Anda di halaman 1dari 90

 Awas Waswas!

Dalam keadaan baju yang basah dan wajah yang lelah ia berdiri di hadapan teman-temannya. Setelah itu
ia angkat kedua tangannya ke atas kepalanya, seraya berkata dengan lantang, “Allahu akbar!” Teman-
temannya kaget dan mungkin saja menertawakannya dalam hati. Ada apa dengannya? Ia baru saja
memenangkan perlombaan maraton? Atau baru menyabet juara satu perlombaan renang? Atau baru
saja latihan jihad? Bukan. Bukan itu semua. Ia sedang memulai shalat ketika itu!
Ia salah seorang teman saya, sebut saja Ridwan (nama samaran). Setelah “menghilang” beberapa lama
dari pondok pesantren, ia kembali lagi dalam keadaan sudah tidak “normal” . Badannya jadi nampak
kurus, mukanya sedikit pucat dan pandangannya terlihat sayu, hanya sedikit gairah hidup yang terpancar
di matanya. Bukan itu saja, banyak tingkah laku barunya yang membuat teman-temannya mengernyitkan
kening atau geleng-geleng kepala.
Bila di kamar kecil ia bisa menghabiskan waktu lebih dari setengah jam hanya sekedar untuk buang air
kecil! Kalau buang air besar atau mandi? Tentu bisa berjam-jam. Ketika hendak shalat, ia bisa
menghabiskan lima belas menit lamanya hanya sekedar untuk berwudhu. Lalu ketika baru saja masuk
shaff, ia sering membatalkan shalatnya, lalu mengulang lagi “ritual” yang tadi dikerjakannya di kamar kecil
dan di tempat wudhu. Karena “ritual” itu pula, ia jadi sering tidak mendapatkan jamaah shalat dan itu
terjadi di setiap shalat lima waktu.
Bila shalat sendiri (karena masbuk), mungkin lima menit lamanya ia habiskan hanya untuk takbiratul
ihram; ia mengulangnya berkali-kali dengan suara yang keras! Begitu juga shalatnya, sangat lama. Bukan
karena membaca surat atau dzikir yang panjang, tapi karena ia mengulang-ulang bacaan yang baru
dibacanya, seakan bacaannya selalu salah!
Bisa jadi orang-orang tertawa menyaksikan tingkah lakunya yang serba aneh seperti itu, tapi saya justru
merasa kasihan dan prihatin dengannya. Sebab, sebenarnya ia sedang menderita ketika itu. Saya bisa
merasakan penderitaannya, karena saya sendiri pernah merasakan apa yang dirasakannya, meskipun
tidak separah yang menimpanya. Ia tertimpa penyakit yang menurut istilah fuqaha dinamakan waswas.
Waswas adalah keraguan yang ditiupkan syaithan kepada seseorang sehingga seakan-akan (keraguan
itu) menguasai ibadahnya atau perkara din lainnya.
Penyakit itu awalnya terjadi pada satu masalah, tapi lambat laun akan merembet ke masalah lainnya bila
tidak segera ditangani. Seperti yang pernah saya rasakan beberapa tahun silam. Pertama kali terjadi
ketika shalat. Dalam suatu shalat, ketika sedang membaca Al-Fatihah, saya merasakan lidah ini berat
dalam mengucapkannya. Seolah-olah bacaan saya kurang benar atau kurang fasih. Dan itu terjadi di
setiap shalat lima waktu. Tidak berapa lama setelah itu, saya merasakan “keanehan” lain lagi, yaitu
dalam wudhu. Setiap berwudhu saya jadi sering ragu. Kerap ada saja beberapa bagian anggota wudhu
yang terasa belum terbasuh, entah ujung jari atau tumit kaki atau anggota wudhu lainnya.
Waswas itu tidak berhenti sampai di sini. Setelah itu, acap kali saya ragu dalam menghitung berapa kali
saya membasuh anggota wudhu: apakah sudah tiga kali atau baru dua kali? Atau justru baru satu kali
atau malah belum di basuh sama sekali? Waswas seperti itu memaksa saya untuk mengulang-ulang
membasuh anggota wudhu (mirip seperti yang dilakukan Ridwan) agar lebih “yakin dan tenang”. Namun
ketenangan kah yang saya dapatkan? Yang terjadi justru sebaliknya. Makin sering keraguan dan waswas
melanda ibadah saya ini, bahkan merembet pula ke ibadah lainnya. Tentu saja itu sangat menyiksa,
sebab bukan kelelahan fisik saja yang terasa, tapi psikis ini pun turut berteriak. Waswas memang benar-
benar merusak ibadah dan fisik seseorang!
Bukan hanya itu saja penderitaan yang dihasilkan penyakit ini. Bila tidak segera ditangani dan diobati
Waswas juga bisa merusak perkara din lainnya, di antaranya aqidah penderitanya! Dan itu yang dialami
Ridwan. Saking parahnya waswas yang menimpanya, sampai keluar dari lisannya pertanyaan yang
membuat saya merinding, “Apa benar ya, Allah itu di atas Arsy? “ Waswas sudah menyerang aqidahnya!
Dan yang mengerikan juga (entah ini lebih atau kurang mengerikan dari sebelumnya) waswas ini bisa
membahayakan nyawa penderitanya. Kakak Ridwan bercerita bahwa suatu hari ketika curhat dengannya
Ridwan pernah mengutarakan keinginannya untuk mengakhiri hidupnya, karena frustasi dengan penyakit
waswasnya tersebut!
Masih ada lagi efek mengerikan dari waswas. Ibnul Qayyim dalam Ighatsatullahafan menyebutkan bahwa
penyakit waswas yang telah kronis itu bisa membawa penderitanya menjadi seperti Sufasthoiyyah yaitu
kaum yang mengingkari sesuatu yang konkret dan nyata. Bila mereka telah melakukan sesuatu yang
disaksikan sendiri oleh mata mereka dan didengar oleh telinga mereka serta dirasakan oleh tubuh
mereka, mereka menganggap bahwa perbuatan itu hanya ilusi bukan hakikat yang sebenarnya! Sangat
mirip dengan orang gila! Naudzubillah min dzalik..
Tidak ada suatu penyakit, kecuali pasti ada obatnya. Demikian Nabi kita ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda. Maka
begitu pula dengan penyakit waswas ini, pasti ada obatnya. Dari beberapa penjelasan Ibnul Qayyim dan
beberapa ulama lainnya, bisa disimpulkan obat waswas yaitu:
1. Memperbanyak dzikir dan memohon pertolongan kepada Allah, di antaranya ta’awudz (memohon
perlindungan) dari syaithan. Sebab, penyebab penyakit ini, tidak lain, tidak bukan, muncul dari syaithan.
Ialah yang memiliki andil besar dalam memunculkan dan “mengembangbiakkan” penyakit ini pada diri
seseorang, disamping kelemahan mental si penderitanya juga.
2. Melawan waswas itu dengan yakin. Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬bersabda, “Syaithan mendatangi salah
seorang dari kalian lalu bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini? ‘ ‘Siapa yang menciptakan itu? ‘ , sampai
ia bertanya, ‘Siapa yang menciptakan Rabbmu?’ kalau sudah sampai keadaan begini, maka memintalah
perlindungan kepada Allah dan berhentilah (mendengar bisikan itu). “ (HR. Bukhari: 3276 Muslim: 214)
dalam riwayat lain: hendaknya ia berkata, “Aku beriman kepada Allah, benarlah Allah dan Rasul-Nya.”
Tatkala seseorang mulai merasakan gejala penyakit ini, maka ia harus segera melawannya dengan
yakin. Ketika sering ragu apakah keluar sesuatu dari kemaluan tatkala selesai buang hajat, maka yakini
tidak keluar apa pun darinya. Ketika waswas muncul saat berwudhu, sudah dibasuhkan tangan ini?
Sudah terkena air kah tumit ini? Maka lawan dengan yakin,” Ya, saya sudah membasuh tangan dan tumit
saya “ . Begitu juga dalam perkara ibadah lainnya, ketika waswas melanda, ia harus melawannya dengan
yakin.
Setelah mencoba resep yang dinasihatkan para ulama di atas, walhamdulillah, setelah sekian lama
dibelenggu waswas, akhirnya saya bisa sembuh dari penyakit berbahaya ini. Saya bisa kembali
menikmati hidup dan ibadah dengan tenang tanpa ada waswas dan keraguan. Karena itu, bagi yang
telah terserang penyakit ini, segeralah diobati. Dan bagi yang belum terserang-semoga saja tidak terjadi
tentunya- waspadalah!
Oleh Anung Umar
Diposkan oleh titah di 20.04 6 komentar:
Anonim19 Februari 2011 19.27 Bismillah.. Ustadz, saya mau tanya, saya dulu terkena penyakit was-was
sampai saya meninggalkan beberapa shalat karena saya tidak mampu melawan rasa was-was tersebut.
yang ingin saya tanyakan. apakah saya wajib mengQadha' shalat yang saya tinggalkan dulu? apakah
hukum orang yang tidak bisa melawan rasa was-was nya sama dengan hukum orang gila? karena saya
pernah membaca suatu riwayat: Abul Faraj Ibnul Jauzi bercerita, ” Ibnu ‘Aqil pernah cerita kepadaku,
bahwa ada seorang laki-laki datang kepadanya dan berkata, ‘Apa pendapatmu jika aku mandi besar
dengan menceburkan diriku ke air berkali-kali, tapi aku masih ragu, apakah mandiku sudah sah apa
belum?’ Ibnu ‘Aqil berkata, ‘Pergilah kamu! Kamu tidak berkewajiban untuk shalat,’ Dia bertanya
keherana, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Ibnu Aqil menjawab, ‘Karena Rasulullah telah bersabda, “Kewajiban
tidak diwajibkan bagi tiga orang. Orang gila sampai ia sembuh, orang tertidur sampai ia bangun, anak
bayi sampai ia baligh.” Orang yang telah menenggelamkan badannya ke air berkali-kali, lalu ia ragu
apakah mandinya sudah sah apa belum adalah orang gila.” (Ighatsatul Lafhan: 1/ 34). Alhamdulillah,
keadaan saya kini mulai membaik. yg ingin sya tanyakan, apakh saya wajib mengQadha'shalat saya
yang dulu? jazakallah..
Balas
singgih14 April 2011 06.48 untuk yang komen di atas...bisa kasih tau alamat e-mailnya ga?
Balas
anungumar4 Mei 2011 10.00 maaf saya numpang koment,untuk mas anonim: tingkat waswas anda
apakah sudah sampai tinggatan tidak bisa membedakan lagi antara yang nyata dan yang tidak nyata?
kalau sudah tingkatan seprti itu sudah layak untuk meninggalkan shalat karna keadaan anda sudah sama
dengan orang gila. akan tetapi jika belum sampai itu maka anda tetap harus mengqadha shalat, karena
akal anda masih sehat dan tidak 'berubah'. wallahua'lam bishshawab
Balas
Resti2 Maret 2012 05.15 Assalam…ustadz….sy skrang berumur hmpir 23 tahun,,,sya sdah mngalmi
was2 mulai dri umur 13 tahun….ketika awal2 trkena pnykit was2 ini sya benar2 merepotkan urang tua
sya n sring mlwan kta2 mreka krna apa yg mreka nsehatkan kpd sy sllu bertentgn dgn pikiran was2
sya….seiring berjlannya waktu…pykit was2 itu mulai berkurang namun t’ 100% hilang….yaitu ktika sya
mnginjak msa2 kuliah….namun ktika semester 6…was2 itu kmbli muncul n mengganggu smpai skrang n
sya mrsa sngat tertekan krna bgitu beratnya n susahnya utk beribdah kpd Nya…bdan sya pun smkin
kurus…n teraniaya krna berjam2 dkamar mndi utk bersuci,wudhu n mandi…dan berjam2 berdiri utk niat
sholat krna susah mintak ampun utk niat sholat… sy ingin brty ustad beberapa permsalahan yg sya
hdapi: 1.ketika sya BAK dlm keadaan jongkok di lantai kmar mndi…sya slalu was2 clna atau bju sya
terkena cipratan BAK maupun air cebok stelah BAK…akhirnya sya sering menanggalkan smua pkaian
saya ktika BAK…stelah cebok jongkok sya berdiri n menyiram bgian maaf ustad pantat sya kiri n kanan
smpai bawah kaki berulang2 kali…n bagian depan dri pinggang smpai tlpak kaki berulang-ulang kli…Hal
ini sy lakukan krna ktika clana sya buka sya jongkok lbih mndekati lantai n sya was2 BAK maupun air
bkas cebokan mngenai bgian blkang mlai dri pantat blkang maupun pinggang depan smpai bwah…
bahkan krna was2nya…maaf lgi ustad…sya mnyiram bra sya krna tkut trkena cipratan air ceboakan…n
akhirnya krna udah basah sya sering mndi sklian wlupun sdah mlam hri yg bsa mnyebabkan paru2 bsah
jika sering mandi mlam2…hal ini mmbutuhkan waktu yg sngat lama n tubuh sya tersiksa…sering ktika
sholat sbuh sya msuk kmar mandi jam 5 pagi…jam stngah 7 bru kluar kmar mandi….bgaimana solusinya
ini ustad? bgaimana sbiknya sya BAK biar tidak buat sya smkin tertekan n menderita srta t’ butuh wktu
lama… 2. Kebanyakan orang BAK maupun BAB di closet,,,sjak trkna pnyakit was2 sya t’ pernah BAK di
closet krna sya was2 ketika BAK mngenai air di dalam closet maupun ketika cebok..BAK maupum air
cebokan yg jtuh k lubang closet akan memercik ke atas yg akan mengenai tubuh sya kmbali…utk BAB
sya tetap buang d closet…namun ktika cebok sya pindah ke lantai krna tkut air cbokan k lubang closet
akan memerciki tubuh saya…stiap BAB psti sya slalu menanggalkan clna sya krna was2 ktika BAB jtuh k
closet…air closet akan memerciki clana saya bgitupun ketika cebok…hal ini mnyebakan sya bisa stngah
smpai 1 jam d kmar mandi….bgaimna solusinya ini ustad? 3. Saya mngalami keputihan sjak smp…apalgi
stelah saya terkena was2…sya sring bsah2 shingga pykit keputihan ini mnjdi2 n tiap hari sya alami…ktika
slasai cebok…sya sring mersa keputihan sya kluar lagi…tpi sy tidak yakin akan hal itu…ktika sya bersuci
lgi sya tidak mrasakan lendir yg kluar…n ini sring skli terjdi shingga sya sring bolak2 blik bersuci utk
mghlgkkan was2 sy pdhal sya tidak ykin yg kluar itu dalah kputiha,,,tpi krna sya was2 sya sring bersuci
lgi…n ini mghbiskan wktu yg lama n buat sy sgt capaek…bgaimna solusinya ini ustad: 4. ketika berwudhu
sya sring mrsa buang angin shingga utk memulai wudhu pun susah kran sya mrsa buang angin pdahal
sya tdk ykin 100% yg trjdi itu adalah buang angin…slain itu ktika bca niat wudhu pun sya mrsa ragu..mrsa
buang agngin n susah niat ini buat sya bsa stngah jam atau 1 jam dkamr mandi…yg buat sya smkin
tersiksa..n bju sya slalu bsah….bgaimna solusinya ini ustad?
Balas
Resti2 Maret 2012 05.19 lanjutan pertanyaan resti kdg ketika mmbsuh muka 2 kli air d bjana tidak cukup
n bcaan niat sya pun terputus bru smpai “sgj aku berwudu mmbersihkan hdas kecil….ktika mngambil air
n mmbasuh mka utk ktiga kli bru sy smbung niatnya “wjib atasku krna Allah lillahi ta’ala”…apakh bleh
dsmbubg sperti itu ustadz? kdg krna sya was2 sy ulang lgi wudhu say…. 3. Saya kan kputihan,,,slalin
membersihkan tmpat kluarnya…sya juga membersihkan bag kanan kiri…maaf ustad…tmpat tumbuhnya
rambut kmluan kran sya tkut ada kputihan yg menmpel dsana….krna was2 sya mencucinya berulang kli
baik d kana bahkan di kiri…utk membersihkan slah satu bgian sja kdh sya gunakan lbih dri 3 ember air…
krna itu smua…sya jdi mghbiskan air sngat byak,,,capek jongkok…n sring telat msuk kerja…bgaimana
solusinya ini ustadz? 4. ketika bersuci….sy mngambil air dgn gayung…naum ada bbrpa te2s air yg jtuh
dri gayung k lantai…di lantai ada air bkas cbokan sya….air yg jtuh itu memercik…mngenai kaki n sy was2
jga mngenai clana sya…apakh bleh clana itu sya paki utk sholat ustad? n bgitupun ktika sya cebok…jika
air cebokan memercik k clana sya apakh boleh dbwa sholat? 5. Ustad,,,sya jg mngalami kraguan yg
sngat dahsayat ktika mndi junub…sy bsa mnghbiskan wktu 1 jam smpai 2 jam….sya ragu utk niat n ragu
apakah smua bgian /helaian rambut sya sdah trkna air…sy ragu pakah smua kulit tubuh saya sudah
dibsahi air…bgaimana solusinya ini ustadz? 6. ketika hendak sholatpun sya mngalami berbagai kraguan
ustadz…sya ragu pakah msih ada rambut sya yg nampak walupun bag kecil…shingga utk memaki
mukenah pun susah….pdhal kdg sya sudah pkai jilbab di dalam…sya ragu apakh srung yg sya gunakan
sdah menutupi sluruh bagian kaki sya,,,shingga utk menceknya sy jga butuh wktu lama utk mykinkan dri
sya….sya jga ragu letak kaki sya apakah sdah lurus kiri kanan atau belum…pdahal letak kai yg t’ lurus t’
mmbtalkan solat…tpi sya tetap sulit utk niat jka sya blum ykin letak kaki sya lurus…sya pun ragu apakh
kiblat sya sdah pas atau trlalu miring….utk memulai sholatpun sya sdah mghbiskan wktu byak utk smua
ini ustad…bgaimana solusinya ustad? 7. utk niat solat sya tersangat2 ragu ustad….bisa smpai berjam2…
kdg sudah stngah niat krna trpikir sesuatu atau trdengar org ngobrol maupun suara tv…spontan sya
putuskan lgi niat sya…n mngulangnya kmbli….utk memulai niat pun susah krna stiap akan niat slalu
trpikir sesuatu….utk mghindari suara tv kdg kondisi t’ memungkinkan krna sya t’ hidup sndiri…sy hidup
brsama org lain yg tdak mungkin sya suruh mematikan tv stiap sya sholat…n walaupun tv mati itupun t’
mnjamin sya akan cepat utk niat…krna kraguan slalu menghantui sya sperti pikiran n lainnya…bgaimana
solusinya ustad utk msalah ini? kdg sdah hbis pun waktu sholat sya kerjakan sya blum juga bsa niat…n
yg pling parah jka saya solat ketika kondisi sdg bekerja…sdah waktu lama hbis krna bersuci n berwudhu
utk niat pun sulit…ktika sdah bisa niat sya jdi tdak tenang dlam sholat krna takut kna marah pimpinan
krna trlalu lam izin sholat bisa smpai 1 jam pling cepat 40 menit…
Balas
Resti2 Maret 2012 05.20 Maafkan sy ustadz krna trlalu byk bertanya…namun ini smua krna sya sdah
sngat teretekan n trbebani oleh smua ini…bdan sya pun tersiksa krna berjam2 trkena air d kamar mndi…
berjam2 berdiri utk niat…aktivitas sya yg lain trhganggu krna waktu sya hbis utk solat…sya tidak bsa
berjanji tepat waktu pd orang lain….sya tdak py byak waktu utk tdarus maupun zikir…kran utk solat sja
sdah mnghbiskan waktu sngat lama…dmana pekrjaan lain sdah menunggu n mendesak…hidup sya
terbebani kmanapun sya pergi…..solat sya sring trlewatkan krna wktunya sdah hbis krna trlalu lma
berniat….skli lagi saya minta maaf ustad ataspertanyaan yg saya ajukan ini…sya hy ingin hidup lbih baik
dbawah ridho Nya…skrang sya msih sndiri…sya t’ thu apa yg trjdi nanti jika sya telah berkluarga dgn
kondisi yg sperti ini…ketika sendiri sja sya tidak bisa mnuntaskan sgla aktivitas sya krna waktu sya abis d
kmar mandi n sholat…aplgi jka tlah berkeluarga… sya mohon ustad…tolong djawab stiap pertanyaan
sya…sya mohon solusi trbaik agar bsa terlpas dri smua ni…agr bsa beribdah dngan baik….Semoga
tuhan mlimpah rahmat Nya utk Ustadz atas stiap solusi yg ustad berikan kpda oran2 yg mnglami mslah
sperti saya…Aamiin…
Balas

12/11/2014 10:22

Nuzul Dianperdana

Ragu-Ragu dengan Bekas Najis di Mana-Mana Thu, 6 March 2008 00:03 | 2397 | baca versi desktop |
kirim pertanyaan Assalamualaikum Ustadz
Saya begitu taksub berhubung najis, sehingga setiap benda yang jatuh di lantai, di laluan orang ramai, di
dalam kereta, di dalam pejabat dan pelusuk bumi bagi saya benda itu adalah najis kerana berfikiran
tempat-tempat tersebut dipijak manusia di mana tapak kasut/sandar mereka pernahmemasuki
tandastandas.
Sebagai contoh lagi jika kertas jatuh di atas lantai pejabat saya akan membasuhnya kerana lantai dipijak
oleh kasut yang pernah ke tandas.
Tetapi saya tengok orang lain tiada masalah seperti saya. Pernah saya cuba mengubah hidup saya
seperti orang lain tapi tak berjaya tetapi bila saya tak dapat selesaikan masalah najis saya letak diri saya
seperti orang lain
Ustaz minta dipercepatkan jawapan soalan saya ini kerana saya agak sukar dengan situasi najis seperti
ini sekarang. Saya menunggu respon ustaz.
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mohon maaf kalau ada sedikit kendala bahasa, karena memang nyatanya bahasa Indonesia dan
Malaysia agak sedikit berbeda dengan penggunaan istilah. Di sini pejabattidak berdiri di sepanjangjalan
seperti Malaysia. Yang berderet sepanjang jalan adalah gedung kantor, kalau pejabat adanya di dalam
kantor itu.
Jadi kami akan jawab pakai bahasa Indonesia saja, dari pada nanti salah paham.
Ya akhinal fadhil, masalah najis yang ada di atas tanah itu akan menjadi najis selama ada nampak 'ain
najis itu. Dalam bahasa kita, yang dimaksud dengan 'ain najis adalah objek najis itu atau bendanya. Dan
kalau 'ain najis itu tidak ada, maka kita hanya dituntut secara dzhahir oleh Allah SWT dalam menetapkan
hukum.
Istilah kerennya, nahnu nahkumu bidzhdzhawahir wallahu yatawallas sarair. Kita menetapkan hukum
berdasarkan apa yang nampak saja, sedangkan di luar dari yang nampak nyata, itu urusan Allah SWT.
Maka syariat Islam ini tidak meminta kita menjadi menjadi seorang paranoid, yang selalu punya rasa was-
was segala benda selalu harus dianggap najis.Dan nabi SAW telah memerintahkan agarperasaan was-
was, syak dan dzhan itu harus ditinggalkan. Mari kita hidup di alam nyata, bukan di alam lain yang
paranoid.
Hilangnya Najis di Sendal atau Sepatu
Sebenarnya ketika sepatu atau sendal kita terinjak sesuatu barang yang najis, kita tidak perlu secara
khusus membersihkannya. Sebab ketika kita berjalan dan sendal itu kemudian menginjak tanah, sudah
cukuplah proses menginjak tanah itu sebagai proses pensuciannya.
Hal itu telah disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila sendal kalian menginjak kotoran, maka
tanah akan mensucikannya." Dalam riwayat lain disebutkan, "Bila seseorang menginjak kotoran dengan
kedua sepatunya, maka pensuciannya dengan tanah." (HR Abu Daud)
Yang lebih menarik lagi, di zaman nabi SAW para shahabat terbiasa shalat di masjid dengan tetap
mengenakan sepatu mereka. Tidak ada lantai marmer atau keramik. Sepatu yang bekas menginjak apa
pun di jalan itu, masuk ke masjid dan tetap dikenakan, bahkan mereka shalat dengan tanpa membuka
sepatu.
Anda pasti akan teriak-teriak kaget kalau melihat itu. Tapi ingat, yang melakukannya justru para shahabat
nabi, yang dari mereka itulah kita mengenal agama ini.
Coba bayangkan pemahaman fiqih kita sedemikian ketat seperti ini, lalu kita melihat para shahabat nabi
melakukan itu, kalau saja mereka bukan para shahabat nabi, mungkin kita sudah mengatakan bahwa
shalat mereka tidak sah.
Padahal coba perhatikan hadits berikut ini:
Dari Abi Said radhiyallahu 'anhu bahwaNabi SAWbersabda, "Bila kalian masuk masjid, maka kesetkanlah
kedua sepatunya dan hendaklah dia melihat. Bila melihat najis maka hendaklah dikesetkan ke tanah dan
setelah itu boleh shalat dengan sepau itu. (HR Ahmad dan Abu Daud)
Kalau kita perhatikan dua hadits di atas, betapa mudah dan ringannya agama ini.
Indikator Najis
Indikator najissudah ditetapkan oleh para ulama dari berbagai mazhab, termasuk mazhab Asy-syafi'i,
mazhab yang terkenal paling ketat dalam masalah najis. Indikator najis ada tiga, yaituwarna, aroma dan
rasa.
Kalau di lantai nampak ada sebuah area yang berwarna khas najis, maka lantai itu memang najis. Tapi
kalau ada kertas jatuh di tempat di mana ada warna najis itu, kita tidak bisa lantas mengatakan bahwa
kertas itu tertular najis.
Kita harus lihat dulu, apakah ada warna najis itu tertempel di kertas itu atau tidak? Kalau ada warna najis
di kertas itu, jelas bahwa kertas itu terkenanajis. Tapi kalau ternyata di kertas itu tidak ada warna apa
pun, meski sempat tersentuh najis, tapi najisnya tidak berpindah ke kertas itu.
Indikator yang kedua adalah aroma atau bau. Selama ada bau najis pada suatu benda, maka benda itu
boleh dibilang terkena najis. Tapi kalau bau itu tidak tercium, maka benda itu tidak boleh dibilang terkena
najis.
Indikator ketiga adalah rasa atau taste, tempatnya di lidah, bukan di hati. Itulah makna yang
sesungguhnya tentang rasa najis. SIlahkan dijilat dan dicicipi, apakah terasa sebagai rasa najis atau
bukan. Kalau rasanya tidak menunjukkan indikasi benda najis, mengapa harus dibilang najis?
Jadi selama suatu benda tidak memiliki rasa, warna dan aroma najis, kita tidak boleh menghukuminya
sebagai benda yang terkena najis.
Dan perasaan kita tidak boleh ikut bermain di sini. Sebab masalah najis adalah masalah pisik, bukan
masalah hati. Kalau mau memainkan peranan hati, kita bicara di bab tasawwuf. Tapi urusan fiqih adalah
murni 100% urusan pisik.
Dan kita pun tidak perlu menggunakan test menggunakan microskop electronik untuk sekedar
mengatahui apakah najis itu ada atau tidak. Juga tidak membutuhkan test DNA dan sejenisnya. Sebab
najis itu urusan pisik yang indikatornya cukup mengguanakan mata biasa untuk melihat perbedaan warna
najis, hidung untuk membaui aroma najis dan lidah untuk mencicipi rasa najis.
Kalau tidak ada laporan dari mata, hidung dan lidah, maka benda itu tidak najis. Begitulah syariah Islam
mengajarkan kita untuk bersikap kepada najis. Dan begitu pula mazhab Asy-syafi'i mengajarkan fiqih
thaharah.
Karena anda orang Malaysia, biasanya di sana orang-orang bermazhab syafi'i tulen, lebih serius dari
orang Indonesia yang mazhabnya bisa macam-macam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

12/11/2014 10:22

Nuzul Dianperdana

Ragu-Ragu dengan Bekas Najis di Mana-Mana Thu, 6 March 2008 00:03 | 2397 | baca versi desktop |
kirim pertanyaan Assalamualaikum Ustadz
Saya begitu taksub berhubung najis, sehingga setiap benda yang jatuh di lantai, di laluan orang ramai, di
dalam kereta, di dalam pejabat dan pelusuk bumi bagi saya benda itu adalah najis kerana berfikiran
tempat-tempat tersebut dipijak manusia di mana tapak kasut/sandar mereka pernahmemasuki
tandastandas.
Sebagai contoh lagi jika kertas jatuh di atas lantai pejabat saya akan membasuhnya kerana lantai dipijak
oleh kasut yang pernah ke tandas.
Tetapi saya tengok orang lain tiada masalah seperti saya. Pernah saya cuba mengubah hidup saya
seperti orang lain tapi tak berjaya tetapi bila saya tak dapat selesaikan masalah najis saya letak diri saya
seperti orang lain
Ustaz minta dipercepatkan jawapan soalan saya ini kerana saya agak sukar dengan situasi najis seperti
ini sekarang. Saya menunggu respon ustaz.
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mohon maaf kalau ada sedikit kendala bahasa, karena memang nyatanya bahasa Indonesia dan
Malaysia agak sedikit berbeda dengan penggunaan istilah. Di sini pejabattidak berdiri di sepanjangjalan
seperti Malaysia. Yang berderet sepanjang jalan adalah gedung kantor, kalau pejabat adanya di dalam
kantor itu.
Jadi kami akan jawab pakai bahasa Indonesia saja, dari pada nanti salah paham.
Ya akhinal fadhil, masalah najis yang ada di atas tanah itu akan menjadi najis selama ada nampak 'ain
najis itu. Dalam bahasa kita, yang dimaksud dengan 'ain najis adalah objek najis itu atau bendanya. Dan
kalau 'ain najis itu tidak ada, maka kita hanya dituntut secara dzhahir oleh Allah SWT dalam menetapkan
hukum.
Istilah kerennya, nahnu nahkumu bidzhdzhawahir wallahu yatawallas sarair. Kita menetapkan hukum
berdasarkan apa yang nampak saja, sedangkan di luar dari yang nampak nyata, itu urusan Allah SWT.
Maka syariat Islam ini tidak meminta kita menjadi menjadi seorang paranoid, yang selalu punya rasa was-
was segala benda selalu harus dianggap najis.Dan nabi SAW telah memerintahkan agarperasaan was-
was, syak dan dzhan itu harus ditinggalkan. Mari kita hidup di alam nyata, bukan di alam lain yang
paranoid.
Hilangnya Najis di Sendal atau Sepatu
Sebenarnya ketika sepatu atau sendal kita terinjak sesuatu barang yang najis, kita tidak perlu secara
khusus membersihkannya. Sebab ketika kita berjalan dan sendal itu kemudian menginjak tanah, sudah
cukuplah proses menginjak tanah itu sebagai proses pensuciannya.
Hal itu telah disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila sendal kalian menginjak kotoran, maka
tanah akan mensucikannya." Dalam riwayat lain disebutkan, "Bila seseorang menginjak kotoran dengan
kedua sepatunya, maka pensuciannya dengan tanah." (HR Abu Daud)
Yang lebih menarik lagi, di zaman nabi SAW para shahabat terbiasa shalat di masjid dengan tetap
mengenakan sepatu mereka. Tidak ada lantai marmer atau keramik. Sepatu yang bekas menginjak apa
pun di jalan itu, masuk ke masjid dan tetap dikenakan, bahkan mereka shalat dengan tanpa membuka
sepatu.
Anda pasti akan teriak-teriak kaget kalau melihat itu. Tapi ingat, yang melakukannya justru para shahabat
nabi, yang dari mereka itulah kita mengenal agama ini.
Coba bayangkan pemahaman fiqih kita sedemikian ketat seperti ini, lalu kita melihat para shahabat nabi
melakukan itu, kalau saja mereka bukan para shahabat nabi, mungkin kita sudah mengatakan bahwa
shalat mereka tidak sah.
Padahal coba perhatikan hadits berikut ini:
Dari Abi Said radhiyallahu 'anhu bahwaNabi SAWbersabda, "Bila kalian masuk masjid, maka kesetkanlah
kedua sepatunya dan hendaklah dia melihat. Bila melihat najis maka hendaklah dikesetkan ke tanah dan
setelah itu boleh shalat dengan sepau itu. (HR Ahmad dan Abu Daud)
Kalau kita perhatikan dua hadits di atas, betapa mudah dan ringannya agama ini.
Indikator Najis
Indikator najissudah ditetapkan oleh para ulama dari berbagai mazhab, termasuk mazhab Asy-syafi'i,
mazhab yang terkenal paling ketat dalam masalah najis. Indikator najis ada tiga, yaituwarna, aroma dan
rasa.
Kalau di lantai nampak ada sebuah area yang berwarna khas najis, maka lantai itu memang najis. Tapi
kalau ada kertas jatuh di tempat di mana ada warna najis itu, kita tidak bisa lantas mengatakan bahwa
kertas itu tertular najis.
Kita harus lihat dulu, apakah ada warna najis itu tertempel di kertas itu atau tidak? Kalau ada warna najis
di kertas itu, jelas bahwa kertas itu terkenanajis. Tapi kalau ternyata di kertas itu tidak ada warna apa
pun, meski sempat tersentuh najis, tapi najisnya tidak berpindah ke kertas itu.
Indikator yang kedua adalah aroma atau bau. Selama ada bau najis pada suatu benda, maka benda itu
boleh dibilang terkena najis. Tapi kalau bau itu tidak tercium, maka benda itu tidak boleh dibilang terkena
najis.
Indikator ketiga adalah rasa atau taste, tempatnya di lidah, bukan di hati. Itulah makna yang
sesungguhnya tentang rasa najis. SIlahkan dijilat dan dicicipi, apakah terasa sebagai rasa najis atau
bukan. Kalau rasanya tidak menunjukkan indikasi benda najis, mengapa harus dibilang najis?
Jadi selama suatu benda tidak memiliki rasa, warna dan aroma najis, kita tidak boleh menghukuminya
sebagai benda yang terkena najis.
Dan perasaan kita tidak boleh ikut bermain di sini. Sebab masalah najis adalah masalah pisik, bukan
masalah hati. Kalau mau memainkan peranan hati, kita bicara di bab tasawwuf. Tapi urusan fiqih adalah
murni 100% urusan pisik.
Dan kita pun tidak perlu menggunakan test menggunakan microskop electronik untuk sekedar
mengatahui apakah najis itu ada atau tidak. Juga tidak membutuhkan test DNA dan sejenisnya. Sebab
najis itu urusan pisik yang indikatornya cukup mengguanakan mata biasa untuk melihat perbedaan warna
najis, hidung untuk membaui aroma najis dan lidah untuk mencicipi rasa najis.
Kalau tidak ada laporan dari mata, hidung dan lidah, maka benda itu tidak najis. Begitulah syariah Islam
mengajarkan kita untuk bersikap kepada najis. Dan begitu pula mazhab Asy-syafi'i mengajarkan fiqih
thaharah.
Karena anda orang Malaysia, biasanya di sana orang-orang bermazhab syafi'i tulen, lebih serius dari
orang Indonesia yang mazhabnya bisa macam-macam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

