Anda di halaman 1dari 14

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28

SERAT GATHOLOCO: TUBUH MENGGUGAT AGAMA


Syihabul Furqon
Program Magister Religious Studies pascasarjana UIN Sunan gunung Djati Bandung Jl.A.H Nasution 105 Cibiru,
Bandung 40614.Indonesia Email: syihabulhajj2@gmail.com

Busro
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan gunung Djati Bandung
Jl.A.H Nasution 105 Cibiru, Bandung 40614.Indonesia
Email: busro@uinsgd.ac.id
__________________________
Abstract
The new era of Islam is characterized by the interdependence of the modern world that is inaccessible to the
presence and primordiality of the full tradition. This opposition is as strong and stubborn as it is always
accompanied by criticisms of two trends: excesses to modernity or tradition. The language as an interstitial is made
very plastic and allows the thinker, the genius of his day to pour their ideas into their tendencies. Because Pakistan
holds its belief, modernity also provides its firmness through language. One of them is in a series of critical religions
and elements of vulgar erotic elements: Gatholoco. The contents of the contextual religious debate about time, this
fiber, even for the present context, can still be a new direction. Back in touch with orientation and affirmation of the
body - not abolished.

Keywords:
Critics; Tradition; Modern; Language; Body; Myth; Culture; Sufism.
__________________________

Abstrak
Era baru Islam ditandai oleh saling bertautnya antara dunia modern yang tak bisa dihalau kedatangannya dan
primordialitas tradisi yang penuh kebijaksanaan. Pertentangan ini sama kuat dan keras sebagaimana ia selalu datang
bersama kritik atas dua kecenderungan: baik akses ke arah modernitas atau tradisi. Pada gilirannya bahasa sebagai
pengantara dibuat sedemikian praktis dan memungkinkan para pemikir, jenius zamannya menuangkan gagasan
mereka kecenderungan mereka. Sebagaimana otoritas agama berpegang teguh pada keyakinannya, modernitas juga
memberikan keteguhannya melalui bahasa. Salah satunya tampak pada serat yang sarat kritik pada agama dan
sejumlah anasir pada erotisme vulgar: Gatholoco. Terlepas dari perdebatan kontekstual politik keagamaan di
masanya, serat ini, bahkan untuk konteks sekarang, masih memungkinkan sebuah arah baru. Terutama berkenaan
dengan orientasi dan afirmasi pada tubuh—alih-alih dinegasi.

Kata Kunci:
Kritik; Tradisi; Modern; Bahasa; Tubuh; Mitos; Kebudayaan; Mistisisme.
__________________________

Islam di Jawa, merupakan kajian yang


sangat menarik untuk diteliti. Sampai saat ini
A. PENDAHULUAN tak henti-hentinya para pembaca, peneliti,
Dalam tiap hal yang mapan, akan lazim pembahas terus-menerus mendiskusikan,
ditemukan kritik. Demikian halnya juga menulis pada beberapa buku yang semuanya
dengan agama, dalam hal ini terlebih agama membahas masalah ini. Hal ini juga tidak ada
Islam. Jika kita hendak berkaca pada realitas,
gerakan puritanisme yang kembali ke sumber
asal ajaran Islam, bukan lagi berita baru. kemapanan agama dan realitas eksternal terletak
pada kesukaran manusia menerima akar tradisi di
Fenomena macam itu akan banyak ditemui satu sisi dan menampik sunnah-Nya atas masa
ketika agama bertemu dengan perubah, dalam depan dengan terjerumus pada fundamentalisme dan
hal ini realitas sosial.1 modernisme. Ia sendiri mencatat bahwa, ―Islam
tradisional berlawanan dengan fundamentalisme dan
modernisme. Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi;
1
Seyyed Hossein Nasr, seorang tradisionalis di era di tengah kancah Dunia Modern, Bandung: Pustaka,
ini menegaskan bahwa paradoks pertentangan antara 1994, h. viii.
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

bedanya dengan penulis untuk melakukan Sifat-sifat konfontatif yang terjadi di dalam
kajian Islam di Jawa, dalam hal ini akan pergolakan keagamaan memang identik
diangkat kajian Islam dalam ―Serat Gatho- dengan perdebatan sebagaimana diutarakan di
loco. Gatholoco merupakan karya yang kontra- atas. Tapi yang selanjutnya harus digaris
versial, sosok dan penamaanya mendorong bawahi adalah corak signifikansinya. Mak-
orang untuk mengasosiasikan pada persoalan- sudnya, jika kita berangkat dari kritik dan titik
persoalan yang berkonotasi jelek. Sebenarnya ini, reaksi antara kedua belah pihak yang
bukan hal jorok yang dikemukakan, akan berkonfrontasi biasanya berbeda, sesuai
tetapi bagaimana orang menilainya. dengan kecenderungan masing-masing. Tapi
Dalam kasus keagamaan yang biasanya untuk kesempatan kali ini, penulis hendak
selalu susah, selain ada kritik, ada juga mengetengahkan satu corak yang sifatnya
gugatan. Kritik biasanya datang dari arah ekstrim dari garis yang dituliskan merupakan
internal, dan gugatan biasanya berasal dari garis spiritual. Yakni serat Gatholoco.
luar. Terutama kritik terhadap agama. Dalam Dari latar belakang penciptaannya, semula
sejarah peradaban Islam sendiri sejarah kritik sebagai media penyembahan dan pelaksanaan
terhadap tubuh ajaran Islam diajukan dan ajaran nenek moyang, untuk mengetahui asal
menemukan dialektikanya baik dalam bentuk usul manusia, maka diperlukan penyatuan
perdebatan kalam, fiqih, maupun filsafat. Tapi lingga-yoni, sehingga terbentuklah manusia.
di antara semua itu, yang biasanya menjadi Dan dari lingga-yoni pula manusia dilahirkan
sasaran (baca: korban/kambing hitam) adalah di dunia, atau dengan kata lain asal manusia
kaum sufi dengan sufismenya yang secara itu dari bapak-embok (bapak dan ibu).6
historis bisa dikatakan eksil dari dunia luar dan Karena itu ada beberapa pandangan yang
umum.2 menilai bahwa serat ini sarat akan muatan
Pasalnya adalah dalam sistem yang mapan, tasawuf, tentang hakekat hidup, sangkan
diperlukan sesuatu yang bisa dijadikan korban. paraning dumadi, juga tentang Manunggaling
Ini bisa kita lacak sejak dari Al-Hallaj3, Kawula lan Gusti. Karenanya, serat ini sempat
bahkan sampai pada konteks Indonesia dilarang peredarannya saat itu dan sampai
sebagaimana dialami oleh Seikh Siti Djenar. sekarang pun masih terdapat perdebatan
Ketidak sepahaman di antara kaum keagamaan panjang guna membahas serat yang juga
yang cenderung eksoteris4 dengan para
pernah dilarang oleh orde baru tersebut.
esoteris dimanfaatkan oleh penguasa untuk
diolah menjadi kepentingannya dan Menurut Wawan Susetya dalam bukunya yang
dikonfrontasikan.5 berjudul ―Kontroversi Ajaran Kebatinan
menyebutkan bahwa Serat Suluk Gatholoco
ini memang sempat dilarang oleh orde baru,
2 karena mengegerkan dalam konstelasi
Lihat bagian mengenai historisitas ini lebih lanjut
dalam Ensiklopedi Dunia Islam, Vol 4: Pemikiran dan perpolitikan di tanah air, karena menyangkut
Peradaban, Pt. Ikhtiar Baru Vanhouve: 2000. h. 139. perdebatan abadi antara kaum kebatinan
3
Lihat bagian spesifik mengenai subjek ini dalam, dengan kaum santri. Dan, penggelembungan
Annemarie Schiemmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, mengenai wacana “manunggaling kawula-
(ed. Sapardi Djoko Damono, et. al) Pustaka Firdaus:
2000, h. 16.
4
Menurut kata asalnya di dalam KBBI eksoterik
kemudian berkesinambungan dengan maksud
berarti: pengetahuan yang boleh diketahui atau
dimengerti oleh siapa saja. Akan tetapi frasa ini biasa pembahasan penulis) dapat diikuti dalam; Goenawan
digunakan dalam kepustakaan dengan tema-tema Mohamad, Catatan Pinggir, (dengan judul Gatholoco),
mistisisme, yang mana rujukan keta bagi eksoterisme Pusat Data dan Analisa Tempo: 2005. Saya kutipkan
adalah zahir dan esoterisme biasa diasosiasikan sebagai cuplikan GM mengenai subjek ini: ―Tiap sistem
batin. Sejatinya frasa-frasa ini hanya merupakan keimanan akan didatangi seorang Gatholoco—sebuah
kemungkinan bahasawi. Untuk penelaahan lebih lanjut sosok negatif. Dalam khazanah Islam di Jawa, nama
lihat Frithjof Schuon, Tasawuf: Proses Ritual tokoh ini berasal dari sebuah puisi naratif panjang yang
Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, Srigunting: kontroversial.
Jakarta, 2000, h. 25.
6
Joko Su’ud Sukahar, Tafsir Gatholoco,
5
Mengenai sifat kritik pada persoalan agama (yang Yogyakarta, Narasi, 1999, vii.

