Anda di halaman 1dari 10

KEPEMIMPINAN MENURUT TEORI SIFAT (TRAIT THEORY)

Salah satu pendekatan dalam mempelajari kepemimpinan adalah pendekatan


berdasarkan sifat/ ciri (trait). Pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut pribadi
dari pemimpin. Dasar dari pendekatan ini adalah bahwa beberapa orang merupakan
pemimpin alamiah yang dianugerahi beberapa ciri/sifat yang tidak dipunyai orang lain.
Dengan perkataan lain, kajian tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan
perhatian kepada pemimpin itu sendiri. Pertanyaan penting yang ingin dicoba dijawab
adalah sifat-sifat/ ciri-ciri apa sajakah yang perlu dimiliki oleh seseorang yang
membuatnya sebagai pemimpin. Beratus-ratus studi tentang ciri (trait) telah dilakukan
untuk mencari korelasi yang signifikan antara atribut seorang pemimpin dan kriteria
tentang keberhasilan seorang pemimpin. Pendekatan ciri/ sifat terhadap kepemimpinan
ini sama halnya dengan teori-teori sifat tentang kepribadian, yaitu memberikan
beberapa pandangan yang deskriptif, sedikit analisis atau sedikit mengandung nilai
yang prediktif.

A. HAKIKAT TEORI SIFAT

Istilah ciri/ sifat menunjuk pada sejumlah atribut individual, seperti aspek-aspek
kepribadian, temperamen, kebutuhan, motivasi, dan nilai-nilai. Ciri kepribadian adalah
watak yang relatif stabil dalam berperilaku dengan suatu cara tertentu, misalnya rasa
percaya diri, kedewasaan emosional, dan tingkat energi. Kebutuhan (need) dan motif
adalah suatu keinginan akan jenis-jenis rangsangan atau pengalaman tertentu. Para
ahli psikologi biasanya membedakan antara kebutuhan fisiologis dengan motif-motif
sosial, seperti keberhasilan, dihormati, kekuasaan, dan ketidaktergantungan.
Kebutuhan dan motivasi ini penting karena mempengaruhi perhatian seorang pemimpin
terhadap informasi dan kebutuhan-kebutuhan akan memandu serta memberi energi
perilaku seorang pemimpin. Nilai (value) adalah sikap yang diinternalisasi mengenai
apa yang benar dan salah, etis dan tidak etis, bermoral dan tidak bermoral, misalnya
kejujuran, keadilan, kebebasan, kesamarataan, humaniter, kesetiaan, patriotisme,
kemajuan, pemenuhan diri, rasa keunggulan, pragmatisme, kesopansantunan, dan
kerja sama. Nilai ini penting karena dapat mempengaruhi preferensi dan aspirasi
seorang pemimpin, persepsi seorang pemimpin mengenai situasi dan masalah-
masalah, pilihan mengenai perilaku dalam suatu situasi tertentu.
Konsepsi awal tentang teori kepemimpinan sifat/ciri sebenarnya dapat ditelusuri
kembali pada zaman Yunani Kuno dan zaman Romawi. Pada waktu itu, orang percaya
bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Seseorang yang dilahirkan sebagai
pemimpin maka akan menjadi pemimpin, terlepas apakah ia mempunyai sifat atau tidak
mempunyai sifat sebagai pemimpin.
Teori kepemimpinan sifat/ciri didasarkan pada pemikiran bahwa keberhasilan
pemimpin ditentukan oleh adanya kelebihan sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin itu
sendiri. Sifat-sifat itu dapat berupa sifat-sifat fisik, kemampuan atau pun kepribadian.
Teori ini beranggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat
ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Kemampuan pribadi dalam hal ini
adalah kualitas seseorang dengan berbagai macam sifat-sifat, ciri-ciri atau perangai
tertentu yang menjamin keberhasilan kepemimpinan seseorang. Jika seorang