12/11/2014 10:23

Nuzul Dianperdana

Resti2 Maret 2012 05.15 Assalam…ustadz….sy skrang berumur hmpir 23 tahun,,,sya sdah mngalmi
was2 mulai dri umur 13 tahun….ketika awal2 trkena pnykit was2 ini sya benar2 merepotkan urang tua
sya n sring mlwan kta2 mreka krna apa yg mreka nsehatkan kpd sy sllu bertentgn dgn pikiran was2
sya….seiring berjlannya waktu…pykit was2 itu mulai berkurang namun t’ 100% hilang….yaitu ktika sya
mnginjak msa2 kuliah….namun ktika semester 6…was2 itu kmbli muncul n mengganggu smpai skrang n
sya mrsa sngat tertekan krna bgitu beratnya n susahnya utk beribdah kpd Nya…bdan sya pun smkin
kurus…n teraniaya krna berjam2 dkamar mndi utk bersuci,wudhu n mandi…dan berjam2 berdiri utk niat
sholat krna susah mintak ampun utk niat sholat… sy ingin brty ustad beberapa permsalahan yg sya
hdapi: 1.ketika sya BAK dlm keadaan jongkok di lantai kmar mndi…sya slalu was2 clna atau bju sya
terkena cipratan BAK maupun air cebok stelah BAK…akhirnya sya sering menanggalkan smua pkaian
saya ktika BAK…stelah cebok jongkok sya berdiri n menyiram bgian maaf ustad pantat sya kiri n kanan
smpai bawah kaki berulang2 kali…n bagian depan dri pinggang smpai tlpak kaki berulang-ulang kli…Hal
ini sy lakukan krna ktika clana sya buka sya jongkok lbih mndekati lantai n sya was2 BAK maupun air
bkas cebokan mngenai bgian blkang mlai dri pantat blkang maupun pinggang depan smpai bwah…
bahkan krna was2nya…maaf lgi ustad…sya mnyiram bra sya krna tkut trkena cipratan air ceboakan…n
akhirnya krna udah basah sya sering mndi sklian wlupun sdah mlam hri yg bsa mnyebabkan paru2 bsah
jika sering mandi mlam2…hal ini mmbutuhkan waktu yg sngat lama n tubuh sya tersiksa…sering ktika
sholat sbuh sya msuk kmar mandi jam 5 pagi…jam stngah 7 bru kluar kmar mandi….bgaimana solusinya
ini ustad? bgaimana sbiknya sya BAK biar tidak buat sya smkin tertekan n menderita srta t’ butuh wktu
lama… 2. Kebanyakan orang BAK maupun BAB di closet,,,sjak trkna pnyakit was2 sya t’ pernah BAK di
closet krna sya was2 ketika BAK mngenai air di dalam closet maupun ketika cebok..BAK maupum air
cebokan yg jtuh k lubang closet akan memercik ke atas yg akan mengenai tubuh sya kmbali…utk BAB
sya tetap buang d closet…namun ktika cebok sya pindah ke lantai krna tkut air cbokan k lubang closet
akan memerciki tubuh saya…stiap BAB psti sya slalu menanggalkan clna sya krna was2 ktika BAB jtuh k
closet…air closet akan memerciki clana saya bgitupun ketika cebok…hal ini mnyebakan sya bisa stngah
smpai 1 jam d kmar mandi….bgaimna solusinya ini ustad? 3. Saya mngalami keputihan sjak smp…apalgi
stelah saya terkena was2…sya sring bsah2 shingga pykit keputihan ini mnjdi2 n tiap hari sya alami…ktika
slasai cebok…sya sring mersa keputihan sya kluar lagi…tpi sy tidak yakin akan hal itu…ktika sya bersuci
lgi sya tidak mrasakan lendir yg kluar…n ini sring skli terjdi shingga sya sring bolak2 blik bersuci utk
mghlgkkan was2 sy pdhal sya tidak ykin yg kluar itu dalah kputiha,,,tpi krna sya was2 sya sring bersuci
lgi…n ini mghbiskan wktu yg lama n buat sy sgt capaek…bgaimna solusinya ini ustad: 4. ketika berwudhu
sya sring mrsa buang angin shingga utk memulai wudhu pun susah kran sya mrsa buang angin pdahal
sya tdk ykin 100% yg trjdi itu adalah buang angin…slain itu ktika bca niat wudhu pun sya mrsa ragu..mrsa
buang agngin n susah niat ini buat sya bsa stngah jam atau 1 jam dkamr mandi…yg buat sya smkin
tersiksa..n bju sya slalu bsah….bgaimna solusinya ini ustad?
Balas
Resti2 Maret 2012 05.19 lanjutan pertanyaan resti kdg ketika mmbsuh muka 2 kli air d bjana tidak cukup
n bcaan niat sya pun terputus bru smpai “sgj aku berwudu mmbersihkan hdas kecil….ktika mngambil air
n mmbasuh mka utk ktiga kli bru sy smbung niatnya “wjib atasku krna Allah lillahi ta’ala”…apakh bleh
dsmbubg sperti itu ustadz? kdg krna sya was2 sy ulang lgi wudhu say…. 3. Saya kan kputihan,,,slalin
membersihkan tmpat kluarnya…sya juga membersihkan bag kanan kiri…maaf ustad…tmpat tumbuhnya
rambut kmluan kran sya tkut ada kputihan yg menmpel dsana….krna was2 sya mencucinya berulang kli
baik d kana bahkan di kiri…utk membersihkan slah satu bgian sja kdh sya gunakan lbih dri 3 ember air…
krna itu smua…sya jdi mghbiskan air sngat byak,,,capek jongkok…n sring telat msuk kerja…bgaimana
solusinya ini ustadz? 4. ketika bersuci….sy mngambil air dgn gayung…naum ada bbrpa te2s air yg jtuh
dri gayung k lantai…di lantai ada air bkas cbokan sya….air yg jtuh itu memercik…mngenai kaki n sy was2
jga mngenai clana sya…apakh bleh clana itu sya paki utk sholat ustad? n bgitupun ktika sya cebok…jika
air cebokan memercik k clana sya apakh boleh dbwa sholat? 5. Ustad,,,sya jg mngalami kraguan yg
sngat dahsayat ktika mndi junub…sy bsa mnghbiskan wktu 1 jam smpai 2 jam….sya ragu utk niat n ragu
apakah smua bgian /helaian rambut sya sdah trkna air…sy ragu pakah smua kulit tubuh saya sudah
dibsahi air…bgaimana solusinya ini ustadz? 6. ketika hendak sholatpun sya mngalami berbagai kraguan
ustadz…sya ragu pakah msih ada rambut sya yg nampak walupun bag kecil…shingga utk memaki
mukenah pun susah….pdhal kdg sya sudah pkai jilbab di dalam…sya ragu apakh srung yg sya gunakan
sdah menutupi sluruh bagian kaki sya,,,shingga utk menceknya sy jga butuh wktu lama utk mykinkan dri
sya….sya jga ragu letak kaki sya apakah sdah lurus kiri kanan atau belum…pdahal letak kai yg t’ lurus t’
mmbtalkan solat…tpi sya tetap sulit utk niat jka sya blum ykin letak kaki sya lurus…sya pun ragu apakh
kiblat sya sdah pas atau trlalu miring….utk memulai sholatpun sya sdah mghbiskan wktu byak utk smua
ini ustad…bgaimana solusinya ustad? 7. utk niat solat sya tersangat2 ragu ustad….bisa smpai berjam2…
kdg sudah stngah niat krna trpikir sesuatu atau trdengar org ngobrol maupun suara tv…spontan sya
putuskan lgi niat sya…n mngulangnya kmbli….utk memulai niat pun susah krna stiap akan niat slalu
trpikir sesuatu….utk mghindari suara tv kdg kondisi t’ memungkinkan krna sya t’ hidup sndiri…sy hidup
brsama org lain yg tdak mungkin sya suruh mematikan tv stiap sya sholat…n walaupun tv mati itupun t’
mnjamin sya akan cepat utk niat…krna kraguan slalu menghantui sya sperti pikiran n lainnya…bgaimana
solusinya ustad utk msalah ini? kdg sdah hbis pun waktu sholat sya kerjakan sya blum juga bsa niat…n
yg pling parah jka saya solat ketika kondisi sdg bekerja…sdah waktu lama hbis krna bersuci n berwudhu
utk niat pun sulit…ktika sdah bisa niat sya jdi tdak tenang dlam sholat krna takut kna marah pimpinan
krna trlalu lam izin sholat bisa smpai 1 jam pling cepat 40 menit…
Balas
Resti2 Maret 2012 05.20 Maafkan sy ustadz krna trlalu byk bertanya…namun ini smua krna sya sdah
sngat teretekan n trbebani oleh smua ini…bdan sya pun tersiksa krna berjam2 trkena air d kamar mndi…
berjam2 berdiri utk niat…aktivitas sya yg lain trhganggu krna waktu sya hbis utk solat…sya tidak bsa
berjanji tepat waktu pd orang lain….sya tdak py byak waktu utk tdarus maupun zikir…kran utk solat sja
sdah mnghbiskan waktu sngat lama…dmana pekrjaan lain sdah menunggu n mendesak…hidup sya
terbebani kmanapun sya pergi…..solat sya sring trlewatkan krna wktunya sdah hbis krna trlalu lma
berniat….skli lagi saya minta maaf ustad ataspertanyaan yg saya ajukan ini…sya hy ingin hidup lbih baik
dbawah ridho Nya…skrang sya msih sndiri…sya t’ thu apa yg trjdi nanti jika sya telah berkluarga dgn
kondisi yg sperti ini…ketika sendiri sja sya tidak bisa mnuntaskan sgla aktivitas sya krna waktu sya abis d
kmar mandi n sholat…aplgi jka tlah berkeluarga… sya mohon ustad…tolong djawab stiap pertanyaan
sya…sya mohon solusi trbaik agar bsa terlpas dri smua ni…agr bsa beribdah dngan baik….Semoga
tuhan mlimpah rahmat Nya utk Ustadz atas stiap solusi yg ustad berikan kpda oran2 yg mnglami mslah
sperti saya…Aamiin…
Balas

 17 November
 WAS-WAS KENCING TIDAK TUNTAS
 Assalamualaikum Warahmatullah Hiwabarakatuh

         Banyak diantara kita yang terkena penyakit ini, yakni penyakit kencing
tak tuntas / kencing sering keluar  . Teman-teman, sebagian orang yang
terkena penyakit itu merasa bahwa kencing tersebut benar-benar keluar ,
akhirnya timbullah rasa was-was dalam diri kita ketika beribadah sehingga
kita jadi malas beribadah kepada Allah. Meskipun banyak hal kita sudah
tau tentang itu, tapi sangat sulit dihilangkan ketika terkena penyakit ini.
        Mungkin ini sedikit referensi yang mungkin saja bermanfaat....

 Terapi Dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam Bagi Orang
Yang Terkena Penyakit Was-Was Percikan Kencing atau
Kencing Tidak Tuntas
 .
 ............
‫وا إنه‬d‫اس لئال يقول‬d‫ترته من الن‬d‫كر فس‬d‫أت أبا عبدهللا بالعس‬d‫ وض‬: ‫وقال المروزى‬ 
‫اليحسن الوضوء لقلة صبه الماء وكان أحمد يتوضأ فال يكاد يبل الثرى‬
 Al-Marwazi berkata, "Aku membantu Abu Abdillah (Imam Ahmad) berwudhu
saat bersama orang banyak, tetapi aku menutupinya dari orang-orang agar
mereka tidak mengatakan, 'la tidak membaikkan wudhunya karena sedikitnya air
yang dituangkan.' Dan jika Imam Ahmad berwudhu, hampir saja (air bekasnya)
tidak sampai membasahi tanah."

.Hal - hal yang akan dibahas ialah : Apakah tubuh mereka terkena
percikan kencing atau tidak ? Apakah kencing tersebut keluar dari
kemaluan kita ? Sehingga haruslah mereka bersusah payah dengan
menghabiskan berliter-liter air untuk membersihkan was-was mereka
itu. Tidak diragukan ini berasal dari syetan, dan kaum muslimin
diperintahkan agar menjauhkan diri dari hal semacam ini.
 .

 Menghilangkan was-was.
 Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/143 – cet Dar Al-Ma’rifah, 1395 H,
tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi), berkata:
‫تى وجد‬dd‫ فم‬،‫ ليدفع عن نفسه الوسوسة‬،‫ ويستحب لإلنسان أن ينضج َفرْ َجه وسراويله بالماء إذا بال‬:‫قال الشيخ أبو محمد‬ 
ً
:‫ال‬dd‫فيان ق‬dd‫فيان بن الحكم الثقفي أوالحكم بن س‬dd‫ناده عن س‬dd‫ لما روى أبو داود بإس‬،‫حته‬dd‫ذي نض‬dd‫اء ال‬dd‫ هذا من الم‬:‫بلال قال‬
ُ
‫ال ثم‬dd‫لم ب‬dd‫لى هللا عليه وس‬d‫ول هللا ص‬dd‫"رأيت رس‬ :‫ة‬dd‫ وفي رواي‬،"‫ح‬dd‫ال توضأ وينض‬dd‫"كان النبي صلى هللا عليه وسلم إذا ب‬
‫حابه أنه يجد البلل بعد‬dd‫ام أحمد بعض أص‬dd‫كا إلى اإلم‬dd‫وش‬.‫راويله‬dd‫ وكان ابن عمر ينضح فرجه حتى يبل س‬،"‫نضح فرجه‬
‫ذا‬dd‫يره عن مثل ه‬dd‫ئل الحسن أوغ‬d‫وس‬.‫ه‬dd‫ وال ُه عن‬،‫ وال تجعل ذلك من همتك‬:‫ قال‬،‫ فأمره أن ينضح فرجه إذا بال‬،‫الوضوء‬
)‫ أتستدره ال أب لك! ال ُه عنه‬:‫ فقال‬،‫ ال ُه عنه؛ فأعاد عليه المسألة‬:‫فقال‬
 Syaikh Abu Muhammad (Menurut Syaikh Ali Hasan dalam Mawaridul Aman,
yang dimaksud adalah Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam
kitabnya Dzammul Was-was, kitab ini telah dicetak pada tahun 1923 oleh Al-
Mathba'atul Arabiyah, Kairo -pen) berkata, "Dianjurkan bagi setiap orang agar
memercikkan air pada kelamin dan celananya saat ia kencing. Hal itu untuk
menghindarkan was-was daripadanya, sehingga saat ia menemukan tempat
basah (dari kainnya) ia akan berkata, 'Ini dari air yang saya percikkan'." Hal ini
berdasarkan riwayat Abu Dawud ((1/43 no. 166, dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abu Dawud (1/34) -pen), melalui sanad-nya dari Suryan bin
Al-Hakam Ats-Tsaqafi atau Al-Hakam bin Sufyan ia berkata, "Bahwasanya Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam jika buang air kecil beliau berwudhu dan
memercikkan air". Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku melihat Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam buang air kecil, lalu beliau memercikkan air pada
kemaluannya"..
 Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu beliau memercikkan air pada
kemaluannya sehingga membasahi celananya. Sebagian kawan Imam Ahmad
mengadu kepada Imam Ahmad bahwa ia mendapatkan (kainnya) basah setelah
wudhu, lalu beliau memerintahkan agar orang itu memercikkan air pada
kemaluannya jika ia kencing, seraya berkata, "Dan jangan engkau jadikan hal itu
sebagai pusat perhatianmu, lupakanlah hal itu". Al-Hasan dan lainnya ditanya
tentang hal serupa, maka beliau menjawab, "Lupakanlah!" Kemudian masih pula
ditanyakan padanya, lalu dia berkata, "Apakah engkau akan menumpahkan air
banyak-banyak (untuk membasuh kencingmu)? Celaka kamu! Lupakanlah hal
itu!".

 Ibn Mundzir dalam Al-Ausath berkata,
‫ ذكر استحباب نضح الفرج بعد الوضوء ليدفع به وساوس الشيطان وينزع الشك به‬
 Pembahasan tentang dianjurkannya memerciki kemaluan setelah wudhu agar
terhindar dan terlindungi dengannya dari was-was setan dan kebimbangan.
 Lalu beliau menyebutkan berbagai hadits dan atsar yang sebagian diantaranya
telah disebutkan oleh Ibn Qayyim, dikutip pula perkataan Ibn Abbas, “…
seandainya ia menemukan tempat basah (dari kainnya) ia akan berkata, 'Ini
dari air yang saya percikkan'.".
 Dan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
.‫ قال أحمد « ثم يتوضأ فيه فإن عامة الوسواس منه‬.» ‫ ال يبولن أحدكم فى مستحمه ثم يغتسل فيه‬
 “Janganlah salah seorang diantara kamu kencing di tempat mandinya
kemudian mandi (berkata Ahmad) atau wudhu di tempat tersebut, karena
sesungguhnya umumnya gangguan was-was itu dari situ”..
 Hadits riwayat Abu Daud no. 27 –ini lafazhnya, juga oleh Tirmidzi no. 21 dan
Nasa’i no. 36, dishahihkan oleh Al-Albani.
 .
 Was-was setelah kencing
 Ibn Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan [kutipan dari Mawaridul Aman]
menyebutkan contoh-contoh bid'ah - bid'ah dalam kencing .
 “… Dan hal itu ada sepuluh macam: As-Saltu/An-Natru (‫)الس لت والن تر‬, An-
Nahnahatu (‫)النحنحة‬, Al-Masyyu(‫)المشي‬, Al-Qafzu (‫)القفز‬, Al-Hablu (‫)الحبل‬, At-
Tafaqqudu (‫)التفقد‬, Al-Wajuru (‫)الوج ور‬, Al-Hasywu (‫)الحشو‬, Al-Ishabatu (‫)العص ابة‬,
Ad-Darjatu (‫”)الدرجة‬.
 Adapun ‫السلت‬ yaitu ia menarik (mengurut) kemaluannya dari pangkal hingga ke
kepalanya.Memang ada riwayat tentang hal tersebut, tetapi haditsnya
gharib dan tidak diterima. Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah
dari Isa bin Yazdad dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, 'Jika salah seorang dari kamu buang air
kecil, maka hendaklah ia menarik (mengurut) kemaluannya
sebanyak tiga kali'." Mereka berkata, "Karena dengan  as-
saltu dan an-natru (keduanya bermakna menarik/mengurut, dalam
hal ini mengurut kemaluan) maka akan bisa dikeluarkan sesuatu
yang ditakutkan kembali lagi setelah bersuci." Mereka juga berkata,
"Jika untuk itu memerlukan berjalan beberapa langkah, lalu ia
lakukan, maka itu lebih baik.".
 Adapun ‫النحنحة‬ (berdehem) dilakukan untuk mengeluarkan (air kencing) yang
masih tersisa.
 Demikian juga dengan ‫القفز‬, yang berarti melompat di atas lantai kemudian duduk
dengan cepat..
 Sedangkan ‫الحبل‬ yaitu bergantung diatas tali hingga tinggi, lalu menukik
daripadanya kemudian duduk.
 ‫التفقد‬ yaitu memegang kemaluan, lalu melihat ke lubang kencing, apakah masih
tersisa sesuatu di dalamnya atau sudah habis.
 ‫الوج ور‬ yaitu memegang kemaluan, lalu membuka lubang kencing seraya
menuangkan air ke dalamnya.
 ‫الحشو‬ yaitu orang tersebut membawa sebuah alat untuk memeriksa kedalaman
luka yang dibalut dengan kapas (mungkin juga lidi atau sejenisnya yang dianggap
aman), lalu lubang kencing itu ditutup dengan kapas tersebut, sebagaimana
lubang bisul yang ditutup dengan kapas..
 ‫العصابة‬ yaitu membalutnya dengan kain.
 ‫الدرجة‬ yaitu naik ke tangga beberapa tingkat, lalu turun daripadanya dengan
cepat..
 ‫المشي‬ yaitu berjalan beberapa langkah, kemudian mengulangi bersuci lagi.
 Syaikh kami (Ibn Taimiyah - pen) berkata, "Semua itu adalah was-was dan
bid'ah." Saya (Ibn Qayyim -pen) kembali bertanya tentang menarik dan
mengurut kemaluan (dari pangkal hingga ke kepala kelamin), tetapi beliau tetap
tidak menyetujuinya seraya berkata, "Hadits tentang hal tersebut tidak
shahih.".
 Dan air kencing itu sejenis dengan air susu, jika engkau membiarkannya maka ia
diam (tidak mengalir), dan jika engkau peras maka ia akan mengalir , padahal
orang yang tidak memperhatikannya akan dimaafkan karenanya. Dan
seandainya hal ini Sunnah, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam serta para
sahabatnya lebih dahulu melakukannya. Sedangkan seorang Yahudi saja berkata
kepada Salman, "Nabimu telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu
sampai dalam masalah khira'ah (buang air besar)." Salman menjawab, "Benar!"
(Diriwayatkan Muslim). Lalu, adakah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
mengajarkan hal-hal di atas kepada kita?.
 .
 Islam itu Mudah
 Ibn Qayyim menyebutkan pula: Keterlaluannya orang yang senantiasa was-was
termasuk tindakan berlebih-lebihan adalah melakukan sesuatu secara ekstrim
(melampaui batas) padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diutus
dengan agama yang mudah telah memberi kemudahan di dalamnya..
 Di antara kemudahan itu adalah berjalan tanpa alas kaki di jalan-jalan, kemudian
shalat tanpa membasuh kakinya terlebih dahulu.
 Abdullah bin Mas'ud berkata, "Kami tidak berwudhu karena menginjak
sesuatu.".
 Dan dari Ali Radhiyallahu Anhu, bahwasanya ia menceburkan dirinya di lumpur
hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua kakinya
terlebih dahulu.
 Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu ditanya tentang seseorang yang menginjak
kotoran manusia, beliau menjawab, "Jika kotoran itu kering maka tidak
mengapa, tetapi jika basah maka ia harus membasuh tempat yang
mengenainya.".
 Abu Asy-Sya'sya' berkata, "Suatu ketika Ibnu Umar berjalan di Mina dan
menginjak kotoran ternak serta darah kering dengan tanpa alas kaki, lalu beliau
masuk masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua telapak kakinya."
 Ashim Al-Ahwal berkata, "Kami datang kepada Abul Aliyah, kemudian kami
meminta air wudhu. Lalu beliau bertanya, 'Bukankah kalian masih dalam
keadaan wudhu?' Kami menjawab, 'Benar! Tetapi kami melewati kotoran-
kotoran.' Ia bertanya, 'Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah dan
menempel di kaki-kaki kalian?' Kami menjawab, Tidak!' Dia berkata,
'Bagaimana dengan kotoran-kotoran kering yang lebih berat dari ini, yang
diterbangkan angin di rambut dan di jenggot kalian?"..
 Ibn Qayyim menyebutkan pula: “Sesuatu yang menurut hati orang-orang yang
terbiasa was-was tidak baik adalah shalat dengan memakai sandal, padahal ia
merupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada para
sahabatnya, beliau melakukan hal yang sama, juga memerintahkannya.
 Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam shalat dengan kedua sandalnya. (Muttafaq Alaih)..
 Syaddad bin Aus berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Selisihilah orang Yahudi, sesungguhnya mereka tidak shalat dengan memakai
khuf dan sandal mereka”.
 Imam Ahmad ditanya, "Apakah seseorang shalat dengan memakai kedua
sandalnya?" Beliau menjawab, "Ya, demi Allah.".
 Sedangkan kita melihat orang-orang yang terbiasa was-was, jika ia shalat jenazah
dengan memakai kedua sandalnya, maka ia akan berdiri di atas kedua tumitnya,
seakan-akan berdiri di atas bara api, bahkan hingga tidak shalat dengan
keduanya”.
 .
 Berlebihan menggunakan air
 Ibnul Qayyim menyebutkan pula: Berlebih-lebihan dalam penggunaan air
termasuk di dalamnya berlebih-lebihan dalam penggunaan air wudhu dan
mandi..
 Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dengan sanad hasan, demikian
seperti dijelaskan dalam Al-Muntaqa An-Nafis dari hadits Abdillah bin Amr,
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berlalu di samping Sa'd
yang sedang berwudhu, maka beliau bersabda, 'Jangan berlebih-
lebihan (dalam penggunaan air).' Ia bertanya, 'Wahai Rasulullah! Apakah
berlebih-lebihan dalam (penggunaan) air (juga terlarang)?' Beliau menjawab, Ya,
meskipun engkau berada di sungai yang mengalir'."
 Dan dalam Al-Musnad serta As-Sunan dari hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya
dari kakeknya, ia berkata, "Seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya tentang wudhu. Lalu beliau
memperlihatkan padanya tiga kali-tiga kali seraya bersabda, 'Inilah wudhu
(yang sempurna) itu', maka siapa yang menambah lebih dari ini berarti ia
telah melakukan yang buruk, melampaui batas dan aniaya.".
 Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Jabir ia berkata,
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Telah cukup untuk
mandi satu sha' air (-/+ 4 mud) dan untuk wudhu satu mud air (- 2 liter)”.
 Dalam Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu Anha disebutkan, "Bahwasanya
ia mandi bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari satu bejana yang
berisi tiga mud (air) atau dekat dengan itu.".
 Abdurrahman bin Atha' berkata, "Aku mendengar Sa'id bin Musayyib berkata,
'Saya memiliki rikwah (tempat air dari kulit) atau gelas, yang berisi setengah
mud atau semisalnya, aku buang air kecil dan aku berwudhu daripadanya, serta
masih aku sisakan sedikit daripadanya'."
 Abdurrahman menambahkan, "Hal itu lalu kuberitahukan kepada Sulaiman bin
Yasar, kemudian ia berkata,'Ukuran yang sama juga cukup untukku'.".
 Abdurrahman juga berkata, "Hal itu kuberitahukan pula kepada Abu Ubaidah
bin Muhammad bin Amar bin Yasir, lalu ia berkata, 'Demikianlah yang kami
dengar dari para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam'."
(Diriwayatkan Al-Atsram dalam Sunannya).
 Ibrahim An-Nakha'i berkata, "Mereka (para sahabat) sangat merasa cukup dalam
hal air daripada kalian. Dan mereka berpendapat bahwa seperempat mud telah
cukup untuk wudhu." Tetapi ucapan ini terlalu berlebihan, karena seperempat
mud tidak sampai satu setengah uqiyah' Damaskus..
 Dalam Shahihain disebutkan, Anas berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam berwudhu dengan satu mud, dan mandi dengan satu sha' hingga
dengan lima mud air."
 Dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq berwudhu dengan
sekitar setengah mud atau lebih sedikit dari itu..
 Muhammad bin Ijlan berkata,
‫الفقه في دين هللا إسباغ الوضوء وقلة إهراق الماء‬ 
 "Paham terhadap agama Allah (di antaranya ditandai dengan)
menyempurnakan wudhu dan menyedikitkan penumpahan air.".
 Imam Ahmad berkata, "Dikatakan, pemahaman seseorang (terhadap agama)
dapat dilihat pada kecintaannya kepada air."
 Al-Maimuni berkata, "Aku berwudhu dengan air yang banyak, lalu Imam Ahmad
berkata kepadaku, Wahai Abul Hasan! Apakah kamu rela seperti ini?' Maka aku
serta-merta meninggalkan (dari penggunaan air yang banyak)."
 .
 Akibat was-was.
 Ibn Qayyim menyebutkan pula: Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari
hadits Abdillah bin Mughaffal, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Akan ada dalam umatku kaum
yang berlebih-lebihan dalam soal bersuci dan berdoa."
 Jika Anda membandingkan hadits diatas dengan firman Allah, "Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-A'raaf: 55)..
 Dan Anda mengetahui bahwa Allah mencintai hamba yang beribadah kepada-
Nya, maka akan muncullah kesimpulan bahwa wudhunya orang yang was-was,
tidaklah termasuk ibadah yang diterima Allah Ta'ala, meskipun hal itu telah
menggugurkannya dari kewajiban tersebut, dan oleh sebab itu tidaklah akan
dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan karena wudhunya agar ia bisa
masuk darimana saja ia suka.
 Di antara kejelekan lain dari was-was yaitu orang yang bersangkutan terbebani
dengan tanggungan air yang lebih dari keperluannya, jika air itu milik orang lain,
seperti air kamar mandi (umum). Ia keluar daripadanya dengan memiliki
tanggungan atas apa yang lebih dari keperluannya. Lama-kelamaan hutangnya
semakin menumpuk, sehingga membahayakan dirinya di Alam Barzah dan
ketika Hari Kiamat. [akhir nukilan dari Mawaridul Aman].
 *****Wallahualam Bishawab
 Sumber: rumahku-indah.blogspot.com dengan sedikit perubahan
 .
 Subhanakallohumma wa bihamdihi,
 Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
 , walhamdulillahirobbil 'alamin

Wasalamualaikum Warahmatullah Hiwabarakatuh...

KITAB THOHAROH
BAB I
AL-MIYAH (AIR-AIR)
............................................................
12. Bila Ragu tentang Kenajisan Air

- Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata, “Apabila seorang itu ragu tentang kesucian


air atau selain air (kaidah ini berlaku bukan hanya dipembahasan air saja), atau ragu
tentang najisnya, maka dia harus membangun diatas keyakinan, mengambil yang
meyakinkan.” Hal tersebut dibangun diatas kaidah fiqih,

 “Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan. ”

- Contoh 1 :
Seseorang mempunya air suci dan dia ragu sudah kejatuhan najis atau belum.
Asalnya adalah kembali kepada hal yang meyakinkan, yaitu air itu suci dan inilah yang
dia ambil. Ada pun keraguan kejatuhan najis inilah yang dia buang.

- Contoh 2 :
Demikian juga air yang sudah najis. lalu dia ragu. Kalau dia yakin kenajisannya,
diambil yang meyakinkan.

- Kaidah “Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan.” termasuk kaidah


yang agung dalam syari’at kita. Tidak hanya dalam pembahasan air saja, tapi pada
seluruh pembahasan fiqih bahkan sampai dalam pembahasan aqidah. Oleh karena itu,
hal tersebut merupakan salah 1 dari 5 kaidah pokok yang dinamakan Imam As-
Suyuthi rohimahulloh dan selainnya dengan Al Qowaidhul Kubro.

- Dalilnya dalam Shohih Bukhory dan Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdulloh bin


Zaidrodhiyallohu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam
shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.”  
(HR. Bukhari, No. 177 dan Muslim, No. 361).

- Mengapa beliau perintahkan demikian? Karena hal yang meyakinkan adalah ia


sedang sholat dalam keadaan suci dan kemudian ia ragu apakah keluar hadats atau
tidak. Maka, keraguan ini dia buang dan hal yang meyakinkan dia sudah suci, kec
kalau hadatsnya menyakinkan, semisal mencium baunya. Kalau sudah seperti ini, baru
dia tinggalkan.

