Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Infanticide
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan kepada :
dr. Mardhatillah Marsa, Sp.F, M.Sc

Disusun Oleh :
Muhammad Iqbal I R

20204010215

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS


KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Bunuh bayi yang biasa juga diistilahkan dengan Pembunuhan Anak Sendiri
(infanticide) selanjutnya disebut PAS adalah suatu tindakan pembunuhuan bayi
yang berusia dibawah satu tahun. Menurut undang-undang Indonesia,
pembunuhan anak sendiri adalah suatu pembunuhan yang dilakukan oleh ibu
terhadap anak kandungnya, yang dilakukan ketika anaknya dilahirkan atau
beberapa saat setelah lahir karena takut ketahuan telah melahirkan anak.
Gambaran bukti medis kasus infanticide ini dapat dilihat dari beberapa hal
diantaranya kondisi bayi yang lahir apakah lahir hidup atau mati, tanda bayi viabel
atau tidak, tanda perawatan pada bayi, tanda kekerasan, dan penyebab kematian.
Kasus pembunuhan terhadap bayi yang baru lahir telah dikenal sejak dahulu
dan terjadi dimana saja. Fir’aun di zamannya telah memerintahkan membunuh
setiap bayi laki-laki yang lahir, karena takut munculnya seorang raja baru. Pada
zaman dahulu juga terjadi di tanah arab dimana lazimnya terjadi setiap bayi
perempuan yang dianggap membawa sial bagi keluarganya juga dibunuh. Pada
Yunani kuno, pembunuhan bayi tidak hanya diizinkan namun dalam beberapa
kasus diberlakukan undang-undang untuk membunuh bayi yang lemah atau cacat
yang dianggap sebagai beban negara. Roma kuno juga melakukan pembunuhan
bayi dengan di bawah Undang-Undang yang disebut sebagai The Law Twelve
Tables dengan alasan yang sama. Masih banyak lagi alasan lain yang mendorong
seseorang sampai hati merampas nyawa seorang bayi yang baru dilahirkan.
Masing-masing negara, memiliki perundang-undangan tersendiri untuk
mengatasi pembunuhan anak. Akan tetapi, banyak negara yang menganut bahwa
pembunuhan bayi bukanlah tindakan kriminal tetapi merupakan tindakan akibat
tuntutan sosial ekonomi. Di Inggris dan Wales sejak 1922, tidak memasukan
infanticide ke dalam undang-undang kriminalitas. Di Indonesia, infanticide juga
memiliki kekhususan dalam penanganan hukum, dimana pembunuhan ini tidak
dikategorikan dalam aturan pembunuhan yang bersifat umum (pasal 338 dan 340
KUHP). Infanticide yang dilakukan tanpa rencana diatur dalam KUHP pasal 341
dengan sangsi ancaman hukuman penjara 7 tahun dan apabila direncanakan sejak

2
masa kehamilan terkena ancaman hukuman penjara maksimal 9 tahun sesuai
KUHP pasal 342.
Penyebab kematian yang terbanyak dijumpai untuk dalam tindakan
pembunuhan bayi adalah cara atau metode yang menimbulkan keadaan mati lemas
(asfiksia), seperti penjeratan, pencekikan dan pembekapan serta membenamkan ke
dalam air. Adapun cara atau metode lain seperti menusuk atau memotong serta
melakukan kekerasan dengan benda tumpul. Namun untuk menentukan secara
pasti penyebab kematian bayi maka kita harus melakukan pemeriksaan forensik
bukan hanya terhadap bayi yang menjadi korban namun juga terhadap perempuan
yang dicurigai sebagai ibunya. Dengan demikian, dalam menegakkan suatu
keadilan yang menyangkut nyawa manusia, bantuan Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal sangat diperlukan.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan menambah pengetahuan yang berkaitan dengan
infanticide
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui apa itu infanticide
2. Untuk mengetahui epidemiologi infanticide
3. Untuk mengetahui etiologi infanticide
4. Untuk mengetahui faktor risiko infanticide
5. Untuk mengetahui pemeriksaan forensik pada kasus infanticide
6. Untuk mengetahui pemeriksaan terhadap tersangka
7. Untuk mengetahui dasar hukum infanticide
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Memberikan pengembangan terhadap studi kedokteran mengenai
perundang-undangan yang mengatur tentang kewajiban dokter dalam menjalankan
praktik kedokteran di Indonesia.
1.3.2 Manfaat Praktis
1. Menambah wawasan bagi tenaga medis mengenai infanticide dan bisa
membantu dalam kasus infanticide.

2. Menambah wawasan masyarakat mengenai infanticide.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI INFANTICIDE


Pembunuhan anak sendiri atau lebih dikenal dengan Infanticide adalah suatu
tindakan pembunuhuan bayi yang berusia dibawah satu tahun. Pembunuhan yang
dilakukan oleh ibu kandungnya terhadap anaknya sendiri, segera atau beberapa
saat setelah di lahirkan, karena takut diketahui telah melahirkan anak. Di
Indonesia terdapat pengkhususan pada kasus pembunuhan bayi yaitu
kinderdoodslag dan kindermoored. Perbedaan antara kinderdoodslag (pasal 341
KUHP) dan kindermoored (pasal 342 KUHP) hanyalah pada soal ada tidaknya
rencana dalam proses pembunuhan.
Dengan demikian berdasarkan pengertian diatas, persyaratan yang harus
dipenuhi dalam kasus bunuh bayi yaitu:
 Pelaku harus ibu kandung
 Korban harus anak kandung sendiri
 Alasan melakukan tindakan tersebut yaitu takut ketahuan telah melahirkan
anak
 Waktu pembunuhan yaitu tepat pada waktu melahirkan atau beberapa saat
setelah melahirkan
Untuk itu dengan adanya batasan yang tegas tersebut maka suatu pembunuhan
yang tidak memenuhi salah satu kriteria di atas tidak dapat disebut sebagai
pembunuhan anak (infanticide), melainkan suatu pembunuhan biasa.
Menurut Arneet A (2017), infanticide adalah membunuh seorang anak di
bawah umur 12 bulan oleh seorang ibu yang belum sepenuhnya pulih dari efek
kehamilan, melahirkan dan menyusui, dan menderita gangguan mental. Alasan
atau penyebabnya pembunuhan bayi adalah keadaan mental ibu yang berubah.
Alasan lain adalah dari personal hingga sosial atau lingkungan dan mungkin lebih
terkait dengan status di masyarakat dan undang-undang, selain itu bisa karena
terkait penggunaan alat kontrasepsi dan aborsi, kehamilannya sebagai akibat
pemerkosaan atau bayi menjadi tidak diinginkan karena suatu alasan. Pada