pemimpin memiliki ciri-ciri tertentu, ia dengan sendirinya akan menjadi pemimpin yang
berhasil. Keberhasilan kepemimpinan seseorang berasal dari ciri-ciri kepemimpinan
yang dimilikinya yang pemilikannya dimungkinkan bersumber dari bakat yang dibawa
sejak lahir (sumber genetika), diperoleh karena belajar dan pengalaman, diperoleh
melalui pendalaman teori kepemimpinan. Teori kepemimpinan ini pun beranggapan
bahwa keberhasilan kepemimpinan seseorang dapat dialihkan dari satu situasi
organisasional ke situasi organisasional yang lain dengan tingkat keberhasilan yang
sama. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut maka diusahakan pemerincian sifat-sifat
tertentu, lalu diperbandingkan dengan sifat-sifat pemimpin yang ada, untuk kemudian
dirumuskan sifat-sifat umum dari pemimpin. Oleh karena itu, para peneliti awal tentang
kepemimpinan yakin bahwa ciri/sifat dapat diidentifikasi dalam penelitian empiris.
Penelitian tentang ciri/sifat dipermudah oleh cepatnya perkembangan tes psikologis
antara tahun 1920-an sampai 1950-an. Jenis ciri/sifat yang paling sering dipelajari pada
penelitian ini, antara lain karakteristik-karakteristik fisik, seperti tinggi badan dan
penampilan; aspek-aspek kepribadian, seperti rasa harga diri, dominasi, dan stabilitas
emosional; dan kecerdasan, seperti inteligensia dan kreativitas.
Lebih dari seratus studi tentang ciri/sifat pemimpin telah dilakukan selama
setengah abad. Dalam kebanyakan studi tersebut, pendekatan yang pada umumnya
dipergunakan adalah membandingkan pemimpin dengan yang bukan pemimpin untuk
melihat ciri-ciri/sifat-sifat apa yang membedakannya. Sejumlah studi lainnya
membandingkan pemimpin yang sukses dengan pemimpin yang kurang sukses.
Sebagai contoh tentang hal ini adalah tinjauan yang dilakukan oleh Stogdill terhadap
124 studi yang dilakukan antara tahun 1904 sampai dengan 1948, hasilnya adalah telah
ditemukan sejumlah ciri/sifat yang membedakan pemimpin dengan yang bukan
pemimpin. Pola hasilnya tersebut bersifat konsisten dengan konsepsi mengenai
seorang pemimpin sebagai seseorang yang memperoleh status melalui partisipasi aktif
dan memperlihatkan kemampuannya untuk memudahkan usaha-usaha kelompok
dalam mencapai tujuan. Ciri/sifat yang relevan dengan asumsi tersebut dan kinerja
peran seorang pemimpin misalnya inteligensia, peka terhadap kebutuhan orang lain,
memahami tugas-tugas kepemimpinan, inisiatif dan ketekunan dalam menangani
masalah, rasa percaya diri, dan keinginan untuk menerima tanggung jawab. Namun
demikian, walaupun bukti menyatakan bahwa para pemimpin berbeda dari yang bukan
pemimpin dalam kaitannya dengan beberapa ciri/sifat, Stogdill menemukan bahwa
seseorang tidak akan njadi seorang pemimpin karena memiliki beberapa kombinasi
ciri/sifat. Pola karakteristik pribadi pemimpin harus mempunyai beberapa hubungan
yang relevan dengan karakteristik, kegiatan, dan tujuan para pengikut.
Dengan kata lain, studi-studi awal tentang ciri tersebut telah gagal untuk
mendukung dasar pemikiran pendekatan ciri/sifat bahwa seseorang harus memiliki
sejumlah ciri tertentu agar dapat menjadi seorang pemimpin yang sukses. Meskipun
beberapa ciri kelihatannya cukup relevan bagi berbagai macam pemimpin, namun ciri-
ciri/sifat-sifat tersebut tidaklah cukup untuk memastikan keberhasilan suatu
kepemimpinan.
B. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG SIFAT/CIRI PEMIMPIN

