Multisenter: √ Tidak Ya
2. Judul Penelitian:
Perbedaan Gambaran Mikroskopis Sel Neuron Otak Tikus Rattus
novergicus antara Tikus yang Diberikan Isoproterenol dan Ramipril dengan Tikus
yang Hanya Diberikan Isoproterenol
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran mikroskopis sel neuron otak pada tikus
yang diberikan isoproterenol.
1
2. Untuk mengetahui gambaran mikroskopis sel neuron otak pada tikus
yang diberikan isoproterenol dengan pemberian awal ramipril
3. Untuk mengetahui perbedaan gambaran mikroskopis sel neuron otak
tikus antara tikus yang diberikan isoproterenol dan ramipril dengan tikus
yang hanya diberikan isoproterenol.
Manfaat Penelitian bagi Peniliti
Bagi peneliti, penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu
yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan
peneliti. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi sarana bagi peneliti untuk
melatih pola berpikir kritis terhadap pemahaman akan ilmu pengetahuan.
2
dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu edema otak vasogenik,
sitotoksik, interstisial, dan osmotik.2
Edema otak dapat terjadi pada semua kelompok umur, jenis kelamin, dan
kelompok etnis. Kejadian edema otak ini seringkali terjadi mengikuti kejadian
stroke. Pada stroke iskemik, edema otak menjadi penyebab paling umum dari
kerusakan neurologis bahkan kematian selama stroke iskemik akut. 2,3 Di
Amerika, stroke adalah penyebab kematian ketiga terbanyak. Setiap tahun
setidaknya sekitar 795.000 orang mengalami stroke. Pada tahun 2005 setidaknya
1 dari setiap 17 kematian di Amerika disebabkan oleh stroke. Di Inggris,
setidaknya 174-326 per 100.000 orang penduduk menderita stroke setiap
tahunnya, dan menjadi penyebab kematian sebesar 11% di Inggris dan Wales. 4–6
Di Indonesia sendiri, angka kejadian stroke mencapai 234/100.000 penduduk
(survei di Bogor oleh Misbach 2001). Saat ini, Indonesia bahkan menjadi negara
dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia.7
Edema otak tipe sitotoksik dapat terjadi akibat adanya gangguan aliran
darah ke otak. Gangguan ini mengakibatkan terjadinya kondisi hipoksia dan
iskemia akut pada otak sehingga mekanisme hemostatik ikut terganggu.
Keadaan ini mengakibatkan terjadinya disfungsi pada pompa Na-K yang
mengakibatkan natrium memasuki sel secara bebas, dengan kegagalan
mekanisme ekspor. Anion kemudian mengikuti, berusaha mengembalikan
netralitas pada sel, menghasilkan edema intraseluler yang ditandai dengan
pembengkakan sel akibat peningkatan air yang masuk mengikuti ion ke
kompartemen intraseluler. Keadaan ini memicu terjadinya edema otak jenis
sitotoksik (seluler) yang dapat terjadinya hanya dalam hitungan menit. 8 Literatur
lain menyebutkan stroke iskemik juga dapat mengakibatkan terjadinya edema
otak tipe sitotoksik karena adanya gangguan pada membran sel akibat
berkurangnya aliran darah ke otak yang dapat terjadi segera setelah timbulnya
iskemia yang puncaknya terjadi pada 24-96 jam pertama.3
Salah satu penyebab terjadinya penurunan aliran darah ke otak adalah
gangguan pada jantung seperti infark miokard akut (IMA). IMA yang
merupakan bagian dari penyakit jantung koroner (PJK) ini menyebabkan
terjadinya penurunan kontraktilitas otot jantung yang mengakibatkan terjadinya
penurunan cardiac output (CO) yang nantinya mengakibatkan hipotensi sistemik
3
sehingga tekanan perfusi pada berbagai organ tubuh termasuk otak menjadi
berkurang.9 Penelitian yang dilakukan oleh Kaplan dkk melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara Cerebral Blood Flow (CBF) dan CO pada awal
terjadinya IMA hingga 30 hari setelahnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
