Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


EKLAMPSIA

Oleh :
BRILIANTY RESTA PRATIWI HARIONO
201510330311065

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait
preeklampsia dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Preeklampsia dan eklampsia
adalah bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol sebagai penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO, 2011). Preeklampsia
didefinisikan sebagai hipertensi disertai proteinuria, merupakan suatu gangguan
multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia adalah
preeklampsia yang disertai dengan kejang. Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi
terhadap 10 – 15% dari total kematian ibu di dunia. Sebagian besar kematian di
negara berkembang diakibatkan oleh eklampsia, sementara di negara maju lebih
sering disebabkan oleh komplikasi dari preeklampsia (Turner, 2010). Eklampsia
menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu di
Indonesia pada tahun 2010 (Hernawati, 2011).
Etiologi dan patofisiologi preeklampsia masih belum dapat dipahami dengan jelas
sehingga menjadi tantangan dalam pencegahan penyakit tersebut. Strategi untuk
mengatasi preeklampsia dan komplikasinya difokuskan pada deteksi dini penyakit
dan tatalaksana terapi yang tepat. Tatalaksana terapi preeklampsia dan eklampsia
bergantung pada ketersediaan pelayanan obstetri emergensi termasuk antihipertensi,
magnesium sulfat (antikonvulsan), dan fasilitas yang diperlukan untuk persalinan
(Hezelgrave dkk., 2012). Pengontrolan tekanan darah ibu dengan antihipertensi
penting untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral dan mencegah terjadinya
stroke maupun komplikasi serebrovaskular lain akibat preeklampsia dan eklampsia
(Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011). Antikonvulsan diberikan untuk mencegah
terjadinya kejang pada preeklampsia dan mengatasi kejang pada eklampsia (Duley
dkk., 2010).
Kejang yang tidak ditangani dengan antikonvulsan secara tepat menjadi masalah
utama pada kasus kematian akibat eklampsia (Duley dkk., 2010). Terapi
antihipertensi yang inadekuat dalam perawatan klinis juga menjadi masalah serius
yang menyebabkan perdarahan intrakranial pada sebagian besar kasus kematian.
Laporan terakhir menunjukkan bahwa guideline-guideline hipertensi dalam
kehamilan harus dapat mengidentifikasi batas tekanan darah yang memerlukan terapi
antihipertensi dan pemilihan antihipertensi yang efektif serta aman digunakan pada
masa kehamilan (Lewis, 2007).
Obat harus aman, efektif, dan digunakan secara rasional untuk menghasilkan efek
yang diinginkan. Terapi dengan obat pada masa kehamilan memerlukan perhatian
khusus karena ancaman efek teratogenik obat dan perubahan fisiologis pada ibu
sebagai respon terhadap kehamilan. Obat dapat menembus sawar plasenta dan masuk
ke dalam sirkulasi darah janin (Sharma dkk., 2006; Schellack dan Schellack, 2011).
Pemilihan obat-obatan selama kehamilan harus mempertimbangkan rasio manfaat
dan risiko bagi ibu maupun janin untuk menghasilkan terapi yang aman dan rasional
(Schellack dan Schellack, 2011) memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan
tepat, efektif, dan aman di lingkungan pelayanan kesehatan.
1.2 Tujuan
a. Mengetahui definisi Eklamsia
b. Mengetahui etiologi Eklamsia
c. Mengetahui diagnosis Eklamsia
d. Mengetahui tata laksana Eklamsia
e. Mengetahui komplikasi Eklamsia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tension pneumotoraks adalah bertambahnya udara dalam ruang pleura secara
progresif, biasanya karena laserasi paru-paru yang memungkinkan udara untuk masuk
ke dalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar atau tertahan didalam rongga pleura.
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi udara
dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan
intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah
berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan. (Alagaff, Hood, 2005)
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi
udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan
intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah
berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan (Manjoer, 2000).
2.2 Etiologi
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba-tiba yang
dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang
menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand mal dan
bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.5 Istilah eklampsia berasal dari bahasa
Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah
gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain.
Berdasarkan saat timbulnya serangan, Eklampsia dibedakan menjadi
1. eklampsia gravidarum (antepartum),
2. eklampsia partuirentum (intrapartum)
3. eklampsia puerperale (postpartum),.
Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat
mendekati kelahiran.5,8 Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat
timbul setelah 6 minggu postpartum.
Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group
on Blood Pressure in Pregnancy, preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai
dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan
tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg.
Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah ≥300 mg/dl dalam urin
tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah yangtidak menunjukkan tanda-
tanda infeksi saluran kencing.
Preeklampsia dan eklampsia dianggap sebagai maladaptation syndrome (sindrom
yang muncul karena kegagalan adaptasi) akibat vasopasme menyeluruh dengan
segala akibatnya (Nugroho, 2010). Berbagai teori telah diajukan untuk memahami
mekanisme pasti penyebab perubahan patologis pada preeklampsia dan eklampsia
seperti berikut:

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Teori penyebab preeklampsia yang pertama kali dikemukakan adalah teori
kelainan vaskularisasi plasenta yang menunjukkan kegagalan remodelling arteri
spiralis. Invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis tidak terjadi pada
preeklampsia sehingga arteri spiralis gagal bervasodilatasi. Vasodilatasi arteri spiralis
ini terjadi pada kehamilan normal dan penting untuk menjaga aliran darah ke janin
sehingga dapat meningkatkan perfusi jaringan dan menjamin pertumbuhan janin
dengan baik (Angsar, 2010).
Kegagalan remodelling arteri spiralis terjadi pada preeklampsia, pembuluh darah
tetap kaku sehingga menyebabkan hipoperfusi dan iskemia plasenta. Kondisi iskemia
akan memicu plasenta menghasilkan oksidan (radikal bebas) yang dapat
mengakibatkan kerusakan sel endotel. Iskemia juga dapat berkembang menjadi
aterosis, nekrosis fibrin, trombosis, penyempitan arteriola, dan infark plasenta
(Angsar, 2010; Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).
2. Teori kerusakan sel endotel
Salah satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostasiklin yang merupakan
vasodilator kuat. Kerusakan sel endotel menyebabkan agregasi sel-sel trombosit pada
daerah endotel yang rusak untuk menutup kerusakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan (suatu vasokonstriktor kuat). Kadar prostasiklin dalam
keadaan normal lebih tinggi daripada tromboksan, namun pada preeklampsia kadar
prostasiklin lebih rendah daripada tromboksan sehingga terjadi kenaikan tekanan
darah (Angsar, 2010).
3. Teori imunologis
Respon imun ibu pada kehamilan normal tidak menolak adanya hasil konsepsi
karena sel-sel trofoblas plasenta mengekspresikan human leukocyte antigen protein G
(HLA-G) yang melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer ibu.
Human leukocyte antigen protein G juga merupakan prakondisi terjadinya invasi
trofoblas ke jaringan desidua. Penurunan ekspresi HLA-G terjadi pada preeklampsia
sehingga menghambat invasi trofoblas ke jaringan desidua, menyebabkan implantasi
yang abnormal, dan mengubah respon kekebalan ibu terhadap antigen janin (Angsar,
2010; Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).
4. Teori genetik
Teori genetik diajukan setelah melalui berbagai pengamatan. Wanita nullipara
dengan riwayat preeklampsia dalam keluarga memiliki risiko dua hingga lima kali
lipat mengalami preeklampsia. Beberapa gen termasuk angiotensinogen gene variant
(T235), endothelial nitric oxide synthase (eNOS), dan gen penyebab trombofilia
diduga berkaitan dengan preeklampsia (Sidani dan Siddik-Sayyid, 2011).
5. Teori iskemia plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi
arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika
media dan jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan
material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini
proses tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.Pada usia
kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas di mana sel-sel
trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga kedalaman
miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu penggantian
endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material fibrionid
dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding tipis,
lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada kehamilan.
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami
invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi
tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak
berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi
mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih terdapat
resistensi vaskuler.

Gambar 2.1 Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan hipertensi

(bawah). pada kehamilan normotensi


Disamping itu, juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada
arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau bahkan
mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta
dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada plasenta. Pada preeklampsia,
adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi vaskuler disebabkan oleh
karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya,
terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang menyebabkan penurunan
perfusi darah ke plasenta.21-22 Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga
kematian bayi.
2.3 Diagnosis
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia
dibagi menjadi ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau
lebih tanda dibawah ini :
1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau
lebih
2. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan kualitatif
3. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5. Edema paru atau sianosis.
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia
dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,
mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia.9 Menurut Sibai terdapat
beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya
kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara,
pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun,
hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala sebelum
timbulnya kejang eklampsia adalah sakit kepala yang berat dan menetap (50-70%),
gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%),
perubahan mental sementara (5-10%).
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari
daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemuadian
seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat
berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan
tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot
wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara
bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya
sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak
dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini
dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot
menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.5
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama
beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian
penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal.
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang-
kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang
berkelanjutan yang disebut status epileptikus. Setelah kejang berhenti, penderita
mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma setelah kejang eklampsia
bervariasi.
Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya
segera setelah kejang. Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma
belangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih
kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat
diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi
maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.5 Proteinuria hampir
selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang sampai anuria
dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.
Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal
perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu
beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi
menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.
1.4 Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana terapi eklampsia adalah mencegah dan mengatasi
kejang, mencegah dan mengatasi penyulit khususnya krisis hipertensi, mencapai
stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada waktu yang
tepat dan dengan cara yang tepat. Tatalaksana eklampsia dilakukan dengan terapi
suportif, terapi medisinal, dan terapi obstetrik terhadap kehamilannya (Angsar, 2010).

Gambar 2.2 Protap tatalaksana preeklampsia berat dan eklamsia


2.5 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada preeklampsia dan eklampsia terutama
diakibatkan oleh vasospasme yang bersifat menyeluruh. Preeklampsia dan eklampsia
dapat menyebabkan berbagai komplikasi berikut:
1. Perdarahan serebral
Komplikasi paling umum sebagai akibat dari vasospasme dan tingginya tekanan
darah pada preeklampsia dan eklampsia adalah perdarahan serebral (Lewis, 2007).
2. Gangguan visus (penglihatan)
Gangguan visus pada preeklampsia dan eklampsia dihubungkan dengan
terjadinya vasospasme arteri retina (Cunningham dkk., 2001).
3. Koma
Pasien eklampsia akan mengalami perubahan kesadaran hingga koma akibat
edema otak yang luas (Cunningham dkk., 2001). Derajat hilangnya kesadaran dapat
dinilai dengan Glasgow Coma Scale (Angsar, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Alagaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
Aru W.Sudoyo,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta:
Interna Publishing.
Kowalak, Jennifer P, Dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi: Sistem
PernapasanPneumothoraks. Jakarta: EGC.
Manson, J. Robert. 2010. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 5/e.
Saunders. Philadelphia.
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Ed. IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai