Istilah ciri/ sifat menunjuk pada sejumlah atribut individual, seperti aspek-aspek
kepribadian, temperamen, kebutuhan, motivasi, dan nilai-nilai. Ciri kepribadian adalah
watak yang relatif stabil dalam berperilaku dengan suatu cara tertentu, misalnya rasa
percaya diri, kedewasaan emosional, dan tingkat energi. Kebutuhan (need) dan motif
adalah suatu keinginan akan jenis-jenis rangsangan atau pengalaman tertentu. Para
ahli psikologi biasanya membedakan antara kebutuhan fisiologis dengan motif-motif
sosial, seperti keberhasilan, dihormati, kekuasaan, dan ketidaktergantungan.
Kebutuhan dan motivasi ini penting karena mempengaruhi perhatian seorang pemimpin
terhadap informasi dan kebutuhan-kebutuhan akan memandu serta memberi energi
perilaku seorang pemimpin. Nilai (value) adalah sikap yang diinternalisasi mengenai
apa yang benar dan salah, etis dan tidak etis, bermoral dan tidak bermoral, misalnya
kejujuran, keadilan, kebebasan, kesamarataan, humaniter, kesetiaan, patriotisme,
kemajuan, pemenuhan diri, rasa keunggulan, pragmatisme, kesopansantunan, dan
kerja sama. Nilai ini penting karena dapat mempengaruhi preferensi dan aspirasi
seorang pemimpin, persepsi seorang pemimpin mengenai situasi dan masalah-
masalah, pilihan mengenai perilaku dalam suatu situasi tertentu.
Konsepsi awal tentang teori kepemimpinan sifat/ciri sebenarnya dapat ditelusuri
kembali pada zaman Yunani Kuno dan zaman Romawi. Pada waktu itu, orang percaya
bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Seseorang yang dilahirkan sebagai
pemimpin maka akan menjadi pemimpin, terlepas apakah ia mempunyai sifat atau tidak
mempunyai sifat sebagai pemimpin.
Teori kepemimpinan sifat/ciri didasarkan pada pemikiran bahwa keberhasilan
pemimpin ditentukan oleh adanya kelebihan sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin itu
sendiri. Sifat-sifat itu dapat berupa sifat-sifat fisik, kemampuan atau pun kepribadian.
Teori ini beranggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat
ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Kemampuan pribadi dalam hal ini
adalah kualitas seseorang dengan berbagai macam sifat-sifat, ciri-ciri atau perangai
tertentu yang menjamin keberhasilan kepemimpinan seseorang. Jika seorang
pemimpin memiliki ciri-ciri tertentu, ia dengan sendirinya akan menjadi pemimpin yang
berhasil. Keberhasilan kepemimpinan seseorang berasal dari ciri-ciri kepemimpinan
yang dimilikinya yang pemilikannya dimungkinkan bersumber dari bakat yang dibawa
sejak lahir (sumber genetika), diperoleh karena belajar dan pengalaman, diperoleh
melalui pendalaman teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan ini pun beranggapan
bahwa keberhasilan kepemimpinan seseorang dapat dialihkan dari satu situasi
organisasional ke situasi organisasional yang lain dengan tingkat keberhasilan yang
sama. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut maka diusahakan pemerincian sifat-sifat
tertentu, lalu diperbandingkan dengan sifat-sifat pemimpin yang ada, untuk kemudian
dirumuskan sifat-sifat umum dari pemimpin. Oleh karena itu, para peneliti awal tentang
kepemimpinan yakin bahwa ciri/sifat dapat diidentifikasi dalam penelitian empiris.
Penelitian tentang ciri/sifat dipermudah oleh cepatnya perkembangan tes psikologis
antara tahun 1920-an sampai 1950-an. Jenis ciri/sifat yang paling sering dipelajari pada
penelitian ini, antara lain karakteristik-karakteristik fisik, seperti tinggi badan dan
penampilan; aspek-aspek kepribadian, seperti rasa harga diri, dominasi, dan stabilitas
emosional; dan kecerdasan, seperti inteligensia dan kreativitas.