13. Cara Mencuci Benda yang Najisnya Tidak Tampak

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apabila tempat najis itu tersembunyi (tidak


jelas) pada pakaian atau selainnya, maka dia mencuci apa yang dia yakin najisnya
hilang dengan mencucinya.“

- Contoh :
Baju yang terkena najis, tapi dia ragu yang kena sebelah kanan atau kiri. Maka, dia
cuci keduanya. Ini maksud Ibnu Qudamah, “… maka dia mencuci apa yang dia yakin
najisnya hilang dengan mencucinya.“

- Hal diatas merupakan salah satu pendapat dikalangan ‘ulama dan ada pendapat
lainnya dikalangan ‘ulama bahwa dalam masalah ini dia memilih dugaan besar
najisnya itu dimana dan dia bersihkan.
- Dalilnya

‫م‬
َّ ‫م عليه ُث‬ َ ‫اب‬
َّ ِ‫ف ْل ُيت‬ َ ‫و‬َ ‫ص‬
َّ ‫ال‬ ‫ح َّر‬ َ  ‫ه‬
َ ‫ف ْليَ َت‬ ِ ِ‫صاَل ت‬
َ ‫ك أحدكم في‬
َّ ‫ش‬
َ ‫وإذا‬ 

‫ن‬
ِ ‫ج َدتَ ْي‬
ْ ‫س‬
َ ‫ج ُد‬
ُ ‫س‬
ْ َ‫م ي‬ ْ ّ ‫س ِل‬
َّ ‫م ُث‬ َ ‫لِ ُي‬

"Jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, maka hendaknya ia berusaha
mencari yang benar (yaitu kecondongan yang lebih kuat), kemudian ia sempurnakan
sholatnya kemudian salam kemudia sujud dua kali."
(HR Al-Bukhari no 392 dan Muslim no 572)

- Maka, memilih yang benar (taharri) adalah ketentuan syar’i atau hukum syari’ yang
itu diperbolehkan. Kembali kepada contoh kasus diatas dalam hal ini dia bingung
yang sebelah mana bajunya yang terkena najis. Maka, dia bisa taharri (memilih yang
benar) dimana letak najisnya. Bagaimana caranya?? Misalnya dengan cara mencium
lalu bisa ia temukan dimana letak najisnya, walaupun dia tidak yakin, akan tetapi
karena dia sudah taharri, maka hal itu telah cukup sebagaimana sujud sahwi yang ia
ragu sudah 3 atau 4 roka’at. Lalu setelah dia berusaha mengingatnya, dia ingatnya 4,
maka boleh diambil 4. Walaupun, yang lebih menyakinkannya adalah 3. Jadi, disini
dia yakinnya sudah 3 roka’at, sedangkan  yang 4 roka’at meragukan. Tapi, karena dia
sudah taharri sehingga dugaan besarnya dia sudah mengerjakan 4 roka’at, maka
boleh dia mengambil yang 4 roka’at. Berdasarkan kasus najis di baju, maka
seseorang boleh mencuci yang dengannya dia bisa memastikan letak najisnya atau
yang lebih mendekati kepastian dimana tempat najis itu.
14. Apabila Terjadi Kesamaan Antara Air Suci dan Air Najis,
sedangkan Air Lain Tidak Ada

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “ Apabila  seseorang mengalami kesamaran


antara air suci dan air najis, sedangkan air lain tidak ada selain daripada itu, maka
tayamumlah dan dia tinggalkan air itu.”

- Contoh :
Ada dua bejana. Dia bingung mana yang suci, mana yang najis. Maka, kata Ibnu
Qudamah dia tinggalkan semua bejana tersebut karena itu lebih meyakinkankan dan
lebih selamat. Lalu, dia tayammum. 

- Ada pendapat ke-2 dalam masalah ini dalam salah satu Mazhab Hambali dan
pendapatImam Syafi’i bahwasanya hendaknya seseorang taharri (menentukan yang
mana suci dari keduanya). Kalau  najis, maka bisa dilihat dari sebab najisnya, dari
sifat airnya dan ini yang paling afdhol berdasarkan dalil “Hendaknya dia pilih yang
benarnya dan dia sempurnakan atasnya."

15. Jika Terjadi Kesamaran antara Air Thohur dengan Air Thohir

- Contoh :
 Ada 2 bejana yang satu berisi air thohur dan yang satu berisi air thohir. Kata Ibnu
Qudamah, “Dia berwudhu dari kedua-duanya”. Sebab hal itu akan lebih meyakinkan
dan karena salah satunya pasti air yang suci. Ini berdasarkan  kaidahnya. Ibnu
Qudamah dimana beliau membangun pendapatnya ini diatas masalah keyakinan. 
- Akan tetapi, pendapat yang benar adalah dengan taharri yang dia lebih condong
kepadanya dugaan besarnya. Masalah ini muncul kalau  air dibagi menjadi 3 jenis.
Kalau dia membagi air menjadi 2, maka tidak akan muncul masalah.

16. Bila Terjadi Kesamaran Antara Pakaian Najis dan Pakaian Suci

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apabila terjadi kesamaran antara pakaian suci


dengan pakaian najis, maka dia sholat dengan setiap pakaian itu dengan jumlah
najisnya dan dia tambah dengan 1 sholat.” 

- Contoh :
Seseorang mempunyai 20 pakaian, 5 diantaranta ada yang najis. Menurut Ibnu
Qudamah,sepanjang dia mengetahui pakaian yang najis ada 5 pakaian, dan dia ragu
mana yang najis, maka dia sholat 5x, lalu ditambah dengan 1 sholat lagi sebab yang
ke 6 pasti sudah hal yang meyakinkan. Pendapat Ibnu Qudamah dibangun diatas
kaidah yakin. 

- Ada pun pendapat yang lebih kuat seseorang taharri mencari tahu mana yang lebih
kuat. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaik
Al-‘Utsaimin dan selainnya.

17. Definisi, Pembagian, dan Hukum Najis

- Pembahasan definisi, hukum, dan pembagian najis disebagian


fiqih Hambali dikhususkan dalam bab tersendiri. Contoh pada matan Zadul
Mustaqni, pembahasan najis diletakkan diakhir pembahasan thoharoh, yaitu sebelum
pembahasan haid, sedangkan Ibnu Qudamahmemasukkannya kesini. Termasuk
kebiasaan para ‘ulama Syafi’iyah yang memasukkan pembahasan najis sebelum
pembahasan tentang wudhu’. 

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “dicuci najisnya”. 

- Najis secara bahasa adalah hal yang jelek, menjijikkan. Najis secara istilah
dikalangan ulama Syafi’iyah, Malikiyah : “Najis adalah hal yang kotor yang menahan
keabsahan sholat, dimana tidak ada keringanan didalamnya.” 

- Najis terbagi menjadi 2, yaitu :


1.) Najis ‘Ainiyah     benda/zat tersebut memang najis dan tidak bisa disucikan
2.) Najis Hukmiyah  najis yang bisa disucikan dan inilah najis yang banyak
dibahas dikalangan fuqoha. 

- Kebanyakan fuqoha membagi najis hukmiyah ini menjadi 3, yaitu :


1.) Najis Mugholadhoh, yaitu najis besar. Contoh : anjing
2.) Najis Mukhoffafah, yaitu najis yang diringankan dalam mensucikannya.
Contoh : kencing anak laki yang baru makan asi saja.
3.) Najis Mutawasithoh : najis selain dari itu (pertetangahan)

- Hukum najis adalah wajib bersuci darinya. Ada ancaman bagi orang yang tidak
bersuci dari najis, yaitu hadits tentang dua orang yang disiksa dialam kubur karena
tidak bersuci dari kencingnya. Tidak bersuci maksudnya tidak istinja’ atau tidak
menjaga diri dari percikan najis.

 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rosululloh


shollallohu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda :
“Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang disiksa. Mereka disiksa bukan
karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang
ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya
lagi, dia berkeliling menebar namiimah (mengadu domba).”
18. Jumlah Cucian Terhadap Najis Anjing dan Babi serta Cara
Bersuci dari Najis Tersebut

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Najisnya anjing dan babi dicuci sebanyak 7x


dan salah satunya dicuci dengan tanah.” Disini beliau menerangkan dua hal sekaligus,
yaitu najisnya anjing dan najisnya babi.

- Dalil najisnya anjing dari hadits Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu,

 Dari Abu Hurairah rodhiyallohu 'anhu ia berkata bahwasanya Rosululloh


Shollallohu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Sucinya bejana kamu yang dijilat
anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama
dengan tanah.” 
 (HR. Bukhory)

Lebih tegas dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu,

 “Sucinya bejana di antara kalian yaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan
dicuci tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” 
 (HR. Muslim no. 279)

>>> Samakah antara najisnya Anjing dengan Najisnya Babi???

- Kalimat pensucian bejana salah seorang dari kalian menunjukkan bahwa bejana
yang dijilat anjing itu menjadi najis dan wajib dibersihkan. Cara mensucikannya
dengan dicuci 7x dan yang pertamanya dengan menggunakan tanah. Pendapat ini
dipegang oleh jumhur ‘ulama dan insya Alloh pendapat yang lebih kuat karena ada
penyebutan ‘illahnya (sebabnya). Apalagi jika penyebutan ‘illah terdapat dalam
konteks hadits dan penyebutan haditsnya ada dalam nash-nash riwayat. Selain itu,
dari perkembangan ilmu kedokteran sendiri membuktikan manfaat pencucian
tersebut. Hukum najisnya anjing tidak terbatas pada air liurnya saja, tetapi juga
pada kotorannya dan seluruh badan anjing tersebut.

- Ada pun babi juga harus dicuci 7x. Maka, dalilnya berupa qiyas (perumpamaan).
Para ‘ulama meng-qiyaskannya dengan anjing. Mereka berpendapat bahwa babi itu
lebih jelek daripada anjing. Kalau anjing saja harus disucikan jilatannya, maka babi
lebih dari itu. Tapi, ini qiyas yang lemah karena babi ada dimasa Nabi dan
diterangkan dalam Al Qur’an sehingga hal itu menunjukkan mengqiyaskannya sama
dengan anjing adalah qiyas yang lemah. Pendapat yang benar bahwa tidak sama
cara membersihkan najisnya anjing dengan babi dan pendapat ini lebih kuat serta
dikuatkan oleh kebanyakan ‘ulama dimasa ini bahwa babi kenajisannya tidak sama
dnegan anjing. 

- Kesimpulannya adalah kenajisan anjing adalah najis mugholadoh (najis


besar). Berbeda dengan babi yang najisnya najis biasa saja.

>>> Bagaimana Cara Pensucian dari Jilatan Anjing yang benar?

- Cucian 7x salah satunya dengan tanah. Kalimat salah satunya diambil dari hadits
pada sebgaian rowayat, misal riwayat Imam Muslim dan ini merupakan riwayat yang
paling kuat. Selain itu ada pada hadits Abdulloh bin Mughoffal rodhiyallohu ‘anhu
dalam riwayat Muttafaqun ‘alaih, “Gosoklah yang kedelapan kalinya menggunakan
tanah.” 

- Pada sebgaian riwayat ducuci dengan tanah diawal dan akhirnya, ada juga salah
satunya,akan tetapi yang mencuci diawal dan diakhir ada kelamahan dari sisi
riwayatnya. Pendapat yang benar dan kuat adalah 2 riwayatnya ini, yaitu
mencuci dengan tanah pada awalnya dan pada cucian yang ke-8. Dalam
penjelasan hukum yang ada dalam 2 hadits yang mencuci diawal atau dicucian
kedelapan dengan tanah, maka sepanjang keduanya bisa diamalkan dan
dikompromikan, maka lakukanlah dan jangan ditolak. Oleh karena itu, mencuci najis
anjing boleh menggunakan tanah dicucian yang pertama, dan boleh dicucian yang ke-
8. Tapi, yang lebih enaknya dikebanyakan orang adalah mencuci dengan tanah
dicucian yang pertama karena cucian yang kedua, ketiga akan menghilangkan tanah
tersebut. Tapi, karena dalam hadits diterangkan kebolehan mencucinya dicucian
yang ke-8, maka kita tidak menutup kemungkinan diperbolehkannya. 

- Dan dalam hadist hanya tanah, bukan benda lain. Terbukti dari sisi kesehatan
bahwa dalam tanah terdapat zat yang bisa membunuh kuman dan kotoran. Tidak ada
pada benda yang lainnya. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan mencuci dengan
tanah. 

- Bagaimana jika dicuci dengan sabun atau benda lain yang dimakulmi (menjadi
kebiasaan) ???? Jawabannya : Pembahasan mensucikan diri dari najis  bukan semata
masalah ibadah yang harus dengan tanah. Hanya saja yang lebih
afdholnya seseorang mencuci dengan tanah, kecuali kondisi tidak menemukan tanah.
Sebagaimana dalam pembahasan mandi janabah tentang menggosok tangan ke tanah
bisa diganti dengan sabun atau semisalnya.

19. Jumlah Cucian Terhadap Najis selain Najis Anjing dan Babi

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Cukup pada seluruh najis lainnya selain najis


anjing dan babi dengan 3 cucian yang mensucikan.” Perkataan beliau ini merupakan
pendapat sebagian ‘ulama Hanafilah bahwa mereka berpendapat mencuci najis tidak
cukup hanya dengan 1x cucian. 

- Ada pendapat lain dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama bahwa cukup dicuci
1x saja. Pendapat ini juga yang ditarjih (dikuatkan) oleh Syaikh Abdurrohman bin
Nashr As-Sa’di,Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin, dan selainnya. 

- Dalilnya :
1.) Hadits tentang kisah kencingnya seorang ‘arobi yang cukup disiram dengan 1x
timba ember.
2.) Hadits Ummu Salamah dalam riwayat Bukhory dan Muslim tentang mensucikan
darah haid dimana menggosoknya, mencucinya, lalu dengan gosok, lalu dia cuci lalu
dia sholat. Menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan mencuci itu sampai
hilangnya najis. Jika najis bisa hilang dengan 1x cucian, maka sudah cukup. Dan ini
‘illah (sebab) umum dalam masalah najis karena maksud mensucikan najis
menghilangkan najis. sepanjang najis sudah hilang, maka tidak masalah hanya dengan
1x pencucian saja.

20. Cara Bersuci Terhadap Najis Pada Tanah

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apabila diatas bumi (maksudnya najis


mengenai tanah), maka cukup dengan satu tuangan air yang menghilangkan ‘ain dari
najis.” 

- Contoh :
Ada air kencing ditanah. Maka, cukup dibersihkan dengan satu kali siraman air.
Dalilnya hadits tentang kencing seorang badui , lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan, “Tuangkan pada kencing ‘arobi itu dengan satu timba air!”. 

- Ibnu Qudamah rohimahulloh membawakan makna lafadz hadits diatas dalam


permasalahan ini.

21. Cara Bersuci terhadap Kencing Bayi Laki-laki yang Belum


Mengkonsumsi Makanan Tetap

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Cukup pada Al-Ghulam (bayi laki2 dan tidak


termasuk darinya bayi perempuan sebab bayi perempuan itu dicuci selamanya) yang
belum makan makanan selain ASI.” Maksudnya makanan tetap, bukan yang hanya
sesekali saja diberikan.

-  Jadi, najis yang diringankan pencuciannya adalah bayi laki-laki yang belum
mempunyai makanan tetap, selain air susu ibu adalah cukup dengan dipercikkan saja.
Kalau najisnya, para ‘ulama sepakat bahwa hal it najis, hanya saja cara pencuciannya
yang diringankan. 

- Dalilnya

 Dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya
yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengkonsumsi makanan. Ia
membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut
akhirnya kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan
memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya. 
 (HR. Bukhari, No. 223 dan Muslim, No. 287).

- Dalam beberapa riwayat, dipercikkan pada kecing anak laki-laki dan dicuci pada
anak perempuan. Hikmahnya mengapa kencing anak laki-laki cukup dengan
dipercikkan saja adalah dimaklumi bahwa anak laki-laki itu nakal, bisa kemana-
kemana kalau dia pipis sehingga syari’at memberikan keringanan. Berbeda dengan
anak perempuan yang lebih mudah mensucikannya.

22. Cara Bersuci Terhadap Madzi

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Demikian pula dengan madzi”. Ibnu


Qudamahmenyamakan najisnya madzi dengan najisnya air kencing bayi laki-laki,
yaitu najis mukhoffafah sehingga cukup dipercikkan saja dan ini pendapat sebagaian
‘ulama karena sebegaian riwayat yang kelihatannya mendukung pendapat ini, yaitu
dalam Shohih Muslimtentang orang yang keluar darinya madzi, Nabi hanya 
memerintahkan untuk berwudhu dan memercikkan (An-Nadhoh )saja. Tapi, pendapat
ini tidak kuat karena An-Nadhoh bukan bermakna dipercikkan, tapi juga harus
dicuci. 

‫فرجك‬ ‫وانضح‬ ‫توضأ‬
“Berwudhulah dan basahi (perciki) kemaluanmu”

- An-Nadhoh  ini mempunya dua makna, yaitu


1. Mencuci.
2. Memercikkan. 

- Beda dengan hadits Ummu Qo’is diatas dimana Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam


me-nadzoh dan ada keterangan dikalimat selanjutnya, yaitu tidak mencucinya. Maka,
An-Nadhoh dalam hadits Ummu Qo’is diatas maknanya adalah memercikkan. Ada pun
pada hadits ini kita harus memeriksanya pada seluruh riwayat karena ada 2
kemungkinan dan untuk mencari mana yang lebih kuat. Riwayat Bukhori-Muslim
lafadznya “Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu!” sehingga dari sini ‘ulama
berpendapat bahwa najis madzi itu pertengahan dan sama dengan kebanyakan najis
lainnya dan ini pendapat yang lebih kuat insya Alloh.

23. Hukum Madzi yang Sedikit

-Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Akan tetapi, dimaafkan dari hal yang sedikit.”


dan dalam kaidah fiqih hal yang sedikit yang seseorang sulit berlepas darinya adalah
hal dimaafkan. 
- Dalilnya hadits Sahl bin Hanif,

 “Aku seringkali keluar madzi, sehingga sering sekali mandi karenanya. Lalu
kuceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallaahu‘alaihi wasallam. Maka beliau
berkata : “Kamu cukup mengambil air setelapak tangan, lalu kamu basahi
pakaianmu yang terkena madzi itu sampai terlihat basah”
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dinilai
hasan oleh Asy Syaikh Al Albani)

- Hadits Sahl bin hanif diatas menunjukkan bahwa hal yang ringan adalah


dimaafkan sebagaimana akan datang pada pembahasan istinja’ dengan batu dimana
telah dimaklumi dengan batu itu tidak mensucikan seluruhnya dan pasti ada yang
tersisa. Tapi, yang sedikit ini dimaafkan dan kata Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
sudah mencukupi beristinja’ dengan batu dan hal yang sedikit yang sulit seseorang
berlepas darinya  adalah hal yang dimaafkan.

24. Hukum Darah yang Sedikit

- Dalam pembahasan ini terjadi silang pendapat dikalangan ‘ulama apakah darah itu
najis atau bukan,. Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh bahwa darah yang sedikit
adalah najis.

- Pendapat yang benar bahwa selain darah haid dan nifas bukan najis. Hanya saja
bagi yang berpendapat bahwa darah itu najis, apabila darah itu sedikit maka
dimaafkan sebgaiman darah haid jika sudah berusaha dibersihkan, tapi masih ada
sedikit yang susah dihilangkan, maka dimaafkan. 

- Dalilnya bahwa hal  yang sedikit dimaafkan dan tidak bisa seseorang berlepas
darinya, yaitu :
“ALLOH tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.”
(Al-Baqarah : 286)

25. Hukum Nanah, Bisul, dan Semisalnya

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Demikan pula apa yang terlahir dari darah,


nanah, bisul dan semisalnya.” Maksud perkataan beliau bahwa nanah, bisul, dan
semisalnya dimaafkan kalau jumlahnya sedikit. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa itu
najis dan ini merupakan silang pendapat dikalangan ‘ulama.

- Pendapat yang benar adalah nanah, bisul, dan semisalnya itu bukan najis. Sekarang
timbul pertanyaan, ukuran yang sedikit itu yang seperti apa????
26. Ukuran Nanah, Bisul, dan Semisalnya yang dimaafkan

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Apa yang tidak terlalu jelek.” Maksudnya


jumlahnya sedikit seperti bisul dijerawat. Kalau bisulnya besar, tidak dimaafkan.
dan pendapat beliau ini dibangun diatas pendapat kalau nanah dan bisul itu najis. 

- Akan tetapi, pendapat yang benar bahwa bisul, nanah, dan semisalnya itu bukan
najis karena tidak ada dalil yang kuat yang menjelaskan kenajisannya dan sesuatu
itu tidak dihukumi najis hingga ada dalil yang menajiskannya.

27. Hukum Mani Anak Adam

- Mani anak Adam juga dimaafkan karena suci dan ini merupakan pendapat jumhur
‘ulama.Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sejumlah riwayat Bukhori dan
Muslim pernah terkena mani di pakaian beliau.

28. Hukum Kencing Hewan yang Dagingnya dimakan

- Kata Ibnu Qudamah rohimahulloh, “Air kencing hewan yang dimakan dagingnya


adalah suci.” Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya adalah najis. Terjadi
silang pendapat dikalangan ‘ulama dan telah berlalu dalam pembahasan Kitab Ad
Durorul Bahiyah bahwa selain kencing manusia tidak disebutkan najisnya, kecuali
ada dalil yang menjelaskan kenajisannya dan secara umum kencing hewan yang
dimakan dagingnya adalah tidak najis karena tidak ada dalilnya. Oleh karena itu,
diperbolehkan sholat dikandang kambing sebagaimana hadits dibawah ini.

ِ ‫صلُّوا فِي أَ ْع َط‬


‫ان اإْل ِ ِب ِل‬ َ ‫ض ا ْل َغ َن ِم َواَل ُت‬
ِ ‫صلُّوا فِي َم َر ِاب‬
َ

Dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu dia berkata bahwasanya Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda, “Sholatlah kalian di kandang kambing dan jangan kalian
shalat di tempat menderumnya unta.”
(HR. At-Tirmizi, No. 348)

…. Selesai Bab Hukum-hukum Seputar Air …


[Faidah dari Al Ustad Dzulqornain bin Muhammad Sunusi hafizhohulloh dalam
Pembahasan Kitab ‘Umdatul Fiqh, 2012]

Kitab Thaharah – Bab Air


Juni 4, 2010

Kitab Thaharah

Definisi thaharah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan bahwa thaharah secara istilah
mempunyai dua makna:

1. Definisi asal yang bersifat maknawi, yaitu sucinya hati dari


kesyirikan kepada Allah dan dari kebencian kepada kaum
mukminin.
2. Definisi cabang yang bersifat zhahir -dan ini yang
dimaksudkan dalam bab fiqhi-, yaitu semua perbuatan yang
membolehkan orang yang berhadats untuk melakukan shalat,
berupa pembersihan najis dan penghilangan hadats. (Asy-Syarh
Al-Mumti’: 1/19)
Ibnu Rusyd berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa thaharah
syar’i ada dua jenis: Thaharah dari hadats dan thaharah dari
khabats (najis). Dan mereka juga bersepakat bahwa bentuk
thaharah dari hadats ada tiga bentuk: Wudhu, mandi (junub) dan
pengganti dari keduanya yaitu tayammum.” (Bidayah Al-Mujtahid:
1/5)

Para ulama memulai pembahasan fiqhi dengan kitab thaharah


karena rukun Islam terpenting setelah syahadatain adalah shalat,
sedangkan shalat tidak bisa ditegakkan kecuali setelah adanya
thaharah. Kemudian, thaharah asalnya dengan menggunakan air,
makanya setelahnya diikuti dengan pembahasan seputar air.

Bab Air
Masalah pertama: Pembagian air

Mayoritas ulama membagi air menjadi tiga jenis (Al-Inshaf: 1/21-


22):

1. Air yang thahur (suci dan menyucikan) atau air


muthlaq, yaitu air yang masih berada pada sifat asal
penciptaannya, baik yang turun dari langit maupun yang keluar
dari bumi, baik yang panas maupun yang dingin, baik yang
berwarna maupun yang tidak berwarna (bening). Contohnya: Air
hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata air, salju, geyser,
dll. Termasuk juga di dalamnya air yang sudah mengalami
perubahan dari asal penciptaannya tapi belum keluar dari
keberadaannya sebagai air, contohnya: Air mineral, air yang
bercampur dengan sedikit kapur dan benda-benda suci lainnya
dan tidak mendominasi air.
2. Air thahir (suci tapi tidak menyucikan) atau air muqayyad,
yaitu air yang bercampur dengan zat suci lalu mendominasi air
tersebut sehingga dia berubah dari sifat asalnya. Contohnya: Air
teh dan yang semisalnya, air sabun dan semacamnya serta air
kelapa dan yang keluar dari tumbuh-tumbuhan dan air yang
sangat keruh karena bercampur dengan tanah.
3. Air najis, yaitu air yang kemasukan najis lalu merubah salah
satu dari tiga sifatnya (baunya, rasanya, atau warnanya). Akan
datang penjelasan tambahan pada masalah kelima.
Dalil dari pembagian ini adalah sabda Rasulullah -shallalahu alaihi
wasallam- tatkala beliau ditanya tentang air laut, apakah dia boleh
dipakai berwudhu, “Airnya adalah thahur (penyuci) dan bangkainya
halal.” (HR. Ashhab As-Sunan dari Abu Hurairah)

Sisi pendalilannya adalah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Muflih:


“Seandainya yang beliau maksudkan dengan thahur (menyucikan)
adalah thahir (suci tapi tidak menyucikan), niscaya air laut tidak
mempunyai kelebihan dibandingkan air lainnya, karena semua
orang sudah mengetahui bahwa air laut itu suci.” (Al-Mabda’: 1/32)

Masalah kedua: Yang boleh dipakai bersuci.

Yang boleh dipakai bersuci hanyalah air thahur atau air muthlaq.
Ibnu Al-Mundzir berkata: “Semua ulama yang kami hafal
pendapatnya telah bersepakat akan tidak bolehnya berwudhu
dengan air ward (bunga), yang keluar dari pohon dan air ushfur
(bunga yang bijinya dijadikan minyak). Mereka juga bersepakat
akan tidak bolehnya bersuci kecuali dengan air muthlaq yang
dinamakan sebagai air, karena tidak boleh bersuci kecuali dengan
menggunakan air sedangkan ketiga perkara di atas tidaklah
dikatakan sebagai air.” (lihat: Al-Mughni: 1/15-21 dan Al-Majmu’: 1/
139-142)
Dari sini diketahui semua benda cair selain air lebih tidak boleh lagi
dijadikan alat bersuci, seperti: Minyak tanah, bensin, minyak goreng
dan semacamnya.

Masalah ketiga: Dalil-dalil akan bolehnya bersuci dengan air


mutlaq di atas.

Adapun air hujan, maka Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia


menurunkan untuk kalian air dari langit untuk menyucikan
kalian.” (QS. Al-Anfal: 11). Adapun air laut, maka telah berlalu
dalam hadits Abu Hurairah di atas. Adapun air sumur -dan termasuk
di dalamnya mata air-, maka Nabi r bersabda tentang sumur
budha’ah, “Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang
menajisinya.” (HR. Imam Tiga dari Abu Said). Adapun air salju,
maka beliau -shallallahu alaihi wasallam- mengajari dalam doa
istiftah, “Ya Allah cucilah aku dari dosa-dosaku dengan air, salju
dan air yang dingin.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Masalah keempat: Hukum beberapa air yang dibahas oleh para


ulama.

1. Air al-ajin, yaitu air yang tinggal lama di suatu wadah (tong,


bak yang tertutup dan semacamnya) sampai rasa dan baunya
menjadi pahit dan berbau busuk tapi tidak ada najis yang masuk
padanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata: “Adapun air yang
tinggal lama di sebuah wadah maka dia tetap dalam sifat thahur
(menycikan) berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Al-Fatawa:
21/36) dan Ibnu Al-Mundzir juga menukil ijma’ akan hal ini dalam
Al-Ausath (1/258-259)
2. Air yang dihangatkan dengan sinar matahari.
Semua hadits-hadits yang menerangkan tentang makruhnya
adalah hadits yang lemah sebagaimana bisa dilihat dalam Al-
Irwa` karya Syaikh Al-Albani no. 18. Karenanya mayoritas ulama
berpendapat bolehnya bersuci dengan air itu dan tidak
dimakruhkan. Demikian pula tidak dimakruhkan berwudhu dengan
air dihangatkan dengan api menurut mayoritas ulama (Lihat Al-
Mughni: 1/27-29 dan Al-Majmu’: 1/132-137)
3. Air zam-zam
Tidak dimakruhkan berwudhu dan mandi dengan air zam-zam
menurut mayoritas ulama, karena tidak adanya dalil yang
melarang. (Lihat Al-Mughni: 1/29-30 dan Al-Majmu’: 1/137 )
4. Air musta’mal (yang telah digunakan bersuci dan ketiga
sifatnya belum berubah).
Hukumnya tetap suci dan menyucikan, karena Ibnu Abbas (dalam
riwayat Muslim) mengatakan bahwa Nabi -shallallahu alaihi
wasallam- pernah mandi dengan sisa air yang telah dipakai mandi
oleh Maimunah -radhiallahu anha-, dan bisa dipastikan bahwa
percikan air yang Maimunah siramkan ke badannya ada yang
masuk kembali ke dalam bejana tersebut. Dan disebutkan dalam
beberapa riwayat yang shahih bahwa para sahabat menadah
bekas air wudhu Nabi untuk mereka gunakan untuk berwudhu. Ini
adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-
Muhalla (1/182-184), Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (20/519) serta
Asy-Syaukani dan Syaikh Siddiq Hasan Khan dalam At-Ta’liqat Ar-
Radhiah (1/100-102)
Masalah kelima: Kapan air menjadi najis.

Ibnu Al-Mundzir berkata dalam Al-Ijma’ (10): “Para ulama


bersepakat bahwa air yang sedikit maupun yang banyak, kalau
kemasukan najis yang merubah rasa atau warna atau bau dari air
tersebut maka dia menjadi najis.” Ijma’ akan hal ini juga dinukil oleh
Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (21/30) dan Ibnu Hubairah dalam Al-
Ifshah (1/70).

Tidak ada perbedaan dalam hukum ini antara air yang banyak
dengan air yang sedikit, baik yang lebih dari dua qullah (270 liter
atau 200 kg) maupun yang kurang darinya, baik yang diam maupun
yang mengalir (sungai dan semacamnya). Ini yang dikuatkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Al-Qayyim, Ibnu Rajab, Ash-
Shan’ani, Asy-Syaukani, Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh
Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Muqbil Al-Wadi’i dan selain mereka
-rahimahumullahu jami’an-.

Karenanya kalau ada air di kolam atau baskom atau timba yang
kemasukan beberapa tetas kencing atau najis yang lainnya maka
dia tidaklah menjadi najis dan tetap bisa dipakai bersuci, selama
najis tersebut tidak merubah salah satu dari ketiga sifatnya.
Demikian pula tidak dimakruhkan sama sekali untuk bersuci dengan
air yang ada di wc umum selama salah satu dari ketiga sifatnya
tidak berubah, dan tidak perlu diperhatikan was-was serta keraguan
yang dimasukkan oleh setan bahwa mungkin airnya pernah
terpercik kencing dan seterusnya.

sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=370
FIQIH, SYARIAH
PENSUCIAN NAJIS
20 NOVEMBER 2012 KOORDINATOR LEAVE A COMMENT

inShare

A. Thaharah Dari Najis


Thaharah dari najis adalah thaharah secara hakiki, dimana ritualnya adalah mensucikan badan,
pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah pensucian
agar terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah
shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.

Kenapa bersuci dari najis disebut thaharah hakiki? Karena yang dilakukan memang pembersihan
secara hakiki atau secara fisik, mengingat bahwa sesungguhnya  najis itu adalah benda fisik dan
bukan hukum.

Najis itu punya warna, aroma dan rasa. Tiga indikator itu selalu melekat pada benda najis. Dan
biasanya para ulama mendeteksi keberadaan najis lewat salah satu indikator itu. Dan suatu benda
dianggap tidak najis manakala salah satu indikator itu tidak ditemukan. Sebaliknya, bila salah
satu indikator itu ditemukan, maka  cara mensucikannya dilakukan secara hakiki yaitu dengan
cara menghilangkannya. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan misalnya dengan dicuci, disiram,
dilap, dikerik, dijemur dan lainnya. Pada bab-bab berikutnya akan Penulis bahas secara lebih
detail satu per satu.

