Anda di halaman 1dari 17

Tauhid: Dasar Pengembangan Kurikulum Pendidikan

Islam

MASTUKI HS* & LATHIFATUL HASANAH**

*Subdit Kelembagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI


Jl. Lapangan Banteng Barat, No. 3-4. Jakarta. Telp. (021) 3812642
** Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES) Islamic Village BSD Serpong
Jl. Islamic Raya, Kelapa Dua, Tangerang, Banten. Telp. (021) 5464165

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui tauhid sebagai dasar dalam
pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Tulisan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak (pemerintah, guru, dan stakeholder pendidikan) dalam rangka
mengembangkan kurikulum yang didasarkan pada tauhid. Tulisan ini menghasilkan
dua hal yaitu: Pertama, tauhid meliputi bukan saja pengakuan pada keesaan
Tuhan (kesatuan ketuhanan), tetapi juga pengakuan kesatuan penciptaan
(alam) dan kesatuan kemanusiaan. Dengan kata lain, dari tauhid dapat
diderivasi tiga aspek utama, yaitu aspek teologis (ketuhanan), kosmologis
(kealaman), dan antropo-sosiologis (kemanusiaan). Kedua, perumusan makna
terdalam kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan keberadaan hakikiah
manusia dan dimensi ketergantungannya pada aspek teologis, kosmologis dan
antropo-sosiologis. Dengan begitu, dalam perspektif pandangan dunia tauhid,
kurikulum pendidikan Islam harus diorientasikan pada pengembangan nilai-nilai
ilahiah (teologis), alamiah (kosmologis) dan insaniah (antropo-sosiologis). Dari
kemestian ini, bangunan pendidikan Islam dilandasi dan sekaligus hendak
mengarahkan anak didik pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu hubungan
manusia dengan Allah (hablun min Allah, aspek teologis), hubungan manusia dengan
sesamanya (hablun min al-nâs, aspek antropo-sosiologis), dan hubungan manusia
dengan alam lingkungannya (hablun min al-‘âlam, aspek kosmologis).

Kata Kunci: pendidikan, tauhid, kurikulum.

PENDAHULUAN bahwa hanya ada satu ilah, yaitu Allah.


Sebagai agama samawi, Islam Keyakinan inilah yang harus mengisi
ditegakkan pertama kali di atas fondasi kesadarannya ketika ia menyatakan muslim
keyakinan adanya Allah sebagai satu-satunya (ketundukan dan kepatuhan kepada Allah).
Pencipta alam semesta. Oleh karena itu, Dengan demikian, tauhid berarti komitmen
esensi pengalaman keagamaan dalam Islam manusia kepada Allah sebagai fokus dan
adalah tauhid, yaitu pengakuan dan pusat orientasi, pusat hidup, dan satu-
keyakinan akan kemahaesaan Allah. Ketika satunya sumber nilai.
seseorang mendeklarasikan keyakinannya Bagi seorang muslim, bertauhid meru-
hanya kepada Allah semata (lâilâha illa pakan pangkal sekaligus ujung (tujuan) dari
Allâh), ia harus menafikan seluruh ilah-ilah seluruh kehidupannya. Seluruh aktivitas ke-
lain sembari meneguhkan keyakinannya hidupannya harus ada dan tetap dalam ke-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 96


rangka (frame) tauhid. Tauhid tidak hanya kurikulum sebagai seperangkat bahan
mengisi “sisi kosong” kesadaran muslim, pelajaran, rumusan hasil belajar, penyediaan
tetapi seluruh kesadarannya. Gagasan kesempatan belajar, kewajiban dan
tentang Tuhan, dalam bahasa Arab disebut pengalaman peserta didik. (Supandi,
Allah, yang terdapat dalam konsep tauhid 1986:87). Sementara Taba memandang
meresap ke dalam setiap aspek kehidupan- kurikulum sebagai hal yang mengandung
nya. Karena itu, bagi muslim tauhid suatu kenyataan mengenai maksud dan
merupakan satu-satunya raison d’etre. tujuan tertentu; memberi petunjuk tentang
(Ziaudin Sardar & Davies, 1992:23) beberapa pilihan dan susunan isinya;
Pendidikan Islam, sebagai bagian dari menyuratkan pada pola belajar dan
struktur kelembagaan Islam sangat mengajar tertentu, baik karena dikehendaki
berkepentingan untuk memfungsikan dan oleh tujuan maupun susunan isinya.
mengaktualisasikan nilai-nilai tauhid dalam Akibatnya kurikulum memerlukan suatu
proses pendidikannya. Pada tataran program pengevaluasian hasil-hasilnya.
kurikulum, nilai-nilai tauhid dapat menjadi Crow dan Crow (1990:36) mengatakan
“ruh” dalam merumuskan prinsip-prinsip bahwa kurikulum adalah rancangan
dasar yang hendak dibangun oleh pengajaran yang isinya sejumlah mata
pendidikan Islam. Sebagaimana akan penulis pelajaran yang disusun secara sistematik
uraikan di bawah, sesungguhnya konsep yang diperlukan sebagai syarat untuk
tauhid senafas dengan prinsip-prinsip menyelesaikan suatu program pendidikan
kurikulum pendidikan Islam yang meliputi tertentu. Sebaliknya, Saylor dan Alexander
prinsip universalitas (kemenyeluruhan), berpendapat kurikulum bukan sekedar
prinsip pertautan dengan nilai-nilai agama, memuat sejumlah mata pelajaran, melainkan
dan prinsip keseimbangan antar semua segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan
unsur (Al-Syaibani, 1997:519-22). Selain itu, yang diinginkan, baik usaha tersebut
nilai-nilai tauhid juga berguna dalam dilakukan di lingkungan sekolah maupun di
perumusan asas-asas kurikulum, baik yang luar sekolah.
bertalian dengan asas filosofis, sosiologis Pendapat terakhir mengenai
maupun psikologis. Lebih dari itu, tauhid kurikulum ini berbeda dengan pendapat-
menjiwai pengembangan struktur kurikulum pendapat yang dikemukakan sebelumya.
pendidikan Islam. Dengan mengedepankan Perbedaan ini tampak terlihat dari segi
konsep tauhid ini, di samping pendidikan sumber pelajaran yang termuat dalam
Islam tetap mempunyai keterkaitan secara kurikulum. Jika sebelumnya kurikulum
organik dan sistemik dengan ajaran Islam, (pendidikan) hanya terbatas pada kegiatan
juga membedakan dengan karakteristik pengajaran yang dilakukan di ruang kelas,
pendidikan lainnya. pada perkembangan selanjutnya pendidikan
dapat pula memanfaatkan berbagai sumber
belajar yang terdapat di luar kelas, seperti
MAKNA KURIKULUM DALAM PEMBE- perpustakaan, musium, pameran, majalah,
LAJARAN surat kabar, siaran televisi, radio, pabrik, dan
Secara harfiah kurikulum berasal dari sebagainya. Dengan cara seperti ini para
bahasa latin, curriculum yang berarti bahan siswa dapat terus mengikuti perkembangan
pengajaran. Ada juga yang mengatakan kata kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
tersebut berasal dari bahasa Perancis couriar kebudayaan, dan lainnya yang terjadi di luar
yang berarti berlari. Dari sudut istilah, para kelas.
ahli memberikan definisi kurikulum yang Nasution (1991:98) mengatakan bah-
beragam. Lewis dan Meil mendefinisikan wa luasnya cakupan kurikulum ini antara