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa para teoritis yang mengkaji masalah


kepemimpinan pada umumnya sepakat bahwa salah satu pendekatan yang dapat
digunakan dalam menganalisis kepemimpinan adalah berdasarkan sifat-sifat/perangai
atau ciri-ciri ideal yang harus dimiliki seorang pemimpin. Namun, kesepakatan tersebut
tidak berarti bahwa telah ada konsensus tentang sifat-sifat atau ciri-ciri ideal tersebut.
Hasil kajian para ahli tentang sifat-sifat/ ciri-ciri atau perangai yang harus dimiliki
seorang pemimpin ternyata sangat heterogen, misalnya kecerdasan muncul pada
sepuluh penelitian; inisiatif muncul pada enam penelitian; keterbukaan dan perasaan
humor muncul pada lima penelitian; entusiasme, kejujuran, simpati, dan kepercayaan
pada diri sendiri muncul pada empat penelitian. Ketika dikombinasikan dengan
penelitian tentang sifat-sifat fisik, kesimpulannya adalah bahwa pemimpin hendaknya
lebih besar dan cerdas dibandingkan dengan yang dipimpin. Apabila pendekatan
sifat/ciri ini diterapkan pada kepemimpinan organisasi, ternyata hasilnya tidak
memuaskan, banyak manajer yang menolak. Padahal, para peneliti beranggapan jika
manajer mempunyai sifat-sifat pemimpin sebagaimana yang disebutkan dalam hasil
penelitian itu maka manajer tersebut akan berhasil. Di sini terlihat bahwa keberhasilan
manajer tidak selalu ditentukan oleh sifat-sifat tersebut. Tidak ada korelasi sebab
akibat dari sifat-sifat yang diamati dalam penelitian dengan keberhasilan seorang
manajer. Menyadari hal ini, Keith Davis mengemukakan bahwa sifat-sifat umum yang
perlu dimiliki oleh pemimpin yang nampaknya berpengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan organisasi, terdiri atas:
1. Intelegensia: pemimpin harus memiliki tingkat kecerdasan yang relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin;
2. Kematangan dan keluasan pandangan sosial: pemimpin harus lebih
matang, mempunyai emosi yang stabil, dan lebih luas dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kemasyarakatan sehingga diharapkan dapat mengendalikan
keadaan, kerja sama sosial, mempunyai keyakinan dan kepercayaan pada diri
sendiri serta mempunyai keinginan menghargai dan dihargai;
3. Motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari dalam: pemimpin
secara relatif harus mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi
dan berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik. Pemimpin harus selalu
mempunyai dorongan yang besar untuk dapat menyelesaikan sesuatu;
4. Kemampuan mengadakan hubungan antar manusia: pemimpin harus selalu
lebih mengetahui terhadap bawahannya, sebab dalam kehidupan organisasi
diperlukan adanya kerja sama atau saling ketergantungan antara anggota-
anggota kelompok. Pemimpin perlu berorientasi kepada bawahan. Pemimpin
yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan pengikutnya.

Agak berbeda dengan Keith Davis, berdasarkan hasil penelitiannya, Ralph Stogdill
menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin terdiri atas:
a. capacity, yang meliputi kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara,
keaslian (originality) dan kemampuan menilai;
b. achievement, yang meliputi pengetahuan, keberhasilan dalam bidang tertentu;
c. responsibility, yang meliputi berdikari, inisiatif, ketekunan, agresif, percaya pada
diri sendiri, dan keinginan untuk unggul;
d. participation, yang meliputi aktif, kemampuan bergaul, mudah menyesuaikan diri,
dan humor; status, yang meliputi kedudukan sosial ekonomi, dan ketenaran.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1948-1970,
Stogdill menjelaskan bahwa sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin terdiri dari
beberapa komponen berikut.
a. Ciri-ciri fisik yang meliputi aktivitas, kekuatan, usia, penampilan, kerapihan,
tinggi badan, berat badan.
b. Latar belakang sosial, berupa pendidikan, status sosial, dan mobilitas.
c. Kecerdasan dan kecakapan, meliputi kemampuan menilai dan pengambilan
keputusan, pengetahuan.
d. Kepribadian berupa penyesuaian diri, ketekunan, pengaruh, keunggulan,
penguasaan emosi, pengendalian, banyak akal budinya, kuat berpendirian,
enthusiasm, extroversion, independence, nonconformity, objectivity, tough-
mindedness, originality, personal integrity ethical conduct, tolerance of stress.
e. Ciri-ciri yang berorientasi kepada tugas, meliputi dorongan berprestasi dan
unggul, dorongan bertanggung jawab, inisiatif, enterprise, tangguh menghadapi
halangan, bertanggung jawab dalam mencapai tujuan.
f. Semangat kerja sama, yang meliputi kesanggupan untuk memperoleh kerja
sama, daya tarik, berjiwa mengasuh, mampu bekerja sama, kecakapan
berinteraksi.

