I. Vaksinasi
Vaksinasi atau imunisasi adalah upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh
dengan cara memasukkan antigen atau kuman yang telah dilemahkan. Ini merupakan
pembentukan kekebalan yang bersifat spesifik. Seperti BCG hanya untuk mencegah
TB yang berat, MR mencegah penyakit measles/campak dan rubella/campak jerman.
Imunitas
Spesifik bersifat pasif, ini bisa terjadi karena infeksi atau bisa karena imunisasi
Aktif: antigen patogen
Pasif: antibodi sudah jadi (injeksi hepatitis B Ig/antibodi Ig HB, diberikan pada
bayi dengan ibu yg punya HB+, soalnya kalo nunggu yang aktif dia akan butuh
waktu beberapa bulan dulu untuk bisa terbentuk antibodinya)
1
Mencegah (terutama) penyakit meningitis akibat hemofilus influenza B, dan
dia juga punya kekuatan untuk mencegah otitis dan pneumonia (walau pun ga max)
C. BCG
Ini merupakan vaksin dengan imunitas selular, krn bayi tidak mendapat
imunitas pasif dari ibunya (kalo hepB tadi dapat, tp bbrp bulan hilang). Rekomendasi
IDAI pemberian vaksinnya adalah di usia 1 bulan sampai dengan sebelum 3 bulan,
kalau <3bln bayi belum dapat BCG, maka dia harus tes mantoux/tuberkulin dulu
untuk ngecek ada tidaknya antibodi TBC. Tapi BCG juga bisa diberikan saat 0 bulan
apabila ada kondisi khusus.
D. Campak
Sekarang dalam bentuk kombo MR. Kenapa campka diberikan? Krn bisa
berkomplikasi jangka panjang, misalnya diare kronis, encephalitis, pneumonia. Kalau
rubella menginfeksi ibu hamil, akan bisa menyebakan janin mendapatkan 3 ciri yaitu
katarak, penyakit jantung bawan, dan ketulian. Tujuan vaksin ini adalah herd
community, semakin banyak orang yg dpt vaksin rubella, semakin banyak
perlindungan di masyarakat itu (kekebalan komunitas).
E. Vaksin Polio
Ada yang oral ada yang injeksi (IPV/Inactivated Polio Vaccine), kalau yg
oral/tetes. Polio Oral diberikan pada usia 0,1,2,dan 3 bulan lalu booster 18 bulan
ditambah IPV pada vaksinasi polio 3. Kalau yg IPV diberikan 1,2,3 pada usia 2,3,4
bulan plus IPV 4 pada usia 18 bulan.
Itu barusan adalah vaksin yang dibiayai negara PPI (program
pengembangan imunisasi). Kalau NonPPI berarti vaksin di luar program pemerintah
(misal: PCV untuk pneumonia).
Untuk pasien HIV, kalau untuk vaksin non hidup (HepB, rotavirus, PCV
diberikan PCV 1,2,3 dan boostes pada usia >1th plus PCV >2th lalu PPV untuk dewasa
atau anak dengan HIV) (hidup: BCG, DPT, MR) gapapa kalau mau dikasih. Makanya
sblm memberikan harus memberikan viral load.
Jadi pada saat ini program pemerintah adalah MR bukan MMR (vaksin nonPPI). MMR itu MR
plus Mumps/Gondongen, knp perlu? Krn bisa berkomplikasi bisa terjadi encephalitis atau
berkomplikasi menjadi orchitis atau radang pada testis. Ini dapat diberikan sebagai pengganti
MR ke-2. Kan MR pertama pada usia 9 bulan, yg kedua pada 18-24 bulan (tp mbayar cuy).
Atau jika anak belum dapat MR sampai usia 12 bulan maka boleh langsung diganti dengan
MMR.
III. Pemberian Imunisasi pada Kelompok Risiko Tinggi
Adalah anak anak yang punya risiko lebih tinggi untuk mengalami kesakitan dan
kematian. Lebih rentan terhadap penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi.
A. Bayi Prematur
Lebih rentan karena respon imun belum matur, dan level transplacental
transfer-maternal IgG lebih rendah dan lebih cepat menghilang. Namun utuk bayi
prematur yang stabil diberikan imunisasi sesuai usia kronologis, dosis dan jadwal
seperti bayi cukup bulan.
Pada bayi prematur yg diberikan imunisasi, ia bisa ada resiko apneu yang
meingkat, terlebih apabila memiliki riwayat apneu dalam 24 jam sebelum vaksinasi
atau post vaksinasi sebelumnya dan dengan BBL <1500g dan kehamilan <31mgg.
Apneu bersifat self-limited dan tidak ada korelasi dengan sekuele jangka panjang.
Direkomendasikan monitor adanya apneu dan bradikardi pada 48 jam setelah
vaksinasi.
