Anda di halaman 1dari 35

The Presentasi

future starts today,


Kasus
notEpistaksis
tomorrow.
Pembimbing Alikha Rahma Aurea
dr. Agung Raharjo, Sp. THT- KL 20204010003
• Nama : Susi
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Alamat : Kasihan

Identitas Pasien • Usia : 19 tahun


• Pekerjaan : Mahasiswi
• Pendidikan terakhir : SMA
• Tanggal periksa : 26 Maret 2022
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan 19 tahun datang dengan keluhan mimisan dari
Keluhan Utama hidung kanan sebanyak 3x dalam seminggu ini, dan terakhir dialami
kemarin pagi ketika hendak mandi. Pasien mengatakan mimisan
Mimisan terjadi secara tiba-tiba. Perdarahan berhenti setelah pasien
menyumbat hidung dengan gumpalan tissue. Riwayat trauma
disangkal, keluhan lain seperti demam, batuk, bersin, pilek
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Penyakit Dahulu • Riwayat keluhan serupa : (-)


• Riwayat asma : pasien tidak tahu
Keterangan : • Riwayat alergi : pasien tidak tahu
Asdasdas
• Riwayat
Dsfdfsdfsa keluhan serupa : (-) • Riwayat hipertensi : pasien tidak tahu
Fgfdgdfg
• Riwayat asma : (-) • Riwayat DM : pasien tidak tahu
• Riwayat alergi : (+)  dingin
• Riwayat hipertensi : (-) Riwayat Personal Sosial
• Riwayat DM : (-) Pasien merupakan seorang mahasiswa. Pasien
tidak merokok dan pasien suka mengonsumsi
gorengan, fastfood.
Pemeriksaan Fisik Kepala Leher :
Dalam batas normal

Keadaan umum baik


Kesadaran compos mentis
Thorax :
Tanda-tanda vital Dalam batas normal
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi nadi : 90x/menit
Frekuensi napas : 20x/menit
Abdomen :
Suhu : 36,5°C Dalam batas normal

BB : 58 kg
TB : 165 cm
IMT : 21,30 kg/m2 (Normal) Ekstremitas :
Dalam batas normal
Status Lokalis Telinga
BAGIAN AURIS DEXTRA AURIS SINISTRA
Preauricula Hiperemis (-) Hiperemis (-)
edema(-) Edema (-)

Auricula Normotia Normotia


Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)

Retroauricula Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Edema (-) Edema (-)
Meatus acusticus externus Serumen (-) Serumen (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)
Membran timpani Cone of light (+) tampak di jam 5 Cone of light (+) tampak di jam 7
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Perforasi (-) Perforasi (-)
Bulging (-) Bulging (-)
Nyeri tekan tragus (-) (-)
Nyeri tarik telinga (-) (-)
Nyeri tekan mastoid (-) (-)
Pemeriksaan Fungsi Telinga
Pemeriksaan Auris dextra Auris sinistra Interpretasi
Fungsi Pendengaran
Tes Rinne Positif Positif
Tes Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Normal
Tes Schwabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Tuba eustachius

Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Valsava manuver -

Toynbee manuver Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Pemeriksaan Fisik Hidung dan Sinus Paranasalis

Pemeriksaan
DEXTRA SINISTRA
Hidung
Hidung Luar Hidung Luar
Bentuk simetris Bentuk simetris
INSPEKSI Deformitas (-) Deformitas (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hidung Dalam Hidung Dalam
Massa (-), Discharge (-) Massa (-), Discharge (-)
Nyeri tekan dorsum nasi (-) Nyeri tekan dorsum nasi (-)
Nyeri tekan ala nasi (-) Nyeri tekan ala nasi (-)
Edema (-) Edema (-)
PALPASI
Sinus Paranasalis Sinus Paranasalis
Nyeri tekan sinus frontalis (-) Nyeri tekan sinus frontalis (-)
Nyeri tekan sinus maksilaris (-) Nyeri tekan sinus maksilaris (-)
Pemeriksaan Fisik Hidung dan Sinus Paranasalis
Pemeriksaan Hidung DEXTRA SINISTRA
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Cavum nasi Massa (-) Massa (-)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)

