Bagaimana usaha peternakan sapi potong yang ada di NTT pada umumnya dibandingkan dengan SK. DITJEN PETERNAKAN NO: 777/KPTS/DJP/DEPTAN/1982
Peternakan sapi potong di NTT
Menurut saya, Usaha peternakan sapi potong di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya dan pulau Timor khususnya memiliki makna strategis antara lain pemasok sapi potong untuk sumber penerimaan daerah, dan sumber pendapatan bagi peternak. Sobang (2005) menyatakan bahwa usaha sapi potong di Kabupaten Kupang memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani peternak berkisar 30 – 70 %, lebih lanjut dinyatakan bahwa kontribusi tersebut semakin tinggi pada sistim pertanian lahan kering dan sebaliknya semakin menurun pada pertanian lahan basah. Namun demikian pengembangan sektor usaha sapi potong di NTT masih menghadapi berbagai kendala antara lain ketersediaan pakan yang rendah (kualitas, kuantitas, dan kontinuitas), kualitas bibit sapi potong yang semakin A-101 menurun, sistim peternakan yang masih ekstensif tradisional, dukungan kelembagaan yang masih rendah. Untuk itu dalam upaya mencermati berbagai permasalahan tentang pengembangan agribisnis sapi potong di NTT, maka dilakukan review terhadap sejumlah aspek yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan sapi potong di NTT. Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1980-an merupakan gudang sapi potong yang secara rutin memasok kebutuhan daging bagi wilayah Pulau Jawa. Pada saat itu, secara rutin dilakukan pengapalan sapi dari pelabuhan Atapupu, Kecamatan Atambua, Kabupaten Belu seminggu sekali sekitar 200 ekor dengan bobot badan di atas 250 kg (Priyanto 1998). Namun, menurut Kementerian Pertanian (2014), populasi sapi potong di NTT hanya menduduki peringkat ketiga dengan kontribusi 15,8% dari kebutuhan nasional setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kondisi demikian disebabkan mayoritas usaha ternak sapi potong di NTT adalah pola usaha pembibitan dengan manajemen pemeliharaan digembalakan. Pada tahun 2013, populasi sapi potong di NTT menduduki posisi keempat tingkat nasional (803.450 ekor) (Ditjen PKH 2014) dan pada tahun 2014 bergeser menjadi posisi kelima, yang digeser NTB (1.013.794 ekor) (Ditjen PKH 2015). Sapi potong merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) setelah tanaman bahan pangan. Kupang juga merupakan salah satu sentra produksi sapi potong hingga 2012 populasi sapi potong di Kabupaten Kupang mengalami peningkatan dengan populasi sapi mencapai 158 203 ekor (BPS, 2013). Peningkatan populasi sapi potong belum menunjukkan produktivitas sapi di Kabupaten Kupang. Hal ini disebabkan penggunaan input pakan yang berasal dari alam, manajemen peternakan yang masih sederhana dan pengaruh eksternal seperti kemarau panjang dan penyakit. Manajemen peternakan yang sederhana menyebabkan penggemukan sapi di Kabupaten Kupang lama dengan rata-rata penggemukan hingga 18 bulan sedangkan penggemukan sapi yang singkat dengan manajemen peternakan yang baik hanya berlangsung 3-4 bulan (Sarwono & Arianto, 2011). Hal ini menyebabkan pertambahan bobot sapi potong di Kabupaten Kupang mencapai 0,2-0,4 kg/ekor sedangkan pertambahan bobot sapi yang optimal untuk sapi bali dapat mencapai 0,3-0,6 kg/ekor. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1980-an merupakan pemasok ternak sapi potong ke Pulau Jawa dengan bobot badan minimal 250 kg/ekor. Namun, kemampuan tersebut makin menurun karena berbagai kendala yang dihadapi. Padang penggembalaan merupakan keunggulan komparatif dengan sistem pemeliharaan digembalakan. Namun, kualitas padang penggembalaan makin menurun, selain kebijakan intensifikasi tanaman padi yang berdampak terhadap berkurangnya area penggembalaan. Kasus pencurian ternak yang tinggi akan menurunkan minat peternak dalam usaha ternak. Kematian anak sapi yang masih tinggi dan adanya pemotongan sapi betina produktif akan mengganggu program peningkatan populasi sapi di NTT. Langkah kebijakan untuk memacu NTT kembali sebagai sumber ternak sapi potong di antaranya adalah perbaikan padang penggembalaan dan pengelolaannya dan penerapan model integrasi padi-sapi untuk mengantisipasi berkurangnya area penggembalaan dan meningkatkan daya dukung pakan. Jaminan keamanan ternak diperlukan akibat kasus maraknya pencurian, karena sapi adalah aset utama petani dalam memenuhi ekonomi keluarga. Kebijakan pengendalian pemotongan sapi betina produktif dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan yang tepat oleh Pemda. Kematian anak sapi dapat diturunkan dengan tidak mengikutkan anak dalam penggembalaan. Perbaikan kualitas genetik dilakukan melalui kawin alam dengan pejantan unggul, maupun pe-ngembangan gertak berahi dan inseminasi buatan. Strategi ini diharapkan mampu memacu peningkatan populasi sapi potong dan mengembalikan peran NTT sebagai pemasok sapi ke Pulau Jawa.