Lebih dari seratus studi tentang ciri/sifat pemimpin telah dilakukan selama
setengah abad. Dalam kebanyakan studi tersebut, pendekatan yang pada umumnya
dipergunakan adalah membandingkan pemimpin dengan yang bukan pemimpin untuk
melihat ciri-ciri/sifat-sifat apa yang membedakannya. Sejumlah studi lainnya
membandingkan pemimpin yang sukses dengan pemimpin yang kurang sukses.
Sebagai contoh tentang hal ini adalah tinjauan yang dilakukan oleh Stogdill terhadap
124 studi yang dilakukan antara tahun 1904 sampai dengan 1948, hasilnya adalah telah
ditemukan sejumlah ciri/sifat yang membedakan pemimpin dengan yang bukan
pemimpin. Pola hasilnya tersebut bersifat konsisten dengan konsepsi mengenai
seorang pemimpin sebagai seseorang yang memperoleh status melalui partisipasi aktif
dan memperlihatkan kemampuannya untuk memudahkan usaha-usaha kelompok
dalam mencapai tujuan. Ciri/sifat yang relevan dengan asumsi tersebut dan kinerja
peran seorang pemimpin misalnya inteligensia, peka terhadap kebutuhan orang lain,
memahami tugas-tugas kepemimpinan, inisiatif dan ketekunan dalam menangani
masalah, rasa percaya diri, dan keinginan untuk menerima tanggung jawab. Namun
demikian, walaupun bukti menyatakan bahwa para pemimpin berbeda dari yang bukan
pemimpin dalam kaitannya dengan beberapa ciri/sifat, Stogdill menemukan bahwa
seseorang tidak akan njadi seorang pemimpin karena memiliki beberapa kombinasi
ciri/sifat. Pola karakteristik pribadi pemimpin harus mempunyai beberapa hubungan
yang relevan dengan karakteristik, kegiatan, dan tujuan para pengikut.
Dengan kata lain, studi-studi awal tentang ciri tersebut telah gagal untuk
mendukung dasar pemikiran pendekatan ciri/sifat bahwa seseorang harus memiliki
sejumlah ciri tertentu agar dapat menjadi seorang pemimpin yang sukses. Meskipun
beberapa ciri kelihatannya cukup relevan bagi berbagai macam pemimpin, namun ciri-
ciri/sifat-sifat tersebut tidaklah cukup untuk memastikan keberhasilan suatu
kepemimpinan.
B. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG SIFAT/CIRI PEMIMPIN
Agak berbeda dengan Keith Davis, berdasarkan hasil penelitiannya, Ralph Stogdill
menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin terdiri atas:
a. capacity, yang meliputi kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara,
keaslian (originality) dan kemampuan menilai;
b. achievement, yang meliputi pengetahuan, keberhasilan dalam bidang tertentu;
c. responsibility, yang meliputi berdikari, inisiatif, ketekunan, agresif, percaya pada
diri sendiri, dan keinginan untuk unggul;
d. participation, yang meliputi aktif, kemampuan bergaul, mudah menyesuaikan diri,
dan humor; status, yang meliputi kedudukan sosial ekonomi, dan ketenaran.
Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1948-1970,
Stogdill menjelaskan bahwa sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin terdiri dari
beberapa komponen berikut.
a. Ciri-ciri fisik yang meliputi aktivitas, kekuatan, usia, penampilan, kerapihan,
tinggi badan, berat badan.
b. Latar belakang sosial, berupa pendidikan, status sosial, dan mobilitas.
c. Kecerdasan dan kecakapan, meliputi kemampuan menilai dan pengambilan
keputusan, pengetahuan.
