) Sistem integumen.

Rasa terbakar pada muka, berkeringat pada telapak tangan, gatalgatal, perasaan

panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon kognitif, perilaku dan afektif.

Respon kecemasan pada pasien juga dapat mempengaruhi pada ssistem

kognitif, seperti: gangguan perhatian, konsentrasi hilang, pelupa, salah tafsir, bloking

pada pikiran, lahan persepsi menurun, kreatifitas menurun, bingung, kesadaran diri

yang berlebihan, khawatir yang berlebihan, objektivitas hilang, takut. Pada sistem

perilaku, seperti: gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, tidak ada

koordinasi, menarik diri, menghindar, hiperventilasi. Dan sistem afektif, seperti: tidak

sadar, tegang, takut yang berlebihan, gugup yang luar biasa, sangat gelisah (Smeltzer

& Bare, 2018).


BAB III

KONSEP HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat
Komunikasi
Teraupetik Kecemasan
perawat keluarga pasien

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian pengaruh komunikasi teraupetik perawat terhadap
tingkat kecemasan keluarga pasien di instalasi gawat darurat

B. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan komunikasi teraupetik perawat dengan tingkat kecemasan

Keluarga pasien di Iinstalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.

Ratumbuysan Manado

Ha : Ada hubungan komunikasi teraupetik perawat dengan tingkat kecemasan keluarga

Pasien Iinstalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysan

Manado
C. Definisi Operasional

3.1 Tabel Definisi Operasional

Alat Ukur Skala Hasil Ukur


No. Variabel Definisi
Ukur
1. Independen :
Komunikasi Perawat yang Kuesioner ordinal Baik jika: ≥ nilai
Teraupetik melaksanakan tindakan median
perawat pelayanan saat pasien KurangJika : < nilai
masuk ruang IGD dan median
melaksanakan kegiatan
pelayanan sesuai dengan
SOP
2. Dependen: Kuesioner Nominal
Kecemasan pasien Cemas Ringan :
Tingkat sebelum dan saat tindakan Cemas Berat:
kecemasan pelayanan perawat.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional study .

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini akan dilaksanakan di Iinstalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V.

L. Ratumbuysang Manado

2. Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei dan Januari 2023.

C. Populasi, dan sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah subjek (misalnya manusia;klien) yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan. (Nursalam, 2018). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien yang dirawat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

V. L. Ratumbuysang Manado berjumlah 34 orang.

2. Sampel
Sampel adalah karakteristik sampel yang dimasukkan atau teknik pengambilan sampel

yaitu dengan menggunakan total populasi berjumlah 34 responden.

D. Instrument Penelitian

Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini dari Kuesioner

Wiji Puspita 2018 tentang Pengaruh Komunikasi Perawat terahadap tingkat kecemasan

keluarga pasien di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang

1. Untuk kuesioner komunikasi Teraupetik dengan tingkat kecemasan Pasien terdiri dari 10

pernyataan dengan jawaban Ya nilai 2 dan tidak nilai 1.

2. Untuk Kuesioner Tingkat Kecemasan terdiri dari 8 pernyataan dengan jawaban Ya

nilai 2 dan tidak nilai 1

E. Pengolahan Data

Prosedur pengolahan data yang dilakukan adalah :

Prosedur pengolahan data yang dilakukan adalah :

1. Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh. Editing

dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

2. Coding

Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data ulang terdiri atas

beberapa kategori.Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data

menggunakan komputer.

3. Entry data yaitu, kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master

table atau database computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau

juga bisa dengan membuat table kontingensi.

4. Cleaning adalah kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan.


F. Analisa Data

1. Analisa Univariant

Analisis univariat adalah suatu proses pengolahan data dengan menggambarkan dan

meringkas data secara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2013). Analisis ini

dilakukan untuk melihat jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, response time perawat

dengan tingkat kecemasan pasien kategori triage kuning.

2. Analisa Bivariant

Untuk membuktikan ada atau tidaknya pengaruh komunikasi teraupetik

dperawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien di Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado dengan nilai signifikansi p=0,05.

Dari hasi perbandingan kedua variabel terikat bebas tersebut akan ditentukan apakah

hipotesa diterima atau ditolak. Apabila nilai yang didapat lebih besar daripada

signifikasi nilai p>α , (α = 0,05), maka hipotesa 0 ditolak dan hipotesa alternative

diterima. Tapi apabila nilai yang di dapat lebih kecil daripada signifikasi p< α ,maka

hipotesa alternatif diterima dan hipotesa nol di tolak.

G. Etika Penelitian

1. Informed Concent

Informasi harus diberikan secara lengkap tentang tujuan penelitian yang akan di

laksanakan, subjek mempunyai hak untuk bebas menolak atau berpartisipasi menjadi

responden.

2. Confidential
Untuk menjaga kerahasiaan subjek, maka nama subjek tidak dicantumkan pada lembar

kuesioner yang diteliti dan hanya diberi kode tertentu.

3. Annonimity

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden di jamin oleh peneliti hanya

kelompok data tertentu yang akan disajikan atau dilaporkan pada hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Aditama. ACEM, (2015). Emergency Department Design Guidlines, G15. Third Section,
Australian College for Emergency Medicine.

American College of Emergency Physician. (2018) Emergency Department Crowding : High


Impact Solution. http://ebook browse.com/emergency-department-crowding-
high-impact-solutions-acep-task-force-on-boarding-april-2018-pdf-d319291546.