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 97


lain disebabkan adanya tugas-tugas yang dengan pengalaman-pengalaman dan akti-
semula menjadi beban badan-badan lain vitas yang terkanding dalam kurikulum.
kemudian dibebankan pada sekolah. Pada dasarnya, semua prinsip ini perlu
Berdasarkan tuntutan zaman tersebut, para dipertimbangkan dalam penyusunan kuri-
perancang kurikulum menetapkan struktur kulum pendidikan Islam. Jika dikaitkan de-
kurikulum ke dalam empat bagian, yaitu: ngan prinsip tauhid, prinsip-prinsip di atas
Pertama, tujuan yang ingin dicapai oleh ada relevansinya, meskipun perspektif
proses belajar mengajar. Kedua, isi atau mata tauhid jauh lebih punya nuansa.
pelajaran yaitu berisi pengetahuan,
informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas,
dan pengalaman-pengalaman yang MAKNA TAUHID
Tawhîd (diindonesiakan menjadi
merupakan bahan bagi penyusunan
“tauhid”) bukanlah kata yang asing bagi
kurikulum yang isinya berupa mata
seorang penganut Islam. Secara etimologis
pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam
tawhîd ( ) berasal dari kata wahhada-
silabus. Ketiga, metode atau cara yuwahhidu-tawhîdan ( ) yang
menyampaikan mata pelajaran tersebut. berarti esa, keesaan, atau mengesakan, yaitu
Keempat, evaluasi yaitu metode atau cara mengesakan Allah meliputi seluruh
melakukan penilaian dan pengukuran atas pengesaan (Hidayat, 1989:21). Dalam mak-
hasil pengajaran mata pelajaran tertentu. na generiknya juga digunakan untuk arti
Struktur kurikulum ini sama dan “mempersatukan” hal-hal yang terserak-
berlaku bagi semua jenis pendidikan, serak atau terpecah-pecah, misalnya peng-
termasuk pendidikan Islam. Dalam gunaan dalam bahasa Arab tawhîdul quwwah
perspektif ini, untuk kepentingan yang berarti “mempersatukan sege-nap
pembahasan, tauhid sekaligus menjadi kekuatan”.
tujuan, isi, metode, dan evaluasi sekaligus. Meskipun dalam al-Qur’an tidak ada
Kurikulum pendidikan Islam memiliki kata/kalimat yang langsung menyebut
beberapa prinsip kurikulum yang harus tawhîd dalam bentuk masdarnya (yang ada
ditegakkan. Al-Syaibani (1995: 81) dalam hal hanya kata ahad dan wahid), istilah yang
ini meyebutkan tujuh prinsip kurikulum awalnya diciptakan mutakallimin ini
pendidikan Islam: (1) Prinsip pertautan yang memang secara tepat mengungkapkan isi
sempurna dengan agama, termasuk pokok ajaran al-Qur’an, yaitu ajaran tentang
ajarannya dan nilai-nilainya baik mengenai memahaesakan Tuhan. Formulasi paling
tujuan, kandungan, metode mangajar, dan pendek dari tauhid adalah kalimat Lâilâha
lain-lain. (2) Prinsip menyeluruh (universal) illa Allâh (tiada ilah selain Allah), merujuk
pada tujuan dan kandungan-kandungan kepada apa yang bagi seorang Muslim
kurikulum. (3) Prinsip keseimbangan yang merupakan kenyataan paling fundamental
relatif antara tujuan-tujuan dan kandungan dan merupakan keyakinan bagi semua
kurikulum. (4) Prinsip perkaitan antara manusia bahwa hanya ada satu ilah, yang
bakat, minat, kemampuan-kemampuan, dan dalam Islam disebut Allah. Kalimat inilah
kebutuhan anak didik. (5) Prinsip pemeliha- yang dalam Islam dikenal dengan kalimat
raan perbedaan-perbedaan individual di syahâdah, persaksian akan adanya Allah
antara anak didik, baik dari segi minat sebagai satu-satunya Tuhan.
maupun bakatnya. (6) Prinsip menerima Tauhid (sebagai ekspresi iman) tidak
perkembangan dan perubahan sesuai cukup hanya percaya kepada Allah; percaya
dengan perkembangan jaman. (7) Prinsip bahwa Dia sebagai pencipta langit dan bumi.
keterkaitan antara berbagai mata pelajaran Tauhid yang benar mencakup pula penger-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 98


tian yang benar tentang siapa Dia dan ketuhanan, ia akan berarti “Keesaan Tuhan”.
bagaimana bersikap kepada-Nya serta Tetapi, karena Islam mencakup juga aspek-
kepada obyek-obyek selain Dia (Rahman, aspek duniawiyah, mental dan ketuhanan,
1994:124). tauhid tidak hanya berhenti pada wilayah
Merujuk keterangan al-Qur’an, ketuhanan. Sebab, afirmasi kesatuan Tuhan
kepercayaan pada Tuhan merupakan (baca: iman) bukan hanya suatu pernyataan
sesuatu yang intrinsik, naluriah (fitrah) secara lisan (taqrîrun bi al-lisân), tetapi
manusia yang dibawa sejak asal kejadiannya. sekaligus pembenaran dalam hati (tasdîq bi
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus al-qalb) yang kemudian diejawantahkan
kepada agama (Allah). Fitrah Allah yang dalam tindakan konkrit (‘amal bi al-jawârih)
telah menciptakan manusia menurut (Izutshu, 1994:157-158). Dengan kata lain,
fitrahnya. Tiada perubahan pada fitrah Allah. tauhid bukan sekedar pernyataan dan
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan kepercayaan akan ada dan keesaan Tuhan.
manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum, Tauhid adalah keterlibatan, suatu prinsip
30:30). Ayat lain menginformasikan bahwa tindakan yang memberi inspirasi kepada
manusia pernah melakukan perjanjian seluruh kehidupan manusia (Garaudy,
primordial dengan Tuhan sewaktu masih 1986:124). Dengan begitu, bertauhid tidak
berupa janin dalam kandungan. “Dan cukup percaya kepada keesaan Tuhan saja,
ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak tetapi harus disertai dengan pembuktian
turun Adam dari sulbi mereka dan Allah kepercayaan itu dengan berjuang di jalan
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka Allah (jihâd) dalam segala segi kehidupan:
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini ekonomi, politik, sosial-budaya, moral, sains,
Tuhanmu?” (Jiwa itu menjawab): “Benar kesenian, dan dalam peradaban secara luas.
(Engkau Tuhan kami). Kami menyaksikan” Apa yang dapat dikemukakan dari
(QS. al-A’raf, 7:172). uraian di atas adalah bahwa pandangan
Berdasarkan ayat di atas, sebenarnya dunia tauhid bukan saja mengesakan Allah,
Islam tidak terlalu mengkhawatirkan tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan
timbulnya ateisme karena, menurut al- (unity of creation, wahdat al-Khâliq al-
Qur’an, setiap dan semua manusia sejak awal Mudabbir), kesatuan kemanusiaan (unity of
telah dibekali potensi ketuhanan yang mankind, wahdat al-insâniyat), kesatuan
bersifat ruhani. Islam justru tuntunan hidup (unity of guidance, wahdatu
mengkhawatirkan munculnya politeisme masdar al-hayat), kesatuan tujuan hidup
(syirk) –sebagai lawan tauhid. Oleh sebab itu, (unity of purpose of life, wahdatu nihâyat al-
program pokok al-Qur’an –dan juga menjadi hayat), yang kesemuanya itu merupakan
risalah para nabi– adalah ingin mem- derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity of
bebaskan manusia dari belenggu politeis Godhead, wahdâniyat) (Amien Rais,
(kepercayaan kepada banyak Tuhan). 1989:156). Pengertian ini dimungkinkan
Dengan mencanangkan kalimat tauhid, karena tauhid sebagaimana kata dasarnya
Lâilâha illa Allâh, Islam ingin mengarahkan berarti “kesatuan” atau “penyatuan”. Se-
manusia kepada kepercayaan yang murni. hingga jika ditarik pada wilayah manusia
Karena tauhid dan bertauhid tidak maka tauhid berarti kesatuan kemanusiaan
sebatas pada Tuhan dan aktivitas mental, (QS. 2:213; 10:19; 11:61; 114:3). Dan jika
tetapi juga berarti tindakan, maka jalan tauhid ditarik pada wilayah alam semesta
terbaik memahami tauhid, menyitir maka berarti kesatuan alam atau kesatuan
pendapat Hasan Hanafi, adalah dengan penciptaan (QS. 6:102; 35:3; 37:4-6; 40:62;
mengartikanya sebagai “penyatuan”. Ketika 43:84).
gagasan tauhid dikembalikan kepada aspek

