Anda di halaman 1dari 12

Pertemuan 20

Tutor : Ns. Deky Ardiyasri, S.Kep

Waktu: 2 x 60 menit

Submateri pertemuan:
1. Glasgow Coma Scale (GCS)
2. Tekanan Intrakranial dan Prinsip Intervensi
3. Pembidaian dan Komplikasinya
4. Weight Bearing Exercise

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 1


GLASGOW COMA SCALE (GCS)
Penilaian GCS atau Glasgow Coma Scale adalah penilaian fungsi neurologik yang memberikan
gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan untuk pencarian yang luas pada saat
mengevaluasi status neurologik pasien.

Tujuan Pemeriksaan
Penilaian GCS dilakukan untuk melakukan pengkajian neurologik yang lebih dalam dengan
mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.

Penilaian
Cara melakukan penilaian GCS adalah dengan mengevaluasi respon motorik pasien, verbal dan
respon membuka mata, lalu masing-masing respon diberikan sebuah angka sebagai berikut:

1. Refleks Membuka Mata (E)


4 : Spontan
3 : Perintah Verbal (meminta pasien membuka mata)
2 : Rangsangan Nyeri (tekan pada syaraf supraorbita atau kuku jari)
1 : Tidak ada respons (dengan rangsangan nyeri pasien tidak membuka mata)

2. Refleks Verbal (V)


5 : Orientasi baik dan bicara jelas (tidak ada disorientasi, dapat menjawab dengan kalimat
yang baik dan mengetahui dimana ia berada, termasuk hari, waktu dan bulan)
4 : Kacau /confused (dapat berbicara dalam kalimat namun ada disorientasi waktu dan
tempat)
3 : Kata-kata yang tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat
dan tidak tepat)
2 : Mengerang (suara yang tidak berarti, tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang)
1 : Tidak ada respons atau jawaban

3. Refleks Motorik (M)


6 : Mengikuti Perintah (misalnya, pasien disuruh untuk angkat tangan)
5 : Mengetahui letak rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, bila oleh rasa nyeri pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsangan
tersebut berati ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
4 : Reaksi menghindar terhadap nyeri (bergerak tanpa arah tidak tahu lokasi nyeri)
3 : Fleksi abnorma (dekortikasi)

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 2


berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan objek keras seperti ballpoint, pada
jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri
(fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau tidak)
2 : Ekstensi abnormal (deserbasi)
dengan rangsangan nyeri tersebut di atas terjadi ekstensi pada siku, ini selalu disertai
fleksi spastik pada pergelangan tangan
1 : Tidak ada respons
sebelum memutuskan bahwa hasil pemeriksaan motorik tidak ada reaksi, harus
diyakinkan bahwa rangsangan nyeri yang diberikan cukup adekuat

Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.


Penderita yang sadar (compos mentis) pasti GCSnya 15 (E4-V5-M6), sedang penderita koma dalam,
GCSnya 3 (E1-V1-M1).

Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal,
penulisannya EX-V5-M6.
Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal, penulisannya E4-VX-M6.
Bila tetraparese sedang E dan V normal, penulisannya E4-V5-MX.

GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5 tahun.

Penilaian tingkat kesadaran dengan menggunakan metode GCS adalah penilaian tingkat kesadaran
secara kuantitatif.

Sedangkan penilaian tingkat kesadaran secara kualitatif yaitu Kompos Mentis, Apatis, Somnolen,
Stupor, Koma (Posner, JB dalam Aprilia, M, 2015)

1. Kompos Mentis
Keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang diri dan
lingkungannya.

2. Apatis
Keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan orang lain di
lingkungannya.

3. Somnolen
Keadaan seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat
dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal, namun
mudah tertidur kembali.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 3


4. Stupor/Sopor
Kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila
dibangunkan, kecuali dengan rangsangan nyeri.

5. Koma
Kesadaran hilang, tidak menunjukkan reaksi walaupun dengan semua rangsangan (verbal,
taktil, nyeri) dari luar.

Hubungan GCS dengan berat ringannya Cedera Kepala

a. Cedera kepala ringan/minor


- GCS 13 – 15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio serebral, hematom
b. Cedera kepala sedang
- GCS 9 – 12
- Kehilangan kesadaran dan anmnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
c. Cedera kepala berat
- GCS 3 – 8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 4


Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 5
Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 6
Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 7
PRINSIP INTERVENSI PENINGKATAN TIK

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 8


PEMBIDAIAN (SPLINTING)
Pembidaian adalah mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera dan melindungi dari
cedera yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta digunakan untuk memulai proses
penyembuhan. Pemakaian pembidaian pada pasien rawat jalan termasuk di dalamnya fraktur,
dislokasi dan sprain otot. Stabilisasi dari ekstremitas yang patah tulang dengan pembidaian
membantu kesejajaran tulang dan mengurangi ketidaknyamanan (Fitch, 2008).