16 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

Gusti” saat itu memang menjadi polemik batan dimenangkan oleh Gatholoco. Ia mene-
panjang; ada yang toleran dan ada pula yang rangkan juga tentang hakikat wayang, dalang,
mengharamkannya! Padahal, dalam konteks kelir, blencong dan gamelan. Ketiga guru
kebatinan dan tasawuf, wacana mengenai mengaji itu akhirnya meninggalkan Gatholoco
„manunggaling kawula-Gusti‟ (ittihad, hulul) dan menuju Cepekan. Di Cepekan terdapat
sangat dikenal di masyarakat Jawa; atau yang tiga orang guru mengaji, yaitu: Kasan
biasanya disebut dengan „warangka manjing Mustahal, Kasan Besari, dan Ki Duljalal.
curiga, curiga manjing warangka‟ atau „mati Mereka ini didatangi oleh ketiga orang
sajroning urip, urip sajroning mati‟.7 guru mengaji yang kalah berdebat dengan
Gatholoco. Mereka menceritakan tentang
B. HASIL DAN PEMBAHASAN kekalahan dalam perdebatan. Gatholoco dicari
1. Sejarah dan Signifikansi Serat Gatholoco dan diajaknya ke Pondok Cepekan untuk
Serat Gatholoco sendiri merupakan karya diajak berdebat tentang ilmu sejati. Perdebatan
sastra Jawa anonim yang muncul pada awal antara Gatholoco dengan ketiga orang guru
abad 19 di jaman Mataram Surakarta. Isi teks mengaji di Pondok Cepekan berlanjut.
menceritakan perbincangan atau perdebatan Akhirnya dimenangkan oleh Gatholoco, kare-
antara Gatholoco dengan Dewi Perjiwati na mereka kalah (ketiga guru mengaji), maka
mengenai hakikat pria-wanita,8 perilaku dalam diusirlah Gatholoco dari pondok tersebut.
asmaragama dan asal terjadinya benih Pada mulanya Gatholoco tidak mau pergi
manusia. Tokoh Gatholoco digambarkan seba- kalau tidak diberi uang. Akhirnya, ia mening-
gai seorang anak raja Suksmawisesa dari galkan pondok tersebut untuk melanjutkan
kerajaan Jajarginawe yang berparas jelek pengembaraannya.
sekali. Ia mempunyai seorang hamba yang Perjalanan Gatholoco sampai di gunung
sangat setia, bernama Darmagandhul.9 Gatho- Endragiri dan bertemu dengan seorang pertapa
loco disuruh belajar oleh bapanya agar ia yang bernama Dewi Perjiwati yang didam-
memperoleh kawruh kasunyatan atau kini kita pingi oleh para emban dan cantriknya.
bisa mengatakannya sebagai Ilmu Sejati.10 Sebelum bertemu dengan Dewi Perjiwati
Diceritakan tentang tiga orang guru terpaksa harus menghadapi para emban dan
mengaji, yaitu Abdul jabar, Abdul manab, cantriknya yang mendampinginya. Para
Abdul gharib. Ketiganya amat fasih dalam emban dan cantrik tersebut memberikan teka-
membaca Al Quran, Fikih dan Nahwu. Mereka teki untuk dijawab oleh Gatholoco. Ternyata
berjumpa dengan Gatholoco dalam perjalanan, teka-teki yang diberikan dapat dijawab oleh
terjadilah perdebatan antara ketiga guru Gatholoco dengan baik, kemudian Gatholoco
mengaji tersebut dengan Gatholoco. Perde- dapat bertemu dengan Dewi Perjiwati, maka
batan meliputi tentang arti orang yang terjadilah tanya jawab. Pertanyaan yang
memiliki ilmu, haram, atau najis dan arti halal. diajukan oleh Dewi Perjiwati adalah tentang
Gatholoco memenangkan perdebatan dan arti kalimah Syahadat, arti pria-wanita dan
akhirnya mengajak mereka berteka-teki. suaimi istri. Apabila Gatholoco dapat mene-
Teka-teki Gatholoco antara lain mengenai bak dengan betul maka sebagai imbalannya
wayang, dalang, blencong, dan kelir. Dari adalah Dewi Perjiwati bersedia menjadi
keempat itu manakah yang lebih tua? Perde- istrinya. Ternyata Gatholoco dapat meme-
nangkan perdebatan tersebut sehingga Dewi
7
Wawan Susetya, Kontroversi Ajaran Perjiwati terpaksa mau menjadi istri Gatho-
Kebatinan, Yogyakarta, Narasi, 2007. 56. loco walaupun dengan berat hati. Para emban
8
Atau bisa dikatakan hakikat mengenai dan cantrik memberikan saran agar Gatholoco
vitalitas diajaknya masuk ke gua, setelah sampai di
9
dalam arti luas merupakan kebajikan dan
gandhul merupakan metafor bagi sesuatu yang dalamnya maka pintu gua segera ditutup.
menggantung. Darmagandhul, hamba setia Gatholoco
10
Bagian ini dikutip dan direproduksi ulang memperingatkan tetapi tidak dihiraukan, ia
dari laman elektronik, heritageofjava.com

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28 17
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