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 99


Analisis seperti ini menegaskan bahwa Bila pengertian ini ditarik dalam ke-
tauhid merupakan pandangan hidup tentang hidupan masyarakat manusia maka tauhid
kesatuan universal; kesatuan antara tiga tidak mengakui kontradiksi atau segala
hipostatis yang terpisah –Allah, alam, dan bentuk diskriminasi terhadap manusia
manusia– karena ketiganya bersama asal apapun bentuknya. Karena tauhid menem-
(Syariati, 1982:102). Ketiganya mempunyai patkan manusia dalam kesamaan; kesatuan
arah yang sama, kehendak yang sama, roh kemanusiaan. Digunakan secara luas, maka
dan gerak yang sama, serta hidup yang sama tauhid menolak kontradiksi-kontradiksi
pula. Karena Allah-lah satu-satunya legal, sosial, politik, rasial, ekonomi, bahkan
pencipta, maka semua yang dicipta (alam kontradiksi antar bangsa. Kontradiksi, dis-
dan manusia) ada dalam kesatuan harmoni, diskriminasi, pluralitas, dan keser-
penciptaan. Perhatikan firman Allah berikut baragaman hanya ada dalam pandangan
ini. “Sekiranya ada di langit dan di bumi dunia syirik (lawan pandangan dunia
tuhan-tuhan selain Allah, tentu binasalah tauhid). Dan pandangan dunia syirik selalu
keduanya” (QS. âl-Anbiyâ, 21:22). melandasi syirik dalam masyarakat.
Ketika menafsirkan ayat ini Dengan paparan di atas maka tauhid
Muhammad Fakhrudin al-Razi (1985:187) meliputi bukan saja pengakuan pada ke-
berkomentar: “Sekiranya di dunia ini ada esaan Tuhan (kesatuan ketuhanan), tetapi
lebih dari satu Tuhan atau satu penguasa juga pengakuan kesatuan penciptaan
yang masing-masing memiliki kehendak, (alam) dan kesatuan kemanusiaan.
kekuasaan, dan keinginan yang berbeda, Dengan kata lain, dari tauhid dapat di-
maka yang terjadi bukanlah kosmos derivasi tiga aspek utama, yaitu aspek
(keteraturan), tetapi chaos (kesemrawutan)”. teologis (ketuhanan), kosmologis (ke-
Logikanya, bahwa dengan hanya ada satu alaman), dan antropo-sosiologis (kema-
Tuhan maka seluruh ciptaan hanya akan nusiaan).
patuh dan tunduk di bawah perintah-Nya.
Inilah konsep kesatuan penciptaan (tauhid).
Konsep satu kesatuan (unity of the
TAUHID: PARADIGMA PENGEMBANGAN
whole universe) ini menolak adanya
KURIKULUM
kontradiksi dan disharmoni dalam jagad
Pemikiran bahwa tauhid perlu
raya. Oleh sebab itu, dalam pandangan dunia
dijadikan sebagai paradigma pendidikan
tauhid tidak terdapat adanya kontradiksi
Islam bukan tanpa dasar dan alasan logis.
dalam semua eksistensi: tidak ada
Sebab, seperti diuraikan di atas, tauhid
kontradiksi antara alam dan manusia, jas-
sebagai pandangan dunia (weltanschaung)
mani dan rohani, dunia dan akhirat, juga
berisi nilai-nilai fundamental yang dapat
antara substansi dan fakta. Karena tauhid
mengajarkan bahwa seluruh fenomena dijadikan sebagai dasar bangunan
dalam alam, seperti siang dan malam, lautan pendidikan Islam. Dari perspektif ini
dan daratan, matahari, bumi, manusia dan dapat diambil formulasi bahwa fungsi
seluruh makhluk hanyalah “tanda” (ayat, tauhid adalah mentransformasikan setiap
indeks) kekuasaan Tuhan yang menunjukkan individu yang meyakininya menjadi
adanya tauhîd al-wujûd (kesatuan “manusia tauhid” yang memiliki sifat-sifat
eksistensi). Antara “tanda” dan “yang di- mulia yang membebaskan dirinya dari
tandai” (Allah) bukanlah dua hipostatis yang setiap belenggu yang akan memasung
terpisah dan berlawanan, tetapi tetap dalam dirinya ke dalam situasi nista, yang tidak
kesatuan. manusiawi.

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 100


Di antara berbagai atribut manusia Berdasarkan paparan tersebut, maka
tauhid yang diharapkan lahir dari rahim perumusan makna terdalam kurikulum
pendidikan adalah: Pertama, memiliki pendidikan Islam harus memperhatikan ke-
komitmen utuh pada Tuhannya. Ia ber- beradaan hakikiah manusia dan dimensi
usaha secara maksimal menjalankan ketergantungannya pada aspek teologis, kos-
pesan dan perintah Tuhan sesuai dengan mologis dan antropo-sosiologis. Dengan be-
kadar kemampuannya. Kedua, menolak gitu, dalam perspektif pandangan dunia
pedoman hidup yang bukan datang dari tauhid, kurikulum pendidikan Islam harus di-
Allah. Dalam konteks masyarakat manu- orientasikan pada pengembangan nilai-nilai
sia, penolakan ini berarti emansipasi dan ilahiah (teologis), alamiah (kosmologis) dan
restorasi kebebasan esensialnya dari se- insaniah (antropo-sosiologis).
luruh belenggu buatan manusia supaya Sebagai perwujudannya, pendidikan
komitmennya pada Allah menjadi utuh Islam diarahkan pada dua dimensi, yaitu
dan kokoh. Ketiga, bersikap progresif de- dimensi ketundukan vertikal dan dimensi
ngan selalu melakukan penilaian terhadap dialektikal-horisontal (Saefudin, 1987:97).
kualitas hidupnya, tradisi, dan faham hidup- Dengan kata lain, pendidikan Islam, dalam
nya. Bila dalam penilaiannya ternyata ter- kerangka tauhid ini, harus melahirkan dua
dapat unsur-unsur syirik (dalam arti luas), kemestian strategis sekaligus. Pertama,
maka ia bersedia merubah dan mengubah- pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan
nya agar sesuai dengan pesan-pesan Ilahi. kesadaran dan mengembangkan pengertian
Manusia tauhid adalah manusia progresif tentang asal-usul tujuan hidup manusia dan
karena ia tidak pernah menolak setiap menjaga keharmonisan untuk meraih kehi-
perubahan yang bersifat positif. dupan yang abadi dalam hubungannya
Keempat, tujuan hidupnya amat jelas. dengan Allah (aspek teologis). Kedua,
Ibadatnya, kerja kerasnya, hidup dan mengembangkan pemahaman tentang kehi-
matinya hanyalah untuk Allah semata. Inilah dupan konkrit yaitu kehidupan manusia
yang dideklarasikan berkali-berkali setiap dalam hubungannya dengan alam dan ling-
shalatnya “Innâ shalâtî, wa nusukî, wa kungan sosialnya (aspek kosmologis dan
mahyaya wa mamâtî li Allahi Rabb al- antropo-sosiologis). Pada dimensi ini, anak
‘Âlamîn). Dampaknya, ia tidak akan pernah didik diharapkan mampu mengatasi tan-
terjerat ke dalam nilai-nilai palsu dan hal-hal tangan dan kendala dunia konkritnya dengan
yang tanpa nilai, muspro (disvalues) sehingga seperangkat kemampuan yang dimiliki
atribut-atribut duniawiyah: kekayaan, ke- (pengetahuan, ketrampilan, moral, dan ke-
kuasaan, dan kesenangan hidup bukanlah pribadian yang mantap). Kemampuan-ke-
tujuan hidupnya. Hal-hal itu adalah sarana mampuan semacam itu hanya bisa diperoleh
belaka untuk menggapai ridha Allah. Kelima, melalui proses pendidikan.
manusia tauhid memiliki visi dan misi yang Dari kemestian ini, sesungguhnya
jelas tentang kehidupan yang akan dibangun bangunan pendidikan Islam dilandasi dan
bersama manusia-manusia lainnya. Suatu sekaligus hendak mengarahkan anak didik
kehidupan harmonis antara manusia dengan pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu
Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dan hubungan manusia dengan Allah (hablun min
dengan sesamanya, serta dengan dirinya Allâh, aspek teologis), hubungan manusia
sendiri. Pada gilirannya visi ini mendorong- dengan sesamanya (hablun min al-nâs, aspek
nya mengubah tatanan jumud dan musyrik antropo-sosiologis), dan hubungan manusia
menjadi tatanan baru yang lebih manusiawi, dengan alam lingkungannya (hablun min al-
maju, adil dan demokratis. ‘âlam, aspek kosmologis).

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 101


Aspek Teologis (Kesatuan Ketuhanan) nyataan yang tak teruji dan tidak dikonfir-
Ismail Raji al-Faruqi (1988:175) masikan. Pernyataan yang tidak dikonfir-
menyatakan bahwa mengakui ketuhanan masikan ini menurut al-Qur’an disebut dzan
Tuhan dan keesaan-Nya berarti mengakui atau pengetahuan yang menipu dan tidak
kebenaran (QS. 11:14; 14:52; 16:2; 23:23, punya dasar yang kuat.
116; 39:5). Keesaan Tuhan dan kesatuan ke- Berkenaan dengan masalah ini al-
benaran tidak dapat dipisahkan. Keduanya Qur’an menyatakan bahwa syirk (lawan
merupakan aspek-aspek dari satu realitas tauhid) adalah sebagai bagian dari mental
yang sama. Ini akan menjadi jelas karena pikiran dzan, sebuah kata yang berlawanan
kebenaran adalah salah satu sifat dari dengan ‘ilm (pengetahuan yang ditetapkan
pernyataan tauhid, bahwa Tuhan itu tunggal, berdasarkan pemikiran dan argumentasi
esa. Jika kebenaran tidak satu, maka per- yang kokoh dan bisa dipertanggung-
nyataan “Tuhan itu Esa” bisa dibenarkan dan, jawabkan). Dalam konteks ini, dzan menun-
begitu juga, pernyataan “sesuatu benda dan jukkan tipe pemikiran yang tidak berdasar,
kekuatan lain adalah Tuhan” dapat di- suatu pengetahuan yang meragukan dan
benarkan. Mengatakan bahwa kebenaran itu tidak jelas, spekulatif, pikiran yang tidak
satu tidak hanya sama dengan menyatakan dapat diandalkan atau semata-mata
bahwa Tuhan itu satu, melainkan juga merupakan dugaan saja (Izutsu, 1993).
penegasan tidak ada tuhan kecuali Tuhan; Dengan demikian, istilah dzan mengandung
gabungan dari al-nâfy (negasi) dan al-itsbât nilai negatif, bertentangan dengan ‘ilm yang
(afirmasi) dari kalimat Lâilâha illa Allâh. memiliki nilai positif.
Sebagai prinsip metodologis, tauhid Ayat berikut ini menunjukkan dengan
dalam perspektif ini mengandung tiga sangat jelas bahwa menurut konsepsi al-
prinsip penting yang layak dikembangkan Qur’an, dzan pada dasarnya berlawanan
dalam kerangka pendidikan Islam, khusus- dengan ‘ilm. Dan menariknya, sesembahan
nya perumusan struktur kurikulum. palsu yang disembah oleh orang-orang
Pertama, Islam sangat mengutamakan musyrik itu adalah akibat pikiran dzan.
ilmu pengetahuan yang benar, sesuai dengan “Sesungguhnya orang-orang yang tidak
realitas, dan sebaliknya menolak segala beriman kepada kehidupan akhirat, mereka
pengetahuan yang menyimpang dari menamakan malaikat dengan nama
kebenaran, tidak berkaitan dengan realitas. perempuan. Mereka tidak mempunyai
Prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam pengetahuan (‘ilm) tentang itu. Mereka hanya
agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. mengikuti persangkaan (dzan) padahal dzan
Penyimpangan dari realitas atau kegagalan itu tidak sedikitpun berfaedah terhadap
mengaitkan dengan realitas sudah cukup kebenaran” (QS. al-Najm, 53:27-28).
untuk membatalkan suatu item penafsiran Dengan tauhid seorang Muslim
agama, apakah itu produk hukum (fikih), diarahkan untuk memiliki pengetahuan
prinsip-prinsip etika moral (akhlak) atau (‘ilm) yang benar dan positif tentang realitas
pemikiran spekulatif dalam kajian teologi, yang ada (alam) dan yang adanya wajib ada
filsafat maupun tasawuf. Keyakinan pada (Tuhan). Seorang Muslim dapat didefini-
prinsip tauhid tidak menutup pintu bagi sikan sebagai orang yang tidak mengatakan
setiap Muslim menggunakan daya intelektual apa-apa kecuali kebenaran.
dan akal budi nuraninya untuk berijtihad Kedua, keyakinan pada keesaan Tuhan
sepanjang memenuhi kriteria kebenaran dan kebenaran tidak mengakui terhadap
(ilmiah, historis, normatif, dan lain-lain). segala bentuk kontradiksi dan paradoks, dan
Prinsip ini melindungi setiap Muslim dari isu sebaliknya mengakui keteraturan dan kehar-
atau opini, yakni tindakan membuat per- monisan. Prinsip ini merupakan prinsip ra-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 102