American Health Care Association. (2017). Report Of Findings Nursing Facility Staffing Survey
.

Arikunto, S. (2016). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka Cipta.

Asmad, (2018). Tehnik Prosedural Keperawatan : Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika Canadian Association Emergency Physician and
National Emergency Nurses.

Affiliation. Joint Position statement on emergency derpartmen overcrowding. (2012). Jurnal


medicine of canadian

De. Araujo, L., Susilo, E., Widodo G. (2014). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat
Dengan Kecemasan Pasien Di Ruang Triase Instalasi Gawat Darurat Hospital
Nacional Guido Valadares. Ungaran : Jurnal STIKES Ngudi Waluyo.

Green.L.V Soares J.Giglio J.F, Green R.A. (2016). Using Queueing Theory To Increase The
Effectiviness Of Emergency Department Provider Stafing.

Haryatun, N & Sudaryanto A. (2018). Perbedaaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan


Pasien Cedera Kepala Kategori I-V di IGD RSUD Dr Moewardi. Berita ilmu
keperawatan ISSN 1979-2697, Vol 1. No 2 Juni 2018.Hal 69-74.

Hasan. L. (2017). Hubungan Response Time Perawat Dengan Kepuasan Pasien Di Instalasi
Gawat Darurat Badan Rumah Sakit Daerah Kabupaten Banggai. Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran. Manado. Skripsi (Tidak dipublikasikan).

Hawari, D. (2017). Manajemen stres, cemas, dan depresi. Ed 1. Cetakan 4. FKUI, Jakarta.
Hidayat, A Aziz. (2017). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta :
Salemba Medika.

Hidayati, H. (2014). Standar Pelayanan Kesehatan Pasien IGD di Rumah Sakit Umum ABdul
Wahab Sjahranie Samarinda. Ejournal Administrasi Negara, 3, No 2, 653-665.

Iyer, P. (2018). Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta :


EGC .

Kartikawati. (2017). Buku Jaringan Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta :


Salemba Empat Kencana. (2012). hubungan antara persepsi pasien tentang perawat IGD RSUD \
Wates Kulon Progo Yogyakarta dengan kecemasan pasien IGD RSUD Wates
Kulon Progo Yogyakarta.Yogyakarta : Jurnal Universitas Respati .

KepMenkesRI. (2019). Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Jakarta : Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.

KepeMenkes RI No. 856. (2018). Standar IGD Rumah sakit. Menteri Kesehatan. Jakarta.

Lumongga, Lubis Namora. (2017). Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta : Prenada Media Group.

Lutfa, & Malya. (2018). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien dalam tindakan
kemoterapi di Rumah Sakit DR. Moewardi Surakarta. ISSN 1979-2697, Vol. 1
No.4. 187-192 Manitoba Health. (2010). Disaster Management Model For The
Health Sector. Canada. Manitoba health.

Mardapi, Djemari. (2017). Pedoman Umum Pengembangan Sistem Penilaian.

Nanda International. (20138. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2019. Jakarta
: EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metode Penelitian Kesehatan, Edisi Revisis. Jakarta : Rineka
Cipta.

Nursalam, S. (2017). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika Karta.
KUESIONER

A. Data IdentitasResponden
1. KodeResponden :

2. Pendidikan :

SD

SMP

SMA

PerguruanTinggi

3. Pekerjaan :

4. Tekanan Darah :

B. Kuesioner Mengenai komunikasi teraupetik perawat

Petunjuk pengisian :
a. Kuesioner terdiri dari 10 pernyataan.

b. Bacalah pernyataan yang ada sehingga benar-benar dimengerti.

c. Bentuk jawaban yang ditulis adalah dengan memberikan tanda cek (√) pada jawaban

yang paling mewakili pendapat saudara

No Komponen data item yang di nilai Ya Tidak


1 Apakah perawat memberikan salam terhadap anda?
2 Apakah perawat memperkenalkan diri dengan jelas pada anda?
3 Apakah perawat menanyakan nama panggilan kesukaan anda?
4 Apakah perawat menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk
berbicara tentang topik yang sudah disetujui bersama anda?
5 Apakah perawat menjelaskan tanggung jawab dan perannya saat
berkomunikasi dengan anda?
6 Apakah perawat menjelaskan tanggung jawab dan peran anda
sebagai keluarga dari pasien?
7 Apakah perawat menggunakan bahasa yang sederhana atau yang
biasa digunakan saat berkomunikasi dengan anda?
8 Apakah perawat menggunakan kata yang jelas saat
berkomunikasa dengan anda?
9 Apakah perawat menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
dan bukan bahasa medis saat berkomunikasi dengan anda?
10 Apakah perawat menyampaikan pesan yang ringkas dan tidak
tergesa-gesa saat berkomunikasi dengan anda?

C.Kuesioner Tingkat Kecemasan

Jawaban
No
Pernyataan
. Ya Tidak

1. Perasaan cemas dan firasat buruk


Merasa tegang dan tidak bisa istirahat dengan
2.
tenang
3. Ketakutan pada kerumunan orang banyak
4. Sukar tidur dan tidak tidur nyenyak
5. Tingkah laku merasa gelisah
6. Kehilangan berat badan
7. Napas pendek atau susah bernapas
8. Daya ingat menurun dan sukar berkonsentrasi
Kuesioner Wiji Puspita 2018 tentang Pengaruh Komunikasi Perawat terahadap tingkat
kecemasan keluarga pasien di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.

Anda mungkin juga menyukai