mengalami pingsan di dalam gua. Setelah mana-mana. Di tempat lain, Menurut Merle
sampai di luar ia baru sadar bahwa telah Calvin Ricklefs dalam Polarising Java
terjebak oleh tipu Dewi Perjiwati. Karena Society: Islamic And The Other Visions 1830-
merasa terjebak, maka Gatholoco merasa 1930, ada dua karya lainnya yang berkaitan
malu, akhirnya ia masuk kembali ingin dengan suluk ini dan juga mengajukan
berperang dengan Dewi Perjiwati. Keduanya argumen anti-Islam: Babad Kedhiri dan Serat
ternyara sama-sama sakti dan tidak ada yang Dermangandhul. Ketiganya, muncul pada
menyerah. Tidak lama kemudian lahirlah dekade tanda-tanda kebangkitan Islam di
seorang bayi dari rahim Dewi Perjiwati, baik Jawa, menyebut konversi agama Jawa ke
Dewi Perjiwati maupun Gatholoco sangat Islam sebagai kesalahan peradaban. Ricklefs
sayang melihat anak tersebut. Ia bertanya memperkirakan, satu atau lebih priyayi di
kepada Dewi Perjiwati, sebetulnya anak Kediri menyusun sebuah pandangan baru dan
siapakah bayi itu? Dijawabnya. Ia adalah anak tak lazim mengenai Islamisasi di Jawa pada
dari Gatholoco sendiri. Anak tersebut kelak awal 1870-an.
diberi ajaran tentang rukun Islam. Belum jelas benar siapa penulis Suluk
Penggunaan lain terdapat aliran kebatinan Gatholoco dan kapan persisnya dikarang.
yang menggunakan nama Gatholoco. Nama Phillipus van Akkeren, misionaris di Jawa
gatoloco juga digunakan sebagai nama kese- Timur, memperkirakan terbit pada 1830 yang
nian rakyat daerah Kedu.11 Nama itu dipakai isinya mencerminkan reaksi luas di kalangan
sebagai singkatan dari "digathuk-gathuke kelas melek-huruf di Jawa atas kegagalan total
dadine lucu", memanfaatkan kepopuleran kepemimpinan politik Islami Diponegoro.
nama Gatoloco yang dipakai sebagai judul Tapi, GWJ Drewes, seorang orientalis
suluk populer ini. Kesenian ini tidak ada Belanda, melihat kesamaan suluk itu dengan
hubungan dengan suluk, kecuali kesamaan Serat Dermagandul dan Babad Kediri–yang
nama.
menceritakan kejatuhan kerajaan ―Hindu-
Pada Februari 1872, Carel Poensen, misio- Buddha Majapahit akibat koalisi Islam yang
naris Belanda yang menghabiskan hampir 30 dipimpin Demak, sekitar 1878. Senada dengan
tahun di Kediri, Jawa Timur, mendiskusikan Ricklefs, Benedict Anderson, seorang yang
karya ini dengan beberapa asistennya, orang bisa dikatakan Indonesianis, berdasarkan
Jawa Kristen. Bagi Poensen, dari sudut deskripsi tentang madat di pedesaan Jawa
pandang sastra, karya ini kurang berharga. yang tampaknya sesuai dengan keberadaan
Tapi menilik semangatnya, penulis karya itu sistem pertanian-opium, memperkirakan tahun
menyodorkan konsepsi mengenai akhlak dan 1860 atau bahkan awal 1870-an.
kebajikan, yang sayangnya tanpa kearifan dan Suluk Gatholoco beredar dalam bentuk
kesopanan. Carel Poensen mencatat:
naskah rapi pada 1883 dan kali pertama
Bahkan ia kerapkali membuat kami muak, diterbitkan secara terbatas sebagai buku di
karena dia tak menahan diri dari melakukan Surabaya pada 1889. Ketika terbit, tak ada
hal-hal yang paling sepele untuk publikasi, reaksi publik yang bermusuhan. Namun,
dan dengan cara yang menjijikkan masuk ke respon tajam muncul ketika pada Januari
detail tentang hal-hal yang tak layak 1918, surat kabar berbahasa Jawa Djawi
disebutkan. Hiswara, organ Sarekat Islam cabang Sura-
Poensen khawatir dengan dampaknya bagi karta, menerbitkan sebuah artikel yang
pembaca. Selain vulgar, isinya mempermalu- memfitnah Nabi Muhammad sebagai pema-
kan umat Islam, orang-orang yang membawa- bok dan pemadat, berdasarkan bagian dalam
nya ke Jawa, dan ―kaum putihan yang pada Suluk Gatholoco. Sejumlah aktivis Islam yang
1870-an meperkenalkan reformasi Islam. Dia dipimpin HOS Tjokroaminoto meresponnya
pun berusaha agar karya itu tak menyebar ke dengan membentuk Tentara Kangjeng Nabi
Muhammad.
11
Kembalinya Gatoloco ke Bumi Magelang.
Artikel Suara Merdeka online, diudarakan tahun 2007.

18 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

Muncul pula kecaman dari pers pribumi, agama Jawa.14 Merasa terdesak dengan
unjuk rasa di Surabaya dan 42 lokasi di penyebaran agama Islam karena adanya
seluruh Jawa, serta desakan agar pemerintah benturan budaya di titik ini serat Gatholoco
kolonial menuntut editor Martodharsono dan bisa dikatakan merupakan bentuk pembe-
penulis artikel Djojodikoro. Tapi kontroversi rontakan yang dilakukan oleh para pujangga
itu kemudian mereda, digantikan isu lainnya, dan paham Kejawen terhadap Islam di tanah
sebagaimana kini berita mudah beralih seiring Jawa. Hal ini didukung oleh pendapat Dr.
beralihnya isu. Suyatno Kartodirjo di masa-masa penyebaran
Sejak itu, Suluk Gatholoco beredar di agama Islam, kesusastraan juga mengalami
bawah tanah (under ground). Tak ada penerbit masa keemasan.15
yang mau ambil risiko menerbitkannya; Dalam serat tersebut banyak sekali istilah-
kebanyakan takut dicap murtad atau penyebar istilah yang digunakan dalam dunia Islam
pronografi. Baru pada 1951, Philippus van sebagai perbandingan dengan ajaran Kejawen
Akkeren menerbitkan teks utuh Suluk yang dianut oleh Gatholoco. Selain itu yang
Gatholoco untuk kali pertama, lengkap dengan menjadi kontroversi lainya adalah penggunaan
terjemahan dan analisisnya. Di bawah tajuk bahasanya yang jorok dan kasar. Menurut
Een gedrocht en toch de volmaakte mens: A pendapat Djoko Adi Waluyo, pengunaan
Monster, Yet the Perfect Man, diterbitkan bahasa yang jorok dan kasar sebagai salah satu
Penerbit Excelsior di The Hague. Di Indonesia daya tarik pembaca untuk membaca serat ini,
sendiri, setahun sebelumnya, terbit Gatholotjo selain itu alasan lainnya agar dapat tersebar
oleh Tanaya (juga ditulis R. Tanojo). luas dengan cepat.16 Pendapat lain, Farid
Kemudian muncul Balsafah Gatolotjo: Mustofa, mengatakan pengunaan kata bagian--
Ngemot Balsafah Kawruh Kawaskitan karya bagian alat reproduksi manusia (alat kelamin
Prawirataruna, diterbitkan Penerbit S. Mulija, dan seks) dimaksudkan agar penyampaiannya
lebih komunikatif.17
Solo, pada 1958. Sejak 1963, berdasarkan UU
No 4/PNPS/ 1963, pemerintah melarang Suluk Hingga pada masa Orde Baru serat Gatho-
loco sempat dicekal peredarannya, karena
Gatholoco.12
dianggap dapat merusak agama Islam. Emha
Ainun Nadjib mengemukakan alasan
2. Sejarah Kelahiran Agama Djawa Sunda
mengenai pelarangan serat Gatholoco oleh
ISLAM memasuki Nusantara pada abad ke-
pemerintah saat itu. Alasannya karena di
12 atau ke-13, bahkan di abad ke-13 diperkira- Indonesia masyarakat mayoritas beragama
kan bahwa Islam telah memasuki tanah Islam, sementara serat itu tidak disukai oleh
Jawa.13 Di saat hegemoni penyebaran agama mereka. Pemerintah khawatir serat tersebut
Islam pada abad 19 ke pedalaman yang
akan menimbulkan reaksi kemarahan yang
intensif dan teratur membuat masyarakat
meluas.18
pedalaman yang sebelumnya telah mengenal
Gatholoco memiliki makna di balik nama-
agama Hindu-Budha dan telah diwarisi oleh
nya, secara keseluruhan Gatholoco yang
nenek moyang mereka keyakinan terhadap
animisme dan dinamisme yang kemudian berarti alat kelamin laki-laki. ―Gatho berarti
menjadi kepercayaan asli mereka. ―kepala, sedangkan ―Loco berarti ―alat
gosok. Ia menganggap dirinya sebagai
Ada unsur kebudayaan di dalamnya.
lelanange jagad. Gatholoto memiliki dua
Sinkretisme yang mencampurkan antara unsur
nama lain yaitu, Barangkinisik, dan Barang-
Islam dan Hindu-Budha yang saat itu masih
panglusan.19
kental, sekarang kita mengenalnya dengan

12 14
Pada bagian mengenai dinamika ini penulis Muchtarom Zaini, Santri dan Abangan di
menggunakan bahan yang diambil dari redaksi Jawa. 1988, h. 6.
15
historia.co.id, dengan tajuk artikel Kitab Lelaki Sejati. Joko Su'ud Sukahar, Tafsir Gatholoco, h. 98.
16
13 Ibid., h. 117.
Graaf dan Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan 17
Ibid., h. 105.
Islam Di Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke Mataram. 18
Ibid., h. 138.
19
Ed. Soemarsaid Moertono. 1983. Ibid., h. 17.

