Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah
dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair (Tambun,
Limbong, Pinem, & Manurung, 2016). Ekstraksi merupakan suatu cara untuk
mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau
lemak. Untuk mendapatkan oleoresin dalam rempah-rempah dilakukan dengan proses
ekstraksi padat-cair atau leaching (Nasir, Fitriyanti, & Kamila, 2009). Metode ekstraksi
padat-cair dilakukan terjadi apabila ada kontak antara padatan dan pelarut sehingga akan
diperoleh larutan yang diinginkan yang kemudian dipisahkan dari padatan sisanya. Saat
terjadi kontak antara pelarut dan bahan terjadi peristiwa pelarutan dan difusi (Djoni
Bustan et al., 2008).
Ekstraksi yang benar dan tepat tergantung dari jenis senyawa, tekstur, dan kandungan air
bahan tumbuhan yang akan diekstraksi (Harbone, 1996 dalam Putra et al., 2014).
Ekstraksi efektif apabila komponen aktif dari tanaman tidak kehilangan aktivitasnya dan
memiliki kemurnian tinggi, untuk itu diperlukan proses ekstraksi yang lebih baru dan
lebih baik (Sofyana et al., 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dari metode
ekstraksi adalah jenis pelarut yang digunakan, ukuran partikel, temperatur, perlakuan
pendahuluan dan waktu ekstraksi (Rosenthal, Pyle, & Niranjan, 1996). Dalam suatu
proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap yaitu pencampuran bahan ekstraksi
dengan pelarut, memisahkan larutan ekstrak dan raffinate, dan mengisolasi ekstrak dari
larutan ekstrak (Djoni Bustan et al., 2008).
Terdapat beberapa jenis metode ekstraksi oleoresin diantaranya adalah ekstraksi soxhlet,
ekstraksi maserasi dan karena perkembangan teknologi saat ini muncul berbagai metode
ekstraksi baru yaitu ekstraksi ultrasonik dan ekstraksi cairan superkritis dengan CO 2.
Pengembangan metode ekstraksi baru ini diharapkan mampu mengurangi konsumsi
energi, waktu, penggunaan pelarut dan kualitas rendemen yang tinggi (Rassem, Nour, &
Yunus, 2016). Setiap jenis metode ekstraksi memiliki perbedaan dalam prosesnya dan
juga rendemen yang didapatkan. Metode-metode tersebut, yaitu:
16
17
rasio sampel dan pelarut, kemudian kecepatan agitasi perlu dipertimbangkan untuk
metode ini (Amid, Salim, & Adenan, 2010). Pelarut yang digunakan dalam sistem
ekstraksi juga harus memiliki kemurnian tinggi. Prosedur ini dianggap tidak ramah
lingkungan dan dapat berkontribusi terhadap masalah polusi dibandingkan dengan
metode ekstraksi cairan superkritis (SF) (Azwanida, 2015).
Keuntungan dan kelemahan: Dalam metode ini salah satu keuntungannya adalah
merupakan metode termudah dan sederhana. Pemilihan pelarut yang digunakan dalam
proses perendaman memiliki peran penting. Metode ini tidak memerlukan pemanasan
dengan suhu yang tinggi, akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama (Putra et
al., 2014). Metode ini dapat mencegah rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat
19
Dalam teknologi pangan, penggunaan cairan superkritis pada dasarnya terbatas pada
ekstraksi karbon dioksida superkritis (SCFCO2) karena karbon dioksida memiliki
keuntungan yaitu murah dan tidak beracun, serta titik kritisnya mudah dicapai.
Banyak penelitian dilakukan untuk menyelidiki penerapan SCF-CO2 pada ekstraksi
senyawa di industri makanan salah satunya adalah oleoresin (Reverchon dan
Senatore, 1994; Gopalakrishnan,1994 dalam Jarén-Galán et al., 1999). Selain
memiliki tekanan kritis yang relatif rendah (74 bar) dan suhu (32 oC), CO2 tidak
beracun, tidak mudah terbakar, tidak korosif, tersedia dalam kemurnian tinggi dengan
biaya yang relatif lebih murah (Rozzi, Phippen, Simon, & Singh, 2002).