penurunan CBF secara signifikan bersamaan dengan penurunan CO, dan
autoregulasi serebral tidak dapat memulihkan CBF sepenuhnya.10 Hal ini tentu
sangat berdampak pada kerusakan otak yang seharusnya menerima 15% darah
yang dipompakan oleh jantung. Literatur lain juga menyebutkan bahwa otak
akan mudah mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan pasokan oksigen (O2)
selama lebih dari 4 hingga 5 menit atau penyaluran glukosanya terputus lebih
dari 10 hingga 15 menit.10,11
Data American Heart Assosiation (AHA) tahun 2009 melaporkan bahwa
prevalensi kejadian stroke pada pasien yang mengalami PJK adalah sebesar
8.4% pada laki-laki dan 5.6% pada perempuan. Pada stroke iskemik, risiko pada
populasi adalah sebesar 5.8% pada laki-laki dan 3.9% pada perempuan.6 Di
Indonesia sendiri, data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan
bahwa dari 722.329 responden yang berusia ≥ 15 tahun didapatkan angka
prevalensi stroke secara nasional sebesar 1,21%. Dari data tersebut didapatkan
bahwa proporsi stroke lebih tinggi terjadi pada orang-orang yang memiliki PJK
daripada yang tidak memiliki PJK yaitu secara berturut-turut sebesar 7.2% dan
1.1%. Orang-orang yang mengalami PJK juga dilaporkan lebih berisiko
mengalami stroke hingga 6.85 kali dibanding non-PJK.12,13
Zat yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya PJK seperti IMA
adalah isoproterenol. Isoproterenol adalah obat golongan agonis β-adrenergik
non selektif yang dapat digunakan sebagai model untuk menginduksi IMA pada
tikus.14 Pemberian isoproterenol pada tikus akan menstimulasi iskemia jantung
dan hiperplasia fibroblastik dengan penurunan kemampuan jantung dan fungsi
diastolik dan sistolik serta menunjukkan gambaran infark miokardial seperti
infark miokardial pada manusia.15 Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu
Widyaningsih dkk melaporkan bahwa pemberian isoproterenol pada tikus Rattus
novergicus dapat digunakan sebagai model infark dengan parameter perubahan
gambaran electrokardiogram (EKG), gambaran makroskopik luas infark,
4
gambaran histopatologisel otot jantung serta apoptosis dengan adanya ekspresi
caspase-3.16
Edema otak yang tidak ditatalaksana dengan baik dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada otak akibat kompresi edema ke sisi otak yang lain.
Hal ini jika dibiarkan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan neurologis.
Oleh karena itu, terapi sedini mungkin seperti pemberian mannitol dapat
mengurangi kerusakan neurologis akibat edema otak. Pencegahan terjadinya
penurunan aliran darah ke otak secara dini juga berpengaruh terhadap prognosis
pasien.
Salah satu bentuk pencegahan yang memungkinkan adalah menghindari
terjadinya kondisi IMA yang cukup parah pada pasien-pasien yang berisiko
tinggi mengalami IMA. Pemberian ramipril sebelum terjadinya IMA dilaporkan
dapat menurunkan luas infark miokard dengan angka yang cukup bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh Warner dkk melaporkan bahwa pemberian
ramipril pada pasien-pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah dapat mengurangi
risiko relatif dari infark miokard dan kondisi iskemik lainnya sebesar 14-23%.
Studi yang dilakukan oleh Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE)
mengatakan bahwa pada pasien yang tidak diketahui memiliki fraksi ejeksi
rendah atau gagal jantung tetapi berisiko mengalami penyakit kardiovaskular,
pemberian ramipril dapat mengurangi kejadian stroke, infark miokard dan
kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular sebesar 22%.17
Penelitian yang dilakukan oleh Bayir dkk melaporkan bahwa pemberian awal
ramipril dengan dosis 3 mg/kgBB mempunyai efek profilaksis terhadap IMA.
Hal ini dibuktikan dengan pencegahan kenaikan Brain Natriuretic Peptide
(BNP) yang merupakan marker kerusakan jantung.18 Penelitian lain juga
melaporkan bahwa pemberian ramipril pada tikus Rattus novergicus sebelum
dilakukan induksi IMA menggunakan isoproterenol dapat mengurangi
kerusakan pada miokard yang ditandai dengan penurunan luas udem pada
miokard yang bermakna.19
Besar luas infark miokard dilaporkan memiliki pengaruh terhadap
penurunan CBF secara bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Kaplan dkk
menggunakan teknik ligasi arteri koroner menghasilkan luas infark sekitar 45%
yang mengakibatkan terjadinya penurunan CO menjadi sekitar 7mL/menit. 10
5
Penelitian lain yang dilakukan Afifah menggunakan isoproterenol 85mg/KgBB
mendapatkan hasil infark miokard sekitar 66% sehingga dapat diasumsikan
mengalami penurunkan CBF.19 Penurunan CBF ini selanjutnya dapat
mengakibatkan terjadinya edema otak yang juga memungkinkan terjadinya
kerusakan sel neuron, mengingat sel neuron merupakan komponen terbanyak
penyusun otak dan mudah mengalami kerusakan karena memiliki kebutuhan
metabolisme yang tinggi. Selain itu kerusakan sel neuron juga dapat terjadi
akibat kompresi karena adanya edema otak.20 Sejauh penelusuran yang peneliti
lakukan, belum ada literatur yang membahas bagaimana gambaran mikroskopis
sel neuron otak pada tikus Rattus novergicus yang diberikan isoproterenol
dengan ataupun tanpa rampril. Maka berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik
melakukan penelitian terkait perbedaan gambaran mikroskopis sel neuron otak
tikus Rattus novergicus antara tikus yang diberikan isoproterenol dan ramipril
dengan tikus yang hanya diberikan isoproterenol.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, maka
didapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran mikroskopis sel neuron otak pada tikus yang diberikan
isoproterenol?
2. Bagaimana gambaran mikroskopis sel neuron otak pada tikus yang diberikan
isoproterenol dengan pemberian awal ramipril sebagai profilaksis?
3. Apakah terdapat perbedaan gambaran mikroskopis sel neuron otak tikus
antara tikus yang diberikan isoproterenol dan ramipril dengan tikus yang
hanya diberikan isoproterenol?
Hipotesis
H0 : Tidak terdapat perbedaan gambaran mikroskopis sel neuron otak tikus
antara tikus yang diberikan isoproterenol dan ramipril dengan tikus yang hanya
diberikan isoproterenol.
H1 : Ada perbedaan gambaran mikroskopis sel neuron otak tikus antara tikus
yang diberikan isoproterenol dan ramipril dengan tikus yang hanya diberikan
isoproterenol
6
Metoda Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Gedung Animal House, Laboratorium
Farmakologi dan Laboratorium Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas yang dilaksanakan pada bulan Juni 2020.
Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah tikus putih (Rattus novergicus) galur Wistar
jantan berumur 6-8 minggu dengan berat badan 150-180 gram.
Kriteria Inklusi
1.Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar jantan yang sehat
2.Berat badan tikus adalah 150-180 gram
3.Tikus berumur 6-8 minggu pada saat pemilihan sampel
4.Tikus yang tidak memiliki cacat anatomi
Kriteria Eksklusi
1.Tikus tampak sakit ditandai dengan gerakan tidak aktif, tidak mau makan,
rambut rontok
2.Tikus yang mati
3. Refinement : membebaskan hewan coba dari rasa lapar dan haus, bebas dari
ketidaknyamanan, bebas dari nyeri dan penyakit, meminimalisir rasa nyeri
saat melakukan invasive yaitu dengan menggunakan analgesia dan
anesthesia, euthanisa dilakukan dengan metode yang manusiawi oleh orang
yang terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan
hewan coba.
7
b. Pemeliharaan hewan coba
Pemeliharaan hewan coba sesuai dengan konsep animal welfare dari WSPA
(World Society for Protection of Animals) dikenal dengan nama “Five (5)
Freedom“.
Ketentuan ini mewajibkan semua hewan yang dipelihara atau hidup bebas di
alam memiliki hak-hak/kebebasan berikut:
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus).
2. Freedom from discomfort (bebas dari rasa panas dan tidak nyaman).
3. Freedom from pain, injury, and disease (bebas dari luka, penyakit dan
sakit).
4. Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan penderitaan).
5. Freedom to express normal behavior (bebas mengekspresikan perilaku
normal dan alami)
c. Perlakuan penelitian
Perlakuan terhadap hewan coba sesuai dengan prinsip ketiga 3R yaitu
renement yaitu tekniik perlakuan penelitian dengan minimal stress.
1. Perlakuan fisik
• Pengekangan : penggunaan alat dan obat-obatan untuk membatasi gerak
normal hewan untuk keperluan pemeriksaan, cara kerja alat dan jangka
waktu pengekangan.
• Pembatasan makanan dan air minum : mencukupi sejumlah makanan dan
air minum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan memelihara
kesehatan jangka panjang.
2. Perlakuan perilaku
Komposisi hewan dalam kendang, struktur kendang, posisi penempatan
hewan dipertimbangkan agar dapat melakukan kontak dengan sesamanya.
3. Pengambilan organ otak
Pengambilan otak dilakukan setelah pembiusan.
d. Terminasi
Metode terminasi yaitu dengan pembiusan/anestesi umum menggunakan
ketamin untuk pengambilan otak dan dilakukan oleh tenaga ahli.
e. Paska penelitian
Perlakuan paska penelitian atau setelah diterminasi, bangkai hewan uji akan
dikubur dengan bantuan tenaga ahli.
8
Sebelum perlakuan, pada tikus dilakukan aklimatisasi di dalam ruang
hewan coba laboraturium selama 7 hari. Tikus dipelihara dengan standar
pengelolaan laboraturium dan dipaparkan dalam siklus terang selama 12 jam dan
siklus gelap selama 12 jam. Tikus ditimbang diawal dan diakhir dari aklimatisasi.
Tikus yang dipakai dalam penelitian adalah tikus yang berat badannya tidak turun
lebih dari 10% dan berperilaku normal. Jika terdapat tikus yang sakit atau mati
selama aklimatisasi, tikus diganti dengan kriteria yang sama dan diambil secara
acak. Aklimatisasi ini penting guna mencegah hasil yang tidak diinginkan pada
penelitian dikarenakan tikus tidak sehat.
Pemeliharaaan tikus dilakukan di dalam kandang yang ditutup anyaman
kawat dan diletakkan dalam ruangan dengan cahaya dan ventilasi udara yang
cukup, tidak terpapar cahaya matahari secara langsung, suhu ruangan 25±2ºC dan
kelembapan 50±10%. Kandang dibersihkan minimal 1 kali dalam dua minggu
agar tikus selalu sehat dan terhindar dari kotoran yang dapat menyebabkan infeksi.
Tikus diberi pakan standar AD2 (Comfeed) dan diberi minum ad libitum. Jumlah
kebutuhan pakan per hari rata-rata 5g/100gBB dan kebutuhan air sekitar 8-
11mL/100gBB.
9
menggunakan isoproterenol.
Pemberian Ramipril
Pemberian ramipril dilakukan selama 9 hari, dan pada hari ke-8 dan hari
ke-9 tikus diinduksi isoproterenol. Tikus diberi Ramipril per oral dengan dosis
yaitu 3 mg/KgBB.15 Untuk kelompok kontrol tikus diberikan NaCl fisiologis.
10
8. Bahaya potensial yang langsung atau tidak langsung, segera atau kemudian
dan cara mencegah atau mengatasi kejadian (termasuk rasa nyeri dan
keluhan)
Pada tikus mungkin akan terjadi perubahan flora normal usus, diare dan
mati selama pemberian perlakuan. Pertolongan dengan pemberian cairan dan diet
akan membantu tikus kembali sehat.
9. Pengalaman yang terdahulu (sendiri atau orang lain) dari tindakan yang
akan diterapkan.
Pada beberapa penelitian sebelumnya tikus telah dipergunakan untuk melakukan
percobaan serupa dengan objek penelitian yang berbeda . Prosedur yang dilakukan
adalah prosedur yang telah menjadi standar penelitian untuk melihat infark
miokard pada tikus.
10. Bila penelitian ini menggunakan orang sakit dan dapat memberi manfaat
untuk subyek yang bersangkutan, uraikan manfaat itu.
Penelitian ini tidak menggunakan orang sakit sebagai subyek
13. Bila penelitian ini menggunakan orang sakit, jelaskan diagnosis dan nama
dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Bila menggunakan orang sehat
jelaskan cara pengecekan kesehatannya
Penelitian tidak memakai subyek manusia.
14. Jelaskan cara pencatatan selama penelitian, termasuk efek samping dan
komplikasi bila ada
Pencatatan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis sel neuron otak
tikus yang diteliti
Tidak ada efek samping dan komplikasi.
15. Bila penelitian ini menggunakan subyek manusia, jelaskan bagaimana cara
memberitahukan dan mengajak subyek (lampirkan surat persetujuan
penderita)
Penelitian tidak memakai subyek manusia.
16. Bila penelitian menggunakan subyek manusia, apakah subyek dapat ganti
rugi bila ada gejala efek samping?
Penelitian tidak memakai subyek manusia.
11
18. Nama tim peneliti:
Penelitian ini merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran dalam Program Studi S1 Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas dengan peneliti sebagai berikut:
Peneliti : Muhammad Arief Ansyar
Pembimbing I : dr. Nita Afriani, M.Biomed
Pembimbing II : Dr.dr. Aisyah Elliyanti, SpKN (K).,MKes
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Januari 2020 – Juni 2020.
12