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28 19
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

Ketika Gatholoco beradu ilmu agama Biasanya terlebih dahulu Gatholoco


dengan lawannya, salah satu cara yang ia memancing emosi lawannya agar pikiran dari
lakukan untuk melawan argumen lawannya lawannya dapat dibuat terombang-ambing
adalah, dengan cara mengajukan cangkriman, oleh Gatholoco, setelah itu Gatholoco dapat
begitu pula dengan lawannya yang juga menguasai pikiran dari lawannya. Kekuatan
mengunakan cangkriman sebagai sarana dialog pemikiran atau daya pikir dapat dibagi ke
di antara mereka. dalam kekuatan terpendam, kekuatan rahasia,
Cangkriman dalam serat ini digunakan dan kemampuan dari kemauaan, semua
sebagai sarana dialog antar tokoh dengan kekuatan tersebut sebagai kekuatan jiwa.
tujuan beradu ilmu pengetahuan. Persoalan di Dengan kata lain Gatholoco adalah sosok jiwa
dalam cangkriman berupa susunan kalimat tersebut, hal itu tersirat dari pemikiran-
yang mengambarkan situasi dan kondisi dari pemikiranya yang ia sampaikan melalui
konsep kosmologi dan kosmogoni yang cangkriman.
dijelaskan secara abstrak.20 Cangkriman selain digunakan sebagai
Tidak sembarangan cangkriman yang sarana dialog juga berfungsi sebagai sebagai
dibuat oleh Gatholoco, karena sosok Gatho- sarana dalam menyampaikan pemikiran-pemi-
loco adalah sosok seorang yang mewakili kiran filosofis setiap tokoh yang berdebat
dirinya sebagai pribadi Jawa yang religius. mengenai ilmu pengetahuan. Dialog terjadi
Religius diartikan sebagai suatu ketaatan,
ketika mereka saling mempertahankan keyaki-
saleh, pada suatu agama, dan terkesan dengan
nan mereka masing-masing. Saat lawan
adanya kehidupan yang ada di Indonesia.21
tandingnya memberi cangkriman sesulit
Dalam serat ini diceritakan bahwa Gatholoco
sebagai sosok yang banyak mengetahui ilmu apapun, Gatholoco seakan-akan memiliki
agama Islam, tetapi ia tidak menjalankannya seribu satu kata untuk menjawabnya. Namun
sama sekali. ketika Gatholoco sendiri yang memberikan
Gatholoco hanya sebatas memahaminya, cangkriman tersebut, hampir tidak ada lawan
terbukti dari kelakuannya yang menentang tanding yang bisa menjawab cangkriman
semua jenis peraturan-peraturan yang ada di dengan benar.
Islam. Begitu pula dengan cangkriman yang Sekalipun Gatholoco telah menjawab setiap
dibuat oleh kelima istrinya. Gatholoco sebagai cangkriman yang diberikan maupun dibuatnya
sosok perwakilan dari kejawen yang lebih sendiri, kita belum tahu persis pemaknaan
mementingkan rasa. Rasa yang dimaksud yang sebenarnya, karena jawaban yang
adalah batin lebih unggul daripada yang lahir, diberikan pun masih berupa falsafah. Bila kita
rasa lebih dari yang rasio, yang halus lebih mengamati cangkriman yang dibuat oleh
dari yang kasar.22 Gatholoco maupun yang dijawab oleh
Gatholoco sebagai sosok yang memiliki sifat Gatholoto, kata-kata yang digunakan terasa
yang sulit ditebak atau berubah-ubah, dicerita- tidak biasa ditelinga kita, bahkan terkesan
kan bahwa ia terkadang bisa berperilaku tidak aneh. Adapun cangkriman dibuat sedemikian
sopan sehingga membuat kesal orang yang rupa agar adanya kekhasan. Kekhasan yang
sedang berhadapan dengannya dan bahkan ingin membuat suatu kebingungan, terkadang
bisa sangat sopan apabila ia sedang menghisap lucu, dan bahkan menimbulkan kekacauan
madat, karena membuat ia dapat mengen- dalam merumuskan jawabannya.23
dalikan perasaan dari lawan yang sedang Sebagai sosok yang terkesan tidak mengerti
berhadapan dengannya. aturan agama khususnya yang lebih banyak
dibahas di serat tersebut adalah agama Islam.
Gatholoco sering sekali diremehkan oleh
lawannya karena bentuk fisik dan penam-
20
KBBI. Abstrak adalah tidak berwujud dan tidak pilannya yang kumuh. Ketika lawannya sudah
berbentuk. h. 3. menyinggung bentuk luar atau fisik dan
21
Joko Su'ud Sukahar, Tafsir Gatholoco, h. 739.
22
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari
23
Orang Jawa. 1984, h. 114. Renggo Astuti, 1992-1993. Cangkriman. h. 15.

20 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

tubuhnya, maka Gatholoco akan mengeluarkan Fungsi kedua, mitos adalah pemberi jaminan
pemikiran-pemikirannya yang intinya tidak bagi masa kini. Dengan adanya pengetahuan
memperdulikan wadhag.24 Tidak jarang ia tentang ilmu kosmologi dan kosmogoni yang
mengunakan cangkriman sebagai senjata sama dengan ilmu astronomi yang tentunya
andalannya untuk mengungkapkan pemikiran- masih diterapkan sampai sekarang, mitos
pemikirannya yang menyinggung hal tersebut. tersebut dapat dijadikan jaminan atau bekal
Sebagai manusia biasa, Gatholoco juga untuk masa sekarang yang tentunya masih
merasa tersinggung apabila ada yang sesuai ketika diterapakan, bahkan dapat
mengolok-olok penampilannya yang kumuh, dijadikan sebagai sumber data pengetahuan.
di saat terhina seperti itulah nalarnya berpikir Perihal di atas berkaitan dengan adanya
untuk menghadapi pemahaman dari orang- fungsi ketiga dari mitos yaitu, mitos berfungsi
orang yang mengolok-oloknya. Di dalam serat sebagai pengantar antara manusia dan daya-
Gatholoco gubahan R. Tanojo, terdapat enam daya kekuatan alam.26 Hal-hal gaib tidak
cangkriman yang melibatkan Gatholoco (tokoh begitu mudah dipahami tanpa adanya rasa
utama) sebagai pemberi dan penjawab yang peka terhadap alam, Gatholoco
cangkriman, begitu pula dengan tokoh diceritakan dapat menjawab keseluruhan dan
bawahan lainnya yang memberikan cang- cangkriman yang di dalamnya terkandung
kriman kepada Gatholoco. Keenam cang- masalah kosmologi dan kosmologi karena is
kriman tersebut mempermasalahkan persoalan paham akan filsafat kejawen atau ilmu rasa.
kosmologi dan kosmogoni. Tokoh Gatholoco ingin membuktikan
Banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar kebenarannya. Kebenaran yang samar atau
mengenai kosmologi dan kosmogoni tersebut tidak jelas, hal tersebut dapat diperjelas salah
yang terangkum dalam enam cangkriman satu caranya dengan membuat mitos. Tidak
tersebut. Gatholoco sebagai tokoh dari nalar semua orang dapat memahami hal-hal gaib
dan sosok gambaran jiwa yang selalu mampu yang ada di dunia ini, sehingga manusia hanya
menjawab semua cangkriman dengan baik dan dapat memepertanyakannya saja. Di dunia ini
benar. Salah satu unsur yang menjadi dasar di kita sebagai manusia masih banyak rasa
dalam mitologi Jawa adalah adanya ungkapan keingintahuan yang timbul dari pertanyaan-
sangkan paraning dumadi, yaitu mendasari pertanyaan, sehingga membuat mitos-mitos di
berbagai pertanyaan mendasar mengenai asal dalam alam bawah.
usul alam berserta isinya.
Seperti salah satu ungkapan orang Jawa di 3. Ke Arah Afirmasi Tubuh
atas, dalam kebudayaan Jawa masih banyak Di atas persoalan bentuk argumen yang ia
kemukakan dalam mendebat lawan bicaranya,
lagi ungkapan-ungkapan yang di dalamnya
yang menarik adalah simbolisme di dalam
terdapat mitos-mitos yang dapat mempe- serat ini yang hampir seluruhnya marupakan
ngaruhi pola pikir masyarakatnya. Berikut tiga asosiasi dari pribahasa Jawa di atas. Selain itu
fungsi dan mitos menurut Van Peursen. Fungsi yang paling menarik dari serat ini adalah
pertama, mitos adalah sebagai sebuah cerita sikapnya yang kukuh mengafirmasi tubuh.27
yang memberikan pedoman dan arah tertentu Bisa jadi, jika dilacak secara antropologis,
kepada sekelompok orang.25 jenis serat ini memang merupakan representasi
Cerita dari Gatholoco ini ingin menyam- dari keadaan pengarangnya yang anonim
paikan makna-makna maupun amanat yang tersebut. Kita tahu, bahwa yang melatari
terkandung dalam falsafah hidup orang Jawa. terbentuknya sebuah karya sastra adalah
kebudayaan (dalam hal ini struktur sosial pada
24
Bausastra lawa. Wadhag adalah raga atau
badan. h. 835. 26
25
Van Peursen, Strategi Kebudayaan. 1988, h. 39. Ibid., h. 41.
27
Bandingkan dengan pemaparan Mircea Eliade, Studi lebih lanjut mengenai Tubuh dan
Sakral dan Profan: Menyingkap hakikat Agama. kebudayaan dan bahasa dalam kaitannya dengan
(Inggris: The Sacred and The Profane), Fajar kekuasaan bisa didapat dari Michael Foucault, Ingin
Pustaka Baru: Yogyakarta, 2002, h. 2. Tahu Sejarah Seksualitas, YOI: Yogyakarta, 2007.

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28 21
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

saat itu) dan selanjutnya atmosfer ajaran yang Sehingga ada distingsi yang membedakan
sedang menggejala (dalam hal ini ideologi tipologi karya sastra. Sebagaimana kini juga
tertentu).28 Dari asumsi yang ditarik tersebut, terjadi, karya sastra memiliki orientasi bebas.
bisa terlihat misalnya kecenderungan vulgar jika seorang sastrawan berdekatan dengan
yang tertera di dalam tubuh serat Gatholoco struktur politik, karya sastranya akan
ini. terpengaruhi politik dan bagi yang berada di
Bisa diasumsikan pula penulis merupakan luar lingkaran ini biasanya bernada sengit dan
seorang pujangga di satu sisi, tapi juga yang menyerang.
pola lingkungannya memungkinkan pikiran- Sikapnya yang afirmatif pada tubuh
nya dapat dituangkan dalam bentuk yang menuai kecaman karena ada dua ambivalensi
erotik dan sarkas. Ini bisa dilacak misalnya, sedang disejajarkan. Pertama, masyarakat
jika serat ini ditulis pada masa kerajaan awam, bahkan juga para intelektual mengang-
Mataram (menjelang kurun akhir) yang juga gap bahwa ajaran Islam adalah luhur, benilai
sudah diwarnai dengan ajaran Islam, dari etika tinggi dan menjaga batas-batas. Dalam
kecenderungan serat sejenis pada kurun waktu hal ini, memang bukan berarti bahwa ajaran
yang juga tak jauh dari terbitnya serat Islam tak mengafirmasi wilayah privat dan
Gatholoco ini. vulgar; karena jika ini tak dibicaran tak
Sayangnya, sebagaimana diungkapkan di mungkin dalam khazanah intelektual, dalam
atas—dan juga merupakan hasil riset— hal ini fiqih, bisa merumuskan mana yang
menunjukkan bahwa identifikasi serupa baik berkenaan dengan alat kelamin dan
kurang memungkinkan terlacak. Tapi jika persenggamaan.
tipologinya kita sebandingkan dengan zaman Bukan berarti juga tabu dalam pembicaraan
Ronggowarsito, baik itu Ronggowarsito I, II para sarjanwan muslim, yang jadi soal adalah
dan yang terakhir menulis Zaman Edan, jika ia digunakan dalam komunikasi lingual
Ronggowarsito III, menunjukan kecende- dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana
rungan yang lain sejak dari komposisi diksi yang direpresentasikan oleh serat Gatholoco.
dan bagaimana sebuah perdebatan disajikan Kedua, tendensi destruktif terasa sejak dari
dalam bentuk serat.29 awal narasi karya sastra ini karena ada asosiasi
Bahkan Buyutnya Ronggowarsito yang lingusitik dan semiotis atas nama Gatholoco.
merupakan pujangga berpengaruh penulis Ketika diungkapkan bahwa arti namanya
Serat Dewa Ruci, mempunyai komposisi adalah―kepala (penis) yang ―diloco
natratif yang benar-benar berlainan. Bisa jadi, (dikocok), maka dengan segera kita merujuk
pengaruh kevulgaran dan afirmasi pengarang pada alat vital, penis lengkap dengan
Gatholoco pada tubuh berangkat dari semacam bagaimana dengan cara ia digunakan.
kecenderungan disorder yang secara sesiologis
Porno, dalam kajian cultural studies,
tak berada di lingkungan kerajaan.
adalah memaksudkan sesuatu sebagaimana
Jika dibuat semacam peta sosial, ada adanya. Ada ketelanjangan yang disengaja
perbedaan yang mendasar antara karya sastra dari yang tadinya disamarkan. Dalam pem-
gubahan orang-orang yang berada di ling- bacaan ini, serat Gatholoco tak bisa lepas dari
kungan kerajaan dengan yang di luar. Sebagai- maksud dan tujuan pengarang. Sebagaimana
mana penelitian Geertz menyatakan bahwa ada dikemukakan dalam bagian signifikasni serat
sistem kasta dalam sosiologi-antropologi orang Gatholoco di atas, tercium bahwa serat ini
Jawa yang telah mengakar dan membudaya. dituli dengan gaya vulgar dan sarkas supaya ia
bisa diterima secara luas dan menyebar
28
Nyoman Kutha R, Antropologi Sastra; peran dengan segera. Dalam hal ini, kesengajaan
unsur-unsur kebudayaan dalam proses kreatif, Pustaka telah terjadi dalam penulisan karya ini.
Pelajar: Yogya, 2011, h. 28. Di titik ini, penulis menunda pretensi ke
29
Lihat ulasan mengenai periodisasi penulisan karya arah mana pun. Tapi yang jelas, sebagaimana
sastra dari garis Ronggowarsito, Zaman Edan, 2002, h.
95. tergambar dalam sinopsis, serat Gatholoco ini
memuat sebuah agenda. Para peneliti kiranya

22 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

tak dapat melacak agendanya sejauh hanya prilaku beragama yang kaku dan rigid tidak
interpretasi teks tertutup dengan pembacaan bisa mewadahi proses kehidupan yang dalam
hermeneutis.30 Karenanya kita harus meng- skema kosmologi Jawa penuh dengan
gunakan kacamata yang lebih plastis dalam spontanitas. Pada dasarnya watak manusia
menghadapi teks ini. Selanjutnya saya akan adalah bebas dan tak hendak dikekang:
menggunakan Derrida dalam mengulas serat karenanya ketika agama
Gatholoco. merepresentasikan kerangkeng tertentu, manu-
sia selalu haus akan fitrahnya yang penuh
4. Dari Fenomenologi ke Gramatologi lalu dengan spontanitas.
Ke Liturgi Tubuh Di dalam dunia modern yang termekanik-
Mari kita dekati teks Gatholoco dengan kan, filsafat memang tak dapat lagi adaptif
kacamata Derrida yang mana ia berangkat dari pada realitas sebagaimana adanya, tapi tidak
persoalan teks. Baginya, teks sendiri sudah bagi kultur Jawa. Filsafat memang kini bahkan
merupakan realitas, diluar realitas eksternal itu sudah diambil alih oleh pragmatisme dan
sendiri.31 Teks dan bahasa, menurutnya juga positivisme. Jangan dulu kita bicarakan iman
selalu bertaut dengan hal-hal yang baru dan di dan hal-hal yang transenden, karena bahkan
luar persepsi juga konklusi kita mengenai pada hidupnya sendiri yang banal, manusia
keterpautannya dengan yang transenden dan kini semakin hilang aspek-aspek
baku. Hal ini menarik terutama karena penghayatannya. Ia, sebagaimana dikha-
nadanya orang interpretasikan sebagai suara watirkan Husserl juga heidegger, larut dalam
nihilistis. Tapi ia cukup beralasan mengingat kolam keseharian.32 Sialnya keseharian yang
bahwa kehidupan banyak orang berangkat dari kita diami adalah keseharian bentukan dari
sebuah pemahaman mengenai teks. Bagi sebuah agenda dan struktur. Karenanya jika
Derrida keudukan teks setara dengan Ada yang kita menggunakan Derrida, kita bisa mengem-
ontologis. Teks sekaligus adalah rumah sang balikan makna asali tiap kata dan teks pada
ada, begitu kira-kira Derrida mengadaptasi pertautan tanpa tanpa batas bentuk. Kita
pikiran Heidegger selanjutnya. Adagium belum sampai pada pemaknaan yang diha-
―bahasa adalah rumah sang ada, seperti silkan pertautan antar-teks di dalam Gatho-
diungkapkan di muka adalah semacam loco. Karena pembacaan Derrida atas teks
pengingat bahwa realitas ontologis sejatinya selalu menggunakan idiom baru dan cende-
selalu inhern dan kita alami. Tapi pengelaman rung muskil dipahami, pada saat itu pulalah ia
manusia selalu luput dalam merasakan realitas sedang menunjukkan pada pembacanya dan
itu. Demikian karena orang-orang terlampau juga khalayak akan relativitas makna.
dilenakan rasionalitas yang baku dan telah Berkenaan dengan sikap nyaman manusia
selesai. Kita ingat bahwa suara Derrida terutama pada kondisi dalam Gatholoco
mewakili semangat posmodernisme. terhadap realitanya, agaknya Derrida juga
Dalah Gatholoco kita temukan adanya akan mengajukan semcam kritik tanpa kahir
semangat mengembalikan yang tabu dan kaku pada tiap hal yang ditemui.
ke keluesan. Maksud kami, otoritas agama— Orang-orang hendak dibangunkannya dari
dalam hal ini Islam—pada masa itu meng- tidur panjang akan definisi-definisi yang final
gambarkan suatu kekakuan. Pada gilirannya (fixed) dan pada saat yang sama mengobarkan
semangat dekonstruksi—termasuk dalam soal
30
C. Jenks, Culture, Pustaka Pelajar: Yogya,
2013, h. 62. 32
F. Budihardiman mengupayakan pembacaan yang
31
Segala sesuatu yang ada merupakan teks. jernih terhadap realitas yang sedang diidap manusia
Segala sesuatu yang ada ditandai tekstualitas. Tidak moren saat ini dengan kembali pada tradisi Husserl dan
ada hors-text, kata Derrida tidak ada sesuatu di luar
heidegger. Tujuannya tentu saja agar kita bisa
teks. Dan jika fenomenologi dulu asyik berbicara
intersubyektivitas, maka Derrida sekarang berbicara menghayati dengan penuh pengalaman kehidupan
tentang intertekstualitas, karena suatu teks tak sehari-hari dengan transparan dan pada gilirannya
pernah terisolir tetapi selalu berkaitan dengan teks- menyingkapkan dirinya sebagaimana adanya
teks lain. Filsafat Barat Abad XX, h. 496. (Aletheia). Mistik Keseharian, h. 43-58

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28 23
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

keagamaan. Dan sejauh berbicara mengenai konsep seperti misalnya inderawi— rasional,
dekonstruksi, maka di sana pula ada diffe- intuisi—representasi, alam—dan kultur. Ketiga,
rance. Serangkaian istilah inilah yang erat Differance adalah produksi semua perbedaan
sekali dengan sistem filsafat Derrida. Dalam yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap
dekonstruksi, ia mengajukan keterpautan kata makna dan setiap struktur. Perbedaan-perbedaan
pada kata asalainya. Di titik inilah kita akan ini merupakan hasil dari sebuah differance.
berangkat dari fenomenologi ke gramatologi. Sekaligus pada bagian ini Derrida hampir
senada dengan Saussure. Dan yang terakhir,
Jika filsafat, meminjam bahasa K. Bertens,
differance dapat juga menunjukkan juga
sampai sekarang sama dengan logologi, maka
berlangsungnya perbedaan Ada dengan Adaan,
Derrida ingin merubahnya menjadi ―grama- suatu gerakan yang belum selesai. Jadi, arti yang
tologi. Yakni ilmu tentang gramma, huruf- keempat ini sangat erat dengan Heidegger
huruf, inkripsi, tulisan. Gramma, adalah sekaligus masuk dalam differance itu sendiri.35
―tanda dari tanda, atau tanda yang menunjuk Tapi differance tak bisa juga kita masukkan
kepada tanda lain. Maka dari itu dapat dalam sebuah pengertian bahwa itu meru-
diaktakan juga bahwa gramatologi adalah ilmu pakan sebuah anasir yang jika kita telusuri
tentang tekstualitas.33 akan bertaut dengan kebenaran yang
Serangkaian epistemologi Derrida atas apa transenden (signifie trancendental) seperti
yang diaktakan sebagai dekonstruksi, tentu halnya Tuhan, Yang Absolut, Roh, Materi
saja belum lengkap tanpa mengetengahkan atau asal-usul kebenaran lainnya. Dengan kata
differance sebagai basis epistemik. Persis di lain, meminjam Bertens, adanya tekstualitas
tidak mengizinkan untuk menganggap perbe-
sini ia sedang bermain dengan teks. Kata daan-perbedaan tidak mungkin diatasi dan
differance sendiri takkan bisa ditemukan da- disintesakan dalam suatu identitas terakhir.36
lam bahasa Francis. Tentu saja kata ini juga Tapi bagaimana jadinya jika skema caca-
berbeda dengan different dalam bahasa Inggris han Derrida akan realitas sebagai teks dipakai
yang artinya membedakan, berbeda, tidak untuk membaca naskah-naskah yang berna-
sama dan berlainan. Tapi paling tidak apa yang paskan azali, baku, formal dan sakral seperti
hendak dikatakan Derrida dengan kata diffe- kitab suci?37 Atau dipakai mendedah serat
rance adalah sebuah upaya mensubstantifkan Gatholoco yang dalam hal ini memuat unsur
kata kerja differer dari menunda- religius, mitos yang sarat sastra. Tapi sebelum
menangguhkan dengan bertolak belakang dan masuk lebih dalam pada kemungkinan inter-
berbeda. Singkatnya apa yang hendak diajukan pretasi dan aplikasi skema Derrida pada
Derrida tidak jauh berbeda dengan apa yang realitas teks Gatholoco, mari kita sejenak
merenungi realitas faktual hari ini.
diajukan Husserl dengan kata epoche. Kedua-
duanya mempunyai makna asosiatif yang kuat Sejauh bisa diamati, realitas kita hari ini
begitu sibuk, padat dengan waktu merayap
sebagai sebuah cara kerja pikiran yang
menangguhkan segala sesuatu dalam
35
memberikan definisi dan memberikan peluang Filsafat Barat Abad XX, h. 502
36
Derrida berusaha mamahami tanda sebagai trace
bagi realitas itu tampak sebagaimana adanya.34 (bekas). Yang penting di sini adalah bahwa sebuah
Cara kerja mengenai Differance terdiri dari bekas tidak mempunyai substansi atau bobot tersendiri;
empat bagian; pertama-tama, menunjuk tapi hanya menunjuk. Bekas tidak dapat dimengerti
kepada apa yang menunda kehadiran. Diffe- tersendiri (terisolir dari segala sesuatu yang lain), tetapi
rance adalah proses penundaan yang aktif hanya sejauh menunjuk kepada al-hal lain. Bekas
mendahului objek. Bekas itu sebetulnya bukan efek,
sekaligus aktif secara bersamaan, yang tidak melainkan terutama penyebab, kata Derrida, Filsafat
didahului oleh kesatuan asali. Selanjutnya, Barat Abad XX, h. 495.
Differance adalah gerak yang mendife- 37
Derrida menolak pembedaan antara tanda dan simbol;
rensiasikan. Dalam arti ini Differance adalah suatu pembedaan yang sering dikemukakan dalam
akar bersama bagi semua oposisi antara konsep- tradisi. Menurut para pendukungnya, simbol
mempunyai hubungan natural dengan apa yang
ditunjukkannya, sedangkan tanda tidak menunjukkan
33
Filsafat Barat Abad XX, h. 498. hubungan serupa itu atau—dengan perkataan lain—
34
Gayatri. C. Spivak, h. 99. bersifat arbitrer belaka. Filsafat Barat Abad XX, h. 497.