Berbeda dengan thaharah hukmi yang bentuknya adalah bersuci dari hadats. Hadats itu bukan
benda fisik yang bisa dilihat atau dipegang, melainkan hadats itu sesuatu yang berupa status
hukum. Tidak ada wujud fisiknya, yang ada hanya hukumnya saja. Maka dari itulah
pensuciannya bersifat hukmi, atau hanya hukumnya saja.

Pada tubuh orang yang berhadats tidak akan kita temukan sebuah benda yang menempel atau
menonjol yang menjadi titik masalah. Berbeda dengan orang yang terkena najis, dipastikan pada
tubuh, pakaian atau tempat tertentu ada benda najis, yang bila benda najis itu dihilangkan, maka
otomatis dia suci.
Sedangkan pada tubuh orang yang berhadats, karena tidak ada benda yang secara fisik bisa
dilihat, dibaui, dipegang atau dirasakan, maka pensuciannya memang tidak secara fisik.

Pada bab yang lalu kita sudah bicarakan tentang najis dengan segala jenis dan macamnya. Pada
bab ini kita akan bicarakan hal-hal yang masih terkait dengan najis juga, yaitu ritual-ritual yang
telah ditetapkan syariah Islam untuk menghilangkan najis.

Dalam ritual pensucian najis, kita membaginya menjadi dua cara pensucian utama, terkait
dengan hukum asal benda itu.

Pertama, pensucian benda yang asalnya merupakan benda najis agar menjadi benda yang suci
kembali. Benda yang asalnya merupakan benda najis ternyata dalam kasus tertentu bisa diubah
menjadi benda yang suci.

Kedua, pensucian benda yang asalnya benda suci namun terkena najis. Ini adalah bentuk
pensucian yang sudah sering kita dengar

B. Mensucikan Benda Yang Asalnya Najis


Najisnya suatu benda tidak ditentukan oleh rumus kimia tertentu, tetapi ditentukan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam syariah yang diturunkannya. Sehingga apakah suatu benda itu najis
atau tidak, kita tidak bisa membuat rumus kimianya, juga tidak ada formulanya.

Formula yang kita pakai adalah semata-mata formula teks syariah. Artinya, kalau di dalam nash
Quran atau hadits ada benda yang dikatakan najis, maka hukumnya najis.

Sebaliknya, bila tidak ada teks syariah yang menyebutkan kenajisannya, baik langsung zatnya,
atau kriterianya, atau campurannya, maka benda itu tidak boleh kita ubah statusnya menjadi
benda najis.

Maka sebagaimana hukum najis itu datang dari Allah, sebaliknya juga berlaku bahwa ketidak-
kenajisan suatu benda itu juga datang juga datang dari Allah. Bentuk mudahnya, ketika suatu
benda najis disebutkan oleh teks syariah telah mengalami hal-hal tertentu lalu dikatakan tidak
najis lagi, maka tugas kita hanya tinggal mengiyakan saja.

Ada dua metode yang dikenal dalam syariah untuk mengubah benda najis menjadi benda yang
suci. Pertama, dengan cara penyamakan. Maksudnya kulit hewan bangkai yang mati, bisa diubah
menjadi suci lewat proses penyamakan. Kedua, dengan cara istihalah, yaitu proses mengubah
wujud fisik suatu benda secara total 100% sehingga menjadi benda lain.

1. Penyamakan
Dalam bahasa Arab, penyamakan dikenal dengan sebutan dibagh ( ‫) دباغ‬. Kasusnya pada hewan
yang mati menjadi bangkai, dimana tubuh hewan itu najis dan tentunya kulitnya pun najis.
Namun dengan penyamakan, kulit hewan yang tadinya najis berubah menjadi tidak najis.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,”Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda,”Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” (HR. Muslim)
Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)
Penyamakan adalah salah satu contoh nyata bagaimana najis ‘ain bisa berubah menjadi suci.
Bukan dengan cara dibersihkan dari najis yang menempel, melainkan benda najisnya itu sendiri
yang diubah menjadi benda suci. Maka jaket kulit yang terbuat dari bangkai atau dari hewan
najis, hukumnya tidak najis lagi setelah disamak. Di masa sekarang banyak orang memakai jaket
yang terbuat dari kulit buaya, kulit macan, kulit ular, dan kulit hewan buas lainnya.
Namun mazhab Asy Syafi’iyah tetap mengatakan najis bila kulit babi dan anjing disamak. Dalam
pandangan mazhab ini, anjing dan babi adalah hewan yang level kenajiannya berat
(mughalladzah), sehingga apa pun dari bagian tubuhnya tidak bisa disucikan lagi.[1]
2. Istihalah
Selain penyamakan, proses lain dari mengubah benda najis menjadi benda yang tidak najis
disebut istilahah. Kata istihalah berarti berubahnya suatu benda dari zat dan sifat aslinya
menjadi benda lain yang berbeda zat dan sifatnya.[2]
Dan perubahan zat dan sifat itu berpengaruh kepada perubahan hukumnya. Bila benda najis
mengalami perubahan zat dan sifat menjadi benda lain yang sudah berubah zat dan sifatnya,
maka benda itu sudah bukan benda najis lagi.

Para ulama memang berbeda pendapat tentang apakah benda najis yang sudah berubah menjadi
benda lain itu akan hilang kenajisannya.

Mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah mengatakan bahwa istihalah itu mengubah hukum najis
pada satu benda menjadi tidak najis.[3]
Namun mazhab Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah bersikeras bahwa najis ‘ain seperti babi, meski
sudah mengalami perubahan total, hukumnya tidak berubah menjadi suci. [4]
Di antara dalil-dalil istihalah yang digunakan oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah
antara lain perubahan-perubahan hukum yang terjadi pada khamar ketika berubah menjadi cuka,
atau perubahan air mani menjadi manusia, termasuk juga perubahan bangkai menjadi
garam.

a. Khamar Menjadi Cuka


Jumhur ulama mengatakan bahwa khamar adalah benda najis. Tetapi ketika khamar berubah
sendiri menjadi cuka, maka cuka itu bukan saja halal bahkan sifat najisnya hilang.

Kehalalan cuka disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak makan
dengan cuka sebagai lauk, dimana beliau mengatakan bahwa cuka adalah lauk makanan yang
paling enak.

Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka. (HR. Muslim)
Khamar di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam umumnya terbuat dari perasan buah
anggur dan kurma. Lalu perasan itu mengalami berbagai proses, mulai dari fermentasi hingga
proses-proses berikutnya, kemudian masuk ke dalam tahap berubah menjadi khamar.

Pada saat masih menjadi buah anggur dan buah kurma, tentu saja hukumnya halal. Dalam hal ini
Al Quran memberi gambaran:

Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang
baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang yang
memikirkan. (QS An-Nahl: 67)
Namun ketika perasan buah anggur atau kurma itu sudah menjadi khamar, hukumnya menjadi
najis. Tetapi keadaan menjadi khamar ini suatu ketika bisa berubah lagi, yaitu menjadi cuka. Dan
para ulama sepakat bahwa bila khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, hukumnya
tidak haram diminum karena tidak mungkin memabukkan. Dan karena sudah bukan khamar lagi,
otomatis hukumnya juga menjadi tidak najis.

Hanya saja dalam hal ini mazhab Asy Syafi’iyah dan Al Hanabilah mensyaratkan bahwa khamar
yang berubah menjadi cuka yang halal atau tidak najis itu adalah bila perubahannya terjadi
dengan sendirinya.
Sebaliknya, kalau perubahan itu lewat keterlibatan manusia, misalnya dengan cara dimasukkan
ke dalamnya cuka, bawang, atau garam, diniatkan sengaja agar khamar itu berubah menajdi
cuka, mereka mengatakan hukumnya tetap tidak halal.

Dari Abi Thalhah radhiyallahuanhu, bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam tentang anak-anak yatim yang menerima warisan khamar. Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Buanglah.” Dia bertanya lagi,”Tidakkah sebaiknya
khamar ini diubah menjadi cuka?.” Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,”Tidak.”
(HR. Abu Daud)
b. Air Mani Menjadi Manusia
Walau mazhab Asy Syafi’iyah tidak mengatakan bahwa air mani itu najis, namun menurut
jumhur ulama hukumnya najis. Tetapi dalam kenyataannya, semua sepakat bahwa bayi manusia
yang terbuat dari air mani hukumnya bukan najis. Padahal terbuat dari air mani.

Mengapa?

Karena air mani itu telah mengalami perubahan wujud yang signifikan, sehingga perubahan itu
ikut juga mengubah hukum yang melekat padanya. Air mani yang najis itu mengalami proses
pembuahan di dalam rahim seorang wanita, pada akhirnya akan berubah menjadi ‘alaqah, yaitu
gumpalan darah. Dan ‘alaqah ini kemudian berubah menjadi mudhghah, yaitu segumpal daging.
Dan segumpal daging itu kemudian berubah lagi menjadi tulang, lalu tulang itu terbungkus
dengan daging dan akhirnya Allah ubah semua itu menjadi bentuk makhluk ciptaan yang lain,
yaitu bayi manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al Quran:

Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang
itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS Al Mukminun: 14)
Bayi manusia disepakati hukumnya oleh para ulama bukan benda najis, walau asal muasalnya
terbuat dari air mani yang oleh jumhur ulama dikatakan najis. Dan fenomena ini menjadi salah
satu dalil penguat bahwa suatu benda bila telah mengalami istihalah  (perubahan wujud) secara
total, maka benda itu sudah tidak lagi membawa hukum yang lama.

c. Babi Menjadi Garam


Mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah menyebutkan bahwa kenajisan babi bisa berubah
menjadi suci manakala telah mengalami perubahan wujud secara total, sehingga babi yang
asalnya najis itu berubah menjadi benda lain, sehingga tidak lagi bisa disebut babi. Dan karena
sudah bukan babi lagi, maka tidak ada dasar untuk mengatakan najis.

Tapi bagaimana babi bisa menjadi garam? Pertanyaan ini cukup menarik untuk dijawab.

Babi yang mati dan menjadi bangkai itu dibakar, tapi bukan dijadikan barbekyu atau sate babi.
Pembakarannya dilakukan terus menerus sampai ludes hingga gosong segosong-gosongnya,
sehingga kebabiannya sudah hilang lantaran sudah jadi arang lalu menjadi abu. Di masa lalu
secara tradisional orang-orang membuat garam dari arang atau abunya.

Menurut para ulama, ketika sudah jadi arang, maka unsur-unsur kebabiannya sudah hilang,
lantaran wujud babi itu sudah tidak ada lagi. Dan dari arang itu kalau kemudian diproses lagi
sehingga menjadi bahan pembuat garam, maka menurut Al Hanafiyah dan Al Malikiyah, garam
itu sudah tidak lagi najis.

Meski tidak semua ulama menyepakatinya, tetapi fenomena ini menjadi salah satu dalil yang
menguatkan istihalah sebagai cara mengubah benda najis menjadi tidak najis.

4. Tanaman Cabai Disiram Dikencingi Anjing


Sebenarnya rada masuk akal juga ketika mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah berpendapat
bahwa benda yang wujudnya mengalami perubahan total, maka hukumnya juga ikut berubah.

Salah satu ilustrasi yang bisa kita pakai misalnya bila kita punya tanaman cabai merah di dalam
pot. Tiap pagi dan petang, pot ini dikencingi anjing yang tentunya najis mughalladzah.
Ketika tanaman cabai ini kemudian tumbuh subur dan mulai berbuah, apakah buah cabai yang
merah ranum itu haram dimakan?

Umumnya kita akan menjawab tidak haram. Sebab yang kita makan itu buah cabai, bukan air
kencing anjing. Urusan anjing itu mengencingi tanaman cabai tiap pagi dan petang, tidak ada
kaitannya dengan halal haram buah cabai.

Padahal secara kimiawi kita pasti tahu buah cabai itu terbentuk dari zat-zat yang terkandung di
dalam air kencing anjing. Tetapi kita mantap untuk mengatakan bahwa buah cabai itu tidak
mengandung anjing.
Kenapa?

Karena sudah terjadi proses istihalah atau perubahan wujud secara total dari air kencing anjing
menjadi buah cabai. Dan ilustrasi ini menguatkan pendapat kedua mazhab di atas.
5. Singkong Rebus Rasa Babi
Bangkai babi yang mati kita pendam di dalam tanah, lalu di atas tanah itu kita tanam tanaman
ketela pohon atau singkong. Dalam waktu singkat, pohon singkong itu tumbuh subur, umbinya
besar-besar.

Kita pasti tahu umbinya menjadi besar lantaran menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah,
dimana di dalam tanah itu ada bekas bangkai babi.

Ketika kita panen singkong lalu direbus dan disuguhkan hangat-hangat, apakah kita akan
mengatakan bahwa singkong itu haram hukumnya karena mengandung babi?

Jawabnya pasti tidak. Kenapa?

Karena yang kita makan itu hanya singkong tanpa embel-embel babi, meski tumbuh subur di
lahan bekas kuburan babi. Singkong itu tetap halal 100% meski tanamannya barangkali saja
sempat menyerap zat-zat tertentu dari bangkai babi.

Tetapi karena kita yakin bahwa bangkai babi itu sudah berubah menjadi tanah, dan unsur-unsur
tanah itu bukan babi, lantas diserap oleh akar pohon untuk membesarkan umbi sehingga menjadi
benda lain yang kita sebut singkong, maka semua orang yakin bahwa singkong itu bukan babi.
Dan singkong itu 100% halal.

Kecuali misalnya, saat asyik makan singkong, tiba-tiba gigi kita gemertak, ternyata ada tulang
babi di dalam singkong itu. Nah, kalau itu yang terjadi, urusannya lain lagi.

Sebab ada penemuan baru di dunia biologi, yaitu ada singkong bertulang babi.
Ya, nggak mungkin.
6. Kotoran Ayam Jadi Lele
Ikan lele yang makan kotoran ayam tentu tidak kita makan, kecuali setelah mengalami masa
transisi atau karantina beberapa waktu. Masa karantina itu untuk memastikan bahwa tidak ada
lagi kotoran ayam di dalam perut lele, semua sudah berubah terserap oleh sistem pencernaan
ikan lele itu dan berubah menjadi daging lele.
Memang ada sebagian orang yang tetap saja merasa risih makan daging lele, apalagi kalau
disuruh mengingat-ingat bagaimana ikan lele itu menyantap makanannya.

Tetapi semua orang termasuk para ahli fiqih sepakat bahwa jallalahatau hewan yang memakan
makanan najis dan kotor, asalkan telah mengalami masa transisi dan hanya memakan makanan
yang bersih, dagingnya halal dimakan.
Padahal sejak ikan lele itu lahir hingga dewasa menjelang dipanen, kita tahu persis makannya
hanya kotoran ayam. Tetapi para ulama mengatakan ketika ada proses pencernaan yang
sempurna sehingga kotoran ayam yang najis itu kemudian berubah menjadi daging ikan lele,
maka hukum makan daging ikan lele itu halal.

C. Mensucikan Benda Terkena Najis


Pada bagian ini kita membicarakan proses pensucian benda-benda yang asalnya memang benda
suci, namun terkena atau terkontaminasi benda najis. Intinya hanya bagaimana agar benda najis
yang menempel itu bisa dihilangkan.

Ada banyak dalil tentang bagaimana dahulu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
membersihkan benda dari najis, misalnya dengan cara pencucian, penyiraman, penambahan air,
pengerikan, penggosokan sampai penjemuran di bawah terik matahari.

1. Pencucian
Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hampir secara keseluruhan proses pensucian najis
dilakukan dengan cara mencuci benda itu dengan air agar hilang najisnya. Baik najis ringan,
sedang maupun berat.

Dan umumnya para ulama mengatakan bahwa najis itu punya tiga indikator, yaitu warna, rasa
dan aroma. Sehingga proses pensucian lewat mencuci dengan air itu dianggap telah mampu
menghilangkan najis manakala telah hilang warna, rasa dan aroma najis setelah dicuci.

Tentang fungsi air sebagai media untuk bersuci, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan di
dalam kitabullah.

Dan telah kami turunkan air sebagai untuk bersuci. (QS Al Furqan: 48)
Dan Dia telah menurunkan kepadamu air dari langit untuk mensucikan kamu (QS Al Anfal: 11)
Di dalam hadits nabawi juga disebutkan bahwa air itu mensucikan. Salah satunya dalam bentuk
doa yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
Ya Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju danembun.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda’Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7
kali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Penyiraman
Menyiram tanah yang terkena najis dengan air hingga airnya meresap ke dalam tanah itu,
termasuk salah satu cara yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
proses mensucikan benda yang terkena najis.

Dalam kisah yang terkenal tentang kencingnya seorang Arab dusun di dalam masjid Nabawi, kita
menyaksikan bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membersihkan masjid dari
najis.

Seorang Arab dusun telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk
menindaknya namun Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Biarkan saja dulu,
siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air.” (HR. Bukhari)
Satu kenyataan yang menarik bahwa masjid Nabawi di masa itu tidak beralaskan karpet
sebagaimana di masa kita sekarang ini. Juga tidak beralaskan batu marmer, ubin, atau semen.
Masjid di masa itu hanya beralaskan tanah saja, dimana umat Islam shalat dan melakukan semua
aktifitas ibadah lainnya di masjid di atas tanah.

Dan hal itu tidak mengapa, lantaran sesungguhnya status tanah itu hukumnya suci, sebagaimana
sabda beliau:

Dari Abi Umamah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda”Telah dijadikan tanah seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai masjid dan
pensuci. Dimanapun shalat menemukan seseorang dari umatku maka dia punya masjid dan
media untuk berusci. (HR. Ahmad)
Bahkan para shahabat melaksanakan shalat di dalam masjid dengan tetap memakai sepatu atau
sandal mereka. Sesuatu yang di masa kita sekarang ini barangkali dianggap aneh dan kualat.

Saat itu ketika si arab dusun kencing di dalam masjid, tidak ada karpet atau marmer yang perlu
dicuci, sebab air kencing itu langsung membasahi tanah. Beliau pun tidak memerintahkan untuk
mengepel lantai atau mencuci karpet.
Proses pensucian yang diajarkan oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah cukup
menyiramkan bekas kencing itu dengan seember air, sehingga airnya terserap ke dalam tanah.
Dan proses penyiraman yang berlangsung cuma satu kali itu sudah cukup untuk mensucikan
tanah dari najis.

3. Penambahan Air
Khusus pada benda-benda cair yang terkena najis, para ulama mengatakan bila komposisi najis
pada benda cair itu sedikit, maka kenajisannya hanya pada seputar benda najis itu saja.

Karena itu kolam yang kejatuhan najis kecil dan airnya sedikit, bisa disucikan dengan memenuhi
kolam itu dengan air, sehingga jumlah air menjadi sangat banyak dan perbandingan benda
najisnya menjadi sangat sedikit.

Sumur yang kejatuhan bangkai ayam misalnya, bisa disucikan dengan dibuang bangkainya, lalu
airnya selalu ditimba dan dibuang, mata air yang ada di dasar sumur itu secara otomatis akan
terus keluar, membuat air sumur itu terus menerus bertambah.

Hingga sampai ketika rasa, warna dan aroma air sumur yang terus menerus dikuras itu sudah
tidak mengandung najis, maka air sumur itu suci kembali. Proses penambahan air terus menerus
terjadi lewat mata air yang keluar terus, sedangkan bangkai yang menjadi sumber najis dibuang,
dan air di dasar sumur yang sempat terkena najis, secara terus menerus dikuras dan dibuang.

4. Pengerikan
Disebutkan di dalam salah satu hadits shahih bahwa Aisyahradhiyallahuanha mengerok
(mengerik) bekas mani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sudah mengering di
pakaian beliau dengan kukunya.
Dahulu aku mengerik bekas mani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bila sudah
mengering (HR. Muslim)
Hadits ini oleh jumhur ulama dijadikan dasar bahwa hukum air mani itu najis. Dan kalau kita
memakai pendapat jumhur ulama bahwa air mani itu najis, maka pengerikan atau pengerokan
dengan kuku yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahuanha  adalah salah satu
cara untuk mensucikan benda yang terkena najis.
Syaratnya, air mani itu sudah kering dan biasanya menyisakan lilin yang padat dan menempel di
pakaian. Pengerikan itu sudah cukup untuk mensucikan pakaian itu dari najisnya air mani.

Air Mani, Najiskah?


Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Jumhur ulama seperti
mazhab Al  Hanafiyah, Al Malikiyah, dan Al Hanbilah mengatakan bahwa air mani itu
hukumnya najis.[5]
Sedangkan mazhab Asy Syafi;iyah mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari
kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian.
Dan apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya
tentang hukum air mani yang terkena pakaian. BeliauShalallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab,”Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk
mengelapnya dengan kain. (HR. Al Baihaqi)
5. Pengelapan (gosok)
Pendapat mazhab Al Hanafiyah bahwa benda-benda yang licin dan keras, bila terkena najis,
pensuciannya cukup dengan dilap menggunakan kain saja, tanpa harus dicuci.

Kaca, cermin, permukaan logam, pedang, barang pecah belah, seperti piring, gelas, mangkuk,
nampan, atau benda-benda keras tapi licin lainnya, bila terkena najis, cukup dibersihkan dengan
kain lap, hingga hilang warna, rasa dan aromanya.

Dasarnya bahwa dahulu para shahabat Nabi dalam peperangan melaksanakan shalat dengan
pedang terselip di pinggang mereka. Padahal pedang mereka bekas membunuh orang kafir dalam
jihad. Dan pedang itu pastinya berlumuran darah yang hukumnya najis. Namun pedang mereka
tidak dicuci dengan air, hanya dibersihkan dengan menggunakan kain tanpa proses pencucian.
Dan mereka menyelipkan pedang yang tidak dicuci hanya dilap itu di pinggang mereka sambil
menunaikan ibadah shalat.

Inilah yang menjadi dasar bagi mazhab Al Hanafiyah untuk mengatakan bahwa mengelap najis
hingga hilang warna, rasa dan aroma sudah cukup untuk menghilangkan najis dan mensucikan
benda yang terkena najis.[6]
Namun pengelapan ini khusus berlaku pada benda yang licin seperti logam atau kaca, karena
najisnya tidak terserap hanya sekedar menempel. Sedangkan bila najis itu menempel dan diserap
pada benda, seperti kain, karpet, makanan dan lainnya, tentu tidak cukup hanya dilakukan
pengelapan saja.

Sebab najis pada kain tidak akan hilang kalau hanya dilap saja.
6. Dikesetkan ke Tanah
Mengesetkan sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah adalah salah satu cara
menghilangkan najis tanpa mencucinya. Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam,
sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Abi Sa’id Al Khudri berkata bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat
kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai
beliau bertanya: “Kenapa kalian melepas sandal kalian?” Mereka menjawab, “Wahai
Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, ” Beliau
bersabda: “Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua
sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu
melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke
tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya.” (HR. Ahmad)
Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum
shalat.

Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan
memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan (HR. Abu Daud)
7. Dijemur Matahari Hingga Kering
Sinar matahari yang terik bisa menghilangkan najis dari suatu benda, khususnya tanah.

Disebutkan dalam salah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallambahwa tanah yang


terkena najis bila terjemur hingga kering sampai hilang warna dan aroma najis, akan kembali
menjadi suci.
َ‫أ‬Tanah yang telah mengering maka tanah itu telah suci (HR. Az Zaila’i)
Mazhab Al Hanafiyah menyebutkan bahwa begitu tanah yang tercampur najis itu kering terkena
sinar matahari, dan tidak ada lagi bau najis atau warnanya, maka tanah itu kembali suci
sebagaimana aslinya.

Namun mazhab Al Malikiyah, Asy Syafi’iyah dan Al  Hanabilah mensyaratkan bahwa sebelum
dikeringkan oleh sinar matahari, tanah itu harus diguyur atau disiram terlebih dahulu dengan air.

Mereka mengatakan bahwa proses penghilangan najis itu harus dilakukan dengan air terlebih
dahulu, baru proses pengeringan dengan media terik sinar matahari menyempurnakan pensucian
tersebut.
Sedangkan mazhab Al Hanafiyah tidak mensyaratkan adanya pensucian lewat media air. Karena
hadits di atas tidak mensyaratkan pensucian tanah dengan disirami air terlebih dahulu. Cukup
hanya dengan sinar matahari yang terik dan membuat tanah itu kering tanpa meninggalkan bau
atau warna najis, maka tanah itu berubah menjadi suci.

8. Dikuliti
Yang dimaksud dengan dikuliti adalah apabila ada benda padat kejatuhan benda najis yang juga
padat, maka salah satu cara untuk menghilangkan najisnya dengan menguliti sebagian dari
permukaan benda itu.

Hal seperti itu pernah terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam kasus tikus
mati masuk ke dalam wadah berisi minyak yang membeku.

Dari Maimunah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah


ditanya tentang bangkai tikus yang jatuh ke dalam lemak (minyak samin). Maka Beliau
menjawab: “Buanglah bangkai tikus itu ada apa yang ada di sekitarnya, lalu makanlah lemak
kalian.” (HR. Bukhari)
Bekas bangkai tikus yang tersisa di minyak yang beku itu dibersihkan dengan cara dikuliti dan
dibuang, namun tidak perlu dilakukan proses pencucian. Karena tidak mungkin mencuci minyak
beku dengan air, selain tidak akan hilang, juga pencucian malah akan merusak minyak itu.

Maka cukup dikuliti atau dicungkil bagian-bagian yang terkena bekas bangkai itu, sisanya masih
suci dan masih bisa dimakan.

9. Diperciki Air
Memercikkan air pada benda yang terkena najis adalah salah satu bentuk ritual mensucikan najis.
Tapi cara ini hanya berlaku pada satu kasus saja, yaitu najis dari air kencing bayi laki-laki yang
belum makan atau minum apapun kecuali air susu ibu.

Semua ini tidak ada alasan ilmiyahnya karena semata-mata ketentuan ritual dari Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai Tuhan maunya disembah dengan
cara itu.

Dasarnya adalah hadits berikut ini:


Dari As Sam’i radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup
dipercikkan air saja.” (HR. Abu Daud An-Nasai dan Al Hakim)
10. Diseret Di Atas Tanah
Salah satu bentuk pensucian yang pernah dilakukan di masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam adalah benda yang terkena najis itu terseret-seret di atas tanah.

Dalam hal ini kisahnya terjadi pada salah satu istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,
yaitu Ummu Salamah radhiyallahuanha. Beliau bercerita tentang pakaiannya yang panjang
menjuntai ke tanah, sehingga kalau berjalan, ujung pakaiannya menyentuh tanah dan terserat-
seret kemana beliau pergi.
Ketika disebutkan bahwa ujung pakaian itu terkena najis, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam menngomentari bahwa najis itu dianggap telah hilang, karena ujung pakaian istrinya itu
selalu menyentuh tanah sambil terseret.

Dari Ummi Salamah radhiyallahuanda berkata,”Aku adalah wanita yang memanjangkan ujung
pakaianku dan berjalan ke tempat yang kotor.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
berkata,”Apa yang sesudahnya mensucikannya.” (HR. Abu Daud).
Para ulama dari berbagai mazhab seperti mazhab Al  Hanafiyah, Al Malikiyah dan Al Hanabilah
menerima pensucian secara otomatis ini berdasarkan hadits di atas.[7]
Mazhab Asy Syafi’iyah, yang menerimanya dengan syarat asalkan najisnya itu kering, bukan
najis yang basah. Kalau najisnya basah, terseret-seret di atas tanah itu tidak cukup sebagai cara
untuk mensucikan, dan tetap harus dicuci terlebih dahulu.

Mazhab Al Hanabilah menerima bahwa terseretnya ujung pakaian yang terkena najis di atas
tanah memang mensucikan najis itu, asalkan najisnya tidak terlalu banyak. Hanya najis yang
sedikit saja yang bisa disucikan dengan cara itu.

[1] Ibnu Abidin jilid 1 halaman 136, Mughni Al Muhtaj jilid 1 halaman 78, Al Mughni 1 66-67
[2] Kasysyaf Al Qina’ jilid 1 halaman 197
[3] Al Inshaf jilid 1 halaman 138 Ad-Dasuki jilid 1 halaman 52
[4] Nihayatul Muhtaj jilid 1 halaman 247, Raudhatutthalibin jilid 1 halaman 28
[5] Hasyiyatu Ibnu Abidin jilid 1 halaman 208
[6] Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 34-35
[7] Al Qawanin Al Fiqhiyah halaman 35

Pembahasan Air Suci dan Air Najis


Ditulis pada 28 April 2011 oleh Fadhl Ihsan

DI NEGERI kita, alhamdulillah, air dengan mudah dijumpai. Salah satu manfaat terbesar dari air adalah untuk bersuci.
Banyaknya jenis air yang ada menuntut kita untuk memahami mana air yang bisa dipakai untuk bersuci dan yang tidak.
Di dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dia menurunkan bagi kalian air dari langit untuk mensucikan kalian dengannya…” (Al-Anfal: 11)

“Dan Dia menurunkan air dari langit sebagai pensuci.” (Al-Furqan: 48)

Dua ayat yang mulia ini menerangkan bahwasanya air yang turun dari langit itu suci dan dapat mensucikan najis serta dapat
menghilangkan hadats baik hadats besar terlebih lagi hadats kecil. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/28, Tafsir Ibnu Katsir, 2/304,
Syarhul ‘Umdah, hal. 60-61)

Air yang mensucikan ini tidak sebatas air yang turun dari langit, tetapi juga air yang keluar dari muka bumi seperti air sungai, air
sumur, dan sebagainya (Al-Ausath, 1/246). Hal ini sebagaimana dikatakan pula oleh Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya:
“Air yang turun dari langit dan tersimpan di bumi itu suci, dapat mensucikan sekalipun berbeda-beda warna, rasa dan baunya…”
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/29)

Demikian pula air laut, suci dan dapat mensucikan, bisa digunakan untuk wudhu dan mandi (Al-Muhalla, 1/220, Al-Mughni,
1/23, Tuhfatul Ahwadzi, 1/188, ‘Aunul Ma’bud, 1/107). Walaupun dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan
ahlul ilmi, namun telah datang berita yang pasti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya oleh para sahabatnya
tentang berwudhu dengan air laut, beliau bersabda: “Laut itu airnya suci dapat mensucikan dan halal bangkainya.”[1]

Demikian dinyatakan oleh Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah. (Al-Ausath, 1/247)

Kata ‘ath-thahuuru’ dalam hadits di atas bila ditinjau secara bahasa Arab diambil dari wazan (timbangan) ‘fa’uulun’ yang
merupakan sighah mubalaghah (bentuk kata dalam bahasa Arab untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu) dari kata
‘thaahirun’ dan maksudnya adalah kesucian air laut itu melampau dirinya yakni ia dapat mensucikan yang selainnya. (Syarhul
Bulughul Maram, Asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)

Pada satu keadaan, terkadang kita dapatkan air yang semula suci tercampur dengan sesuatu yang najis. Dari sini timbul
pertanyaan, bagaimana keberadaan air tersebut? Apakah tetap suci dan dapat mensucikan atau air itu menjadi najis?
Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan air yang tercampur
dengan najis tidaklah menjadi najis kecuali berubah sifatnya secara mutlak, warna, bau, ataupun rasanya, sama saja apakah air itu
banyak atau sedikit. (Sailul Jarrar, 1/54)

Dalil dari pendapat ini antara lain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Air itu suci, tidak ada sesuatupun yang dapat menajisinya.” (HR. Ahmad 3/16, 31, An-Nasa’i no. 324, Abu Dawud no. 60 dan
At-Tirmidzi no. 66, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa’i no. 315, Shahih Abu Dawud no. 60, dan
Shahih At-Tirmidzi no. 56)

Maksud hadits di atas, selama air tersebut belum berubah salah satu sifatnya karena bercampur/kemasukan benda yang najis
maka ia tetap dalam kesuciannya, adapun bila mengalami perubahan maka air tersebut bisa menjadi najis. (Majmu’ Fatawa,
21/32-33, Al-Ikhtiyarat hal. 298, Al-Ausath, 1/260, Nailul Authar, 1/56, Al-Mughni, 1/30, Al-Majmu’, 1/163)

Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dari kalangan sahabat, dan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibnul
Musayyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Ats-Tsauri, Dawud Azh-Zhahiri, An-Nakha’i, Jabir bin Zaid, Malik dan yang lainnya.
(Nailul Authar, 1/56)

Dengan keterangan di atas kita dapatkan dua macam air:


1. Air yang suci mensucikan
2. Air yang najis

Pendapat ini merupakan madzhab Zhahiriyah dan sekelompok ahlul hadits, dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Syarhul Bulughul Maram, Asy Syaikh Shalih Alusy-Syaikh). Namun kita dapati di sana ada
ulama yang membagi air menjadi tiga macam:
1. Air suci yang dapat mensucikan
2. Air yang suci namun tidak dapat mensucikan [2]
3. Air yang najis
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Namun, wallahu ta’ala a’lam, yang menenangkan hati dalam permasalahan ini adalah pendapat yang membagi air hanya dua
macam, karena menetapkan adanya air suci namun tidak mensucikan perlu mendatangkan dalil, sementara tidak ada dalil dalam
hal ini padanya.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Yang benar air itu terbagi dua saja, suci mensucikan dan najis. Sedangkan air
yang suci namun tidak mensucikan tidak ada wujudnya dalam syariat ini. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan
dalilnya adalah karena tidak adanya dalil dalam masalah ini. Kalau air jenis ini ada dalam syariat niscaya perkaranya akan
diketahui dan dipahami. Dan terdapat hadits-hadits yang jelas dan gamblang menyebutkannya, karena perkara ini bukanlah
permasalahan yang remeh namun berkaitan dengan pilihan apakah seseorang harus shalat dengan berwudhu menggunakan air
atau ia harus tayammum karena tidak mendapatkan air yang dapat mensucikannya (wudhu). (Asy-Syarhul Mumti’, 1/44)

Lalu bagaimana air yang dicampur dengan teh, susu, sirup ataupun benda-benda suci lainnya, apakah bisa digunakan untuk
berwudhu dan mandi? Bila tidak bisa, berarti ada air suci namun tidak bisa mensucikan?
Air yang suci itu bisa digunakan untuk bersuci sekalipun kemasukan atau bercampur dengan benda yang suci selama masih
melekat padanya nama air, belum berganti kepada nama lain. Dan benda yang mencampurinya itu tidak mendominasi air
tersebut. (Majmu’ Fatawa, 21/25, Al-Muhalla, 1/199, Al-Mughni, 1/22, Sailul Jarrar, 1/58)

Air bila telah bercampur dengan teh telah berubah namanya menjadi air teh bukan lagi air mutlak, begitu pula bila bercampur
dengan susu ataupun sirup. Sehingga air (yang telah keluar dari kemutlakkannya) ini tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci (Al-
Muhalla, 1/202). Adapun pembahasan air yang kita bawakan di sini adalah air mutlak, bukan air yang telah berubah namanya
karena adanya benda suci yang bercampur atau dimasukkan ke dalamnya. Air mutlak inilah yang bisa digunakan untuk
menghilangkan hadats, sedangkan benda cair lainnya tidak bisa menghilangkan hadats (tidak bisa digunakan untuk bersuci,
wudhu dan mandi). (Syarhul ‘Umdah, 1/61-62)

Ini merupakan pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud dan selain mereka. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh Al-Hasan,
‘Atha’, Ibnu Abi Rabah, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur dan selain mereka (Al-Muhalla, 1/202, 220). Dalilnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Lalu jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan menggunakan tanah/debu yang bersih.” (Al-Maidah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menggunakan tanah (tayammum) bila tidak mendapatkan
air untuk wudhu atau mandi janabah/haid, sekalipun kita masih bisa mendapatkan benda cair atau benda yang mengalir lainnya.
(Asy-Syarhul Mumti’, 1/22, 38)

Apakah Air yang Najis Bisa Disucikan?


Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa air yang najis bisa menjadi air yang suci dan mensucikan bila telah
hilang kenajisan yang mencampuri dan merubah air tersebut dengan menggunakan cara apapun, sama saja apakah airnya sedikit
ataupun banyak. Kapan najis hilang pada air tersebut maka airnya menjadi suci. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/47)

Bila kita ragu terhadap air, apakah ia suci atau najis, maka kita kembali kepada hukum asal bahwa air itu suci. Adapun keraguan
yang timbul setelah adanya keyakinan, apakah airnya ternajisi atau tidak, maka tidak perlu dihiraukan karena hukum air tersebut
tetap suci. (Syarhul ‘Umdah, 1/83, Al-Furu’, 1/61, Sailul Jarrar, 1/59-60)

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (Al-Mughni, 1/43). Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan di
dalam Al-Majmu’ (1/224) bahwa dalil dalam hal ini adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu tentang seorang laki-
laki yang mengadu kepada Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana ia mendapatkan angin yang berputar di dalam
perutnya ketika sedang shalat, namun ia bingung apakah angin itu keluar dari duburnya atau tidak, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pun bersabda:
“Jangan ia berpaling dari shalatnya (membatalkannya) hingga ia mendengar suara (kentutnya) atau mencium baunya.” (Shahih,
HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang tersebut untuk membangun keyakinannya di atas
hukum asal yaitu asalnya dia dalam keadaan suci (berwudhu) adapun ia kentut atau tidak maka itu adalah keraguan yang muncul
belakangan. Hukum asal thaharah-nya itu baru hilang bila ia yakin akan keluarnya angin dari duburnya, baik dengan mendengar
suaranya ataupun mencium baunya.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Footnote:
[1] HR. Abu Dawud no. 76, At-Tirmidzi no. 69, Ibnu Majah no. 380, 3237, An-Nasa’i no. 330, 4275 dan selain mereka,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil no. 9 dan Silsilah Ash-Shahihah no. 480.
[2] Yaitu air suci yang bercampur dengan benda yang suci sehingga berubah salah satu sifatnya. Air semacam ini tetap suci
namun tidak dapat mensucikan, menurut pendapat ini.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 02/I/Sya’ban 1424 H/September 2003, hal. 26-28 dan 30.

 Terapi Dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam Bagi Orang Yang Terkena Penyakit Was-Was
Percikan Kencing Terapi Dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasalam Bagi Orang Yang Terkena Penyakit
Was-Was Percikan Kencing
‫ وضأت أبا عبدهللا بالعسكر فسترته من الناس لئال يقولوا إنه اليحسن الوضوء لقلة صبه الماء وكان أحمد يتوضأ فال يكاد يبل الثرى‬: ‫وقال المروزى‬
Al-Marwazi berkata, “Aku membantu Abu Abdillah (Imam Ahmad) berwudhu saat bersama orang banyak,
tetapi aku menutupinya dari orang-orang agar mereka tidak mengatakan, ‘la tidak membaikkan wudhunya
karena sedikitnya air yang dituangkan.’ Dan jika Imam Ahmad berwudhu, hampir saja (air bekasnya) tidak
sampai membasahi tanah.”
Khawarij dan Sesuci
Khawarij dikenal dengan sifat berlebih-lebihan mereka dalam segala hal, diantaranya dalam masalah
sesuci. Al-Hafizh Ibn Jauzi rahimahullahu dalam Talbis Iblis hal. 20 (cet Dar Fikr, 1421 H) mengisahkan
segolongan Khawarij yang berlebih-lebihan dalam masalah sesuci, namanya Al-Makramiyah. Al-Hafizh
berkata,
‫والمكرمية قالوا ليس ألحد أن يمس أحدا ألنه ال يعرف الطاهر من النجس‬
“Dan Al-Makramiyah berkata, “Seseorang tidak boleh bersentuhan dengan orang lain, karena tidak
diketahui siapa yang suci dan siapa yang najis”.
Ini Khawarij yang terdahulu, adapun kelompok Khawarij zaman sekarang bermacam-macam lagi perilaku
mereka dalam menyerupai nenek moyangnya. Ada yang rela mengepel lantai, mencuci sajadah, pakaian
dan sarungnya hanya karena terinjak atau digunakan selain kelompoknya, yang tidak diketahui apakah
mereka sesuci ‘dengan gaya mereka’ atau tidak. Padahal kalau kebenaran itu sesuai metode mereka,
maka seharusnya mereka cuci juga uang-uang dalam dompet-dompet mereka yang bahkan tidak
diketahui dari tangan siapa uang itu sebelumnya?!!, ini suatu yang menggelikan.
Syubhat mereka dizaman ini adalah bahwa orang selain kelompoknya itu jahil (bodoh) dalam masalah
sesuci. Padahal jika mereka mau membuka kembali kitab-kitab hadits, lalu memahaminya sebagaimana
mestinya, niscaya akan diketahui siapa yang lebih bodoh. Akan tetapi, pada kesempatan ini kita tidak
akan membahas masalah tersebut lebih dalam lagi, sebab yang akan kita bahas adalah masalah was-
was yang sering menimpa mereka tatkala kencing.
Yaitu was-was : apakah tubuh mereka terkena percikan kencing atau tidak?! Sehingga haruslah mereka
bersusah payah dengan menghabiskan berliter-liter air untuk membersihkan was-was mereka itu. Tidak
diragukan ini berasal dari syetan, dan kaum muslimin diperintahkan agar menjauhkan diri dari hal
semacam ini.
Menghilangkan was-was
Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/143 – cet Dar Al-Ma’rifah, 1395 H, tahqiq Muhammad Hamid Al-
Faqi), berkata:
‫ هذا من الماء الذي‬:‫ فمتى وجد بلالً قال‬،‫ ليدفع عن نفسه الوسوسة‬،‫ لإلنسان أن ينضج َفرْ جَ ه وسراويله بالماء إذا بال‬d‫ ويستحب‬:‫قال الشيخ أبو محمد‬
‫ وفي‬،”‫ “كان النبي صلى هللا عليه وسلم إذا بال توضأ وينضح‬:‫ لما روى أبو داود بإسناده عن سفيان بن الحكم الثقفي أوالحكم بن سفيان قال‬،‫نضحته‬
‫وشكا إلى اإلمام أحمد بعض أصحابه‬.‫ وكان ابن عمر ينضح فرجه حتى يبل سراويله‬،”‫“رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بال ثم نضح فرجه‬ ُ :‫رواية‬
‫ ال ُه عنه؛‬:‫ وسئل الحسن أوغيره عن مثل هذا فقال‬.‫ وال ُه عنه‬،‫ وال تجعل ذلك من همتك‬:‫ قال‬،‫ فأمره أن ينضح فرجه إذا بال‬،‫أنه يجد البلل بعد الوضوء‬
‫ أتستدره ال أب لك! ال ُه عنه‬:‫ فقال‬،‫)فأعاد عليه المسألة‬
Syaikh Abu Muhammad (Menurut Syaikh Ali Hasan dalam Mawaridul Aman, yang dimaksud adalah
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi dalam kitabnya Dzammul Was-was, kitab ini telah dicetak pada tahun
1923 oleh Al-Mathba’atul Arabiyah, Kairo -pen) berkata, “Dianjurkan bagi setiap orang agar memercikkan
air pada kelamin dan celananya saat ia kencing. Hal itu untuk menghindarkan was-was daripadanya,
sehingga saat ia menemukan tempat basah (dari kainnya) ia akan berkata, ‘Ini dari air yang saya
percikkan’.” Hal ini berdasarkan riwayat Abu Dawud ((1/43 no. 166, dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud (1/34) -pen), melalui sanad-nya dari Suryan bin Al-Hakam Ats-Tsaqafi atau Al-
Hakam bin Sufyan ia berkata, “Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam jika buang air kecil beliau
berwudhu dan memercikkan air”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam buang air kecil, lalu beliau memercikkan air pada kemaluannya”. Sedangkan Ibnu Umar
Radhiyallahu anhu beliau memercikkan air pada kemaluannya sehingga membasahi celananya.
Sebagian kawan Imam Ahmad mengadu kepada Imam Ahmad bahwa ia mendapatkan (kainnya) basah
setelah wudhu, lalu beliau memerintahkan agar orang itu memercikkan air pada kemaluannya jika ia
kencing, seraya berkata, “Dan jangan engkau jadikan hal itu sebagai pusat perhatianmu, lupakanlah hal
itu”. Al-Hasan dan lainnya ditanya tentang hal serupa, maka beliau menjawab, “Lupakanlah!” Kemudian
masih pula ditanyakan padanya, lalu dia berkata, “Apakah engkau akan menumpahkan air banyak-
banyak (untuk membasuh kencingmu)? Celaka kamu! Lupakanlah hal itu!”.
Penulis berkata: Ini contoh kaum salaf, dan sebaik-baiknya salaf yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi
wasalam. Barangsiapa merasa bahwa apa yang kaum salaf lakukan itu belum cukup, maka celaka lah
dia !!.
Ibn Mundzir dalam Al-Ausath berkata,
‫ذكر استحباب نضح الفرج بعد الوضوء ليدفع به وساوس الشيطان وينزع الشك به‬
Pembahasan tentang dianjurkannya memerciki kemaluan setelah wudhu agar terhindar dan terlindungi
dengannya dari was-was setan dan kebimbangan.
Lalu beliau menyebutkan berbagai hadits dan atsar yang sebagian diantaranya telah disebutkan oleh Ibn
Qayyim, dikutip pula perkataan Ibn Abbas, “…seandainya ia menemukan tempat basah (dari kainnya) ia
akan berkata, ‘Ini dari air yang saya percikkan’.”
Dan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
‫ قال أحمد « ثم يتوضأ فيه فإن عامة الوسواس منه‬.» ‫ال يبولن أحدكم فى مستحمه ثم يغتسل فيه‬.
“Janganlah salah seorang diantara kamu kencing di tempat mandinya kemudian mandi (berkata Ahmad)
atau wudhu di tempat tersebut, karena sesungguhnya umumnya ganguan was-was itu dari situ”.
Hadits riwayat Abu Daud no. 27 –ini lafazhnya, juga oleh Tirmidzi no. 21 dan Nasa’i no. 36, dishahihkan
oleh Al-Albani.
Was-was setelah kencing
Ibn Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan [kutipan dari Mawaridul Aman] menyebutkan contoh-contoh
was-was setelah kencing:
“… Dan hal itu ada sepuluh macam: As-Saltu/An-Natru (‫)السلت والنتر‬, An-Nahnahatu (‫)النحنحة‬, Al-Masyyu (
‫)المشي‬, Al-Qafzu (‫)القفز‬, Al-Hablu (‫)الحبل‬, At-Tafaqqudu (‫)التفقد‬, Al-Wajuru (‫)الوجور‬, Al-Hasywu (‫)الحشو‬, Al-
Ishabatu (‫)العصابة‬, Ad-Darjatu (‫”)الدرجة‬.
Adapun ‫ السلت‬yaitu ia menarik (mengurut) kemaluannya dari pangkal hingga ke kepalanya. Memang ada
riwayat tentang hal tersebut, tetapi haditsnya gharib dan tidak diterima. Dalam Al-Musnad dan Sunan
Ibnu Majah dari Isa bin Yazdad dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, ‘Jika salah seorang dari kamu buang air kecil, maka hendaklah ia menarik (mengurut)
kemaluannya sebanyak tiga kali’.” Mereka berkata, “Karena dengan as-saltu dan an-natru (keduanya
bermakna menarik/mengurut, dalam hal ini mengurut kemaluan) maka akan bisa dikeluarkan sesuatu
yang ditakutkan kembali lagi setelah bersuci.” Mereka juga berkata, “Jika untuk itu memerlukan berjalan
beberapa langkah, lalu ia lakukan, maka itu lebih baik.”
Adapun ‫( النحنحة‬berdehem) dilakukan untuk mengeluarkan (air kencing) yang masih tersisa.
Demikian juga dengan ‫القفز‬, yang berarti melompat di atas lantai kemudian duduk dengan cepat.
Sedangkan ‫ الحبل‬yaitu bergantung diatas tali hingga tinggi, lalu menukik daripadanya kemudian duduk.
‫ التفقد‬yaitu memegang kemaluan, lalu melihat ke lubang kencing, apakah masih tersisa sesuatu di
dalamnya atau sudah habis
‫ الوجور‬yaitu memegang kemaluan, lalu membuka lubang kencimg seraya menuangkan air ke dalamnya.
‫ الحشو‬yaitu orang tersebut membawa sebuah alat untuk memeriksa kedalaman luka yang dibalut dengan
kapas (mungkin juga lidi atau sejenisnya yang dianggap aman), lalu lubang kencing itu ditutup dengan
kapas tersebut, sebagaimana lubang bisul yang ditutup dengan kapas.
‫ العصابة‬yaitu membalutnya dengan kain.
‫ الدرجة‬yaitu naik ke tangga beberapa tingkat, lalu turun daripadanya dengan cepat.
‫ المشي‬yaitu berjalan beberapa langkah, kemudian mengulangi bersuci lagi.
Syaikh kami (Ibn Taimiyah – pen) berkata, “Semua itu adalah was-was dan bid’ah.” Saya (Ibn Qayyim
-pen) kembali bertanya tentang menarik dan mengurut kemaluan (dari pangkal hingga ke kepala
kelamin), tetapi beliau tetap tidak menyetujuinya seraya berkata, “Hadits tentang hal tersebut tidak
shahih.”
Dan air kencing itu sejenis dengan air susu, jika engkau membiarkannya maka ia diam (tidak mengalir),
dan jika engkau peras maka ia akan mengalir. Siapa yang membiasakan melakukannya maka ia akan
diuji dengan hal tersebut, padahal orang yang tidak memperhatikannya akan dimaafkan karenanya. Dan
seandainya hal ini Sunnah, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam serta para sahabatnya lebih dahulu
melakukannya. Sedangkan seorang Yahudi saja berkata kepada Salman, “Nabimu telah mengajarkan
kepada kalian segala sesuatu sampai dalam masalah khira’ah (buang air besar).” Salman menjawab,
“Benar!” (Diriwayatkan Muslim). Lalu, adakah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan hal-
hal di atas kepada kita?.
Islam itu Mudah
Ibn Qayyim menyebutkan pula: Keterlaluannya orang yang senantiasa was-was termasuk tindakan
berlebih-lebihan adalah melakukan sesuatu secara ekstrim (melampaui batas) padahal Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang diutus dengan agama yang mudah telah memberi kemudahan di dalamnya.
Di antara kemudahan itu adalah berjalan tanpa alas kaki di jalan-jalan, kemudian shalat tanpa membasuh
kakinya terlebih dahulu.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami tidak berwudhu karena menginjak sesuatu.”
Dan dari Ali Radhiyallahu Anhu, bahwasanya ia menceburkan dirinya di lumpur hujan, kemudian masuk
masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua kakinya terlebih dahulu.
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu ditanya tentang seseorang yang menginjak kotoran manusia, beliau
menjawab, “Jika kotoran itu kering maka tidak mengapa, tetapi jika basah maka ia harus membasuh
tempat yang mengenainya.”
Abu Asy-Sya’sya’ berkata, “Suatu ketika Ibnu Umar berjalan di Mina dan menginjak kotoran ternak serta
darah kering dengan tanpa alas kaki, lalu beliau masuk masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua
telapak kakinya.”
Ashim Al-Ahwal berkata, “Kami datang kepada Abul Aliyah, kemudian kami meminta air wudhu. Lalu
beliau bertanya, ‘Bukankah kalian masih dalam keadaan wudhu?’ Kami menjawab, ‘Benar! Tetapi kami
melewati kotoran-kotoran.’ Ia bertanya, ‘Apakah kalian menginjak sesuatu yang basah dan menempel di
kaki-kaki kalian?’ Kami menjawab, Tidak!’ Dia berkata, ‘Bagaimana dengan kotoran-kotoran kering yang
lebih berat dari ini, yang diterbangkan angin di rambut dan di jenggot kalian?”.
Ibn Qayyim menyebutkan pula: “Sesuatu yang menurut hati orang-orang yang terbiasa was-was tidak
baik adalah shalat dengan memakai sandal, padahal ia merupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam kepada para sahabatnya, beliau melakukan hal yang sama, juga memerintahkannya.
Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat
dengan kedua sandalnya. (Muttafaq Alaih).
Syaddad bin Aus berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Selisihilah orang Yahudi,
sesungguhnya mereka tidak shalat dengan memakai khuf dan sandal mereka”.
Imam Ahmad ditanya, “Apakah seseorang shalat dengan memakai kedua sandalnya?” Beliau menjawab,
“Ya, demi Allah.”
Sedangkan kita melihat orang-orang yang terbiasa was-was, jika ia shalat jenazah dengan memakai
kedua sandalnya, maka ia akan berdiri di atas kedua tumitnya, seakan-akan berdiri di atas bara api,
bahkan hingga tidak shalat dengan keduanya”.
Berlebihan menggunakan air
Ibn Qayyim menyebutkan pula: Berlebih-lebihan dalam penggunaan air termasuk di dalamnya berlebih-
lebihan dalam penggunaan air wudhu dan mandi.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dengan sanad hasan, demikian seperti dijelaskan dalam
Al-Muntaqa An-Nafis dari hadits Abdillah bin Amr, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
berlalu di samping Sa’d yang sedang berwudhu, maka beliau bersabda, ‘Jangan berlebih-lebihan (dalam
penggunaan air).’ Ia bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah berlebih-lebihan dalam (penggunaan) air (juga
terlarang)?’ Beliau menjawab, Ya, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir’.”
Dan dalam Al-Musnad serta As-Sunan dari hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, ia
berkata, “Seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya tentang
wudhu. Lalu beliau memperlihatkan padanya tiga kali-tiga kali seraya bersabda, ‘Inilah wudhu (yang
sempurna) itu’, maka siapa yang menambah lebih dari ini berarti ia telah melakukan yang buruk,
melampaui batas dan aniaya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, dari Jabir ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, “Telah cukup untuk mandi satu sha’ air (-/+ 4 mud) dan untuk wudhu satu mud air (- 2
liter)”.
Dalam Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu Anha disebutkan, “Bahwasanya ia mandi bersama Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dari satu bejana yang berisi tiga mud (air) atau dekat dengan itu.”
Abdurrahman bin Atha’ berkata, “Aku mendengar Sa’id bin Musayyib berkata, ‘Saya memiliki rikwah
(tempat air dari kulit) atau gelas, yang berisi setengah mud atau semisalnya, aku buang air kecil dan aku
berwudhu daripadanya, serta masih aku sisakan sedikit daripadanya’.”
Abdurrahman menambahkan, “Hal itu lalu kuberitahukan kepada Sulaiman bin Yasar, kemudian ia
berkata, ‘Ukuran yang sama juga cukup untukku’.”
Abdurrahman juga berkata, “Hal itu kuberitahukan pula kepada Abu Ubaidah bin Muhammad bin Amar
bin Yasir, lalu ia berkata, ‘Demikianlah yang kami dengar dari para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam’.” (Diriwayatkan Al-Atsram dalam Sunannya).
Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Mereka (para sahabat) sangat merasa cukup dalam hal air daripada kalian.
Dan mereka berpendapat bahwa seperempat mud telah cukup untuk wudhu.” Tetapi ucapan ini terlalu
berlebihan, karena seperempat mud tidak sampai satu setengah uqiyah’ Damaskus.
Dalam Shahihain disebutkan, Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berwudhu dengan
satu mud, dan mandi dengan satu sha’ hingga dengan lima mud.”
Dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq berwudhu dengan sekitar setengah mud atau
lebih sedikit dari itu.
Muhammad bin Ijlan berkata,
‫الفقه في دين هللا إسباغ الوضوء وقلة إهراق الماء‬
“Paham terhadap agama Allah (di antaranya ditandai dengan) menyempurnakan wudhu dan
menyedikitkan penumpahan air.”
Imam Ahmad berkata, “Dikatakan, pemahaman seseorang (terhadap agama) dapat dilihat pada
kecintaannya kepada air.”
Al-Maimuni berkata, “Aku berwudhu dengan air yang banyak, lalu Imam Ahmad berkata kepadaku, Wahai
Abul Hasan! Apakah kamu rela seperti ini?’ Maka aku serta-merta meninggalkan (dari penggunaan air
yang banyak).”
Akibat was-was
Ibn Qayyim menyebutkan pula: Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari hadits Abdillah bin
Mughaffal, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan ada
dalam umatku kaum yang berlebih-lebihan dalam soal bersuci dan berdoa.”
Jika Anda membandingkan hadits diatas dengan firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raaf: 55).
Dan Anda mengetahui bahwa Allah mencintai hamba yang beribadah kepada-Nya, maka akan muncullah
kesimpulan bahwa wudhunya orang yang was-was, tidaklah termasuk ibadah yang diterima Allah Ta’ala,
meskipun hal itu telah menggugurkannya dari kewajiban tersebut, dan oleh sebab itu tidaklah akan
dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan karena wudhunya agar ia bisa masuk darimana saja ia
suka.
Di antara kejelekan lain dari was-was yaitu orang yang bersangkutan terbebani dengan tanggungan air
yang lebih dari keperluannya, jika air itu milik orang lain, seperti air kamar mandi (umum). Ia keluar
daripadanya dengan memiliki tanggungan atas apa yang lebih dari keperluannya. Lama-kelamaan
hutangnya semakin menumpuk, sehingga membahayakan dirinya di Alam Barzah dan ketika Hari Kiamat.
[akhir nukilan dari Mawaridul Aman].
sumber = http://rumahku-indah.blogspot.com/2009/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_19.html

27/11/2014 18:39

Nuzul Dianperdana

Hukum Seputar Air


Allah memuliakan air
dَ ‫ت َوٱأۡل َ ۡرضَ ڪَا َن َتا رَ ۡت ۬ ًقا َف َف َت ۡق َن ٰـ ُهمَا*ۖ َوجَ عَ ۡل َنا مِنَ ۡٱلمَآ ِء ُك َّل َش ۡى ٍء حَ ىٍّ *ۖ أَفَاَل ي ُۡؤ ِم ُن‬
)٣٠( ‫ون‬ ِ ‫“ أَ َو َلمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ َك َفر ُٓو ْا أَنَّ ٱل َّسم َٰـ َوٲ‬Dan apakah orang-
orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al Anbiya 30)
Hukum asal air itu suci dan mensucikan
air hujan ‫ِّت ِب ِه اأْل َ ْقدَا َم‬ ِ ُ ‫ان َولِ َيرْ ِب َط عَ َل ٰى ُقل‬
dَ ‫وب ُك ْم َو ُي َثب‬ َ ‫إِ ْذ يُغَ ِّشي ُك ُم ال ُّنعَ اسَ أَ َم َن ًة ِّم ْن ُه َو ُي َن ِّز ُل عَ َل ْي ُكم مِّنَ ال َّسمَا ِء مَا ًء لِّي َُطهِّرَ ُكم ِب ِه َوي ُْذهِبَ عَن ُك ْم ِرجْ َز ال َّشي‬
ِ ‫ْط‬
Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan
dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya
telapak kaki. (QS. Al-Anfal: 11)
air laut suci, “dari abu hurairah, Rasulullah bersabda ” air laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (hr
ahmad,malik,abu dawud,nasai dan tirmidzi) air telaga dan air dari matair juga suci , dari abu said al khudri
bolehnya berwudhlu di telaga budh’ah2 dimana darah haid dan bangkai anjing dan segala sesuatu di
buang kedalamnya air itu suci tidak dinajisi oleh sesuatupun” (abu dawud dan tirmizi)
At thohur : air suci mensucikan
dua kondisi yg mengeluarkan dari kondisi sucinya
ketika air bercampur dg satu atau brp material benda sampai pada kondisi tidak bisa disebut lagi air
karena hilangnya salah satu sifat air,dimana campuran yang baru sudah tidak bisa disebut dg air lagi
terdapat nash syara yg mengecualikan ,misal : hadits dua qullah Pembagian Air pemahaman para fuqaha
:
air thahur air thahir air najis air musta’mal air yg sudah digunakan suci mensucian musta’mal tetap suci
musta’mal najis Akan tetatpi faktanya hanya Ada 2 saja:
1.Air thahur:
Bahwa selama air itu sebagai air (yakni namanya air dan hakikatnya memang air) jika tercampur dengan
benda yang suci tetapi tidak sampai meniadakan namanya,tidak merubah sifat dan
karakteristiknya,warna dan bau,maka ia tetap air suc yang mensucikan. Jika ada air yg tercampuri
dengan maateri lain dan mendominasi sampai berubah nama,sifat,rasa dam merubah namanya maka
dikeluarkan dari pembahasan air disini. Maka tidak ada yang namanya Air suci tapi tidak mensucikan.
2. Air Najis :
Pendapat Para Ulama :
bependapat pada keumuman dalil, jika ada air yang tercampur dengan benda najis tapi tidak merubah
sifat airnya tetap air itu suci ada pentakhsisan dengan ukuran 2 qullah, jika air kurang dari 2 kulah dan
tercampur benda najis, terkategorikan air najis walau tidak merubah sifat air Menetapkan ukuran Air yg
dianggap banyak,yang diasumsikan tidak terpengaruh jika najis masuk kedalamnya sepuluh hasta kali
sepuluh hasta, ketika ujung digerakkan ujung yang lain tidak bergerak- abu hanifah dll
Pendapat yang kami anggap kuat dan rajih adalah pendapat nomor 2, yaitu menetapkan ukuran 2 qullah.
Sesuai hadits Riwayat Abdullah bin umar : “Aku mendengar Rasulullah ketika ditanya tentang air di tanah
lapang dan air yang suka didatangi binatang buas dan hewan tunggangan, rasulullah : Jika air itu dua
qullah tidak mengandung najis (HR Ahmad, Tirmizi dan Abu dawud)
Jadi penetapan 2 qullah adalah Tauqify, dan batasan syarie.
Penerapan Hukum Air dalam beberapa fakta
Ukuran 2 qullah adalah “aku melihat qullah hajar, satu qullah itu sebanyak dua qirbah(kantong air dari
kulit) atau dua qirbah lebih sedikit “ HR Baihaqi , jadi 2 qullah itu sama dengan 5 qirbah. Dan para ahli
telah mengukur 5 qirbah itu sama dengan 12 jerigen = satu drum besar Jika air dalam wadah yang
kurang 2 qullah dan kemasukan najis dalam kuantitas yang sangat sedikit maka air itu tetap suci
mensucikan. Kemasukan Lalat, Kecoa dan binatang kecil sejenis lainya yg dimungkinkan membawa najis
Air Aajin Air yg lama tergenang, semisal air lumpur. Tetap suci mensucikan selama masih menyandang
nama air Hukum asal air itu adalah athohur, jika seseorang ragu apakah air yang dihadapanya itu najis
atau tidak maka harus menghilangkan keraguanya karena masuk ke hukum asal Tidak menerima
kesaksian seorang yg gila,anak,orang kafir orang fasiq ketika menjumpai ada air kemudian mereka
mengatakan najis. Karena kesaksian mereka tidak diterima oleh syara Jika ada air terkena najis dan
hendak disucikan maka tambahkanlah air suci menjadi/lebih 2 qullah, asalkan sifat dan karakteristiknya
masih air, air menjadi suci
bersambung ke Air Musta’mal InsyaAllah …

27/11/2014 18:56

Nuzul Dianperdana

Kesimpulannya: - Jika airnya berubah (warna, bau, atau rasa) oleh najis, maka air itu menjadi najis, baik
sedikit ataupun banyak. Dan ini ijma'. - Adapun jika airnya tidak berubah (warna, bau, atau rasa) oleh
najis, maka para ulama berbeda pendapat sebagaimana yang kami sampaikan. InsyaAllah nanti akan
dibahas pada hadit 4.
Adapun pertanyaan antum yang kedua, menurut salah satu riwayat dr Imam Ahmad, air najis yang telah
hilang najisnya, baik hilang dengan sendirinya, atau dengan menambahkan air lebih banyak, atau dengan
treatment tertentu, maka air tersebut menjadi suci. Baik air tersebut sedikit ataupun banyak.
Alasannya, berdasarkan kaidah fiqh, bahwa hukum itu beredar sesuai dengan ada tidaknya 'illah
(alasan). Satu-satunya 'illah (alasan) najisnya air adalah adanya perubahan oleh sesuatu yang najis.
Selama ada perubahan oleh suatu najis, maka air tersebut menjadi najis. Dan jika najis itu hilang (illah
nya sudah tidak ada lagi), maka air tersebut menjadi suci kembali.

27/11/2014 18:57

Nuzul Dianperdana

Adapun menurut madzhab Hanabilah (yang berpendapat bahwa air dibawah dua kullah akan menjadi
najis manakala terkena najis, walaupun tidak mengubah bau, rasa, atau warna), menyatakan bahwa :
Jika air tersebut di bawah dua kullah, maka cara satu-satunya untuk menjadikannya suci adalah dengan
menambahkan air (sehingga melebih dua kullah) sampai sifat air (bau, rasa, atau warna) kembali seperti
semula. Jika airnya pas dua kullah, maka dua cara untuk menjadikannya suci, 1. menambahkan air lebih
banyak, 2. najis tersebut hilang dengan sendirinya.
Adapun jika air tersebut melebihi dua kullah, maka sama dengan riwayat Imam Ahmad di atas, yaitu
dapat suci dengan tiga cara, 1. hilang dengan sendirinya, 2. menambahkan air lebih banyak, 3. Dengan
menguras (treatment tertentu), sehigga yang dominan di dalam air adalah yang tidak terkena najis.
Wallahu a'lam.

27/11/2014 18:57

Nuzul Dianperdana

Pendapat ulama lain (Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, dll)
menyatakan bahwa air tidak menjadi najis manakala najis tidak mengubah salah satu dari tiga sifat (bau,
rasa, atau warna), walaupun airnya sedikit.