sionalisme. Tanpa itu tidak ada jalan untuk melahirkan sikap-sikap positif. (1) Prinsip
lepas dari skeptisisme, bahwa suatu kontra- ini melahirkan sikap terbuka terhadap bukti
diksi mengandung arti bahwa kebenaran baru yang sama dan/atau bertentangan
dari masing-masing kontradiksi itu tidak sekalipun. Karena setiap orang berhak men-
akan pernah diketahui. Kontradiksi bisa dapatkan dan menemukan kebenaran, maka
terjadi pada pemikiran dan atau pandangan terbuka kemungkinan kebenaran itu sama
hidup manusia yang tidak mengakui atau bertentangan. (2) Kepercayaan akan
kesatuan eksistensi (tawhîd al-wujûd) Tuhan, kesatuan kebenaran akan melindungi
misalnya pandangan hidup dualisme, seseorang dari literalisme, fanatisme, dan
trinitarianisme dan politeisme. Keyakinan konservatisme yang mengakibatkan keman-
pada satu Tuhan, dengan demikian, degan. Dia akan terus menerus menemukan
membebaskan manusia dari berbagai bentuk kebenaran melalui pergumulan hidup dan
kontradiksi dan kekacauan pemikiran atau pencarian meskipun trial by error. (3)
disharmoni dalam jagad raya. Prinsip ini mendorong kaum muslimin
Tauhid sebagai kesatuan kebenaran. bersikap rendah hati secara intelektual,
Kebenaran itu satu dan pengetahuan itu satu bahwa klaim kebenaran (truth claim) itu
karena ilmu itu satu juga. Sumber bukan hanya miliknya semata, tetapi bisa
kebenaran, sumber pengetahuan itu satu, dimiliki oleh siapa pun tergantung
yaitu dari Allah. Di sini berlaku kebenaran sejauhmana mereka menemukan kebenaran-
mutlak. Namun, kesatuan kebenaran dan kebenaran itu. Prinsip ini ‘memaksa’ seorang
kesatuan pengetahuan bertebaran di alam Muslim untuk menyatakan Wallahu A’lam
semesta dalam pola kerja sunnatullah (Allah yang lebih mengetahui hakekat
(hukum kehidupan) dan hukum alam kebenaran itu) terhadap segala pernyataan
(taqdîr) yang sudah konstan. Tapi apa atau penyangkalannya terhadap kebenaran
sesungguhnya hakikat sunnatullah dan yang ditemukan. Karena dia yakin bahwa
taqdir, manusia tidak ada yang mampu kebenaran sejati lebih luas ketimbang
menembusnya. Pada tataran ini berlaku kebenaran yang diperolehnya. Hanya ilmu
kebenaran relatif. Artinya, manusia punya Allah yang meliputi segalanya. “Ilmu Tuhanku
ruang gerak bebas dan luas untuk meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu
menemukan kebenaran-kebenaran relatif ingat?” (QS. al-An’am, 6:80).
itu. Wilayah ilmu pengetahuan ada pada Sebagai penegasan dari keesaan Tuhan,
dataran ini. Setiap orang punya kesempatan tauhid merupakan kesatupaduan sumber-
menemukan kebenaran dan pengetahuan sumber kebenaran. Sumber kebenaran
dengan cara yang berbeda-beda. Namun, adalah Allah. Sebagai kebenaran mutlak (al-
kebenaran relatif itu akan tetap dalam pola Haq), Tuhan merupakan sumber segala
ilahiah (kebenaran mutlak, sunnatullah, sumber kebenaran lain yang bisa diperoleh
taqdir) selama proses pencariannya tidak oleh manusia. Di sini berlaku suatu hirarki
dicampuradukkan dengan keinginan- atau tingkat-tingkat kenisbian (Bakar, 1994:
keinginan (nafsu) dan pikiran dzan 76) pada dataran realitas (alam). Artinya,
(Saefudin, 1987:134). kebenaran itu bersifat berjenjang. Segala
Dengan uraian itu, Tuhan sebagai satu kebenaran di alam, yang dicapai oleh
kebenaran mutlak melahirkan pluralitas manusia, adalah “pancaran” dan manifestasi
kebenaran pada tingkat manusia yang (istilah tasawuf: tajalli) dari kebenaran
sifatnya relatif. Akan tetapi, di sinilah mutlak Tuhan, bukan kebenaran itu sendiri.
manfaatnya, justru pencarian kebenaran Manusia dipersilakan seluas-luasnya
secara terus menerus itu, karena tidak menemukan kebenaran dan pengetahuan di
mampu mencapai kebenaran sejati, akan alam. Tuhan adalah pencipta alam darimana

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 103


manusia memperoleh pengetahuannya. Inilah diberikan Tuhan itu dengan mengerahkan
makna penggambaran al-Qur’an tentang segenap fakultas pengetahuan yang
dunia, tentang gejala-gejala alam (universe), dimilikinya.
sebagai âyat (tanda, indeks) Tuhan (Sirajudin
Zar, 1994: 90). Untuk memperoleh pengeta-
huan dari fenomena alam itu Allah telah Aspek Antropo-Sosiologis (Hablun min al-
melengkapi manusia dengan semua fakultas Nâs)
yang dibutuhkan untuk mengetahui dan Salah satu kelanjutan logis dari prinsip
memampukan dirinya untuk mengetahui keesaan Tuhan (tauhid) adalah faham
semua yang perlu diketahui. Al-Qur’an persamaan manusia (kesatuan kemanu-
menyatakan begini: “Dia yang membuat siaan). Pandangan antropologis al-Qur’an
segala sesuatu dan telah menciptakannya menyatakan bahwa pada mulanya manusia
dengan sebaik-baiknya. Dia memulai berasal dari umat yang sama/satu (QS.
penciptaan manusia dari tanah … Kemudian 2:213), mempunyai kedudukan yang sama,
menyempurnakannya dan meniupkan ruh- dan tanggungjawab kosmik yang sama pula.
Nya ke dalam (tubuh manusia) dan Dia Akan tetapi, dibalik gagasan tentang
menjadikan (melengkapi) bagi kamu kesatuan umat manusia tersebut, al-Qur’an
(fakultas) pendengaran, penglihatan, dan tidak mengecilkan arti dan bahkan mengakui
hati. Akan tetapi sedikit sekali di antara kamu kenyataan eksistensial kemajemukan dan
yang mau bersyukur” (QS. al-Sajdah, 32:7, 9) keragaman umat manusia. Umat manusia
Semua fakultas yang dimiliki manusia adalah satu sekaligus majemuk; satu dalam
untuk memperoleh pengetahuan, yaitu keragaman dan beragam dalam kesatuan.
panca inderanya, perasaan-perasaan Perhatikan ayat ini “Hai manusia. Kami
internalnya (fakultas pengingatan, daya ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan.
khayal), fakultas rasional dan spiritualnya (Setelah itu) Kami jadikan kamu bersuku-suku
(akal dan hati) adalah pemberian Tuhan dan berbagai bangsa supaya kamu saling
yang sangat berharga, dan karenanya ia kenal mengenal (QS. al-Hujurât,49:13). Ayat
harus bersyukur. Bersyukur pada Tuhan ini mengemukakan adanya kenyataan-
bukan saja mengenal Tuhan melalui semua kenyataan maknawi bahwa secara
fakultas pengetahuan itu, tetapi juga eksistensial manusia ada dalam perbedaan.
menggunakannya secara sah sesuai dengan Namun, perbedaan itu (apakah warna kulit,
hakikat dan fungsinya secara tepat. Ini ras, gender, suku, bahasa, bangsa, bahkan
menghendaki pengenalan terhadap obyek- agama) bukan untuk dipertentangkan, tetapi
obyek pengetahuan. Obyek pengetahuan untuk lita’ârafû (saling kenal-mengenal,
adalah pola-pola alam yang merupakan mengetahui karakter, kepribadian, hak dan
hasil karya Tuhan yang paling agung (QS. kewajiban) sehingga masing-masing pihak
51:20; QS. 10:5-6). Tuhan menciptakan tegak sebagai subyek dan pribadi yang utuh.
pola dan mekanisme kerja alam secara Hidup kebersamaan, dalam perspektif
pasti (sunnatullah, takdir) dan mengeta- tauhid, bukanlah wahana peluluhan,
huinya secara pasti pula karena Dia lah melainkan sebagai media pertumbuhan nilai-
penciptanya. Dialah sumber pengetahuan. nilai dan identitas diri. Dalam komunikasi itu
Pengetahuan yang diperoleh manusia manusia memperoleh kesempatan dan
pada dasarnya adalah mengetahui seba- kemungkinan untuk memperkaya dan
gian pengetahuan Tuhan, sementara membangun diri dan jiwanya.
pengetahuan-Nya adalah universal, tak Dengan pandangan dasar ini, harkat
terjangkau. Tugas manusia adalah dan martabat manusia diakui sama
“menangkap” sinyal pengetahuan yang kedudukannya. Selanjutnya untuk memper-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 104