d. Kepribadian berupa penyesuaian diri, ketekunan, pengaruh, keunggulan,
penguasaan emosi, pengendalian, banyak akal budinya, kuat berpendirian,
enthusiasm, extroversion, independence, nonconformity, objectivity, tough-
mindedness, originality, personal integrity ethical conduct, tolerance of stress.
e. Ciri-ciri yang berorientasi kepada tugas, meliputi dorongan berprestasi dan
unggul, dorongan bertanggung jawab, inisiatif, enterprise, tangguh menghadapi
halangan, bertanggung jawab dalam mencapai tujuan.
f. Semangat kerja sama, yang meliputi kesanggupan untuk memperoleh kerja
sama, daya tarik, berjiwa mengasuh, mampu bekerja sama, kecakapan
berinteraksi.
Meskipun belum ada kesepakatan tentang ciri-ciri atau sifat-sifat ideal yang perlu
dimiliki oleh seorang pemimpin, namun ciri-ciri atau sifat-sifat ideal tersebut merupakan
hal-hal yang perlu diusahakan pemilikannya secara terus menerus oleh setiap orang
yang mendapat kesempatan menjadi pemimpin. Pada saat seseorang enjadi pemimpin,
dapat dipastikan bahwa orang tersebut hanya memiliki sebagian saja dari ciri-ciri
tersebut, selebihnya merupakan hal yang harus diusahakan pemilikannya. Dengan kata
lain, dari sekian banyak ciri-ciri kepemimpinan yang ideal, segera tampak bahwa tidak
ada seorang pun yang serta merta memiliki semua ciri-ciri tersebut. Hal ini berarti
apabila kepemimpinan hanya disoroti dari segi ciri-ciri saja maka kepemimpinan
merupakan proses yang terus berlangsung selama seseorang menjadi pemimpin.
1. Sifat Inkuisitif
Sifat inkuisitif atau rasa ingin tahu mencerminkan kemauan dan keinginan untuk
mencari dan menemukan hal-hal baru, dan tidak merasa puas dengan tingkat
pengetahuan yang dimiliki. Sifat ini menjadi salah satu ciri kepemimpinan yang sangat
penting untuk dimiliki karena dinamika kehidupan harus diimbangi pula oleh dinamika
organisasi. Dinamika organisasi tergantung kepada dinamika anggotanya dan
dinamika anggota sebagian besar ditentukan oleh dinamika pemimpin yang ada dalam
organisasi tersebut. Merasa tidak puas dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki
mendorong seseorang untuk terus belajar baik dari pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain maupun dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dikaitkan dengan peningkatan keberhasilan kepemimpinan, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan teknologi mutlak perlu dipahami terutama yang menyangkut
pemanfaatan sumber daya manusia secara optimal, perilaku organisasi, dan teknik
berkomunikasi secara efektif.
2. Kemampuan Analisis
7. Keteladanan
Dalam menjalankan roda organisasi terdapat berbagai jenis risiko baik yang timbul
karena faktor-faktor intern maupun karena faktor ekstern. Berbagai risiko yang muncul
menuntut seorang pemimpin untuk tidak bersikap ragu-ragu atau bertindak “asal jadi”.
Hal ini berarti bahwa berbagai risiko yang diambil harus didasarkan pada perhitungan
yang matang. Sementara itu, dalam menghadapi situasi yang problematik, diperlukan
ketegasan dari seorang pemimpin, misalnya jika usaha pembinaan tidak berhasil maka
tindakan punitif harus diambil dengan didasari oleh kriteria yang objektif, didahului oleh
tindakan lain (misalnya peringatan), tindakan tersebut adil dan bersifat mendidik.
9. Developmentalist
Sikap antisipatif dan proaktif merupakan salah satu sikap yang perlu dipupuk dan
dikembangkan dalam merencanakan masa depan yang diinginkan. Seorang pemimpin
harus mengenali berbagai hal yang berpengaruh terhadap organisasinya, mampu
mengidentifikasi perkembangan yang sedang terjadi dan menganalisisnya, mampu
melihat kecenderungan yang muncul, mampu memperhitungkan kondisi yang mungkin
timbul dan mampu mempengaruhi arah perkembangan dan perubahan yang
menguntungkan masa depan organisasinya.