27/11/2014 18:59

Nuzul Dianperdana

"Para ulama ijma' bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna,
atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis)"
Jadi kalau airnya berubah, maka itu ijma' bahwa air tersebut menjadi najis, baik banyak ataupun sedikit.
Pernyataan kalau air tersebut terkena najis, tapi tidak mengubah bau, rasa, atau warna, maka ini
berbeda: Para ulama berbeda pendapat jika air tersebut sedikit. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
air yang sedikit akan menjadi najis manakala terkena najis (walaupun tidak mengubah rasa, bau, atau
warna). Dan sedikitnya air menurut Imam Abu Hanifah adalah jika air tersebut digerakkan pada satu sisi,
maka sisi ujung di sebelah air tersebut juga ikut bergerak.
Adapun pendapat Imam As Syafi'i dan Hanabilah, sedikitnya air itu di bawah 2 kullah.

 Forum Kajian Ilmiah - FKI

Berikut ini kami cantumkan makalah dan hasil diskusi FKI-FUQAHA yang ke II (18 Semtember 2013) yang
diselenggarakan di Kampus Universitas Darul 'Ulum As Syar'iyyah Hudaedah, Yaman.

STUDI ILMU USHUL FIQH:


SEJARAH, PENGERTIAN, MANFAAT DAN
TOPIKALITASNYA DALAM ISTINBAT (MENCIPTAKAN) HUKUM

A. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH


Ushul Fiqh bukanlah ilmu yang baru lahir pada zaman sekarang ini, akan tetapi ushul fiqh adalah ilmu yang sejak
dulu sudah ada semenjak adanya ilmu fiqh . Ushul Fiqh dan Fiqh adalah ilmu yang memiliki ketarkaitan erat dalam
menjalin hubungannya dan tidak bisa dipisahkan. Ushul Fiqh dapat di ibaratkan seperti sebuah pabrik yang
mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh. Akan tetapi ilmu fiqh lebih dulu pembukuannya
dari pada ilmu ushul fiqh, mulai dari penataan, kaidah-kaidah, peruntutan masalah sampai penertiban dalam bab-
babnya .

1. Masa Nabi Muhammad Saw


Pada zaman Rasulullah Saw dan juga para sahabat, ilmu ushul fiqh sudah ada dan dipraktekkan dalam penggalian
hukum syar’i (istinbat hukum), namun belum terbukukan seperti saat ini, karena pada masa itu Rasulullah Saw tidak
membutuhkan kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh dalam menetapkan suatu hukum, karena semua permasalahan dapat
dikembalikan dan diatasi langsung oleh Rasulullah, karena beliau merupakan mufti seluruh umat sekaligus penjelas
dan pembawa hukum-hukum Allah Swt. Adapun sumber hukum yang menjadi landasan Rasulallah Saw dalam
berrfaftwa adalah al-Qur’an dan Sunnah-sunnahnya. 
Pasa zaman dahulu, Rasulullah juga melakukan ijtihad ketika tidak ada penjelasan al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu
kesan atau bukti bahwa Rasulullah melakukan ijtihad, yaitu beliau melakukan peng-qiyasan terhadap peristiwa yang
dialami oleh Umar bin Khattab ra ketika beliau bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah hari ini saya telah
berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal saya sedang berpuasa.” Lalu Rasulullah
bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa?.”
Lalu Umar menjawab “Hal seperti itu tidak apa-apa.” Kemudian Rasulallah bersabda “maka tetaplah kamu
berpuasa .” Peristiwa ini merupakan bukti bahwa semenjak zaman Rasulullah, ilmu ushul fiqh sudah ada dan di
praktekan langsung oleh beliau dengan para sahabatnya dalam mengatasi suatu masalah hukum-hukum syariat
islam tanpa membutuhkan pembukuan atau kaidah-kaidah ilmu itu sendiri, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat-ayat al-Qur’an (asbabul nuzul), sebab-sebab turunnya al- Hadist (asbabul wurud) serta cerdas dalam
memahami kandungan makna al-Qur’an, karena mereka memiliki pengetahuan yang luas terhadap bahasa al-Qur’an
yaitu bahasa arab.
2. Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah Saw maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum-hukum islam adalah para
sahabat. Pada masa ini banyak sahabat yang melakukan ijtihad ketika muncul suatu masalah yang tidak ditemukan
nash-nashnya dalam al-Qur’an dan Hadist, pada saat berijtihad para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah
ushul fiqh meskipun pada saat itu belum dirumuskan dalam suatu ilmu dan juga tidak perlunya pembukuan karena
kedekatan mereka terhadap Rasulullah serta kepintaran dan kejelian mereka, sehingga pembentukan serta kodifikasi
kaidah-kaidah ushul fiqh juga belum terlalu dibutuhkan .
Para sahabat melakukan ijtihadnya dalam menetapkan hukum-hukum islam dengan cara perseorangan maupun
secara musyawarah. Adapun Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah dapat di sebut dengan Ijma’
Sahabat (ijtihad jama’i). Selain itu para sahabat juga melakukan ijtihad dengan metode Qiyas (ijtihad fardi), yang
merupakan bagian dari konsep ilmu ushul fiqh . Salah satu contoh ijtihad yang dilakukan sahabat, adalah seperti
yang dilakukan oleh Ali Karramallahu wajhah, ketika menghukumi orang yang minum khomer (arak), beliau berkata:
“Apabila seseorang meminum khomer lalu mabuk, dan ketika sudah mabuk maka dia akan mengigau. Ketika
mengigau dia akan berbuat semena-mena yang melampaui batas, maka dia melakukan Qodzaf (mencemari nama
baik atau memfitnah). Oleh karena itu keharaman minum arak, selain ditetapkan dengan nash shorih baik berupa al-
Qur’an dan Sunnah, juga dikuatkan dengan kaidah Sadd ad-Zari’ah .

3. Masa Tabi’in
Setelah masa kurun sahabat beralihlah ke kurun Tabi’in. Pada kurun tabi’in yang dimulai sekitar abad II sampai III
hijriyah ini pun pembukuan ilmu usul fiqh juga belum terlalu dibutuhkan, karena para tabi’in masih bisa mengambil
teori penggalian hukum syar’i dari para sahabat nabi yang masih tersisa, disamping itu kurun antara nabi dan tabi’in
dianggap masih dekat, sehingga mereka masih bisa mempertanyakan langsung kepada para sahabat .

4. Masa Tabi’ Tabi’in


Pada masa ini, metode istinbat (penetapan) hukum semakin dibutuhkan para mujtahid. Hal ini disebabkan bertambah
luasnya penaklukan-penaklukan (al-Futuhat) yang dilakukan Khilafah al-Islamiyyah, hingga sampai ke daerah–
daerah yang di huni orang-orang non arab (ajam), yang menyebabkan beragam budaya, situasi dan kondis, serta
adat istiadat yang semakin kompleks. Sehingga munculah masalah baru yang tidak didapati penjelasannya dalam al-
Qur’an dan Sunnah .
Para Tabi’in ini melakukan ijtihadnya di berbagai daerah islam, seperti Madinah, Kufah, Basrah dan lain-lain. Dalam
menetapkan hukum-hukum islam tersebut, banyak para Tabi’in yang berbeda metodenya, sehingga terjadilah
perbedaan dan perdebatan di antara mereka, yang pada akhirnya memunculkan dua Madrasah Besar yang memiliki
keistemewaan masing-masing dalam konsep istinbath hukum. Yaitu antara madrasah Madinah yang terkenal dengan
metode “Riwayat Hadits” yang di pelopori Imam Malik dan madrasah Kuffah yang terkenal dengan metode “Ahli
Ro’yu” yang dipelopori para murid Imam Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan Hasan as-Syaibani . Selain itu pula
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa non arab ke dalam bahasa arab, baik dalam ejaan, kata, ataupun susunan
kalimat, serta tulisan maupun bacaan, yang menambah deretan fenomena yang semakin mempersulit memahami
teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh pun masih belum di bukukan dan di susun
kaidah-kaidahnya.

5. Awal Muncul Ilmu Ushul Fiqh


Perbedaan dan perseteruan dua madrasah diatas telah memunculkan perhatian khusus diantara para ulama.
Diantara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah al-Imam Abdurrahman al Mahdi (135-198 H).
Beliau meminta kepada Imam as-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip berijtihad
yang dapat digunakan sebagai pedoman secara umum. Maka lahirlah kitab ar–Risalah (Sepucuk Surat) karya Imam
as–Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh. Beliaulah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sebagai
rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini. Beliau memang pantas
sebagai Nasirus Sunnah (pembela sunnah) dan juga pencetus terciptanya ilmu ushul fiqh, karena beliau mempunyai
pengetahuan luas dan dalam tentang madrasah Ahli Hadist dan madrasah Ahli Ro’yu. Selain ar–Risalah Imam Syafi’i
juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul fiqh, seperti; Kitab Jima’ul Ilmi, Ibtholul Ihtisan dan Ikhtilaful Hadist .
Setelah munculnya kitab ar–Risalah, banyak ulama-ulama yang bermunculan membuat karya-karya ilmiah, sehingga
penyusunan ilmu ushul fiqh terbagi menjadi 3 Thoriqoh yaitu:
1. Thoriqotul Mutakallimin
2. Thoriqotul Hanafiyah 
3. Thoriqotul Muta’akhiri 
Itulah sejarah ringkas tentang bagaimana asal muasal terbentuknya ilmu ushul fiqh menjadi dalam satu cabang ilmu
tersendiri.
B. PENGERTIAN USUL FIQH
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk memahami hukum-hukum syari’at, yang
diambil dari al- Qur’an dan Hadist. Hukumnya Wajib bagi penuntut ilmu, khususnya ilmu syari’at untuk
mempelajarinya dan mengetahui bagaimana cara untuk menggali dalil dalam suatu hukum, khususnya pada zaman-
zaman modern seperti saat ini. Ushul Fiqh terdiri dari dua susunan kata, yaitu “Ushul” dan “Fiqh”. Para ulama Ahli
Usuliyyin telah menjelaskan, bahwa “Ushul Fiqh” mempunyai dua definisi yang berbeda .

1. Definisi Ushul fiqh sebelum terbentuk menjadi ilmu tersendiri .


Ushul fiqh sebelum dibentuk menjadi ilmu tersendiri dalam artian hanya berupa susunan yang saling bersandingan,
dalam istilah nahwu bisa dikatakan {‫ }تركيب اضافي‬berupa susunan dari kata “Ushul” dan “Fiqh”.
Adapaun kata “Ushul” adalah jama’ dari kata “Ashlun” secara etimologi berarti asas atau apa-apa yang menjadi
pondasi, sebagaimana yang di firmankan Allah dalam surat Ibrahim ayat 24 .
Sedangkan kata “Ushul” secara istilah mempunyai dua arti yaitu :
1. Kata Ushul bermakna Dalil , misal : { ‫ } االصل في تحريم الزنا‬asal dari keharaman zina, sebagaimana dalam firman
Allah Swt {‫“ }وال تقربوا الزنا‬Janganlah kalian mendekati zina,” dari ayat ini menunjukan bahwa kata “Ushul”
mempunyai makna “Dalil”.
2. Kata Ushul bermakna Kaidah yang tetap, misal: seperti perkataan ulama-ulama ahli nahwu : { ‫االصل في الفاعل الرفع‬
‫ “ } وفي المفعول النصب‬Asal-usul dalam Fail adalah di baca Rafa’dan Maf’ul Bieh di baca Nashab.” Dalam perkataan
ulama ahli nahwu bisa diketahui, bahwa kata “Ushul” bermakna “Kaidah yang tetap .”
Adapun kata “Fiqh” secara etimologi berarti “Faham”. Imam ibnu Faris berkata dalam kitabnya bernama “al–Mujmal”,
bahwa kata “Fiqh” adalah {‫ }العلم‬mengerti atau mengetahui, yaitu setiap mengetahui atau mengerti sesuatu disebut
“Fiqh”, sebagai mana firman Allah dalam surat at-Toha ayat : 28 .
Sedangkan “Fiqh” secara istilah adalah: Mengetahui terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah dengan
dalil-dalinya yang detail.
Maksud “Mengetahui” disini adalah mengetahui hukum syari’at yang meliputi ilmu secara yakin ataupun dzhon
(dugaan). Namun karena karakteristik dari fiqh adalah ijtihadi, maka fiqh hanya membahas hukum syari’at yang
masih praduga (dzhon). Adapun hukum yang kapasitasnya yaqin, maka tidak Masuk dalam ranah ilmu fiqh,
melainkan masuk dalam pembahasan ilmu Aqidah .
Maksud “Hukum-Hukum Syar’i” yaitu hukum-hukum agama yang ditetapkan dengan dalil-dalil Naqliyah (al-Qur’an
dan Hadist), Ijma’, ataupun Qiyas. Mengecualikan dari hukum-hukum syar’i, yaitu hukum Aqliyyah (penetapan hukum
dengan secara logika) seperti: Satu adalah setengah dari dua. Mengecualikan juga dari hukum Hissiyah (penetapan
hukum dengan memakai perasaan) seperti: Api terasa panas dan membakar. Mengecualikan juga dari hukum
Tajribah (penetapan hukum dengan cara eksperimen) seperti: Mengetahui bahwasannya racun itu mematikan. Dan
mengecualikan juga dari hukum Wadh’iyyah (penetapan hukum dengan cara determinasi) seperti: Mubtada terbentuk
dari jumlah ismiyyah dan selalu dibaca Rafa’.
Maksud “Amaliyyah” yaitu perkara yang berkaitan dengan operasional atau pekerjaan seorang Mukallaf seperti
Shalat, Zakat, Haji dan lain-lain. Mengecualikan dari pada itu yaitu perkara yang berkaitan dengan I’tiqodiyah
(keyakinan), seperti: Mentauhidkan Allah Swt atau mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka tidak dinamakan
fiqh.
Maksud “Dengan dalil-dalil yang detail (tafshiliyyah)” adalah dalil-dalil yang hanya menjelaskan masalah dan hukum-
hukum tertentu. Dalil–dalil ini diperoleh dengan cara an–Nadzar (mengamati) dan Istidlal (pengambilan dalil).
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat an–Nisa’ ayat 23 : {‫“ }حرمت عليكم أمهاتكم‬Diharamkan bagi kalian menikahi
ibu kalian.” Dalil ini secara khusus menjelaskan tentang masalah menikahi ibu, serta menunjukan hukum tentang
haramnya menikahi seorang ibu . Mengecualikan dari pada hukum tafshiliyyah, yaitu dalil-dalil Ijmaliyyah (global)
seperti: Ilmu Ushul Fiqh, begitu juga Ilmu Rasulallah Saw, karena ilmu beliau melalui wahyu yang diturunkan oleh
malaikat Jibril . 

2. Definisi Ushul Fiqh setelah terbentuk menjadi ilmu tersendiri. 


Ushul Fiqh jika dipandang sebagai nama cabang ilmu atau menjadi Laqoban (gelar atau sebutan) tersendiri, maka
kata“Ushul Fiqh” didefinisikan secara keseluruhan, dan tidak bisa dipisah-pisahkan, karena apabila dipisah-pisahkan
tidak akan menunjukan makna yang dikehendaki. Adapun definisi uhsul fiqh setelah menjadi nama cabang ilmu
adalah: Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang masih global dan cara menggunakanya serta menentukan keadaan
dari penentu hukum (mujtahid) . 
Maksud “Masih global” yaitu: Kaidah-kaidah umum yang tidak membahas masalah secara khusus seperti kaidah {
‫“ }أالمر للوجوب‬Perintah menuntut atas kewajiban”, atau {‫“ }ألنهي للتحريم‬Larangan menuntut atas keharaman”
Maksud “Cara menggunakanya” yaitu cara menyimpulkan hukum ketika dalam suatu nash terdapat kontradiksi
(ta’arudh), atau terdapat kalimat yang masih mutlaq, muqayyad, mujmal ataupun umum. Dengan memahami metode-
metode ushul fiqh, maka mujtahid akan mampu mengambil kesimpulan hukumnya.
Maksud “Keadaan dari penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid. Mujtahid dinamakan penentu hukum
karena dia dapat menentukan sendiri hukum-hukum dari dalil-dalinya sehingga sampai ketingkatan ijtihad. Adapun
mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad serta hukumnya dan semisalnya akan dibahas lebih lanjut dalam bab
syarat mujtahid dan mufti.
Dalam pembahasan uhsul fiqh, sangat diperlukan peranan ilmu-ilmu lain untuk memahami kaidah-kaidah ushul fiqh
dalam menentukan hukum-hukum syar’i, seperti Ilmu Kalam (ilmu yang membahas tentang ketuhanan dan
kenabian), Ilmu Nahwu (Tata Bahasa), Ilmu Tafsir, Ilmu Hadist. Tanpa dibantu ilmu-ilmu tersebut pembahasan ushul
fiqh tidak akan menemui sasarannya.

C. MANFA’AT UHSUL FIQH


Ilmu Ushul Fiqh merupakan ilmu yang sangat berguna dan bermanfaat dalam perkembangan syari’at islam, sebagai
kebutuhan untuk menangani masalah hukum-hukum islam yang tidak ada dalam al–Qur’an dan Hadist, khususnya
pada masa-masa saat ini. Adapun kegunaan atau manfaat ushul fiqh adalah sebagai berikut:
Dengan ushul Fiqh, ilmu agama akan lebih hidup dan berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
zaman sekarang. 
Dengan ushul fiqh, ilmu pengetahuan agama tidak akan terasa jumud 
Dengan ushul fiqh, seseorang dapat mengatasi problem-problem dalam hukum syari’at yang tidak ada dalam al–
Qur’an dan Hadist
Dengan ushul fiqh, seseorang dapat memformulasikan hukum-hukum dalam fiqh
Dengan ushul fiqh, orang dapat menjadi mujtahid dan akan terhindar taqlid buta, kalau tidak dapat menjadi mujtahid,
bisa menjadi Muttabi yang baik (orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu.

D. TOPIKALITAS USHUL FIQH DALAM ISTIMBAT SUATU HUKUM


Dalam menciptakan suatu hukum, ushul fiqh merupakan topikalitas yang sangat penting dalam membentuk suatu
kaidah-kaidah hukum syari’at dari sumbernya yaitu al–Qur’an dan Hadist, yang diformulasikan menjadi hukum fiqh.
Adapun topikalitas dalam pembahasan ilmu ushul fiqh meliputi :
Membahas bentuk –bentuk dan macam macam hukum seperti Hukum Taklifi (wajib, sunnah, mubah,makruh, haram)
dan Hukum Wadhi’ (sabab, syarat, mani’, illat, shah, batal, azimah, dan rukhsah).
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenai hukum (mahkum fihi). Apakah perbuatan itu sengaja atau tidak,
dalam kemampuanya atau tidak, menyangkut hubungan manusia atau tuhan, atau dengan kemauan sendiri atau
dipaksa dan sebagainya.
Masalah suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum alaih), apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa
sudah cukup syarat taklif atau tidak padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyyah atau bukan.
Membahas sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia
(awarid muktasbah) dan keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia (awarid samawiyah).
Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’, dan taqlid: Meliputi kedudukan ro’yu dan batas-batas pengunaanya, fungsi dan
kedudukan ijtihad, syarat–syarat mujtahid, bahaya taqlid dan lain sabagainya.
Masalah Adillah Syar’iyyah yang meliputi; pembahsan al–Qur’an, as–Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab,
Sadzahabus Shahabi, al–‘Urf, Syar’u Manqoblana, Sadduz Zari’ah, Maqoshidus Syari’ah.
Masalah Istimbath dan Istidlal meliputi; makna Dzahir Nash, Takwil dalalah lafadz, Mantuq dan Mafhum yang
beraneka ragam, ‘Am dan Khos, Muthlaq, Muqoyyad, Nasihk, Mansukh dan sebagainya. 

E. KESIMPULAN
Setelah menjelaskan sejarah singkat tentang semua keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa ilmu fiqh dan ushul
fiqh telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu,
tetapi metode-metode yang telah digunakan untuk menetapkan suatu hukum pada saat itu telah mengadopsi teori
dan konsep ushul fiqh yang berdasarkan al–Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Ilmu Ushul Fiqh dikodifikasikan pada masa
Imam Syafi’i, dengan karyanya yang berjudul ar-Risalah (sepucuk surat). Setelah masa Imam Syafi’i banyak karya–
karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu menandakan bahwa perkembangan ilmu Ushul fiqh sangat pesat
pada masa itu. Dan dalam definisi Ushul fiqh Ulama mebagi menjadi 2 definisi.
1. Definisi ushul fiqh sebelum terbentuk menjadi Ilmu tersendiri
2. Definisi ushul fiqh setelah terbentuk menjadi Ilmu tersendiri
Selain itu ilmu ushul fiqh sangat penting dan bermanfaat sekali untuk mengatasi hukum –hukum islam yang tidak
terdapat dalam al –Qur’an dan As – Sunnah, khususnya pada zaman–zaman sekarang ini. Dalam Ilmu Ushul Fiqh
terdapat topikalitas yang harus dipahami, agar dapat mengetahui bagaimana cara menggali hukum –hukum syari’at
dari sumbernya… Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA:

1. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, DEPAG Republik Indonesia.


2. Tarikh at-Tasyri’ Islami, karya Muhammad as-sayis, Dar Al-Kutub, Beirut Lebanon.
3. Bulugus Shul, karya Yahya Bin Umar Ad Dhorir, Duraihimi, Yaman.
4. Ilmu Ushul Fiqh, karya Muhammad Abu An-Nur Zuhair, Maktabah Al – Ahariyah, Kairo, Mesir.
5. At–Ta’siiss Fi Ushulil Fiqh ‘Ala Dhauil Kitab Wassunnah, karya Musthofa bin Muhammad, Maktabah Islamiyah.
6. Al–Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Karya Abdul Kariem Zaidan, Ad-Dar Al–Islamiy, Oman, Ordon.
7. Minhaj Al-Wushul fi Ilmi Ushul, Karya Nashiruddin Al-Baidhowi, Daru Ibnu Hazim, Arab Saudi.
8. Syarah Mandzumah Al-Waraqat, karya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki.
9. Ghoyah Al-Wushul syarah Lubb Al-Ushul, Karya Zakariya Al-Anshari, Dar Ihya’, semarang, Indonesia.
10. Ushul Fiqh Islam, karya Muhammad Zakariyya Ak-Bardasi, Darustaqofah, Kairo,
Mesir.
11. Subulus Salam Fi syarhi Bulughul Maram, karya Muhammad Isma’il Amir As - Shon’ani, Darul Hadist, Kairo –
Mesir.
12. Formulasi Nalar Ushul Fiqh, Karya M. Naufal Irsyad, PPI Hudaidah.
13. KBBI (Kamus Buku Besar Indonesia).

Hudaidah, 17 September 2013 M.


Penulis,
Ahmad Najih Zaeni
Infokom FKI – FUQAHA

NB: Tulisan ini dikaji dan dipresentasikan oleh penulis dalam Forum Kajian Ilmiah – Fiqh, Ushul Fiqh dan Qawa’id
Fiqhiyyah ( FKI – FUQAHA ) pada malam Kamis 18 September 2013 M. di Kampus Darul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah
Hudaidah Yaman.

**********

Di bawah ini kami cantumkan beberapa pertanyaan yang masuk pada kajian diskusi mingguan FKI-FUQAHA (18-09-
2013), dengan judul “STUDI ILMU USHUL FIQH: Sejarah, Pengertian, Manfaat dan Topikalitasnya Dalam Istinbat
(Menciptakan) Hukum”.
1. Bisakah Rasulullah Saw dikatakan berijtihad sedangkan beliau adalah sumber syari’at itu sendiri? 
2. Apakah pada zaman sekarang telah tertutup pintu untuk berijtihad dan menghasilkan suatu hukum yang baru?
3. Sejauh mana kita bisa menghasilkan hukum dengan akal (logika)?
4. Bisakah anda menyatakan bahwa sunnah atau amalan Nabi Saw itu sesuai dengan zaman yang serba modern
ini?

Jawaban:
1. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat diantara ulama. Menurut golongan Asy-‘Ariyyah dan Mu’tazilah
bahwa nabi tidak boleh melakukan ijtihad, karena semua perkataan dan pernyataan yang keluar dari mulut nabi SAW
adalah berdasarkan atas wahyu yang turun kepada beliau baik Lafdhan Wa Ma’nan (Al-Qur’an) atau Lafdzan Duna
Ma’nan (Hadits). Sementara ijtihad merupakan salah satu metode penggalian hukum yang notabene-nya
menggunakan pemikiran akal, sedangkan nabi tidak diperkenankan menetapkan segala sesuatu dengan akal.
Pendapat kedua yang dimotori Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad mengatakan bahwa nabi boleh melakukan ijtihad, hal
ini berdasarkan ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk melakukan musyawarah “Bermusyawarahlah
kamu sekalian dalam segala urusanmu”. Sementara musyawarah sendiri adalah cara untuk mencari mufakat dalam
memutuskan suatu masalah, dan ini adalah bagian dari konsep ijtihad yang terkenal dengan Ijtihad Jama’i. Ayat ini
turun secara umum, sehingga Nabi SAW masuk dalam khithab ini. Untuk lebih jelasnya, lihat kitab An-Nafahat
Syarah Al-Waraqat hal: 92-93. Dalil lain yang menguatkan bahwa nabi boleh melakukan ijtihad adalah firman Allah
SWT berikut ini:
‫ "عفاهللا عنك لم أذنت لهم‬:‫" ماكان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في اآلرض" وقوله تعالى‬:‫" قول تعالى‬
Sehingga memandang dalil dan alasan yang dikemukakan para ulama diatas, Forum lebih condong pada pendapat
kedua yang menyatakan bahwa Ijtihad pada diri Nabi Saw hukumya Jaiz (boleh) serta semua yang di ijtihadi oleh
Nabi SAW adalah suatu kebenaran yang mutlak.
2. Tidak, tidak akan pernah tertutup pintu untuk berijtihad maupun menghasilkan hukum-hukum baru, akan tetapi
untuk melakukan semua itu seseorang haruslah mencapai tingkatan mujtahid dengan memenuhi semua persaratan-
persaratan yang sangat kompleks dan ketat. Dan untuk menggali suatu hukum juga dibutuhkan kemampuan dalam
segala hal dari semua fan-fan ilmu. Dalam masalah ini, Sayyid Alwi Al-Maliki menjelaskan secara panjang lebar
mengenai wacana Insidad Bab Ijtihad (tertutupnya pintu Ijtihad) yang saat ini ramai dibicarakan. Silahkan baca kitab
Majmu’ Fatawa Rasa’il hal: 54-55.

3. Di dalam menghasilkan suatu hukum syar’i di tetapkan dengan 2 hal yaitu : Dalil-dalil Qoth’i seperti al-Qur’an,
Hadits Mutawatir dan Ijma’ dan dalil-dalil Dzhonni seperti Hadits Ahad dan Qiyas. Mengecualikan dari hukum syar’i
yaitu Hukum Aqliyyah (akal), maka disini akal tidak mendapatkan peran dalam menghasilkan hukum syar’i akan
tetapi suatu hal yang tidak berkaitan dengan syari’at disini di perkenankan seseorang untuk memakai akal (logika)
seperti ilmu 1 ditambah 1 itu 2.

4. Sunnah-sunnah Nabi muhammad Saw itu tidaklah bertentangan dengan zaman, kondisi dan orang yang
menjalaninya. Adapun sunnah itu terbagi tiga kategori: Sunnah Mu’akkadah, Sunnah Ghairo Muakkadah dan sunnah
Fadhilah atau Zaidah. Mungkin yang dimaksud adalah kategori ketiga, bahwasanya sunnah fadhilah adalah perilaku
Nabi Saw dalam kehidupanya sebagai halnya seorang manusia biasa (sifat Jibillah) seperti makan, minum dan lain-
lainya. Dalam hal ini seseorang tidaklah di tuntut untuk melakukanya akan tetapi ketika dilakukan dengan niat untuk
mengikuti Nabi Saw dalam keseharianya maka itu lebih bagus dan kita akan mendapat pahala. Lebih jelasnya,
silahkan baca Karya Dr. Abdul Karim Zaidan dalam Ushul Fiqhnya hal: 39, Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh hal: 112.

Keputusan ini sudah ditash oleh


ketua dan dewan Pembina FKI-FUQAHA 
pada tanggal 19 September 2013. 