kuat martabat kemanusiaannya, Allah setiap kejahatan dan perbuatan buruk akan
mengajarkan agar membangun komunikasi mendatangkan malapetaka, bukan saja bagi
dan menjalin persaudaraan manusia sejati dirinya, tetapi pada rusaknya sistem sosial.
berdasarkan kemanusiaan, bukan Menurut al-Qur’an, setiap kejahatan yang
kepentingan yang bertendensi duniawi. dilakukan seseorang akan berakibat pada
Makanya secara tegas al-Qur’an melarang keseluruhan kemanusiaan (QS. al-Mâidah,
hubungan sesama manusia secara hirarkis 5:32).
dan vertikal. Lantaran hubungan semacam Pendidikan Islam berkepentingan
ini akan menimbulkan efek negatif. mengarahkan anak didik, melalui proses
Pertama, jiwa-jiwa yang kerdil (timid pendidikan, agar memiliki kesadaran
souls), yakni perilaku robotisme yang hanya kemanusiaan sejati. Kesadaran yang akan
menuruti perintah atasan atau ABS (asal membawanya memiliki apresiasi yang tinggi
babe senang) dengan mengabaikan nurani terhadap nilai hidup manusia. Pada titik ini
dan daya nalarnya. Dus, hak asasi yang perlu upaya serius mengembangkan pendi-
dikaruniakan Allah, dan telah menjadi atribut dikan yang berwawasan kemanusiaan. Ber-
kemanusiaannya yang membedakan dengan dasarkan pandangan kemanusiaan yang khas
makhluk lain, untuk diaktualisasikan dalam tauhid, seperti disinggung serba sedikit di
kerja-kerja kemanusiaan akhirnya dizalimi muka, sesungguhnya pendidikan Islam lebih
dan diingkarinya sendiri. memiliki basis yang kokoh bagi pengem-
Kedua, hubungan vertikalisme juga bangan pendidikan yang lebih manusiawi.
akan memperkokoh “piramida umat Dalam konteks kurikulum pendidikan Islam,
manusia” baik itu berbentuk feodalisme, pandangan kemanusiaan ini mengandung
kapitalisme, sosialisme maupun otoriterisme setidaknya tiga implikasi mendasar.
yang mendudukkan manusia berdasarkan Pertama, implikasi yang berkaitan
status sosialnya. Wujud nyata dari pola dengan visi dan orientasi pendidikan di masa
hubungan ini adalah meluasnya “piramida depan. Berdasarkan konsep fitrah, pendi-
korban manusia” apakah berbentuk penin- dikan menurut pandangan Islam adalah
dasan, penganiayaan, pemiskinan terselu- pendidikan yang diarahkan pada upaya
bung, pelecehan seksual, dan bentuk-bentuk optimalisasi potensi dasar manusia secara
pengingkaran hak asasi manusia lainnya. keseluruhan. Pendidikan bukan semata-
Faham tauhid menolak vertikalisme dan mata untuk mengembangkan manusia secara
diskriminasi manusia. biologis-fisiologis semata (domain kognitif
Hanya hubungan manusia dan dan psikomotorik). Pun bukan hanya
interaksi sosial yang dilandasi nilai-nilai pengayaan aspek mental-spiritual dalam
tauhid sajalah yang akan melahirkan rangka mengejar tujuan normatif (domain
kedamaian, kerukunan, keserasian, saling afektif) demi tercapainya manusia yang baik
mencintai, ta’âwun, mengayomi, kasih (shâlih) secara etik dan moral serta kepekaan
sayang, dan seterusnya (Basri, 1994:4). susila, tetapi sementara tidak diimbangi oleh
Tidak akan ada dalam masyarakat tauhid profesionalitas.
suasana kisruh, kekacauan, disharmoni, Pendidikan Islam menolak pola yang
fitnah, saling mencurigai, kekerasan, kere- bercorak dualisme-dikotomik yang melihat
sahan, penyelewengan, kecurangan dan manusia sebagai mono-dualistik yang saling
tindak kriminal lainnya. Singkatnya, masya- terpisah. Dalam pandangan Islam, pendi-
rakat tauhid akan terhindar dari disintegrasi dikan merupakan “rekayasa insaniah”
dan keretakan sosial. Sebab, setiap individu (rancang bangun kepribadian manusia) yang
dalam masyarakat (yang terdiri dari harus berjalan secara sistemik, simultan, dan
individu-individu tauhid) menyadari bahwa relasional dalam kerangka keutuhan

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 105


manusia sesuai dengan fitrahnya. Muatan dirinya untuk memenuhi kodratnya sebagai
pendidikan yang mementingkan salah satu ‘abd Allah dan khalîfat Allâh fi al-ardh.
aspek saja hanya akan menghasilkan Keempat, implikasi pada evaluasi.
kepribadian yang pecah (split of personality). Pengukuran dan penilaian pendidikan Islam
Disini, hemat penulis, gagasan mantan tidak semata berdasarkan pada ukuran-
Menteri Pendidikan, Wardiman Djojonegoro, ukuran normatif seperti dalam evaluasi
mengenai keterkaitan dan kesesuaian (link belajar yang menekankan hafalan. Evaluasi
and match) perlu dipertimbangkan, dalam belajar meliputi ketiga domain sekaligus:
pengertian yang tidak technologic and kognitif, psikomotorik, dan afektif yang
economic oriented, tetapi dalam spektrum merupakan kelengkapan sempurna manu-
yang lebih humanistis, manusiawi. Artinya, sia. Mengukur salah satu aspek saja sama
orientasi pendidikan harus dikembangkan halnya menafikan kesempurnaan manusia
dalam keterkaitan dan kesesuaian antara yang meliputi berbagai aspek: biologis,
dimensi ketubuhan (biologis) dan mental- sosiologis, dan spiritualis. Berkenaan dengan
spiritual. Titik berat pada salah satu aspek itu perlu diupayakan pengembangan eva-
saja berarti pengingkaran atau reduksi luasi yang berbasis nilai, yang tentu
terhadap kemanusiaan manusia. pengukurannya berbeda dengan evaluasi
Kedua, implikasi pada tujuan (ultimate kognitif.
goal) pendidikan Islam. Dengan visi dan
orientasi di atas, tujuan pendidikan Islam
diarahkan pada pencapaian pertumbuhan Aspek Kosmologis (Kesatuan Penciptaan
kepribadian manusia secara seimbang. Alam)
Kepribadian seimbang akan tercapai bila Pemahaman tentang eksistensi alam
terpenuhi domain-domain itu secara dan manusia merupakan pangkal tolak
seimbang: aspek kognitif, psikomotorik, dan dalam memahami wawasan tentang konsep
afektif; atau biologis dan mental-spiritual. dasar dan tujuan pendidikan Islam. Falsafah
Pengabaian terhadap salah satu tentang alam dan manusia, dalam perspektif
aspek/domain menyebabkan model pendi- tauhid, didasarkan pada asas ketuhanan yang
dikan yang pincang sebagaimana terjadi fungsional. Dalam arti, bahwa Allah-lah satu-
dalam sistem persekolahan selama ini. satunya pencipta alam dan manusia. Dipan-
Ketiga, implikasi pada muatan materi dang dari aspek penciptaan ini, hubungan
dan metodologi pendidikan. Materi pendi- manusia dan alam pada hakikatnya adalah
dikan Islam secara garis besar merupakan hubungan sesama ciptaan.
konseptualisasi dari fungsi umum manusia
sebagai hamba Allah (aspek keberagamaan)
dan khalifah-Nya (fungsi eksistensial), Alam sebagai Ladang Tuhan Buat
sekaligus materi yang meliputi dan Manusia
melingkupi seluruh potensi dasar manusia Islam mengajarkan bahwa alam
(fitrah). Adapun metodologi yang diterap- diciptakan oleh Allah untuk kepentingan
kan, karena hal ini erat kaitannya dengan manusia. Ia laksana “ladang” bagi manusia,
hakekat kemanusiaan, tujuan dan materi tempat menyemai benih dan menuai hasil.
pendidikan, maka konsekwensinya, pe- Pernyataan ini mengimplikasikan beberapa
milihan, penetapan dan penggunaan metode hal, yaitu:
harus memper-timbangkaan karakteristik Pertama, alam bukanlah milik manu-
tersebut. Artinya, metode yang dapat sia, melainkan milik Allah, “Kepunyaan Allah-
membimbing peserta didik sehingga ia lah segala sesuatu yang ada di langit dan di
memiliki peluang mengembangkan potensi bumi (QS. al-Baqarah, 2:284). Akibatnya,