21
Gambar 12. Prinsip Kerja Ekstraksi Cairan Superkritis CO2 (Rassem et al., 2016)
Keuntungan dan kelemahan: Metode ekstraksi ini menghasilkan hasil yang lebih
tinggi, koefisien difusi yang lebih tinggi, dan viskositas yang lebih rendah. Banyak
minyak esensial yang tidak dapat diekstraksi dengan destilasi uap dapat diperoleh
dengan ekstraksi karbon dioksida. Ekstrak superkritis terbukti memiliki kualitas
unggul, dengan aktivitas fungsional dan biologis yang lebih baik. Selain itu, beberapa
penelitian menunjukkan sifat antibakteri dan antijamur yang lebih baik untuk produk
superkritis (Capuzzo et al., 2013). Kelemahan utama dari metode ini adalah biaya
awal peralatan sangat tinggi, tidak mudah ditangani, dan pelarut CO2 memiliki
polaritas yang rendah untuk ekstraksi analit polar (Naude, 1998 dalam Azwanida,
2015); Pourmortazavi & Hajimirsadeghi, 2007).
a. Perlakuan pendahuluan
Persiapan Bahan Tumbuhan Sebelum ekstraksi, banyak teknik persiapan digunakan
untuk mengoptimalkan rasa bahan tanaman.
- Pengeringan
Proses ini menghilangkan sebagian besar air, memungkinkan sejumlah besar bahan
untuk diproses. Pengeringan juga meminimalkan pembusukan, misalnya pada
rimpang jahe hijau segar jauh lebih rentan terhadap jamur dari pada jahe kering.
- Grinding
Proses mengurangi ukuran partikel untuk meningkatkan luas permukaan dan
memungkinkan penetrasi pelarut menjadi lebih baik (Moyler, 1991).
b. Pelarut
Penggunaan pelarut yang semakin banyak maka semakin banyak pula hasil yang
didapatkan (Djoni Bustan et al., 2008). Selain itu pemilihan jenis pelarut organik
dipengaruhi oleh kekhasan bahan dan stabilitas substrat. Beberapa jenis pelarut
organik tersebut adalah heksan, aseton, etil asetat, etanol dan metanol (Setyowati &
Lilis Suryani, 2013). Aguda (2007 dalam Jos et al., 2011) menjelaskan bahwa
pemilihan pelarut yang diijinkan untuk produk makanan harus merujuk pada pelarut
yang telah ditetapkan oleh GRAS (Generally Recognized as Safe) yang mana tidak
mengijinkan penggunaan pelarut berbahaya atau beracun yang berefek negatif bagi
kesehatan. Jenis-jenis pelarut tersebut telah dikumpulkan dan dipublikasikan oleh
FDA (Food and Drug Administration) dan FEMA (Flavor and Extract
Manufacturing Association).
Ekstraksi oleoresin dengan pelarut dipengaruhi oleh jenis dan polaritas pelarut yang
digunakan. Pelarut non polar dapat mengekstrak beberapa komponen volatile dan
pelarut polar adalah pelarut yang cocok untuk mengekstraksi oleoresin. Sudarmadji,
1996 dalam (Oktora et al, 2007) menuliskan bahwa senyawa kimia dalam bahan
akan mudah larut dalam pelarut yang sama polaritasnya dengan bahan yang akan
dilarutkan, sehingga dapat diasumsikan suatu senyawa akan lebih mudah terlarut
dalam pelarut yang memiliki polaritas yang tidak berbeda jauh. Seperti pelarut
etanol dengan oleoresin yang memiliki beda polaritas yang kecil dibandingkan
23
pelarut heksan ataupun petroleum eter dengan oleoresin. Oleh karena itu oleoresin
lebih mudah terekstrak dalam etanol. Ethanol yang juga disebut etyl alcoho l
merupakan jenis pelarut yang mudah menguap, mudah terbakar, dan tidak berwarna
serta memiliki aroma yang khas. Etanol merupakan pelarut serba guna, dapat larut
dengan air dan banyak pelarut organik termasuk asam asetat, aseton, benzen,
karbon tetraklorida, kloroform, dietil eter, etilen glikol, gliserol, nitrometana,
piridin dan toluen. Etanol merupakan pelarut yang paling sering digunakan dalam
metode ekstraksi oleoresin, karena merupakan pelarut yang sesuai untuk
melarutkan senyawa organik dengan polaritas medium dengan sifat mudah
menguap, aman dan tidak beracun (Nasir & Kamila, 2009). Sifat fisik dari etanol
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat Fisik Pelarut Etanol
c. Ukuran Partikel
Ukuran partikel bahan dapat mempengaruhi rendemen oleoresin yang dihasilkan
(Supardan et al., 2012). Kehalusan dari partikel yang sesuai akan menghasilkan
ekstraksi yang efektif dalam waktu singkat. Tetapi bila terlalu halus maka volatile
oil akan hilang pada waktu penggilingan (Djubaedah, (1986) dalam (Anam, 2010).