24 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

bergegas ke lenyap tanpa bisa kita fahami dan karena manusia, pada saat ini bisa dikatakan
atau bahkan kita nikmati. Banyak orang atau sangat bahagia dengan kehendak bebasnya
mungkin di antara kita yang kepepet merasa sekaligus tidak karena rupanya manusia juga
kehabisan waktu dan hidup tak lebih dari semacam rem blong. Inilah jagat yang
sekadar pakansi dari parodi ke parodi. Bukan ditinggalkan Derrida dan yang seharusnya
untuk melebih-lebihkan, tapi pada kenyatan- dirapikan oleh dekonstruksinya. Tapi terlepas
nya realitas modern-posmodern inilah yang dari ini semua, aplikasi dekonstruksi Derrida
sedang berjangkit pada banyak orang; dimana bisa dipakai dalam meluruskan kesalah
banalitas dirayakan dan relativitas adalah mengertian manusia pada kebebasan.
bahkan Tuhan itu sendiri. Bagaimana tidak, Yang menarik bagi penulis adalah bahwa
bahkan pada satu sistem agama sekalipun jika memang dengan teori dekonstruksi
terasa bahwa yang sedang bergerak bukan kemapanan sebuah institusi agama terancam,
semata Yang Ilahi; tapi juga ihwal yang maka sudah seharusnya agama merehabilitas
bangsat. diri.40 Pasalnya, yang terjadi justru—jika
Posmodernisme seperti digambarkan di atas memang terjadi dekosntruksi—orang-orang
sebenarnya bukan posmodernisme yang diga- lupa bahwa bahwa setelah bengunan dirubuh-
dang-gadang merupakan napas baru bagi kan ia seharusnya mencari makna baru atau
sebuah tatanan hidup yang anti mapan. Justru jika perlu membangun lagi. Sialnya, sejauh
kemapanan paradoksallah yang sedang terjadi yang penulis amati, setelah iman dan
Ambivalensi iniah yang mendorong Nietzsche, bangunan yang mantap dirubuhkan, orang
sejak permulaan abad silam mengarahkan justru frustasi dengan menertawakan kerun-
manusia pada sampan nihilisme.38 Karena di tuhan itu. Hal ini senada dengan ramalan Marc
dalam apa yang dinamakan dengan sistem Goldschmit yang bertutur;―tanpa bisa
agama hanya menjadikan manusia budak dan
menertawakan diri sendiri, dekonstruksi tidak
tidak meningratkan manusia.
akan mungkin terwujud.41 Tesis ini bisa
Awal posmodernisme ditandai oleh satu
diterima sebagai kelanjutan dari sebuah nada
prasangka dalam diri agama. Karenanya Tuhan
nihilisme. Persoalan kemudian bagaimana
dalam diskursus ini ditunda; jika tidak
dengan kutub moral yang kadung terdiktekan
dikatakan Dibunuh.39 Bagai mana tidak,
oleh kitab suci. Di titik ini kita masuk pada
ketimpangan hidup dan kemelorotan nilai
penelaahan gramatologi ala Derrida.
kemanusiaan pada saat itu sangat kuat dan
gampai ditemui. Seakan-akan agama hanya Menurut interpretasi Bambang Sugiharto,
candu dan semacam pelarian bagi para agama-agama melakukan imunisasi pada
pesakitan neurotik yang mengangankan dirinya sendiri. Agama-agama terutama
kehidupan surgawi dan abai pada realitas yang Abrahamik-Semitik dengan jelas melakukan
sedang ia alami. imunisasi ini.42 Maksudnya adalah, agama
Pada gilirannya, karena manusia selalu pada tataran praktis menginternalisasi diri
dirundung duka, tema-tema mengenai theodise dengan benteng dogmatisme. Ia menolak
mencuat dan digantikan iman pada nihilisme. dialektika dan atau dialog dengan terbuka:
bahkan dengan sesama agama itu sendiri.
Tuhan rupanya berkarat, melapuk dan manusia
Akhirnya agama-agama ini asyik dengan
hendak mengambil alih. Pertanyaannya
dirinya sendiri tanpa melihat dengan seksama
berhasilkah? Jawabnya ya dan tidak. Ya
bahwa di dalam teks suci mereka Tuhan
sedang berdialektika. Ini satu kejahatan
38
Pada bagian ini perlu disampaikan bahwa Derrida kemanusiaan mengingat bahwa tugas agama
juga diidentifikasi sebagai pembawa faham nihilis—
disamping bahwa ia juga terpengaruh oleh
40
Nietzsche, Sigmund Freud, dan juga Levinas. Bandingkan dengan pemaparan Haryatmoko
Filsafat Barat Abad XX, h. 501. mengenai subjek yang hampir serupa dalam Basis,
2007, h. 4.
41
39
Lihat misalnya Para Pembunuh Tuhan, A. Dikutip dari tulisan panjang Haryatmoko, Ibid.,
Setyowibowo, Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: h.4.
42
Kanisius, 2009, h. 19. Ibid., h. 30

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28 25
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

dan wahyu adalah membebaskan dan rujukan tanda dengan T besar, entah itu Roh,
bukannya saling berkonfrontasi. Spirit, ataupun Tuhan tapi yang kita temui
Maka moralitas lari pada individu, seperti selalu hanya jejaknya saja. Derrida mungkin
halnya juga kebenaran dan interpretasi teks tahu bahwa bahasa adalah rumah sang Ada,
suci. Memang seakan akan paradoksal jika tapi sang Ada sendiri selalu tak dapat ditemui
ditautkan dengan agama. Tapi pasalnya, di dalam rumah yang itu-itu saja. Karena itu
bukankah di dalam teks suci tersebut juga kita diajak menjelajahi setiap kemungkinan
temaktub sejumlah hal yang paradoks. Tuhan rumah sang ada dan berenang dalam lautan
sendiri misalnya; di satu sisi ia menampakkan teks. Biarpun orang megatakannya nihilis,
diri sebagai asih dan di sisi lain ia berwajah Derrida mungkin bersikukuh bahwa yang
muram. paling penting pada akhirnya bukan memer-
Persis di sini dekonstruksi memberikan goki sang Ada dalam rumahnya, tapi
kemungkinan antar agama sebagai sebuah perjalanan itu sendiri, dekonstruksi itu sendiri
rumah yang terbuka bagi tamu (yang liyan). dan differance adalah sampannya.
Kesemuanya, manusia, agama dan sistem apa Lalu bagaimana ia menjawab kerinduan
pun pada gilirannya—jika kita terapkan manusia yang selalu berlayar di lautan tanpa
dekonstruksi—akan menjadi semacam dermaga? Bukankah dengan demikian ia
pengingat bahwa pada tiap hal itu tertanam terbuka dari ketidak adilan, kesemena-menaan
kerentanan.43 Sistem ini, sebagaimana dan makar? Dalam realitas yang kita terlempar
diterangkan Bambang Sugiharto, baik tuan (faktisitas) di sana, kita akan menemukan
rumah maupun tamu, dalam ketidak pastian, relativitas dan berurusan dengan keadilan
keduanya bisa bertukar posisi, dan identitas Derrida berpegang—meminjam bahasa Goe-
keduanya bisa menjadi rapuh, saling dibongkar nawan Mohamad—dengan mengatakan bahwa
dan dibentuk ulang, saling didefinisikan ―keadilan tetap sebagai sesuatu yang-masih-
kembali secara baru, oleh yang lainnya.44
belum, “á-venir”, Derrida menekankan pada
Selanjutnya, meski interpretasi Derrida suatu keadaan yang kini absen, yang berbeda
pada teks yang pada gilirannya mengarah pada
dengan yang-masih-belum, yang senantiasa
agama tidak terlalu mendalam dan tak juga
belum, nun di cakrawala waktu yang ter-
bisa dikatakan sistematis, paling tidak ia
buka.47
memberikan andil pada dialektika itu sendiri.
Sekarang mari kita bayangkan bahwa pada
Maksudnya adalah bahwa dengan satu skema
tahun dimana Gatholoco diterbitkan adalah
dekosntruksi, khalayak diajak untuk menjejaki
masa dimana kesalehan kamuflatif, kepatuhan
kemungkinan-kemungkinan baru. Kadang,
kaku dan kerigidan tertentu. Kehadiran serat
mungkin dalam perjalanan itu kita menemukan
Gatholoco menginterupsi sekaligus menginter-
yang tak terpermanai dan kita terkagum-
vensi kemonotonan ini. Dalam skema Derrida
kagum. di atas, kita bisa menyejajarkan serat Gatho-
Tapi memang, seperti halnya Alitheia45, loco sebagai sebuah difference pada keadaan
dengan differance46, kita bisa bertemu dengan sosial. Orang disuruh berhenti sejenak dan
meninjau ulang apa yang sesungguhnya
43
terjadi, dan bagaimana seharusnya realitas
Bambang Sugiharto Kalam, 1995, h. 31.
44 dijalani.
Ibid., h. 31.
45
Alitheia adalah sebuah penyingkapan realitas Serat Gatholoco sebagai interupsi ini tak
sekelebat. Penulis selalu menyamakan ketersingkapan bisa berjalan sendiri, juga tak bisa menjadi
ini dengan bahasa dalam kajian Gnosis; „Kasyf‟. Hanya biang kerok dari merosotnya moralitas. Di atas
saja Alitheia adalah sebuah terminologi yang digunakan kita melihat secara historis gelombang protes
Heidegger. Lihat mengenai pembahasan ini dalam,
Mistik Keseharian, h. 43
dan pelarangan diedarkan atas serat ini.
46
Derrida semacam menahbiskan diri bahwa
pemikirannya merupakan lanjutan dari Heidegger selain Heidegger, (Positions, Paris, h. 18, dikutip dari K.
Husserl dengan mengungkapkan; ―Segala sesuatu yang Bertens, Filsafat Barat Abad XX, h. 493)
47
diusahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup Goenawan Mohamad, debu, duka, dsb, Jakarta:
keterbukaan yang dicaiptakan oleh pemikiran Tempo, h. 88.