B. Pasien HIV
Pada pasien HIV, respon imun setelah vaksinasi lebih rendah dan durasi
proteksi juga leih tinggi. Respon imun yang baik tercapai pada saat menjalani Highly
active antiretrovial therapy/HAART karena akan mensupresi virus HIV dan
memerbaiki CD4 dan limfosit B. Idealnya vaksin diberikan saat awal infeksi atau
setelah HAART adekuat CD 4 dan viral load yg negatif.
C. Pasien dg Keganasan
Tidak direkomensasikan untuk memberikan vaksinasi pada saat dterapi
karena respon imun yang tidak adekuat maupun risiko efek samping. Respon imun
akan membaik 3-6 bulan setelah selesainya kemoterapi, shg dapat diberikan vaksin
inaktif pada 3 bulan setelah selesai terapi dan vaksin hidup 6 bulan setelah selesai
kemoterapi, sekaliam kasih booster dan melengkapi imunisasi.
6
tekan, BAB normal tanpa darah dan tidak muntah kehijauan. Beri ASI pelan-
pelan (trophic feeding) sebanyak 1-2mL/minum setiap hari pakai sendok.
B. Ikterus Neonatorum
Sebagian kasus ikterus neonatorum berhubungan dengan motorik
kasar (cerebral palsy) jika kadar bilirubin totalnya sangat tinggi dan/atau
mengalami hiperbilirubinemia patologis.
Kern Ikterus merupakan diagnosis PA untuk kasus yang sudah
meninggal (baru dilihat ooooo otaknya kuning), diagnosis klinisnya
namanya encephalopathy hyperbilirubinemia.
Tahapan klnisnya
Bilirubin Bilirubin
Indirek/Unconjugated Direk/Conjugated
Tidak larus dalam air Larus dalam air
Berikatan denga Tidak larut dlm lemak
albumin di darah sbg
transport
Komponen bebas larut Tidak toksik untuk
dalam lemak otak
Komponen bebas
bersifat toksik untuk
otak
Unconjugated itu tidak toxic hanya saja dia
menunjukkan ada masalh lain (mis. sepsis atau
sumatan di hepatobiliernya). Kalau indireknya
tinggi dan yg tidak terikat dengan albumin,
inilah yg toksik
Eritrosit pada bayi kan lebih pendek daripada dewasa (karena masih banyak
komponen eritrosit dengan hb yang dari maternal). Pemecahan sel darah merah
dia diambil oleh hati, dari unconjugated bilirubin jd conjugated bilirubin, shg dieksresikan
melalui feses. Sebagian direabsorpsi ke darah lalu diputar kembaleeeeeee. Sehingga dpt
menjelaskan bagaimana terjadi keracunan bilirubin, yaitu ketika indirek sangat tinggi,
diperkirakan >20mg/dl.
Keracunan bilirubin dapat difaktori dengan tingginya kadar bilirubin indirek yaitu
>20mg/dl, usia kehamilan, hemolisis, morbiditas lain seperti asfiksia, hipoglikemima,
asidosis, dan sepsis, obat tertentu yang bersaing dengan ikatan dengan albumin atau dsbt
juga komponen bebas yag toksik.
Mengapa ikterik terjadi pada minggu ke-satu?
Karena meningkatnya produksi bilirubin (umur eritrosit pendek), ekskresi bilirubin
jalur feses masih rendah (membaik setelah >1 minggu), uptake bilirubin ke dalam hati masih
rendah (tdk dikonjugasikan), konjugasi oleh hati masih rendah (krn fungsi belum maks),
sirkulasi bilirubin enterohepatik.
Ikterus ada yang fisiologis ada yang patologis. Ikterus fisiologis terjadi setelah 24 jam
setelah lahir dan memuncak 3-5 hari dan menurun setelah 7 hari. Bayi cukup bulan biasanya
memiliki kadar bilirubin serum puncak 5-6mg/dl. Ikterus fisiologis berlebihan ketika bilirubin
serum puncak adalah 7-15mg/dL pada neonatus cukup bulan.
1. Ikterus fisiologis
Kadar bilirubin berdasarkan usia kronologis dan usia gestasi bayi, misal kadar bilirubin
sebesar 10mg/dl pada usia 72 jam pada bayi cukup bulan merupakan kadar fisiologis. Kadar
bilirubin 10mg/dl pada usia 10 jam merupakan tanda ikteris patologis maka harus
mendapatkan perhatian segera, hal ini terjadi biasanya dikarenakan inkompabilitas ABO.
2. Ikterus pada Bayi Prematur
Awitan terjadi lebih dini, puncak lebih lambat dan kadar puncak lebih tinggi,
memerlukan lebih banyak waktu untuk menghilang sampai dengan 2 minggu
3. Ikterus Patologis
Terjadi sebelum usia 24 jam setelah lahir; dengan
tingkat kenaikannya
>0,5mg/dl/jam; tingkat cutoff >15mg/dl pada bayi cuku bulan; ikterus bertahan >8hari
pada bayi cukup bulan atau >14hari pada bayi prematur.
Berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yaitu tampak kuning pada wajah setelah usia
bayi tersebut 12 jam, dan berdasarkan pemeriksaan penunjang, diagnosis bayi ini adalah
ikterus neonatorum patologis et causa inkompatibilitas ABO. Ditegakkan dengan adanya
anemia hemolitik pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu golongan
darah O, adanya test Coombs direk dan indirek yang positif serta didukung dengan
peningkatan mikrosferosit pada darah tepi bayi.
a. Penyebab Ikterus Patologis
- Hiperbilirubinemia fisiologis
- Inkompabilitas golongan darah ABO
- Breastmilk jaundice
- Inkompabilitas goldar rhesus
- Infeksi
- Hematoma sefal, hematoma subdural, excessive bruising
- Infant of diabetic mother
- Polisitemia/hiperviskositas
- Prematuritas/BBLR
- Asfiksia, dehidrasi-asidosis, hipoglikemi
b. Penyebab lain yang jarang
- Defisiensi G6PD
460
- Defisiensi piruvat kinase
- Sferositosis kogenitas
- Lucey-Discroll sydrome (ikterus neonatorus famlial)
- Hipotiroidism
- Hemoglobinopathy
C. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubineia akibat produksi bilirubin berlebihan krn hemolisis
ditandai dengan hematoma darah ekstravaskuler, memar. Disebabkan
karena inkompabilitas ABO/Rh, kelainan sel darah merah intrinsik,
defisiensi G6PD, polisitemia, sferositosis herediter.
Hiperbilirubinemia yang disebabkan karena kekurangan sekresi
(undersecretion) bisa terjadi karena prematuritas, hipotiroidisme, bayi
dari ibu DM, defisiensi enzim konjugasi uridin difosfat gllukoronil,
transferas herediter.
Hiperbilirubinemia dikarenakan disekresi tetapi diabsorpsi kembali
dari lambung (peningkatan sirkulasi enterohepatik) dikarenakan
penurunan asupan enteral, stenosis pilorik, ileus mekonium, penyakit
hiershprung, sumbatan mekonium.
Gangguan obstruktif akan terjadi pada hiperbilirubinemia direk
bisa dikarenakan sumbatan spt kolestasis, stresia biliaris, kista koledokus.
Hal ini dapat ditandai dengan bilirubin direk >2mg/dl, warna tinja (pucat?),
dan warna urin
Penyebab hiperbilirubinemia lainnya ada krn sepsis bakterial,
TORCH dg infeksi intrausis, asfiksia. Ikterus yang berkembang secara cepat
pada hari ke satu kemungkinan karena Rhesus ABO, sferositosis. Tampak
setelah usia 48 jam kemungkinan besar karena infeksi, dan defisiensi
G6PD
Bayi dengan ikterus dapat dilihat dengan anamnesis dari
riwayatnya, kemudia px fisik spt usia kehamilan, aktivitas pemberian
minum, kadar ikterus, pucat, hepatosplenomegali, memar, hematocephal.
Cek Lab
Bilirubin total, direk, Darah lengkap dan
indirek hapusan darah
461
Golongan darah ibu, Hitung retikulosit
Rh, glongan darah
462
bayi, Rh
Tes coombs direk Skrining G6PD
hemoglobin Kadar albumin
465
INFEKSI TORCH
Penhgampu : dr Nur Muhammad Artha,M.Sc, M.Kes.S
Editor : Virgia
Layouter :
TORCH
T: Toxoplasma
O: Other infection : sifilis kongenital
R: Rubella
C: Citomegalovirus
H: Herpes virus
Pendahuluan
Penularan terjadi secara horizontal ( dari penderita dewasa ke dewasa / ke ibu yg mengandung
yang lain) dan vertical ( dari ibu yang hamil terhadap ibu yang ada di kandungan). Infeksi TORCH
merupakan penyebab infeksi kongenital yang dapat ditularkan dari ibu kejanin melalui sawar darah
plasenta, kontak perineum selama masa perintal, dan melalui ASI, atau disebut infeksi vertical. Pada
penularan TORCH secara vertikal hanya 1% janin yang terinfeksi dan 10% menyebabkann infeksi
kongenital yg berakibat kecacatan pada janin dan BBL bahkan kematian maupun bayi baru lahir
bahkan kematian. 90% asimtomatik ( tidak bergeja), 15% muncul gejala diantaranya kelainan
dikemudian hari. CMV salah satu infeksi yang sering pada bayi baru lahir dampaknya cukum serius
I. Infeksi Txoplasma
Penyebab: Toxoplasma Gondii
Transmisi: oral dan transplasenta
Gejala klinis sebagian tidak terdeteksi saat lahir, muncul di kemudian hari
Gangguan neurologis berat dan oftalmologi yaitu:
a. Khorioretinis