Operasi ekstraksi solid-liquid akan berlangsung dengan lebih baik bila diameter
partikel diperkecil. Pengecilan ukuran ini akan memperluas kontak dengan
permukaan sehingga hambatan difusi menjadi lebih kecil dan meningkatkan laju
difusinya. Tujuan pengecilan ukuran untuk menghancurkan matriks inert pengotor
yang melingkupi zat terlarut (Djoni Bustan et al., 2008). Ukuran partikel yang halus
dapat memudahkan pelarut untuk berpenetrasi dan akan mengikat oleoresin dalam
jumlah yang lebih banyak, semakin kecil ukuran partikel berarti permukaan luas
kontak antara partikel dan pelarut semakin besar, sehingga waktu ekstraksi akan
semakin cepat (Nasir & Kamila, 2009). Menurut Utomo dan Cisilia (2003 dalam
Fakhrudin et al., 2015), untuk menghasilkan oleoresin dengan rendemen yang
tertinggi maka ekstraksi dilakukan dengan ukuran serbuk jahe sebesar 20 sampai
30 mesh. Sebenarnya semakin kecil ukuran bahan (makin luas permukaan bahan)
semakin banyak minyak yang dapat diekstrak, akan tetapi ukuran bahan yang
terlalu kecil juga menyebabkan banyak minyak yang menguap selama
penghancuran (Kadin 2007 Fakhrudin et al., 2015).
d. Suhu Ekstraksi
Suhu yang kurang ataupun tidak tepat akan mempengaruhi rendemen dari oleoresin
(Sulhatun et al., 2013). Pada penggunaan suhu ekstraksi yang semakin tinggi akan
menghasilkan rendemen oleoresin yang semakin tinggi sampai batas tertentu.
Semakin tinggi suhu maka akan menurunkan viskositas pelarut yang digunakan,
sehingga untuk mengekstrak oleoresin menjadi semakin mudah (Arpi et al., 2013).
Suhu yang tinggi menyebabkan semakin banyaknya panas yang diterima oleh
bahan untuk mengekstrak oleoresin (Fuadi, 2009 dalam Arpi et al, 2013). Pada
berbagai penelitian suhu 40°C merupakan suhu optimum yang memberikan
kosentrasi oleoresin tertinggi dibandingkan dengan suhu lainnya. Hal ini
dikarenakan oleoresin tidak tahan pada suhu di atas 45°C, karena komponen
25
utamanya atau minyak atsiri banyak yang teruapkan dan mengakibatkan penurunan
berat jenis oleoresin (Gaedcke, 2005 dalam Amir & Lestari, 2013). Semakin tinggi
suhu yang digunakan maka semakin banyak senyawa yang hilang (Sofyana et al.,
2013).
e. Waktu ekstraksi
Semakin lama waktu perendaman sampel dalam pelarut, akan semakin banyak pula
bahan yang terekstrak oleh pelarut, maka dari itu semakin lama waktu ekstraksi
semakin tinggi pula rendemen yang dihasilkan. hal ini disebabkan terjadinya
pengumpalan ekstrak dalam pelarut, bahan ekstraksi yang telah bercampur dengan
pelarut menembus kapiler dalam suatu bahan padat dan melarutkan ekstrak larutan
dengan konsentrasi lebih tinggi dalam bahan ekstraksi tersebut (Sulhatun et al.,
2013). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh (Singh et al., 2013; Fitriyana et al.,
2018) mengenai potensi dari ekstraksi oleoresin lada (piper ningrum L) menyatakan
bahwa ekstraksi dengan waktu yang semakin lama menyebabkan rendemen
oleoresin yang dihasilkan semakin banyak. Namun waktu ekstraksi oleoresin yang
terlalu lama akan menyebabkan minyak atsiri menguap dan mengalami oksidasi
sehingga berbau tengik, dan semakin lama waktu ekstraksi maka semakin
berkurang senyawa penyusun yang teridentifikasi (Sofyana et al., 2013; Fakhrudin
et al., 2015).