Sementara itu, Chester I Barnard mengemukakan bahwa sifat utama


yang perlu dimiliki oleh pemimpin sebagai berikut.
a. Sifat-sifat pribadi, yang meliputi fisik, kecakapan (skill), teknologi, daya tanggap
(perception), pengetahuan (knowledge), daya ingat (memory), dan imajinasi
(imagination).
b. Sifat-sifat pribadi yang mempunyai watak yang lebih subjektif, yaitu keunggulan
dalam hal ketekunan (persistence), keyakinan(determination), keberanian
(courage), dan daya tahan (endurance).

Akan tetapi, John D. Millet mengemukakan bahwa setiap pemimpin perlu


memiliki empat sifat, yaitu kemampuan melihat organisasi sebagai suatu keseluruhan,
kemampuan mengambil keputusan, kemampuan mendelegasikan wewenang, dan
kemampuan menanamkan kesetiaan.
Pada sisi lain, Ordway Tead mengemukakan bahwa sifat atau perangai
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah energi jasmani dan rohani,
kepastian akan maksud dan arah tujuan, antusiasme atau perhatian yang
besar, ramah tamah, penuh rasa persahabatan dan ketulusan hati, integritas,
kecakapan teknis, mudah mengambil keputusan, cerdas, kecakapan mengajar, dan
kesetiaan.
Berkaitan dengan teori sifat yang dikemukakan oleh Stogdill dan tokoh- tokoh
yang lain sebagaimana telah dikemukakan, sebagai perbandingan, marilah kita
renungkan sejenak pendapat tokoh negarawan Ruslan Abdulgani tentang sifat-sifat
atau ciri-ciri pemimpin yang baik. Menurut Ruslan Abdulgani, seorang pemimpin harus
memiliki kelebihan-kelebihan daripada yang dipimpin. Kelebihan-kelebihan yang perlu
dimiliki seorang pemimpin meliputi moral dan akhlak, jiwa dan semangat, ketajaman
intelek dan persepsi, ketekunan dan keuletan jasmaniah. Dengan memiliki kelebihan-
kelebihan tersebut, kewibawaan seorang pemimpin akan selalu dapat dipertahankan
sehingga kepatuhan bawahan tetap dapat terpelihara.

C. TINJAUAN TERHADAP BEBERAPA SIFAT ATAU CIRI IDEAL

Meskipun belum ada kesepakatan tentang ciri-ciri atau sifat-sifat ideal yang perlu
dimiliki oleh seorang pemimpin, namun ciri-ciri atau sifat-sifat ideal tersebut merupakan
hal-hal yang perlu diusahakan pemilikannya secara terus menerus oleh setiap orang
yang mendapat kesempatan menjadi pemimpin. Pada saat seseorang enjadi pemimpin,
dapat dipastikan bahwa orang tersebut hanya memiliki sebagian saja dari ciri-ciri
tersebut, selebihnya merupakan hal yang harus diusahakan pemilikannya. Dengan kata
lain, dari sekian banyak ciri-ciri kepemimpinan yang ideal, segera tampak bahwa tidak
ada seorang pun yang serta merta memiliki semua ciri-ciri tersebut. Hal ini berarti
apabila kepemimpinan hanya disoroti dari segi ciri-ciri saja maka kepemimpinan
merupakan proses yang terus berlangsung selama seseorang menjadi pemimpin.