b. Hidrosefalus
c. Kalsifikasi intracranial
Diagnosis
a. Anamnesis
- Riwayat memelihara kucing
- Memakan daging tidak matang
- Riwayat berkebun (tidak cuci tangan)
466
Strategi Diagnosis
Pasien Setting Diagnostik Teknik Sampel
imunokompeten Infeksi primer Serologi IgG, IgM serum
IgG avidity
IgA
janin Infeksi primer (ibu) Deteksi parasit PCR Cairan amnion
Bayi baru lahir Infeksi primer Deteksi parasit PCR, deteksi Plasenta, darah
(ibu) Serologi IgG/ umbilikus/serum/
IgM/IgA serum BBL
Western blot Serum ibu & BBL
imunokompromais Tokso serebral/ Deteksi parasit PCR, kultur sel, Darah, LCS, BAL,
diseminata histologi spesimen jaringan
Imunokompeten/i Retinochoroiditis Serologi Western blot Aqueous humor,
munokompromais Deteksi parasit PCR serum paralel
Aqueous humor
Tatalaksana
Pyryimetamine 2 mg/ kgBB/hari selama 2 hari, dilanjutakan 1 mg/kgBB/ hari
selama 6 bulan diikuti dosis yang sama 3 kali perminggu untuk 6 bulan berikutnya,
total selama 1 tahun
Sulfadiazin 100-150 mg/ kgBB/ hari terbagi dalam 2 dosis selama 1
tahun Leucovorin 5-10 mg, 3 kali seminggu
Tatalaksana toksoplasmosis anak denag imunopempetan
Pyrimetamine 2 mg/ kgBB/ hari selama 2 hari, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari
selama 4-6 minggu atau 2 minggu setelah gejala menghilang; dan Sulfadiazin
50 mg/kgBB/ hari tiap 12 jam selama 4-6 minggu atau 2 minggu setelah
gejala menghilang; dan Leucovorin 5- 20 mg 3 kali seminggu selama 4-6
minggu atau 2 minggu setelah gejala menghilang
Khorioretinis
Pyrimetamine 2 mg/ kgBB/ hari selama 2 hari, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari
selama 4-6 minggu atau 2 minggu setelah gejala menghilang; dan Sulfadiazin
50 mg/kgBB/ hari tiap 12 jam selama 4-6 minggu atau 2 minggu setelah
gejala menghilang; dan Leucovorin 5-
20 mg 3 kali seminggu selama 4-6 minggu atau 2 minggu setelah gejala menghilang
Tatalaksana toksoplasmosis anak dengan imunokompromais
Non AIDS
Pyrimetamine 2 mg/ kgBB/ ari selama 2 hari, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari selama
4-6 minggu setelag gejala menghilang; dan Sulfadiazin 50 mg/kgBB/ hari tiap 12
jam selama 4-6 minggu setelah gejala menghilang; dan Leucovorin 5-20 mg 3
kali seminggu selama 4-6 minggu setelah gejala menghilang
AIDS
Pyrimetamine 2 mg/ kgBB/ ari selama 2 hari, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari selama
4-6 minggu setelag gejala menghilang; dan Sulfadiazin 50 mg/kgBB/ hari tiap 12
jam selama 4-6 minggu setelah gejala menghilang; dan Leucovorin 5-20 mg 3
kali seminggu selama 4-6 minggu setelah gejala menghilang;Ketiganya
dihentikan bila lesi menghilang dan jumlah CD 4 > 200 selama 4-6 bulan
B. Diagnosis
1) Anamnesis
- Riwayat terkena infeksi rubella atau terpapar rubella pada masa
kehamilan trimester pertama (campak atau dabagen)
- Adanya satu atau lebih manifestasi rubella kongenital
2) Pemeriksaan fisik:
- Kelainan jantung bawaan dan katarak
- Gangguan pendengaran
3) Pemeriksaan penunjang
- IgM spesifik rubella dalam 3 bulan setelah kelahiran
- Ada dan menetapnya IgG spesifik rubella pada usia 4-6 bulan
- Pemeriksaan PCR RNA virus pada urin, apus tenggorok, cairan serebrospinal
C. Terapi
Bayi baru lahir asimtomatik
Diberikan terapi suportif, tidak ada terapi khusus, dilakukan skrining mata
dan pendengaran
Sindrom rubella kongenital
Evaluasi mata bila ada pengkabutan pada kornea, katarak dan
retinopatià rujuk dr mata
Pantau klinis hepatomegali
Hiperbilirubinemia lakukan fototerapi
Kelainan hematologi tidak berat, bila terjadi trombositopenia yang
berat dipertimbangkan pemberian IVIG
Pemantauan tanda gagal jantung kongestif
Isolasi kontak selama perawatan di rumah sakit
III. CMV
Insidensi terjadinya cmv 7 per 1000 kelahiran hidup, sebanyak 12,7% bayi
terinfeksi simtomatik saat lahir dan sebanyak 13,5% bayi asimtomatik (tanpa
gejala) berkembang menjadi sekuele (termasuk gangguan pendengaran
sensorineural).