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 106


segala sesuatu yang dimiliki manusia di atas dengan doktrin taskhîr, yaitu Allah
bumi bukanlah miliknya, tetapi sekedar menjadikan (baca: menundukkan) alam ini
“pinjaman” yang dipercayakan kepadanya lebih rendah daripada manusia. “Tuhan telah
oleh Allah. Manusia diberi ijin tinggal di menundukkan (sakhkhara) bagimu apa saja
dalamnya, memanfaatkan dan melestarikan yang ada di langit dan bumi secara
isi alam (al-ihtifâd, conservation) dengan keseluruhannya” (QS. al-Jâtsiyat, 45:13).
tujuan tertentu, aturan tertentu dan dengan Segi logika dari doktrin taskhîr ini
penuh tanggung jawab guna merealisasikan mengandung beberapa pernyataan penting.
tujuan penciptaan alam yang mengarah pada (1) Manusia adalah “puncak ciptaan” Allah.
dinamisasi, perkembangan, dan Karena itu, seluruh alam berada dalam
kesempurnaan. Sesungguhnya tugas inilah martabat yang lebih rendah dari manusia.
yang pelaksanannya merupakan pengabdian Mitologisasi dan menganggap alam lebih
(ibâdat) bagi manusia. Inilah “amanat” yang tinggi bertentangan dengan kodrat pen-
menurut al-Qur’an telah ditawarkan oleh ciptaan alam dan merendahkan martabat
Allah kepada langit dan bumi, namun mereka manusia. (2) Alam ini dipersiapkan Allah un-
“menolak”, dan secara sukarela diterima oleh tuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
manusia. Kesukarelaan itu menuntut satu manusia (al-intifâ’). (3) Manusia harus men-
syarat, bahwa dalam menjalankan amanat itu jadikan alam sebagai obyek kajiannya se-
harus secara bertanggungjawab dan hingga melahirkan berbagai ilmu pengeta-
memenuhi aturan moral. Sesungguhnya huan. (4) Dengan membuat alam ini lebih
Kami telah mengemukakan amanat kepada rendah daripada manusia, maka alam
langit, bumi, dan gunung-gunung, namun menjadi obyek yang terbuka bagi semua
semuanya enggan memikul amanat itu manusia. Oleh sebab itu, perbuatan yang me-
karena mereka khawatir akan lawan martabat manusia yang paling me-
mengkhianatinya. (Karena tidak ada yang rusak ialah jika manusia menempatkan alam
menerimanya) dipikullah amanat itu oleh atau gejala alam lebih tinggi dari dirinya
manusia. Sungguh manusia itu amat zalim sendiri. Pengangkatan alam atau gejala alam
dan bodoh” (QS. al-Ahzab, 33:72). ke tingkat yang lebih tinggi (mitologi
Meskipun manusia diberi kesempatan terhadap alam) adalah perbuatan syirik yang
memanfaatkan alam dan memikul amanat jelas bertentangan dengan faham tauhid.
yang diberikan oleh Allah, ibarat seorang Sebagai “puncak ciptaan” Tuhan, tidak
penyewa tanah yang baik, manusia harus ada yang di atas manusia kecuali Tuhan.
menjaga milik tuan tanahnya. Hak peman- Manusia harus melihat “ke bawah” (tanpa
faatan alam yang dimiliki manusia tidak berarti menghina dan merendahkan) kepada
memberikan hak kepadanya untuk merusak ciptaan lain. Dengan begitu, hubungan
atau mengeksploitasi alam sedemikian rupa antara manusia dan alam sejalan dengan
sehingga mengacaukan dan mengganggu ke- rencana dan design Tuhan, bahwa alam
seimbangan ekologisnya. Kepercayaan me- berkedudukan untuk dimanfaatkan manusia
mikul amanat harus digunakan untuk bagi kepentingannya dalam makna yang
memanfaatkan alam semaksimal mungkin seluas-luasnya (Madjid, 1992:294). (5)
untuk kemaslahatan manusia dan menja- Karena Tuhan telah memberikan konsesi
dikannya sebagai sumber pengambilan penundukan alam kepada manusia, Tuhan
pelajaran (al-i’tibâr) dalam bertasbih, pun memberi jaminan bahwa siapapun
mendekati Allah dan membina hubungan (tanpa terkecuali) yang mempunyai potensi
dengan sesama ciptaan. untuk menundukkan alam, dialah yang
Implikasi kedua, alam tunduk kepada berpeluang untuk melaksanakan konsep
manusia. Konsep ini dalam al-Qur’an dikenal taskhîr. Al-Qur’an menyebutkan potensi ma-

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 107


nusia yang berhubungan dengan pencurian, pemaksaan kehendak, monopoli,
penundukan alam itu dengan berbagai penumpukan kekayaan, kekerasan, egoisme
istilah, yaitu ulu quwwah, ulu ba’ts, ulu al- dan ketidakpekaan terhadap kebutuhan
nuhâ, ulu al-abshâr, ulu al-‘ilm, dan ulu al-bâb. orang lain, pemborosan, mubadzir, dan
Keenam potensi ini disebut al-Qur’an dalam bersifat pamer adalah tindakan-tindakan
konteks yang berbeda-beda. Ulu quwwah dan yang dilarang oleh Tuhan (QS. 2:188; QS.
ulu ba’ts mengambil konteks pada kekuatan 5:18; QS. 59:7; QS. 107:1-7, dll). Sebaliknya,
yang bersifat fisik dan teknologis. Ulu al- manusia diperintahkan untuk menunjukkan
nuhâ dan ulu al-‘ilm merupakan potensi nalar sikap-sikap yang apresiatif terhadap alam
atau intelektualistik. Sementara ulul al- lingkungannya. Alam harus digauli dengan
abshâr lebih merupakan potensi batin/ baik dan dicintai, dipelihara kelestariannya
rohani atau kemampuan spiritual. Sedang- setelah diambil manfaatnya. Sebab, betapa
kan potensi tertinggi yaitu ulul al-albâb me- pun alam ini berkedudukan lebih rendah
rupakan suatu kemampuan yang mengga- daripada manusia, namun hal ini hanya
bungkan keseluruhan potensi manusia. terjadi pada hirarki kosmis yang batiniyah,
Dari paparan di atas, doktrin taskhîr yang terbebas dari ruang dan waktu.
bertalian erat dengan kosmologi haqqiyah Hakikatnya, alam dan manusia adalah sama-
yang antara lain mengandung makna bahwa sama makhluk Allah, sesama ciptaan (QS.
alam adalah nyata, bermakna, dan ber- 6:38). Penegasan ini ada kaitannya dengan
manfaat, wujud yang berhikmah (teleologis) berbagai penjelasan tentang alam raya dan
bagi manusia. Ditarik dari pertalian ini, maka segala isinya yang selalu bertasbih kepada
makna sekunder dari taskhîr berarti Allah. Hal ini difahami dari firman Allah:
penyediaan, yakni penyediaan alam untuk “Seluruh langit yang tujuh dan bumi bertasbih
kebutuhan hidup manusia. memuji-Nya. Begitu juga makhluk yang ada di
Implikasi ketiga, dalam memanfaatkan dalamnya. Tiada sesuatu pun (makhluk yang
dan menikmati alam, manusia diperintahkan ada di alam ini) kecuali bertasbih memuji-
untuk bertindak sesuai dengan aturan moral. Nya. Akan tetapi, kamu (manusia) tidak
Pernyataan ini menjelaskan bahwa meru- mengerti tasbih mereka” (QS. al-Isra’,17:44).
pakan kekeliruan yang sangat berbahaya jika Maka dari itu, sekalipun manusia
beranggapan bahwa alam semesta ini sebagai merupakan makhluk tertinggi dan khalifah
sesuatu yang sudah siap pakai (ready for use), Allah di bumi, dan sekalipun alam ini lebih
tempat tinggal yang telah terlebih dahulu rendah (taskhîr) dari manusia, hubungan
dipersiapkan bagi manusia yang diwarisinya manusia dengan alam harus disertai dengan
secara mudah dan dinikmati tanpa harus sikap rendah hati yang sewajarnya dengan
kerepotan lebih jauh. Konsekuensinya, alam melihat alam sebagai sumber ajaran dan
semesta ini dapat, dan semestinya, di- pelajaran untuk menerapkan sikap tunduk
manfaatkan melalui suatu pengetahuan yang kepada Allah (Islâm). Dalam perspektif ayat
progresif dengan mengenali cara kerjanya di atas, manusia harus menyertai alam dan
serta melalui pemanfaatan pengeta-huan lingkungan sekitarnya dalam bertasbih
secara cermat. Dengan pengertian lain, alam memuji Allah, antara lain dengan meme-
bagi manusia adalah hak guna pakai, lihara alam dan menumbuhkannya ke arah
sedangkan fungsi manusia bagi alam adalah yang lebih baik (ishlâh), bukannya mela-
dalam rangka membantu alam mencapai kukan perusakan dan kerusakan di bumi
tujuan penciptaannya, yakni kesempurnaan. (fasâd fi al-ardh).
Bertolak dari kerangka etis ini, sikap- Implikasi keempat, Islam menuntut
sikap eksploitatif terhadap alam dalam manusia menyelidiki dan memahami me-
berbagai bentuknya: penipuan, penindasan, kanisme dan pola-pola kerja Tuhan dalam

