Anda di halaman 1dari 7

Nama: Sukur Aman Setia

Nim: 17524
Tingkat: III (tiga)
Mata Kuliah: Teori Pastoral Konseling
Dosen Pengampu: Dr. Rosiany Hutagalung, SP., M.Th.

HAKIKAT PENGGEMBALAAN

A. DEFENISI

Dalam relasi Kekristenan penggembalaan adalah suatu hubungan timbal balik yang tidak

asing lagi dan sangat sering terjadi di lingkungan gereja. Penggembalaan sendiri berasal dari kata

benda yaitu gembala yang telah ditambahkan imbuhan dan akhiran sehingga berubah makna

menjadi suatu konsep praktis yang menggambarkan tugas seorang gembala.

Menurut KBBI, gembala adalah penjaga atau pemiara binatang; penjaga keselamatan orang

banyak. Ditinjau dari beberapa istilah dalam bahasa, menurut Howard Rice kata “Gembala dalam

bahasa latin ialah pastor dan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan pendeta, juga merupakan

sebutan bagi seorang imam Gereja Katolik Roma.” 1 Gembala menurut Poerwadarminto ada dua

arti yaitu secara harafiah kata “gembala” memiliki arti “penjaga atau pemelihara binatang ternak,”

secara rohani berarti “penjaga keselamatan umat Nasrani.”2 Elrath Billy Mathias dalam

Ensiklopedia Alkitab Praktis menjelaskan bahwa: “Di jaman Alkitab gembala adalah pemelihara

domba, suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh kaum pria maupun wanita baik tua maupun

muda, meskipun tugas itu cukup berat dan berbahaya”3

Gembala sering disebutkan dalam Alkitab, mulai dari Kitab yang pertama, Kejadian, sampai

Kitab yang terakhir, penyingkapan, atau Wahyu. Kej. 4:2; Wahyu 12:5. Kalau kita memeriksanya

ternyata disana telah ditulis oleh Alkitab tentang gembala tersebut. Tokoh-tokoh seperti Abraham,

Musa, dan Raja Daud, adalah gembala. Sang pemazmur Daud dengan indahnya melukiskan

1
Rice Howard, Managemen Umat (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006), hal. 19.
2
Purwodarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal. 156.
3
Billy Matheas Elrath. Ensiklopedia Alkitab Praktis, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1978), hal. 40.
tanggung jawab seorang gembala yang baik. Dan, sebuah mazmur yang ditulis oleh Asaf

menyebut Daud sebagai gembala atas umat Allah pada zaman dahulu. Maz. 23:1-6; 78:70-72.

Selain dari pada itu juga dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengangkat para Rasul, Pekabar

Injil, para pengajar dan gembala untuk memperlengkapi orang-orang Kudus untuk bertumbuh

dalam kedewasaan iman. Betapa pentingnya, para gembala tersebut di dalam Injil Yohanes,

sehingga Tuhan Yesus tiga kali memerintahkan Petrus: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” Yoh.

21: 15-17.

1. Gembala dalam PL

Ada delapan puluh empat ayat dalam Alkitab yang memuat tentang kata gembala.

Paling banyak disebutkan dalam Perjanjian Lama yaitu sebanyak 67 ayat. Pertama sekali kata

gembala disebutkan di dalam Kitab Kejadian 4:2 terhadap Habel. Dialah orang pertama yang

memiliki pekerjaan gembala. Kita dapat memahami mengapa gembala menjadi sangat populer

dalam kehidupan orang israel, tentunya adalah karena ketergantungan mereka pada ternak

untuk kebutuhan sehari-hari atapun untuk kebutuhan ibadah.

Bulu domba digunakan untuk pakaian, kulitnya dimanfaatkan untuk bahan lain seperti

tas, atau tempat anggur, sementara dagingnya dapat diperjualkan dan dipersembahkan dalam

rumah-rumah ibadah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gembala memiliki peranan

penting dalam kehidupan bermasyarakat di Israel. Menjadi gembala adalah suatu pekerjaan

yang amat mulia dikalangan kaum Yahudi; pekerjaan penggembalaan dilakukan baik oleh

pria maupun wanita, anak-anak laki-laki ataupun perempuan, kaya dan miskin. Kej 30:29; Kel

2:19.

Pekerjaan gembala adalah pekerjaan yang paling berat dan berbahaya. Kej 31:40; 1 Sam

17:34; Yes 31:4; Luk 15:16. Menurut tradisi Israel bahwa gembala diperlengkapi dengan

mantel yang dibuat dari kulit domba, kantong kecil dan kulit atau semacam dompet, ali-ali

dan kait. Kawanan domba dibawanya kepadang rumput dipagi hari, dan pada malam harinya

dikembalikan kekandangnya.
Gembala mengandung dua makna dalam Alkitab. Pertama, orang yang

menggembalakan ternak. Kedua, orang yang mengasuh dan membina manusia, yaitu gembala

yang bersifat ilahi dan fana. Asuhan terhadap sesama mahluk fana bisa bersifat politik

ataupun rohani.8 Poin yang kedua adalah gembala yang ditujukan kepada orang yang

diberikan tugas untuk melayani atau memimpin umat Allah (Ef. 4:11). Penggunaan kata

gembala tidak terbatas hanya disini, kata gembala pun digunakan Allah untuk menyebutkan

diri-Nya sendiri.

Kata gembala dalam terjemahan dari kata Ibrani “ro’eh” sebagai qal partisip kata benda

“gembala”.11 Menurut James Strong Kata “Gembala” dalam Perjanjian Lama menggunakan

kata ‫ ר ( ָה ָע‬ra‘ah) mengandung makna to tend yang berarti memelihara; pasture yang berarti

memberi makan rumput segar, mengembalakan.4 Istilah kata di atas hampir sama dengan yang

diungkapkan oleh Gerhard Kittel dan Gerhard Friedrich, bahwa kata ’gembala’ memakai kata

ro’eh berasal dari kata ra’ah yang berarti ”memberi makan atau menggembalakan.” 5 Seorang

gembala bertanggung jawab atas ternaknya untuk menggembalakan, merawat dan memelihara

mereka. Pemimpin-pemimpin zaman Perjanjian Lama sering disebut gembala-gembala. 6 bagi

rakyat mereka. Tentu ini dikaitkan dengan tugas mereka untuk menggembalakan, merawat

dan memelihara rakyat yang dipercayakan oleh Allah kepada mereka. Bahkan Allah sendiri

juga disebut sebagai Gembala bagi umat-Nya, di mana Israel dapat memanggil Dia ketika

membutuhkan perlindungan dan bimbingan/pimpinan, misalnya. Maz. 80:1.7 Dalam kitab

Yehezkiel pasal. 34 menggunakan metafora gembala untuk mengkomunikasikan pesan ilahi

yang dia terima. J.W. Miller, seperti yang dikutip oleh Leslie C. Allen berpendapat bahwa

penggunaan kata “gembala” dalam Yeh. 34 merujuk kepada dua karakter yaitu ayat.1-10

merujuk kepada pemimpin-pemimpin Israel, sedangkan ayat 11-31 merujuk kepada seorang

pemimpin yang dijanjikan Allah untuk orang Israel.


4
James Strong, The New Strong’s Exhaustive Concordance of the Bible “Greek Dictionary of the New
Testament” (Kanada: Thomas Nelson Publisher’s, 1990), hal. 27.
5
Gerhard Kittel, Gerhard Friedrich, The Theological Dictionary of the New Testament, (Grand Rapids, MI: Wm.
B. Eerdmans Publishing Company, 2000), hal. 50.
6
Leslie C. Allen, Word Biblical Commentary, volume 29: Ezekiel 20-48, Electronic Edition- (Dallas, Texas: Word
Books, Publisher, 1998).
7
F.E. Gaeblein – ed, Expositor Bible Commentary. Electronic Edition, (Grand Rapids: Zondervan Publishing
House, 1992), hal. 75.
Jadi, dalam Perjanjian Lama gembala adalah suatu jabatan yang diberikan kepada

penjaga peternak hewan yang mempunyai tugas menjaga kawanan domba dari serangan

binatang buas, membimbing domba-dombanya ke padang rumput hijau dan membiarkan

domba-domba tersebut makan rumput, ini adalah arti “gembala” secara literal.

2. Gembala dalam PB

Dalam Perjanjian Baru ada beberapa istilah yang menunjukkan kepada kata “gembala”.

M. Bons Storm dalam bukunya yang berjudul Apakah Penggembalaan Itu, menjelaskan

bahwa kata “gembala” dalam bahasa Yunani adalah “Poimen”. 8 Dan kata “gembala” banyak

terdapat juga di dalam Kitab Perjanjian Baru, seperti yang tertulis di dalam Markus 6:34

sebagai berikut: “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka

tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang

tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajar banyak hal kepada mereka.”

Firman Tuhan di atas memberi suatu bukti bahwa istilah “gembala” sudah ada dalam

Perjanjian Baru. Bukan hanya seperti yang dijelaskan sebelumnya, tetapi masih banyak istilah

“gembala” yang dapat ditemukan dalam Perjanjian Baru. Misalnya yang terdapat di Luk.

2:20; 8, Luk. 8:2, Mat. 9:36, dan lain-lain.

B. PRINSIP-PRINSIP PENGGEMBALAAN

Yesus Kristus sebagai dasar penggembalaan Perjanjian Baru, prinsip-prinsip penggembalaan

sebagaimana terdapat dalam Yoh.10:1-29 adalah:

1. Yesus menekankan perihal gembala yang sejati sebagai lawan gembala yang

mempunyai motif yang egois dan tersembunyi.

2. Karakter gembala sejati menjadikannya seorang gembala penjaga.

3. Gembala sejati mempunyai komitmen untuk memberikan nyawanya bagi domba-

dombanya.

4. Tujuan gembala yang baik ialah untuk memberi hidup yang berkelimpahan kepada

kawanan domba itu.


8
Strorm M. Bons, Apakah Penggembalaan Itu, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 4.
5. Gembala yang penuh kasih berusaha untuk memberi keamanan kepada dombanya dan

berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

6. Gembala yang menelantarkan dombanya secara langsung dan tak langsung telah

menempatkan kawanan dombanya dalam ancaman bahaya.

7. Gembala jemaat tidak boleh kehilangan cinta kasihnya kepada orang-orang yang ada

di luar jemaat.

8. Tindakan Pastoral harus didasarkan pada kasih yang memelihara hubungan dengan

Allah dan ketaatan kepada perintah-perintah Allah.

9. Mengenali kehadiran Allah yang aktif ditengah-tengah jemaat adalah tujuan utama

dari tindakan penggembalaan.

C. TUGAS GEMBALA DALAM PENGGEMBALAAN

Pekerjaan sebagai gembala, dihayati dalam hubungan pribadi yang dekat dengan Tuhan.

Dihidupi sebagai ibadah, refleksi iman dan pelayanan kepada Tuhan. Gembala sidang juga harus

menjadi sebagai motivator bagi jemaatnya dan rekan-rekan hamba Tuhan. Seperti Musa dan

Yosua “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkaulah yang akan memimpin bangsa ini

memiliki negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka (Yosua 1:6).

Musa menjadi motivator atau pendorong bagi Yosua untuk menjalankan tugas selanjutnya.

Artinya bahwa gembala harus menjadi pendorong bagi generasi selanjutnya untuk

mengembangkan pelayanan dan juga dalam kepemimpinan bahwa generasi berikutnya perlu

didorong menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Pertumbuhan rohani yang dewasa ditandai

dengan irama hidup yang ditulis dalam Yohanes 4:34, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak

Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” artinya adalah penampilan batiniah

kita, bukan penampilan luarnya. Makanan disini diterjemahkan sebagai rezeki atau kebutuhan

hidup. Makanan dihubungkan dengan pelayanan. Jika pelayanan adalah kebutuhan hidup, maka

itu bukanlah kewajiban atau profesi. Pelayanan adalah irama hidup dan pelayanan itu dilakukan

bukan karena ikut-ikutan. Sebab, orang yang melayani Tuhan harus dimulai dari pertumbuhan
rohani yang menuju ke kedewasaan rohani. Ketika seorang dewasa secara rohani, ia memahami

arti hidup, tujuan hidup dan arti kebaikan, ia tidak hanya memikirkan tentang kebutuhan jasmani

saja, melainkan sesuatu yang bernilai kekal. Singkatnya adalah memiliki fokus yang jelas,

sehingga pelayanannya menjadi jelas dan hidup.

D. TUJUAN PENGGEMBALAAN

Kegiatan penggembalaan dikerjakan untuk mencapai suatu tujuan sebagai target pelayanan,

antara lain:

1. Mengajar tentang pertobatan

Tobat, adalah kata serapan Arab. Kata dasar dari kata “bertobat” adalah kata “tobat.” Di

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan yang dimaksud dengan kata “tobat” adalah

sadar dari dosa dan tak akan mengulanginya lagi; kembali ke jalan yang benar, kembali ke

jalan agama; menyesali perbuatannya.184 Sedangkan yang dimaksud dengan kata “bertobat”

ialah menyesal dan berniat hendak memperbaiki perbuatan (perilakunya); kembali kepada

Tuhan atau agama (jalan) yang benar.9

Pertobatan mengandung arti bahwa seseorang berpaling dari yang jahat serta

memalingkan hati dan kehendaknya kepada Allah, tunduk pada perintah-perintah Allah serta

meninggalkan dosa. Pertobatan sejati datang dari kasih bagi Allah dan hasrat yang tulus untuk

mematuhi perintah-perintahNya. Alkitab juga memberitahu kita bahwa pertobatan yang sejati

akan menghasilkan perubahan tindakan (Luk. 3:8-14, Kisah Para Rasul 3:19). Kisah Para

Rasul 26:20 menyatakan, “Tetapi mula-mula aku memberitakan bahwa mereka harus bertobat

dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaanpekerjaan yang sesuai dengan

pertobatan itu.”

2. Memuridkan menjadi Murid

Dalam pelayanan dan pengajaran seorang gembala tidak hanya berhenti sampai orang

itu bertobat tetapi dalam pelayanan seorang penggembalaan harus ada peningkatan, yaitu

memuridkan, karena memuridkan sangat penting di dalam Alkitab. Menurut JM. Nainggolan

bahwa “pengajaran di dalam gereja tidak hanya menghasilkan petobat-petobat baru,


9
KBBI, hal. 1534.
melainkan menciptakan dan membentuk orang-orang percaya rela menjadi murid-murid

Kristus. Pengajaran tidak hanya cukup untuk merohaniakan warga jemaat, melainkan supaya

setiap orang dapat dipakai oleh Tuhan dan menyerahkan hidupnya menjadi murid-murid

Kristus. Kita harus berlajar dari pola pelayanan Paulus. Dalam pelayanan dan pengajaran

Paulus memberi inspirasi penting bagi kita saat ini.

3. Membangun Spiritualitas

Spiritulitas berasal dari kata Latin “Spiritus” yang berarti roh, jiwa, semangat bahasa

Inggris disebut “Spirituality”. Dalam bahasa Indonesia di sebut dengan Spiritualitas. 10

Spiritualitas juga bisa berarti daya kekuatan yang menghidupkan atau menggerakkan.

Spitualitas dapat diartikan sebagai kekuatan atau Roh yang memberi daya tahan kepada

seseorang atau kelompok untuk mempertahankan, memperkembangkan, dan mewujudkan

kehidupan yang lebih baik. Sedangkan menurut Tulus Tu’u mendefinisikan kata “spiritualitas

berasal dari kata “spiritus” yang berarti “rohani” atau “roh” yang dalam Perjanjian Baru

“pneuma” dalam Perjanjian Lama “ruah”. Kata-kata tersebut kerap kali hanya dipahami

dengan istilah “kerohanian” saja. Sehingga pengertian dan pemakaiannya lebih menekankan

pada memetingkan hubungan pribadi dengan Allah”.11 Tetapi beliau menegaskan kembali

bahwa istilah spiritulitas lebih dari pengertian kerohanian tersebut. Spiritulitas adalah,

pertama, hidup yang terarah kepada Tuhan Allah yang menjadi pokok dalam seluruh

kehidupan manusia. Hidup yang terarah pada Allah ini mencakup hubungan manusia dengan

Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya manusia dengan dunia dan dengan alam

lingkungannya. Kedua, spiritualitas juga sebagai “motor” yang menggerakkan dan

memberikan semangat serta dorongan bagi seluruh aspek-aspek hidup manusia ketika

bersentuhan dengan sesamanya manusia.

10
Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama, dan Spiritulitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 64.
11
Tulus Tu’u, Pemimpin Kristiani Yang berhasil 1, (Jabar: Bina media Informasi, 2010), hal. 75-76.

Anda mungkin juga menyukai