f. Tekanan
Ekstraksi fluida superkritis sangat tergantung pada kondisi tekanan dan suhu
superkritisnya. Semakin tinggi tekanan yang digunakan pada proses ekstraksi
superkritis, maka akan semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Pada kondisi
kritis, gas CO2 menyerupai cairan yang mempunyai sifat dengan densitas tinggi,
viskositas yang rendah dan difusifitas tinggi sehingga dapat mengekstrak
komponen senyawa dalam suatu bahan secara selektif dan efektif (Sondari &
Puspitasari, 2017). Tekanan fluida adalah parameter utama yang memengaruhi
efisiensi ekstraksi cairan superkritis. Terjadi pada suhu tertentu dan membuat
kelarutan zat terlarut meningkat. Akibatnya, semakin tinggi tekanan ekstraksi,
26
maka semakin kecil pula volume cairan yang diperlukan untuk ekstraksi
(Pourmortazavi & Hajimirsadeghi, 2007).
g. Frekuensi
Dalam proses ekstraksi dengan ultrasonik pada produk alami, difusi zat terlarut
dikaitkan dengan kekuatan ultrasonik per satuan luas, yang akan mempengaruhi
efisiensi ekstraksi. Untuk itu umumnya dalam ekstraksi ultrasonikk dipilih
frekuensi rendah namun dengan daya ultrasound tinggi. Jenis aplikasi ultrasound
tergantung pada domain frekuensi. Pada frekuensi tinggi (rentang MHz) biasanya
diarahkan untuk degradasi produk, sedangkan frekuensi rendah (rentang kHz)
diterapkan untuk proses pendampingan seperti emulsifikasi, ekstraksi, filtrasi, dan
penghancuran sel (Sereshti et al., 2012). Dalam sonokimia, kekuatan ultrasound
digunakan dalam kisaran frekuensi rendah (Rombaut, Tixier, Bily, & Chemat,
2014). Untuk itu pada sonokimia umumnya digunakan frekuensi dalam rentangan
20 kHz sampai 40 kHz (Wardiyati, 2004).
Tabel 3 menunjukkan beberapa penelitian berbagai metode ekstraksi pada rempah-rempah komoditi ekspor yang telah diketahui persentase
rendemen oleoresinnya:
Tabel 3. Ekstraksi oleoresin pada Pala, Lada dan Jahe dengan metode Soxhlet, Maserasi, Ultrasonik dan Cairan Superkritis
Faktor
Metode Rempah- Rendemen
P f Referensi
Ekstraksi rempah T oC Pelarut ± t (min) (%)
(bar) (KHz)
Biji pala 30 Etanol 420 - - 15,30 (Sofyana et al., 2013)
Lada 60 Etanol 150 - - 5,70 (Singh et al., 2013)
Soxhlet 60 n-heksan 150 - - 3,20 (Singh et al., 2013)
Jahe 31 Etanol 1800 - - 85,40 (Oktora et al, 2007)
50 Etanol 420 - - 7,48 (Fuadi, 2012)
Biji Pala 54 Etanol 240 - - 15,17 (Assagaf et al., 2012)
40 Etanol 150 - - 13,7 (Rodianawati, 2010)
35 Etanol 420 - - 20,11 (Baihaqi, 2018)
30 Etanol 180 - - 2,05 (Sofyana et al., 2013)
Maserasi
Lada hitam 60 Etanol 288 - - 4,42 (Fitriyana, et al., 2018)
Jahe 30 Etanol 1440 - - 11,83 (Kawiji et al., 2009)
31 Etanol 1440 - - 83,43 (Oktora et al, 2007)
31 n-heksan 1440 - - 17,02 (Oktora et al, 2007)
Biji Pala 60 Etanol 150 - - 7,16 (Arpi et al., 2013)
50 Etanol 180 - 45 6,2 (Sofyana et al., 2013)
35 Etanol 30 - 20 31,33 (Baihaqi, 2018)
Ultrasonik Lada 55 Etanol 60 - - 10,28 (Jie, Jun, & Xu, 2008)
Jahe 42 Etanol 79 - - 11,03 (Hartuti & Supardan, 2012)
40 Etanol 150 - - 8,88 (Hartuti & Supardan, 2013a)
60 Etanol 300 - 42 7,81 (Fuadi, 2012)
Biji Pala 60 CO2 90 414 - 38,8 (Al-rawi et al., 2013)
Cairan
Lada hitam 47 CO2 150 266 - 5,33 (Dang & Phan, 2014)
Superkritis
Jahe 35 CO2 420 200 - 2,65 (Zancan et al., 2002)
35 CO2 420 250 - 2,34 (Zancan et al., 2002)
27
Pada Tabel 3 dapat dilihat tabulasi data dari 4 macam metode ekstraksi dengan 3 macam