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 108


alam, tidak hanya mekanisme dan pola yang Tradisi keilmuan Islam mengajarkan
terkandung dalam ilmu-ilmu kealaman bahwa pencarian obyektifitas dalam upaya
(taqdîr), tetapi juga pola-pola yang terkan- intelektual bukan hanya sah dan diajarkan
dung dalam hukum kehidupan dan kese- oleh Islam, berakar pada fitrah manusia,
jarahan manusia (sunnatullah). Arahan ini tetapi juga memiliki signifikansi religius yang
merupakan “perintah” untuk meneliti besar. Dalam perspektif Islam, pengertian
(research) dan menemukan (discovery) ilmu obyektifitas yang difahami sebagai sifat-sifat
pengetahuan yang terhampar di kitab alam “tidak berpihak” dan “apa adanya” di wilayah
ini (ayat kauniyat). Kenyataan bahwa alam pengetahuan, tidak dapat dipisahkan dari
adalah karya Tuhan, rencana dan rancangan- kesadaran religius tauhid. Agama bukan
Nya, aktualisasi dari kehendak-Nya, mem- penghalang untuk merealisasikan
berikan kepada alam sifat yang terhormat. obyektifitas pengetahuan, justru merupakan
Nilai etisnya, alam harus dipelihara, syarat bagi ilmu pengetahuan, tidak
dimanfaatkan, dan dikembangkan sesuai terkecuali ilmu-ilmu keislaman. Seorang
dengan rencana awal Tuhan. Kepekaan ter- muslim merasa yakin bahwa Allah adalah
hadap alam dan sikap apresiatif, penuh kasih mawjud (ada), bahwa Dia adalah penyebab
sayang adalah tindakan yang secara etis segala ultimat, satu-satunya pelaku yang
bermoral dan selaras dengan tujuan Allah dengan tindakan-Nya menyebabkan segala
menciptakan alam. yang ada menjadi ada, dan segala yang akan
terjadi pasti terjadi (kun fayakûn). Alam
sebagai ciptaan-Nya disediakan buat
Tauhid: Kesadaran Religius dan Semangat manusia untuk dipelajari, sebagai sumber
Ilmiah pelajaran (ayat) yang siap diteliti dan
Banyak orang mengajukan klaim dianalisis secara ilmiah. Dan tauhid sebagai
bahwa sains modern adalah pengetahuan pandangan dunia Islam memperkuat
yang paling obyektif tentang alam semesta pandangan ini.
yang pernah dicapai oleh sejarah peradaban Hal ini berbeda dengan tradisi
umat manusia. Namun pada kenyataannya keilmuan Barat modern. Agama oleh banyak
sains modern tidak lebih obyektif daripada, orang dipandang sebagai halangan terbesar
katakan misalnya, sains Islam yang m menuju realisasi ketidakberpihakan dan
erupakan pendahulu terdekatnya.Dikatakan sikap apa adanya di wilayah pengetahuan.
demikian karena sains Islam pernah Menurut para pengkritiknya, agama
memegang peranan cukup menakjubkan menyuburkan pandangan yang bias, ber-
dalam sejarah keilmuan dunia selama prasangka dan sektarian, sangat dogmatis
berabad-abad, jauh sebelum sains modern dan menghalangi pikiran kritis. Bagi
yang notabene Barat mengalami kemajuan. kebanyakan pikiran modern, agama meru-
Sejarah keilmuan Islam telah menunjukkan, pakan hal yang terakhir yang dapat
seperti tercatat dalam karya-karya menawarkan obyektifitas di dunia keilmuan.
intelektual muslim dalam berbagai bidang Akibatnya, obyektifitas pengetahuan yang
(filsafat, kedokteran, astronomi, botani, berkembang dalam tradisi keilmuan Barat
geografi, matematika, fisika, biologi, dll.), adalah obyektifitas yang “kosong” dari
bahwa pencarian obyektifitas sudah Tuhan, tanpa sinar wahyu, dan telah
dilakukan dengan pengenalan terhadap alam membawa dunia keilmuan modern sekuler
melalui eksperimentasi dan kategori- kepada sifat: sains untuk sains, teknik untuk
kategori ilmiah. Jadi, obyektifitas bukanlah teknik, seni untuk seni; tanpa tujuan baik
khas dan monopoli Barat. manusiawi maupun nuansa spiritualitas, dan

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 109


−seperti sedang kita saksikan sekarang ini− pengetahuan yang memungkinkan manusia
membawa kepada kekacauan-kekacauan. mencapainya sampai titik perbatasan.
Menurut Islam, manusia menghendaki Mengapa? Karena ilmu, dalam Islam, tak ada
dan membutuhkan onyektifitas karena batas (limit), melainkan perbatasan
sebagai makhluk yang diciptakan dengan (frontier). Pengalaman sufistik hanya satu
citra ketuhanan, dia ingin menyerupai sifat- contoh bagaimana manusia bisa mencapai
sifat Tuhan. Menjadi obyektif, dalam pengetahuan tertinggi.
pengertian tertentu, berarti menyerupai Dengan demikian, kesadaran religius
Tuhan. Manusia mampu mencapai obyek- merupakan sumber dari semangat ilmiah
tifitas karena, pada prinsipnya, dia telah dalam seluruh wilayah pengetahuan. Tauhid
dikaruniai kualitas-kualitas yang berkaitan mengajarkan bahwa alam semesta atau ayat-
dengan obyektifitas ini. Ketidakparsialan, ayat kauniyat sebagai obyek pengetahuan
ketidakberpihakan, dan keadilan bukan bukanlah hipostatis yang berdiri sendiri
hanya merupakan sifat-sifat manusiawi, secara parsial. Ia harus difahami sebagai hasil
tetapi adalah kualitas-kualitas Ilahiah yang karya Tuhan yang sangat agung. Keagungan-
juga termanifestasi dalam diri manusia. Nya terlihat dari kesatuan, keseimbangan,
Agama, terutama dimensi spiritualnya, keharmonisan serta keindahan alam, jauh
memberikan doktrin-doktrin dan jalan-jalan dari ketidaksempurnaan, disharmoni, cacat
yang praktis agar kualitas-kualitas ini dapat atau kacau (tafâwut, futhûr) (QS. 67:3). Di
muncul dalam diri manusia. Oleh sebab itu, dalamnya juga tersirat faham keteraturan
ada sebuah hubungan konseptual yang dan sampai batas-batas tertentu
penting antara obyektifitas ilmiah dengan (predictability), yaitu sampai batas yang
kesadaran religius. Obyektifitas di dunia tampak oleh mata atau dalam dimensi ruang
ilmu bukan semata-mata memiliki nilai dan waktu, bahwa hanya ada satu pengatur,
penting ilmiah (scientific significance), tetapi pemelihara yakni Allah SWT. Maknanya,
juga religius (religious significance). Dalam seluruh fenomena alam yang tampak pada
arti, obyektifitas menampakkan dirinya hakekatnya adalah penampakan Tuhan
sebagai salah satu dari banyak manifestasi melalui hukum-hukum yang diciptakan
lahiriah posisi manusia yang unik dalam secara pasti atau eksak. Dalam wacana
hubungannya dengan Tuhan (Bakar, 1994: tasawuf, penampakan Tuhan dalam alam ini
129). disebut Tajalliyat al-Ilâhiyyat. Mempelajari
Obyektifitas dalam tradisi keilmuan hukum-hukum alam, dengan demikian,
Islam tidak hanya dibatasi pada wilayah sejatinya adalah mempelajari tajalli Tuhan
empiris atau eksperimental seperti pada dalam alam. Oleh sebab itu, ilmu dan
kebenaran-kebenaran fisik dan matematis. berilmu dalam Islam tidak bebas nilai (value
Obyektifitas juga memungkinkan di wilayah free). Ia punya keterkaitan spiritual dan
pengetahuan non-empiris, seperti agama dan menyentuh aspek religiusitas.
pengetahuan spiritual atau dalam
pengetahuan filosofis dan metafisik. Ini bisa
terjadi karena manusia pada dasarnya SIMPULAN
memiliki fakultas pengetahuan yang lebih Berdasarkan uraian di atas dapat
tinggi sekaligus mampu mencapai disimpulkan bahwa: Pertama, tauhid
pengetahuan sampai pada jenjang tertinggi meliputi bukan saja pengakuan pada
(dalam istilah filsafat disebut akal fa’al, atau keesaan Tuhan (kesatuan ketuhanan),
ma’rifat dalam pengertian tasawuf). Agama tetapi juga pengakuan kesatuan pencip-
atau pengetahuan filosofis dan metafisik taan (alam) dan kesatuan kemanusiaan.
menawarkan dan menyediakan ruang Dengan kata lain, dari tauhid dapat