Beberapa ciri ideal pemimpin sebagai berikut:

1. Sifat Inkuisitif

Sifat inkuisitif atau rasa ingin tahu mencerminkan kemauan dan keinginan untuk
mencari dan menemukan hal-hal baru, dan tidak merasa puas dengan tingkat
pengetahuan yang dimiliki. Sifat ini menjadi salah satu ciri kepemimpinan yang sangat
penting untuk dimiliki karena dinamika kehidupan harus diimbangi pula oleh dinamika
organisasi. Dinamika organisasi tergantung kepada dinamika anggotanya dan
dinamika anggota sebagian besar ditentukan oleh dinamika pemimpin yang ada dalam
organisasi tersebut. Merasa tidak puas dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki
mendorong seseorang untuk terus belajar baik dari pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain maupun dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dikaitkan dengan peningkatan keberhasilan kepemimpinan, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan teknologi mutlak perlu dipahami terutama yang menyangkut
pemanfaatan sumber daya manusia secara optimal, perilaku organisasi, dan teknik
berkomunikasi secara efektif.

2. Kemampuan Analisis

Salah satu ciri keberhasilan kepemimpinan seseorang terletak pada kemampuannya


untuk berpikir. Cara dan kemampuan berpikir yang dituntut dari seorang pemimpin
adalah integralistik, strategik, dan berorientasi pada pemecahan masalah. Cara
berpikir demikian memerlukan kemampuan analisis yang tinggi. Cara berpikir yang
integralistik akan memperlakukan organisasi sebagai satu kesatuan yang bulat
meskipun di dalamnya terdapat berbagai satuan kerja yang menyelenggarakan
berbagai kegiatan dengan aneka ragam spesialisasi. Cara berpikir strategik, pada
dasarnya menuntut seorang pemimpin untuk mampu menganalisis berbagai kegiatan
organisasi yang harus diselenggarakan sendiri dan mana yang dapat diserahkan
kepada orang lain. Cara berpikir yang berorientasi pada pemecahan masalah menuntut
kemampuan analisis dari seorang pemimpin dalam mengidentifikasi masalah yang
dihadapi, mengumpulkan, dan menelaah informasi yang diperlukan, menganalisis
berbagai alternatif pemecahan masalah yang mungkin ditempuh, menentukan pilihan
pemecahan masalah, dan melaksanakannya. Kemampuan analisis harus tercermin
pada kemampuan mendiagnosis dan menentukan tindakan yang tepat sehingga
tindakan yang diambil benar-benar mengatasi permasalahan, bukan sekedar
mengatasi gejala permasalahan.

3. Daya Ingat yang Kuat

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan intelektual yang berada di atas


kemampuan rata-rata dari orang yang dipimpinnya. Salah satu bentuk kemampuan
intelektual adalah daya ingat yang kuat. Salah satu manifestasi dari daya ingat yang
kuat adalah kemampuan untuk mengangkat kembali informasi yang tersimpan di
bawah sadar ke permukaan untuk kemudian digunakan dalam kepentingan tertentu.

4. Pengetahuan yang luas

Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan melihat dan memperlakukan


seluruh satuan kerja dalam organisasinya dengan persepsi dan pendekatan yang
menyeluruh. Persepsi dan pendekatan yang menyeluruh menuntut pengetahuan luas
yang berarti memahami berbagai disiplin ilmu yang ada sangkut pautnya dengan
tujuan, strategi, rencana, dan kegiatan organisasi yang dipimpinnya. Tidaklah salah
apabila seorang pemimpin memiliki pengetahuan yang spesialistis. Namun,
pengetahuan yang spesialistis itu akan menjadi penghalang bagi keberhasilan
kepemimpinannya apabila pengetahuan tersebut berakibat pada pemberian perhatian
yang tidak proporsional pada satuan kerja tertentu dalam organisasi hanya karena
satuan kerja tersebut terlibat dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan yang
kebetulan secara ilmiah sama dengan pengetahuan spesialistis pemimpin tersebut.
Tugas-tugas kepemimpinan menuntut seseorang yang generalis dengan pengetahuan
ilmiah yang luas yang memungkinkannya berpikir dan bertindak dengan pendekatan
yang menyeluruh dan integralistik.