4
tindak pidana pembunuhan anak, faktor psikologi ibu yang baru melahirkan
diperhitungkan sebagai faktor yang meringankan, keadaan tersebut menyebabkan
si ibu melakukan pembunuhan tidak dalam keadaan sadar yang penuh, dan belum
sempat timbul rasa kasih sayang.
Sehingga dapat dikatakan suatu pembunuhan dengan pemeriksaan pada bayi
difokuskan pada: identifikasi, viabilitas, bayi tersebut lahir hidup atau lahir mati,
tanda-tanda perawatan, waktu kelahiran, cara dan sebab kematian, dan tindak
pidana yang mungkin terjadi. Pemeriksaan pada tersangka difokuskan pada:
identifikasi, tanda-tanda baru melahirkan anak, berapa lama telah melahirkan
anak, tanda-tanda partus precipitatus, pemeriksaan psikologis dan pemeriksaan
histopatologi.

2.2 EPIDEMIOLOGI INFANTICIDE


Kejadian pembunuhan anak sendiri yang sebenarnya di seluruh dunia tidak
diketahui, karena kasus pembunuhan anak ini tidak sepenuhnya terdeteksi atau
salah dikategorikan. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa pada tahun 1983
terdapat lebih dari 600 kasus pembunuhan anak dan dalam kurun waktu 1982-
1987 kasus pembunuhan anak yang terjadi adalah 1,1% dari seluruh kasus
pembunuhan yang dilaporkan. Berdasarkan laporan retrospektif di German
didapatkan 48 kasus pembunuhan anak dari tahun 1980-2007, dimana dari hasil
pemeriksaan karakteristik klinis dan forensik ditemukan 25 kasus merupakan
infanticide.
Di Afrika Selatan dari total 454 anak berusia kurang dari 5 tahun yang
dibunuh pada tahun 2009, lebih dari setengahnya yaitu 53,2 % adalah neonatus
dan 74,4% adalah infant. Dimana insidens neonaticede 19,6 per 100.000 kelahiran
hidup dan infanticide mencapai 28,4 per 100.000 kelahiran hidup. Di Malaysia
dari tahun 1999 sampai 2011 didapatkan 1.069 kasus pembunuhan bayi dengan
insidens infanticide berflutuaktif antara 4,82 dan 9,11 per 100.000 kelahiran
hidup. Di Indonesia sendiri terdapat 92 (0,83%) kasus dugaan pembunuhan anak
dari 10.986 kasus forensik yang diteliti di Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSU Dr. Soetomo Surabaya sejak tahun 2000-2009.

5
Sehubungan dengan cara pembunuhan, analisis data Italia (2000-2005)
menunjukkan prevalensi pembunuhan dengan mekanisme asfiksia mekanik (19%
tenggelam, mati lemas 18 % dan tercekik 10%), dengan defenestasi (15%),
dengan luka tembakan senjata dan memotong leher (15%) dan, lebih jarang,
dengan senjata api (4%). Di Jakarta dilaporkan bahwa 90-95% dari sekitar 30-40
kasus infanticide per tahun dilakukan dengan cara asfiksia mekanik. Bentuk
kekerasan lainnya adalah kekerasan tumpul di kepala (5-10%) dan kekerasan
tajam pada leher atau dada (1 kasus dalam 6-7 tahun). Tempat pembunuhan ini
terutama di rumah (85%), dan khususnya kamar mandi (64%) dan kamar tidur

(20%).

2.3 ETIOLOGI INFANTICIDE


Praktek pembunuhan bayi telah menyebar luas dalam banyak peradaban
kuno. Dalam Yunani kuno dan Roma kuno, pembunuhan bayi dilakukan karena
dipaksa oleh hukum. Bayi yang lemah atau memiliki kelainan deformitas dibunuh
karena alasan bahwa mereka akan menjadi beban bagi negara. Banyak penjelasan
yang disampaikan mulai dari keluarga yang lebih menyukai anak laki-laki atau
keinginan memiliki keluarga yang dominan laki-laki dalam rumah tangganya,
hingga ke budaya ekonomi dimana wanita hanya dilihat sebagai kewajiban
dibandingkan sebagai aset. Hal lainnya, pembunuhan bayi perempuan telah dilihat
sebagai metode mengontrol populasi yang paling efektif.
Bukti sejarah mendapatkan tiga faktor resiko untuk pembunuhan bayi.
 Jenis kelamin perempuan
 Faktor ekonomi
 Abnormalitas kongenital
Dalam ulasannya tentang pembunuhan bayi dalam sejarah barat, Moseley
(1985) juga menyimpulkan bahwa pembunuhan bayi pada umumnya dilakukan
oleh ibu-bu karena dorongan oleh “sosial dan ekonomi” (walaupun ancaman
pembunuhan bayi oleh ayah kandung dilaporkan tinggi pada zaman Yunani
Romawi, namun tidak mendapat hukuman karena dilindungi oleh hukum). Anak
perempuan sering dianggap sebagai tanggung jawab ekonomi dikalangan para