bahan dasar oleoresin, yang mana ke 4 macam metode ekstraksi memiliki beberapa faktor
penentu ekstraksi yang sama yaitu suhu, pelarut dan waktu ekstraksi, namun pada
ultrasonik selain ketiga faktor diatas terdapat pula faktor lainnya yaitu frekuensi dan pada
ekstraksi cairan superkritis dipengaruhi juga tekanan yang digunakan saat ekstraksi. Pada
ekstraksi konvensional soxhlet terdapat rendemen tertinggi pada bahan dasar jahe yaitu
sebesar 85,40%, pada suhu 30oC, menggunakan pelarut etanol dan waktu ekstraksi 24
jam atau 1440 menit (Oktora et al, 2007). Kemudian rendemen tertinggi kedua pada
bahan dasar biji pala yaitu sebesar 15,40%, diekstraksi pada suhu lebih rendah yaitu 30
o
C dengan pelarut etanol dan waktu ekstraksi 7 jam atau 420 menit (Sofyana et al., 2013).
Sedangkan ekstraksi soxhlet pada bahan dasar lada didapatkan rendemen tertinggi 5,7%
pada suhu 60 oC dengan pelarut etanol dan waktu ekstraksi 150 menit, rendemen sebesar
3,2% didapatkan pula dalam penelitian yang sama, namun menggunakan pelarut n-
heksana (Singh et al., 2013).
Pada metode ekstraksi maserasi dapat dilihat di Table 3. Bahwa rendemen tertinggi ada
pada bahan dasar jahe yaitu sebesar 83,43%, pada suhu 31oC menggunakan pelarut etanol
dan waktu ekstraksinya 24 jam atau 1440 menit (Oktora et al, 2007). Kemudian rendemen
tertinggi ketiga didapatkan pada bahan dasar biji pala yaitu sebesar 20,11% pada suhu
30oC dengan pelarut etanol dan lama ekstraksi 7 jam atau 420 menit (Baihaqi, 2018).
Pada bahan dasar jahe juga didapatkan rendemen tertinggi ketiga untuk metode ekstraksi
maserasi yaitu sebesar 17,20% pada suhu 31oC menggunakan pelarut n-heksana dan
waktu ekstraksinya 24 jam atau 1440 menit (Oktora et al, 2007). Kemudian untuk
rendemen terendah terdapat pada bahan dasar biji pala pada penelitian Sofyana et al.,
(2013) didapatkan rendemen sebesar 2,05% pada suhu 30 oC dengan pelarut etanol dan
waktu ekstraksi yang singkat hanya 3 jam atau 180 menit. Waktu ekstraksi dengan metode
maserasi memang membutuhkan waktu yang lama, karena semakin lama waktu
perendaman sampel dalam pelarut, akan semakin banyak bahan yang terekstrak, maka
dari itu lama waktu ekstraksi mempengaruhi rendemen yang dihasilkan (Sulhatun et al.,
2013).
28
29
Pada metode ekstraksi ultrasonik dari beberepa penelitian yang telah dilakukan, terdapat
rendemen tertinggi pada bahan dasar biji pala dengan rendemen sebesar 31,33% pada
suhu 35 oC dengan pelarut etanol, frekuensi ultrasonik sebesar 20 Khz dan lama waktu
ekstraksi 30 menit (Baihaqi, 2018). Kemudian rendemen tertinggi kedua ada pada bahan
dasar jahe yaitu sebesar 11,03%, pada suhu 42 oC dengan pelarut etanol selama 79 menit,
frekuensi yang digunakan tidak disebutkan pada jurnal (Hartuti & Supardan, 2012). Pada
penelitian Jie, Jun, & Xu, (2008) dengan bahan dasar lada putih didapatkan rendemen
tertinggi ketiga yaitu sebesar 10,28% pada suhu 50 oC dengan pelarut etanol selama 60
menit, frekuensi yang digunakan tidak disebutkan pada jurnal. Dari data diatas
menunjukkan waktu ekstraksi dengan ultrasonik lebih singkat dibandingkan dengan
metode lainnya. Hal ini menunjukan bahwa ekstraksi dengan ultrasonik memberikan
efisiensi waktu yang tinggi, jika dibandingkan dengan ekstraksi soxhlet (Hartuti &
Supardan, 2012).
Sedangkan pada metode ekstraksi dengan cairan superkritis CO 2 didapatkan data dari
beberapa penelitian dari masing-masing bahan, dan rendemen tertinggi terdapat pada
bahan biji pala sebesar 38,8% pada suhu 60 oC dengan tekanan 414 bar dan lama waktu
ekstraksi 90 menit (Al-rawi et al., 2013). Kemudian rendemen tertinggi kedua terdapat
pada bahan lada hitam yaitu sebesar 5,33% dengan menggunakan perlakuan suhu 47 oC,
tekanan 266 bar dan lama waktu ekstraksi 150 menit (Dang, 2014). Pada penelitian
Zancan et al., (2002), didapatkan rendemen terendah untuk metode ekstraksi cairan
superkritis pada bahan jahe yaitu rendemen sebesar 2,65% dengan perlakukan suhu 35
o
C, tekanan 200 bar dan lama waktu ekstraksi 7 jam atau 420 menit. Menurut Machmudah
et al. (2006) ekstraksi minyak pala menggunakan proses superkritis ditemukan bahwa
rendemen meningkat seiring dengan penurunan suhu dengan menggunakan tekanan yang
tinggi. Dari data yang didapatkan diatas dapat dilihat bahwa metode ekstraksi cairan
superkritis CO2 lebih efisiensi dibandingkan metode ekstraksi lainnya dilihat dari aspek
lingkungan karena menggunakan pelarut ramah lingkungan CO2. Oleh karena itu, dapat
dianggap sebagai metode ekstraksi hijau yang menjanjikan tanpa limbah kimia untuk
mengekstraksi oleoresin yang kaya akan senyawa aktif dengan waktu yang lebih singkat
untuk industri makanan dan farmasi (Al-rawi et al., 2013).
30
Tabel 4 menunjukkan beberapa rempah-rempah komoditi ekspor yang telah diekstraksi kandungan oleoresinnya dan telah diketahui
persentase rendemen serta nama senyawa yang dominan di dalam oleoresin :
Tabel 4. Kandungan senyawa dominan pada oleoresin Pala, Lada dan Jahe
Faktor
Metode Rendemen Jumlah
Bahan T Pelarut ±t P f Senyawa Dominan Referensi
ekstraksi o (%) komponen
C (min) (bar) (KHz)
Pala Soxhlet 60 n-heksan 360 - - 34 - -Myristicin (Al-rawi et al.,
-4-Terpineol 2013)
(Sofyana et
30 Etanol 420 - - 15,30 8 - Myristicin al., 2013)
Pada Tabel 4 dapat dilihat tabulasi data dari 3 macam jenis bahan Pala, Lada dan Jahe
dengan beberapa metode ekstraksi yang telah diketahui senyawa non-volatilnya.
Keberadaan senyawa non-volatil dalam oleoresin dipengaruhi oleh faktor penentu
ekstraksi di masing-masing metode, terdapat beberapa faktor penentu ekstraksi yang
sama yaitu suhu, pelarut dan waktu ekstraksi, namun pada ultrasonik selain ketiga faktor
diatas terdapat pula faktor lainnya yaitu frekuensi dan pada ekstraksi cairan superkritis
dipengaruhi juga tekanan yang digunakan saat ekstraksi.
Bahan rempah komoditi ekspor yang telah diekstraksi kandungan oleoresinnya dan telah
diketahui persentase rendemen dilakukan pengujian dengan GCMS untuk mengetahui
senyawa non-volatil penyusun dalam oleoresin, yang mana dari banyaknya senyawa yang
teridentifikasi diambil 3 senyawa non- volatile yang paling dominan di dalam oleoresin.