12. Naluri tepat waktu, Rasa kohesi dan Relevansi yang tinggi
Sementara itu, kohesi organisasi terlihat pada sejauh mana para anggota organisasi
memiliki rasa solidaritas tinggi yang pada gilirannya mempermudah usaha peningkatan
kerja sama terlepas dari hierarki, struktur, pembagian tugas, dan pendelegasian
wewenang yang terdapat dalam organisasi itu. Dalam kaitan ini seorang pemimpin
dituntut, antara lain berfungsi sebagai mediator yang mampu mengatasi suatu situasi
konflik karena dapat berakibat pada meningkatnya rasa senasib sepenanggungan.
Pada sisi lain, seorang pemimpin perlu pula menyadari kelangkaan sumber dana dan
daya yang tersedia baginya sehingga ia harus bekerja dengan tingkat efisiensi,
efektivitas, dan produktivitas yang tinggi. Hal ini berarti pemimpin dituntut untuk mampu
berpikir dan bertindak sehingga hal- hal yang dikerjakannya mempunyai relevansi yang
tinggi dan langsung terhadap usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang
telah ditentukan sebelumnya. Tingkat relevansi yang tinggi sangat penting agar
tenaga, waktu, biaya, dan sarana tidak terbuang percuma.
13. Rasionalitas, Objektivitas dan Pragmatisme
Sementara itu, seorang pemimpin dituntut untuk mampu berpikir dan bertindak secara
realistik (pragmatis). Berpikir dan bertindak pragmatis sama sekali bukan berarti tidak
boleh mempunyai cita-cita tinggi, bersikap fatalistik (apa yang harus terjadi akan terjadi
juga), menganut paham deterministik (hasil yang dicapai atau tidak tercapainya hasil
tergantung suratan tangan) atau bersikap pasrah.
Suatu organisasi yang kompleks harus dikelola antara lain dengan menggunakan
pendekatan kesisteman sehingga tujuan tercapai dengan tingkat efisiensi, efektivitas,
dan produktivitas yang tinggi. Pada dasarnya, dalam pendekatan kesisteman, semua
satuan kerja, fungsi, tanggung jawab, dan kegiatan organisasi merupakan keseluruhan
atau sebagai suatu totalitas. Dalam kondisi seperti ini, seorang pemimpin harus
berperan sebagai integrator karena pada analisis terakhir hanya pimpinan yang
mempunyai pandangan yang holistik tentang organisasinya. Dengan kemampuan
integratif yang tinggi, pimpinan akan mampu menjelaskan kepada semua pihak bahwa
untuk menjalankan rencana diperlukan satuan kerja tertentu sebagai satuan kerja
strategik tanpa mengurangi peran, fungsi, tanggung jawab, dan kegiatan satuan kerja
yang lain.
Salah satu konsekuensi logis dari adanya skala prioritas tertentu adalah bahwa
seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan membedakan kegiatan apa
yang urgen dan mana yang bersifat penting. Sebenarnya, kemampuan seperti itu harus
bersifat naluriah, dalam arti bahwa secara intuitif seorang pemimpin dapat
membedakan mana yang bersifat urgen dan hal-hal apa yang bersifat penting. Pangkal
tolak yang biasanya digunakan untuk menentukan kategori kegiatan organisasi
sebagai urgen dan penting adalah bahwa sesuatu yang urgen harus diselesaikan
segera di mana kecepatan bertindak merupakan kriteria utama sedangkan sesuatu
yang penting memerlukan ketelitian dan pemikiran yang matang. Keterlibatan
pemimpin secara langsung pada sesuatu yang urgen mungkin tidak diperlukan, tetapi
pada sesuatu yang penting, keterlibatan langsung pemimpin menjadi penting bahkan
mungkin mutlak.