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 110


diderivasi tiga aspek utama, yaitu aspek Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1981. Al-
teologis (ketuhanan), kosmologis Mu’jam alMufahras li Alfadh al-Qur’an,
(kealaman), dan antropo-sosiologis Kairo: Dar al-Fikr.
(kemanusiaan). Basri, Hasan, Renungan Jum’at: Pembinaan
Kedua, perumusan makna terdalam Pribadi dan Masyarakat Fitrah, Harian
kurikulum pendidikan Islam harus Merdeka. Jakarta, 4 Maret 1994.
memperhatikan keberadaan hakikiah Beeby, C.F. 1998. 1998. Pendidikan di
manusia dan dimensi ketergantungannya Indonesia, Penilaian dan Pedoman
pada aspek teologis, kosmologis dan Perencanaan,LP3S, Jakarta.
antropo-sosiologis. Dengan begitu, dalam Buchori, Mochtar. 1994. Spektrum
perspektif pandangan dunia tauhid, Problematika Pendidikan di Indonesia,
kurikulum pendidikan Islam harus diorien- Yogyakarta: Tiara Wacana.
tasikan pada pengembangan nilai-nilai Crow dan Crow. 1990. Pengantar Ilmu
ilahiah (teologis), alamiah (kosmologis) dan Pendidikan, Yogyakarta: Rake
insaniah (antropo-sosiologis). Dari kemes- Sarasin.
tian ini, bangunan pendidikan Islam dilandasi Effendi, Djohan. 1991. Tasawuf al-Qur’an
dan sekaligus hendak mengarahkan anak tentang Perkembangan Jiwa Manusia,
didik pada tiga pola hubungan fungsional, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. II, No. 8.
yaitu hubungan manusia dengan Allah _________. 1994. “Konsep-Konsep Teologis”,
(hablun min Allah, aspek teologis), hubungan dalam Budhy Munawar Rahman (ed.),
manusia dengan sesamanya (hablun min al- Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
nâs, aspek antropo-sosiologis), dan hubungan Sejarah, Jakarta: Paramadina.
manusia dengan alam lingkungannya Fadjar, Abdullah. 1991. Peradaban dan
(hablun min al-‘âlam, aspek kosmologis). Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali.
al-Faruqi, Ismail Raji. 1998. Tauhid,
terjemahan dari Tawhid Its Implication
DAFTAR RUJUKAN for Thought and Life, Bandung: Pustaka
Abduh, Muhammad. 1989. Risalah Tauhid, Fazlurrahman. 1990. “The Qur’anic Concept
Bulan Bintang: Jakarta. of God, the Universe and Man”, dalam
Afif, Abdullah. 1994. Tauhid dalam taufik Adnan Amal (Peny.), Neo-
Pendekatan Fisika Modern, Surabaya: Modernisme Islam Fazlurrahman,
al-Ikhlas. Bandung: Mizan.
Ali, Abdullah Yusuf. 1968. The Holy Qur’an Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai
Translation and Commentary, Beirut: Praktek Pembebasan, Jakarta:
Dar al-Arabiyah. Gramedia.
Arifin, H.M., 1993. Filsafat Pendidikan Islam, _________. 1994. Pendidikan Kaum Tertindas,
Jakarta: Bumi Aksara. Jakarta: LP3ES.
Bagir, Haidar. 1988. Sang Mujahid Sang Garaudy, Roger. 1986. Mencari Agama pada
Mujtahid, Bandung: Mizan. Abad XX, terjemahan HM. Rasjidi,
Baiquni, A.,. 1994. “Konsep-Konsep Jakarta: Bulan Bintang.
Kosmologis”, dalam Budhy Munawar Ibn Katsir, Imaduddin Abul Fida’ Ismail. t.t.
Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, jilid III,
Islam dalam Sejarah, Jakarta: Singapura: Sulaiman Mar’i.
Paramadina. Ibrahim, Marwah Daud. 1994. Teknologi,
Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains, Emansipasi dan Transendensi: Wacana
terjemahan Yuliani Liputo, Bandung: Peradaban dengan Visi Islami,
Pustaka Hidayah. Bandung: Mizan.

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 111


Izutsu, Toshihiko. 1993. Konsep Kepercayaan al-Razi, Muhammad Fakhrudin. 1985. Tafsir
dalam Teologi Islam, terjemahan dari Fahkrur Razi, juz II, Beirut: Dar al-Fikr.
The Concept of Belief in Islamic Saefudin, AM. 1987. Desekulerisasi Pemikiran
Theology: a Semantical Analysis of Iman Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan.
and Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana. Sardar, Ziaudin, & Merryl Wyn Davies. 1992.
Langgulung, Hasan. 1987. Asas-Asas Wajah-wajah Islam, terjemahan dari
Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Faces of Islam Conversation and
Al-Husna. Contemporary Issues, Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Suardi, Dedy. 1993. Vibrassi Tauhid,
Peradaban, Jakarta: Paramadina.
Bandung: Rosdakarya.
---------. 1993. “Pandangan Dunia al-Qur’an”,
Subhani, Ja’far. 1987. Tauhid dan Syirik,
dalam A. Syafi’i Ma’arif dan Said
Tuhuleley (Peny.), Al-Qur’an dan Bandung: Mizan.
Tantangan Modernitas, Yogyakarta: Supandi. 1986. Pengantar Administrasi
Sipress. Pendidikan, Jakarta: Universitas
al-Maraghy, Musthafa. 1974. Tafsîral- Terbuka.
Marâghy, juz VII, Beirut: Dar al-Fikr. al-Syaibani, Mohammad a-Toumy. 1979.
Mc Neil, John D. 1988. Kurikulum: Sebuah Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan
Pengantar Komprehensif, terjemahan Hasan Langgulung dari Falsafah al-
Subandiah, Jakarta: Wirasari Tarbiyah al-Islamiyah, Jakarta: Bulan
Muhaimin & Abdul Mudjib. 1993. Pemikiran Bintang.
Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Syariati, Ali. 1982. Sosiologi Islam,
Karya. terjemahan dari On the Sociology of
Mulkhan, A. Munir. 1993. Paradigma Islam, Yogyakarta: Ananda.
Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Taymiyah, Ibn. 1981. Aqidah Islam,
Pendidikan Islam dan Dakwah, terjemahan Muslich Shabir, Bandung:
Yogyakarta: Sipress. Ma’arif.
_________. “Refleksi Pendidikan Berwawasan Thabathaba’i, Muhammad Husein. t.t. al-
Kemanusiaan”, Kompas, Jakarta. 3 Mei
Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Qum: al-Hauza
1994
al-Ilmiyah.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan
Thoha, Nailal Arifin. “Martabat
Islam 1, Jakarta: Logos.
Nasution, S. 1991. Pengembangan Kemanusiaan dalam al-Qur’an”,
Kurikulum, Bandung, Citra Adirya Bernas, Jakarta, 1 Maret 1994.
Bakti. Tobroni & Syamsul Arifin. 1994. Islam
al-Qahthani, Muhammad Said. 1994. Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi
Memurnikan Lailaha illa Allah, Teologi untuk Aksi dalam
terjemahan Abu Fahmi, Jakarta: GIP. Keberagamaan dan Pendidikan,
Quthb, Sayid. 1971. Tafsîr fî Dhil^al al-Qur’ân, Yogyakarta: Sipress.
Beirut: Ihya’ al-Turats al-‘Araby Zar, Siradjudin. 1994. Konsep Penciptaan
Rais, Amien. 1989. Cakrawala Islam Antara Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan
Cita dan Fakta, Bandung: Mizan. al-Qur’an, Jakarta: Grafindo Persada.

Jurnal Al-hikmah Vol. 8, No. 1, April 2011 ISSN 1412-5382 112

Anda mungkin juga menyukai