Konka nasi Konka inferior: Edema (-), mukosa hiperemis (-) Konka inferior: Edema (+), mukosa pucat
Konka media: Tidak dapat dilihat Konka media: Tidak dapat dilihat

Meatus nasi Mukosa hiperemis (-) Mukosa pucat


Sekret mukopurulen (-) Sekret mukopurulen (-)

Septum nasi Licin, deviasi (-), perdarahan (-) Licin, deviasi (-), perdarahan

Transluminasi
Sinus frontalis Terang Terang
Sinus maksilaris Terang Terang
Pemeriksaan Fisik Hidung dan Sinus Paranasalis

Pemeriksaan Hidung DEXTRA SINISTRA


Rhinoskopi Posterior
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) (-)
Koana Edem (-) Edem (-)
Fossa Rossenmuller Hiperemis (-) edem(-) Hiperemis (-) edem(-)
Massa/tumor (-) (-)
Muara Tuba
Eustachius Tidak ada cairan Tidak ada cairan
Pemeriksaan Fisik Tenggorok
BAGIAN KETERANGAN
Mukosa Merah muda
Lidah Kotor (-), atrofi papil (-)
Gigi Gusi hiperemis (-),gigi palsu (-)
Uvula Merah muda (+), letak lurus ditengah
Pilar Tidak diperiksa
Tonsil Mukosa: hiperemis (-)
Ukuran T1/T1
Detritus (-/-)
Faring Mukosa hiperemis (-), edema (-)
Tidak dilakukan
Laringoskopi Epiglotis: massa (-), hiperemis
Indirek Plica vocalis : massa (-), hiperemis (-)
Diagnosis Tatalaksana
Epistaksis anterior • Membersihkan rongga hidung
• Pemasangan tampon sementara  kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan lidocaine 2%
dimasukkan ke rongga hidung selama 10-15 menit

Edukasi
Diagnosis banding • Hindari mengorek-mengorek hidung karena dapat
• Hipertrofi konka
• Tumor Nasal menyebabkan luka pada mukosa hidung dan memicu
perdarahan hidung
• Hindari aktivitas yang menyebabkan pelebaran pembuluh
darah seperti mengangkat benda berat
Epistaksis

Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti

perdarahan dari hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang

berasal dari vestibulum nasi, kavum nasi atau nasofaring (Punagi,

2017; Behrboh et al, 2009; Kunanandam et al, 2016)


Epidemiologi

• Mimisan jarang berakibat fatal  terhitung 4/ 2,4 juta kematian di Amerika Serikat
• 60% orang pernah mengalami mimisan dalam hidupnya dan hanya 10% mimisan yang cukup parah
hingga perlu perawatan medis
• Epistaksis sering dialami pada anak-anak mulai dari 2-10 tahun dan orang tua mulai dari 50-80
tahun

(Tabassom & Cho, 2021)


Etiologi

(AAFP, 2018)

(Amy & Dip Surg, 2018)


Patofisiologi

• Epistaksis disebabkan oleh ruptur pembuluh darah di mukosa hidung


• Ruptur  spontan, trauma, penggunaan obat-obatan, komorbid, keganasan
• Peningkatan TD  dapat meningkatkan durasi epistaksis
• Antikoagulan serta gangguan pembekuan darah  dapat meningkatkan waktu perdarahan
(Tabassom & Cho, 2021)

• Pada pemeriksaan arteri kecil dan sedang pasien berusia menengah dan lanjut terlihat perubahan progresif dari
otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis
interstisial sampai perubahan yang komplek menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh
iskemia lokal atau trauma

(Husni &Hadi, 2019)


Klasifikasi
EPISTAKSIS ANTERIOR EPISTAKSIS POSTERIOR
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri
disepfum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang
anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien
karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri. sfenopalatina.