5. Kemampuan bertumbuh dan berkembang

Seorang pemimpin diharapkan untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan


keterampilannya karena apa yang ia lakukan atau tidak dilakukannya mempunyai
dampak yang luas dan kuat terhadap kehidupan organisasinya. Pentingnya
kemampuan bertumbuh dan berkembang lebih jelas lagi terlihat apabila kita ingat
bahwa setiap organisasi berada dalam suatu lingkungan yang dinamis dan selalu
berubah. Perubahan itu sering kali berlangsung sangat cepat baik sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun karena tuntutan masyarakat
yang sering terjadi berdasarkan deret ukur.
6. Keterampilan Mendidik

Seorang pemimpin hendaknya berperan sebagai seorang pendidik dengan cara


menunjukkan sikap dan perilaku yang pantas untuk ditiru oleh orang lain, mampu
memberikan nasihat kepada para bawahannya untuk memecahkan berbagai masalah
yang dihadapinya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok tertentu
dalam organisasinya. Dalam kaitan ini, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan
untuk menggunakan setiap kesempatan yang dimilikinya untuk meningkatkan
kemampuan bawahan, mengubah sikap, dan perilakunya serta meningkatkan
dedikasinya kepada organisasi.

7. Keteladanan

Seorang pemimpin harus mampu memproyeksikan kepribadiannya yang tercermin,


antara lain dalam bentuk kesetiaan kepada organisasi, kepada bawahan, dedikasi
kepada tugas, disiplin kerja, landasan moral dan etika yang digunakan, kejujuran,
perhatian kepada kepentingan dan kebutuhan bawahan serta berbagai nilai-nilai hidup
lain yang bersifat positif. Efektivitas kepemimpinan seseorang akan lebih besar lagi,
jika keteladanannya tercermin pula dalam kehidupan pribadinya. Keteladanan sangat
penting karena bawahan pada umumnya melihat apa yang dilakukan oleh
pemimpinnya.

8. Keberanian dan Ketegasan

Dalam menjalankan roda organisasi terdapat berbagai jenis risiko baik yang timbul
karena faktor-faktor intern maupun karena faktor ekstern. Berbagai risiko yang muncul
menuntut seorang pemimpin untuk tidak bersikap ragu-ragu atau bertindak “asal jadi”.
Hal ini berarti bahwa berbagai risiko yang diambil harus didasarkan pada perhitungan
yang matang. Sementara itu, dalam menghadapi situasi yang problematik, diperlukan
ketegasan dari seorang pemimpin, misalnya jika usaha pembinaan tidak berhasil maka
tindakan punitif harus diambil dengan didasari oleh kriteria yang objektif, didahului oleh
tindakan lain (misalnya peringatan), tindakan tersebut adil dan bersifat mendidik.

9. Developmentalist

Orientasi seseorang dapat dibedakan sebagai tradisionalis, oportunis, atau


developmentalist. Seseorang yang tergolong tradisionalis, ciri utamanya adalah
berorientasi ke masa lalu. Jika tergolong oportunis, orientasinya masa sekarang
dengan bercirikan wawasan hidupnya sempit, ketidakmauan mengambil risiko dan
ingin segera menikmati hasil pekerjaannya. Seseorang yang tergolong
developmentalist berorientasi masa depan. Secara kategorikal seorang pemimpin
diharapkan memiliki orientasi masa depan. Tidak dapat disangkal bahwa seseorang
perlu mengingat masa lalu, mengetahui di mana sekarang berada, tetapi yang lebih
penting adalah orientasi masa depan. Hal ini berarti untuk dapat menentukan suatu
bentuk orientasi masa depan yang tepat diperlukan gambaran masa lalu, masa
sekarang, dan masa depan dari organisasi yang dipimpinnya.
10. Antisipatif dan Proaktif

Sikap antisipatif dan proaktif merupakan salah satu sikap yang perlu dipupuk dan
dikembangkan dalam merencanakan masa depan yang diinginkan. Seorang pemimpin
harus mengenali berbagai hal yang berpengaruh terhadap organisasinya, mampu
mengidentifikasi perkembangan yang sedang terjadi dan menganalisisnya, mampu
melihat kecenderungan yang muncul, mampu memperhitungkan kondisi yang mungkin
timbul dan mampu mempengaruhi arah perkembangan dan perubahan yang
menguntungkan masa depan organisasinya.

11. Adaptabilitas dan Fleksibel

Efektivitas kepemimpinan seseorang memerlukan sikap yang adaptif, misalnya


seorang pemimpin harus melihat setiap situasi sebagai sesuatu yang khas, dalam
memecahkan masalah seorang pemimpin tidak terperangkap oleh cara pemecahan
tertentu hanya karena cara tersebut pernah digunakan pada masa lalu, dalam
berkomunikasi dengan orang lain baik gaya, teknik maupun bahasa yang digunakan
disesuaikan dengan orang yang diajak berkomunikasi. Seorang pemimpin dituntut
memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak,
sikap dan perilaku agar sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi tertentu yang
dihadapinya. Sikap luwes tidak identik dengan tidak adanya pendirian, plin plan, dan
sifat-sifat sejenis yang biasanya berkonotasi negatif.

12. Naluri tepat waktu, Rasa kohesi dan Relevansi yang tinggi

Salah satu faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin dalam menyelenggarakan


fungsi-fungsi kepemimpinannya adalah kemampuannya dalam memilih waktu yang
tepat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam banyak hal seseorang
tidak berhasil mencapai sasaran dan tujuannya karena waktu yang dipilih dalam
melakukan kegiatan tertentu atau keputusannya untuk tidak melakukan sesuatu tidak
tepat.

Sementara itu, kohesi organisasi terlihat pada sejauh mana para anggota organisasi
memiliki rasa solidaritas tinggi yang pada gilirannya mempermudah usaha peningkatan
kerja sama terlepas dari hierarki, struktur, pembagian tugas, dan pendelegasian
wewenang yang terdapat dalam organisasi itu. Dalam kaitan ini seorang pemimpin
dituntut, antara lain berfungsi sebagai mediator yang mampu mengatasi suatu situasi
konflik karena dapat berakibat pada meningkatnya rasa senasib sepenanggungan.

Pada sisi lain, seorang pemimpin perlu pula menyadari kelangkaan sumber dana dan
daya yang tersedia baginya sehingga ia harus bekerja dengan tingkat efisiensi,
efektivitas, dan produktivitas yang tinggi. Hal ini berarti pemimpin dituntut untuk mampu
berpikir dan bertindak sehingga hal- hal yang dikerjakannya mempunyai relevansi yang
tinggi dan langsung terhadap usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang
telah ditentukan sebelumnya. Tingkat relevansi yang tinggi sangat penting agar
tenaga, waktu, biaya, dan sarana tidak terbuang percuma.
13. Rasionalitas, Objektivitas dan Pragmatisme

Sebagian besar waktu pemimpin hendaknya digunakan untuk berpikir. Hasil


pemikirannya akan berdampak baik terhadap organisasi itu sendiri maupun dalam
hubungan organisasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan di luar organisasi
tersebut. Dengan kata lain, tidak sedikit peranan yang harus dimainkan oleh hasil daya
pikir pemimpin baik untuk masa kini maupun untuk masa depan organisasi. Hal ini
berarti setiap pemimpin harus mampu berpikir dan bertindak secara rasional baik
dalam menyelenggarakan fungsi kepemimpinannya maupun dalam menentukan
sikap, dan perilakunya dalam berinteraksi. Seorang pemimpin diharapkan dapat
berperan sebagai bapak dan penasihat, dalam arti ia dapat menjadi tempat bertanya
bagi para anggota organisasi. Dalam kaitan ini seorang pemimpin harus mampu
bersikap adil.

Sementara itu, seorang pemimpin dituntut untuk mampu berpikir dan bertindak secara
realistik (pragmatis). Berpikir dan bertindak pragmatis sama sekali bukan berarti tidak
boleh mempunyai cita-cita tinggi, bersikap fatalistik (apa yang harus terjadi akan terjadi
juga), menganut paham deterministik (hasil yang dicapai atau tidak tercapainya hasil
tergantung suratan tangan) atau bersikap pasrah.

14. Kapasitas Integratif

Suatu organisasi yang kompleks harus dikelola antara lain dengan menggunakan
pendekatan kesisteman sehingga tujuan tercapai dengan tingkat efisiensi, efektivitas,
dan produktivitas yang tinggi. Pada dasarnya, dalam pendekatan kesisteman, semua
satuan kerja, fungsi, tanggung jawab, dan kegiatan organisasi merupakan keseluruhan
atau sebagai suatu totalitas. Dalam kondisi seperti ini, seorang pemimpin harus
berperan sebagai integrator karena pada analisis terakhir hanya pimpinan yang
mempunyai pandangan yang holistik tentang organisasinya. Dengan kemampuan
integratif yang tinggi, pimpinan akan mampu menjelaskan kepada semua pihak bahwa
untuk menjalankan rencana diperlukan satuan kerja tertentu sebagai satuan kerja
strategik tanpa mengurangi peran, fungsi, tanggung jawab, dan kegiatan satuan kerja
yang lain.

15. Kemampuan Menentukan Skala Prioritas

Suatu organisasi tidak mungkin melakukan semua kegiatan yang harus


dilaksanakannya dengan intensitas yang sama. Oleh karena itu, perlu penentuan skala
prioritas tertentu. Hal ini, selain karena adanya keterbatasan kemampuan organisasi,
juga karena situasi dan kondisi yang dihadapi organisasi. Dalam kaitan ini, seorang
pemimpin dituntut agar mampu mengidentifikasi kekuatan organisasi, kelemahan yang
melekat dalam tubuh organisasi, mengenali dan memanfaatkan peluang yang ada,
serta mampu menghadapi berbagai ancaman terhadap organisasi yang dipimpinnya.
16. Kemampuan membedakan yang urgen dan penting

Salah satu konsekuensi logis dari adanya skala prioritas tertentu adalah bahwa
seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan membedakan kegiatan apa
yang urgen dan mana yang bersifat penting. Sebenarnya, kemampuan seperti itu harus
bersifat naluriah, dalam arti bahwa secara intuitif seorang pemimpin dapat
membedakan mana yang bersifat urgen dan hal-hal apa yang bersifat penting. Pangkal
tolak yang biasanya digunakan untuk menentukan kategori kegiatan organisasi
sebagai urgen dan penting adalah bahwa sesuatu yang urgen harus diselesaikan
segera di mana kecepatan bertindak merupakan kriteria utama sedangkan sesuatu
yang penting memerlukan ketelitian dan pemikiran yang matang. Keterlibatan
pemimpin secara langsung pada sesuatu yang urgen mungkin tidak diperlukan, tetapi
pada sesuatu yang penting, keterlibatan langsung pemimpin menjadi penting bahkan
mungkin mutlak.

D. KELEMAHAN TEORI SIFAT

Dari berbagai pendapat sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat bahwa di antara


para pendukung teori tersebut tidak ada kesepakatan mengenai sifat-sifat yang perlu
dimiliki oleh pemimpin. Dalam perkembangannya, di samping mengalami tantangan
dan reaksi dari berbagai pihak, ada kelemahan-kelemahan dalam teori tersebut.
Kelemahan-kelemahan teori tersebut antara lain:
1) teori ini terlalu bersifat deskriptif, tidak memberikan analisis bagaimana
keterkaitan sifat-sifat itu dengan keberhasilan seorang pemimpin;
2) tidak selalu ada relevansi antara sifat-sifat yang dianggap unggul tersebut dengan
efektivitas kepemimpinan;
3) terlalu sulit untuk menentukan dan mengukur masing-masing sifat yang sangat
berbeda-beda;
4) situasi dan kondisi tertentu memerlukan sifat-sifat kepemimpinan tertentu pula.

Anda mungkin juga menyukai