Menurut Guenther, (1987) dalam (Setia Budi, 2009) GCMS digunakan untuk
menganalisis senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam produk oleoresin. Fixed oil
atau senyawa non volatil menyebabkan rasa pedas yang terdapat dalam kelenjar yang
tersebar pada rhizoma, tetapi paling banya terdapat di bawah jaringan epidermis (Oktora
et al, 2007).
Pada beberapa penelitian yang ada di Tabel 4 dengan bahan dasar biji pala terdapat 4
macam metode ekstraksi yaitu soxhlet, maserasi, ultrasonik dan cairan supekritis yang
telah mengekstrak oleoresin dan melakukan pengujian GC-MS, senyawa dominan yang
sama di keempat macam metode ekstraksi tersebut adalah myristicin. Pada metode
maserasi terdapat 3 penelitian yang diketahui jumlah senyawa penyusunnya yaitu
sebanyak 39, 15 dan 10 yang teridentifikasi. Kemudian pada penelitian Sofyana et al.,
(2013) yang membandingkan hasil GCMS metode ekstraksi ultrasonik, maserasi dan
soxhlet didapatkan jumlah senyawa penyusun yang berbeda, jumlah terbanyak yaitu 19
senyawa penyusun pada metode ultrasonik, selanjutnya pada metode maserasi didapatkan
10 senyawa dan yang terendah pada metode ekstraksi soxhlet sebanyak 8 senyawa. Hal
ini dipengaruhi oleh suhu yang digunakan semakin tinggi suhu yang digunakan maka
semakin banyak senyawa yang hilang, dan semakin lama waktu ekstraksi maka semakin
berkurang senyawa penyusun yang teridentifikasi (Sofyana et al., 2013).
33
Kemudian data pada Tabel 4 untuk bahan dasar lada hitam dan lada putih pada penelitian
oleoresin dengan metode soxhlet dan maserasi yang telah di uji dengan GCMS memiliki
senyawa dominan yang sama yaitu Piperin dan Piperolein B. Pada metode ekstraksi
dengan soxhlet yang dilakukan oleh Singh et al., (2013) dengan bahan yang sama yaitu
lada putih, namun di ekstraksi dengan pelarut berbeda yaitu etanol dan n-heksan
menghasilkan jumlah senyawa dominan yang sama yaitu dengan jumlah 26 senyawa.
Namun jenis senyawa dominan yang didapat tidak jauh berbeda. Adapun perbedaan
komponen yang ditemukan dapat dipengaruhi oleh faktor geografis, pemerosesan pasca
panen dan status gizi tanaman yang berbeda (Fan, Muhamad, Omar, & Rahmani, 2011).
Selain itu hasil yang berbeda ini juga disebabkan karena perbedaan metode ekstraksi yang
digunakan (Rodianawati, 2010).
Pada Tabel 4 juga terdapat bahan dasar jahe yang mana telah dilakukan penelitian
ekstraksi oleoresin dengan metode soxhlet, ultrasonik dan cairan superkritis yang
kemudian dilanjutkan dengan pengujian GCMS. Hasil analisis GCMS sebagaimana
terlihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa zingiberone merupakan komponen dengan
komposisi dominan yang terindentifikasi baik melalui ekstraksi dengan menggunakan
ultrasonik, ekstraksi soxhlet maupun ekstraksi menggunakan CO2 superkritis. Hal ini
menunjukkan ekstraksi menggunakan ultrasonik dapat mengekstrak 123 senyawa atau
lebih banyak komponen yang teridentifikasi dibandingkan dengan soxhlet dengan 113
senyawa (Fuadi, 2012). Menurut Setia Budi, (2009) jumlah komponen penyusun dalam
oleoresin tergantung dari jenis pelarut yang digunakan.
Gingerol merupakan komponen utama dalam oleoresin jahe yang menyebabkan rasa
pedas, namun ekstraksi komponen ini dalam bentuk murni sulit dilakukan karena
senyawa ini mudah bereaksi dengan pelarut. Koswara (1995) dalam (Fuadi, 2012) juga
mengatakan bahwa dalam proses ekstraksi jahe senyawa gingerol sangat mudah berubah,
perubahannya menjadi shagaol atau zingiberone yang kurang pedas. Perubahan gingerol
terjadi selama proses pengeringan dan ketika proses ekstraksi (Fuadi, 2012). Penggunaan
suhu rendah dapat mengurangai komponen volatil yang hilang saat ektraksi
(Rodianawati, 2010).