(Mangunkusoma & Wardani, 2011)


Anamnesis Faktor risiko
1. Trauma
2. Adanya penyakit di hidung yang mendasari,
Keluhan misalnya rhinosinusitis, rhinitis alergi
3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung darah, DBD
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti
2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai: NSAID, aspirin, hepatin
a. lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok) 5. Tumor, baik jinak atau ganas di hidung, sinus
paranasal, atau nasofaraing
b. banyaknya perdarahan
6. Kelainan kongenital
c. frekuensi perdarahan 7. Adanya deviasi septum
8. Pengaruh lingkungan, tinggal di daerah sangat
d. lamanya perdarahan
tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan
dengan udara yang sangat kering
9. kebiasaan

(PB IDI, 2017)


Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Penunjang
Nasoendoskopi
2. Tanda vital Evaluasi bagian kavum nasi dan muara sinus
3. Rhinoskopi anterior
Foto kepala
Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior Melihat gambaran sinus paranasal, detail tulang
ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, kepala, dasar kepala dan struktur tulang wajah
dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa pada epistaksis yang dicurigai akibat fraktur
dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan. nasal dan trauma wajah
4. Rhinoskopi posterior
CT scan
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting Menilai rongga hidung dan sinus paranasalis
pada pasien dengan epistaksis berulang untuk
menyingkirkan neoplasma Skrining terhadap koagulopati (bleeding
time, clotting time)

(Husni &Hadi, 2019)


(PB IDI, 2017)
Tatalaksana
3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
1. Menghentikan perdarahan
•Penekanan langsung pada ala nasi
•Kauterisasi
•Tampon hidung
•Ligasi arteri
•Embolisasi
2. Mencegah komplikasi
•Mengatasi dampak perdarahan yang banyak
•Pemberian infus
•Transfusi darah
3. Mencegah berulangnya epistaksis.
(Husni & Hadi, 2019)
Penekanan langsung pada ala nasi

• Penanganan pertama  penekanan langsung ala nasi kiri dan


kanan bersamaan selama 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali
dievaluasi apakah perdarahan telah terkontrol atau belum.
• Penderita sebaiknya tetap tegak namun tidak hiperekstensi untuk
menghindari darah mengalir ke faring yang dapat mengakibatkan
aspirasi (Punagi, 2017)
Tampon sementara
 kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2%
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahanan mengurangi rasa nyeri pada saat
dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi
biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

22
(Mangunkusoma & Wardani, 2011)
Kauterisasi
• Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan
kauteriasi kimia Perak Nitrat 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen
pada pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama 2 – 3 detik
• Prosedur elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada
perdarahan yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior,
dan kadang memerlukan anestesi lokal.

(Husni & Hadi, 2019)


Tampon hidung

Tampon Anterior
• Dapat digunakan tampon Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita (ukuran 1,2 cm x 180 cm) yaitu
tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan vaselin putih (petrolatum) dan asam borat 10%, atau
dapat menggunakan salep antibiotik, misalnya Oksitetrasiklin 1%, tampon ini merupakan tampon tradisional
yang sering digunakan
• Bahan lain yang dapat dipakai adalah campuran bismuth subnitrat 20% dan pasta parafin iodoform 40%, pasta
tersebut dicairkan dan diberikan secara merata pada tampon sinonasal / pita, tampon ini dapat dipakai untuk
membantu menghentikan epistaksis yang hebat.
• Pasang dengan menggunakan spekulum hidung dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke
superior dan seposterior mungkin untuk memberikan tekanan yang adekuat. Apabila tampon menggunakan
boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas dalam 2 hari, sedangkan apabila menggunakan bismuth dan pasta
parafin iodoform dapat dipertahankan sampai 4 hari (Husni & Hadi, 2019)
Tampon posterior

• Menggunakan tampon yang digulung, dikenal sebagai tampon


Bellocq
• Apabila melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon
anterior sebaiknya tetap dipasang.
• Antibiotik intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis
dan syok septik

(Husni & Hadi, 2019)


Ligasi Arteri

Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi epistaksis.
Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri karotis eksterna, arteri maksila
interna atau arteri etmoidalis.