26 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

Terlepas dari fakta bahwa serat ini merupakan teks serat Gatholoco, kita diharapkan untuk
olok-olok belaka, serat Gatholoco pada tidak terjebak. Dan berkenaan dengan realitas,
kenyataannya berhasil menginterupsi kemapa- kita juga bisa menerapkan hal serupa supaya
nan beragama. tidak terjebak. Pada akhirnya kita akan
Aspek penting dari serat Gatholoco ini, menemukan sebuah kesejatian instrumental
bukan pada amoral dan anomalinya. serat Gatholoco baik dalam konteks saat itu dan
Melainkan pada cara kerja teks itu sendiri. masa kini: yakni, sebagaimana Socrates,―hidup
Kita lihat bagaimana reaksi orang beragama— yang tak pernah dipertanyakan ulang, tak layak
baik yang terjadi di dalam teks—maupun yang dihidupi. Oleh sebab itu, pemaparan erotisme
benar terjadi di lapangan. Reaksi ini timbul dan fungsinya di dalam serat Gatholoco me-
akibat teks yang memuat satu unsur fenomeno- nyentuh aspek liturgi sakramental.
logis yang seringkali diabaikan, terutama Perpaduan unsur kelelakian dan keperem-
setelah agama menyajikan kebenaran baku dan puanan meniscayakan kehidupan. Lingkaran
kepastian: pertanyaan. kosmologi mikrokosmis sedang terjadi dan,
Teks serat Gatholoco memuat sebuah terlepas dari pretensi kritiknya yang sengit dan
unsur tunggal yang tak terbantahkan: yakni tajam, serat Gatholoco menemukan konteks-
pertanyaan. Melalui teks ini kita bisa nya sebagai teks.
mempertanyakan bukan saja agama itu sendiri,
tapi juga mempertanyakan Gatholoco. Maka
kini kita bergerak pada tafsir dua arah. Ke C. SIMPULAN
dalam, ia bisa digunakan menyerang Gatho- Dalam simpulan ini, kiranya bisa dikeru-
loco dan kandungan serat itu sendiri, sedang- cutkan persoalan berkenaan dengan serat
Gatholoco, baik itu pro dan kontra yang
kan ke luar kita bisa melihat pertanyaan
datang dari respons eksternal atas karya ini.
dengan lancar dilancarkan pada agama.
Pendapat penulis, serat Gatholoco adalah
Karena itu sakralitas, teks, atatnan sosial
kritik. Tapi karena sifatnya ayang afirmatif
yang baku dipertanyakan sedemikian rupa.
pada segala hal ihwal mengenai tubuh, maka
Pertanyaannya adalah: oleh apa pertanyaan ini kritiknya tak melulu berkenaan dengan ajaran
diajukan dalam serat serat Gatholoco. Islam syariat. Lebih jauh, muatan kritik serat
Jawabannya oleh pemahaman menyeluruh Gatholoco ini menyerang pada sikap ajaran
akan setiap kemungkinann paradoks dan asketisme dan kejuduhan.
ambivalen di dalam diri manusia. Karena Dari sudut pandang ini, menjadi kontras
setiap orang tahu bahwa tubuh (mencakup bahwa di satu sisi ada ajaran agama yang
setiap organnya) memungkinkan pertentangan- bergerak menjauh (menegasi aspek tubuh).
pertentangannya sendiri. Sedangkan di sisi lainnya lagi ada serat Gatho-
Tamsil bagi ini kita bisa lihat bagaimana loco yang bergerak mendekat dan mengafir-
struktur sosial kita bereaksi atas kata kontol masi tubuh. Dengan sumsi bahwa bahkan
dan intil dan terlepas dari aspek erotismenya dalam hal yang dianggap laknat, wadag dan
sendiri. Erotik, pada dirinya sendiri adalah dumadi tak melulu najis, tak suci dan harus
sifat imajinatif dari asosiasi organ tubuh dijauhi. Karena pada hakikatnya, di tingkat
manusia. jika ditelusuri jejaknya, erotisme tak hidup paling banal sekali pun, ada suatu
pernah ada, karena bukan merupakan perwu- kesejatian yang tak berpengaruh oleh segala
judan dari anggota badan. Dan di sisi lain,
sifat dan atribut yang dilekatkan padanya.
organ badan mana pun pada dirinya sendiri tak
pernah membawa visi dan asosiasi mengenai
erotisme.
DAFTAR PUSTAKA
Karenanya dengan menggunakan Derrida
Annemarie Schiemmel, Dimensi Mistik
kita bisa dengan santai menyebut bagian-bagian
Dalam Islam, (ed. Sapardi Djoko Damono,
tubuh yang ―terlarang dan biasa disebut sebagai
―kemaluan dalam sistem sosial kita, tanpa
et. al) Pustaka Firdaus: 2000Astuti,
terjebak ke kekeliruan tafsir. Berkenaan dengan Renggo. 1992-1993. Cangkriman.

Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28 27
Syihabul Furqon SERAT GATHOLOCO: Tubuh Menggugat Agama
Busro

C. Jenks, Culture, Pustaka Pelajar: Yogya, K. Bertens, Filsafat barat Abad XX, Jilid II;
2013 Prancis, Jakarta: Gramedia, 1985.
Ensiklopedi Dunia Islam: Pemikiran dan Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup
Peradaban, Pt. Ikhtiar Baru Vanhouve: Sehari-hari Orang Jawa.
2000. Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan
F. Budihardiman, Heidegger dan mistik di Jawa
keseharian, jakarta: KPG, 2003. Nyoman Kutha R, Antropologi Sastra; peran
Gayatri C Spivak, Membaca pemikiran unsur-unsur kebudayaan dalam proses
Jacques Derrida; sebuah pengantar, kreatif, Pustaka Pelajar: Yogya, 2011
Yogyakarta: Ar-Ruz, 2003. Peursen, Van. Strategi Kebudayaan, 1988.
Graaf dan Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Ronggowarsito, Zaman Edan, Bentang:
Jawa: Peralihan Dari Majapahit Ke Mataram. Yogya, 2002
Ed. Soemarsaid Moertono. 1983. April. 1985
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir, Majalah& Jurnal:
(dengan judul Gatholoco), Pusat Data dan Majalah Basis (Edisi Khusus Derrida), No. 11-
Analisa Tempo: 2005. 12, Tahun 56-November-Desember, 2007.
_________________, Debu, Duka, dsb,
Jakarta: Tempo, 2011. ____________(Edisi Khusus Derrida),No. 11-
Jacques Derrida, Dekonstruksi Spiritual; 12, Tahun 54-November-Desember, 2005.
merayakan ragam wajah spiritual, Jurnal Kebudayaan Kalam, Edisi, 5, Th.
Yogyakarta: Jalasutra, 2002. 1995
Joko Su'ud Sukahar, Tafsir Gatholotjo. 2007

28 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 15-28

Anda mungkin juga menyukai