Infeksi tersebar di seluruh dunia. AS seroprevalensi mencapai 50%à wanita hamil
usia produktif rentan infeksi primer CMV. Negara maju seroprevalensi 4—80%,
negara berkembang 90-100% (cukupp tinggi) karena tidak ada gejala serius,
kepadatan penduduk, dan asi ibu.
A. Transmisi
Kontak dengan individu yang membawa infeksi CMV
Penyebab utama penularan pada ibu hamil atau wanita usia muda produktif
adalah anak kecil usia prasekolah yg bermain dekat ibu tersebut
Kontak seksual dengan pasangan
Transmisi intrauterin (fetomaternal)
Media transmisi: urin, cairan semen, ludah, air mata, cairan cerebrospinal,
ASI, tranfusi darah, tranplantasi organ
Transmisi yang paling utama transmisi yang ada dalam kandungan yg akan menimbul
kan kelainan neurologis
Transmisi intrauterin merupakan transmisi utama transmisi yang dapat
memberikan sekuele neurologis
Negara berkembangà infeksi CMV pada awal kehidupan disebabkan karena transmisi
dari ASI & kepadatan tempat tinggal
Insidensi CMV sampai 6 bulan (AS) 35-56% karena transmisi ASI
B. Gejala
Kuning (62%) : kuning sering muncul usia 14 hari (patologi) hal yang perlu di
pikirkan adalah infeksi kongenital ( hepar : konjugasi bilirubin)
Hepatosplenomegali ( 50%)
Petekiae (58%)
C. Diagnosis
Anamnesis pada ibu hamil tentang riwayat mengalami gejala-gejala non spesifik
seperti myalgia, asthenia, disertai atau tanpa demam atau flu-like symptoms (
gejala virus pada umumnya)
Infeksi CMV umumnya asimtomatik, 10% symtomatik.
Ibu dengan infeksi dalam kehamilan:
32 % bayi terkena bila ibu infeksi primer (( infeksi pertama pada ibu
yang mengandung) belum terbentuk antibody.
1,4% bila ibu infeksi rekuren atau past infection
D. Pemeriksaan Fisik
IUGR : bayinya kecil pertumbuhan terhambat padaal cukup bulan usia kehamilannya
( asimatis)
Mikrosefali : lingkar kepala yang lebih rendah dari minus 2 dari standar deviasi
menurut umur dan jenis kelamin.
Hepatosplenomegali: pebesaran pada hati atau limfe
Ptekie : bitnik- bintik
Erupsi purpura
Ruam maculopapular : ruam merah2
Trombositopenia
Hiperbilirubinemia
Gangguan pendengaran
E. Pemeriksaan Penunjang
Amniosintesis skrining prenatal
Baku emas kultur virus dari urin & ludah diambil dalam 2 minggu pertama
kehidupan
Pemeriksaan lain:
o Px serologik: IgG dan IgM CMV ( ELISA)
o PCR
o Antigenemia
Dx Pranatal: mendeteksi IgM pada darah janin atau mengisolasi virus dari
cairan amnion
Bayi baru lahir:
o pemeriksaan isolasi virus melalui urin
o Px identifikasi DNA CMV dg PCR melalui urin, darah, ludah, cairan serebrospinal
yg diambil dalam 3 minggu pertama pasca lahir (tidak rutin dilakukan )
o Deteksi antigen atau IgM CMV dalam darah
Indikasi henti obat Trombosit < 25000 sel/µL Trombosit < 25000 sel/µL
(trombositopenia)
IV. HSV
A. Diagnosis
Anamnesis
Ada ruam /nyeri seperti anamnesis pda umumnya
Pemeriksaan fisik:
a. lesi kulit berupa vesikel atau jaringan parut sewaktu lahir
b. Gejala meningitis bakterial tanpa ditemukan bakteri (pada pemeriksaan LCS
tidk ditemukan peningkatan sel)
c. Pneumonia interstitial usia 4 hari disertai trombositopenia dan keterlibatan hati
B. Terapi
Infeksi HSV neonatal
o Asiklovir IV dosis tinggi 20 mg/ kg/dosis, 3 kali sehari selama 21 hari
o Infeksi kulit mata dan mulut diberikan dosis sama selama 14 hari
o Pada penyakit HSV susunan saraf pusat: asiklovir tidak boleh dihentikan
sebelum pemeriksaan ulang PCR DNA HSV cairan LCS negative
o Herpes kerato-konjungtivitis diberikan topikal trifluridin 1 tetes pada kornea setiap
2 jam, tidak lebih dari 9 tetes/hari dan tidak boleh direkomendasikan lebih dari 21
hari
B. Tatalaksana
Bayi baru lahir tanpa gejala sipilis yang lahir dari wanita VDRL atau RPR positif
o harus diberi benzathine benzyl penicillin 50 000 unit/kg IM dosis tunggal.
Bayi baru lahir dengan gejala, memerlukan pengobatan berikut:
o prokain benzil penisilin 50 000 unit/kg satu kali sehari selama 10 hari atau
o benzil penisilin 50 000 unit/kg IM atau IV setiap 12 jam selama 7 hari pertama kehidupan
o dan kemudian setiap 8 jam selama 3 hari selanjutnya.
Obati ibu dan pasangannya untuk sifilis dan cek infeksi penyakit kelamin lainnya.
Tatalaksana TORCH merupakan kumpulan rangkaian kegiatan berbagai displin ilmu mulai masa
kehamilan, masa kelahiran hingga pasca natal.
Pemberian terapi yang tepat sangat penting sehingga anamnesis pem fisik dan penunjangnya harus sangat
teliti
476
Kelainan Kongenital dan Obstruksi Gastrointestinal
dr. Nur Muhammad Artha, M.Sc,M.Kes,SpA
Penting sekali bagi dokter untuk dapat mengidentifikasi kelainan kongenital pada bayi. Lalu apa definisi
kelainan kongenital?
I. Definisi
Kelainan kongenital / bawaan →kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor
genetik maupun non genetik. Suatu kelainan kongenital kadang- kadang belum ditemukan atau belum terlihat
pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi.
II. Klasifikasi berdasarkan Patogenesis
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Malformasi
B. Deformasi
C. Disrupsi
D. Diplasia
III. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kelainan Kongenital
A. Kelainan Genetik dan Kromosom.
B. Faktor Mekanik
C. Faktor Infeksi
D. Faktor obat
E. Faktor usia ibu
F. Faktor radiasi
G. Faktor gizi
IV. Macam-macam Kelainan Kongenital
A. Atresia Koana
Merupakan keadaan dimana tidak terbentuknya satu atau kedua lubang
antara hidung dan nasofaring. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan Kepala dan leher secara menyeluruh pada bayi dengan
cara, memasukan kateter elastik 6F ke dalam lubang hidung.
Minimalisasi kongesti
dengan tidak melakukan pengujian berulang kali Pemeriksaan langsung ke kavum nasalis (bronkoskopi
serat-optik fleksibel)
477
B. Cleft palate
Tatalaksana:
C. Hidrosefalus
Gambaran klinis
1. Makrosefal, ↑ lingkar kepala yang cepat, fontanel anterior dan posterior besar,
sutura terbuka
2. SSP: letargi, hipotonia, gangguan pengelihatan, asupan kurang.
3. PF: ↑↑ LK, fontanela tegang, sutura terbuka
4. AS: pengukuran indeks resistif serial pada arteri serebral anterior (RI= {sistolik-
diastolik} dibagi dengan kecepatan aliran darah sistolik); normal: 0,5
Terapi
progresif non progreif
● Mielomeningokel dengan
● Hydrancephaly
hidrosefalus terkait
● Congenital communicating
● Infeksi pascaatropi
hydrocephalus
E. Meningokel
1. Meningokel: penonjolan meningens melalui kelainan tulang di kolumna
vertebra
2. Mielomeningokel: penonjolan meningens dan spinal cord melalui kelainan
tulang di kolumna vertebralis
3. Spina bifida okulta: kelainan vertebra karena tidak ada spinal cord atau
herniasi meningen
4. Gambaran Klinis
a. Merupakan kelainan: ± tertutup dermal
b. Jika hidrosefalus ditemui: Makrosefali, sutura terbuka dan fontanela
tegang
c. Pemeriksaan neurologis:
Refleks: mungkin tidak ada: lutut, mata kaki, anal wink
Sensoris: tidak ada atau berkurang pada area di bawah segmen
yang terganggu
Motorik: bervariasi (mulai dari fleksi panggul sampai ke jari kaki)
5. Tatalaksana : Pra operasi
a. Posisi tengkurap
b. Tutup cacat dengan pembalut steril basah
c. Mulai antibiotik lewat IV (Ampicillin/Gentamycin)
d. Segera pindahkan ke rumah sakit tersier
e. Reparasi dini untuk mencegah infeksi
f. Kateterisasi berkala bersih
g. Sarung tangan non lateks
h. USG kepala: untuk menilai apakah perlu dilakukan VP- shunt
i. MRI: untuk menilai keparahan malformasi Arnold-Chiari
j. Memonitor kejang
k. Menilai keberadaan
F. Atresia esophagus
1. Bayi cukup bulan, spontan, usia
1 jam.