6
petani miskin. Dalam kombinasi dengan ideologi androsentrik yang meluas, ini
menyebabkan tingginya angka pembunuhan pada bayi perempuan sepanjang
sejarah barat. Moseley mencatat bahwa status perkawinan di abad pertengahan
mengatur atau menerima akseptabilitas perilaku infanticide yaitu wanita yang
belum menikah dihukum keras karena melakukan pembunuhan bayi. Sementara
wanita yang telah menikah dapat membunuh anak mereka dengan “kekebalan
hukum yang relatif”.
Moseley menyimpulkan bahwa penurunan pembunuhan bayi di Eropa
terkait dengan keuangan yang stabilitasnya lebih besar diantara orang miskin dan
pengingkatan ketersediaan alternatif lain dalam hal menyusui (misalnya, susu
hewan, susu formula) yang dapat mengurangi beban tenaga dalam hal mengasuh
anak. Daly dan Wlison (1988) mengungkapkan bahwa penurunan angka kejadian
pembunuhan bayi di Inggirs oleh karena adanya perbaikan layanan kesejahteraan
sosial, akses terhadap kontrasepsi dan aborsi legal, dan stigma sosial yang
menurun pada perempuan muda yang belum menikah
Berdasarkan pembahasan Resnick dalam kepustakaan dunia psikiatri pada
pembunuhan anak sendiri, mendapati bahwa ibu yang melakukan pembunuhan
sering mengalami depresi, psikosis, riwayat terapi kesehatan mental, dan
keinginan bunuh diri. Pelaku pembunuhan anak sendiri mempunyai beberapa
motif :
a. Altruistic filicide: ibu melakukan pembunuhan atas dasar cinta. Sang ibu
percaya bahwa kematian adalah hal terbaik bagi anak, contohnya seorang
ibu yang menjadi pelaku pembunuhan tidak mengharapkan anaknya hidup
di dunia tanpa ibu atau pada ibu yang psikotik menganggap bahwa
perbuatannya melakukan pembunuhan bertujuan untuk menghindarkan sang
anak dari keadaan yang lebih kejam dari kematian.
b. Psychotic filicide: ibu yang psikotik atau memiliki gangguan jiwa
membunuh anaknya tanpa motif tertentu, contohnya si ibu mengalami
halusinasi yang menyuruhnya membunuh anaknya.

7
c. Fatal maltreatment filicide: kematian biasanya bukan merupakan hal yang
diharapkan dan terjadi akibat akumulasi penganiayaan, kelalaian, atau
Munchausen syndrome.
d. Unwanted child filicide: si ibu beranggapan bahwa anaknya adalah suatu
halangan.
e. Spouse revenge filicide: yang paling jarang, si ibu membunuh dengan tujuan
melukai secara emosional sang ayah.

2.4 FAKTOR RISIKO


a. Psikosis pasca persalinan
Psikosis pasca persalinan adalah gangguan paling parah yang dapat
membuat ibu tidak berdaya sehingga biasa memerlukan rawat inap. Gejalanya
tidak biasa seperti delirium, kebingungan, perubahan mood, delusi, halusinasi
visual, insomnia, gejala pskiotik yang tidak terorganisir. Delusi dapat
menyebabkan ibu berpikir bahwa anaknya dalam keadaan berbahaya, kemudian
pikirannya berkembang menjadi “membunuh anaknya akan menyelamatkan
anaknya dari takdir yang lebih buruk dari kematian”, sehingga ia akan membunuh
anaknya. Ibu mungkin terpaksa melakukan tindakan kekerasan, dan keadaan ini
didorong secara biologis yang muncul dengan sendirinya sebagai psikosis alami
dan diperberat oleh perubahan mood afektif. Psikosis pasca persalinan terjadi
dalam 1-4 minggu setelah melahirkan dan secara jelas muncul sebagai bipolar
disorder yang terjadi karena perubahan hormonal setelah melahirkan.

b. Riwayat psikosis, depresi, dan percobaan bunuh diri


Ibu yang melakukan infanticide memiliki riwayat psikosis, depresi, dan
percobaan bunuh diri yang lebih tinggi.

c. Depresi pasca persalinan


Depresi pasca persalinan merupakan gangguan afektif dengan tigkat
keparahan berada diantara baby blues dan psikosis pasca pasca melahirkan.
American Psychiatric Association (APA) menggambarkan episode PPD sebagai

8
periode minimal 2 minggu mengalami perubahan suasana hati yang tertekan atau
kehilangan minat hampir disemua aktivitas dan perubahan dalam nafsu makan,
berat badan, tidur, aktivitas psikomotor, semangat, kemampuan berpikir,
kemampuan untuk berkonsentrasi dan kemampuan untuk membuat keputusan atau
berpikir ulang tentang kematian atau ide bunuh diri, rencana atau usaha
membunuh. Depresi yang tidak teratasi dapat berkembang menjadi gangguan
psikosis.

2.5 PEMERIKSAAN FORENSIK PADA BAYI


Untuk menentukan apakah suatu kasus adalah kasus infanticide atau
pembunuhan anak sendiri, maka seorang dokter harus dapat menentukan hal
berikut ini.
1. Menyatakan Bayi Lahir Hidup Atau Mati
Bila bayi lahir mati maka kasus tersebut bukan merupakan kasus pembunuhan,
atau penelantaran anak hingga menimbulkan kematian. Pada kasus seperti itu, si
ibu hanya dapat dikenakan tuntutan menyembunyikan kelahiran dan kematian
orang. Lahir mati (still birth) adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan oleh ibunya, tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum
ataupun sesudah kehamilan berumur sesudah kehamilan 28 minggu dalam
kandungan). Kematian ditandai oleh janin yang tidak bernapas atau tidak
menunjukkan tanda kehidupan lain seperti denyut jantung, denyut nadi tali pusat,
atau gerakan otot rangka.
Lahir hidup (live birth) adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi yang
lengkap, yang setelah pemisahan, bernapas atau menunjukkan tanda kehidupan
lain tanpa mempersoalkan usia gestasi, sudah atau belumnya tali pusat dipotong
dan plasenta dilahirkan.
Perbedaan bayi lahir hidup dan lahir mati terutama dapat dinilai dari sistem
pernapasan, sistem kardiovaskuler, dan sistem pencernaan.

9
 Ciri lahir hidup :
a. Sistem pernapasan
Penafasan spontan terjadi akibat rangsangan atmosfer dan adanya
ganggguan sirkulasi plasenta, dan ini menimbulkan perubahan penting
yang permanen pada paru. Pernapasan setelah bayi lahir mengakibatkan
perubahan letak diafragma dan sifat paru-paru.
1. Pemeriksaan luar
- Dada sudah mengembang
- Tulang iga terlihat lebih mendatar
- Sela iga melebar
2. Pemeriksaan dalam
- Paru memenuhi rongga dada
- Tepi paru tumpul
- Warna paru bercak merah muda seperti mozaik
- Perabaan lembut seperti busa
3. Pemeriksaan makroskopis paru
Paru-paru bayi yang sudah bernapas berwarna merah muda tidak
homogeny namum bercak-bercak. Konsistensinya adalah seperti spons
dan berderik pada perabaan. Sedangkan pada paru-paru bayi yang belum
bernapas berwarna merah ungu tua seperti warna merah hati bayi dan
homogency dengan konsistensi kenyal seperti hati dan limpa.

Gambar 1: Pemeriksaan paru-paru. Perhatikan area dengan warna pink


serta area yang lebih kecil dengan warna biru tua. Pewarnaan pink merupakan
indikasi aerasi.

10
Tabel 1. Perbedaan makroskopis paru belum bernapas dan paru sudah bernapas

No. Paru belum Bernapas Paru sudah Bernapas

1 Volume kecil, kolaps, menempel vertebra, Volume 4-6x lebih besar, sebagian
konsistensi padat, tidak ada krepitasi menutupi jantung, konsistensi seperti
karet busa (ada krepitasi)
2 Tepi paru tajam Tepi paru tumpul

3 Warna homogen, merah kebiruan/ungu Warna merah muda

4 Kalau diperas di bawah permukaan air tidak Gelembung gas yang keluar halus dan
keluar gelembung gas, atau bila sudah ada rata ukurannya
pembusukan, gelembungnya besar, tak rata
5 Tidak tampak alveoli yang berkembang (air Tampak air sacs, kadang-kadang
sacs) pada permukaan terpisah sendiri-sendiri
6 Kalau diperas hanya keluar darah sedikit dan Bila diperas keluar banyak darah
tidak berbuih (kecuali bila telah ada berbuih walaupun belum ada
pembusukan) pembusukan (volume darah 2x volume
nafas)
7 Berat paru ±1/70 BB Berat paru 1/35 BB

8 Seluruh bagian paru tenggelam dalam air Bagian-bagian paru yang mengembang
terapung dalam air

4. Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan mikroskopik terlihat edema, alveoli sudah
mengembang dan diselaputi oleh membrane hialin yang terbentuk
akibat kontak dengan oksigen. Prosedur pemeriksaan mikroskopik
paru-paru yaitu paru-paru dikeluarkan dengan teknik tanpa
sentuh, dilakukan fiksasi dengan larutan formalin 10%. Sesudah
12 jam, dibuat irisan-irisan melintang untuk memungkinkan
cairan fiksatif meresap dengan baik ke dalam paru. Setelah
difiksasi selama 48 jam, kemudian dibuat sediaan histopatologik.
Biasanya digunakan pewarnaan HE dan bila paru telah membusuk
digunakan pewarnaan Gomori atau Ladewig. Tanda khas pada
paru janin belum bernapas adalah adanya tenjolan (projection)
yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan
bertambah tinggi dengan dasar menipis sehingga akan tampak

11
seperti gada (club-like). Pada permukaan ujung bebas tonjolan
akan tampak kapiler yang berisi banyak darah.

Gambar 2. (a) Gambaran mikroskopis paru yang telah bernapas; (b)


Gambaran mikroskopis paru yang belum bernapas.

 Tes apung paru positif


Untuk menentukan apakah bayi pernah bernapas dapat
dilakukan test hydrostatik atau test apung paru (docimacia
pulmonum hydrostatica), akan memberikan hasil positif.
Pemeriksaan ini berdasarkan fakta bahwa berat jenis paru-paru
yang belum bernafas berkisar antara 1.040-1.056, sedangkan
paru-paru yang sudah bernafas berkisar 0,940 akibat ada udara di
dalam alveoli. Oleh karena itu paru-paru yang sudah bernafas
akan mengapung.
Pada bayi yang telah mengalami pembusukan lanjut,
pemeriksaan ini tidak berguna lagi. Bila masih baru mengalami
pembusukan, tes apung paru ini masih bisa dipakai,karena udara
pembususkan akan keluar bila jaringan paru-paru ditekan,
sedangkan udara pernafasan dalam alveoli tetap disana, atau
hanya sedikit yang keluar.
Tes apung paru harus dilakukan menyeluruh sampai potongan
kecil paru mengingat kemungkinan adanya pernapasan sebagian
yang dapat bersifat buatan atau alamiah yaitu bayi yang sudah
bernapas walaupun kepala masih dalam uterus atau dalam vagina.
Hasil negative belum tentu pasti lahir mati karena adanya

12
kemungkinan bayi dilahirkan hidup tapi kemudian berhenti napas
meskipun jantung masih berdenyut, sehingga udara dalam alveoli
di reabsorbsi. Pada hasil uji negatif ini, pemeriksaan histologi
paru harus dilakukan untuk memastikan bayi lahir mati atau lahir
hidup.

Gambar 3. Tes Apung Paru2


b. Sistem kardiovaskuler
Paru-paru yang mengembang menyebabkan penurunan resistensi arteri
pulmonalis, darah mengalir ke paru dan kembali ke atrium kiri sehingga
tekanan di atrium kiri meningkat. Hal ini menyebabkan tertutupnya
foramen ovale.
c. Sistem pencernaan
Ditemukan makanan atau bakteri pada saluran cerna. Adanya proses
pelepasan tunggul tali pusat, dimulai dari pengeringan dan pelisutan
tunggul pada hari kedua, setelah itu akan terbentuk garis pemisah warna
merah, lalu pada hari keempat sampai keenam terjadi pemisahan
sempurna. Epitelisasi terjadi pada hari kesembilang sampai hari kedua
belas.

 Ciri lahir mati :


a. Ada tanda maserasi (jika telah mati dalam kandungan)
 Deskuamasi epitel bronkus
 Bayi berbau tengik bukan busuk
b. Sistem pernapasan
 Sela iga sempit

13
 Paru belum mengembang
 Ada cairan amnion dan epitel skuamosa di alveolus
 Tes apung paru negatif

2. Ada Tidaknya Perawatan Bayi


Tanda-tanda bayi belum dirawat adalah sebagai berikut :
a. Tubuh masih berlumuran darah
b. Plasenta masih melekat dengan tali pusat dan masih berhubungan dengan
pusat.
c. Pada tali pusat yang telah terpotong dengan gunting atau pisau lebih kurang
5cm dari pusat bayi dan diberikan obat antiseptik, bila tali pusat dimasukkan
ke dalam air, akan terlihat ujungnya terpotong rata. Kadang-kadang ibu
menyangkal melakukan pembunuhan dengan mengatakan telah terjadi
partus presipitus (keberojolan). Pada keadaan ini, tali pusat akan terputus
dekat pelekatanya pada uri yang tidak sesuai dengan partus presipitatus
adalah terdapatnya kaput suksedaneum, molase hebat dan fraktur tulang
tengkorak serta ibu yang primipara.
d. Selain itu, tanda verniks kaseosa yaitu lemak bayi telah dibersihkan juga
merupakan tanda bahwa bayi pernah menerima perawatan sebelumnya. Pada
bayi yang dibuang ke dalam air, verniks tidak akan hilang seluruhnya dan
masih dapat ditemukan di daerah lipatan kulit seperti ketiak, belakang
telinga, lipat paha dan lipat leher. Pada bayi yang dirawat, verniks
caseosa (lemak bayi) akan sudah dibersihkan, demikian pula bekas bekas
darah. Khusus untuk verniks caseosa adalah khas bahwa tidak akan
hilang jika tidak dengan sengaja dibersihkan, karena sifat lemaknya yang
lengket. Sedemikian hingga pada bayi yang dibuang di airpun verniks
caseosa akan tetap dapat ditemui di lipatan-lipatan kulit bayi seperti

14
pada lipat paha, lipat leher dan daerah kulit kepala pada belakang telinga.

Gambar 4. Bayi lengkap dengan placenta dan tali pusat yang masih
menempel (tidak ada tanda-tanda perawatan).

Pada seorang anak yang telah mendapat perawatan akan memberikan


gambaran dimana :
a) Tubuhnya sudah dibersihkan
b) Tali pusat telah dipotong dan diikat
c) Daerah-daerah lipatan kulit telah dibersihkan dari verniks kaseosa
d) Anak telah diberi pakaian atau pembungkus agar tubuhnya menjadi
hangat.

Gambar 5. Bayi yang telah mendapat perawatan dan selimut untuk membungkus bayi.

15
3. Tanda Perlukaan
a. Adanya tanda-tanda mati lemas: sianosis pada bibir dan ujung-ujung jari,
bintik-bintik perdarahan pada selaput biji mata dan selaput kelopak mata
serta jaringan longgar lainnya, lebam mayat yang lebih gelap dan luas,
busa halus bewarna putih atau putih kemerahan yang keluar dari lubang
hidung dan atau mulut serta tanda-tanda bendungan pada alat-alat dalam.
Jumlah tenaga yang digunakan untuk menghasilkan smothering sangat
kecil sehingga tidak ada bukti trauma.
b. Keadaan mulut dan sekitarnya: adanya luka lecet tekan dibibir atau
sekitarnya yang tidak jarang berbentuk bulan sabit, memar pada bibir
bagian dalam yang berhadapan dengan gusi, serta adanya benda-benda
asing seperti gumpalan kertas Koran atau kain yang mengisi rongga
mulut.
c. Keadaan di daerah leher dan sekitarnya: adanya luka lecet tekan yang
melinngkari sebagian atau seluruh bagian leher yang merupakan jejas
jerat sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh alat penjerat yang
dipergunakan, adanya luka-luka lecet kecil-kecil yang seringkali
berbentuk bulan sabit yang diakibatkan oleh tekanan dari ujung kuku si
pencekik, adanya luka-luka lecet dan memar yang tidak beraturan yang
dapat terjadi akibat tekanan yang ditimbulkan oleh ujung-ujung jari si
pencekik
d. Adanya luka-luka tusuk atau luka sayat pada daerah leher, mulut atau
bagian tubuh lainnya, dimana menurut literature ada satu metode yang
dapat dikatakan khas yaitu tusukan benda tajam pada langit-langit
sampai menembus ke rongga tengkorak yang dikenal dengan nama
“tusukan bidadari”
e. Adanya tanda-tanda terendam seperti: tubuh yang basah dan berlumpur,
telapak tangan dan telapak kaki yang pucat dan keriput (Washer
woman’s Hand), kulit yang berbintil-bintil (Cutis Anserina) seperti kulit
angsa, serta adanya benda-benda asing terutama di dalam saluran

16
pernafasan (trakea) yang dapat berbentuk pasir, lumpur, tumbuhan air
atau binatang air.

4. Berapakah Umur Bayi Tersebut (Intra Dan Ekstrauterin)


Bayi yang cukup bulan adalah bayi yang lahir setelah kandungan selama 37
minggu atau lebih tetapi kurang dari 42 minggu penuh. Pengukuran bayi cukup
bulan dapat dinilai dari:
a. Ciri-ciri eksternal:
 Daun telinga
 Susu
 Kuku jari tangan
 Garis telapak tangan
 Alat kelamin luar
 Rambut kepala
 Skin opacity
 Processus xiphoideus
 Alis mata
b. Untuk menetukan usia dalam kandungan juga dapatt dilakukan
pemeriksaan tulang pada mayat bayi.
c. Penentuan umur janin dalam kandungan dilakukan menurut rumus De
Haas : “5 bulan I panjang kepala-tumit (cm) = kuadrat umur gestasi
(bulan). Selanjutnya panjang kepala-tumit (cm) = umur gestasi (bulan)
x5”.
d. Selain rumus Haase, perkiran umur bayi dapat juga ditentukan dengan
melihat pusat penulangan (ossification centers). Pemeriksaan pusat
penulangan ini dapat dilakukan secara radiologis. Berikut merupakan
perkiraan umur bayi berdasarkan penilaian pusat penulangan:4

17
Tabel 2. Penentuan Umur Bayi

Umur Panjang badan (kepala-tumit)


1 bulan 1 x 1= 1cm
2 bulan 2 x 2= 4cm
3 bulan 3 x 3 = 9cm
4 bulan 4 x 4 = 16cm
5 bulan 5 x 5 = 25cm
6 bulan 6 x 5 = 30cm
7 bulan 7 x 5 = 35cm
8 bulan 8 x 5 = 40cm
9 bulan 9 x 5 = 45cm

Tabel 3. Perkiraan umur bayi berdasarkan penilaian pusat penulangan.

Pusat penulangan Umur (bulan)

Klavikular 1,5

Tulang Panjang (diafisis) 2

Iskium 3

Pubis 4

Kalkaneus 5-6

Manubrium Sterni 6

Talus Akhir 7

Sternum Bawah Akhir 8

Distal Femur Akhir 9/setelah lahir

Proksimal Tibia Akhir 9/setelah lahir


Akhir 9/setelah lahir
Kuboid *bayi wanita lebih cepat

Bayi yang viable adalah bayi yang sudah mampu untuk hidup diluar
kandungan ibunya atau sudah mampu untuk hidup terpisah dari ibunya.
Viabiltas mempunyai beberapa syarat yaitu:
1. Umur ≥ 28 minggu dalam kandungan.

18
2. Panjang badan ≥35 cm
3. Berat badan ≥ 2500 gram
4. Tidak ada cacat bawaan yang berat
5. Lingkaran fronto-okcipital ≥32 cm

Penentuan umur bayi ekstra uterin, atas dasar:


 Udara dalam saluran cerna. Bila hanya terdapat dalam lambung atau
duodenum berarti hidup beberapa saat, dalam usus halus berarti telah
hidup 1-2 jam, bila dalam usus besar telah hidup 5-6 jam dan bila
terdapat dalam rectum berarti telah hidup 12 jam.
 Mekonium dalam kolon. Mekonium dalam kolon akan keluar semua
kira-kira dalam waktu 24 jam setelah lahir.
 Perubahan tali pusat. Setelah bayi lahir akan terjadi proses
pengeringan tali pusat baik dilahirkan hidup maupun mati. Pada tempat
akan terbentuk lingkaran merah setelah bayi hidup kira-kira 36 jam.
Kemudian tali pusat akan mongering menjadi seperti benang dalam
waktu 6-8 hari akan terjadi proses penyembuhan luka yang sempurna
bila tidak terjadi infeksi dalam waktu 15 hari. Pada pemeriksaan
mikroskopik daerah yang akan melepas akan tampak reaksi inflamasi
yang mulai timbul setelah 24 jam berupan sebuka sel-sel leukosit berinti
banyak, kemudian akan terlihat sel-sellimfosit dan jaringan granulasi.
 Eritrosit berinti akan hilang dalam 24 jam pertama setelah lahir namun
kadangkala masih dapat ditemukan sinusoid hati.
 Ginjal. Pada hari ke 2-4 akan terdapat deposit asam urat yang berwarna
jingga berbentuk kipas (fan-shapped) lebih banyak dalam pyramid
daripada medulla ginjal. Hal ini akan menghilang setelah hari ke 4 saat
metabolisme telah terjadi.
 Perubahan sirkulasi darah. Setelah bayi lahir akan terjadi obliterasi
arteri dan vena umbilicus dalam waktu 3-4 hari. Duktus arteriosus akan
tertutup setelah 3-4 minggu da foramen ovale akan tertutup setelah 3
minggu – 1bulan tetapi kadang-kadang tidak menutup walaupun sudah

19
tidak berfungsi lagi. Duktus arterisusu akan menutup setelah 3 minggu 1
bulan
5. Mencari Sebab Kematian Bayi
Penyebab kematian pada bayi terbanyak akibat trauma tumpul. Trauma
tumpul ini disertai dengan pembekapan yang berakhir pada asfiksia. Upaya
perlukaan yang dilakukan dalam upaya infanticide pada bayi dapat berupa
penjeratan (strangulation), pembekapan (smothering), dan kompresi dada. Hal-
hal tersebut berakibat diri bayi mengalami kesulitan bernapas dan berujung pada
kematian bayi akibat mati lemas.

2.6. PEMERIKSAAN PADA TERSANGKA


a. Bekas-bekas kehamilan
- Striae gravidarum
- Dinding perut kendor
- Rahim dapat diraba diatas symphisis
- Payudara besar dan kencang
b. Bekas-bekas persalinan
- Robekan perineum
- Keluarnya cairan lochea
c. Pemeriksaan histopatologi gologan darah ibu dan korban
Hal ini juga sulit karena tidak adanya golongan darah ayah. Eksklusi
hanya dapat ditegakkan bila 2 faktor dominan terdapat bersama-sama
pada satu individu sedangkan individu lain tidak mempunyai sama
sekali. Contohnya adalah bila ibu golongan darah AB sedangkan si anak
golongan darah O atau sebaliknya. Penggunaan banyak jenis golongan
darah akan lebih memungkinkan mencapai tujuan, tetapi oleh karena
kendala biaya maka cara ini tidak merupakan prosedur rutin.
Pemeriksaan histopatologis yaitu sisa plasenta yaitu vili korialis dalam
darah dan jaringan yang berasal dari rahim.

20
Gambar 6: Chorionic Villi dengan pewarnaan HE

d. Tes DNA mitokondria


Mitokondria memiliki molekul DNA sendiri yang disebut sebagai DNA
mitokondria. Pada manusia genom mitokondria DNA mengandung
sekitar 16.000 pasang basa DNA, dimana ini hanya mewakili sebagian
dari total pasang basa DNA yang terdapat pada inti sel. Yang membuat
DNA ini istimewa, tidak seperti DNA nukleus yang diwarisi secara
seimbang dari ayah dan ibu, DNA ini diwarisi hanya dari sang ibu,
karena semua mitokondria manusia diturunkan dari mitokondria seltelur
ibu. Sehingga, kita bisa melakukan tes untuk membandingkan
mitokondria anak dan ibu untuk menentukan hubungan mereka (adanya
kemiripan). Karena mitokondria merupakan struktur yang kuat dan
melindungi DNA yang dikandungnya, DNA mitokondria sangat berguna
juga untuk mengidentifikasi korban-korban bencana alam dimana DNA
nukleus sudah terdegradasi ataupun rusak. Sebagian besar sel di tubuh
kita mengandung antara 500 sampai 1000 copy dari molekul DNA
mitokondria yang membuatnya lebih mudah untuk ditemukan dan di
ekstrak daripada DNA nukleus. Cara pengambilan sampel: Sampel darah
diambil sebanyak 2 ml dengan menggunakan tabung EDTA kemudian
diberi label yang jelas, dan tanggal pengambilan sampel. Sampel
disimpan pada suhu 4°C.

21
2.7. DASAR HUKUM
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pembunuhan anak
sendiri tercantum di dalam bab kejahatan terhadap nyawa orang, yang terkait
masalah pembunuhan anak sendiri yaitu pasal 341, 342 dan 343. Adapun bunyi
pasal-pasal tersebut yaitu:
 Pasal 341: Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan
anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja
merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
 Pasal 342: Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan
karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat
anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anak sendiri
dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
 Pasal 343: Bagi orang lain yang turut serta melakukan kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 342 KUHP diartikan sebagai pembunuhan atau
pembunuhan berencana.
 Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
 Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana dengan pidana mati atau pidana rencana seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
 Pasal 304: Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan
orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku
atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya
dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-
 Pasal 305: Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh
tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud

22
melepaskan diri darpadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama
5 tahun 6 bulan
 Pasal 346 : seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
 Pasal 306
1) Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 itu
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama 7 tahun 6 bulan
2) Jika mengakibatkan kematian. Pidana penjara paling lama 9 tahun

Berdasarkan undang-undang tersebut, dapat dilihat adanya tiga faktor penting,


yaitu:
 Ibu, yaitu hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan
pembunuhan anak sendiri. Tidak dipersoalkan apakah ibu telah menikah
atau belum dan ibu yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya. Sedangkan, bagi orang lain yang melakukan atau turut
membunuh anak tersebut dihukum karena pembunuhan atau pembunuhan
berencana, dengan hukuman yang lebih berat, yaitu 15 tahun penjara (pasal
338 pembunuhan tanpa rencana), atau empat tahun bagi yang membantu
menggugurkan kandungan atau mematikan kandungan ibu (pasal 346) atau
20 tahun, seumur hidup/hukuman mati (pasal 339 dan 340, pembunuhan
dengan rencana).
 Waktu, yaitu dalam undang-undang tidak disebutkan batasan waktu yang
tepat, tetapi hanya dinyatakan “saat masih dalam kandungan dan digugurkan
atau pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian setelah dilahirkan“.
Sehingga boleh dianggap pada saat belum timbul rasa kasih sayang seorang
ibu terhadap anaknya. Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu
tersebut akan merawat dan bukan membunuh anaknya.
 Psikis, yaitu ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan
akan diketahui orang lain telah melahirkan anak itu, biasanya anak yang
dilahirkan tersebut didapatkan dari hubungan tidak sah.

23
Bila ditemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya, misalnya
tempat sampah, got, sungai dan sebagainya, maka bayi tersebut mungkin adalah
korban pembunuhan anak sendiri (pasal 341, 342), pembunuhan (pasal 338, 339,
340, 343), lahir mati kemudian dibuang (pasal 181), atau bayi yang ditelantarkan
sampai mati (pasal 308).

24
BAB III
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Pembunuhan anak sediri atau lebih dikenal dengan Infanticide adalah suatu
tindakan pembunuhuan bayi yang berusia dibawah satu tahun. Di Indonesia
terdapat pengkhususan pada kasus pembunuhan bayi yaitu kinderdoodslag dan
kindermoored. Perbedaan antara kinderdoodslag (pasal 341 KUHP) dan
kindermoored (pasal 342 KUHP) hanyalah pada soal ada tidaknya rencana dalam
proses pembunuhan. Banyak yang menjadi faktor risiko dari kasus pembunuhan
bayi misalnya alasan jenis kelamin, ekonomi, kelainan atau penyakit yang ada
pada bayi, gangguan kejiwaan.
Cara paling sering digunakan untuk membunuh adalah dengan pembekapan,
pencekikan, penjeratan dan pembenaman dalam air. Cara tersebut akan
mengakibatkan bayi berada dalam keadaan asfiksia mekanik (kekurangan O2)
kemudian meninggal.
Untuk menentukan apakah suatu kasus adalah kasus infanticide atau
pembunuhan anak sendiri, maka seorang dokter harus dapat menentukan
menyatakan bayi lahir hidup atau mati, ada tidaknya perawatan bayi, berapakah
umur bayi tersebut (intra dan ekstrauterin), mencari sebab kematian bayi.
Namun untuk menentukan secara pasti penyebab kematian bayi maka kita
harus melakukan pemeriksaan forensik bukan hanya terhadap bayi yang menjadi
korban namun juga terhadap perempuan yang dicurigai sebagai ibunya. Dengan
demikian, dalam menegakkan suatu keadilan yang menyangkut nyawa manusia,
bantuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal sangat diperlukan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wilianto Warih, Apuranto Hariadi. Pembunuhan Anak Dengan Jerat Tali


Pusat Di Leher Disertai Kekerasan Tumpul Pada Kepala. Dept./Inst. Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Unair. Vol.14 No.3.2012: Hal.1
2. Mushumba1.H. Hakizimana F.X. et.al . Trends And Patterns Of Suspected
Infanticide Cases Autopsied At The Kacyiru Hospital, Rwanda: Case
Report. Institute of Legal Medicine, University Medical Center Hamburg-
Eppendorf. Vol.73 (3); Sept 2016. Hal. 1-2 Germany
3. Arora A., Yadav J. et al. Infanticide: A Concept. Department of Forensic
Medicine and Toxicology, All India Institute of Medical Sciences. May 4,
2017, IP: 207.90.10.21. Hal. 42-43
4. Carolus. C.M., Ringen E. Marital Status and Infanticide. Department of
Anthropology, Yale University, New Haven, CT, USA. 2017. Hal. 1-2
5. Budiyanto A, dkk. Pembunuhan Anak Sendiri dalam Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Kedokteran Forensik FKUI. 1997:hal.165-76.
6. Friedman SH and ResnickPJ, Child murder by mothers : pattern and
prevention. World Psychiatry.2007.p137-41
7. Pitt S.E and Bale E.M. Neonaticide, Infanticide, and felicide: A review of
literature Bull Am Acad Psychiatry Law Vol.23 No.3,1995: p375-86.
8. Gondo HK. Skrining Edinburgh postnatal depression scale (EPDS) pada
post partum blues. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya. 2013:7-19.
9. Norhayati MN, Hazlina NHN, Asrenee AR, Emilin WMAW. Magnitude
and risk factors for postpartum symptoms: a literature review.
Elsevier:2015;34-54.
10. Halim A, Erlilis, Kristoforus T, Indrawan H, Sachiarissa F, Dymasius S.
Journal Reading : Infanticide. Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya
Semarang. 2017.

26
11. Afandi dkk. Pembunuhan Anak Sendiri (PAS) dengan kekerasan multiple.
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Riau, Pekanbaru, Indonesia. 2008. Vol 58 No 9.
12. Munawwarah S, suryadi T. 2014. Pembunuhan Anak Sendiri (Infanticide).
Banda Aceh : Bagian/SMF Ilmu Kedokteran dan MedikolegalFakultas
Kedokteran Unsyiah /RSUD dr. Zainoel Abidin.
13. Mushumba H, et al. Trends and patterns of suspected infanticide cases
autopsied at the Kacyiru hospital, Rwanda: a case report. Rwanda: Rwanda
Medical Journal. 2016: 21-3.
14. A. Arg, A. Francomano. The Infanticide: Some Forensic and Ethical Issues.
Department of Medical Biotechnology and Forensic Medicine, University of
Palermo, Italy. 2013. Volume 1 ISSN: 2348-9804. Hal 1-4
15. Wedatama P, et all. 2013. Pembunuhan Anak Sendiri. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti
16. Ben-Nun, Liubov. 2017. Neonaticide, Infanticide, anf Filicide. Israel:
BN.Publication House
17. Hoediyanto, Hariandi A. Pembunuhan Anak (Infanticide). Dalam Ilmi
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Fakultas Kedokteran Airlangga:
Surabaya. Edisi 7. p.302-10

27

Anda mungkin juga menyukai