(Husni & Hadi, 2019)


Embolisasi

Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat diembolisasi.
Dilakukan angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri karotis
eksterna dan arteri karotis interna. Embolisasi dilakukan pada arteri maxilaris
interna dan externa. Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk menilai
tingkat oklusi

(Husni & Hadi, 2019)


Farmakoterapi

1. Vasokonstriktor topical
Bekerja pada reseptor alfa adrenergic di mukosa hidung  pembuluh darah konstriksi
Oxymetazoline 0.05%
• Diaplikasikan langsung ke mukosa membrane  stimulasi reseptor alfa adrenergic
 vasokonstriksi
• Dapat digunakan dengan lidocaine 4% untuk memberi efek anestesi dan
vasokonstriksi

(Nguyen, 2020)
Farmakoterapi

2. Anestesi
Lidokain 4%
• Lidokain menurunkan permeabilitas terhadap ion Natrium di membrane neuron 
menghambat depolarisasi dan memblok transmisi impuls saraf
3. Antibiotik
Mencegah terjadinya infeksi local dan memberikan efek moisturasi local
Mupirocin ointment 2%
• Menghambar pertumbuhan bakteri dengan menghambat RNA dan protein sintesis
(Nguyen, 2020)
Farmakoterapi

4. Agen Kauterisasi
agen kauterisasi mengkoagulasi protein sintesis, sehingga dapat mengurangi
perdarahan
Silver Nitrat
• Mengkoagulasi protein seluler dan menghilangkan jaringan granulasi, silver
nitrat juga memiliki efek antibakteri

(Nguyen, 2020)
Mencegah Komplikasi
• Akibat perdarahan yang hebat  terjadi aspirasi darah ke dalam saluran nafas bawah, syok, anemia,
gagal ginjal
• Turunnya tekanan darah secara mendadak  hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi coroner
 infus/ transfuse darah
• Akibat pembuluh darah yang terbuka  dapat terjadi infeksi  antibiotik
• Pemasangan tampon  rhinosinusitis, otitis media antibiotic dan setelah 2-3 hari tampon harus
dicabut
• Tampon posterior  laserasi palatum mole atau sudut bibir bila benang yang keluar dari mulut terlalu
ketat dilekatkan pada bibir dan pipi, nekrosis mukosa hidung/septum bila balon dipompa terlalu keras

(Mangunkusoma & Wardani, 2011)


Mencegah Berulangnya Epistaksi
• Mencari penyakit dasar yang menyebabkan epistaksis
• Penanganan penyakit yang menjadi penyebab epistaksis seperti hipertensi, trombositopenia,
koagulopati, keganasan, fraktur maksilofasial membantu dalam penanganan epistaksis dan pencegahan
rekurensi (Husni & Hadi, 2019)
Daftar Pustaka
AAFP. (2018). Epistaxis: Outpatient Management. AAFP, 98 (4), 240-245
Behrbohm H, et al.Ear Nose and Throat Diseases With Head and Neck Surgery. rd Ed. Stuttgart : Thieme, 2009. pp. 191-97.

Husni, T & Hadi, Z. (2019). Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Epistaksis. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2 (2). 26-32

Kunanandam T, Bingham B. Epistaxis. [ed.] Hussain SM. Logan Turner’s Diseases Of The Nose Throat and Ear Head and Neck Surgery.
London: CRC press, 2016
Mangunkusumo, E & Wardani, R. (2011). Epistaksis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Jakarta: FK UI
Nguyen, Q., 2020. Epistaxis: Practice Essentials, Anatomy, Pathophysiology. Available from: http://www.emedicine.Medscape.com

PB IDI. (2017). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta: PB IDI

Punagi AQ. Epistaksis Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini. Makassar : Digi Pustaka, 2017.

Tabassom A, Cho JJ. Epistaxis. [Updated 2021 Sep 18]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai