E. Kriminalitas Korporasi
Saat ini keberadaan korporasi memegang peranan penting dalam
kehidupan di masyarakat di bidang perekonomian. Keberadaannya yang
memegang peranan penting tersebut karena dapat memberikan kontribusi
positif seperti terhadap pendapatan negara (devisa). penerimaan pajak,
mengurangi pengangguran di masyarakat, serta dampak positiflain yang dapat
diberikan melalui kepeduliannya terhadap masyarakat dalam membangun
negara dan ikut mensejahterakan masyarakat
Namun terdapat pula aspek yang dapat merugikan bagi negara dan banyak
orang apabila korporasi tersebut melakukan perbuatan seperti penggelapan
pajak, pengurasan berlebihan terhadap sumber daya alam, penipuan terhadap
konsumen, menciptakan produk-produk negatif yang merugikan, eksploitasi
berlebihan terhadap buruh dan lain sebagainya.
Kasus di atas hanya salah satu contoh dari tindak kriminalisası korporasi.
Terdapat kasus lain seperti Indosat, Merpati Nusantara, PT Telkomsel, Tbk.
Pengaruh dan dampak yang ditimbulkan dari kejahatan korporasi ini adalah
berakibat langsung pada tingkat kepercayaan investor nasional dan
internasional tentang kepastian hukum untuk kelangsungan berusaha di
Indonesia. Kondisi ini pernah dibahas dalam sebuah diskusi bertema
"Kriminalisasi Kebijakan Korporasi, Ancaman bagi Pekerja, dan Hambatan
Serius Investasi di Indonesia", even yang dilaksanakan oleh Indonesian
Petroleum Association (IPA) dan Paramedina Public Policy Institute (PPPI).
Korporasi dalam hal ini diberlakukan sebagai perseroan terbatas atau PT,
dalam Pasal 1 butir 1 UUPT dijelaskan, Perseroan Terbatas, yang selanjutnya
disebut Perseroan, adalah: "badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal
pas: saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang undang
ini serta peraturan pelaksanaannya".
Untuk membahas lebih lanjut mengenai bagian ini, pada conto kasus di
atas dapat digunakan dalam memahami tentang kriminalia korporasi.
Kriminalisasi dalam bahasa Inggris disebut dengan criminalization, sementara
dalam ilmu kriminologi adalah sebuau proses saat terdapat sebuah perubahan
perilaku individu-individe yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan
dan menjadi penjahat. Dalam pemahaman sederhana, kriminalisast adalah
mempidanakan weseorang atau badan hukum. yang sesungguhnya tidak
memenuhi syarat-ayarat pemidanaun.
Lebih lanjut kemudian Soerjono Sockanto mengemukakan bahwil
kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai
perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan- golongan
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi
perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal
dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas
namanya.
Begitu pula dengan Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa
kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai
sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-
penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan
(decisions).
Dari ungkapan para ahli tentang pengertian kriminalisası di atas, lebih
menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun
tidak demikian Paul Cornill menyikapi, ia menjelaskan bahwa pengertian
kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana dan dapat dipidana saja, tetapi juga termasuk penambahan
(peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.
Ditegaskan oleh Marshall B. Clinard dan Petter C Yeager (Setiyono, 2005)
tindak pidana korporasi merupakan setiap tindakan yang dilakukan oleh
korporasi yang bisa diberikan hukuman oleh negara, entah di bawah hukum
administrası negara, hukum perdata dan hukum pidana Muladi dan Diah
Liezty dalam buku yang berjudul "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi"
menyoroti terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi yang
dilakukan oleh "non-state actors" memang tidak bersifar "state centric security
threar", tetapi merupakan bahaya terhadap "human security", baik individu,
kelompok maupun masyarakat. Dalam hal ini kemungkinan yang dapat
menjadi korban kejahatan korporasi adalah perusahaan saingan (spionase
industri, persaingan yang tidak jujur), negara (penggelapan pajak). karyawan
(lingkungan kerja yang tidak sehat), konsumen (produksi makanan beracun),
masyarakat (kejahatan lingkungan), dan pemegang saham yang tidak bersalah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa sckalipun kejahatan ekonomi pada umumnya
dan kejahatan korporasi pada khususnya dilakukan tanpa kekerasan (non-
violent crimes), namun selalu disertai dengan kecurangan (deceit), penyesatan
(misrepresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts),
manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan
(subterfuge) dan pengelakan peraturan (illegal circumvention), hal ini untuk
membedakannya dengan kasus perdata dan administratif.
Semakin maju dan berkembangnya zaman mendorong berbagai macam
dan ragam modus dan bentuk kejahatan yang terjadi. Sifat alamiah manusia
adalah berupaya mencari celah dan kesalahan dari setiap bentuk peluang yang
ada. Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muladi menegaskan tentang
beberapa ukuran yang secara doktrinal harus diperhatikan sebagai pedoman,
yaitu sebagai berikut.
1. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang
masuk kategori the misuse of criminal sanction.
2. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc. Kriminalisasi harus mengandung
unsur korban victimizing baik
3. aktual maupun potensial.
4. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisıs biaya dan hasil dan prinsip
ultimum remedium.
5. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable.
6. Kriminalisasi harus mampu memeroleh dukungan publik.
7. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan
bahaya bagı masyarakat, sekalıpun kecil sekali.
8. Kriminalisasi harus memerhatikan peringatan bahwa setiap peraturan
pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan
kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.
Berbagai argumen dari publik tentang kriminalisasi korporasi ini banyak
bergulir. Kriminalisasi semakin menjadi sorotan manakala saat itu media
menggunakan bahasa tersebut berkaitan dengan kasus Kepolisian yang ingin
menjerat KPK (Cicak vs Buaya). Pendapat lain tentang kriminalisasi korporasi
ini juga datang dari Erman Raja Guguk, yang menyebutkan munculnya
berbagai tindakan serta tuduhan kriminalisasi korporasi ini karena penegak
hukum terlalu merasa paling tahu tentang semua hal, sehingga hal-hal
menyangkut perusahaan maupun teknologi tidak lagi mengacu pada pendapat
para ahli di bidangnya. Perlu adanya pemahaman lebih lanjut agar istilah
kriminalisasi ini tidak salah dalam mengimplementasikannya.
Dengan data dan fakta tersebut di atas kita bisa melihat dan menilai sendiri
betapa Indonesia negara yang kita cintai, yang selama ini dikenal dengan
negeri yang kaya dan makmur dengan sumber daya alam melimpah, ternyata
menjadi ajang bagi perampok dunia yang mengeruk kekayaannya untuk
kepentingan diri sendiri, keluarganya dan golongan dengan berbagai modus.
Kekayaan alam yang seyogianya menjadi modal bagi pembangunan dan
mensejahterakan rakyat Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan, malah
diambil alih oleh bangsa lain. Indonesia telah lepas dari penjajahan pada
zaman kolonial Belanda, namun berganti dengan penjajahan di zaman modern
dengan model lain, yang sebetulnya tidak jauh berbeda.
Hal yang sangat miris dan mengenaskan adalah akibat yang ditimbulkan
karena eksploitasi dari dampak pertambangan tersebut menyisakan
pencemaran lingkungan yang sangat luar biasa dampaknya (selanjutnya akan
dibahas dalam topik CSR). Kemudian disinyalir akan sulit bagi Indonesia
untuk melepas diri dari keadaan ini, baik dalam jangka waktu pendek,
menengah dan panjang. Karena setiap pemimpin negeri ini yang berniat akan
melepaskan diri dari penjajahan terhadap asing, selalu diguncang dengan
tampuk kepemimpinannya dengan berbagai masalah dan kudeta politik yang
direkayasa pihak tertentu.
Begitu kuatnya kekuatan asing dalam mencengkram bangsa kita, mereka
tidak rela untuk melepaskan Indonesia yang dianggap sebagai surga dalan
mengeruk harta kekayaan alam yang melimpah. Data yang ada menunjukkan
bahwa ironisnya biaya yang dikeluarkar untuk mendapatkan semua itu
terbilang dengan biaya yang termurah dibandingkan dengan negara lain.
Karena kondisi alam Indonesia yang menghampar dan tidak perlu bersusah
payah dalam melakukan penambangan. Semua dengan jelas terlihat hamparan
yang tinggal di eksploitasi.
Hal yang menyedihkan bagi kita semua dengan keadaan ini, di tengah
kondisi negara yang sedang terpuruk seperti ini bagi kaum elite dan intelektual
politik masih saja ribut dan memperebutkan kekuasaan seolah asik dengan
mainannya laksana anak kecil yang senang bermain. Saling menjatuhkan,
saling memakan bangsa sendiri layaknya manusia kanibal yang haus akan
kekuasaan. Sehingga politik selalu menjadi mainan yang menarik perhatian
sehingga menjadi ajang perebutan bagi anak-anak bangsa ini. Hal ini semata
bagi pemuas hasrat untuk menjadi penguasa.
Sedangkan masih banyak pekerjaan yang harus dibereskan dan
diselesaikan terkait dengan pekerjaan rumah dalam membangun bangsa ini,
untuk bangkit dalam keterpurukan yang tiada kunjung habisnya. Seperti
diketahui bahwa semakin sering terjadi pertengkaran dan permusuhan dalam
politik Indonesia, maka akan menguntungkan bagi para bangsa asing dalam
menguasai negeri ini. Pemanfaatan atas kondisi tersebut sebagai peluang yang
terbuka lebar.
Adanya fenomena ini berkaitan erat dengan etika dan profesi, bahwa pada
kenyataannya bangsa ini memerlukan negarawan yang baik, cakap dan andal
dalam mengelola negara ini menuju ke arah yang lebih baik, bukan sekadar
politisi atau politikus yang loncat ke sana kemari karena selalu haus akan
kekuasaan, menghalalkan segala cara hingga membuat kerusakan tatanan
kehidupan di dalam negara ini karena kepentingannya semata (opportunis).