Pembidaian adalah cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera
dengan menggunakan suatu alat.

Tujuan Pembidaian

a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi yang mengalami
dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang yang patah
(mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah, jaringan saraf perifer dan pada
jaringan patah tulang tersebut)
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan

Tipe-Tipe Bidai/Splint

a. Hard splint (bidai kaku)


Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku sederhana bisa dibuat
dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari plastik, aluminium, fiberglass dan gips back
slab. Gips back slab ini dibentuk dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma
yang dipasang bidai.
Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat digunakan pada
ekstremitas atas dan bawah serta digunakan untuk imobilisasi sementara pada persendian.

b. Soft splint (bidai lunak)


Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong dengan
menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau selimut.

c. Air slint atau vacuum splint


Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai udara mempunyai
efek kompresi sehingga beresiko terjadi compartment syndrome dan iritasi pada kulit.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 9


d. Traction splint (bidai dengan traksi)
Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan traksi pada bidai.
Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk trauma pada daerah femur dan sepertiga
bagian tengah ekstremitas bawah.

Prinsip Dasar Pembidaian

a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian


b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera sampai kita benar- benar
melakukan pembidaian
c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali ke tempat semula
d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang bidai
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur terbuka sebelum
memasang bidai
f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang patah
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada tulang proksimal dan
distal dari sendi tersebut
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada bagian tulang yang
menonjol di bawah kulit
i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap nadi, gerakan dan
rasa/sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur atau cedera
j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita.

Komplikasi
Komplikasi pembidaian biasanya timbul bila kita tidak melakukan pembidaian secara benar, di
antaranya:

a. Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada saraf perifer, pembuluh darah,
atau jaringan sekitarnya akibat pergerakan ujung-ujung fragmen patah tulang.
b. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemia jaringan
c. Kerusakan kulit
Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit sehingga sebelum
dilakukan pembidaian kulit harus benar-benar dalam keadaan bersih. Pasir dan kotoran
dapat menjadi titik tekanan pada kulit.

d. Compartment syndrome
Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari pembidaian. Peningkatan nyeri,
pembengkakan, perubahan warna dan peningkatan temperatur merupakan gejala penting
yang harus diperhatikan.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 10


e. Infeksi
Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya bakteri dan infeksi
jamur.
f. Kerusakan saraf
Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat menimbulkan penekanan
sirkulasi dan kerusakan saraf. Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh darah atau jaringan di
bawah bidai bisa memperparah cedera yang sudah ada, bila bidai dipasang terlalu ketat.

Contoh:

Teknik pemasangan bidai pada pasien Fraktur Tibia Fibula dengan melewati dua sendi (pergelangan
kaki; sendi distal dan lutut; sendi proksimal)

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 11


WEIGHT BEARING EXERCISE

Weight bearing adalah salah satu langkah dari ambulasi dini pada pasien yang mengalami fraktur
ekstremitas. Ambulasi dini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi
dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan
alat sesuai dengan kondisi pasien (Roper, 2002).

Weight bearing adalah jumlah dari beban seorang pasien yang dipasang pada kaki yang dibedah.
Pembebanan berat badan (weight-bearing) pada kaki ditentukan oleh dokter bedah. Tingkatan weight
bearing dibedakan menjadi lima yaitu (Pierson, 2002):

1) Non Weight Bearing (NWB)


Adalah berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung). Kaki yang cedera tidak
boleh menyentuh lantai.

Non weight bearing adalah 0% dari beban tubuh, dilakukan selama 3 minggu pasca operasi.

2) Touch Down Weight Bearing (TDWB)


Berjalan dengan berat dari kaki pada lantai saat melangkah tidak lebih dari 5% beban tubuh.

3) Partial Weight Bearing (PWB)


Adalah berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu sendiri. Berat
dapat berangsur ditingkatkan dari 30 – 50% beban tubuh, Dilakukan bila callus telah mulai
terbentuk (3 – 6 minggu) setelah operasi.

4) Weight Bearing as Tolerated (WBAT)


Tingkatannya dari 50 – 100% beban tubuh. Pasien dapat meningkatkan beban jika merasa
sanggup melakukannya.

5) Full Weight Bearing (FWB)


Adalah berjalan dengan beban penuh dari tubuh. Kaki yang cedera dapat membawa 100%
beban tubuh setiap melangkah, dilakukan 8 – 9 bulan pasca operasi.

Bimbingan Belajar Appskep Indonesia | Hal. 12

Anda mungkin juga menyukai