Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuriamasif
yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Eklampsia dibagi menjadi
tiga yaitu, eklampsia antepartum, eklampsia intrapartum, dan eklampsia
postpartum. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati persalinan (Sarwono, 2010).

Angka kejadian preeklamsia sangat bervariasi antara satu negara dengan


negara lain. Insidensinya berkisar antara 5-10% dari seluruh kehamilan dan
menyebabkan 3-25 kali lipat peningkatan risiko komplikasi obstetrik yang berat.
Preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal di
Indonesia. Preeklamsia (PE) secara umum dijelaskan sebagaimana terjadinya
hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya normotensi (Walker, 2000).

Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya preeklamsia sampai


saat ini masih belum jelas. Namun demikian, adanya rangkaian proses mulai dari
gangguan invasi dini trofoblas, penurunan perfusi plasenta, iskemia plasenta,
dipercaya menjadi penyebab disfungsi endotel sistemik pada preeklamsia.
Preeklamsia dan eklampsia masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan
mortalitas ibu dan anak. Mortalitas ibu di negara berkembang masih tinggi yaitu
sekitar 5-10%, di AS<1%, sedangkan kematian janin sekitar 40 %, di AS sekitar
12% dengan penyebab kematian ibu terjadi disebabkan karena perdarahan otak,
gagal jantung, edema paru, gagal ginjal dan berbagai bentuk kegagalan
multiorgan. Preeklamsia adalah suatu sindroma penyakit yang bersifat polimorfik
sehingga semua organ dapat terlibat, sedangkan eklamsia di sertai kejang pada
preeklamsia tanpa adanya penyebab lain (Cunningham, 2014).

1
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Penatalaksanaan Kehamilan dengan Eklampsia?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui Penatalaksanaan Kehamilan dengan Eklampsia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Eklampsia.

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tibatiba


yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas
yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand
mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis (Cunningham, 2003). Istilah
eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut
dipergunakan karena seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului tanda-tanda lain (Winkjosastro, 2007).

Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),


eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum),
berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester
terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran (Cunningham, 2003).
Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20
minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48
jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu
postpartum (Decherney, 2003).

Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working


Group on Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi
disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang
biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan 10
sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥
90 mmHg. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah ≥300
mg/dl dalam urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah yang
tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing (Cunningham, 2005).

3
2.2 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia


dibagi menjadi ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau
lebih tanda dibawah ini (Winkjosastro,2007):

1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg
atau lebih

2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan


kualitatif

3) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam

4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium

5) Edema paru atau sianosis.

...........Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya


preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia. Menurut
Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala
sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap,
perubahan mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri
epigastrik, mual, muntah.

Namun, hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini.


Prosentase gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit kepala yang
berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium
(20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5- 10%) (Gallinelli,
1996). Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya
dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat
kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh,
fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang
akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada
kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami
kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini

4
kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita
terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.

Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini
dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot
menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak
(Cunningham, 2003). Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan
berhenti. Selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas,
namun kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan
kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan
diikuti dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan
sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epilepticus (Cunningham,
2003).

Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.


Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi
jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.
Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan
penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada
kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan
koma yang lama bahkan kematian. Frekuensi pernapasan biasanya meningkat
setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat
menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya.
Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.

Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut
terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang –
kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah
persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan
kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari
sampai dua minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah
persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis (Cunningham,
2003).

5
2.3 Faktor Resiko

Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko


preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan
dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa
fakto risiko preeklampsia, yaitu (WHO, 2011):

a. Usia

b. Nulipara

c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru

d. Jarak antar kehamilan

e. Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya

f. Riwayat keluarga preeklampsia eclampsia

g. Kehamilan multifetus

h. Donor oosit, donor sperma, dan donor embrio

i. Diabetus mellitus tergantung insulin (Tipe 1)

j. Penyakit ginjal

k. Sindrom antifosfolipid

l. Hipertensi kronik

m. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
Antenatal Care (ANC)

n. Kondisi sosioekonomi

o. Frekuensi ANC

2.4 Etiologi dan Patofisiologi Eklampsia

2.4.1 Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan

6
Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan
masih belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk
mencari etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga
kini belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia
sebagai “the disease of theory”. (Gallinelli, 1996) Adapun hipotesis yang diajukan
diantaranya adalah :

1) Genetik

Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan


dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan
eclampsia (Brinkman, 2001)

2) Iskemia Plasenta

Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana


mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis
mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang
mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal
tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis
yang berada dalam miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis
yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.

3) Prostasiklin-tromboksan

Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel


yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis
oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP
intraselular pada sel otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator
dan anti agregasi trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit,
berasal dari asam arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase.
Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan agregasi trombosit
prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang berlawanan dalam

7
mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah (Brinkman, 2001).

4) Imunologis

Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis


sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia
terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang
normotensi yang dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan
sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan
pada kontrol hanya terdapat 15%.22 Maladaptasi sistem imun dapat
menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas
endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan
pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas
oleh desidua (Silver, 2002).

2.4.2 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik

Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang


eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan
fokus perdarahan di korteks otak. Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada
pusat motorik di daerah lobus frontalis (decherney, 2003). Beberapa mekanisme
yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai berikut (Cunningham, 2005):

a) Edema serebral

b) Perdarahan serebral

c) Infark serebral

d) Vasospasme serebral

e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler

f) Koagulopati intravaskuler serebral

g) Ensefalopati hipertensi

8
3.4.3 Etiologi dan Patofisiologi Koma

Koma yang dijumpai pada kasus eklampsia dapat disebabkan oleh


kerusakan dua organ vital (Benson, 1994):

1) Kerusakan hepar yang berat : gangguan metabolisme-asidosis, tidak mampu


mendetoksikasi toksis material.

2) Kerusakan serebral : edema serebri, perdarahan dan nekrosis disekitar


perdarahan, hernia batang otak.

9
BAB III

ANALISA

3.1 Analisis tentang Penatalaksanaan Kehamilan dengan Eklampsia

Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuria masif
yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Eklampsia dibagi menjadi
tiga yaitu, eklampsia antepartum, eklampsia intrapartum, dan eklampsia
postpartum. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati persalinan. Sekitar 60-75% eklampsia dapat terjadi
sebelum persalinan, dan sekitar 40-50% terjadi saat persalinan dan 48 jam
pertama setelah melahirkan. Ancaman kejang dapat tetap terjadi hingga 6 minggu
pasca persalinan yang sering disebut dengan eclampsia late onset.

Di Indonesia preeklampsia-eklampsia masih merupakan salah satu


penyebab utama kematian maternal dan perinatal yang tinggi. Oleh karena itu
diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia,
serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka
kematian ibu dan bayi. Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan
dengan hipertensi, edema, dan proteinuria sering tidak diketahui atau tidak
diperhatikan. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda &
gejalan preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat
dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang
lain.

Preeklampsia - eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara


langsung disebabkan oleh kehamilan. Preeklampsia adalah hipertensi disertai
proteinuri dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita
preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini bukan akibat kelainan
neurologis. Preeklampsia - eklampsia hampir secara eksklusif merupakan penyakit

10
pada nullipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrem
yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35
tahun. Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan
berikut:

1.    Kehamilan multifetal dan hidrops fetalis.


2.    Penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus.
3.    Penyakit ginjal.

Tatalaksana

Tujuan pengobatan :

1.    Untuk menghentikan dan mencegah kejang.

2.    Mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi.

3.    Sebagai penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal


mungkin.

4.    Mengakhiri kehamilan dengan trauma ibu seminimal mungkin.


 
Pengobatan Konservatif

Sama seperti pengobatan pre eklampsia berat kecuali bila timbul kejang-
kejang lagi maka dapat diberikan obat anti kejang (MgSO4).

Pengobatan Obstetrik

1.   Sikap dasar : Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri dengan atau
tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.

2.    Bilamana diakhiri, maka kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi
(pemulihan) kondisi dan metabolisme ibu. Setelah persalinan, dilakukan
pemantauan ketat untuk melihat tanda-tanda terjadinya eklampsia. 25% kasus
eklampsia terjadi setelah persalinan, biasanya dalam waktu 2 – 4 hari pertama
setelah persalinan. Tekanan darah biasanya tetap tinggi selama 6 – 8 minggu.

11
Jika lebih dari 8 minggu tekanan darahnya tetap tinggi, kemungkinan
penyebabnya tidak berhubungan dengan preeklampsia.

12
BAB IV

PEMBAHASAN

Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko


preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan
dilakukan pencegahan primer. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita
preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini bukan akibat kelainan
neurologis. Preeklampsia - eklampsia hampir secara eksklusif merupakan penyakit
pada nullipara. Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia. Menurut
Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala
sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap,
perubahan mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri
epigastrik, mual, muntah.

Pada laporan kasus eklampsia antepartum yang ditulis Esfi Triana dan
Syahredi (2019) .Pasien awalnya mengeluhkan sakit kepala hebat yang diikuti
oleh kejang selama sekitar 5 menit, kejang seluruh tubuh dan pasien tidak sadar
setelah kejang. Pasien kemudian dibawa ke datang ke RS Ibnu Sina Simpang
Empat. Dari pemeriksaan didapatkan TD 200/110 mmHg. DJJ tidak ditemukan.
Pemeriksaan fisik didapatkan esadaran Sopor dan Tekanan Darah 190/140 mmHg.
Penatalaksanaan pasien pada saat datang assesment awal untuk memastikan
kondisi pasien yang datang dalam keadaan tidak sadar. Dari assesment awal
didapatkan airway patent, breathing spontan dengan pemberian oksigen 4 L/menit
via nasal kanul dan sirkulasi didapatkan adanya hipertensi emergensi dengan TD
190/140 mmHg. Pasien sudah mendapatkan regimen MgSO4 dari luar. Pada
pasien kemudian dilakukan penatalaksanaan berupa kontrol KU, VS, balans
cairan, dan refleks patella, oksigen via kanul nasal 4 l/menit, lanjut regimen
MgSO4 dosis maintenance, Informed consent, darah lengkap (faal ginjal, faal
hepar, fungsi hemostasis, AGD), EKG, USG, lapor tim PEB (mata, jantung,
P.dalam) dan direncanakan terminasi kehamilan Secara konseptual Acut Kidney

13
Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.

Kasus ini merupakan sebuah kasus terminal dari eklampsia yang disertai
HELLP Syndrome yang disertai kegagalan multiorgan. Kasus seperti ini
merupakan sebuah contoh kasus kegagalan dalam penanganan pasien sejak
prekonsepsi, ANC, serta penatalaksaan di pelayanan kesehatan. Morbiditas dan
mortalitas pada pasien terjadi karena adanya keterlambatan dalam penanganan
pasien, yaitu: Keterlambatan dalam melakukan deteksi dini pasien sehingga
pasien jatuh kedalam kondisi eklampsia, Keterlambatan dalam melakukan
terminasi kehamilan serta pemilihan metode terminasi, Keterlambatan dalam
pemutusan melakukan hemodialisis.

14
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan tanda-tanda
preeklampsia. Preeklampsia sendiri merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
hipertensi (Tekanan darah ≥140/90 mmHg) bersamaan dengan proteinuria masif
yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada kasus yang jarang,
kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama
bahkan kematian. Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang
eklampsia dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan
hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus
yang berat ditemukan sianosis. Pemberian MgSO4 merupakan terapi pilihan pada
tatalaksana preeclampsia berat dalam mencegah eklampsia. Kemungkinan kejang
pasca tatalaksana MgSO4 masih dapat terjadi, oleh karena itu pemantauan pasca
pemberia obat sangat penting untuk dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan
deteksi dini pasien sehingga pasien jatuh kedalam kondisi eklampsia,

5.2 Saran

.............Memberikan pengobatan pada ibu hamil dengan hipertensi dan


pengaturan diet yang ketat agar kejadian pre-eklampsia berat tidak terjadi
sehingga kematian ibu dapat dicegah. Melakukan penanganan yang komprehensif
pada kasus eklampsia dan sindrom HELLP sesuai dengan prosedur standar yang
telah ada di rumah sakit. Perlunya melakukan pengawasan terhadap puskesmas
Pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar dalam melakukan pelayanan
antenatalagar kasus pre-eklampsia berat dapat dicegah dan memberikan
penanganan prarujukan pada yang telah mengalami pre-eklampsia berat sehingga
dapat dipastikan bahwa proses rujukan ke rumah sakit dilakukan sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Andalas, Mohd. 2017. EKLAMPSIA POSTPARTUM: SEBUAH TINJAUAN


KASUS. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 17 Nomor
1 April 2017. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Bada Aceh
Arianjarrani, Vitama and -, Dra. Nurul Mutmainah, M.Si., Apt (2019) Kajian
Drug Related Problems (DRPs) Pada Ibu Hamil Dengan
Preeklampsia/Eklampsia Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi
Tahun 2017. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Efendi, Lucas. 2016. Penanganan Terkini Preeklampsia. (med.unhas.ac.id ›


2016/08 › PENANGANAN-TERKINI-PEB-EL-final) diakses pada
tanggal 20 januari 2020
Muhani, Nova. 2015. Pre-eklampsia Berat dan Kematian Ibu. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Malahayati, Lampung, Indonesia, Departemen
Biostatistik dan Kependudukan. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Universitas Indonesia. Depok, Indonesia
Paulina, Ika D. R Bere. 2017. FAKTOR RISIKO KEJADIAN PRE-EKLAMSIA
PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN BELU. Risk Factors Pre-Eklamsia
in Pregnant Mothers, Belu Regency. Bagian KIA-Kespro Program
Pascasarjana Universitas Nusa Cendana Kupang. 2Dinas Kesehatan
Provinsi NTT
Siagian, Sahat. 2016. Pengelolaan Preeklampsia dan Eklampsia di Post Oleh Putri,
Praticia. (http://pantiwilasa.com/majalahkasih/detailpost/pengelolaan-
preeklampsia-dan-eklampsia) diakses pada tanggal 23 januari 2020

Triana, Esfi. 2019. Laporan Kasus Eklampsia Antepartum pada G5P4A0H3


Gravid Preterm 33-34 Minggu + Sindrom HELLP + AKI + IUFD. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019; 8(Supplement 1). http://jurnal.fk.unand.ac.id

16

Anda mungkin juga menyukai