Dibandingkan dengan SK. DITJEN PETERNAKAN
NO: 777/KPTS/DJP/DEPTAN/19832 Lokasi Tidak bertentangan dengan ketertiban dan kepentingan umum. Tidak berada di tengah pemukiman. Jarak dengan pemukiman > 250 meter, jarak dengan peternakan lain > 25 meter. Memperhatikan topografi, tidak mencemari lingkungan daerah sekitarnya. Pagar pembatas tinggi > 1,75 meter. Pagar batas keliling > 4 jalur kawat polos/berduri, dengan tiang kayu/beton. Pagar batas tidak boleh dialiri listrik. Pagar di dalam boleh dialiri listrik berkekuatan lemah dengan izin PLN. Bangunan a. Macam bangunan yang harus ada di peternakan sapi perah: Kandang penanganan (cattle yard) + crush dan rase untuk ranch dan kandang untuk penggemukan. Kandang isolasi dan kandang karantina Gudang pakan, alat-alat, pupuk. Kantor + kamar obat-obatan dan keswan. b. Persyaratan Kandang Kandang penanganan dan isolasi harus memperhatikan topografi. Kandang penggemukan harus memenuhi persyaratan. Bibit Bibit harus baik dan berasal dari daerah bebas penyakit menular. Bibit dari LN harus seijin Ditjen Peternakan. Ternak baru harus masuk karantina > 14 hari. Perusahaan pembibitan mengikuti petunjuk, pengarahan dan pengawasan Ditjen Peternakan / Dispet setempat. Penyediaan Air, Makanan Ternak Dan Tanah/Lahan Air Tersedia cukup utk ternak, kebersihan dll Hijauan tersedia cukup (dari kebun sendiri sebagian/seluruhnya) Konsentrat cukup tersedia (dari pabrik pakan/buat sendiri) Wajib menyediakan lahan sesuai kebutuhan Status lahan jelas sesuai peraturan perundang-undangan. Kesehatan Hewan Lokasi tidak mudah dimasuki binatang liar. Wajib melakukan desinfeksi, penyemprotan insektisida, dan hama lain. Wajib melakukan pembersihan, pencucian, pencucihamaan. Karyawan tidak menularkan penyakit dari satu kandang ke kandang yang lain. Orang lain tidak keluar masuk kandang. Ternak sakit, mati tidak boleh keluar komplek peternakan, kecuali untuk diagnose. Wajib vaksinasi dan dibuktikan dengan adanya kartu kesehatan. Wajib uji Brucellosis dan memiliki sertifikat bebas Brucellosis Sertifikat dikeluarkan oleh Ditjen Peternakan Sertifikat berlaku 2 tahun Biaya dibebankan kepada perusahaan Ternak + antibiotik baru dapat dikonsumsi setelah > 14 hari Ternak + hormon baru dapat dikonsumsi setelah > 3 hari. Wajib membantu pemerintah dalam pemberantasan dan pencegahan penyakit Ternak sakit/dugaan sakit, segera lapor Dispet setempat. Pencemaran/ Kelestarian Lingkungan Wajib membuat laporan tiap 6 bulan sesuai petunjuk Ditjen Peternakan. Wajib menerima, membantu petugas bimbingan dan pengawasan. Perusahaan yang didirikan sebelum SK ini harus membuat penyesuaian < 3 tahun. Bila melakukan pelanggaran, akan dikenai sanksi.