2.Agitasi, takipnea,hipersalivasi
saliva.
3.Tersedak ketika pertama
kali diberi minum, tidak
dapat dipasangi kateter isap
nasogastrik
1. Presentasi
Prenatal – polyhydramnios,
absent stomach bubble,
associated abnormalities.
Birth onwards – frothing of oral
secretions with choking and
cyanosis.
2. Tipe atresia esophagus
2. Hernia Diafragmatika
1.1: 2000-5000
2.Kiri : sering ditemui – 70%
(melalui foramen Bochdalek)
3.Pengobatan awal: stabilisasi
fungsi paru
4.Perbaikan melalui pembedahan :
setelah CR stabil
5.Mortalitas ~40%
1. Tatalaksana hernia diafragma
a. Hindari bag-mask & intubasi segera
b. Masukkan NGT & suction
c. Insersikan jalur arteri dan vena
d. Nothing by Mouth (NPO)
e. Rujuk ke pusat rujukan
3. Gastroskisis
1. Vena umbilikus 2 → 1
2. Dari posisi normal
bergeser ke tengah
3. Dari posisi normal
bergeser ke kanan:
mengalami regresi dan
mungkin menimbulkan
lokus minoris (usia
kehamilan ~6 minggu) dan kelainan jika usus kembali ke rongga perut pada usia
kehamilan ~10 minggu)
4. Paparan teratogen
5. Genetik
4. Omfalokel
Merupakan rangkaian usus gagal kembali
ke rongga perut pada ~ 11 minggu.
Disebabkan perkembangan abnormal
embrio sehingga mengakibatkan tingginya
kelainan dan abnormalitas kromosom
terkait
1. Tatalaksana
5. Anus imperforate
1. Pembedahan:
a.Ortopedik
b.Ahli urologi
2. 1 dari 30.000 kelahiran hidup
3. Laki-laki: Perempuan = 3:1
4. Etiologi: kelainan midline ventral +↑
pertumbuhan membran kloaka
→ekstropi kandung kemih,
pergeseran anus ke arah depan,
celah genitalia
5. Pre-op Mx: melindungi mukosa yang
terbuka dengan plastik; menilai
anomali ginjal (US), GI, genital, fungsi
ginjal, antibiotik profilaksis
6. Pembedahan: a. Rekonstruksi bertahap
7. Komplikasi:
a. Dini: luka terbuka, infeksi
b. Lanjut: inkontinensia urin,
466
C. Diagnostik
Prenatal:
1. Polihidramnion - dari obstruksi hingga keluarnya cairan ketuban melalui saluran
pencernaan.
2. Ultrasonografi abnormal - usus melebar, usus hiperechoik, asites, lesi yang
terkalsifikasi. Mungkin sulit didiagnosis.
3. Janin dengan trisomi 21 (sindrom Down) - 30% berhubungan dengan atresia
duodenum.
4. Riwayat keluarga fibrosis kistik - terkait dengan meconium
ileus. Ruang bersalin:
1. Sekresi oral bergelembung - atresia esofagus.
2. Perubahan warna dinding perut peri umbilikalis - perforasi usus utero.
D. Manifestasi Klinis
1. Muntah - biasanya empedu (kuning-hijau) ternoda. Empedu hadir jika obstruksi
distal ke ampula Vater. Hadir dalam 24-48 jam setelah lahir dengan lesi
gastrointestinal yang tinggi, mungkin tertunda selama beberapa hari untuk lesi
yang lebih rendah. Hematemesis (muntah noda darah) dapat terjadi dengan
malrotasi.
2. Intoleransi makan.
3. Abdomen - distensi dengan loop terlihat dari usus atau peristaltik, eritema /
edema dinding perut, massa perut, peritonitis dan syok.
4. Meconium tidak keluar dalam 48 jam setelah kelahiran.
5. Darah dalam tinja (segar atau berubah).
E. Diagnosis
Salah satu cara mendiagnosis obstruksi gastrointestinal adalah dengan cara
melakukan, Abdominal X-Ray.
1. Obstruksi usus - lengkung usus dengan
kadar cairan udara, dengan tidak adanya
gas secara distal
2. Perforasi usus - udara bebas di bawah
diafragma, intrahepatik atau di sekitar
ligamentum falciform.
467
F. Tatalaksana
1. Dekompresi perut dengan tabung hidung atau orogastrik.
2. Pada atresia esofagus, kantong aspirasi untuk menghindari pneumonia aspirasi.
3. Cairan intravena untuk resusitasi dan pemeliharaan. Nutrisi parenteral dini (PN).
4. Antibiotik sebelum operasi.
5. Mengevaluasi dan memperbaiki diatesis perdarahan.
6. Intervensi bedah untuk sebagian besar lesi.
7. Evaluasi untuk anomali lainnya. Mungkin perlu dilakukan analisis kariotipe dan
microarray.