Editor 
Nurmansyah

01/12/2014 8:30

Nuzul Dianperdana

http://almanhaj.or.id/category/view/102/page/1

 4 Desember

04/12/2014 7:29

Nuzul Dianperdana

Apr 22, 2009 FIQH MAZHAB Syafi'i: HARGA Najis yang dimaafkan 11:37 AM BIC 8 comments
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh kepada tamu ziarah sekalian, Alhamdulillahirabbil
'alameen' alaa kulli haal, Segala puji bagi ALLAH SWT Tuhan Sekalian 'Alam ke atas segalanya, Selawat
dan salam atas Rasulullah SAW serta keluarga beliau, para sahabat, tabiin serta itba 'tabi'in. Untuk entri
kali ini, saya ingin membawakan salah satu bab kecil dari Fiqh Thaharah (Bersuci) Mazhab Syafi'i
sebagai sharing ilmu. Bagi yang tidak mengetahui, ini merupakan satu pertambahan ilmu yang
bermanfaat. Bagi yang sudah tahu pula, anggaplah kemitraan kerdil ini sebagai revision / ulangkaji atau
sekadar sebuah revisit untuk mengingat kembali hal-hal yang pernah kita pelajari. Rata-rata penganut
Mazhab Syafi'i di Malaysia, ketika sudah masuk ke dalam bab Najis ini - merekalah yang paling sensitif.
Kadangkala untuk shalat di tengah lapangan atau di tepi jalan pun sudah merasa ragu sedangkan sifat
najis langsung tidak zahir atau tidak jelas keberadaannya di situ. Sikap ini tampaknya menyebabkan
sikap pemborosan lantas ditakuti membuahkan perasaan was-was. Metode fiqh menyatakan "Keraguan
tidak dapat dihilangkan / dihapus dengan keraguan". Mungkin apa yang bakal dinaqalkan / dipindah kata
di sini bakal sulit diterima oleh beberapa dari kita, karena mungkin dirasakan pendapat itu seperti asing
dan aneh. Walau apapun, hakikatnya terserah kepada ALLAH SWT. Apa yang penting, pendapat-
pendapat para ulama 'lebih-lebih lagi di dalam Mazhab Syafi'i dapat diterapkan selama tidak ada
kontradiksi dengan Al-Qur'an dan Sunnah, apalagi di dalam Mazhab Syafi'i yang hanya membatasi suatu
hukum itu disandarkan kepada 4 sumber saja, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah, dituruti pula oleh Ijma 'dan
kemudian Qias. Metode Pengambilan / Penetapan Hukum Dalam Mazhab Syafi'i Sedikit informasi
tambahan tentang metode pengambilan hukum oleh Imam Syafi'i, beliau hanya berpegang pada 4 hal: 1.
Al-Qur'an 2. As-Sunnah 3. Ijma '4. Qias Dia tidak mengambil pendapat para sahabat sebagai sumber
mazhabnya karena dikhawatirkan kemungkinan ijtihad yang salah. Dia juga tidak beramal dengan
istihsan yang diterima oleh golongan mazhab Hanafi dan Maliki. Dalam hal mengambil istihsan ini, beliau
berpendapat "Siapapun yang melakukan istihsan berarti dia membuat syari'at". Dia juga telah menolak
Masalih mursalah dan tidak setuju menjadikan 'amal Ahlul Madinah (perbuatan penduduk Madinah)
sebagai hujjah. Maka tidak mengherankan Imam Syafi'i mendapat nama julukan "Nasir As-Sunnah" yang
berarti Asisten Sunnah. Harga Najis Yang Dimaafkan Dalam Mazhab Syafi'i Menurut pendapat ulama
Mazhab Syafi'i tidak ada najis yang dimaafkan kecuali najis-najis berikut: Najis yang tidak dapat dilihat
oleh mata yang sederhana seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing yang tidak dapat dilihat
oleh mata kasar. Ini termasuk jikalau ia percikan kencing anjing dan juga babi. Ini selagi mana zatnya
tidak jelas pada penglihatan mata kasar. Tidak perlu diteliti sejauh diperiksa dan dibelek-belek di daerah
yang dicurigai ini. Ini akan lebih menyusahkan. Sedangkan syara 'tidak membebankan sampai ke tangga
tersebut. Dari Hal Darah Harga yang sedikit dan banyak dari darah jerawat atau bintit-bintit, darah pijat,
darah bisul, darah kudis atau kurap dan nanah adalah di antara najis yang dimaafkan. Begitu juga darah
kutu babi, kutu manusia, nyamuk, agas, pijat dan sejenisnya yang terdiri dari binatang yang darahnya
tidak mengalir. Dimaafkan juga tempat berbekam dan hisapan darah, kotoran lalat, air kencing kelelawar,
kencing tidak lawas, darah isithadhah, air kurap atau kudis dan air-air bisa lain yang memiliki bau dan
yang tidak memiliki bau menurut pendapat yang azhar / kuat. Semuanya dimaafkan karena sulit
keluarnya. Ruang kemaafan yang diberikan adalah luas, selagi mana itu terjadi dengan tidak disengaja.
Misalnya, jika efek luka itu mengalir tidak disengaja maka ia dimaafkan. Tetapi ketika keropeng luka itu
digaruk misalnya sehingga menyebabkan darah mengalir dengan banyak, maka ia tidak dimaafkan dan
tidak dapat dibawa untuk shalat. Ketika berada di dalam shalat, maka batallah shalatnya itu. Namun, hal
tersebut adalah dimaafkan jika kadarnya adalah sedikit. Harga sedikit dan banyak ini adalah tergantung
pada uruf atau adat, karena tidak ada di dalam mana-man nas yang menyentuh bagaimana yang
dikatakan harga sedikit dan banyak. Ini adalah semata-mata ijtihad para ulama '. Jika dipencet jerawat,
bintit-bintit atau bisul atau dibunuh kutu atau membentangkan kain atau membawa kain yang ada najis
yang dimaafkan itu, maka yang dimaafkan adalah yang kadarnya sedikit saja karena sangat sulit untuk
keluarnya. Tidak dimaafkan kulit kutu anjing dan sejenisnya. Begitu juga dimaafkan menurut pendapat
yang azhar (lebih jelas) harga yang sedikit dari darah ajnabi selain anjing dan babi. Antara contoh darah
ajnabi adalah darah yang telah terpisah dari tubuh seseorang kemudian kembali tentang ulang. Darah
anjing dan sejenisnya tidak dimaafkan biarpun sedikit kadarnya karena hukumnya yang berat. Adalah
jelas bahwa dasar kemaafan yang diberikan kepada darah-darah lain selain anjing dan babi selama
mana ia tidak bercampur dengan darah ajnabi. Jika ia bercampur dengannya biarpun ia (yaitu darah
ajnabi) berasal dari darahnya sendiri dari bagian anggota yang lain, maka semuanya tetap tidak
dimaafkan. Efek Istinja ', Darah Sembelihan Pada Pakaian Dan Sekitar Kenajisan Tanah Dimaafkan efek
najis di tempat istinja' yang menggunakan batu bagi diri orang yang bersangkutan saja, tidak bagi diri
orang lain, sekalipun tempat itu berkeringat dan lembab, tetapi belum pindah ke tempat yang lain.
Dimaafkan juga najis yang sulit untuk dihindari pada kebiasaannya seperti tanah jalanraya yang memang
diyakini kenajisannya, dengan beberapa syarat: Najis itu tidak jelas di tempat-tempat itu Orang yang
bersangkutan telah berusaha menghindari diri darinya seperti dia tidak membiarkan ujung bawah atau
kaki pakaiannya terlepas ke bawah sehingga mencapai tanah tersebut. Najis itu tentang saat dia sedang
berjalan atau naik, bukan saat dia terjatuh ke atas tanah. Dengan itu, penentuan harga sedikit yang
dimaafkan adalah berdasarkan kondisi orang yang terlibat ketika dia tidak terjatuh ke atas sesuatu najis
itu atau tersembam mukanya ke atas najis. Maksud di sini adalah harga itu tergantung pada harga najis
yang menempel padanya, dengan syarat najis itu terlekat padanya bukan karena dia terjatuh atau terpijak
najis itu. Maknanya, ketika dia terpijak, tersembam mukanya ke atas bangku itu atau terjatuh ke atas
bangku itu, maka najis tersebut tidak dimaafkan dan menuntut seseorang itu melakukan thaharah.
Namun, di dalam kasus tanah ini apabila tidak diyakini tentang kenajisannya tetapi hanya berdasarkan
zan (berat sangkaan) saja seperti kebanyakan jalan raya, maka posisi tanah itu dan sejenisnya samalah
seperti pakaian tukang pembuat arak, pakaian anak, jagal atau tukang daging dan ikan dan juga pakaian
orang kafir yang percaya bahwa agamanya menuntut penggunaan najis, maka menurut pendapat yang
asah (lebih sah) - ia adalah suci berdasarkan asalnya. Tapi jika tidak ada sangkaan tentang
kenajisannya, maka ia dihukum bersih, sama seperti air pancuran atap rumah yang disangkanya najis
tetapi ia masih tetap dihukum bersih. Tentang pakaian tukang jagal, penjual daging dan semisalnya,
kemaafan hanyalah ke atas mereka yang bergelimang dalam kondisi tersebut setiap hari. Ini jikalau
kadarnya adalah sedikit. Misalnya, tukang jagal dan penjual daging memang akan selalu terkena
percikan darah dan sulit untuk dihindari. Beberapa jenis lagi najis yang dimaafkan dalam mazhab Syafi'i.
Dimaafkan bangkai ulat buah, ulat cuka dan keju yang terjadi dari bahan-bahan itu selama ia tidak keluar
dari dalamnya, yang kemudian dimasukkan kembali ke dalamnya sesudah ia mati, dan selama mana ia
tidak merubahkannya. Dimaafkan juga * Al-Infihah (yaitu sejenis bahan berbentuk enzim yang digunakan
sebagai penggumpal dalam pembuatan keju. Zaman sekarang ini dikenal dengan beberapa nama yaitu
pepsin, rennet atau whey) yang digunakan untuk keju, serta alkohol yang digunakan di dalam obat-
obatan dan berbagai jenis pewangi Dimaafkan juga asap kotoran (najis yang dibakar), uap air najis yang
jatuh atau menitik dengan sebab api, roti yang dipanaskan atau yang ditanam di dalam abu najis biarpun
sebagian menempel pada roti itu. Juga dimaafkan pakaian yang disidai di atas dinding yang dibangun
dari abu najis karena sulit untuk menghindarinya. Dimaafkan tahi burung yang ada di atas tanah lapang
atau di atas tanah jika sulit untuk dielakkannya yang tidak disengaja berjalan di atasnya kecuali karena
terpaksa seperti itu menjadi tempat jalur yang harus dilalui, dan di kiri kanannya tidak ada rumput yang
lembab. Dimaafkan bulu najis yang sedikit yang bukan dari anjing dan babi, misalnya bulu kucing, kelinci,
dan yang selainnya. Dimaafkan juga bulu yang banyak dari binatang yang ditunggangi karena sulit untuk
menghindarinya. Ini adalah selama bulu tersebut bukan berasal dari babi atau anjing atau anak dari
keduanya atau salah satunya dengan binatang lain. Jika bulu tersebut berasal dari binatang-binatang ini,
maka tidak dimaafkan meskipun sedikit. Dimaafkan juga: Efek cacahan (tato) Tahi ikan yang ada di
dalam air selama mana ianya tidak mengubah sifat air itu. Darah yang masih ada pada tulang atau
daging. Air liur yang keluar dari usus seorang pasien yang sedang tidur. Tanah dan kotoran yang terkena
kepada diri pengembala atau sopir. Tahi binatang yang termasuk ke dalam susu yang diperah dari itu
selagi tidak berubah keadaan susu tersebut dan kuantitas najis tersebut adalah sedikit. Kasus ini
kemungkinan terjadi ketika diperah susunya, dan pada saat yang sama ia terkencing dan dilibas-libaskan
ekornya, sehingga ada sedikit serpihan atau percikan darinya sehingga termasuk ke dalam labu susu
perahan tersebut. Tahi atau kencing binatang yang terkena biji-bijian ketika ia menginjaknya. Ini mengacu
pada konteks di mana binatang seperti sapi atau kerbau digunakan untuk memecahkan biji padi atau
jerami atau lainnya. Efek tahi binatang berkaki empat yang bercampur dengan tanah. Najis yang terkena
madu lebah. Apa yang dimaksudkan di sini adalah kebiasaannya sarang lebah terbuat dari tanah dan
juga sedikit kotoran binatang sepeti tahi sapi. Maka madu itu dapat digunakan dan kenajisannya adalah
dimaafkan. Kenajisan mulut anak ketika memberi susuannya atau ketika mengucupnya. Penutup Dari
kemitraan ini, saya mengharapkan agar ada manfaatnya kepada tamu ziarah sekalian. Setidaknya
mungkin terobati kemusykilan-kemusykilan yang timbul. Saya sangat menyarankan agar pembaca
sekalian untuk merujuk kembali kepada ustaz, tok guru atau orang alim lain yang arif tentang hal ini. Saya
tidak mendorong pembaca hanya mengambil pendapat-pendapat di sini tanpa merujuk kepada guru,
ditakuti pembaca keliru dalam memahami pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan di atas. Namun,
apa yang dinaqalkan di sini semuanya bersifat transparan / direct / blakblakan dan bahasanya telah
disederhanakan untuk memudahkan pembaca untuk memahaminya. Semuanya telah disampaikan tanpa
kiasan untuk memudahkan pemahaman pembaca. Semoga ada keberkahan dan manfaat dari ALLAH
SWT atas usaha yang Maha Kerdil ini, agar memudahkan masyarakat tentang hukum-hukum Islam
terkait Fiqh Thaharah ini serta ruang lingkup kemaafan yang luas di dalam Islam, bersandarkan Fiqh
Mazhab Syaf'ie yang diamalkan umum penduduk Malaysia dan Asia Tenggara. Wallahua'lam. Referensi:
Kitab Fiqhul Islami Wa Adillatuhu Al-Juz 'Al Awwal / Fiqh Dan Hukum Islam Jilid 1 susunan Dr Wahbah
Zuhaili, Dalam Bab Harga Najis Yang Dimaafkan: Mazhab Syafi'i, halaman 155-157. Terbitan Dewan
Bahasa Dan Pustaka Cetakan 1997. Kuliah Agama Fiqh Thaharah Ustaz Azhar Idrus dengan judul kuliah
"Penawar Lalat". * Istilah Al-Infihah: Konsultasikan Munir Ba'alBakkiy, Al-Maurid cetakan 1997 dan
Majalah Ummat no. 39, 20 April 1998, halaman 77. Ibn 'AbdiLLAH As-Sarawaki, 9.10pm, Selasa, 21 April
2009, Bintulu, Sarawak. Posted in: artikel, info, umum 8 KOMEN: Anonymous said ... sala ... saya nak
Tambahan dukungan hadis kenapa darah itu najis May 31, 2009 at 5:50 AM Anonymous said ...

04/12/2014 7:48

Nuzul Dianperdana

Was-was Jangan-jangan Bekas Dijilat Anjing


Mon, 16 December 2013 21:40 - 948 | thaharah Assalamu'alaikum, ustadz
Saya ingin bertanya mengenai hukum air bekas minuman anjing? Apakah termasuk najis saja atau
termasuk najis berat juga?
Misalnya ada genangan air, kemudian anjing minum di air genangan tersebut yang memang tidak
mencapai 2 qullah. . apakah air genangan tersebut menjadi najis berat semuanya?
Hal ini sangat membuat saya khawatir jika melewati air genangan, karena ada kemungkinan air tersebut
sudah diminum ataupun terkena najis anjing.
Terima kasih, ustadz..
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Istilah 'najis berat' itu asalnya memang dari najis air liur
anjing, dimana Rasulullah SAW secara tegas memerintahkan untuk mencucinya tujuh kali salah satunya
dengan tanah. Dikatakan najis berat, karena agak berat untuk mensucikannya bila dibandingkan dengan
pensucian najis-najis lainnya.
Ada banyak hadits tentang air liur anjing ini, salah satunya diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab
Shahihnya :
ِ ‫ت أُوالهُنَّ ِبال ُّترَ ا‬
‫ب‬ ٍ ‫َطهُو ُر إِ َنا ِء أَحَ ِد ُك ْم إِ ْذ َولَغَ فِي ِه اَ ْل َك ْلبُ أَنْ ي َْغسِ لَ ُه سَ ْبعَ مَرَّ ا‬
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sucinya wadah air kalian yang
diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim)
‫ إِ َذا َش ِربَ ال َك ْلبُ فيِ إِ َنا ِء أَحَ ِد ُك ْم َف ْلي َْغسِ لُ ُه سَ بْعً ا‬Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW
bersabda’Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali". (HR.
Bukhari dan Muslim)
Tidak ada khilafiyah di antara ulama tentang najisnya air liur anjing ini. Dan juga tidak ada khilafiyah
bahwa cara pensuciannya harus dengan tujuh kali pencucian, salah satunya dengan tanah.
Yang jadi titik khilafiyah apakah selain air liurnya juga ikut najis juga. Katakanlah keringat, kulit, badan,
daging, dan susunya, apakah juga ikut najis sebagaimana air ilurnya.
Berhati-hati Dengan Najis VS Paranoid Najis
Kalau kita secara langsung melihat ada anjing menjilati (minum) genangan air di jalan, dimana genangan
air itu sedikit jumlah airnya tidak sampai dua qullah, maka kita bisa pastikan bahwa genangan air itu pasti
najis.
Dan karena pernah melihat kejadiannya, bisa saja seseorang merasa khawatir, jangan-jangan genangan
air yang lain pun juga sempat dijilati anjing. Kekhawatiran itu memang manusiawi.
Tetapi kalau sudah sampai memastikan dengan segala keyakinan bahwa semua genangan air pasti
dijilati anjing, maka cara berpikir seperti ini sudah termasuk paranoid. Sikap ini sudah bukan lagi sikap
berhati-hati dalam beragama yang dianjurkan, tetapi malah justru termasuk berlebih-lebihan dalam
agama, yang hukumnya haram.
Apa buktinya bahwa semua genangan air di dunia ini pasti pernah dijilat anjing? Adakah bukti-bukti
otentik yang bisa dijadikan landasan kesimpulannya?
Secara nalar dan logika hukum, kita tidak boleh menetapkan hukum sesuatu kalau baru dilandasi dengan
asumsi dan keragu-raguan. Hukum itu harus dibangun di atas pijakan yang kokoh, landasan yang kuat
serta dalil yang teruji.
Para ulama fiqih seringkali menyebutkan satu kaidah penting :
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh.
Implementasi dari kaidah ini bahwa pada dasarnya air dan tanah itu suci, bahkan keduanya Allah SWT
ciptakan justru untuk digunakan bersuci. Kita berwudhu dan mandi janabah menggunakan air, dan kita
tayammum dan mensucikan najis mughallazhah dengan menggunakan tanah. Intinya, kesucian air dan
tanah adalah hukum asal.
Air dan tanah tidak akan berubah menjadi najis, kecuali lewat ada hal-hal lain yang membuatnya menjadi
najis. Namun hal-hal lain itu harus diketahui secara pasti dan terbukti secara empiris. Tanpa adanya
bukti, maka hukumnya harus tetap dengan hukum asal, yaitu suci.
Dalam kaidah lainnya disebutkan :
‫اليقين ال يزول بالشك‬
Hukum yang dibangun di atas sesuatu yang yaqin, tidak gugur dengan datangnya rasa ragu (syak).
Kesucian air dan tanah dibangun di atas sesuatu yang yaqin, yaitu firman Allah SWT di dalam Al-Quran
dan sabda Nabi SAW di dalam hadits. Maka kesucian air dan tanah ini bersifat yaqin, tidak bisa berubah
menjadi tidak suci hanya dengan munculnya keragu-raguan (syak).
Apa yang dimaksud dengan keragu-raguan ini?
Keragu-raguan itu adalah sebuah perasaan di dalam hati, yang didahului dengan lafadz : 'jangan-jangan'.
Karena pernah melihat anjing menjilati air genangan, lalu muncul rasa was-was,"Jangan-jangan semua
genangan air pernah dijilat anjing".
Rasa was-was itu adalah keraguan, bukan fakta dan bukan keyakinan. Sebagai sebuah keraguan, rasa
was-was itu benar. Tetapi sebagai dasar keyakinan, rasa was-was itu sama sekali belum bisa mengubah
hukum dasar, bahwa air genangan itu suci. Karena rasa was-was bukan fakta hukum, bukan dalil, dan
bukan keyakinan.
Maka secara hukum, kita haram memvonis bahwa semua air genangan di tanah itu sebagai air najis.
Tetapi bila kita melihat langsung ada anjing yang melakukannya, barulah boleh kita simpulkan bahwa air
itu najis. Tetapi hanya sebatas genangan yang kita lihat saja, sedangkan genangan-genangan yang lain
hukumnya TETAP TIDAK NAJIS.
Bolehkah Berhati-hati Karena Muncul Rasa Ragu?
Asalkan kita tidak mengatakan semua genangan air pasti najis, maka merasa ragu dan kemudian
menghindari diri dari terkena percikan air genangan itu boleh-boleh saja.
Namun sifatnya hanya untuk diri sendiri, tidak boleh berkampanye dan koar-koar kepada khalayak bahwa
semua air genangan di tanah pasti najis.
Misalnya ada seseorang terkena cipratan air genangan di tanah, lalu timbul rasa ragu di dalam hatinya,
jangan-jangan air itu pernah dijilat anjing, lalu dia mencucinya tujuh kali, maka perbuatan itu boleh saja
dilakukan. Tetapi dia tetap tidak boleh membuat hukum bahwa air itu pasti najis, selama tidak pernah
melihat langsung anjing yang menjilati airnya.
Lalu tindakannya mencuci tujuh kali itu, apa artinya?
Sebenarnya tidak ada artinya, kecuali memuaskan syahwat paranoid kenajisannya yang rada berlebihan.
Artinya, kalau pun dia tidak mencuci tujuh kali, hukumnya tidak haram. Shalat dan ibadahnya tetap sah.
Cuma kalau masih ngotot ingin mencuci tujuh kali, tentu tidak ada yang bisa melarang. Namanya saja
paranoid, maka objektifitas cara berpikirnya agak kurang bekerja baik. Asalkan dia tidak memerintahkan
atau mewajibkan hal itu kepada orang lain. Kalau mau jadi paranoid silahkan saja, tetapi jangan ajak-ajak
orang untuk jadi paranoid juga.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah Fiqih Indonesia

Hakikat Was-was
dan Pengobatannya
32

Februari 24, 2009 oleh Huruf

10 Votes
WAS-WAS, kata tersebut disebut dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali. Dua kali dalam
bentuk fi’il madhi (kata kerja yang sudah berlalu), yaitu dalam surat al-A’raf ayat 20
dan surat Thaha ayat 120. Dua kali dalam bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja yang berlaku
sekarang dan yang akan datang), yaitu dalam surat Qaf ayat 16 dan surat an-Nas ayat
5 dan sekali dalam bentuk isim mashdar (kata benda), yaitu dalam surat an-Nas ayat
4.

Dalam surat al_a’raf dan Thaha, Allah SWT menceritakan kembali kepada kita (ummat
Muhammad saw) tentang was-was syetan yang telah menimpa Bapak – Ibu kita, Adam
dan Hawa alaihiwassalam. Dengan was-wasnya, Iblis atau syetan telah berhasil
mengeluarkan Adam dan Hawa dari surga. Dengan sangat liciknya ia berpura-pura
menjadi sosok yang baik sebagai ‘penasihat spiritual’ dan ahirnya Adam dan Hawa
terpedaya. Setelah sadar keduanyapun segera bertaubat kepada Allah SWT. Dan Allah
SWT pun menerima taubat keduanya. (lihat surat al-A’raf ayat 20-23).

Sedangkan dalam surat Qaf dan surat an-Nas, Allah mengingatkan kita agar senantiasa
waspada dengan was-was syetan yang mengintai diri kita, sebagai keturunan anak-
cucu adam ‘alaihissalam’. Waspada agar was-was syetan tidak selalu hadir dan
mempengaruhi kehidupan kita dengan berlindung kepada Allah SWT. Melalui dzikir,
do’a dan wirid harian, pagi dan sore. Begitu juga saat was-was syetan hadir, hanya
kepada Allah semata, kita memohon bantuan dan pertolongan. Bukan kepada antek-
antek syetan, dukun dan orang pinter dan orang sejenis mereka.WAS-WAS SYETAN
ADA DUA MACAM
Was-was syetan dalam kehidupan manusia ada dua macam. Was-was dari dalam dan
was-was dari luar. Was-was dari luar itu datangnya dari syetan. Syetan datang
kepadanya kemudian menimbulkan was-was atau membisikkannya. Rasulullah saw
bersabda, “Salah satu dari kalian bisa saja didatangi syetan seraya bertanya
kepadanya, ‘siapa yang menciptakan kamu?’ Maka dia menjawab, ‘Allah’. Lalu syetan
bertanya lagi, ‘siapa yang menciptakan Allah?’ Apabila salah satu diantara kalian
mendapati hal itu pada dirinya, hendaknya ia berkata, ‘Saya beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya’. Ucapan itu akan menghilangkan (was-was) tersebut. (HR. Ahmad dan
disahihkan al-Albani).
Sedangkan was-was dari dalam juga bisa disebabkan oleh syetan. Was-was jenis ini
pernah dialami oleh salah seorang Rasulullah saw yang bernama Utsman bin Abil ‘Ash.
Dia menceritakan venomena was-was syetan yang ada dalam dirinya melalui hadits
berikut.

Utsman bil Abil ‘Ash bercerita: “ketika Rasulullah saw menugaskan ke Thaif, aku
mengalami suatu gangguan dalam shalatku. Sehingga aku tidak tahu shalat apa yang
sedang aku laksanakan. Ketika aku menyadari gangguan tersebut aku segera pergi
menemui Rasulullah saw (di Madinah). Beliau bersabda: ‘Ibnu Abil ‘Ash?’. Aku
menyahut:’Ya, wahai Rasulullah!’. Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu datang
kemari?’. Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah aku mengalami suatu gangguan dalam
shalatku, sehingga aku tidak tahu shalat apa yang aku laksanakan’. Rasulullah
bersabda, ‘itulah syetan, mendekatlah kemari’.

Maka akupun mendekat kepadanya, dan aku duduk di atas kedua telapak kakiku.
Rasulullah memukul dadaku dengan tangannya, dan meludahi mulutku seraya berkata,
‘keluarlah musuh Allah!’. Beliau melakukan hal tersebut tiga kali, kemudian
mengatakan, ‘sekarang lanjutkanlah tugasmu!’ Utsman berkata, “Demi Allah, setelah
itu saya tidak pernah mengalami gangguan lagi”. (HR. Ibnu Majah, dan Imam al-
Haitsami dalam kitab az-Zawaid menyatakan sanad haditsnya sahih dan perawinya
terpercaya). Dari sabda Rasulullah saw, “keluarlah musuh Allah”, kita bisa memahami
bahwa syetan tersebut telah berada dalam diri Utsman bin Abil ‘Ash. Sehingga
Rasulullah saw menyuruhnya keluar dari dalam jasad Utsman bil Abil ‘Ash.

Pemahaman itu diperkuat oleh sabda Rasulullah saw dalam riwayat shahih lainnya,
“Sesungguhnya syetan mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah.” (HR
Muslim). Dalam riwayat lainnya, “Adapun menguap itu datangnya dari syetan, maka
hendaklah seseorang menahannya selagi bias. Apabila ia berkata hah…, berarti syetan
tertawa dalam mulutnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Dua hadits di atas
memberitahukan bahwa syetan bias masuk ke tubuh manusia melalui peredaran darah
atau melalui mulut saat menguap dan tidak ditutup.

BAHAYA WAS-WAS
“Was-was adalah biang kejahatan, sangat kuat pengaruhnya dan sangat luas dampak
negative yang ditimbulkannya.” Begitulah Ibnul Qayyim menggambarkan bahaya was-
was pada diri manusia dalam kitab tafsirnya.

Banyak sekali bahaya was-was diantaranya:

1. Menjerumuskan manusia dalam kemaksiatan.

Apabila yang bersangkutan tidak segera menepisnya. Sudah banyak kejadian yang
menghebohkan suasana dan membelalakkan mata kita. Ada orang yang kita kenal
sebagai orang baik-baik, pendiam dan tidak banyak ulah. Lalu tiba-tiba terdengar berita
bahwa orang tersebut telah melakukan kemaksiatan atau tindakan criminal. Seorang
pemimpin pesantren melakukan pelecehan seksual pada muridnya sendiri. seorang
bapak menodai anaknya sendiri. seorang ulama’ besar terjerumus dalam kasus bau
mistik dan sarat syirik. Pejabat pemerintah yang selama ini dikenal baik, tiba-tiba
sekandalnya terkuak. Kejadian demi kejadian itu terjadi dengan begitu cepatnya dan
membuat kita terpana.

Was-was syetan yang bisa menjungkirbalikkan kondisi manusia dalam sesaat juga
pernah dialami oleh dua orang sahabat Rasulullah saw dari kaum Anshar. Menurut
Ibnul Athtahr, nama kedua sahabat itu adalah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr,
inilah cerita langsung dari istri Rasulullah saw yang bernama Shafiyyah binti Huyai.

Ketika Rasulullah melakukan I’tikaf , pada suatu malam Shafiyyah mendatanginya


untuk membicarakan sesuatu. Lalu aku bangkit dan mau pulang, Rasulullah juga
bangkit dan mengantarkanku. Rumahku berada di rumah Usamah bin Zaid. Tiba-tiba
lewatlah dua orang Anshar. Ketika keduanya melihat rasulullah saw, keduanya
mempercepat langkahnya. Lalu Rasulullah saw bersabda, ‘Berhenti!’ Yang bersamaku
adalah Shafiyyah binti Huyai’. Keduanyapun mengucapkan, ‘Maha suci Allah, wahai
Rasulullah…’. (Rasulullah memotong ucapan keduanya) dengan sabdanya,
“sesungguhnya syetan mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Saya
khawatir kalau (syetan itu) telah membisikkan yang negative kepadamu, atau berkata
sesuatu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ya, sebelum keduanya berprasangka negative terhadap Rasulullah saw dan seorang
wanita yang lagi bersamanya, Rasulullah saw menjelaskan duduk perkaranya, bahwa
wanita itu adalah istrinya sendiri, Shafiyyah. Karena melihat langkah keduanya yang
dipercepat, Rasulullah saw khawatir kalau keduanya telah diberi was-was oleh syetan
(bisikan negative), lalu berburuk sangka kepada Rasulullah saw. Karena syetan itu bisa
bercokol dalam diri manusia, dan bisa melakukan was-was setiap waktu.

2. Mengurangi dan mengacaukan aktifitas penderitanya

Orang yang dalam hidupnya dijangkiti was-was, yang paling dirugikan adalah jadwal
aktifitasnya. Bila jadwal aktifitasnya amburadul, bisa jadi mengakibatkan kerugian
secara materi. Seharusnya dia bisa melakukan perbuatan itu lima belas menit. Akhirnya
bisa molor sampai dua jam atau tiga jam.

Kalau ada karyawan kantor yang menderita was-was dalam mengambil air wudhu
misalnya. Yang mana ia punya waktu istirahat sekitar satu jam untuk makan siang dan
shalat Dhuhur, bagi orang yang normal, proses berwudhu membutuhkan waktu tidak
lebih dari lima menit. Tapi bagi orang yang was-was, proses wudhu bisa memerlukan
waktu lebih panjang. Karena ia harus mengulang-ulang basuhan anggota badannya
saat berwudhu. Belum lagi kalau air yang tersedia habis, karena ia selalu mengulang-
ulang wudhunya.

Kalaupun ia masih punya waktu yang tersisa, maka shalatnya tidak akan tenang karena
ia harus kembali masuk kantor lagi tepat pada waktunya. Begitu juga makan siangnya,
ia tidak akan bisa menikmatinya dengan nyaman, karena harus berburu waktu. Itu
kalau karyawan biasa. Kalau dia seorang pemimpin yang harus berjibaku dengan
jadwal meeting atau pertemuan dengan relasi yang sangat padat. Tak ayal ia harus rela
melepaskan tender proyek, karena amburadulnya jadwal agendanya. Dan orang lain
akan menyerobotnya. Pernah ada seorang sopir pribadi yang datang ke kantor Majalah
Ghoib, dan ia bercerita bahwa bosnya telah memecatnya, gara-gara penyakit was-was
yang dideritanya saat berwudhu dan shalat. Sehingga ia sering telat.

3. Membuat hidup penderitanya tidak tenang


Disamping jadwal waktunya yang kacau, was-was bisa juga mempermalukan
penderitanya. Bisa kita bayangkan, kalau ada orang yang menderita was-was dalam
shalatnya, lalu ia shalat berjama’ah di mesjid besar, yang jamaahnya memenuhi
ruangan. Saat imam sudah takbir, dan makmum lainnya segera mengikutinya dengan
takbir. Kemudian mereka berusaha khusu’ dan berusaha memahami bacaan iftitah atau
al-Fatihah yang lagi dibaca.

Tiba-tiba si penderita was-was mengulangi takbir pertamanya yang dirasa tidak sah.
Lalu takbir lagi dan takbir lagi, karena merasa belum pas. Pasti ia akan menjadi tatapan
mata jamaah lainnya saat shalat usai. Majalah Ghoib pernah bertemu dengan seorang
laki-laki paruh baya, yang tidak mau lagi shalat berjamaah di masjid karena penyakit
was-was yang ia derita saat memulai shalat. Dan iapun merasa sangat tertekan dalam
hidupnya dengan kondisi yang dialaminya.

4. Mengganggu dan menyakiti hati orang lain


Kita bisa bayangkan, kalau lagi antri panjang untuk berwudhu, lalu di ujung sana,
orang yang lagi berwudhu adalah orang yang terjangkiti was-was. Durasi wudhunya
lama, airpun yang seharusnya cukup buat sepuluh orang, hanya cukup untuknya. Dan
ketika tiba giliran kita, air itu ternyata stoknya habis.

Atau ketika sedang shalat, persis di samping kita melafazhkan niat dengan diulang
berkali-kali, lalu saat takbir pun diulang beberapa kali. Pasti konsentrasi kita akan
buyar, kekhusu’an kita akan terganggu, begitu juga bacaan shalat kita.

Ibnul Qayyim pernah bercerita dalam kitabnya, bahwa ada orang yang terjangkit was-
was sedang shalat berjama’ah. Saat imam sudah takbir, orang tersebut melafazhkan
niatnya. Dan ia adalah orang yang terjangkiti was-was dalam pengucapan kalimat.
Sepertinya tidak cukup baginya untuk melafazhkan “ushalli” dengan satu kali. Ia selalu
mengulang-ulanginya.

Dan ketika ia mengucapkan lafazh “Ada-an lillahi ta’ala” (Melaksanakan karena Allah
ta’ala), dia salah mengucapkannya dengan kata, “Adza-an lillahi ta’ala” (Untuk
menyakiti Allah ta’ala). Lalu makmum yang disampingnya merasa terganggu dan
membatalkan shalatnya seraya berucap di dekat telinganya, “Wali rasulihi wa
malaikatihi wa jamaatil mushallin” (Juga menyakiti Rasul-Nya, Malaikat-Nya dan
jamaah lain yang sedang shalat). (Kitab Ighaatsatul Lahfan: 1/135).

5. Meninggalkan sunnah Rasul dan mengikuti was-was syetan

Dan inilah dampak yang paling membahayakan. Misalnya orang yang terjangkiti rasa
was-was dalam wudhunya. Ia merasa bahwa membasuh anggota wudhu dengan air
tiga kali merasa tidak cukup. Akhirnya ia membasuhnya berkali-kali melebihi yang
disunnahkan Rasulullah saw, yaitu tiga kali. Karena terjangkiti rasa was-was itu,
akhirnya terpola dalam pikirannya bahwa cara wudhu yang seperti itulah yang lebih
utama. Padahal itu adalah bentuk dari pemborosan dalam menggunakan air, walaupun
untuk berwudhu atau bersuci.

Perhatikanlah bagaimana para sahabat Rasulullah saw menjauhi penggunaan air yang
boros. Abdullah bin Umar berkata, kami dan sekelompok laki dan perempuan pernah
berwudhu (bergantian) dan membasuh tangan-tangan kami dalam satu wadah air pada
zaman Rasulullah saw. (HR. Ibnu Khuzaimah). Dan dalam riwayat lain, Amr bin Syueib
bercerita dari kakeknya bahwa, “Ada seorang arab Badui datang ke Rasulullah saw, ia
bertanya tentang wudhu. Lalu beliau memberinya contoh tiga kali tiga kali. Kemudian
beliau bersabda, “Beginilah cara berwudhu, barang siapa yang melakukan lebih dari itu,
berarti ia telah menyalahi (sunnahku), zhalim dan melampaui batas.” (HR. Ibnu
Majjah).

6. Menyeret penderitanya pada jurang kekufuran

Apabila was-was yang diderita seseorang itu adalah was-was dalam keimanan atau
akidah, maka was-was tersebut akan menjadikannya keluar dari iman dan akidah yang
benar. Inilah dampak yang paling membahayakan dan fatal. Ia bisa meragukan ke-
Esaan Allah SWT, meragukan kebenaran ayat-ayat Allah SWT. Bahkan akan meragukan
bahwa hanya Allah lah sebagai tuhan yang berhak disembah, karena ia juga mengakui
tuhan-tuhan lainnya yang disembah pengikut agama lain, dengan membenarkan ajaran
agama lain tersebut.

Maka dari itu, Rasulullah saw memberikan solusi yang tegas, apabila seseorang
mengalami was-was dalam akidah atau keimanannya kepada Allah SWT. Solusi sedini
mungkin untuk menghentikannya dan berlindung kepada Allah SWT, agar bisikan jahat
dan pikiran yang merusak itu tidak punya ruang gerak untuk menggelincirkan iman
pemiliknya.

Dalam hadits, Rasulullah saw menegaskan, “Syetan akan selalu mendatangi salah
seorang dari kalian seraya bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini?’ ‘Siapa yang
menciptakan ini?’ sampai pada pertanyaan: ‘Siapa yang menciptakan Allah?’ Barang
siapa yang mendapati dalam dirinya pertanyaan tersebut, maka berlindunglah kepada
Allah (baca isti’adzah), dan hendaklah menghentikannya (mengakhirinya)’. “(HR.
Bukhari).

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita dari penyakit was-was syetan, dan
melindungi kita semua dari dampak buruk yang diakibatkan oleh was-was, apapun
bentuknya dan darimanapun sumbernya, syetan jin atau syetan manusia. “Katakanlah!
Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari
kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke
dalam dada manusia, dari jin dan manusia (QS. An_Nas:1-6).

ALLAH BERFIRMAN, ” Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. “(QS.


An-Nas: 5). Dalam ayat tersebut, Allah SWT memberitahukan kepada kita bahwa
tempat bisikan syetan pada manusia ada di dadanya. Allah SWT telah memberikan
kemampuan bagi syetan untuk bisa masuk ke tubuh manusia, bahkan sampai
menembus hatinya. Hati merupakan bagian yang sangat fital fungsinya bagi manusia.
Kalau hati yang fital itu telah dikuasai syetan, maka pemiliknya akan menjadi mainan
syetan seperti anak kecil yang memainkan bola di tangannya.

Dalam haditsnya Rasulullah saw bersabda, “Ketahuilah, bahwa di dalam jasad ada
segumpal daging. Apabila (segumpal daging) itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya.
Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging itu
adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berikut ini uraian mengenai 6 jenis penyakit was-was:

1. WAS-WAS PEMICU KEMAKSIATAN


Allah SWT berfirman, “Tidakkah kamu lihat, bahwasanya kami telah mengirim syetan-
syetan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut mereka berbuat maksiat dengan
sungguh-sungguh?” (QS. Maryam: 83).

Banyak orang yang dalam kesendiriannya, atau dalam kesulitan yang melilitnya, setra
kesempatan yang menghimpitnya kemudian berbuat nekat. Ia menghalalkan segala
cara agar memenuhi gelora syahwatnya. Ia akan menempuh semua jalan untuk keluar
dari kesulitan, ia akan melakukan apa saja agar terbebas dari himpitan hidup.

Syetan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ia mengobral janji, memberi


harapan-harapan yang menggiurkan, menabur kenikmatan semu yang melenakan.
Akhirnya manusia terjebak, dan mengikuti bujukan syetan. Padahal kenikmatan semu
tersebut berada dalam kubangan maksiat. “Syetan itu memberikan janji-janji kepada
mereka dengan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, padahal syetan
itu tidak menjanjikan kepada mereka kecuali tipuan belaka.” (QS. An-Nisa’ : 120)

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah membeberkan kronologi syetan saat melakukan was-was


dan menghasung para hamba Allah SWT untuk berbuat kemaksiatan dan dosa. “Was-
was adalah pemicu keinginan. Disaat hati seorang hampa dan belum terbersit keinginan
untuk berbuat sesuatu, maka syetan melakukan was-was. Lalu terlintaslah dalam
benaknya untuk berbuat kemaksiatan dan dosa. Syetan mengiming-imingnya dengan
kenikmatan dan menghiasnya dengan syahwat, sehingga terbayang olehnya dan
kelezatan dan kepuasan nafsu, dan ia pun terlena dan lupa akan dampak buruk dari
perbuatan yang akan dilakukan. Segala akibat negative dan menyakitkan tertutup oleh
gelora nafsu.

Tidak ada gambaran baginya kecuali kelezatan dan buah maksiat. Sehingga keinginan
yang terlintas dalam hatinya itu menguat dan mengkristal. Syetanpun semakin sibuk
untuk memprovokasinya agar niat itu segera diwujudkan. Jika niatnya itu redup, syetan
dan tentaranya sibuk untuk mengobarkannya. Sampai ia betul-betul mewujudkan
niatnya dan melakukan dosa dan kesalahan.”(Tafsir al-Qayyim: 609).

Waspadalah was-was jenis ini, karena syetan sangat licik. Allah menceritakan bahwa
Nabi Adam dan isterinya juga pernah menjadi korban was-was ini, “Maka syetan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya
apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya. Dan syetan berkata, ‘Tuhan kamu tidak
melarangmu untuk mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” (QS. Al-A’raf: 20).

2. WAS-WAS PERUSAK IDEOLOGI (AQIDAH)

Aqidah adalah unsur yang sangat prinsip dalam kehidupan seorang muslim. Para umat
terdahulu serta sahabat-sahabat Rasulullah saw rela mempertaruhkan jiwa dan raga
mereka untuk mempertahankan aqidah yang benar. Mereka tidak silau dengan kemilau
dunia, langkah mereka tidak mundur walaupun badai permusuhan orang-orang kafir
terus datang menerpa.

Karena aqidah merupakan unsure yang vital, maka syetan pun menjadikannya sebagai
sasaran utama untuk menjerumuskan anak-cucu Adam. Iblis berkata, “Karena Engkau
telah menghukumku sesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
jalan Engkau yang lurus.” (QS. Al-A’raf : 16).

Rasulullah menegaskan kepada kita akan was-was syetan untuk merusak aqidah kita,
agar kita selalu waspada. “Manusia akan senantiasa bertanya-tanya. Sampai materi
pertanyaan adalah, “Kalau Allah yang menciptakan semua makhluk, lalu siapa yang
menciptakan Allah? Barang siapa yang menemukan hal itu pada dirinya, maka
katakanlah: “Saya telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya’. “(HR. Muslim dan Abu
Daud).

Imam al-Khattabi berkata, “Hadits tersebut menjelaskan bahwa apabila syetan


melakukan was-was (pada seseorang) dengan pertanyaan seperti itu, hendaknya ia
berlindung kepada Allah darinya, lalu mengcutnya (menghentikannya), tidak usah
diperpanjang. Karena itulah cara menghentikan was-was (syetan). Hal ini berbeda
apabila yang melakukan was-was adalah syetan manusia. Karena kita dapat
mematahkan was-wasnya dengan dalil dan argument yang kuat. Apabila argumennya
kalah, ia akan berhenti. Tapi was-was syetan itu tiada akhirnya. Bahkan bila kita beri
argument, ia malah memberi was-was lain sampai kita dibuatnya bingung. Semoga
Allah melindungi kita dari was-was jenis ini.” (Fathul Bari: 6/341).

3. WAS-WAS DALAM BERWUDHU


Was-was dalam berwudhu bisa meliputi keraguan dalam niat, mengulang-ulang dalam
membasuh anggota wudhu atau boros dalam menggunakan air.

Seseorang ulama’ fiqh, Mumammad bin’Ajlan berkata, “Orang yang mumpuni (faqih)
dalam agama Allah, akan menyempurnakan wudhu dengan sedikit menggunakan atau
menuangkan air.” Sedangkan imam Ahmad binHanbal berkata, “Termasuk tanda
kurang mumpuninya seseorang dalam agama, borosnya dia dalam mengguakan air.”
(Ighatsatul Lafhan: 1/4).

Dalam haditsnya, Rasulllah saw mengingatkan kita agar waspada dengan syetan air
yang bernama Walhan. Karena syetan ini akan selalu menebar was-was untuk orang
yang sedang berwudhu. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dalam wudhu itu ada
syetan, yang dinamakan Walhan. Maka hati-hatilah terhadap was-was air.” (HR. Ibnu
Majah).

Penulis Sarah Sunan Ibnu Majah mengatakan, “Secara bahasa Walhan itu artinya yang
hilang akalnya atau tamak untuk menguasai sesuatu. Syetan wudhu disebut Walhan,
bisa jadi karena getolnya dia dalam menebar was-was pada orang yang berwudhu.
Atau karena perbuatannya itu membuat orang yang wudhu jadi bingung dan linglung
seperti orang yang hilang akalnya. Ia tidak tahu bagaimana syetan bisa ngerjain dia,
sampai ia tidak tahu apakah air yang dituang sudah membasahi anggota wudhunya
atau belum. Atau sudah berapa kali ia telah membasuh anggota wudhunya. (Syarh
Sunan Ibnu Majah:1/34).

Abdullah bin Umar berkata, “saat Rasulullah melewati Sa’ad yang lagi berwudhu,
Rasulullah menegurnya, ‘Wahai Sa’ad, kenapa kamu terlalu boros menggunakan air?’ ia
menjawab, ‘Apakah dalam berwudhu juga ada mubadzir (boros)?’ Rasulullah bersabda,
“ya, walaupun kamu berada dalam sungai yang mengalir.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah).

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bercerita, “Saya pernah berkata pada ayahku, bahwa
saya termasuk orang yang banyak menggunakan air wudhu. Lalu diapun melarangku
untuk melakukan hal itu. Dia berkata, “Sesungguhnya dalam wudhu itu ada syetannya,
yang dinamakan Walhan.” Ayahku sering mengingatkanku tentang masalah ini dan
melarangku agar tidak boros dalam menggunakan air. Pernah dia menegurku, “Wahai
anakku, iritlah dalam menggunakan air.” (Ighatsatul Lafhan: 1/42).

4. WAS-WAS DALAM MANDI

Mandi adalah salah satu cara untuk membersihkan badan dari kotoran dan
menghilangkan bau badan. Ia juga merupakan cara sehat untuk mengembalikan
kondisi badan yang loyo, agar fresh kembali. Kalau kategori mandinya itu mandi besar,
maka tidak hanya kotoran fisik yang dihilangkan, tapi juga menghilangkan hadats
besar, seperti mandi junub atau mandi setelah berhenti keluarnya darah nifas dan haid.

Karena mandi seperti itu merupakan bagian dari ibadah, syetan juga tidak akan
membiarkan atau melewatkan momen itu begitu saja. Ia dan teman-temannya juga
melakukan was-was terhadap orang yang mandi atau bersuci. Rasululah pernah
bersabda, “Akan ada diantara umatku nanti kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci
dan berdo’a.” (HR. Abu Daud).

Was-was dalam shalat bisa terjadi dalam niatnya, atau mengalirnya air ke seluruh
tubuhnya, atau banyaknya debit air yang ia pakai mandi, sehingga ia ragu apakah air
itu suci dan mensucikan?.

Abul Faraj Ibnul Jauzi bercerita, ” Ibnu ‘Aqil pernah cerita kepadaku, bahwa ada
seorang laki-laki datang kepadanya dan berkata, ‘Apa pendapatmu jika aku mandi
besar dengan menceburkan diriku ke air berkali-kali, tapi aku masih ragu, apakah
mandiku sudah sah apa belum?’ Ibnu ‘Aqil berkata, ‘Pergilah kamu! Kamu tidak
berkewajiban untuk shalat,’ Dia bertanya keherana, ‘Bagaimana bisa begitu?’ Ibnu Aqil
menjawab, ‘Karena Rasulullah telah bersabda, “Kewajiban tidak diwajibkan bagi tiga
orang. Orang gila sampai ia sembuh, orang tertidur sampai ia bangun, anak bayi
sampai ia baligh.” Orang yang telah menenggelamkan badannya ke air berkali-kali, lalu
ia ragu apakah mandinya sudah sah apa belum adalah orang gila.” (Ighatsatul Lafhan:
1/ 34).

5. WAS-WAS DALAM SHALAT

Was-was dalam shalat dalam shalat juga pernah menimpa salah seorang sahabat
Rasulullah yang bernama Utsman bin Abil ‘Ash. Ia telah datang ke Rasulullah saw
seraya mengadu kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syetan telah hadir
dalam shalatku dan membuat bacaanku ngaco dan rancu. ‘Rasulullah menjawab,
:Itulah syetan yang disebut dengan Khinzib. Apabila kamu merasakan kehadirannya,
maka meludahlah ke kiri tiga kali dan berlindunglah kepada Allah.’ Akupun melakukan
hal itu, dan Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim).

Dan dalam riwayat lain, Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah telah
bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat, syetan akan datang kepadanya untuk
menggodanya sampai ia tidak tahu berapa rekaat ia telah shalat. Apabila salah seorang
dari kalian mengalami hal seperti itu, hendaklah ia sujud dua kali (sujud sahwi) saat ia
masih duduk dan sebelum salam, setelah itu baru mengucapkan salam.” (HR. Bukhari
dan Muslim).

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Termasuk tipudaya syetan yang banyak


mengganggu mereka adalah was-was dalam bersuci (berwudhu) dan niat atau saat
takbiratul ihram dalam shalat. Was-was itu membuat mereka tersiksa dan tidak
nyaman. Dan juga bisa mengeluarkan mereka dari garis yang telah disunnahkan
Rasulullah. Bahkan diantara mereka ada yang berfikir bahwa apa yang telah
dicontohkan Rasulullah itu tidak cukup, mereka butuh sesuatu atau amalan tambahan
untuk memantapkan niatnya. Akhirnya mereka terjerumus dalam presepsi yang salah,
kepayahan dalam pelaksanaan ibadah serta pahala yang berkurang atau malah rusak.”
(Ighatsatul Lafhan: 1/197).

6. WAS-WAS DALAM MEMBACA AL-QUR’AN

Was-was dalam membaca al-Qur’an terjadi dalam melafazkan huruf-hurufnya. Memang


kita tidak boleh sembarangan dalam membaca al-Qur’an, ada kaidah baca yang harus
kita ikuti. Allah SWT berfirman, “Dan bacalah al-Qur’an dengan perlahan-lahan (tartil).”
(QS. Al-Muzzammil: 4). Ali bin Abi Thalib menafsirkan kalimat “Tartil” dengan
mentajwidkan huruf dan mengetahui dimana harus berhenti. (Kitab Abjadul
‘Ulum:2/571). Sedangkan imam Qurthubi mengatakan, “Yang dimaksud dengan tartil
adalah membacanya dengan pelan dan jelas disertai memahami maknanya.” (Tafsir al-
Qurthubi: 19/37).
Abul Fajar Ibnul Jauzi berkata, “Terkadang iblis melakukan was-was dalam shalat
seseorang dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an. Sampai ada yang membaca al-hamdu
pada surat al-Fatihah dengan diulang-ulang. Dan ada juga berusaha keras dan sekuat
tenaga sampai keluar air ludahnya dalam mengucapkan huruf “Dhad” dalam membaca
“Ghairil Maghdubi”. Iblis telah mengalihkan perhatian mereka dari memahami makna,
dialihkan ke pengucapan huruf yang berlebihan dan melampaui kaidah baca.”
(Ighatsatul Lafhan : 1/60).

Waspadai 6 jenis was-was di atas, begitu juga was-was lainnya.jangan terpedaya oleh
rayuan syetan. “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa was-
was dari syetan, mereka ingat kepada Allah SWT. Maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya.” (QS. Al-A’raf: 201).

MENGOBATI PENYAKIT WAS-WAS

IMAM Abu Hamid al-Ghozali berkata, “Was-was itu penyebabnya ada dua. Pertama,
bodoh terhadap syari’at. Kedua, adanya kekacauan dalam akal atau pikiran. Dan
keduanya merupakan kekurangan dan aib yang paling besar dalam diri seseorang.”
(Ighotsatul Lafhan: 1 / 139).

Oleh karena itu, apapun bentuk dan macam dari was-was yang menimpa kita, kita bisa
mengikis atau menganggulanginya dengan menghilangkan dua kekurangan yang
menjadi penyebab seseorang terjerumus dalam was-was. Yaitu dengan ilmu dan ittiba’
(mengikuti) teladan kita, Muhammad Rasulullah saw.

Kebodohan hanya bisa diperangi dengan ilmu. Ilmu yang bisa mengantarkan kita
mengenal ajaran Allah SWT dan mengetahui sunnah Rasul-Nya, yaitu ilmu syari’at.
Dengan ilmu itu, kita bisa memahami apa saja yang telah dilakukan oleh Rasulullah
semasa hidupnya. Lalu kita mengikutinya dan menjadikannya sebagai imam dan
teladan yang terus diikuti.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha pengampun
lagi Maha penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

OBAT MENGATASI WAS-WAS SECARA KHUSUS


1. Was-was Akidah
1. Mengedepankan yang yakin dan mengubur keraguan.
2. Membaca isti’adzah, dan segera menghentikan pikiran yang menyeret pada
keraguan.
3. memantapkan hati dengan ucapan, “saya telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Was-was Dalam Shalat
1. Mengedepankan yang yakin daripada yang meragukan.
2. Berlindung kepada Allah SWT dengan membaca do’a Isti’
3. Merunduk dan meludah kearah kaki kiri tiga kali.
4. Kalau was-was atau keraguan datang lagi, maka lakukanlah tiga tindakan di atas
atau ulangi lagi.
5. Lalu lakukanlah sujud sahwi swbelum salam, jika sebelum salam kita teringat bahwa
ada rekaat yang kurang atau terlupakan serta kelebihan.
3. Was-was Dalam Wudhu atau Mandi
1. Bacalah Bismillah dan berlindunglah kepada Allah SWT dari was-was
2. Ikutilah etika Rasulullah saw dalam berwudhu atau mandi
3. Hindari pemborosan dalam penggunaan air
4. Kalau was-was muncul, maka segeralah tepis dan jangan diikuti.

Abu Abdillah bin Muflih al-Maqdisi berpesan, “Seyogyanya orang-orang yang berwudhu
itu menyederhanakan dua hal. Pertama, niat. Karena aku pernah melihat sebagian
orang yang ditimpa was-was, dia bersiap-siap untuk mengambil air wudhu mulai dari
awal Shubuh sampai matahari hampir terbit, karena lamanya ia dalam meyakinkan
niat.

Kedua, membasuh anggota wudhu. Ada orang yang berkumur, istinsyaq (memasukkan
air he hidung), membasuh anggota wudhu dengan mengulang-ulang sampai dua puluh
kali. Karena dia merasa bahwa apa yang dilakukannya belum sah dan tidak mengikuti
sunnah. Padahal dia telah menyalahi sunnah.” (Mushibah Akibat Tipuan Syetan : 227).
4. Was-was Dalam Membaca Al-Qur’an

1. Belajarlah baca al-Qur’an pada ahlinya secara langsung, agar tidak ada keraguan
dalam melafazhkan bacaannya.
2. Bersuci terlebih dahulu sebelum membaca al-Qur’an
3. Membaca Isti’adzah dan Basmalah
4. Tepis was-was syetan bila tiba-tiba hadir dalam membaca al-Qur’an.

OBAT MENGATASI WAS-WAS SECARA UMUM

1. Membekali diri dengan akidah yang benar dan lurus. Dengan begitu ia bisa menolak
was-was syetan dengan segala jenis tipudayanya yang licik.
2. Berpegang teguh kepada syari’at Allah SWT, berlindung kepada-Nya dengan dzikir
dan do’a.
3. Menjaga rutinitas bacaan al_Qur’an dan mempelajari sunnah-sunnah nabi-Nya.
4. Melakukan ruqyah syar’iyyah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw.

RUQYAH OBAT YANG PAS UNTUK WAS-WAS

Untuk langkah preventif agar was-was syetan tidak hadir, lakukanlah ruqyah syar’iyyah
secara mandiri. Dengan membaca dzikir atau wirid pagi dan sore serta do’a lainnya
yang sudah di ajarkan oleh Rasulullah saw. Begitu juga saat was-was telah menimpa
diri kita. Lakukanlah ruqyah mandiri, atau meminta bantuan orang lain sebagaimana
yang telah dilakukan oleh sahabat Utsman bin Abil Ash saat ditimpa was-was. Ia
meminta bantuan Rasulullah saw untuk meruqyahnya. Dan diriwayat lain ia melakukan
ruqyah secara mandiri, mengikuti apa yang telah diajarkan Rasulullah saw.

 6. najis hukmi dan was was assalamualaikum ya habibana..


saya dengar kabar bahwa habibana sedang sakit samapai dirawat di RS?
Ya Allah berikanlah kesembuhan dan kekuatan pada guru kami habib Munzir agar ia senantaiasa dalam
keadaan sehat wal afiat dan dapat melanjutkan dakwah dijalanMu ya Rabb.. Bib, saya punya pertanyaan
lagi masih seputar najis..
1. Jika najis yang ainnya sudah tidak ada lagi, baik warna, bau dan rasaya sudah tidak ada maka ia kan
dihukumi najis hukmi.. nah najis hukmi ini jika terdapat dilanatai, maka apakah ia harus dialirkan air agar
suci?
akan sangat merepotkan bib jika kita harus mengalirkan air ke lantai yang saluran pembuangan (lubang
pembuangan air) berada agak jauh.. yang ada saya malah akan menambah genangan air yang
membanjiri seluruh lantai..
maka selama ini saya berusaha mensucikan lantai yang terkena darah (misalnya), dengan mengelap
darah tersebut sampai hilang 3 indikatornya, mengelap dengan lap basah (dengan sumber air mutlak),
mengerinkannya lalu mengelap lagi dengan lap basah yang sudah dibilas dengan air mutlak lagi..
apakah sudah benar cara thaharah saya tersebut?
yang jadi pertanyaan saya sebetulnya maksud “mengalirkan” air itu bagaimana? dikucurkan, atau
dibasuh/digosok?
2. jika air yang telah dipakai mensucikan najis ain, tentulah mutannajis.. namun jika dipakai untuk
mensucikan najis hukmi, yang sama sekalai tidak ada 3 indikator najisnya, lalu air tersebut beberapa
tetesannya terciprat pada pakaian kita, apakah termasuk najis yang dimaafkan?
3. Apakah najis hukmi dimaafkan dalam shalat? karena saya pernah membaca, didalam mazhab kita
najis yang dima’fu adalah najis yang tidak terlihat oleh mata kita.. 4. Apakah najis hukmi bisa menular?
misalnya lantai yang terkena setetes air mutannajis yang tidak memiliki 3 indikator najis, telah mengering
lalu terinjak kaki yang basah? lalu kaki tersebut menginjak sajadah..
apakah sajadah tersebut duhukumi najis?? saat ini saya sedang dilanda rasa was2 yang disebabkan oleh
kedangkalan ilmu fikih saya bib..
sungguh, niat saya adalah setulus2nya untuk menjalankan syar’i yang benar agar amal ibadah saya
diridhai Allah..
namun akhir2 ini perasaan was2 ini semakin menghantui saya..
mohon bimbingannya bib..
jazzakullah Wass
Habib Munzir menjawab
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan, Saudaraku yg
kumuliakan,
1. caranya, guyurkan air pada tempat tsb maka ia telah suci, dan disapukan air itu kearah pembuangan
air sebisanya, maka telah suci dan sisa sisa air itu ma’fu (dimaafkan). 2. tidak menjadi najis jika tidak
diyakini adanya najis, misalnya begini, ada air najis dan ada air suci didepan kita, lalu ada banyak lalat
hinggap pada keduanya, dan salah satu lalat menempel ditubuh atau dibaju anda, dan terasa lalat itu
basah, maka hukumnya tetap suci selama tidak ada satu dari 3 sifat najis. 3. najis jika diyakini adanya,
jika tidak yakin maka ma;fu. 4. jika kering maka tidak menjadi mutanajis, sebagaimana kaidah fiqih Aljaaf
bil Jaaf, tohir bilaa khilaaf, yaitu kering bersentuhan dg kering, suci tanpa ada khilaf lagi, misalnya najis
kering, bersentuhan dg anggota tubuh atau apapun yg kering pula, maka tidak berpindah najis tsb, dan
yg tersentuh tetap suci.
kecuali jika salah satunya basah, maka yg menyentuhnya menjadi mutanajis Demikian saudaraku yg
kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
1.jadi sebaiknya saya menyiram seluruh lantai lalu menyerok/mendorong airnya sampai keluar rumah?
karena jika selama ini saya salah dalam cara mengepel lantai rumah, maka saat ini lantai rumah saya
pastinya dihukumi mutannajis.. begitukah bib?
Apakah tidak ada cara lain yang lebih ringan bib? seperti menyiram, lalu mengeringkan dengan lap kering
samapai airnya terserap lalu mengeringkan lantainya dengan kipas angin? 2.Apakah dalam mazhab kita
ada najis yang dimaafkan dalam shalat? seperti najis yang sangat sedikit (darah nyamuk,bisul/jerawat
dll), kalau tidak salah dalam ihya ulumuddin Imam Ghazali bahkan meringankan beberapa jenis najis
yang sulit dihindari.. fatwa mufti kesultanan Brunei yang bermazhab syafi’i bahkan meringankan percikan
air kencing yang sulit dihindari. Bagaimana ini bib? Sepertinya permasalahan hukum air dan najasah (bab
Thaharah), hanya mazhab kita yang paling ketat.. yang saya ketahui, dalam mazhab hanafi bahkan untuk
najis basah dimaafkan sampai ukuran setelapak tangan.. sedangkan najis yang mengering dipakaian
sebesar dirham. ketika saya membaca bab thaharah dalam al majmu syarah al muhadzdzab, saya jadi
merasa amat sangat sulit memenuhi kriteria thaharah yang benar dalam mazhab syafi’i.. padahal saya
sangat mencintai syar’i dalam mazhab ini..
Imam Nawawi bahkan menjelaskan bahwa imam Syafi’i tidak menganggap sah shalat yang wudhunya
membuat ia ragu, bahkan jika diperlukan maka orang yang ragu tersebut harus mandi setiap kali mau
melaksanakan shalat sampai ia yakin ia suci. hampir setiap kali buang air kecil saya menjadi paranoid,
hati2 sekali dalam beristinja.. namun kadang2 sulit sekali untuk menghindari percikan air istinja yang
menetes kedalam toilet lalu terciprat mengenai kaki kita.
sebelum saya mengetahui tentang air tergenang, saya akan dengan tenang menyiram kaki yang terkena
percikan sisa istinja itu dan lalu berwudhu.. namun setelah saya membaca dan membaca, ternyata jika
setetes percikan dikaki saya itu mutannajis (walaupun warna,bau dan rasanya tidak berubah), maka jika
ia menetes kepada genangan air dilantai, maka seluruh lantai yang tergenang air menjadi najis pula.. lalu
air untuk wudhu saya yang dari pipa ledeng itu mengalir terus kelantai lalu terciprat kesana kemari, tidak
dapat dihindari jika ada yang mengenai tubuh atau pakaian saya.. lalu jika meliat hukum air tergenang,
maka akhirnya saya harus mengganti baju dan mandi karena saya tidak dapat memastikan letak yang
terkena najis dari tubuh dan pakaian saya (kaidah harus mencuci seluruhnya jika yakin pakaian terkena
najis namun tidak jelas letak terkenanya). Karena tidak mungkin saya sholat dengan mencuci baju
tersebut (yang sebelumnya saya pakai) karena pastinya masih basah kuyup.
inilah yang sering terjadi pada saya sehingga saya bisa sampai 3 kali ganti baju dalam satu hari hanya
karena percikan air mutannajis.
lalu air yang tergenang dilantai itu bib, apa memang sudah benar pendapat saya seperti diatas?
lalu kaidah: kering bertemu kering = tidak tertular najis, basah bertemu basah = tertular najis.. jika lembab
bagaimana bib? karena sering sekali kaki saya sudah saya keset dengan handuk, namun untuk menjadi
benar2 kering agak sulit. lalu kaki saya itu menginjak lantai yang terdapat najis hukmi yang sudah kering
(dari tetesan air mencuci pakaian yang terkena najis, namun warna, bau dan rasanya tidak berubah dari
air mutlak). apakah kaki saya menjadi mutanajis? itulah sekelumit keadaan saya dari yang saya
pusingkan setiap hari.. saya merasa kehilangan kekhusyukan dalam sholat2 saya akhir2 ini, padahal
pada awalnya niat saya adalah menuju kepada kesempurnaan shalat. Namun pada akhirnya hakikatnya
tidak tercapai, malah saya semakin was-was.
saya sudah mengamalkan pengusir was-was dari syaitan dari hadits riwayat imam bukhary, berta’awuz
lalu meniup kekiri 3x, berdzikir dengan asma ya hayyul ya qayyum..
namun saya merasa ini asalnya bukan dari syaitan lagi, melainkan kecetekan saya dalam ilmu fiqh..
Wallahu alam.. lalu mengenai najis hukmi bib, bolehkah saya ambil pendapat para ulama yang
menyatakan air yang dipakai untuk mensucikan najis hukmi dihukumi musta’mal saja, bukan mutannajis?
karena dengan begitu saya dapat lebih mudah dalam perihal bersuci. saya sering menangis karena hal2
ini bib..
saya ingin dekat dengan Allah Azza Wa jalla..
saya ingin memperbanyak ibadah..
saya tidak ingin kebodohan saya dalam fiqh thaharah menghambat saya dalam beramal.. mohon maaf
kalau saya malah jadi curhat..
mohon jawaban penenangan jiwa dari habib..
Habib Munzir menjawab
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan,
Saudaraku yg kumuliakan,
1. lantai rumah anda sudah suci, diguyur saja lalu disingkirkan airnya dan selesai, tidak usah terlalu was
was saudaraku, berbuatlah semampunya, sisanya mohon maaflah pada Allah swt. 2. dalam shalat najis
dimaafkan, jika mengalir darah sekalipun tetap shalat tidak batal, asal jangan berpindah/menetes ke
anggota tubuh lain, misal darah di kepala, lalu mengalir terus sampai ke kaki, tetap shalatnya tidak batal,
yg membatalkan shalat adalah jika darahnya berpindah, misalnya dari wajah ke dagu, lalu menetes
ketangan, maka batal shalatnya, jika mengalir tanpa menetes maka tidak membatalkan shalat.
jika darah itu belum sebesar uang dirham maka dimaafkan, demikian dalam madzhab syafii, justru
saudaraku madzhab syafii adalah madzhab yg paling ringan, sebagaimana madzhab hanafi harus
berwudhu dari air yg memancur, tidak sah wudhu dari bak sebagaimana madzhab syafii.
saudaraku, yg dimaksud di majmu. nawawi itu adalah jika ia ragu sudah wudhu atau belum?, maka wajib
wudhu, namun jika ia sudah wudhu dan ragu apakah sudah batal atau belum maka tidak batal wudhunya.
anda tak perlu was was dengan air itu, air yg tidak jelas apakah ada najisnya atau tidak maka hukumnya
suci, jika ternyata ada najisnya maka ma’fu, kecuali anda temukan sifat satu dari 3 sifat najis tsb, maka
baru hukumnya mutanajis.
jika lembab saja tanpa basah maka tetap suci. saudaraku, Rasul saw bersabda : Agama ini mudah, siapa
yg mempersulitnya maka ia akan dipersulit oleh agamanya sendiri. (Shahih Bukhari). Demikian
saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
alhamdulillah.. saya jadi sedikit tenang membaca jawaban habibana..
jadi tetesan air yang telah mengalir diatas najis pun harus diyakini dulu kemutanajisannya (dalam artian
benar2 tercampur dengan najis / berubah 3 sifatnya), baru dapat dihukumi mutanajis? jika benar, maka
was2 saya hilang seketika..
lalu 1 pertanyaan lagi bib, jika satu tetes air yang kita yakini sebagai air mutananjis (walaupun tidak ada 3
sifat kenajisannya), lalu menetes ke ember yang berisi air sedikit (kurang dari 2 qullah) maka seluruh air
di ember tersebut mutlak tertular kenajisannya?
lalu apakah ember tersebut harus dibilas dengan air mengalir dari kran/ledeng? atau cukup disiram
dengan gayung, lalu menggosok2nya?
itulah bib, saya ini seorang hamba Allah SWT yang fakir, cetek ilmu, namun senantiasa ingin berada
diatas sunnah Rasulullah SAW..
hanya modal membaca buku, masih sangat perlu bimbingan dari seorang guru yang fasih seperti
habibana Munzir Almusawa..
Terimakasih banyak Bib.. Sungguh banyak sekali ilmu yang saya dapat langsung dari jawaban2 habib..
Semoga Allah SWT membalas segala amal baik Habib, melimpahkan rahmat dan kasih sayangNya pada
Habib dan keluarga.
Jazzakullah.. Wass
Habib Munzir menjawab
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan, Saudaraku yg
kumuliakan,
was was adalah dosa, tinggalkanlah was was anda, Yang Maha Mengampuni tak akan menyusahkan
hamba Nya, saudaraku saran saya mundurlah dari segala keraguan tsb, ada hal hal besar pada diri kita
yg menanti untuk pembenahan, seperti khusyu nya shalat, sempurnanya puasa, maka tenanglah dan
sejuklah saudaraku dari kerisauan anda. Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam
kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
diambil dari: http://farid.zainalfuadi.net/najis-hukmi-dan-was-was-dll/

Anda mungkin juga menyukai