G. Hipertrofi Pylorus Stenosis
Hypertrophic Pyloric Stenosis (HPS) adalah
suatu keadaan obstruksi lumen pylorus yang
disebabkan oleh hypertropi otot pylorus.
H. Duodenal Atresia
1. Presentasi
Muntah bilious yang tiba-tiba adalah malrotasi sampai terbukti sebaliknya.
Biasanya dalam beberapa minggu pertama kehidupan tetapi dapat terjadi pada
usia berapa pun. Dengan volvulus akut juga distensi abdomen dan nyeri tekan
diikuti oleh syok. Hematemesis dapat terjadi.
2. Investigasi
Ultrasonografi Doppler pada pembuluh mesenterika
dapat membantu di samping tempat tidur.
Pemeriksaan gastrointestinal bagian atas (menelan
kontras) adalah diagnosis. Posisi normal dari
persimpangan duodenal-jejunal (sudut Treitz) adalah
di sebelah kiri tulang belakang. Posisi lain mana pun
menunjukkan kesalahan rotasi. Volvulus secara klasik
muncul sebagai pembuka botol spiral duodenum.
3. Managemen
Volvulus adalah darurat bedah. Iskemia dapat menyebabkan infark usus kecil yang
membutuhkan reseksi usus. Reseksi usus halus yang ekstensif membawa
prognosis yang buruk.
Untuk meredakan obstruksi, pita peritoneum di sekitar duo-denum dibagi. Usus
buntu juga dilakukan untuk menghindari kebingungan di masa depan jika anak
mengalami sakit perut
J. Meconium Illeus
Obstruksi usus kecil dari meconium lengket yang terinspeksi, mirip dempul.
Mempengaruhi 10-15% pasien dengan fibrosis kistik, sedangkan 95% bayi dengan
meconium ileus menderita fibrosis kistik.
1. Presentasi
a. Muntah yang serius
b. Kegagalan keluarnya meconium
c. Distensi perut
d. Massa perut.
e. Edema dinding perut menunjukkan peritonitis.
f. Komplikasi termasuk volvulus dan perforasi.
2. Managemen dan Investigasi
a. X-ray perut - loop dilatasi usus, kadar cairan udara dan penampilan gelembung
meconium sabun kaca tanah. • Kalsifikasi intraabdomen menunjukkan
perforasi dan peritonitis intrauterin.
b. Enema Gastrograffin (kontras yang larut dalam air) dapat menghilangkan
mekonium, jika tidak diperlukan pembedahan.
c. Tes untuk fibrosis kistik.
K. Hirschrung disease
1. Insidensi
a. 1 dalam 1.000-10.000 kelahiran
b. Ada faktor familial (5% kasus)
2. Tidak adanya sel ganglionik bawaan pada pleksus mienterik sekunder akibat
migrasi yang rusak dari prekursor sel ganglion dari neural crest ke belakang
usus. Usus abnormal memanjang dari dubur untuk jarak variabel usus besar.
Usus proksimal normal.
3. Dapat dikaitkan dengan trisomi 21 (sindrom Down).
4. Menyumbang 20-25% dari kasus obstruksi usus neonatal.
5. Patofisiologi
a. Ketiadaan cell ganglion Auerbach’s dan Meissner’s Plexi pada dinding usus.
Sering di daerah recto-sigmoid, tapi dapat juga mengenai seluruh colon.
b. Di daerah aganglionik terjadi kontraksi segmen.
c. Konstipasi kronik.
d. Dilatasi masif pada kolon proksimal dari aganglionik segmen.
e. Statis stool → entero colitis → toxic megacolon → kematian
oeh karena dehidrasi dan sepsis.
6. Diagnosis
a. Adanya riwayat obstipasi
sejak lahir
b. Perut kembung
c. Riwayat bayi lahir aterm.
d. Meconium terlambat
(baru ada setelah >24
jam)
e. Pemeriksaan radiologis
dengan Barium enema:
f. Tampak suatu daerah diantara bagian proksimal yang mengalami dilatasi
dan bagian distal yang mengalami kontraksi (menyempit)
g. Terjadi retensi barium 24-48 jam.
h. Biopsi jaringan (rectal biopsy)
7. Terapi
a. Perbaiki keadaan umum:
Cairan
Darah/plasma
Elektrolit
b. Antibiotika
c. Pemasangan NGT
d. Wash-out dengan NaCl 0,9% hangat, pagi-sore (100 cc). Bila sudah terjadi
perforasi jangan dilakukan wash-out
e. Operasi
Colostomy, di daerah ganglioner
Operasi definitif
Potong stamp dan septum
→ Prosedur MODIFIKASI DUHAMEL